Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai


keadaan sehat fisik, mental, sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional,
fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi
dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan
interpersonal dan diri mereka sendiri. Kesehatan jiwa merupakan suatu
kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terkihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku, dan koping yang efektif, konsep diri
positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor tersebut antara lain otonomi dan kemandirian, memaksimalkan
potensi diri, menoleransi ketidakpastian hidup, harga diri, menguasai
lingkungan, orientasi realitas dan manajemen stress. American Psychiatric
Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom
atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi
pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distres atau disabilitas disertai
peningkatan resiko kematian, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan
kebebasan. Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak sanggup
menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya untuk
mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti dirinya sendiri
(Baihaqi,dkk, 2005)

Terapi aktivitas kelompok adalah suatu psikoterapi yang dilakukan


sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain
yang dipimpin atau arahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan
jiwa yang telah terlatih. Fokus terapi aktivitas kelompok adalah membuat
sadar diri, peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan atau
ketiganya. Terapi aktivitas kelompok dibagi kedalam 4, yaitu terapi aktivitas

1
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok sensori, terapi
aktivitas kelompok realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisas
Dari beberapa kasus gangguan jiwa yang ada di RSJ ATMA HUSADA
Kalimantan Timur terdapat kasus Resiko Prilaku Kekerasan. Oleh karena itu,
perlu diadakan Terapi Aktivitas Kelompok tentang Resiko Prilaku Kekerasan

2. MANFAAT
Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat :
1. Umum
a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing)
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
b. Membentuk sosialisasi
c. Meningkatkan fungsi psikologis yaitu meningkatkan kesadaran
tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan
perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
d. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis
seperti kognitif dan afektif.
2. Khusus
a. Meningkatkan identitas diri
b. Menyalurkan emosi secara konstruktif
c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan
sehari-hari
d. Bersifat rehabilitatif : meningkatkan kemapuan ekspresi diri,
keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan
menigkatkan kemapuan tentang masalah -masalah kehidupan dan
pemecahannya. (yosep, 2007).

2
3. TUJUAN
1. Tujuan umum
Senam dapat menyalurkan energinya secara kosntruktif dan memberikan
stimulasi pada klien agar mampu mengekspresikan perasaannya melalui
gerakan badan (olah raga,membersihkan ruangan,merapikan pakaian
dan lain – lain)
2. Khusus
a. Klien mampu melatih gerak tubuh.
b. Klien mampu melatih konsentrasi dan meminimalkan penggunaan
energy serta emosional untuk aktivitas.
c. Klien mampu mengeluarkan energinya untuk melakukan kegiatan
positif.
d. Klien mampu focus mencontoh gerakan senam yang diajarkan
perawat dan fasilitator.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

1. DEFINISI TAK
Terapi aktivitas kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan
yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok terjadi dinamika
interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi
laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk
memperbaiki perilaku lama yang maladaptive.
2. JENIS TAK
Terapi aktifitas kelompok berdasarkan masalah keperawatan jiwa yang
paling banyak ditemukan ditemukan dikelompok sebagai berikut :
1. TAK sosialisasi (untuk klien dengan menarik diri yang sudah sampai
pada tahap mampu berinteraksi dalam kelompok kecil dan sehat secara
fisik ).
2. TAK stimulasi sensori (untuk klien yang mengalami gangguan sansori ).
3. TAK orientasi realita (untuk klien halusinasi yang telah mengontrol
halusinasinya, klien waham yang telah dapat berorientasi kepada realita
dan sehat secara fisik).
4. TAK stimulasi persepsi : halusinasi (untuk klien dengan halusinasi)
5. TAK peningkatan harga diri (untuk klien dengan HDR)
6. TAK penyaluran energy (untuk klien perilau kekerasan yang telah dapat
mengekspresikan marahnya secara konstruktif, klien menarik diri yang
dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap dan sehat secara
fisik)
3. TAHAPAN DALAM TAK
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh
dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu :
Fase pra-kelompok, fase awal kelompok, fase kerja kelompok, fase terminasi

4
kelompok ( Stuart & Laraia, 2001 dalam Cyber Nurse, 2009).

1. Fase kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah
anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang
digunakan. Menurut Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah
anggota kelompok yang ideal
Dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 orang, sedangkan jumlah
minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat
untuk mengikuti TAK adalah sudah punya diagnosa yang jelas , tidak
terlalu gelisah, tidak agresif waham tidak terlalu berat (yosep, 2007).
2. Fase awal kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru,
dan peran baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi
fase ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara
Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam
tiga fase, yaitu forming, storming, dan norming.
1) Tahap orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-
masing, leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati
kontrak dengan anggota.
2) Tahap konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan
membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah
perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).
3) Tahap kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang
informasi dan lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).
3. Fase kerja kelompok

5
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil
dan realistis (Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok
menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai
percaya diri dan kemandirian (Yosep, 2007).
4. Fase terminasi
Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan
pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada
kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat bersifat sementara (temporal)
atau akhir (Keliat, 2004).

4. PENGERTIAN PRILAKU KEKERASAN


Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (fitria, 2009). Perilaku kekerasan
adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri
sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang
tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat, membuat orang
marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki
orang disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang
lain, bahkan membakar rumah.

5. ETIOLOGI PRILAKU KEKERASAN


1.   Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural
yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik

6
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:

1). Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan
sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan
pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat
keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2). Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya
tentang respons terhadap stress.
3). Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4). Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis,

7
dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik
1). Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan  perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
2). Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru
karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika
perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki
persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa

8
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
 Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
 Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
 Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
 Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
 Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
 Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap

6. RENTANG RESPONS MARAH


Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal
adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut :
(Keliat, 1997).
 Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai
perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
 Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan

9
kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan
kemarahan.
 Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
 Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui
hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung
untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain.
 Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.

Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.


 

7. TANDA DAN GEJALA


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
 Muka merah dan tegang
 Mata melotot/ pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Postur tubuh kaku
 Jalan mondar-mandir
2. Verbal
 Bicara kasar

10
 Suara tinggi, membentak atau berteriak
 Mengancam secara verbal atau fisik
 Mengumpat dengan kata-kata kotor
 Suara keras
 Ketus

3. Perilaku
 Melempar atau memukul benda/orang lain
 Menyerang orang lain
 Melukai diri sendiri/orang lain
 Merusak lingkungan
 Amuk/agresif
4.    Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5.    Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6.    Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7.    Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8.    Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

8. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1.  Medis
a.  Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b.  Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.

11
c.  Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan
menenangkan hiperaktivitas.
d.  ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
2.  Penatalaksanaan keperawatan
a.  Psikoterapeutik
b.  Lingkungan terapieutik
c.  Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d.  Pendidikan kesehatan
B. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah resiko prilaku kekerasan
dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari lima SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perwat mengidentifikasikan prilaku kekerasan, tanda-dan gejala,
mengidentifikasi prilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi akibat
prilaku kekerasan, cara mengontrol prilaku kekerasan, mempraktekkan
latihan fisik 1 cara menarik nafas, memasukkan kedalam jadwal. Pada SP
dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, membantu pasen
mempraktekkan latihan fisik 2 cara memukul bantal, memasukkan kedalam
jadwal, Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien,
bantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol prilakukekerasan
secara verbal, meminta dengan baik, menolak dengan baik, mengungkapkan
dengan baik, memasukkakn kedalam jadwal kegiatan harian, Pada SP 4,
perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, membantu pasein
mempraktekkan cara mengontrol prilaku kekerasan dengan spiritual, seperti
berdoa dan shalat, anjurkan memasukkan jadwal harian pasien, Pada Sp 5
perwat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, cara mengontrol minum
obat, menjelaskan pentingnya obat, menjelaskan akibat tidak minum obat
teratur, menjelaskan cara mandapatkan obat, pengobatan dengan prinsip 5
B, memasukkan kedalam jadwal harian (Purba, dkk. 2008).
C. Terapi kelompok

12
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan mengontrol Resiko Prilaku Kekerasan secara garis besar
dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
 Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
 Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
 Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
 Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
 Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
 Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
 Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
 Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana
pasien mau mengawali tidurnya.

13
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan resiko
kekerasan pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
 Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien atau memenita
tolong pasien lainnya seperti tidak marah-marah, mata tidak melotot,
dan tidak memukul masyarakat.
 Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan
sebagainya.
 Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara
dengan orang lain seperti melotot, menggenggam tangan.
 Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan
bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
 Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
 Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun
orang lain.
 Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya,
seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok
sembarangan dan sebagainya.

14
BAB III
PENGORGANISASIAN
1. Metode TAK
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
c. Bermain peran atau stimulasi
2. Waktu dan tempat
Terapi Aktifitas Kelompok ini dilaksanakan pada :
Hari, Tanggal          : Selasa, 28 Februari 2017
Topik : Terapi Penyaluran Energi
Waktu                     : 9.30 - slsai
Tempat                    : RSJD ATMA Husada Mahakam Samarinda
3. Nama Pasien dan Ruangan
Klien yang mengikuti kegiatan berjumlah 8 orang, sedangkan 2 orang
sebagai cadangan jika klien yang ditunjuk berhalangan. Adapun nama-nama
klien yang akan mengikuti TAK serta pasien sebagai cadangan yaitu :
Klien peserta TAK :
 Tn / Ny Tn / Ny
 Tn / Ny Tn / Ny
 Tn / Ny Tn / Ny
 Tn / Ny Tn / Ny
 Tn / Ny   Tn / Ny
4. Media dan Alat
a. LCD
b. Laptop & Speakers
c. Alat Tulis

15
5. Susunan kegiatan
Susunan TAKS sebagai berikut :
a. Leader : Riska Noviana
b. Co. Leader : Dita Widya Faradilla
c. Fasilitator 1 : Nikma Kris Dayanti
d. Fasilitator 2 : Camelia
e. Fasilitator 3 : M.Aditya Ridwan Wahid
f. Fasilitator 4 : Ahmad Solihin
g. Fasilitator 5 : Henriani
h. Fasilitator 6 : Matsumi Herniwati
i. Fasilitator 7 : Ary Sumirta
j. Fasilitator 8 : Sinta Noor Fachmi
k. Observer : Fenty Melinda
l. Observer : Saliansyah
6. Langkah kegiatan
a. Persiapan
1) Memilih klien prilaku kekerasan yang sudah yang sudah kooperatif.
2) Membuat kontrak dengan klien
3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
b. Orientasi
1) Salam terapeutik
a) Salam dari trapis kepada klien
b) Perkenalan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama)
c) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papa nama)
2) Evaluasi / validasi
a) Menanyakan perasaan klien saat ini
b) Menanyakan masalah yang dirasakan
3) Kontrak
a) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu Senam Pinguin
b) Menjelaskan aturan main berikut :

16
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok,
harus minta ijin kepada trapis.
 Lama kegiatan 30 menit
 Setiap klien memikuti kegiatan dr awas sampai selesai

d. Tahap kerja
1) Jelaskan kegiatan yaitu senam yang akan dipraktekkan oleh salah
satu fasilitator, dan juga akan ditampilkan melalui LCD kemudian
bersama-sama dengan peserta melakukan gerakan senam yang
sudah dicontohkan.
2) Menganjurkan pasien untuk mengikuti gerakan sesuai musik dan
tayangan yang di perlihatkan di layar LCD.
3) Berikan pujian untuk tiap keberhasilan anggota kelompok dengan
memberi tepuk tangan.
e. Tahap terminasi.
1) Evaluassi.
 Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
 Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
2) Rencana tindak lanjut.
 Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi
sosial yang asertif, jika stimulasi penyebab prilaku kekerasan
terjadi.
 Masukkan kegiatan senam dalam jadwal kegiatan
3) Kontrak yang akan datang.
 Menyepakati kegiatan berikut yaitu senam agar perilaku
kekerasan teralihkan.
 Menyiapkan waktu dan tempat.

f. Evaluasi dan Dokumentasi

17
1) Evaluasi

Sesi I TAKS
Kemampuan Memperkenalkan Diri

a) Kemampuan Verbal
Aspek yang
No Nama Klien
dinilai
1 Menyebutkan
Nama Lengkap
2 Menyebutkan
Nama Panggilan
3 Menyebutkan asal

4 Menyebutkan hobi

Jumlah

b) Kemampuan non verbal


No Aspek yang dinilai Nama Klien
1 Mengikuti kegiatan
dari awal sampai
akhir
2 Merasakan
apakah rasa
emosi tersalurkan /
tidak
3 Bagaimana
Perasaan setelah
TAK
Jumlah

18
Petunjuk :
 Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.
 Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda cek list ( √ ) jika
ditemukan kemampuan pada klien, atau tanda (×) jika tidak ditemukan.
 Jumlah kemampuan yang ditemukan, jika 3 atau 4 klien mampu, dan jika 0,1 atau 2
klien belum mampu.

19
7. Pengorganisasian
No Pengorganisasian Uraian Tugas
 Mengkoordinasi seluruh kegiatan
1 Leader  Memimpin jalannya terapi kelompok
 Memimpin diskusi
 Mencatat nama pasien
2 Co Leader  Mengkoordinasi musik
 Memberi Reinforcement
 Mendampingi pasien pada saat melakukan kegiatan
3 Fasilitator  Ikut bergabung dan duduk bersama dengan peserta
 Memotivasi pasien untuk ikut dalam kegiatan
 Mengamati semua proses kegiatan yang berkaitan
dengan waktu, tempat dan jalannya acara
4 Observer  Melaporkan hasil pengamatan pada leader dan
semua anggota kelompok dengan evaluasi
kelompok

20
8. Struktur Pengorganisasian

Keterangan :

: Leader

: Co Leader

: Fasilitator

: Pasien

: Observer

21
DAFTAR PUSTAKA

Keliat,Akemat.2005.Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas


Kelompok.Jakarta:EGC

Herawaty, Netty. 1999. Materi Kuliah Terapi Aktivitas Kelompok . Jakarta :


EGC.

Stuart, Gail Wiscart & Sandra J. Sundeen. 1995. Buku Saku Keperawatan
Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC

22

Anda mungkin juga menyukai