Anda di halaman 1dari 30

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

RESIKO JATUH

Dosen Pembimbing:
Ns. Samsuni, M.Kep.Sp.Kep.Kom
Ns. Fajar Susanti, M.Kep.Sp.Kep.Kom

Disusun oleh:
Iman Nurmansyah (215140051)
Nadila Elytawati (215140052)
Thessalonika Bernanda (215140053)
Nik Ega Suviani (215140054)
Aprillia Rachmawati (215140056)
Dhena Ariesta Guptiana (215140057)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
TAHUN 2022
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Pokok bahasan : Risiko Jatuh


Sub pokok bahasan : Pelatihan Keseimbangan Pada Lansia dengan Risiko Jatuh
Sasaran : Lansi RW 01
Target sasaran : ± 5 orang
Hari/Tanggal : Sabtu, 26 November 2022
Waktu : Pukul 10.00 – 12.00 WIB
Tempat : Kampus Urindo Ruang kelas
Penyuluh :

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, bertolak dari latar
belakang manusia yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan banyak faktor yang terjadi dan
berhubungan dengan masalah Kesehatan. Di dalam komunitas masyarakat ada 6 agregrat
yang dapat di klasifikasi sebagai kelompok khusus, yang mana agregrat ini rentan terhadap
kondisi Kesehatan yaitu ibu hamil, balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa dan lansia.
Hasil wawancara saat pengkajian di wilayah RW 01 Bambu Apus Cipayung didapatkan ada
35,85% anggota keluarga dengan lansia. Lansia dengan risiko tinggi jatuh sebanyak 4,7%.
Seseorang yang telah memasuki lanjut usia (lansia) akan mengalami penurunan kondisi
fisik dan terdapat perubahan fisik yang ditandai dengan pendengaran yang kurang jelas,
penglihatan yang semakin memburuk, penurunan kekuatan otot yang akan mengakibatkan
gerakan-gerakan yang lambat, dan gerakan tubuh (Shalahuddin et al., 2021). Penurunan
fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan mempertahankan
keseimbangan fisik atau keseimbangan tubuh lansia (Darmojo, 2014). Gangguan
keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering mengakibatkan seorang lansia
mudah jatuh (Pramadita et al., 2019). Berkurangnya kemampuan untuk mempertahankan
stabilitas dan keseimbangan tubuh pada lansia dapat mengakibatkan peningkatan resiko
jatuh yang lebih tinggi (Setiabudhi, 2015).
Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga yang melihat
kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring, terduduk di lantai atau tempat

2
yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004)
(dalam Ashar,P. H. 2016).
Berdasarkan data WHO tahun 2018 kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30%
orang berusia 65 tahun ke atas setiap tahunnya, dan 40-50% dari mereka yang berusia 80
tahun ke atas. Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2018) didapat proporsi
cedera akibat jatuh pada lanjut usia 65-74 tahun 6,9%, dan 75 ke atas sebanyak 8,5%,
dengan proporsi jenis cedera lecet/memar 70,9%, terkilir 27,5%, luka iris/robek 23.2%,
patah tulang 5,8%, dan lainnya 1% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Faktor risiko jatuh pada usia lanjut salah satunya penurunan kekuatan otot, pada kontrol
postural yang mungkin memegang peran penting pada sebagian besar kejadian jatuh (Aristo,
2017). Perubahan morfologis pada otot yang berakibat terjadinya perubahan fungsional otot
yang juga berakibat pada terjadinya penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan
fleksibilitas otot, kecepatan dan reaksi. Penurunan fungsional dan penurunan kekuatan otot
akan mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan
postural atau keseimbangan tubuh lansia (Sunaryo, 2016). Penurunan kekuatan otot
ekstrimitas bawah dapat mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek, kaki tidak
dapat menapak dengan kuat dan lebih gampang goyah, susah atau terlambat mengantisipasi
bila terjadi gangguan seperti terpeleset dan tersandung. Beberapa indikator ini dapat
meningkatkan risiko jatuh pada lansia (Darmojo, 2014).
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pencegahan jatuh pada lansia yaitu
diantaranya mengkonsumsi nutrisi yang seimbang, penggunaan kalsium, menggunakan
fasilitas di sekitar dengan aman, dan Latihan fisik (Trombetti et al., 2011). Latihan fisik
yang terstruktur dapat meningkatkan kebugaran tubuh lansia. Latihan fisik secara teratur
dapat meningkatkan kekuatan dan ketangkasan, mencegah jatuh serta meningkatkan
kemandirian lansia dalam beraktivitas sehari-hari (Supriyono, 2015). Selain itu,latihan fisik
dapat bermanfaat untuk memperbaiki komposisi tubuh seperti lemak, massa otot,
peningkatan imunitas, meningkatkan kekuatan otot, menyehatkan jantung, nafas menjadi
teratur dan mengurangi kecemasan atau depresi (Patti et al., 2017).
Latihan pada lansia meliputi faktor kelenturan, kekuatan, keseimbangan dan
peregangan. Latihan fisik juga dapat memperlambat kehilangan kepadatan tulang serta
meningkatkan massa dan kekuatan otot termasuk otot jantung (Mayo Clinc. 1999
dalam Clemson et al., 2012). Berbagai jenis latihan termasuk berjalan ditemukan secara
signifikan dapat meningkatkan keseimbangan (Setyoadi et al., 2013). Penelitian Terroso et
al., (2014) dengan sampel 113 lansia dengan riwayat jatuh didapatkan hasil bahwa
kejadian jatuh berkurang 46% pada kelompok lansia yang dilakukan program latihan dua
kali dalam seminggu selama lima minggu. Hasil penelitian yang dilakukan (Javad, S., et
al, 2009) adalah lansia yang diberikan intervensi berupa latihan keseimbangan sebanyak 3
kali seminggu selama selama 6 minggu lebih baik daripada lansia yang tidak
melakukan latihan tersebut dan juga menghasilkan bahwa lansia yang melakukan
latihan keseimbangan fisik meningkat keseimbangannya daripada sebelumnya.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, kami mengadakan berbagai kegiatan dalam bentuk
pendidikan kesehatan mengenai pelatihan keseimbangan khususnya bagi lansia, karena
pendidikan kesehatan dan pelatihan ini dapat berperan merubah prilaku kesehatan seseorang
sebagai hasil pengalaman belajar.

B. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan kesehatan tentang latihan fisik untuk
menurunkan resiko jatuh pada lansia dalam selama 1 x 60 menit, diharapkan lansia di
RW 01 dengan resiko jatuh mampu melakukan latihan fisik untuk mengurangi terjadinya
resiko jatuh.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan cara mengurangi terjadinya resiko jatuh pada
lansia, diharapkan lansia dan keluarga di RW 01 dengan resiko jatuh mampu:
a. Mengetahui apa itu latihan fisik untuk mengurangi resiko jatuh dan apa manfaatnya
b. Bagaimana cara melakukan latihan fisik untuk mengurangi resiko jatuh

C. Materi
Terlampir

D. Metode Promosi Kesehatan


a. Ceramah
b. Diskusi dan Tanya jawab
c. Praktik pelatihan keseimbangan
E. Media Promosi Kesehatan
a. Leaflet
b. Video

F. Kegiatan

No. Tahapan Kegiatan mahasiswa Kegiatan masyarakat Media


1. Pembukaan 1. Mengucapkan 1. Menjawab salam Kata-kata /
(5 menit) salam 2. Menjelaskan kondisi kalimat
2. Evaluasi validasi kesehatan keluarga saat
3. Menjelaskan tujuan ini
4. Apersepsi 3. Mendengarkan
4. Mengemukakan
pendapat
2. Penyajian 1. Menjelaskan materi 1. Mendengarkan dan Leaflet dan
tentang latihan fisik memperhatikan` video
(45 menit)
untuk mengurangi
resiko jatuh 2. Memperhatikan
2. Mendemonstrasikan
latihan fisik untuk 3. Lansia dan kelarga
mengurangi resiko mengajukan pertanyaan
jatuh
3. Memberikan
kesempatan lansia
dan keluarga untuk
bertanya

3. Penutup 1. Meminta lansia dan 1. Mempraktikan kembali Kata-kata /


keluarga untuk latihan fisik untuk kalimat
(10 menit)
mendemonstrasika mengurangi resiko jatuh
n latihan fisik
untuk mengurangi 2. Keluarga menjelaskan
resiko jatuh kembali manfaat dan
2. Meminta keluarga langkah-langkah latihan
menjelaskan fisik untuk mengurangi
kembali manfaat resiko jatuh
dan langkah- 3. Memperhatikan
langkah latihan
fisik untuk 4. Menjawab salam
mengurangi resiko
jatuh
3. Memberikan
kesimpulan
4. Memberikan salam
penutup

G. Kriteria Evaluasi
Untuk mengetahui evaluasi secara keseluruhan, evaluasi dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Evaluasi struktur
a. Menyiapkan materi leaflet dan video
b. Lansia dalam kondisi siap di ruang kampus B
2. Evaluasi proses
a. Lansia antusias terhadap materi yang diberikan oleh penyuluh atau penyaji
b. Lansia tidak meninggalkan tempat penyuluhan di rumah
c. Lansia mengajukan pertanyaan ke penyuluh
3. Evaluasi hasil
a. Lansia sudah mengatahui secara umum tentang latihan fisik untuk mengurangi resiko
jatuh
b. Lansia mampu mempraktikkan kembali latihan fisik untuk mengurangi resiko jatuh

I. Sumber
Abil, Rudy. 2019. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Jatuh Pada Lansia di
Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang. Jurnal Ners Indonesia Edisi 5 No.2
Afnesta, M. Y., Sabrian, F., & Novayelinda, R. (2015). Hubungan Status Spiritual dengan
Kualitas Hidup pada Lansia. Jom, 2(2), 1266–1274.
Alviana, F., Mulyani, S., & Azuma, A. P. (2017). Efektifitas Latihan Fisik Terhadap Resiko
Jatuh Pada Lansia: Systematic Review. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 8(1), 78-89.
Annafisah, Zuhaida. 2016. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Keseimbangan Tubuh Yang
Diukur Menggunakan Romberg Test Pada Lansia Sehat Studi di Desa Plamongansari
Kecamatan Pedurungan Semarang. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia Volume
9 N0 1
Aristo, Efendi. 2017. Kekuatan Otot dan Mobilisasi Usia Lanjut Setelah Latihan Penguatan
Isotonik Quadriceps femoris di Rumah. Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Azizah, Lilik M. 2016. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1.Yogyakarta : Graha Ilmu
Darmojo.2014. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Fadila, A. N. (2021). Latihan Taichi Untuk Kemampuan Keseimbangan Pada Lansia
(Doctoral dissertation, UNIVERSITAS dr. SOEBANDI).
Fristantia, Dwi Agnes. 2017. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Risiko
Jatuh Pada Lansia Yang Tinggal dirumah di wilayah kerja Puskesmas Lima Puluh
Pekanbaru. Jurnal Keperawatan Indonesia Vol.5 No.2
Hastono, Surya Pradana. 2014. Analisis Data Pada Bidang Kesehatan. Jakarta: PTRaja
Grafindo Persada.
Kementerian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta :Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
Kusnanto. 2016. Peningkatan Stabilitas Postural Pada Lansia Melalui Balance Exercise.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Maryam, Siti Ekasari. 2016. Mengenal Usia Lanjut Dan Penangannya. Jakarta: Salemba
Nugroho, W. 2016. Keperawatan Gerontik Dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC
Setyoadi, Utami, Y., & M, S. S. (2013). Senam Dapat Meningkatkan Keseimbangan Tubuh
Lansia Di Yayasan Gerontologi Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Ilmu
Kesehatan, 1(69), 3540.
Shalahuddin, I., Maulana, I., & Rosidin, U. (2021). . Jurnal Keperawatan Jiwa, 9(2), 335–
348.

Jakarta, 22 November 2022

Mengetahui,
Dosen Pembimbing Koordinator Stase Komunitas

(Ns. Fajar Susanti, M.Kep.Sp.Kep.Kom) (Ns. Samsuni, M.Kep.Sp.Kep.Kom)


(Lampiran Materi)

RESIKO JATUH

A. Konsep Dasar Risiko Jatuh pada Lansia


1. Konsep dasar lansia

a. Definisi lansia
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas
(Kholifah, 2016). Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang lemah karena berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Sudoyo et al., 2010).
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah dimana seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa, tua (Nugroho (2006) dalam Kholifah (2016)).

b. Batasan umur lansia

1) WHO (1999) dalam Kholifah (2016) menjelaskan batasan lansia sebagai berikut:
a) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
b) Usia tua (old) yaitu 75-90 tahun, dan
c) Usia sangat tua (very old) adalah usia diatas 90 tahun.

2) Depkes RI (2005) dalam Kholifah (2016) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu:
a) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
b) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun keatas,
c) Usia lanjut berisiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas
dengan masalah kesehatan.

c. Perubahan fisiologis pada penuaan

1) Konsep homeostenosis

Fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dengan adanya konsep


homeostenosis. Konsep ini diperkenalkan oleh Walter Cannon pada tahun 1940
dimana konsep ini terjadi pada seluruh sistem organ pada seseorang yang menua.
Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan
penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring meningkatnya
usia pada setiap sistem organ.

“Precipice”

Cadangan fisiologis

Homeostasis Perkembangan
usia

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Sudoyo, et al., 2010)

Gambar 1 Skema Standar Homeostenosis

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia jumlah
cadangan fisiologis untuk menghadapi berbagai perubahan (challenge) berkurang.
Setiap challenge terhadap homeostasis merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar
(baseline), dan semakin besar challenge yang terjadi maka semakin besar cadangan
yang diperlukan untuk homestasis. Di sisi lain dengan makin berkurangnya cadangan
fisiologis, maka seorang lansia lebih mudah untuk mencapai suatu ambang (yang
disebut precipice), yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian akibat challenge
tersebut.

Konsep homeostenosis dapat menjelaskan berbagai perubahan fisiologis yang


terjadi selama proses menua dan efek yang ditimbulkannya. Walaupun merupakan suatu
proses fisiologis, perubahan dan efek penuaan terjadi sangat bervariasi dan variabilitas
ini makin meningkat seiring peningkatan usia. Variasi terjadi antara satu individu
dengan individu lain pada umur yang sama, antara satu sistem organ dengan organ lain,
bahkan dari satu sel terhadap sel lain pada individu yang sama (Sudoyo et al., 2010).

2) Perubahan sistem organ pada proses menua

Perubahan fisik terjadi pada diri seseorang setelah berusia lanjut, sebagian ada
yang jelas terlihat, sebagian lagi tidak. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi
sebagai akibat dari proses menua adalah (Kozier et al., 2016).
a) Integumen

Proses menua mengakibatkan kulit lansia menjadi kering dan rapuh, rambut
memutih, kuku jari menjadi lebih tebal dan rapuh, dan pada wanita di atas 60 tahun,
bulu wajah bertambah. Perubahan integumen tersebut disertai dengan penurunan
lemak subkutan dan jaringan otot yang progresif, atrofi otot, dan penurunan serat
elastik, yang mengakibatkan efek dagu “ganda”, kelopak mata dan daun telinga
yang berkantung, serta kulit yang keriput, khususnya pada area kulit yang terpajan
matahari, dan tonjolan tulang yang semakin jelas. Hilangnya lemak subkutan juga
mengurangi toleransi lansia terhadap udara dingin.
b) Neuromuskuloskeletal

Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan bertahap pada kecepatan dan


kekuatan otot rangka atau kontraksi otot volunter serta beban tahanan otot. Setelah
usia 50 tahun terjadi penurunan yang stabil pada serat otot yang menyebabkan
penampilan terkesan lemah pada individu yang sangat lanjut. Oleh karena itu, lansia
kerap kali mengeluh kurang tenaga dan betapa cepatnya merasa lelah. Aktivitas masih
dapat dilakukan, tetapi dalam tempo yang lebih lambat. Keseimbangan sering kali
terganggu seiring bertambahnya usia. Beban otot yang lama dapat ditanggung oleh
lansia asalkan mereka beristirahat dengan cukup dan menghindari aktivitas yang
membutuhkan dan menguras banyak tenaga.
Waktu reaksi individu melambat seiring usia. Waktu reaksi dapat semakin
lambat akibat penurunan tonus otot karena penurunan aktivitas fisik. Lansia
berkompensasi terhadap perbedaan reaksi itu dengan bersikap sangat hati-hati.
Penurunan tinggi badan yang sedikit berlangsung seiring bertambahnya usia.
Kondisi ini diperburuk oleh kelemahan otot yang mengakibatkan postur tubuh yang
bungkuk dan kifosis. Osteoporosis, penurunan densitas tulang, ditambah dengan
kondisi tulang yang semakin rapuh, menyebabkan lansia rentan mengalami fraktur
yang serius. Osteoporosis lebih sering terjadi pada individu yang kurang asupan
kalsium dalam diet, wanita setelah menopause, dan mereka yang imobilisasi atau tidak
aktif secara fisik.

c) Sensori/Persepsi

Masing-masing dari kelima indra menjadi kurang efisien di masa lansia.


Perubahan pada penglihatan yang disebabkan oleh penuaan meliputi perubahan yang
nyata pada area sekitar mata, seperti mengecilnya ukuran mata akibat berkurangnya
lemak orbital, melambatnya refleks kedip, kendurnya kelopak mata, penurunan
ketajaman penglihatan, penurunan daya adaptasi terhadap gelap dan cahaya yang
redup, penurunan akomodasi untuk benda dekat dan jauh, perburukan penglihatan
perifer, dan kesulitan untuk membedakan warna yang hampir sama, terutama biru,
hijau, dan ungu. Kehilangan kemampuan pendengaran akibat penuaan yang disebut
prebikusis, terjadi pada individu berusia di atas 65 tahun. Lansia memiliki indra perasa
dan pencium yang kurang tajam dan kurang dapat distimulasi oleh makanan
dibandingkan individu yang lebih muda. Terakhir, Berkurangnya reseptor kulit pada
lansia yang terjadi secara bertahap menyebabkan penurunan ambang batas sensasi
terhadap nyeri, sentuhan, dan suhu. Kurangnya stimulus ini menyebabkan lansia
berisiko tinggi mengalami cedera.

d) Pulmoner

Efisiensi pernapasan berkurang seiring bertambahnya usia. Individu menghirup


lebih sedikit udara karena perubahan muskuloskeletal dinding dada yang membuat
ukuran dada mengecil. Volume udara residu yang tertinggal di paru setelah periode
ekspirasi lebih besar, dan kemampuan batuk efektif individu menurun akibat
melemahnya otot-otot pernapasan. Sekresi mukus cenderung lebih mudah
terakumulasi di saluran napas, akibatnya lansia rentan mengalami infeksi pernapasan.

e) Kardiovaskuler

Kapasitas jantung menurun seiring usia. Kondisi ini terlihat jelas saat beban
yang diberikan pada otot jantung meningkat. Frekuensi jantung normal saat istirahat
menurun sejalan bertambahnya usia. Frekuensi jantung individu yang lebih tua lambat
ketika berespons terhadap kondisi stress, dan juga lambat untuk kembali normal
sesudah melakukan aktivitas fisik.
Penurunan elastisitas arteri dapat menurunkan suplai darah. Selain itu,
penyesuaian sirkulasi yang dibutuhkan saat seseorang bangun secara tiba-tiba dari
posisi berbaring dapat melambat. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik secara tiba-tiba yang biasa disebut dengan hipotensi ortostatik.
f) Gastrointestinal

Penurunan enzim pencernaan terjadi secara bertahap. Selain itu terjadi pula
penurunan jumlah sel absorben dalam saluran cerna dan penurunan pH lambung.
Faktor tersebut mengurangi kecepatan absorpsi sehingga absorpsi nutrisi dan obat-
obatan melambat. Tonus otot usus juga menurun, mengakibatkan penurunan peristaltis
dan eliminasi. Perubahan pada tonus otot, getah digestif, dan aktivitas usus tersebut
dapat menyebabkan indigesti dan konstipasi pada lansia.

g) Perkemihan

Fungsi ekskresi ginjal menurun seiring bertambahnya usia, namun biasanya


tidak jauh di bawah batas normal, kecuali ada proses penyakit lain yang menyertai.
Keluhan sering berkemih dan urgensi berkemih sering kali muncul. Kapasitas kandung
kemih dan kemampuan untuk mengosongkannya secara tuntas berkurang seiring
bertambahnya usia. Sebagian besar lansia harus bangun di malam hari untuk berkemih
(nocturnal frequency) dan dapat mengalami retensi urin residu, yang memicu
terjadinya infeksi kandung kemih.

h) Genitalia

Perubahan degeneratif gonad pada pria terjadi secara bertahap. Produksi


testosteron terus berlanjut, dan testis dapat memproduksi sperma dengan baik hingga
usia lanjut meskipun jumlahnya menurun secara bertahap.
Pada wanita perubahan yang terjadi ditandai dengan terhentinya menstruasi
secara tiba-tiba di usia paruh baya selama menopause. Perubahan akibat proses menua
yang meningkatkan risiko jatuh
Sistem neuromuskuloskeletal, persepsi, dan sensori berperan penting dalam
meningkatkan instabilitas dan jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas biomekanik
sebagai salah satu yang berkontribusi dengan risiko jatuh. Pertama yaitu latensi
mioelektrik atau waktu pramotor ialah keterlambatan antara stimulus yang diberikan
hingga timbulnya perubahan pertama dari aktivitas mioelektrik yang dapat diukur.
Latensi mioelektrik pada usia lanjut 10-20 milidetik lebih lama dibandingkan pada
dewasa muda. Kedua, waktu bereaksi berkaitan dengan keterlambatan sinyal antara
sinyal stimulus yang membutuhkan reaksi hingga timbulnya kekuatan atau melakukan
gerakan. Waktu bereaksi meningkat seiring dengan bertambahnya usia, semakin jauh
perpindahan tubuh, semakin banyak pilihan aktivitas, dan pada aktivitas yang
membutuhkan akurasi. Proprioseptif berkaitan dengan kesadaran mengenai orientasi
dan posisi segmen tubuh. Sistem proprioseptif yang memberikan informasi ke saraf
pusat mengenai posisi tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligamen, dan kulit,
mengalami gangguan akibat penuaan sehingga turut berperan pada terjadinya
gangguan keseimbangan.
Lingkup gerak sendi menurun dengan bertambahnya usia yang akan
mempengaruhi aktivitas lansia yang memang membutuhkan lingkup gerak sendi yang
baik. Penurunan kekuatan otot juga terjadi seiring dengan penuaan, bahkan pada lansia
yang sehat dan aktif. Kemampuan membentuk puntiran sendi pada lansia berkurang
menyebabkan kapasitas untuk mempertahankan keseimbangan atau melakukan
aktivitas lain yang memerlukan presisi waktu dengan kekuatan cukup, seperti
menghindari hambatan yang datang tiba-tiba, akan berkurang pada lansa yang sehat
sekalipun.
Penurunan massa otot merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan
otot. Perubahan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi
protein, yang pada usia lanjut proses ini dipengaruhi oleh wasting yaitu proses
pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino
bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak
adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan
otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat.
Postur tubuh lansia saat berdiri ditandai dengan jarak yang lebar antara kedua
kaki pada pijakan, lutut dan panggul sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke
arah depan terhadap bidang vertikal, vertebra lumbal mendatar, kifosis vertebra torakal
meningkat, dan kepala maju ke depan. Perubahan tersebut berkaitan dengan proses
penuaan pada sistem muskuloskeletal yang antara lain berupa berkurangnya densitas
massa tulang, degenerasi diskus vertebra, dan hilangnya kekuatan otot ligamentum
spinal sehingga tubuh menjadi lebih pendek dan kepala lebih maju ke depan.
Perubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Lansia laki-
laki cenderung memiliki gaya berjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah
pendek-pendek, sedangkan perempuan usia lanjut seringkali berjalan dengan kedua
kaki menyempit dan gaya jalan bergoyang-goyang. Lansia cenderung berjalan lebih
lambat dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara meningkatkan jumlah
langkah per unit waktu dibandingkan jarak satu siklus berjalan, serta terdapat
peningkatan ayunan postural. Gerak ekstensi dan rotasi pelvis menurun, serta periode
double support meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Waktu untuk
menyelesaikan satu siklus berjalan berkaitan dengan peningkatan sebesar 5 kali risiko
untuk jatuh.
Strategi postural yang sering digunakan lansia adalah strategi panggul yang
membutuhkan informasi vestibular yang adekuat dan gerakan pada panggul akan
meningkatkan gaya horizontal antara pijakan dan telapak kaki sehingga risiko untuk
terpleset dan jatuh menjadi lebih besar.
Gangguan visual terjadi pula sejalan dengan menuanya seseorang. Penurunan
visus akibat proses degenerasi pada berbagai jaringan pada bola mata, berkurangnya
elastisitas lensa, dan berkurangnya sel-sel reseptor mata. Gangguan keseimbangan
akan terjadi bila informasi visual terganggu. Stabilitas orang berusia lebih dari 60
tahun berkurang 50% pada saat kedua mata ditutup. Tajam penglihatan yang kurang
pada usia lanjut berkolerasi dengan peningkatan insiden jatuh dan ayunan postural
pada pijakan yang lunak.
Sistem vestibular juga mengalami gangguan seiring dengan penuaan berupa
proses degeneratif pada utrikulus dan sakulus sehinga terjadi penurunan kemampuan
bereaksi terhadap gravitasi dan percepatan linier.
Hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih
ketika berubah posisi dari berbaring ke berdiri) terjadi pada 11-30% lansia. Walaupun
tidak semua hipotensi ortostatik bergejala, respons fisiologis yang terganggu dapat
berperan dalam gangguan keseimbangan dan memicu terjadinya jatuh.
Penurunan kemampuan mobilitas fungsional pada usia lanjut yang sehat akan
terlihat pada aktivitas yang membutuhkan kemampuan fisik dan/atau kognitif serta
berkaitan dengan penurunan variabel biomekanik. Pada lansia di komunitas,
kesulitan dalam aktivitas bangkit dari kursi, menaiki dan menuruni tangga, serta
berjalan cepat, berkaitan dengan penurunan kapasitas kekuatan isometrik otot
ekstensor lutut di bawah 3 Nm/kg berat badan (Sudoyo et al., 2010).
2. Konsep dasar jatuh

a. Definisi dan gambaran umum jatuh pada lansia


Jatuh merupakan suatu keadaan yang mengakibatkan seseorang berada di permukaan
tanah, lantai, atau tingkat yang lebih rendah lainnya tanpa disengaja (World Health
Organization, 2008).
Jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada lansia akibat berbagai
perubahan fungsi organ, penyakit, dan faktor lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh
jatuh tidak jarang tidak ringan, seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai
dengan patah tulang. Jatuh juga seringkali merupakan pertanda kerapuhan (frailty), dan
merupakan faktor prediktor kematian atau penyebab tidak langsung kematian melalui
patah tulang. Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya
disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya
(Sudoyo et al., 2010).

b. Faktor risiko dan penyebab jatuh


Jatuh terjadi sebagai akibat dari pengaruh yang kompleks dari berbagai faktor risiko.
Faktor risiko jatuh dikategorikan menjadi empat dimensi, yaitu (World Health
Organization, 2008).

1) Faktor biologis
Faktor biologis mencakup karakteristik individu yang berkaitan dengan tubuh
manusia. Usia, jenis kelamin, dan ras adalah faktor biologis yang tidak dapat
dimodifikasi. Ini juga dikaitkan dengan perubahan akibat penuaan seperti penurunan
fisik, kapasitas kognitif dan afektif, dan komorbiditas terkait dengan penyakit kronis.
2) Faktor perilaku
Faktor risiko perilaku termasuk tindakan lansia, emosi, atau kebiasaan harian
yang berisiko terhadap kejadian jatuh seperti misalnya konsumsi berbagai obat,
penggunaan alkohol yang berlebihan, dan perilaku menetap (duduk terus menerus,
tidak berpindah). Faktor risiko ini dapat dimodifikasi sesuai dengan intervensi yang
tepat untuk perubahan perilaku.
3) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruh kondisi fisik lansia dan lingkungan sekitarnya
termasuk bahayanya. Lingkungan bukan menjadi penyebab tersendiri dari jatuh,
melainkan gabungan dari beberapa faktor risiko lainnya. Bahaya lingkungan seperti
anak tangga yang sempit, lantai dan tangga yang licin, permukaan yang tidak rata, dan
penerangan yang buruk meningkatkan risiko jatuh pada lansia.
4) Faktor Sosio-ekonomi
Faktor sosio-ekonomi terkait dengan kondisi sosial dan status ekonomi lansia.
Faktor-faktor ini termasuk penghasilan yang rendah, pendidikan yang rendah,
perumahan yang tidak memadai, kurangnya interaksi sosial, dan terbatasnya akses
ke pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil, dan kurangnya sumber daya
masyarakat. Dari beberapa faktor yang telah diuraikan tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi faktor risiko intrinsik (faktor yang ada pada pasien) dan faktor risiko
ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan).
Tabel 1
Penyebab Jatuh

Penyebab Jatuh Keterangan


Kecelakaan Kecelakaan murni (terpleset, tersandung, dll), interaksi
antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan
kerentanan
Sinkop Hilangnya kesadaran mendadak
Drop attacks Kelemahan tungkai bawa mendadak yang
menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran
Dizziness dan/atau vertigo Penyakit vestibular
Penyakit sistem saraf pusat
Hipotensi ortostatik Hipovolemia atau kardiak output yang rendah Disfungsi
otonom
Gangguan aliran darah balik vena Tirah baring
Hipotensi akibat obat-obatan
Hipotensi postprandial

Obat-obatan Diuretika Antihipertensi


Antidepresi golongan trisiklik Sedatif
Antipsikotik Hipoglikemia Alkohol
Proses penyakit Berbagai penyakit akut
Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis
aorta), sinkop sinus karotid Neurologis: TIA, stroke akut,
gangguan kejang,
penyakit Parkinson, spondilosis lumbar atau servikal
(dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf),
penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan
gaya berjalan), lesi sistem saraf
pusat (tumor, hematom subdural)
Idiopatik Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Sudoyo et al., 2010)
c. Uji timed up and go dalam penilaian risiko jatuh

Ada berbagai macam instrumen yang dapat digunakan untuk mengkaji risiko
jatuh, namun untuk penelitian ini akan digunakan uji Timed Up and Go (TUG).
Uji TUG dapat digunakan untuk mengamati keseimbangan tubuh, gaya berjalan, jarak
melangkah, dan goyangan tubuh pada lansia. Peralatan yang diperlukan adalah
stopwatch, kursi dengan sandaran lengan, meteran, dan penanda garis batas. Lansia
menggunakan alas kaki yang biasa digunakan dan bisa menggunakan alat bantu jalan,
jika diperlukan. Fungsi mobilitas fungsional dasar tersebut diukur dari beberapa detik
waktu yang diperlukan lansia untuk melakukan aktivitas berturut-turut: bangkit dari
kursi sejak pemeriksa mengatakan “mulai”, berjalan sepanjang 3 meter hingga batas
yang telah ditandai, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Waktu
dihitung saat pemeriksa mengucapkan “mulai” dan berhenti ketika lansia sudah duduk
kembali. Interpretasi dari hasil uji TUG adalah jika lansia memperoleh waktu ≥ 12
detik, diartikan bahwa lansia berisiko jatuh tinggi, tetapi jika waktu yang diperoleh
<12 detik berisiko jatuh rendah (US Department of Health and Human Services and
Centers for Disease Control, 2017).

B. Konsep Dasar Biomekanik

1. Definisi biomekanik

Biomekanik atau mekanika tubuh adalah suatu usaha mengoordinasikan sistem


muskuloskeletal dan sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan, postur, dan
kesejajaran tubuh selama mengangkat, membungkuk, bergerak, dan melakukan aktivitas
sehari-hari. Penggunaan mekanika tubuh yang tepat dapat mengurangi risiko jatuh dan
cedera sistem muskuloskeletal. Mekanika yang tepat juga memfasilitasi pergerakan tubuh,
yang memungkinkan mobilisasi fisik tanpa terjadi ketegangan otot dan penggunaan energi
otot yang berlebihan (Potter and Perry, 2006).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi biomekanik

Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya


(Risnanto dan Insani, 2014).
a. Usia dan tingkat perkembangan tubuh
Perbedaan kemampuan mobilitas terdapat pada tingkat usia yang berbeda. Hal
ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.
b. Pekerjaan
Individu yang bekerja di kantor biasanya kurang melakukan aktivitas
dibandingkan dengan petani ataupun buruh.
c. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku dan kebiasaan sehari-hari individu.
d. Kesehatan fisik (proses penyakit dan cacat)
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh, misalnya individu yang menderita fraktur femur
akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.
e. Keadaan nutrisi
Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga

yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring,


terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Darmojo, 2004) (dalam Ashar,P. H. 2016).
f. Emosi
Rasa aman dan bahagia dapat mempengaruhi seseorang beraktivitas. Keresahan
dan kesusahan dapat menghilangkan semangat yang kemudian sering dimanifestasikan
dengan kurangnya aktivitas.
g. Kelemahan neuromuskuler dan skeletal
Adanya abnormal postur tubuh seperti skoliosis, lordosis, dan kifosis dapat
berpengaruh terhadap pergerakan seseorang.
h. Kebudayaan
Kemampuan seseorang melakukan mobilitas juga dipengaruhi oleh kebudayaan.
Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh, memiliki
kemampuan mobilitas yang kuat.

2. Dampak fisiologis biomekanik


Mobilitas kaitannya dengan kesejajaran tubuh yang tepat pada lansia dapat
mengurangi ketegangan pada struktur muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot secara
adekuat, dan menunjang keseimbangan (Potter and Perry, 2006). Dampak yang dapat
ditimbulkan dari penggunaan mekanika tubuh yang salah adalah sebagai berikut (Risnanto
dan Insani, 2014).
a. Terjadi ketegangan sehingga memudahkan timbulnya kelelahan dan gangguan
dalam sistem muskuloskeletal
b. Risiko terjadi kecelakaan pada sistem muskuloskeletal. Seseorang salah dalam
berjongkok atau berdiri, maka akan memudahkan terjadinya gangguan dalam
struktur muskuloskeletal, misalnya kelainan pada tulang vertebra.

4. Cara melatih mobilisasi dengan biomekanik

Biomekanik dimana salah satunya mobilitas fungsional dasar dalam penelitian ini
yaitu bagaimana membantu lansia duduk di tepi tempat tidur, berdiri, dan berjalan.
Tempat tidur yang tidak berbahaya bagi lansia yaitu dengan tinggi 50-58 cm. Adapun cara
melatih mobilisasi lansia dengan biomekanik yang akan dilakukan pada penelitian ini,
yaitu.
Teknik pertama yaitu memindahkan lansia ke tepi tempat tidur dimulai dari
memindahkan kepala dan bahu lansia ke arah tepi tempat tidur, menggerakkan kaki dan
tungkai ke tepi tempat tidur, meletakkan kedua lengan dengan baik di bawah panggul
lansia (sebelum manuver berikutnya, kencangkan (atur) otot-otot punggung dan abdomen
perawat). Selanjutnya meluruskan punggung perawat sambil menggerakkan lansia ke arah
perawat.
Teknik kedua setelah lansia berada di tepi tempat tidur yaitu mendudukkan lansia di
tepi tempat tidur. Langkah awal yaitu perawat meletakkan lengan dan tangan di bawah
bahu lansia. Selanjutnya, perawat menginstruksikan lansia untuk mendorong sikunya ke
dalam tempat tidur sementara perawat mengangkat bahunya dengan lengan dan mengayun
tungkainya melewati tepi tempat tidur dengan lengan lainnya (gaya gravitasi menarik
tungkai ke bawah, yang membantu dalam mengangkat trunkus lansia).
Teknik ketiga yaitu membantu lansia untuk berdiri. Pertama, perawat meletakkan
kaki lansia dalam posisi yang baik. Perawat menghadap lansia sambil dengan kuat meraih
setiap sisi sangkar iga lansia dengan lengan perawat. Selanjutnya perawat mendorong
lututnya terhadap salah satu lutut lansia. Ayun lansia ke arah depan hingga lansia sampai
pada posisi berdiri (lutut perawat mendorong lutut lansia ketika lansia sampai pada posisi
berdiri). Selanjutnya, perawat memastikan bahwa lutut lansia “terkunci” (ekstensi
sempurna) ketika lansia berdiri. Lalu, perawat memberikan lansia cukup waktu untuk
menyeimbangkan dirinya. Apabila lansia ingin duduk, perawat membantu lansia
menggerakkan lansia memutar ke posisinya untuk duduk di kursi (Smeltzer and Bare,
2010).
Teknik terakhir yaitu membantu lansia berjalan. Postur jalan normal adalah kepala
tegak; vertebra servikal, thorakal, lumbal sejajar; pinggul dan lutut berada dalam keadaan
fleksi yang sesuai, dan lengan bebas mengayun bersama dengan kaki. Untuk mencegah
hipotensi ortostatik, lansia harus dibantu untuk duduk di sisi tempat tidur dan harus
istirahat selama satu sampai dua menit sebelum berdiri. Demikian juga pada saat lansia
setelah berdiri, lansia harus tetap berdiri satu sampai dua menit sebelum bergerak.
Keseimbangan lansia harus stabil sebelum berjalan, sehingga perawat dapat dengan segera
membawa lansia yang pusing kembali ke tempat tidur. Selama berjalan, lansia seharusnya
tidak bersandar di satu sisi karena hal ini mengganggu pusat gravitasi, mengubah
keseimbangan, dan meningkatkan risiko jatuh (Potter and Perry, 2006).

C. Pengaruh Biomekanik terhadap Risiko Jatuh pada Lansia

Proses degeneratif menyebabkan lansia berisiko tinggi untuk jatuh. Jatuh dapat
menimbulkan berbagai gangguan fungsi tubuh seperti, fraktur, trauma akibat jatuh atau
insiden lainnya dapat menyebabkan perubahan pada diri lansia maupun anggota keluarga.
Komplikasi dari jatuh tersebut menyebabkan lansia memerlukan lebih banyak bantuan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, higiene, hingga ambulasi dan
mobilisasi fisik (Kozier et al., 2016). Salah satu cara untuk mencegah jatuh tersebut adalah
dengan melatih lansia dalam penggunaan mekanika tubuh yang benar.
Perubahan posisi tubuh secara tiba-tiba menyebabkan kemungkinan terjadinya
hipotensi ortostatik (faktor risiko jatuh) semakin besar. Biomekanik yang benar dari bangun,
duduk, berdiri, dan berjalan berpengaruh terhadap keseimbangan sirkulasi darah ke otak dan
refleks sistem saraf sehingga terjadi kesiagaan tubuh lansia dalam mencegah hipotensi
ortostatik. Selain itu, biomekanik sebagai latihan fisik dapat mempertahankan tonus otot
secara adekuat, fleksibilitas, dan menunjang keseimbangan, sehingga dapat meminimalisir
risiko jatuh. dan cedera yang mungkin terjadi.
Penelitian yang dilakukan Prata and Scheicher (2014) tentang the effects of strength
and balance training on the mobility, fear of falling and grip strength of elderly female
fallers dengan jumlah sampel sebanyak 11 wanita lansia dengan usia 60 tahun keatas
didapatkan bahwa latihan keseimbangan baik dengan latihan virtual reality maupun
kekuatan otot selama 12 minggu dapat berpengaruh terhadap mobilitas dan ketakutan akan
jatuh berulang. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kekuatan genggaman tangan
saat melakukan latihan tersebut.
Penelitian yang dilakukan Hee (2011) tentang the effects of body mechanics training
on fear of falling in community-dwelling older adults dengan 15 lansia berusia 65 tahun
keatas didapatkan bahwa latihan mekanika tubuh secara statistik tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pengurangan ketakutan untuk jatuh, tetapi memiliki pengaruh pada
kesiagaan tubuh partisipan dalam menghadapi situasi jatuh.

D. PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
Pemeriksaan keseimbangan merupakan langkah paling awal sebelum diberikan latihan
postur dan latihan keseimbangan, hal ini untuk menentukan porsi latihan keseimbangan
untuk lansia. Apakah latihan yang diberikan bersifat ringan, sedang atau latihan yang
masuk dalam kriteria berat. Berikut bentuk pemeriksaan keseimbangan yang lazim
diberikan;

1. Keseimbangan Statis: Rhomberg Test


a. Pelaksanaan:
Lansia berdiri tegak dengan pandangan tegak lurus ke depan, lengan
disamping badan, kedua kaki rapat hingga mata kaki saling bersentuhan, kedua
mata tertutup. Pertahankan posisi badan tetap tegak tanpa goyah/ jatuh selama
30 detik.
b. Kriteria Penilaian:
Keseimbangan buruk bila badan goyang dan cenderung jatuh.

Gambar 1. Tes Romberg


2. Keseimbangan Dinamis: Time Up & Go Test

a. Prosedur pengukuran:
1) Peralatan: kursi dengan penyangga, meterline, cone atau penanda lainnya, dan
stopwatch.
2) Lansia diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang prosedur dalam menjalankan
test Timed Up and Go Test.
3) Setelah itu pastikan pasien duduk dengan nyaman dan bersandar diatas kursi
dengan posisi lengan berada diatas penyangga kursi.
4) Lansia menggunakan alas kaki yang nyaman.
5) Tempatkan cone atau penanda yang telah disiapkan sejauh 3 meter dari posisi
pasien duduk dan dapat terlihat oleh pasien.
6) Pada saat kader memberi aba-aba “mulai”, lansia berdiri dan mulai berjalan kearah
cone atau tanda yang telah disiapkan kemudian berputar di sekitar cone/penanda
tersebut kemudian berjalan kembali ke kursi dan duduk.
7) Perhitungan waktu pada pasien dimulai ketika aba- aba “mulai” sampai lansia
duduk semula di tempat duduknya.
8) Lansia tidak boleh dibantu saat melakukan test.
9) Hasil perhitungan dihubungkan dengan kecepatan gaya berjalan dan keseimbangan
tingkat fungsional.
b. Kriteria Penilaian:

Waktu Kriteria
< 10 Detik Normal
< 20 Detik Mobilitas baik, mampu keluar rumah sendiri
tanpa bantuan
< 30 Detik Terdapat masalah keseimbangan, tidak bisa
pergi keluar rumah sendiri, membutuhkan
alat bantu untuk berjalan
atau bantuan orang lain.
Sumber: Fenderson, Claudia., & Wen K. Ling 2012. Pemeriksaan Neuromuscular.
Jakarta: Erlangga Medical Series
Gambar 2. Time Up & Go Test

A B C
Keterangan Gambar :

A. Lansia duduk dengan nyaman dan bersandar diatas kursi dengan posisi lengan berada
diatas penyangga kursi.

B. Pada saat kader memberi aba-aba “mulai” , lansia berdiri dan berjalan kearah cone
atau tanda yang telah disiapkan

C. Lansia berputar di sekitar cone/penanda kemudian berjalan kembali ke kursi dan


duduk.

E. LATIHAN KOREKSI SIKAP TUBUH/ POSTUR


Sikap tubuh/postur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keseimbangan,
sikap tubuh yang buruk akan menyebabkan keseimbangan yang buruk juga. Maka untuk
itu sebelum memberikan latihan keseimbangan terlebih dahulu diberikan latihan koreksi
postur. Adapun latihan latihan koreksi postur tersebut sebagai berikut :
1. Posisi berdiri tegak pandangan kedepan dan kedua tangan dipinggang. Gerakkan kepala
seperti menganggu (gerakan ”Ya”), yaitu dagu di tarik kebelakang sehingga tengkuk terasa
terulur ke atas, tahan selama 3 hitungan. Ulangi gerakan sebanyak 5 kali (Perhatikan kepala
tetap lurus menghadap ke depan bukan menunduk.)

Gambar 3. Latihan Koreksi Leher


2. Posisi berdiri tegak, tungkai dibuka selebar bahu. Kedua tangan di pundak dengan
posisi siku menekuk. Lakukan gerakan memutar pada bahu dengan menggerakkan
kedua siku ke depan kemudian ke samping- ke belakang dan kebawah. Lakukan
pengulangan 8-10 kali/ 2-3 set.

Gambar 4. Latihan Memutar Bahu

3. Posisi berdiri tegak, tungkai dibuka selebar bahu, kedua tangan di pinggang.
Lakukan gerakan menekuk pinggang ke belakang dan ditahan selama 8 hitungan.
Ulangi gerakan tersebut sebanyak 2-3 kali

Gambar 5. Menekuk pinggang ke belakang

4. Berdiri tegak, kedua kaki agak terbuka lebar, kedua siku lurus dan kedua tangan bertautan di
depan badan. Lakukan gerakan angkat kedua lengan ke atas setinggi mungkin sambil tarik
napas, kemudian hembuskan napas sambil mengayunkan lengan kebawah, disertai dgn
membungkukkan badan dan kedua lutut ditekuk, sampai kedua tangan masuk disela-sela kedua
tungkai bawah, tahan sejenak dan ulangi lagi sampai 3 kali. Gerakkan ini untuk melenturkan
tulang belakang, karena itu waktu membungkukkan badan beri aba berurutan mulai tekukkan
leher, tekuk punggung, tekuk pinggang, tekuk lutut dankedua tangan melewati kaki, tahan
sejenak, kembali tangan ke atas awali dengan lutut diluruskan, kemudian luruskan pinggang,
luruskan punggung, dan luruskan leher sambil lihat ke atas tahan sejenak.

A B C D

Gambar 6. Latihan mengangkat tangan

Keterangan Gambar
A. Berdiri tegak, kedua kaki agak terbuka lebar
B. kedua siku lurus dan kedua tangan bertautan di depan badan.
C. Lakukan gerakan angkat kedua lengan ke atas setinggi mungkin sambil tarik
napas
D. Hembuskan napas sambil mengayunkan lengan kebawah, disertai dgn
membungkukkan badan dan kedua lutut ditekuk, sampai kedua tangan masuk
ke selal sela kedua tungkai bawah

3. LATIHAN KESEIMBANGAN
Dalam panduan ini, kami akan menyajikan 7 butir teknik-teknik latihan keseimbangan
dimana kami akam mulai dari latihan yang paling mudah kemudian menengah sampai latihan
yang kategori berat, berikut bentuk bentuk latihan tersebut :
1. Berjalan Kesamping
a. Berikan tanda kotak atau jejak kaki di lantai sebanyak 5 tanda dan disusun menyamping
ke kiri. Masing masing tanda berjarak 40cm.
b. Berdiri tegak pandangan kedepan dan kaki rapat disamping tanda/jejak pertama (jarak
antara tubuh dengan jejak pertama 40 cm)
c. Berjalan kesamping mengikuti jejak yang ada dilantai dengan menggerakkan tungkai
kiri dan disusul kaki kanan. Posisi kaki rapat.
d. Berjalan kesamping sebaliknya / ke kanan untuk kembali ke posisi
semula dengan tetap mengikuti jejak tersebut dan badan dipertahankan
tegak.
e. Lakukan pengulangan latihan 4-5 kali.

Gambar 7. Berjalan Kesamping

2. Berjalan menyilang ke samping


a. Berdiri tegak lurus, pandangan kedepan dan kedua kaki rapat.
b. Gerakkan kaki kanan menyilang dari depan kesamping kiri melewati kaki kiri,
kemudian gerakan kaki kiri ke samping kiri dan kembali rapat dengan kaki kanan
c. Ulangi gerakan tersebut masing-masing 5 kali tiap sisi. (jika latihan tersebut sulit
dilakukan pada posisi kaki rapat, lakukan latihan mulai dari posisi kaki terbuka
selebar bahu. Latihan ditingkatkan Secara bertahap dengan jarak kedua kaki
diperkecil)
Gambar 8. Berjalan menyilang ke samping

Keterangan Gambar
A. Berdiri tegak lurus, pandangan kedepan dan kedua kaki rapat.
B. Gerakkan kaki kanan menyilang dari depan kesamping kiri melewati kaki kiri
C. gerakan kaki kiri ke samping kiri dan kembali rapat dengan kaki kanan
3. Berjalan Tandem
a. Berdiri tegak lurus, pandangan kedepan dan lengan disamping badan
b. Berjalan pada satu garis lurus dengan melangkahkan kaki kanan kedepan dan
letakkan didepan kaki kiri hingga ibu jari kaki kiri menyentuh tumit kanan.
c. Lakukan gerakan yang sama pada kaki kiri.
d. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 5 langkah dan 2-3 sesi.
e.
Gambar 9. Berjalan Tandem

A B C

4. Melangkah jig-jag
a. Berdiri tegak lurus, pandangan ke depan, kedua kaki rapat.
b. Langkahkan kaki kiri menyilang kedepan,kemudian disusul kaki
kanan dan kedua kaki tetap dalam posisi rapat, kemudian
langkahkan kaki kanan ke belakang, disusul kaki kiri dan kaki

Keterangan Gambar :
A. Berdiri tegak lurus, pandangan kedepan dan lengan disamping badan
B. Berjalan pada satu garis lurus dengan melangkahkan kaki kanan kedepan dan letakkan
didepan kaki kiri hingga ibu jari kaki kiri menyentuh tumit kanan.
C. Lakukan gerakan yang sama pada kaki kiri.

rapat. Selanjutnya gerakan kaki kanan menyilang kedepan,disusul kaki kiri dan tetap
rapat, kemudian gerakkan kaki kanan kebelakang kanan disusul kaki kiri kembali posisi
semula. Ulangi latihan tersebut sebanyak 3-5 kali.
Gambar 10. Melangkah jig-jag
Keterangan Gambar :
A. Berdiri tegak lurus, pandangan ke depan, kedua kaki rapat.
B. Langkahkan kaki kiri menyilang kedepan,
C. Kemudian disusul kaki kanan dan kedua kaki tetap dalam
posisi rapat.
D. Kemudian langkahkan kaki kanan ke belakang, disusul kaki
kiri dan kaki rapat.

5. Berdiri satu tungkai


a. Berdiri tegak lurus menghadap tembok pandangan ke depan kaki dibuka selebar bahu.
Lengan diangkat tegak lurus dengan tembok, siku tangan lurus, jari-jari tangan
menyentuh tembok.
b. Angkat kaki kiri setinggi pinggul dan lutut ditekuk 90 derajat
c. Pertahankan posisi pinggul dalam posisi lurus
d. Lutut kanan sedikit menekuk dan tahan posisi tersebut selama 10 detik selama
menumpu berat badan
e. Secara perlahan turunkan kaki kanan keposisi semula
f. Lakukan gerakan tersebut pada kaki kanan, ulangi latihan tersebut 5 kali

Gambar 11. Berdiri satu tungkai


6. Kaki naik turun stool
a. Berdiri tegak lurus didepan stool setinggi 40cm, pandangan ke
depan, kedua kaki dibuka selebar bahu.
b. Angkat kaki kanan kemudian kembali ke posisi semula
dan bergantian dengan kaki kiri.
c. Ulangi gerakan tersebut 8-10 kali/sesi (3-5 sesi).

Gambar 12. Latihan Kaki naik turun stool

7. Ujung jari ke lantai


a. Berdiri tegak lurus, pandangan ke depan, kedua kaki rapat
b. Gerakkan kaki kanan sejauh mungkin ke depan dan ujung ibu jari
menyentuh tanda yang diletakkan lantai (ujung ibu jari tidak boleh menumpu
berat badan), kemudian gerakan samping kanan, ujung ibu jari menyentuh
tanda yang diletakkan di samping kanan, selanjutnya ujung ibu jari kaki
menyentuh tanda yag diletakkan di belakang tubuh. Kaki kembali ke posisi
semula. Ulangi gerakan tersebut 5 kali/ sesi ; 3-5 sesi
c. Lakukan gerakan tersebut pada kaki kiri.
Gambar 13. Latihan Ujung jari ke lantai
DAFTAR PUSTAKA

Afriwardi (2008). Program latihan bagi kelompok lansia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3 (1) :
35-37

Chung, H.A. (2008). A literature review a program of intervention of patient geriatric


depression. Society of Occupational Therapy for the Aged and Dementia, 2 (1), 59–67.

Claudia., & Wen K. Ling 2012. Pemeriksaan Neuromuscular.


Jakarta: Erlangga Medical Series

Junaidi, S. (2011). Pembinaan Fisik Lansia melalui aktifitas olahraga jalan kaki. Jurnal Media
Ilmu Keolahragaan Indonesia 1 (1) : 17-21

Fenderson, C., & Wen K. Ling 2012. Pemeriksaan Neuromuscular. Jakarta: Erlangga Medical
Series

Kusnanto, Indrawati R., Mufidah N. (2007). Peningkatan stabilitas postural lansia melalui
balance exercise. Media Ners, 1(2) 59- 68

Anda mungkin juga menyukai