Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Burn out yaitu keadaan stress secara psikologis yang sangat ekstrem

sehingga individu mengalami kelelahan emosional dan motivasi yang rendah

untuk bekerja. Burn out dapat merupakan akibat dari stress kerja yang kronis

(King, 2010).

Maslach dan Leiter (dalam Rizka, 2013) berpendapat bahwa burn out

merupakan reaksi emosi negatif yang terjadi dilingkungan kerja, ketika individu

tersebut mengalami stress yang berkepanjangan. Burn out merupakan sindrom

psikologis yang meliputi kelelahan, depersonalisasi dan menurunnya kemampuan

dalam melakukan tugas-tugas rutin seperti mengakibatkan timbulnya rasa cemas,

depresi, atau bahkan dapat mengalami gangguan tidur. Burn out merupakan suatu

situasi dimana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi dan

menarik diri dari pekerjaan. Pekerja yang terkena burn out lebih gampang

mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah, dan menjadi

sinis tentang karir mereka (Davis & Jhon, 1985).Burn out seringkali dirasakan

oleh pelajar khususnya mahasiswa tingkat akhir. Jika dibiarkan, hal ini dapat

menyebabkan gangguan pada kesehatan, hilangnya minat dan motivasi yang

berimbas pada penurunan produktivitas dan prestasi mahasiswa. Menghindari

burn out bukanlah hal yang mudah. Memiliki berbagai tugas dan proyek yang

harus diselesaikan beserta tuntutan untuk menyelesaikan skripsi membuat

1
sebagai sindrom psikologis yang meliputi Emotional Exhaustion,

Depersonalization (Cynicism) dan Inefficacy (Reduce Personal Accomplishment),

yang muncul akibat stressor yang berlangsung terus menerus (kronis) dalam

pekerjaan (Maslach, Schaufeli & Leither, 2001). Sumber dari dalam diri individu

yang turut memberi sumbangan timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua

faktor, yaitu (a) faktor demografik dan (b) faktor kepribadian. Rangkuman

Sutjipto (2000) yang dirangkum dari faktor-faktor burn out oleh Caputo (1991);

Maslach, (1982); Farber (1991) 1. karakteristik individu (faktor demografik dan

faktor kepribadian) Reaksi stres yang terutama sering terjadi pada orang dengan

standar yang tinggi adalah burn out.

Burn out adalah keadaan kelelahan emosional dan fisik, produktifitas yang

rendah, dan perasaan terisolasi, sering disebabkan oleh tekanan yang berhubungan

dengan pekerjaan. Orang-orang yang menghadapi kondisi tekanan tinggi setiap

hari sering merasa lemah, putus asa, dan emosional terkuras dan akhirnya dapat

berhenti mencoba (Lefton, 1997). Burn out adalah keadaan tekanan psikologis

seorang karyawan setelah berada dipekerjaan itu untuk jangka waktu tertentu.

Seseorang yang menderita burn out secara emosional kelelahan dan memiliki

motivasi kerja yang rendah (Spector, 1996). Jadi dari uraian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwasannya Burn out adalah tekanan psikologis akibat kelelahan

emosional yang dialami oleh karyawan sehingga mereka sering lemas, lelah, putus

asa dan motivasi kerja rendah.

Burn out muncul dari adanya stress yang berkepanjangan, sehingga banyak

faktor yang mempengaruhi burn out sering dikaitkan dengan munculnya stress

2
(Widiastuti dan Kamsih, 2008). Ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi

munculnya burn out, yaitu (Sihotang, 2004): (1) Faktor eksternal meliputi

lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk

promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial

dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton. (2) Faktor internal

meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.

Menurut Maslach (1997 ), mengungkapkan burn out berdampak pada

individu terlihat adanya gangguan fisik, seperti sakit kepala, rentan terhadap

penyakit dan keluhan psiskosomatik serta mengabaikan kebutuhan dan tuntutan

pasien. Seseorang dapat kehilangan minat dan motivasi. Burn out dapat

mengurangi produktivitas dan menguras energi sehingga membuat sesseorang

merasa tidak berdaya, putus asa, dan cepat marah.

Bimbingan kelompok adalah bantuan yang diberikan oleh orang yang ahli

kepada sekumpulan orang baik anak-anak, remaja maupun dewasa. Sejalan

dengan itu menurut Natawidjaja (dalam Lilis Satriah, 2014: 17), bimbingan

kelompok adalah proses pemberian bantuan kepada sekumpulan orang yang

dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dalam kelompok tersebut

dapat memahami dirinya, sehingga dapat dan sanggup mengarahkan dirinya, dapat

bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah,

keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada umumnya.

(Prayitno (1995: 178)), “mengemukakan bahwa Bimbingan kelompok

adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan

3
memanfaatkan dinamika kelompok”. Artinya, semua peserta dalam kegiatan

kelompok saling berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi,

memberi saran, dan lain-lain sebagainya; apa yang dibicarakan itu semuanya

bermanfaat untuk diri peserta yang bersangkutan sendiri dan untuk peserta

lainnya”. Dan terdapat definisi lain yang dikemukakan oleh Winkel (dalam Lilis

Satriah, 2014:17) bahwasanya bimbingan kelompok merupakan layanan bantuan

yang diberikan kepada individu yang terkumpul dalam suatu kelompok untuk

mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat mereka hidup. Didalam

memberikan layanan bantuan atau dapat kita katakan “bimbingan” dapat diberikan

kepada individu maupun kelompok dari berbagai rentang usia, artinya sasaran

bimbingan adalah individu secara perorangan ataupun individu dalam kelompok,

baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia.

Bimbingan kelompok adalah suatu bentuk bimbingan yang melibatkan

sejumlah orang sebagai kesatuan kelompok yang memungkinkan semua anggota

kelompok bisa mengeluarkan pendapat, mampu berbicara di depan umum, dan

mampu mengungkapkan prilaku empati pada teman, bisa menghargai teman, dan

bisa menghargai pendapat orang lain. Dengan memberikan bimbingan kelompok,

individu dapat mengembangkan sekaligus dapat menemukan jati diri mereka.

Oleh karna itu dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah

suatu kegiatan kelompok yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan

memanfaatkan dinamika kelompok yaitu adanya interaksi saling mengeluarkan

pendapat, memberikan tanggapan, saran, dan sebagainya, dimana pemimpin

4
kelompok menyediakan informasi-informasi yang bermanfaat agar dapat

membantu individu mencapai perkembangan yang optimal.

Tahap-tahap bimbingan kelompok, Bimbingan kelompok terdiri dari 4

tahap, yaitu: tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap

pengakhiran (Prayitno, 1995:40-60). Di dalam tahap pembentukan kegiatan yang

dilaksanakan adalah mengucapkan selamat datang, melaksanakan doa bersama,

menjelaskan pengertian bimbingan kelompok, menjelaskan tujuan bimbingan

kelompok, cara pelaksanaan, asas bimbingan kelompok dan melakukan permainan

untuk mengakrabkan diri. Pada tahap peralihan kegiatan yang dilaksanakan yaitu

menjelaskan kegiatan yang akan dijalani, menanyakan apakah anggota sudah siap,

menjelaskan suasana yang terjadi dalam kelompok bila perlu kembali ke aspek

sebelumnya. Pada tahap kegiatan, kegiatan yang dilaksanakan adalah pemimpin

kelompok mengemukakan topik bahasan, tanya jawab hal yang belum dipahami,

anggota membahas topik sampai tuntas, setiap anggota mengemukakan apa yang

akan dilakukan setelah membahas topik tersebut (peneguhan hasrat) dan /

komitmen. Serta tahap pengakhiran dengan melaksanakan kegiatan yaitu

pemimpin mengemukakan bahwa kegiatan akan diakhiri, pemimpin dan anggota

mengemukakan kesan dan pesan, merencanakan kegiatan lanjutan dan

mengucapkan doa penutup. Dalam melaksanakan bimbingan kelompok, ada

beberapa asas-asas, yaitu: Asas kerahasiaan,Para anggota harus menyimpan dan

merahasiakan informasi apa yang dibahas dalam kelompok, terutama hal-hal yang

tidak layak diketahui orang lain. Asas keterbukaan, Para anggota bebas dan

terbuka mengemukakan pendapat, ide, saran, tentang apa saja yang yang

5
dirasakan dan dipikirkannya tanpa adanya rasa malu dan ragu-ragu. Asas

kesukarelaan, Semua anggota dapat menampilkan diri secara spontan tanpa malu

atau dipaksa oleh teman lain atu pemimpin kelompok. Asas kenormatifan, Semua

yang dibicarakan dalam kelompok tidak boleh bertentangan dengan norma-norma

dan kebiasaan yang berlaku.

Dengan bimbingan kelompok siswa mendapat berbagai informasi, dapat

saling berinteraksi antar anggota kelompok dengan berbagai pengalaman,

pengetahuan, gagasan, ide-ide, yang nantinya diharapkan dapat menyelesaikan

masalahnya, selain itu juga diharapkan mampu mengatur dan mengelola

mengelola dirinya (Selfmanagement).Selfmanagement berarti mendorong diri

sendiri untuk maju, mengatur semua unsur kemampuan pribadi, mengendalikan

kemampuan untuk mencapai hal-hal yang baik, dan mengembangkan berbagai

segi dari kehidupan pribadi agar lebih sempurna (Gie, 2000: 77). Lebih lanjut Gie

menyatakan bahwa selfmanagement bagi siswa mencakup sekurang-kurannya 4

bentuk perbuatan sebagai berikut: (1) pendorongan diri (Sel fMotivation); (2)

penyusunan diri (Self Organization); (3) pengendalian diri (Self Control); (4)

pengembangan diri (Self Development).

Layanan bimbingan kelompok diasumsikan tepat dalam membantu

meningkatkan selfmanagement pada mahasiswa akhir. Layanan bimbingan

kelompok sebagai media dalam upaya membimbing individu yang memerlukan

bantuan dengan memanfaatkan dinami ka kelompok untuk mencapai tujuan

Bersama.Selfmanagement bermanfaat untuk merapikan diri individu seperti

pikiran, perasaan, perilaku individu dan juga lingkungan sekitarnya lebih

6
memahami apa yang menjadi prioritas, tidak membedakan dirinya dengan orang

lain. Menetapkan tujuan yang ingin dicapai dengan menyusun berbagai cara atau

langkah demi mencapai apa yang menjadi harapan dan belajar mengontrol diri

untuk merubah pikiran dan perilaku menjadi lebih baik dan efektif.

Manajemen diri berarti menempatkan segala sesuatu secara teratur dalam

hidup, dalam penggunaan waktu, pilihan, kepentingan, kegiatan, serta dalam

keseimbangan fisik dan mental. Ini juga berarti mendorong diri untuk maju,

mengatur semua unsur pribadi, mengendalikan potensi kemauan untuk mencapai

hal-hal yang baik, dan mengembangkan berbagai aspek kehidupan pribadi untuk

membuatnya lebih sempurna. Syarat pertama untuk semua mahasiswa untuk

mencapai tujuan pendidikan mereka adalah motivasi diri. Kedua, organisasi diri,

menyiapkan sebaik mungkin terhadap pikiran, tenaga, waktu, tempat, benda dan

semua sumber daya lainnya dalam kehidupan seseorang sehingga mahasiswa

mencapai efisiensi pribadi. Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon sarjana

yang diharapkan telah memiliki arah tujuannya dalam menjalankan tugas

perkembangan berikutnya dalam hidup yaitu dapat bekerja pada bidang pekerjaan

yang sesuai dengan minat dan kemampuannya (Lestari, 2013). Individu yang

sudah menempuh pendidikan tinggi diharapkan telah memperoleh kompetensi dan

keahlian untuk menentukan karirnya, Nile & Browlsbey (dalam Pratiwi & Akmal,

2018). Mahasiswa yang akan menjadi sarjana diharapkan sudah memiliki arah dan

tujuan yang pasti untuk karirnya kedepan yang sesuai dengan minat dan bidang

pekerjaanya. Tentunya dalam tahap ini, banya mahasiswa akhir yang mengalami

burn out,sehingga mengganggu aktifitas mereka di akhir semester.

7
Burn out adalah kondisi lelah dan frustasi disebabkan karena kehidupan

atau kegagalan mendapatkan sesuatu yang diharapkan.Individu yang awalnya

berkomitmen dengan pekerjaannya dan mengalami penurunan secara drastis.

Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan

timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu (a) faktor demografik

dan (b) faktor kepribadian. Rangkuman Sutjipto (2000) yang dirangkum dari

faktor-faktor burnout oleh Caputo, (1991); Maslach, (1982); Farber (1991) 1.

karakteristik individu (faktor demografik dan faktor kepribadian):

a. Faktor demogarafik. Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada

perbedaan peran jenis kelamin antara pria dan wanita, Sutjipto (2000) menemukan

bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan

wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan

pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu

menangani tekanan yang besar. Sutjipto (2000) menemukan bahwa pria yang

burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout

cenderung mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria cenderung

dibesarkan dengan nilai kemandirian sehingga diharapkan dapat bersikap tegas,

lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya, wanita dibesarkan lebih berorientasi

pada kepentingan orang lain (yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-

sikap yang diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing,

empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara dalam

membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis kelamin memiliki

kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya burn out. Seorang pria yang tidak

8
dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain akan

rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi

b. Faktor kepribadian Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan

terhadap burn out adalah individu yang idealis dan antusias (Rangkuman Sutjipto,

2000 yang dirangkum 18 dari teori Farber, 1991; Caputo, 1991; Maslach, 1982;

Pines dan Aronson, 1989). Mereka adalah individu-individu yang memiliki

sesuatu yang berharga. Sutjipto (2000) mencatat bahwa burnout lebih banyak

terjadi pada nilai dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita

pekerjaan mereka. Individuindividu ini, karena memiliki komitmen yang

berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat

kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa

gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri.

Sutjipto (2000) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri

rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan bahwa karakteristik individu

yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak percaya diri dan memiliki

penghargaan diri yang rendah. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut

sehingga menimbulkan sikap pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga

menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri.

Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan

perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak

berdaya dan apatis Sutjipto (2000). Karakteristik kepribadian berikutnya adalah

perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai

9
sangat sempurna sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan

untuk tampil sempurna tidak tercapai.

Memilih judul “Efektivitas layanan bimbingan kelompok dengan

tehnik self managemen untuk mengurangi burn out pada mahasiswa akhir”

Dikarenakan saya ingin menumbuhkan semangat pada mahasiswa akhir dan

mengurangi tekanan stress yang berlebihan dalam menyelesaikan tugasnya di

semester akhir.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas,maka permasalahan

yang dapat di angkat dari penelitian ini adalah:

1. Apakah bimbingan kelompok dengan menggunakan tehnik self

managemen dapat mengatasi burn out yang dialami mahasiswa akhir ?

2. Bagaimana pengaruh tekanan burn out pada mahasiswa akhir ?

1.3 Tujuan Umum

Tujuan penulisan pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh bimbingan kelompok

menggunakan tehnik self managemen dalam mengurangi tekanan burn out

pada mahasiswa tingkat akhir.

2. Mengetahui cara mengatasi burn out pada mahasiswa akhir

10
1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Dapat mengetahui efektivitas bimbingan kelompok dengan teknik self

managemen untuk mengurangi burn out pada mahasiswa akhir.

1.4.2 Manfaat praktis

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian tentang efektifitas layanan

bimbingan kelompok menggunakan tehnik self managemen untuk mengurangi

burn out pada mahasiswa akhir adalah:

a. Manfaat bagi penulis: Menjadi pedoman bagi penulis dalam

membimbing peserta didik serta dapat menambah wawasan ilmu

berupa pengalaman yang menjadi bekal untuk menjadi calon

konselor profesional.

b. Manfaat bagi mahasiswa: Mengembangkan ilmu pengetahuan

yang terkait dengan efektifitas layanan bimbingan kelompok

dengan tehnik self managemen untuk mengurangi burn out agar

dimasa yang akan datang mahasiswa dapat menyelesaiakan

tugasnya dengan baik.

c. Untuk sekolah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

bagi sekolah, kususnya pemberian layanan bimbingan kelompok

untuk meningkatkan efikasi diri dan dapat dijadikan sebagai acuan

terhadap manfaat dan pelaksanaan layanan konseling kelompok

secara optimal.

11
d. Untuk guru bimbingan dan konseling Dapat menambah wawasan

guru bk dalam melaksanakan layanan bimbingan terkait efikasi

diri, dapat dijadikan sebagai materi guru bk untuk memberikan

layanan yang tepat terhadap peserta didik sehingga layanan

bimbingan kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan efikasi

diri.

1.1 Definisi Operasional

Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah self managemen sebagai

variabel bebas dan burn out sebagai variabel terikat. Secara rinci dipaparkan

definisi operasional masing-masing variabel sebagai berikut:

1. Efektivitas

Efektifitas terhadap mahasiswa dalam ranah kehidupan untuk

meningkatkan self managemen dan mengurangi burn out dalam

menyelesaiakan tugas akhir.

2. Teknik self managemen

Teknik self managemen yang dimaksud pada penelitian adalah suatu

teknik bimbingan dan konseling yang diberikan oleh peneliti selaku

konselor kepada mahasiswa dalam setting kelompok melalui kolaborasi

antara konselor dan konseli untuk mencari solusi bersama, menumbuhkan

potensi dan sumber daya yang dimiliki konseli dengan menggunakan lima

strategi konseling yaitu exception questions, scaling questions, miracle

questions, coping questions dan goal setting question.

12
3. Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok dengan pemberian nasihat anjuran dan pembiacaraan

dengan bertukar pikiran dengan wawancara degan pengubahan tingkah

lakunya Berkaitan dengan kemampuan siswa untuk mengambil tindakan

yang konkret untuk mengurangi dampak stessor.Kemampuan mengatur

merupakan kemampuan siswa untuk menentukan mengendalikan situasi atau

keadaan, terhadap dirinya sendiri atau sesuatu di luar dirinya sendiri.

4. Burn out

Burn out adalah kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental karena

stres berlebihan dan berkepanjangan. Kondisi tersebut membuat seseorang jadi

kewalahan, kelelahan secara emosional, dan rasanya tidak mampu menjalankan

tanggung jawab keseharian. Saat stres berlanjut, orang yang burn out bisa

kehilangan minat dan motivasi pada semua hal.

13
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bimbingan kelompok

2.1.1 Pengertian Bimbingan

Secara etimologi kata bimbingan berasal dari bahasa Inggris

“Guidance” yang berarti pemberian petunjuk, pemberian bimbingan atau

tuntunan kepada orang lain yang membutuhkan.Pelayanan bimbingan

dilaksanakan oleh manusia ,untuk manusia dan oleh manusia.Dari

manusia, artinya pelayanan itu diselenggarakan berdasarkan hakikat

keberadaan manusia dengan segenap dimensi kemanusiaannya.Untuk

manusia,dimaksutkan bahwa pelayanan tersebut diselenggarakan demi

tujuan-tujuan yang agung,mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan

menuju manusia seutuhnya,baik manusia sebagai individu maupun

kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian bahwa penyelenggaran

kegiatan itu adalah manusia dengan segenap derajar, martabat dan

keunikan masing-masing.

Menurut smith,dalam McDaniel, 1959 mengemukakan bahwa

Bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individu-

individu guna membantu mereka memperoleh pengetahuan dan

keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihan-

pilihan,rencana-rencana, dan interprestasi yang diperlukan untuk

menyesuaikan diri yang baik. Sedangkan menurut Frank Parson, dalam

14
Jones, 1951 Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu

untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan

serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya. Menurut

Chilkolm, dalam McDaniel, 1959 Bimbingan membantu setiap individu

untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri.

Merangkum seluruh isi yang terdapat dalam semua rumusan

tentang bimbingan di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pokok

bimbingan sebagai berikut:

a. pelayanan bimbingan konseling merupakan suatu proses. Ini berarti

bahwa pelayanan bimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi,

melainkan liku-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang terjadi

dalam pelayanan ini.

b. Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan “bantuan” disisni

tidak diartikan sebagai bantuan material (seperti uang, hadiah,

sumbangan, dan lain-lain), melainkan bantuan yang bersifat

menunjang bagi pengembangan pribadi bagi individu yang

dibimbing.

c. Bantuan itu diberikan kepada individu baik perorangan maupun

kelompok. Saranan pelayanan bimbingan adalah orang yang

diberikan bantuan, baik orang secara individual maupun kelompok.

d. Pemecahan masalah dalam bimbingan dilakukan oleh dan atas

kekuatan klien itu sendiri. Dalam kaitan ini tujuan bimbingan adalah

memperkembangkan kemampuan klien (orang yang dibimbing)

15
untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya,

dan akhirnya dapat mencapai kemandirian.

e. Bimbingan tidak hanya diberikan kepada kelompok-kelompok unsur

tertentu saja, tetapi meliputi semua usia, mulai dari anak-anak, remaja

dan orang dewasa. Dengan demikian bimbingan dapat diberikan

kepada semua lingkungan kehidupan, di dalam keluarga, di sekolah,

dan di luar sekolah.

f. Bimbingan tidak selayaknya memaksa keinginan-keinginannya

kepada klien, karna klien mempunyai hak dan kewajiban untuk

menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri, sepanjang dia tidak

mencampuri hak- hak orang lain.

Berdasarkan butir-butir pokok tersebut maka yang dimaksut

dengan bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan

oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu,

baik anak- anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing

dapat mengembagkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri,

dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan

dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

2.1.2 Pengertian kelompok

Kelompok adalah individu yang hidup bersama dalam suatu ikatan,

serta terdapat dalam ikatan hidup bersama itu adanya interaksi dan

interrelasi sosial, serta organisasi antar anggota. Kelompk merupakan inti

kehidupan dalam masyarakat. Secara sosiologis kelompok adalah suatu

16
kumpulan dari orang orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi ,

dimana dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama.Menurut huky

(1987), kelompok merupakan suatu unit yang terdiri dari 2 orang atau

lebih, yang saling berinteraksi dan berkomunikasi.

2.1.3 Pengertian bimbingan kelompok

Bimbingan kelompok merupakan layanan yang diselenggarakan

dalam suasana kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok yang

meliputi segenap bidang bimbingan (Mugiarso, 2007: 69). Sedangkan

menurut Prayitno dan Amti (2004: 309). Bimbingan kelompok merupakan

salah satu teknik bimbingan yang berusaha membantu individu agar dapat

mencapai perkembangannya secara optimal sesuai dengan kemampuan,

bakat, minat, serta nilai-nilai yang dianutnya dan dilaksanakan dalam

situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah

timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi diri siswa

(Romlah, 2001: 3). Winkel & Hastuti (2004: 547), menjelaskan bahwa

bimbingan kelompok adalah kegiatan kelompok diskusi yang menunjang

perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing-masing individu-

individu dalam kelompok, serta meningkatkan mutu kerja sama dalam

kelompok guna aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan.

Bimbingan kelompok dapat diartikan sebagai suatu upaya bimbingan yang

dilakukan melalui situasi, proses dan kegiatan kelompok.

Sasaran bimbingan kelompok adalah individu-individu dalam

kelompok agar individu yang diberikan bimbingan mendapatkan

17
pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri

dalam menuju perkembangan optimal (Sedanayasa dkk. 2010: 30).

Sedangkan menurut Sukardi (2002: 48), bimbingan kelompok yaitu

layanan bimbingan yang memungkinkan sejumlah siswa secara bersama-

sama memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (pembimbing

atau konselor) yang bermanfaat untuk menunjang kehidupan sehari-hari

baik sebagai individu maupun pelajar, anggota keluarga, dan masyarakat

serta untuk pertimbangan dalam mengambil keputusan.Bimbingan

kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan pada suasana

kelompok (Prayitno, 2004: 309). Bimbingan kelompok merupakan

layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada individu untuk

membahas masalah atau topik umum secara luas dan mendalam yang

bermanfaat bagi anggota kelompok (Mungin, 2005: 38).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa bimbingan kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan

konseling yang diberikan kepada sejumlah individu dalam bentuk

kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas

topik tertentu yang dipimpin oleh pemimpin kelompok bertujuan

menunjang pemahaman, pengembangan dan pertimbangan pengambilan

keputusan atau tindakan individu.

18
2.1.4 Tujuan Bimbingan Kelompok

Tujuan bimbingan kelompok yaitu agar individu mampu

memberikan informasi seluas-luasnya kepada angota kelompok supaya

mereka dapat membuat rencana yang tepat serta membuat keputusan yang

memadai mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masa depan serta

cenderung bersifat pencegahan (Mungin, 2005:39). Tujuan yang ingin

dicapai dalam bimbingan kelompok yaitu penguasaan informasi untuk

tujuan yang lebih luas, pengembangan pribadi, dan pembahasan masalah

atau topik-topik umum secara luas dan mendalam yang bermanfaat bagi

para anggota kelompok (Prayitno, 2004: 310).

Secara umum bimbingan kelompok bertujuan untuk membantu

para siswa yang mengalami masalah melalui prosedur kelompok. Selain

itu bimbingan kelompok juga bertujuan untuk mengembangkan pribadi

masing-masing anggota kelompok melalui berbagai suasana yang muncul

dalam kegiatan ini, baik suasana yang menyenangkan maupun yang

menyedihkan. Sedangkan secara khusus bimbingan kelompok bertujuan

untuk:

a. melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat,

b. melatih siswa untuk bersikap terbuka,

c. melatih siswa untuk membina keakraban dengan teman-temannya,

d. melatih siswa untuk dapat mengendalikan diri,

e. melatih siswa untuk bersikap tenggang rasa,

f. melatih siswa untuk memperoleh keterampilan social, dan

19
g. melatih siswa untuk mengenali dan memahami dirinya (Amti,

1991: 108-109).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari bimbingan

kelompok adalah untuk melatih individu bersikap terbuka, mampu

berbicara dihadapan orang banyak, melatih siswa agar dapat mengambil

sikap, bertanggung jawab, mengambil keputusan, siswa mampu

mengembangkan perasaan, pikiran, serta memunculkan tingkah laku baru

yang lebih efektif sebagai fungsi pencegahan agar siswa tidak mengalami

permasalahan yang menjadi topik dalam bahasan bimbingan kelompok.

2.1.5   Fungsi Bimbingan Kelompok

Mugiharso (2011: 66), mengemukakan bahwa “fungsi utama

bimbingan yang didukung oleh layanan bimbingan kelompok ialah fungsi

pemahaman dan pengembangan.” Jadi, berdasarkan dua pendapat ahli

tersebut fungsi layanan bimbingan kelompok yaitu fungsi pemahaman dan

fungsi pengembangan.

Menurut Sukardi fungsi utama layanan bimbingan yang didukung

oleh bimbingan kelompok ada dua, yaitu fungsi pemahaman dan

pengembangan dengan penjabaran sebagai berikut.

1. Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling

membantu konseli agar memiliki pemamhaman terhadap

dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan,

dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini konseli

diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara

20
optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara

dinamis dan konstruktif.

2. Fungsi pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling

yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya.

Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan

belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan

konseli. Konselor dan personel Sekolah lainnya secara sinergi

sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerja sama

merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara

sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu

konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya.

Menurut Wibowo (2005: 163), fungsi utama bimbingan dan

konseling yang didukung oleh layanan bimbingan kelompok ialah fungsi

pemahaman dan pengembangan. Fungsi pemahaman yaitu fungsi

bimbingan dan konseling yang menghasilkan pemahaman peserta didik

terhadap diri sendiri dan pemahaman terhadap lingkungan sosial peserta

didik.

Fungsi pengembangan yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang

akan menghasilkan terpelihara dan terkembangkannya berbagai potensi

dan kondisi positif peserta didik dalam rangka pengembangan dirinya

secara mantap berkelanjutan. Layanan bimbingan kelompok harus

dipimpin oleh pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok adalah konselor

21
yang terlatih dan berwenang menyelenggarakan praktik pelayanan

bimbingan dan konseling (Tohirin, 2007: 170).

2.1.6 Manfaat Konseling Kelompok

Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam

pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam artian konseling

kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada individu

untuk membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi

secara maksimal sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan

penguatan dari kelompok, konseli bisa terdorong untuk melakukan

eksplorasi potensi diri maupun kelemahannya. Konseling kelompok

dapat menyediakan rasa aman yang dibutuhkan anggota kelompok

untuk secara spontan dan bebas berinteraksi dan mengambil resiko

sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk saling berbagi

pengalaman dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa

(N. Lubis, 2014).

Konseling kelompok dapat memberikan individu berbagai

macam pengalaman kelompok yang membantu mereka belajar

berfungsi secara efektif, mengembangkan toleransi terhadap stress

dan kecemasan, dan menemukan kepuasan bersama dalam bekerja

dan hidup bersama orang lain. Melalui kelompok, dengan kontak

kelompok membawa individu pada kesadaran diri bahwa ada cara

pandang yang berbeda dengan dirinya mengenai dirinya sendiri, dan

reaksi kelompok dapat membawa seseorang mempertimbangkan

22
persepsi lain dari dirinya. Ini terjadi dengan kesadaran yang tulus,

yang difasilitasi oleh interaksi kelompok. Melalui interaksi dengan

anggota kelompok, individu juga akan mengembangkan berbagai

keterampilan yang pada intinya meningkatkan kepercayaan diri,

kepercayaan terhadap orang lain, dan bagaimana berfikir positif

terhadap orang dan persoalan-persoalan yang dihadapinya (Sukardi,

2008)..

2.1.7Asas-asas Bimbingan Kelompok

Penyelenggaraan layanan bimbingan kelompok dituntut untuk

memenuhi sejumlah asas-asas bimbingan kelompok. Pemenuhan asas-asas

bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin

keberhasilan kegiatan. Apabila asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik,

maka penyelenggaraan bimbingan kelompok akan berjalan tersendat-

sendat atau bahkan terhenti sama sekali. Menurut Prayitno asas-asas dalam

bimbingan kelompok meliputi:Asas keterbukaan, asas bimbingan

kelompok yang menghendaki agar anggota kelompok untuk bersikap

terbuka dalam memberikan informasi.

1. Asas kesukarelaan, asas bimbingan kelompok yang

menghendaki para peserta anggota kelompok untuk

sukarela dalam mengikuti kegiatan.

2. Asas kekinian, yaitu segala sesuati yang terjadi dalam

bimbingan kelompok topik bahasan bersifat sekarang

maupun masa terjadinya.

23
3. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki tata

karma dan cara berkomunikasi yang baik dan masih

dalam batas norma yang berlaku (2004: 14-15).

Di samping itu, terdapat beberapa asas lainnya dalam penyelenggaraan

layanan bimbingan kelompok, seperti asas keahlian; yaitu asas yang

menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling

diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.

2.2 Self managemen

2.2.1 Pengertian self managemen

Self management adalah suatu proses dimana konseli mengarahkan

perubahan tingkah laku mereka sendiri, dengan menggunakan satu strategi

atau kombinasi strategi. Konseli harus aktif menggerakkan variabel

internal, eksternal, untuk melakukan perubahan yang diinginkan.

Walaupun konselor yang mendorong dan melatih prosedur ini, konselilah

yang mengontrol pelaksanaan strategi ini. Dalam menggunakan prosedur

self management, konseli mengarahkan usaha perubahan dengan

mengubah aspek-aspek lingkungannya atau dengan mengatur konsekuensi.

Dalam bahasa Indonesia: self management adalah suatu proses di

mana klien mengubah perilaku mereka sendiri secara langsung dengan

menggunakan satu strategi atau kombinasi beberapa strategi. Selanjutnya

Nursalim, dkk, menyatakan pengelolaan diri adalah suatu proses dimana

klien mengarahkan perubahan tingkah laku mereka sendiri, dengan

menggunakan satu strategi atau kombinasi strategi dan berdasarkan kamus

24
yang disusun self management adalah menunjuk pada suatu teknik dalam

terapi Kognitif Behavioral berlandaskan pada teori belajar yang dirancang

untuk membantu para klien mengontrol dan mengubah tingkah lakunya

sendiri ke arah tingkah laku yang lebih efektif, sering dipadukan dengan

ganjar diri (self reward)

Self management melibatkan pemantauan diri, penguatan yang

positif, kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri dan penguasaan

terhadap rangsangan. Self management atau pengelolaan diri merupakan

suatu strategi pengubahan perilaku yang bertujuan untuk mengarahkan

perilaku seseorang dengan suatu teknik atau kombinasi teknik terapeutik.

Self management berkenaan dengan kesadaran dan keterampilan untuk

mengatur keadaan sekitarnya yang mempengaruhi tingkah laku individu.

Selfmanagement adalah suatu proses dimana klien mengarahkan sendiri

pengubahan perilakunya dengan satu strategi atau gabungan strategi.

Selfmanagement bertujuan untuk membantu konseli menyelesaikan

masalah, teknik ini menekankan pada perubahan tingkah laku konseli yang

dianggap merugikan orang lain. Self management merupakan upaya

individu untuk melakukan perencanaan, pemusatan perhatian, dan evaluasi

terhadap aktivitas yang dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan

psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan

dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam

mencapai tujuannya. Pada dasarnya, pengelolaan diri terjadi ketika

25
seseorang terlibat dalam satu perilaku dan mengendalikan terjadinya

perilaku lain (perilaku sasaran) dikemudian waktunya.

Self management melibatkan adanya perilaku pengendali dan

perilaku yang terkendali. Dalam perilaku pengendali melibatkan

penerapan strategi pengelolaan diri dimana anteseden dan konsekuensi

dari perilaku terget atau perilaku alternatif yang akan dimodifikasi.

Selfmanagement merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku,

pikiran, dan perasaan Berdasarkan uraian di atas, self management

merupakan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantauan

diri (self monitoring), reinforcement yang positif (self reward), perjanjian

dengan diri sendiri (self contracting), penguasaan terhadap rangsangan

(stimulus control) dan merupakan keterkaitan antara teknik cognitive,

behavior, serta affective dengan susunan sistematis berdasarkan kaidah

pendekatan cognitive behavior therapy, digunakan untuk meningkatkan

keterampilan siswa dalam proses kematangan karir yang diharapkan

Adapun tahap-tahap dalam self management sebagai berikut:

1. Konseli mengidentifikasi dan mencatat sasaran perilaku dan

mengontrol penyebab serta akibatnya.

2. Konseli mengidentifikasi perilaku yang diharapkan arah

perubahannya.

3. Konseli menjelaskan kemungkinan strategi pengelolaan diri (self

management).

4. Konseli memilih satu atau lebih strategi self management.

26
5. Konseli menyatakan secara verbal persetujuan untuk

menggunakan strategi self management.

6. Konselor memberikan instruksi dan model strategi yang dipilih.

7. Konseli mengulang pemahaman strategi yang dipilih.

8. Konseli menggunakan strategi yang dipilih.

9. Konseli mencatat penggunaan strategi serta tingkat perilaku

sasaran.

10. Data konseli diperiksa oleh konselor bersama konseli dan konseli

melanjutkan atau membuat revisi program.

11. Membuat catatan dan penyajian data pada diri sendiri dan penguat

demi kemajuan

2.2.2 Karakteristik self managemen

Self managemen adalah prosedur yang menuntut individu

untuk mengarahkan atau mengatur tingkah lakunya sendiri secara

jelas, terukur dan berubah menjadi lebih baik. Self managemen

dapat membantu seseorang menyelesaikan masalah, mengajarkan

bagaimana cara mengelola segala kondisi yang dihadapi serta

bagaimana mereka mengatur kehidupannya dalam bersikap dan

berperilaku yang efektif di lingkungan tempat tinggalnya.

A. Tahap-Tahap Pengelolaan Diri (Self Management)

Menurut Sukadji ada beberapa langkah dalam pengelolaan

diri adalah sebagai berikut:

27
a. Tahap monitor diri (self monitoring) atau observasi diri Pada

tahap ini konseli dengan sengaja mengamati tingkah lakunya

sendiri serta mencatatnya dengan teliti. Catatan ini dapat

menggunakan dafase cek atau catatan observasi kualitatif. Hal-

hal yang perlu diperhatikan oleh konseli dalam mencatat tingkah

laku adalah frekuaensi, intensitas, dan durasi tingkah laku.

b. Tahap evaluasi diri (self evaluation) Pada tahap ini konseli

membandingkan hasil catatan tingkah laku dengan target tingkah

laku yang telah dibuat oleh konseli. Perbandingan ini bertujuan

untuk mengevaluasi efektifitas dan efisiensi program. Bila

program tersebut tidak berhasil, maka perlu ditinjau kembali

program tersebut, apakah target tingkah laku yang diterapkan

memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, perilaku yang

ditargetkan tidak cocok, atau penguatan yang diberikan tidak

sesuai

c. Tahap pemberian penguatan, penghapusan atau hukuman (self

reinforcement) Pada tahap ini konseli mengatur dirinya sendiri,

memberikan penguatan, menghapus dan memberikan hukuman

pada diri sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang paling sulit

karena membutuhkan kemauan yang kuat dari konseli untuk

melaksanakan program yang telah dibuat secara kontinyu.

d. Target Behavior Dalam asesmen behavioral, menunjuk pada

tingkah laku spesifik yang diamati, diidentifikasi, dan di ukur

28
dengan maksud selaku upaya pengubahan tingkah laku dalam

kaitannya dengan lingkungan.

B. Aspek-aspek self managemen

Menurut gie (1995), self managemen atau managemen diri

memiliki beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:

a. Pendorong diri ( self Motivation )

Pendorong diri ( self managemen ) merupakan adanya dorongan dalam diri

seseorang yang bisa menambah semangat sehingga nantinya seseorang

dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan yang

diinginkan . Dengan adanyna dorongan diri pada individu itu sendiri, maka

dalam diri individu akan tumbuh minat dan keinginan kuat untuk

memperoleh kesenangan atau sesuatu yang diinginkan.

b. Penyusun Diri (Self Organization )

Penyusun diri ( self Organization ) adalah sebuah aturan terhadap segala

sesuatu yang berkaitan dengan diri seseorang sehingga tercapainya

efisiensi dalam kehidupan individu. Dapat dikatakan juga sebagai

perorganisasia diri. Jadi individu mampu mengatur segala sesuatu yang

berkaitan dengan pikiran, tenaga, waktu maupun lainnya yang dapat

membantu pembentukan self management.

c. Pengendalian Diri ( Self control )

Pengendalian Diri ( Self control ) adalah suatu kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar sehingga

dapat tercapainya sebuah keinginanserta tidak merugikan orang lain.

29
d. Pengembangan diri (Self develompment )

Pengembangan diri (Self develompment ) adalah suatu kegiatan untuk

meningkatkan kesadaran diri untuk mengembangkan sebuah potensi.

Dengan adanya pengembangan diri seseorang dapat meningkatkan

kemampuan dan potensi yang dimilikinya.

2.3 Burn out

2.3.1 Pengertian burn out

Burn out adalah kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental

karena stres berlebihan dan berkepanjangan. Kondisi tersebut membuat

seseorang jadi kewalahan, kelelahan secara emosional, dan rasanya tidak

mampu menjalankan tanggung jawab keseharian. Saat stres berlanjut,

orang yang burn out bisa kehilangan minat dan motivasi pada semua hal.

Selain mengurangi produktivitas dan menguras energi, burn out juga bisa

membuat seseorang sinis memandang hidup sampai akhirnya merasa tidak

bisa apa-apa. Efek negatif burn out lainnya juga bisa merembet ke segala

aspek kehidupan seperti kehidupan pribadi di rumah, pekerjaan, sampai

hubungan dengan orang sekitar. Tak hanya kesehatan mental, kesehatan

fisik lama-lama jadi terpengaruh. Orang yang sudah di level burn out jadi

gampang sakit, rentan terkena penyakit jantung, dan diabetes. Berbeda

dengan penyakit lain yang muncul tiba-tiba, burn out terjadi setelah

melewati beberapa tahapan.

30
2.3.2 Ciri-Ciri Burn out

Setiap orang tentu pernah merasa kelelahan dan stres dalam bekerja.

Akan tetapi, seorang yang mengalami burn out cenderung akan merasakan

atau menampakkan ciri-ciri berikut ini:

1. Hilangnya semangat bekerja dan kelelahan

Salah satu ciri burn out adalah hilangnya semangat bekerja dan minat

terhadap pekerjaan yang sedang dikerjakan. Tetap bekerja tanpa adanya

semangat dapat menguras banyak energi sehingga memicu kelelahan.

2. Benci dengan pekerjaan yang digeluti

Burn out bisa menyebabkan stres dan frustrasi saat bekerja. Ini membuat

seseorang menjadi sulit berkonsentrasi, merasa tidak kompetenterbebani,

dan akhirnya membenci pekerjaan yang sedang ia geluti.

3. Performa kerja menurun

Burn out juga bisa menyebabkan performa kerja menurun. Hal ini dipicu

oleh hilangnya minat terhadap pekerjaan yang sedang digeluti, sehingga

hasil yang didapat menjadi kurang memuaskan.

4. Mudah marah

Orang yang sedang merasakan burn out cenderung akan mudah untuk

marah, apalagi jika semuanya tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi.

Ditambah lagi, performa kerja yang menurun dapat menyebabkan

pekerjaan terus menumpuk. Hal ini dapat memicu stres dan emosi yang

membuat penderita burn out jadi lebih sensitif.

31
5. Menarik diri dari lingkungan social

Stres dan frustrasi akan pekerjaan membuat penderita burn out bersikap

sinis terhadap orang-orang yang bekerja dengan mereka. Pekerjaan yang

digelutinya dianggap sebagai beban hidup sehingga membuat mereka

enggan atau berhenti bersosialisasi dengan rekan kerja, teman, maupun

anggota keluarga yang terlibat dalam pekerjaan tersebut.

6. Mudah sakit

 yang terjadi secara berkepanjangan atau tidak diatasi dengan baik dapat

membuat imunitas tubuh menurun. Kondisi ini dapat membuat seseorang

rentan terkena flu, pilek, sakit kepala, dan sakit perut. Selain itu, risiko

untuk alami gangguan tidur, gangguan kecemasan, dan depresi dapat

meningkat.

2.3.3 Faktor-faktor Burn out

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Burn out

Faktor –faktor yang mempengaruhi Burn out terdiri dari lima faktor

(Schaufeli dan Buunk, 2003). Sebagai berikut:

a. Banyaknya tuntutan pekerjaan (quantitative job demands) Pekerja yang

mengalami kelebihan pekerjaan dan tekanan waktu berakibat pada kelelahan

emosional. Tuntutan pekerjaan dapat dijelaskan seperti jumlah jam kerja,

intensitas kontak langsung dengan penerima layanan, beban kasus penerima

layanan dan rumitnya permasalahan yang dihadapi penerima layanan.

b. Permasalahan peran (role problems) Konflik peran dan ambiguitas peran

sering berhubungan dengan terjadinya burnout. Role conflict terjadi ketika

32
tuntutan pekerjaan dalam waktu bersamaan tidak dapat dipertemukan. Sedangkan

role ambiguity terjadi ketika pekerja memiliki peran ganda yang harus dilakukan

secara bersamaan dalam pekerjaannya. Serta pekerja kurang memiliki informasi

untuk setiap peran yang harus dilaksanakan sehingga timbul ambigu pekerja

dalam melaksanakan pekerjaannya.

c. Kurangnya dukungan sosial (lack of social support) Dukungan sosial

berfungsi menahan dampak stressors. Pekerja yang menerima banyak dukungan

sosial akan lebih mampu untuk menanggulangi tuntutan pekerjaan. Sumber

dukungan sosial dapat diperoleh dari atasan, rekan kerja, teman, komunitas,

keluarga, peer dan team.

d. Kurangnya aktivitas regulasi diri (lack of self-regulatory activity)

Aktivitas regulasi diri berperan bagi pekerja dalam mencapai tujuan pekerjaannya.

Kurangnya aktivitas regulasi diri ini menyebabkan pekerja mengalami burnout.

Bagi pekerja aktivitas regulasi diri ini terlihat seperti sikap otonom yang dimiliki

pekerja terhadap pekerjaannya, pekerja terlibat dalam proses pembuatan

keputusan terkait pekerjaannya, dan pekerja mendapatkan feedback yang

membangun atas pekerjaan yang telah dilakukan.

e. Berhubungan dengan tuntutan klien (client-related demands) Kondisi

pekerjaan pada sektor human service yang tidak dielakkan adalah tingginya

interaksi dengan klien yang bermasalah, frekuensi kontak dengan klien dalam

kondisi kronis atau sakit parah, klien dalam kondisi kritis atau kematian klien

menyebabkan pekerja terlibat secara emosional dalam menghadapi klien tersebut.

Dalam jangka waktu lama kondisi ini dapat menjadi penyebab pekerja mengalami

33
burnout. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan

faktor-faktor yang mempengaruhi burnout adalah banyaknya tuntutan pekerjaan,

permasalahan peran, kurangnya dukungan sosial, kurangnya aktivitas regulasi

diri, dan berhubungan dengan tuntutan klien.

Faktor dampak negatif burn out

a. Emosi Negatif Perasaan frustasi, marah, ketidakpuasan dan kegelisahan

merupakan bagian normal dari kehidupan bekerja. Akan tetapi pada staf

perustakaan yang terperangkap dalam siklus burnout emosi negative ini lebih

sering terjadi sehingga lama kelamaan menjadi kronis. Dalam tahap-tahap

selanjutnya terlihat kecemasan, rasa bersalah, ketakutan yang kemudian menjadi

depresi. Kemurungan dan mudah marah juga merupakan tanda-tanda burnout.

b. Frustasi Perasaan frustasi di dunia kerja dalam sebagian besar waktu

bekerja dan dalam melaksanakan tanggungjawab pekerjaan merupakan gejala

awal burnout. Namun, banyak korban burnout menyalahkan diri sendiri dengan

menunjukkan mereka frustasi atas kegagalan mereka sendiri.

c. Depresi Perasaan depresi mendalam hampir sama dengan kelelahan

emosional dan spiritual dimana staf perpusatkaan merasa seperti kehabisan energi.

Depresi terjadi sebagai respon terhadap situasi pekerjaan, hal itu dapat menjadi

masalah dalam diri staf perpustakaan yang menyebabkan gangguan kesehatan

yang memburuk dan penampilan kerja yang juga buruk.

d. Masalah kesehatan Pengendalian emosi korban burn out memburuk,

ketahanan fisik mereka juga menurun. Mereka juga tampaknya berada dalam

34
keadaan tegang atau stress kronis, lebih sering terkena penyakit ringan, seperti

pilek, sakit kepala, insomnia, serta masalah kesehatan serius lainnya.

e. Kinerja menurun Kinerja menurun mengakibatkan bekerja menjadi lebih

menyakitkan dan kurang menguntungkan, absensi juga akan meningkat, selain itu

staf perustakaan yang terkena burn out sering mengalami kondisi emosional.

Tinggal menunggu waktu saja sampai terjadi penurunan yang cukup besar dalam

kualitas kinerja. Hasilnya adalah penurunan produktivitas.

2.3.4 Dampak Faktor Burn Out Pada Mahasiswa Akhir

Dampak dari burn out akademik pada mahasiswa pun kemudian dapat

terasakan dari keadaan mental mahasiswa dan keseharian yang dirasakan oleh

mahasiswa. Hal ini kemudian menjadikan mahasiswa merasakan perubahan dalam

dirinya yang selanjutnya ia harus menyesuaikan perubahan tersebut. Pada keadaan

mentalnya, partisipan juga merasakan adanya perubahan seperti mudah untuk

takut, lebih emosional, iri terhadap mahasiswa lainnya, dan sebagainya. Penelitian

dari Fajriani & Septiari (2015) memaparkan bahwa beban pekerjaan dapat

digambarkan sebbagai konstruk mental yang kemudian akan mencerminkan

ketegangan mental akibat dari melakukan tugas di bawah kondisi tertentu. Selain

kepada keadaan mental, hal ini juga kemudian berpengaruh kepada keseharian

yang dialami oleh mahasiswa. Pada partisipan, mereka merasakan bahwa terjadi

perubahan-perubahan pada diri mereka seperti hilangnya keinginan untuk

melakukan rutinitas, pola kehidupan yang berubah, hingga pola tidur yang

berubah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Mashuri et al.

(2022) bahwa burn out dapat berpengaruh kepada keseharian seseorang.

35
Mahasiswa akhir merasa lelah dan jenuh secara fisik sebagai akibat

tuntutan pekerjaan yang meningkat. Burn out akademik dapat menimbulkan

perilaku negatif pada mahasiswa, diantaranya adalah keengganan untuk

mengerjakan tugas kuliah, berekspresi negatif, tidak mengikuti perkuliahan,

menurunkan motivasi, drop out dan sebagainya.

Dari faktor yang menyebabkan burnout, kemudian memberikan dampak

kepada keadaan mental dari mahasiswa seperti perubahan emosi, merasa cemas,

dan adanya upaya menyakiti diri. Selain itu, keseharian pada mahasiswa pun

berubah seperti waktu tidur yang terganggu hingga kurangnya aktivitas rutin

seperti berolahraga. Dalam mengatasi burnout, terdapat beberapa strategi seperti

melalui internal pribadi yaitu mencintai diri sendiri, melakukan self rewards, dan

menghindari stressor. Untuk bantuan eksternal melalui bertemu dengan kerabat

dekat dan menghubungi tenaga ahli yang mampu meredam burn out yang dimiliki

oleh mahasiswa.

Dalam layanan bimbingan kelompok tehnik mengurangi burn out pada

mahasiswa akhir dengan cara dilakukan baik melalui internal diri maupun melalui

bantuan dari pihak eksternal. Perlunya usaha komprehensif dalam mengurangi

burnout agar dapat meningkatkan kualitas hidup, Faktor internal dalam diri sendiri

dapat berupa self-reward, penyemangat dari diri sendiri, dan melakukan usaha-

usaha untuk menghindari stressor. Faktor eksternal dari orang lain dapat berupa

hiburan maupun menghubungi tenaga ahli seperti psikolog ataupun psikiatri jika

dirasa sangat dibutuhkan.

2.3.5 Cara Mengatasi Burn out

36
Burn out yang tidak teratasi dengan baik dapat berdampak buruk terhadap

kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, jika gejala atau ciri-

ciri burnout muncul, Anda disarankan untuk mengatasinya dengan langkah-

langkah berikut ini:

1. Buat prioritas Buatlah prioritas

pekerjaan dari yang penting ke yang kurang penting. Dengan begitu,

Anda tahu mana yang perlu dikerjakan terlebih dahulu, sehingga energi

yang terkuras tidak terlalu banyak.

2. Bicarakan dengan atasan

Komunikasikan dengan atasan mengenai kerisauan yang Anda rasakan.

Saat Anda diberikan pekerjaan yang terlalu banyak, ungkapkan bahwa

pekerjaan tersebut membuat Anda terbebani dan membutuhkan bantuan

orang lain untuk menyelesaikannya. Jika atasan Anda yang menjadi

pemicu burnout di tempat kerja, coba ajak bicara bagian departemen

sumber daya manusia (HRD) mengenai hal tersebut. Mereka mungkin

akan mencarikan solusi yang tepat, misalnya memindahkan Anda ke tim

yang lain.

3. Kurangi ekspektasi dan berikan apresiasi terhadap diri sendiri

Atur pola pikir dan bersikaplah realistis, sehingga Anda dapat

menurunkan ekspektasi terhadap pekerjaan yang tengah dikerjakan.

Dengan begitu, kecemasan dan stres di tempat kerja dapat berkurang.

Selain itu, jangan lupa untuk memberi apresiasi terhadap diri sendiri

terhadap prestasi yang pernah dicapai.

37
4. Ceritakan kepada orang yang dapat dipercaya

Coba ceritakan apa yang Anda rasakan kepada orang-orang terdekat yang

dapat Anda percaya. Meski tidak selalu mendapatkan solusi, cara ini dapat

membantu melepaskan emosi negatif dan mengurangi stres pekerjaan.

5. Jaga keseimbangan hidup Jaga keseimbangan hidup dengan baik.

Anda juga perlu untuk bersantai dan melupakan pekerjaan sejenak dengan

pergi bersama teman atau melakukan hal yang disukai seusai jam kerja

berakhir. Ini dapat membuat pikiran kembali jernih dan Anda siap untuk

bekerja kembali keesokan harinya. Jika memungkinkan, ambil cuti

dan pergilah berlibur, karena ini juga dapat membuat pikiran Anda

kembali jernih, semangat, dan termotivasi kembali.

6. Ubah gaya hidup

Terapkan gaya hidup sehat dengan cara mengonsumsi makanan sehat,

rutin berolahraga, dan tidur yang cukup. Hal-hal ini dapat mendukung

tubuh yang sehat dan pikiran yang lebih mudah fokus, sehingga

menurunkan risiko terjadinya burn out.

Selain itu, Anda juga bisa mencoba mencari hobi baru atau melakukan hal-

hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengatasi burnout.

Burnout dalam pekerjaan tidak hanya berpengaruh pada hasil kerja Anda, tapi

juga dapat meregangkan hubungan dengan orang-orang di sekitar Anda dan

menurunkan kesehatan Anda.

Oleh karena itu, apabila ciri-ciri burn out muncul, segera atasi dengan cara-

cara di atas. Jika cara tersebut telah diterapkan tapi Anda masih tetap

38
mengalami burnout, coba berkonsultasi kepada psikolog untuk mendapatkan

penanganan yang tepat .

2.4 Mahasiswa tingkat akhir

2.4.1 Pengertian mahasiswa tingkat akhir

Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon sarjana yang diharapkan telah

memiliki arah tujuannya dalam menjalankan tugas perkembangan berikutnya

dalam hidup yaitu dapat bekerja pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat

dan kemampuannya (Lestari, 2013). Individu yang sudah menempuh pendidikan

tinggi diharapkan telah memperoleh kompetensi dan keahlian untuk menentukan

karirnya, Nile & Browlsbey (dalam Pratiwi & Akmal, 2018). Mahasiswa yang

akan menjadi sarjana diharapkan sudah memiliki arah dan tujuan yang pasti untuk

karirnya kedepan yang sesuai dengan minat dan bidang pekerjaanya. Mahasiswa

merupakan individu yang sedang menjalani dalam perkembangan dewasa awal,

yang dimana mereka secara garis besar merupakan individu yang ada dalam usia

18-25 tahun (Umma, 2016). Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa

awal adalah mempersiapkan karirnya. Mahasiswa diharapkan mampu menentukan

karir untuk ditekuni dikemudian hari dan mulai mempersiapkan diri, baik dalam

hal pendidikan ataupun keterampilan yang relevan dengan karir yang dipilih

(Malik, 2015).

Dalam hal ini mahasiswa harus memiliki kematangan karir yang optimal

karena mahasiswa setelah lulus tidak dapat menghindari pemilihan pekerjaan,

mempertimbangkan dan memprediksikan suatu pekerjaan yang akan menjadi

proses karirnya untuk jangka panjang dimasa depan. Menurut Yost & Corbishly

39
(dalam Saifuddin, 2018) kematangan karir adalah keberhasilan dan kesuksesan

individu dalam negosiasi terhadap tugas-tugas perkembangan dalam

mempersiapkan karir serta mengambil keputusan yang sesuai dengan usia (age-

appropriate) dan tahapan (stage-apropriate). Menurut Super (dalam Ayuni, 2015)

dikatakan matang atau siap untuk membuat keputusan karir jika pengetahuan yang

dimilikinya untuk karir didukung oleh informasi yang akurat mengenai pekerjaan

berdasarkan eksplorasi diri yang telah dilakukan.

Mahasiswa dengan kematangan karir yang rendah akan merasa

kebigungan dalam menentukan karirnya (Hendayani & Abdullah, 2018). Hasil

observasi dan wawancara yang dilakukan mahasiswa terlihat saling berdiskusi

terkait perencanaan setelah lulus dari perguruan tinggi beberapa mahasiswa

menyatakan bahwa masih merasa bingung setelah lulus dari jenjang S1 akan

melanjutkan kemana sehingga sampai saat ini mahasiswa sedang menyelesaikan

tugas akhirnya belum mengetahui keahlian apa yang dimiliki dan harus

ditingkatkan. Hal tersebut disebabkan saat memilih perkuliahan sebelumnya

mendapat informasi dan saran dari teman atau 3 saudaranya dan juga karena

melihat figur orang – orang terdekat apabila kuliah dijurusan tersebut maka akan

mendapatkan pekerjaan yang baik dan sukses.

Mahasiswa memilih perkuliahan tanpa mengetahui informasi lebih

mengenai prodi yang di pilih serta bidang pekerjaan yang sesuai dengan prodi

yang dipilih sehingga mahasiswa kesulitan untuk merencanakan karirnya kedepan.

Mahasiswa hanya mengetahui apabila jurusan perkulihannya hanya memiliki

sedikit alternatif pilihan pekerjaan, menurut mahasiswa pilihan pekerjaan tersebut

40
sudah banyak pesaing yang membuat mahasiswa kurang percaya diri untuk bisa

mendapatkan pekerjaan tersebut sehingga mahasiswa tidak tahu akan bekerja apa

lagi, hal tersebut menandakan bahwa mahasiswa kurang informasi mengenai

pekerjaan lain yang sesuai dengan bidang, minat, kompentsinya sehingga

membuat mahasiswa ketika nantinya lulus akan memilih bekerja apa saja yang

terpenting bisa memenuhi kebutuhan dan mahasiswa tidak menjadi pengangguran.

Alasan lain yang di ungkapkan oleh mahasiswa adalah tututan orang tua yang

mengharuskan mahasiswa bekerja sesuai dengan keinginan orang tuanya. Namun

pekerjaan yang di tuntut oleh orang tua tidak sesuai dengan minat mahasiswa

karena sebenarnya mahasiswa sudah memiliki pilihan pekerjaan yang sesuai

dengan minat dan kompentensi yang dimilikinya.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Leong (dalam

Pratiwi dkk, 2018) bahwa pemuda Asia – Amerika memilih pekerjaan disesuaikan

dengan persetujuan yang diberikan oleh orang tua. Hasil observasi dan wawancara

menggambarkan bahwa mahasiswa semester akhir masih merasa kebingungan

dalam perencanaan karirnya. Career 4 Indecision didefinisiskan sebagai

ketidakmampuan seorang individu untuk memilih suatu pekerjaan, Osipow

(dalam Peng, 2012). Ketika mahasiswa tingkat akhir mengalami career indecision,

hal tersebut dapat berdampak kepada performa mereka ketika sudah bekerja

(Pratiwi & Akmal, 2018). Gianakos (dalam Pratiwi & Akmal) mengemukakan

ketidakmampuan menentukan pilihan karir atau kebimbangan karir banyak

dialami oleh mahasiswa yang itu disebabkan oleh kurang proaktif dalam mencari

41
berbagai informasi karir atau dengan kata lain kurang eksplorasi dan minim

perencanaan sehingga tidak dapat menentukan pilihan karir yang tepat.

2.4.2 Problematika yang Sering Dialami Mahasiswa Tingkat Akhir

Pada umumnya, seorang mahasiswa bisa diharapkan untuk lulus tepat

waktu. Namun sayang, ada beberapa mahasiswa yang justru harus menambah

semester lantaran alasannya masing-masing. Salah satu yang biasanya menjadi

faktor utamanya adalah kesulitan menyelesaikan skripsi. Berkenaan dengan itu,

berikut ini beberapa problematika yang sering dialami mahasiswa tingkat akhir.

1. Kesulitan dalam menemukan topik skripsi, Sebelum memasuki semester

akhir, biasanya para mahasiswa disibukan dengan mencari penelitian tugas

akhir untuk diserahkan pada bagian akademik. Mungkin ada sebagian

mahasiswa yang mampu mendapat topik penelitian dengan cepat dan

mudah. Namun, ada sebagian lagi justru kesulitan mendapatkannya.Pada

dasarnya, topik skripsi adalah langkah awal yang patut diperhatikan

dengan jeli. Jadi, tidak heran banyak mahasiswa yang harus berkali-kali

ganti judul skripsi karena belum disetujui oleh ketua jurusannya. Skripsi

jadi terhambat lantaran terlalu banyak revisi dari pembimbing Kalau sudah

masuk pengerjaan skripsi, mahasiswa tentu dituntut aktif berkomunikasi

dengan dosen pembimbingnya masing-masing. Namun, pengerjaannya

akan terhambat jika dosen pembimbingnya suka slow response. Terlebih

lagi, kampus memiliki kebijakan tentang harus adanya dua dosen

pembimbing. Akan sungguh memusingkan apabila kedua dosen tersebut

sering kali memberi saran yang berlainan.

42
2. Kesulitan dalam memperoleh data penelitian, Meskipun judul sudah

diterima, tentu akan menemukan kesulitan lainnya terutama memperoleh

data penelitian. Sudah banyak cata untuk menemukannya. Namun,

solusinya belum saja ditemukan. Terlebih lagi, topik penelitian

membutuhkan referensi buku dan jurnal yang jarang ditemukan. Nah, hal

inilah yang membuat mental mahasiswa suka down dan tidak ada gairah

untuk mengerjakan skripsi.

3. Mendapatkan tekanan dari banyak pihak, Konsekuensi ketika tidak dapat

lulus tepat waktu adalah tetap perlu membayar uang kuliah untuk kenaikan

tingkat lagi. Apalagi, biaya kuliah selama ini masih ditanggung

orangtua.Tentu rasa bersalah kepada mereka bisa muncul. Terlebih lagi,

banyak tekanan dari orangtua, saudara, bahkan tetangga yang terus-

menerus menanyakan kelanjutan studimu yang belum juga selesai.

43
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian eksperimen.

Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang

dilakukan atau dilaksanakan berdasarkan eksperimen atau berdasarkan percobaan.

Eksperiment menunjukkan pada suatu uapaya sengaja dalam memodifikasi

kondisi yang menentukan munculnya suatu peristiwa, serta pengamatan dan

interpretasi perubahan-perubahan yang terjadi pada peristiwa itu yang dilakukan

secara terkontrol. Dalam riset pendidikan eksperimen banyak memberikan

manfaat terutama untuk menguji pengaruh suatu perlakuan terhadap suatu bentuk

prilaku tertentu pada subjek riset.

Desain penelitian ini bersifat kuantitatif, yaitu suatu proses menemukan

pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis

keterangan mengenai apa yang ingin diketahui (Purwanto, 2013: 149).

3.2 Desain Penelitian

Penelitian disini menggunakan rancangan Pre-Experimental Design, desain

ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh. Mengapa? Karena masih

terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel

dependen. Jadi, hasil eksperimen yang merupakan variabel dependen itu bukan

semata-mata dipengaruhi oleh variabel independen. Hal ini dapat terjadi, karena

tidak adanya variabel kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random. Bentuk

44
Pre-Experimental Design ini menggunakan bentuk One-Group Pretest-Posttest

Design.

Desain penelitian merupakan rancangan bagaimana penelitian dilaksanakan.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah one group pretest

posttest design. Dalam desain ini, sebelum perlakuan diberikan terlebih dahulu

sampel diberi pretest (tes awal) dan di akhir pembelajaran sampel diberi posttest

(tes akhir). Desain ini digunakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu

ingin mengetahui peningkatan keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa

setelah diterapkan model pembelajaran berbasis masalah. Berikut merupakan tabel

desain penelitian one group pretest posttest design.

Tabel 3.2

Desain penelitian One Group Pretest-Posttest Design

(Purwanto, 2016:135)

Keterangan:

O1: tes awal (pretes) sebelum perlakuan diberikan O2: tes akhir

(postes) setelah perlakuan diberikan

45
X: perlakuan terhadap kelompok eksperimen yaitu dengan

menerapkan model pembelajaran berbasis masalah

Desain penelitian merupakan gambaran perencanaan yang

dilakukan oleh peneliti dalam penelitian. Adapun desain penelitian yang

dilakukan oleh peneliti secara umum ada tiga tahapan, yaitu sebagai

berikut:

3.2.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahapan peneliti dalam merencanakan

penelitian dan membuat rancangan penelitian yang akan dilaksanakan.

Sebelumnya, peneliti menentukan tempat penelitian dan menentukan

Focused permasalahan dalam penelitian yang dirancang dengan observasi

awal dan melakukan wawancara dalam menemukan permasalahan yang

akan diteliti dan selanjutnya menyusun rancangan penelitian dalam

bentuk proposal penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengajukan proposal

penelitian tentang self managemen untuk mengurangi burn out pada

mahasiswa tingkat akhir. Jadi, tujuan peneliti untuk mengetahui sejauh

mana keefektifan bimbingan kelompok menggunakan tehnik self

managemen dalam mengurangi burn out pada mahasiswa tingkat akhir.

Selanjutnya, peneliti mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan dalam

perizinan untuk penelitian.

3.2.2 Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan merupakan tahapan peneliti untuk

melakukan penelitian ke lapangan dengan memasuki situasi dan kondisi

46
lapangan. Pada tahapan ini, peneliti berperan dalam mengumpulkan data

dengan pedoman kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dalam

bentuk skala likert dan studi dokumentasi dan studi pustaka untuk

melengkapi data penelitian.

3.2.3 Tahap Pelaporan dan Penyelesaian

Tahapan laporan merupakan tahapan akhir dalam penelitian yang

peneliti lakukan. Dalam tahapan pelaporan ini, peneliti mengolah data

yang telah didapat melalui studi dokumentasi dan studi pustaka agar

dapat dianalisis dengan mudah sesuai dengan kaidah olahan data dan

analisis data yang digunakan dalam penelitian kuantitatif. Selanjutnya,

peneliti menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau responden adalah orang yang diminta untuk

memberikan keterangan tentang suatu fakta atau pendapat. Sebagaimana

dijelaskan oleh (Arikunto, 2017). Subjek penelitian adalah subjek yang

ditujukan untuk diteliti oleh peneliti. Jadi, subjek penelitian itu merupakan

sumber informasi yang digali untuk mengungkapkan fakta-fakta di lapangan.

Penentuan subjek penelitian atau sampel dalam penelitian kualitatif berbeda

dengan penelitian kuantitatif. Lincoln dan Guba (1985) dalam (Sugiyono,

2017) mengemukakan bahwa;

Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif (naturalistic), sangat

berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional

(kuantitatif). Penentuan sampel tidak didasarakn perhitungan statistic. Sampel

47
yang dipilih berfungsi untuk mendaptakan informasi yang maksimum. Bukan

untuk digeneralisasikan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penentuan subjek penelitian

dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan

secara jelas dan mendalam. Penentuan subjek penelitian atau responden

dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Purposive

sampling menurut merupakan teknik pengambilan sampel yang ditentukan

dengan menyesuaikan pada tujuan penelitian atau pertimbangan tertentu.

Satori (2014) menambahkan bahwa “purposive sampling sering disebut juga

sebagai judgement sampling, secara sederhana diartikan sebagai pemilihan

sampel yang disesuaikan dengan tujuan tertentu”.

Peneliti menentukan subjek penelitian berdasarkan permasalahan yang

akan diteliti tentang self managemen untuk mengurangi burn out pada

mahasiswa tingkat akhir. Maka, subjek penelitiannya yaitu remaja yang

mengikuti program self managemen. Sehingga, peneliti menentukan subjek

utama dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, yaitu 5 remaja yang telah

mengikuti self managemen.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ni;

48
Tabel 3.1 Subjek Penelitian

N
o Kelompok Jumlah
Sampel
1 Kelompok Kontrol 9

2 Kelompok Eksperimen 9

Jumlah 18

Berdasarkan tabel di atas,dapat dilihat bahwa sampel dalam penelitian

ini sebanyak 18 orang yang terdiri dari 9 orang kelompok eksperimen dan 9

orang kelompok kontrol.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel Independen (x) Variabel Dependen (y)

Self managemen Burn out

Skema 3.1 Variabel Penelitian

Berdasarkan skema variable penelitian di atas, diketahui bahwa

pada variable independen (x) adalah self managemen, dan pada variable

dependen (y) adalah burn out.

49
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting, karena

data yang dikumpulkan akan digunakan untuk pemecahan masalah yang

diteliti atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Menurutkan Sugiyono

(2017) metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam suatu

penelitian adalah instrument (Wardani, 2017).

Pengumpulan data penelitian melakukan penelitian secara observasi,

dokumentasi pada objek penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan

guna melengkapi data yang dibutuhkan berpedoman menggunakan skala

likert dalam penyusunan angket terhadap self managemen untuk mengurangi

burn out pada mahasiswa akhir.

3.6 Teknik Analisi Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriftif,

terhadap tiap-tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini

hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo,2010). Kemudian ditentukan persentase (P) dengan menentukan

rumus (Budiarto, 2010) sebagai berikut:

F
P = n X 100%

Keterangan :

P = Persentase

n = Sampel

F= Frekuensi Teramati.

50
Dalam penelitian kuantitatif, Analisis data merupakan kegiatan setelah data

dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis

data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,

mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data

tiap variabel yang teliti, melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang

telah diajukan (Boediono & Wayan, 2004:12).

3.6.1 Instrumen Penelitian

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berupa kuesioner yang menyediakan jawaban alternatif dan responden

hanya memilih jawaban yang sesuai dengan pendapatnya dengan bentuk

skala likert. Yang terdiri dari bagian A, yaitu karakteristik responden yang

terdiri dari nomor responden, inisial responden, jenjang pendidikan terakhir,

dan umur responden, bagian B pertanyaan yaitu berisi 20 pertanyaan tentang

kecemasan. Tes skala yang mengacu parameter skala likert. Pilihan jawaban

dikategorikan sebagai suatu pernyataan “Sangat Sesuai” memperoleh skor 5,

“Sesuai” memperoleh skor 4, “Cukup Sesuai” memperoleh skor 3, “Tidak

Sesuai” memperoleh skor 2 dan “Sangat Tidak Sesuai” memperoleh skor 1.

Pertanyaan ini diberikan setelah kepada seluruh informan.

3.6.2 Uji Validitas Instrument

Validitas (validity) instrumen yaitu tingkat kehandalan dan

kesahihan alat ukur yang digunakan atau sejauh mana suatu alat ukur tepat

dalam mengukur suatu data, dengan kata lain, alat ukur / instrument yang

dipakai memang mengukur apa yang ingin di ukur (Arikunto, 2017). Uji

51
validitas dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS

versi 25.00.

52

Anda mungkin juga menyukai