Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

PERUBAHAN PSIKOLOGIS SAAT PERSALINAN

Dosen:

Ambariani, S.ST., M.Keb

Oleh:

o Alifia Nova Kirana (40720003)


o Husnul Mazidah (4070019)
o Reisya Agustina Mutiara (40720034)
o Selsa Cintya Melani (40720043)

PROGRAM STUDI S1-KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini bisa
tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari
pihak yang sudah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa pikiran maupun
materinya.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembacanya. Bahkan tidak hanya itu, kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini si
pembaca memanfaatkan lebih baik.

kami sadar masih banyak kekurangan didalam penyusunan makalah ini, karena
keterbatasan pengetahuan serta pengalaman kami. Untuk itu kami begitu mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Depok , September 2022

Penyusun : Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
.....................................................................................................................................
i

DAFTAR ISI
.....................................................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN
1

1.1. Latar Belakang


...............................................................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah
...............................................................................................................................
2
1.3. Tujuan Penulisan
...............................................................................................................................
2
1.4. Manfaat Penulisan
...............................................................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
4
2.1. Perubahan Psikologis Selama Persalinan dan Dampaknya
...............................................................................................................................
4

ii
A. Adat Kebiasaan Melahirkan
......................................................................................................................
4
B. Kegelisahan dan Ketakutan Menjelang Kelahiran
......................................................................................................................
5
C. Emosi Pada Saat Hamil dan Proses Melahirkan
......................................................................................................................
11
D. Faktor Somatik dan Psikis Yang Mempengaruhi Kelahiran
......................................................................................................................
15
E. Reaksi Wanita Hypermasculine Dalam Menghadapi Kelahiran
......................................................................................................................
20
F. Gangguan Attachment
......................................................................................................................
22
BAB III PENUTUP
24
3.1. Kesimpulan
...............................................................................................................................
24
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................................................................
25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan merupakan proses alamiah yang dialami seorang wanita. Asalkan


kondisi fisik memadai tidak akan banyak mengalami kesulitan, namun tidak setiap wanita
akan selalu siap menghadapi parsalinan karena persalinan disertai rasa nyeri dan
pengeluaran darah. Ketidaksiapan akan menimbulkan rasa takut dan cemas pada ibu
terutama pada wanita yang baru pertama kali melahirkan karena pada umumnya belum
memiliki gambaran mengenai kejadian yang akan dialami pada akhir kehamilan terlebih
pada persalinan. Kecemasan akan memobilisasi daya pertahanan individu. Cara individu
mempertahankan diri terhadap kecemasan dapat dilihat dari gejala-gejala yang
menentukan jenis gangguan (Maramis, 2005)

Faktor emosi atau psikologis terjadinya partus lama adalah ketakutan dan
kecemasan ibu yang tidak teratasi selama melahirkan. 65% kejadian partus lama
disebabkan karena kontraksi uterus yang tidak efisien sebagai respon terhadap kecemasan
sehingga menghambat aktifitas uterus. Salah satu penyebab terjadinya partus lama adalah
respon stres yang menempati urutan paling atas di antara lainnya. Kondisi ini terjadi
karena ibu bersalin akan menghadapi berbagai masalah dalam adaptasinya selama proses
persalinan, diantaranya rasa nyeri saat kontraksi, ketakutan akan ketidakmampuan dalam
menangani masalah yang akan terjadi, ketegangan dan hiperventilasi. (Hayati, 2017)

Masalah yang paling umum terjadi pada ibu yang meghadapi proses persalinan
tanpa adanya pendampingan yaitu ibu merasa tidak berdaya, rasa panik meningkat dan
suami beresiko tidak dapat menempatkan support mereka, meningkatkan adanya tindakan
medis. Selain itu ibu merasa takut, cemas dan peningkatan rasa nyeri saat proses
persalinan mengakibatkan ibu akan menjadi lelah dan kehilangan kekuatan seingga
menggangu jalan persalinan menjadi macet, seperti sungsang, distosia bahu,
perpanjangan kala II, kontraksi lemah Oleh karena itu pendampingan suami selama

1
2

prosespersalinan sangat dibutuhkan ibu terlebi dahulu pada ibu yang melahirkan anak
pertama. (Mahyunidar, 2019)

Salah satu penyebab ketidak lancaran proses persalinan adalah fakta psikologi,
kecemasan, kelelahan, kehabisan tenaga dan kekhawatiran ibu, seluruhnya menyatu
sehingga dapat memperberat nyeri fisik yang sudah ada. Begitu nyeri persepsi semakin
intens, kecemasan ibu meningkat semakin berat, sehingga terjadi siklus nyeri stress nyeri
dan seterusnya sehingga akhirnya ibu yang bersalin tidak mampu lagi bertahan. (Yanti,
2009).

Fenomena yang berkembang selama ini para petugas kesehatan baik dokter, bidan,
maupun perawat kebanyakan hanya memperhatikan kondisi fisik dibandingkan dengan
pemenuhan kebutuhan kondisi psikis dari ibu dalam menjelang persalinan dan selama
persalinan. Kondisi ini dapat memicu terjadinya kecemasan dan rasa takut pada ibu yang
sedang melahirkan. (Dahro, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai kesimpulan yang terkait untuk memudahkan dalam makalah ini, agar
tidak menyimpang dalam pembahasan serta sesuai dengan judul di atas maka penulis
perlu merumuskan masalah yang akan di bahas, adapun rumus masalahnya adalah
sebagai berikut :

1. Apa itu adat kebiasaan melahirkan ?


2. Bagaimana kegelisahan dan ketakutan ibu menjelang kelahiran ?
3. Bagaimana emosi pada saat hamil dan proses melahirkan ?
4. Apa saja faktor somatik dan psikis yang mempengaruhi kelahiran ?
5. Bagaimana reaksi wanita hypermsculine dalam menghadapi kelahiran ?
6. Apa itu gangguan attachment ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang tertera makalah ini sebagai berikut :

1. Agar mengetahui maksud dari adat kebiasaan melahirkan.


3

2. Agar mengetahui apa saja kegelisahan dan ketakutan ibu menjelang kelahiran.
3. Agar mengetahui emosi ibu pada saat hamil dan proses melahirkan.
4. Agar mengetahui faktor somatik dan psikis yang mempengaruhi kelahiran.
5. Agar mengetahui reaksi wanita hypermasculine dalam menghadapi kelahiran.
6. Agar mengetahui apa itu gangguan attachment.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan yang tertera dalam makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk memberitahu kepada pembaca maksud dari adat kebiasaan melahirkan.


2. Untuk memberitahu kepada pembaca apa saja kegelisahan dan ketakutan menjelang
kelahiran.
3. Untuk memberitahu kepada pembaca emosi ibu pada saat hamil dan proses
melahirkan.
4. Untuk memberitahu kepada pembaca faktor somatik dan psikis yang mempengaruhi
kelahiran.
5. Untuk memberitahu kepada pembaca reaksi wanita hypermasculine dalam
menghadapi kelahiran.
6. Untuk memberitahu kepada pembaca tentang gangguan attachment.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Psikologis Selama Persalinan dan Dampaknya

Persalinan merupakan proses alamiah yang dialami seorang wanita. Asalkan


kondisi fisik memadai tidak akan banyak mengalami kesulitan, namun tidak setiap
wanita akan selalu siap menghadapi parsalinan karena persalinan disertai rasa nyeri
dan pengeluaran darah. Ketidaksiapan akan menimbulkan rasa takut dan cemas
pada ibu terutama pada wanita yang baru pertama kali melahirkan karena pada
umumnya belum memiliki gambaran mengenai kejadian yang akan dialami pada
akhir kehamilan terlebih pada persalinan. Kecemasan akan memobilisasi daya
pertahanan individu.

Cara individu mempertahankan diri terhadap kecemasan dapat dilihat dari gejala-
gejala yang menentukan jenis hangguan (Maramis, 2005) faktor emosi atau
psikologis terjadinya partus lama adalah ketakutan dan kecemasan ibu yang tidak
teratasi selama melahirkan. 65% kejadian partus lama disebabkan karena kontraksi
uterus yang tidak efisien sebagai respon terhadap kecemasan sehingga
menghambat aktifitas uterus. Salah satu penyebab terjadinya partus lama adalah
respon stres yang menempati urutan paling atas di antara lainnya. Kondisi ini
terjadi karena ibu bersalin akan menghadapi berbagai masalah dalam adaptasinya
selama proses persalinan, diantaranya rasa nyeri saat kontraksi, ketakutan akan
ketidakmampuan dalam menangani masalah yang akan terjadi, Ketegangan dan
hiperventilasi. (Hayati, 2017)

Masalah yang paling umum terjadi pada ibu yang meghadapi proses persalinan
tanpa adanya pendampingan yaitu ibu merasa tidak berdaya, rasa panik meningkat
4
5

dan suami beresiko tidak dapat menempatkan support mereka, meningkatkan


adanya tindakan medis. Selain itu ibu merasa takut, cemas dan peningkatan rasa
nyeri saat proses persalinan mengakibatkan ibu akan menjadi lelah dan kehilangan
kekuatan seingga menggangu jalan persalinan menjadi macet, seperti sungsang,
distosia bahu, perpanjangan Kala II, kontraksi lemah Oleh karena itu
pendampingan suami selama prosespersalinan sangat dibutuhkan ibu terlebih
dahulu pada ibu yang melahirkan anak pertama (Mahyunidar, 2019)

Salah satu penyebab ketidak lancaran proses persalinan adalah fakta psikologi,
kecemasan, kelelahan, kehabisan tenaga dan kekhawatiran ibu, seluruhnya
menyatu sehingga dapat memperberat nyeri fisik yang sudah ada. Begitu nyeri
persepsi semakin intens, kecemasan ibu meningkat semakin berat, sehingga terjadi
siklus nyeri stress nyeri dan seterusnya sehingga akhirnya ibu yang bersalin tidak
mampu lagi bertahan (Yanti, 2009).

Fenomena yang berkembang selama ini para petugas kesehatan baik dokter, bidan,
maupun perawat kebanyakan hanya memperhatikan kondisi fisik dibandingkan
dengan pemenuhan kebutuhan kondisi psikis hari ibu dalam menjelang persalinan
dan selama persalinan. Kondisi ini dapat memicu terjadinya kecemasan dan rasa
takut pada ibu yang sedang melahirkan. (Dahro, 2012).

A. Adat Kebiasaan Persalinan


Adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal (local castom) yang mengatur interaksi
masyarakat. Dalam ensiklopedia disebutkan bahwa adat adalah “Kebiasaan” atau
“Tradisional” masyarakt yang telah dilakukan berulang kali secara turun-temurun.
Kata “adat” disini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi
seperti “Hukum Adat” dan mana yang tidak mempunyai sanksi seperti disebut ada
saja.
Kemajuan peradaban umat manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi modern menjadi tantangan pada upaya
6

pemertahanan tradisi lisan. Tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan


sumber terbentuknya peradaban dalam berbagai aspek kehidupan yang penting untuk
dilestarikan. Dalam bentuk dan isinya yang kompleks tidak hanya mengandung
cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya.
Tradisi lisan dituturkan, didengarkan, dan dihayati secara bersama-sama pada
peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa
tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan
menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang bertujuan magis. Tradisi lisan
mengandung gagasan, pikiran, ajaran, dan harapan masyarakat. Dengan demikian,
memudarnya tradisi lisan di dalam suatu masyarakat merupakan salah satu indikasi
telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya.
Usaha menggali nilai tradisi lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan,
melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah dan perlu dilaksanakan
karena tradisi merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan
keutuhan budaya nasional.
Tradisi ritual persalinan secara tradisional merupakan salah satu bagian penting
dalam siklus kehidupan masyarakat. Fase kelahiran adalah salah satu siklus penting
dalam kehidupan manusia. Istilah dukun bersalin dikenal masyarakat Sunda dengan
sebutan paraji. Mengutip dari Ensiklopedi Sunda (2000: 496), paraji adalah bidan
tradisional atau dalam bahasa Sunda disebut indung beurang. Seorang paraji tidak
hanya membantu seorang ibu dalam proses persalinan tetapi lebih pada menjaga agar
ibu dan bayinya selamat dari gangguang makhluk-makhluk halus yang jahat. Oleh
sebab itu seorang paraji tidak hanya harus menguasai pengetahuan persalinan tetapi
juga memiliki mantra penghalau gangguan mahkluk-makhluk yang jahat.
Menurut data UPTD Puskesmas Pameungpeuk, terdapat program pembinaan
berupa sosialisasi berkala yang diselenggarakan oleh puskesmas terhadap paraji-
paraji dalam rangka mensosialisasikan tentang pertolongan pada proses persalinan
ibu dan bayi untuk menekan jumlah kematian ibu melahirkan dan bayinya. Paraji-
paraji yang hadir pada progran pembinaan tersebut mendapatkan sertifikat pelatihan
7

namun bukan berarti bentuk legalitas praktek pengobatan mereka di tengah


masyarakat.
Salah satu pembinaan yang dilakukan puskesmas Pameungpeuk kepada paraji
adalah peran paraji pada proses persalinan ibu hamil adalah hanya sebagai
pendamping bidan desa dalam proses persalinan sehingga tidak diperbolehkan
menangani ibu melahirkan secara langsung kecuali dalam kondisi darurat. Proses
persalinan darurat yang terlanjur ditolong oleh paraji harus segera dilaporkan pada
bidan jejaring di desa tempat ibu melahirkan berdomisili. Dalam paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa eksistensi
paraji di kecamatan Pameungpeuk tetap ada hingga saat ini namun ada perubahan
peran mereka dalam menangani pasien, yakni hanya sebatas sebagai pendamping
bidan desa.
Tradisi paraji pada persalinan dimulai dari proses kehamilan ibu bayi. Paraji akan
mendeteksi kehamilan seorang ibu pada usia kandungan dua bulan melalui teknik
urut (pijit). Bahkan untuk menentukkan posisi bayi dalam kandungan sang ibu, paraji
biasanya menunggu sekitar 15 hari hingga 1 bulan dengan 5 kali proses urut
(pemijatan). Pada periode kehamilan tiga bulan biasanya janin akan terasa sebesar
jempol kaki melalui teknik urut. Seorang paraji akan menggunakan teknik urut pada
saat proses persalinan hingga masa pasca persalinan.
Pada proses pesalinan, paraji menggunakan media air berupa setengah gelas air
matang yang dibacakan doa dan jangjawokan kemudian diminumkan kepada sang
ibu dan sisanya di usapkan ke perut sang ibu sebanyak 3 kali. Untuk memudahkan
persalinan, paraji menyiapkan kuning telur ayam kampung dan gula aren lalu diaduk
dan diminumkan pada ibu yang akan melahirkan. Teknik mengurut (pijat) dilakukan
pada proses persalinan dengan diiringi bacaan doa-doa yang berisi ayat-ayat Al-
Qur’an dan jangjawokan. Setelah proses membantu persalinan, paraji membaca
serangkaian doa sebelum tidur untuk menjauhkan diri dari gangguan mahluk gaib
dan gannguan santet.
Pada masa pasca melahirkan, paraji akan mengurus ibu dan bayi hingga 40 hari. Bayi
yang baru dilahirka biasanya tidak dimandikan dengan alasan bayi akan kaget. Hari
kedua barulah paraji memandikan bayi sedangkan pada hari keempat dan kelima,
8

bayi tidak lagi dimandikan karena alasan kesehatan yakni takut kedinginan sekaligus
untuk mempercepat keringnya puput tali pusar. Puput tali pusar biasanya ditandai
dengan kondisi pusar bayi yang layu dan untuk mempercepat proses ini, paraji
mengikat tali pusar dengan benda mirip bola yang direbus sebelumnya dan diikatkan
didekat alat kelamin bayi menggunakan benang. Menjelang puput pusar, paraji akan
mengurut sang bayi dan luka bekas puput pusar akan dibersihkan menggunakan
alkohol dan betadin.
Namun dahulu, paraji biasanya menggunakan abu kayu bakar atau jahe untuk
mengobati luka puput pusar, setelah pembinaan puskesmas barulah paraji
menggunakan alkohol, betadin dan sarung tangan karet dalam proses pengobatan.
Pada masa pasca persalinan, seorang paraji juga melakukan ritual gebrak dengan
meletakkan bayi di lantai lalu menggebraknya tiga kali seiring membaca shalawat
nabi yakni Allahumma soli’ala sayidina muhammad.
Tujuan ritual gebrak adalah mempersiapkan anak agar tidak mudah terkejut.
Selain itu, paraji juga merawat ibu bayi pasca melahirkan dengan mengurut dan
membersihkan sang ibu setelah proses bersalin. Seorang paraji juga menggunakan
sejenis tanaman mirip jahe bernama panglay yang berfungsi menangkalgangguan
ghaib pada ibu hamil dan bayi dengan cara mencampurkan panglai dan bawang putih
pada air mandi bayi dan ibu hamil atau diusapkan ke jempol bayi.
Seorang paraji tidak menentukan besaran biaya atau tarif dalam membantu
persalinan pasiennya. Ia menerima berapapun dan apapun yang diberikan keluarga
pasien sebagai wujud rasa terima kasih meskipun hanya berupa pangan seiklasnya
ataupun uang pengganti transport perjalanan paraji ke rumah pasiennya. Paraji akan
mengunjungi pasiennya pada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Dapat disimpulkan bahwa paraji adalah sosok bidan tradisional yang ikhlas dan
sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan kerap kali ia harus bekerja
sambilan sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena
pendapatannya sebagai paraji yang sangat minim. Meskipun demikian ia tidak
pernah menyesal menjadi paraji bahkan bahagia karena memiliki kemampuan
membantu orang lain sekaligus melestarikan peninggalan leluhurnya.
9

Masyarakat percaya bahwa paraji mampu memberikan pertolongan pada masalah


kesehatan ibu hamil hingga masa persalinan serta dalam perawatan bayi.Paraji
dikenal memiliki kemampuan supranatural yang mampu memberikan kesembuhan
dan kemujaraban tanpa penggunaan alat-alat medis yang menakutkan bagi mereka.
Praktik ritual paraji sangat erat hubungannya dengan penggunaan jangjawokan.
Paraji menggunakan jangjawokan mulai dari pemeriksaan kehamilan, proses
persalinan hingga perawatan ibu dan bayi pasca persalinan. Setiap fase pertolongan
yang dilakukan paraji pada pasiennya disertai jangjawokan sebagai permohonan
keselamatan pada setiap usaha penyembuhan yang dilakukan. Kepercayaan ini
dilandasi oleh tradisi yang kuat yang telah diwariskan secara turun temurun. Praktik
paraji dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan berumur di atas 40
tahun yang dianggap terampil dan dipercaya secara turun temurun dalam
memberikan layanan pada masa kehamilan, proses persalinan dan perawatan ibu dan
bayi sesudah persalinan.Bahkan praktik paraji persalinan tidak dapat dipisahkan dari
istilah jangjawokan.
Jangjawokan merupakan mantra yang ditujukan guna berbagai keperluan meminta
keselamatan dari gangguan makhluk halus. Meskipun jangjawokan sering menyebut
Asma Allah dan Nabi Muhammad, namun bersamaan dengan disebutkannya
kepercayaan terhadap dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, arwah nenk moyang dan
lain sebagainya.
Salah satu bentuk jangjawokan yang digunakan paraji dalam proses persalinan
adalah sebagai berikut :
 Bismillahi rohmanirohim (Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang).
 Susurung angkat tipayun (didorong dahulu)
 Susuai angkat tiheula (disesuaikan dahulu)
 Tutugan gajah dudungki (tempatnya gajah bernaung)
 Aing nyaho ratu sia (saya tahu ratu kamu)
 Bung bulung buah bong bolong ( mengambil buah bong bolong)
 Allahu Akbar (3x) (Allah Maha Besar)
10

Jangjawokan tersebut bertujuan memohon pada Yang Maha Kuasa untuk


memberikan kelancaran pada proses persalinan (ngaluarkeun bayi ti kandungan).
Paraji akan melafalkan jangjawokan tersebut sambil memijat dan mendorong perut
sang ibu.
Jangjawokan merupakan media komunikasi paraji dengan Sang Maha Pencipta,
yang bertujuan memberikan kemudahan atas usahanya menolong pasien persalinan.
Pada masa persalian, banyak praktek budaya yang membahayakan kesehatan ibu
dan bayinya. Penolong persalian yang dipilih adalah dukun kampung karena selalu
ada jika dibutuhkan. Pertolongan persalinan oleh dukun kampung tentu akan berisiko
kematian ibu tinggi. Meskipun terlatih, pertolongan dukun kampung terbukti tidak
menurunkan tingkat kematian ibu.
Tindakan mengetahui letak terendah bayi (presentasi) dengan memasukkan
tangan kedalam rongga vagina tanpa menggunakan sarung tangan. Sebelum
melakukan tindakan tersebut bidan kampung mencuci tangan dengan air yang
dicampur daun sirsak. Tindak tersebut dapat meningkatkan resiko infeksi pada ibu
dan janin.
Persalinan yang dilakukan di dapur tidak memenuhi azas bersih alat, bersih
tempat, ini akan memperbesar resiko terjadinya infeksi, terutama infeksi nifas.
Untuk mempermudah proses persalinan Dukun kampung melakukan dorongan
(nyurung) pada perut ibu (pundus uteri). Tindakan tersebut sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan sobeknya rahim (ruptur uteri). Tindakan tersebut dilakukan
tanpa mempertimbangkan kelengkapan pembukaan kandungan. Tindakan tersebut
dilakukan berulang- ulang sampai bayi lahir.
Dukun kampung tidak segera merujuk persalinan lama rumah sakit atau
puskesmas. Biasanya mereka berusaha untuk mencari penyebab hambatan tersebut
melalui teknik perdukunan (belian). Upaya tersebut dapat memperlambat rujukan
sehingga membahayakan keselamatan ibu dan bayi.
Dari hasil observasi pemotongan tali pusat dilakukan setelah placenta lahir,
pemotongan dilakukan dengan menggunakan sembilu hal tersebut sejalan dengan
penelitian Hasil penelitian Giay10 alat pemotongan tali pusat pada masyarakat di
Jayapura dan Puncak Jaya adalah bambu, silet bekas, gunting steril, silet yang
11

direbus dengan kulit gaba-gaba. Pemotongan tali pusat setelah placenta lahir dapat
menyebabkan perdarahan pada bayi, sedangkan pemotongan dengan sembilu akan
meningkatkan resiko infeksi pada bayi.
Pemotongan tali pusat dilakukan di atas mata tali pusat, yang diyakini tidak
menyebabkan perdarahan sehingga tidak diperlukan pengikatan. Ujung tali pusat
yang telah dipotong diberi kopi dan kemudian dilakukan mantera. Pangkal tali pusat
diberi ramuan jelaga bercampur daun nangka kering dan air ludah orang yang
mengunyah sirih. Praktek tersebut dapat menyebabkan infeksi pada masa neonatus.
Apabila tembuni (plasenta) tidak lahir selama limabelas menit, dilakukan
penarikan dengan cara memasukkan tangan ke dalam rahim mengikuti tali pusat.
Praktek tersebut dapat menyebabkan robeknya rahim dan meningkatkan resiko
infeksi pada ibu.
Setelah memotong tali pusat, bayi dimandikan dengan air yang diambil dari
sungai hal ini dapat menyebabkan bayi mengalami hypotermi (suhu tubuh dingin) ini
sangat berbahaya bagi bayi.
Sedangkan ibu diberi minuman tuak dicampur air jahe dengan tujuan untuk
membuat tubuh hangat, segar, dan melancarkan air susu. Padahal, menurut panduan
gizi selama kehamilan dan laktasi ibu nifas sebaiknya tidak mengkonsumsi
alkohol.16
Pantangan makan dan anjuran pada masa nifas dapat menurunkan asupan gizi ibu
yang akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan produksi air susu. Hal tersebut
tidak sesuai dengan panduan yang menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan
yang mengandung karbohidrat, sayuran yang banyak mengandung vitamin A, buah,
dan daging setiap hari serta banyak minum.

B. Kegelisahan dan Ketakutan Menjelang Kelahiran


a) Definisi
 Cemas adalah respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang secara subyektif
dialami dan dikomunikasikan interpersonal secara langsung. Kecemasan
dapat diekspresikan melalui respon fisiologis dan psikologis (Sulistyawati,
dkk, 2003).
12

 Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan ketakutan


dan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan. Ibu bersalin
mengalami gangguan dalam menilai realitas, namun kepribadian masih tetap
utuh. Perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas batas normal
(Haward 2004).
b) Gejala Kecemasan

Secara umum kecemasan dipengaruhi oleh beberapa gejala yang mirip


dengan orang yang mengalami stress. Bedanya stress didominasi oleh gejala
fisik, sedangkan kecemasan didominasi oleh gejala psikis. Adapun gejala gejala
orang yang mengalami kecemasan adalah:

1. Ketegangan motorik/alat gerak seperti gemetar, tegang, nyeri otot, letih,


tidak dapat santai, gelisah, tidak dapat diam, kening berkerut, dan mudah
kaget.
2. Hiperaktivitas saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) seperti keringat
berlebihan, jantung berdebar-debar, rasa dingin di telapak tangan dan kaki,
mulut kering, pusing, rasa mual, sering buang air kecil, diare, muka
merah/pucat, denyut nadi dan nafas cepat
3. Rasa khawatir yang berlebihan tentang hal-hal yang akan datang seperti
cemas, takut, khawatir, membayangkan akan datangnya kemalangan
terhadap dirinya.
4. Kewaspadaan yang berlebihan seperti perhatian mudah beralih, sukar
konsentrasi, sukar tidur, mudah tersinggung, dan tidak sabar (Haward,
2004).
c) Penyebab Kegelisahan, Kecemasan, dan Ketakutan Menjelang Persalinan
1. Perasaan Takut mati
Kondisi-kondisi psikologis yang sering menyertai ibu menjelang
kelahiran bayi ialah adanya perasaan takut. Sekalipun peristiwa kelahiran
sebagai fenomenal fisiologis yang normal, kenyataanya proses persalinan
berdampak terhadap pendarahan dan kesakitan luar biasa serta bias
menimbulkan ketakutan kematian, baik ibu atau bayinya. Ketakutan
13

kematian yang mendalam menjelang kelahiran bayi disebut ketakutan


primer, yang menjadi intens ibu, suami dan semua orang yang bersimpati
padanya ikut panik atau gelisah. Sikap menghibur dan melindungi dari
suami atau keluarga sangat diperlukan, karena merupakan dukungan moril
mengatasi konflik batin, kegelisahan dan ketakutan-ketakutan lain.
Ketakutan primer biasanya datang bersamaan dengan ketakutan sekunder,
seperti kurangnya dukungan suami atau kondisi ekonomi sulit. Ketakutan
mati bias dikurangi dengan mekanisme pertahanan diri yang kuat, seperti
persiapan mental menghadapi persalinan dan menghindari konflik yang
serius.
2. Perasaan Bersalah dan Berdosa
Kondisi psikologis kedua yang menyertai menjelang kelahiran ialah
perasaan bersalah atau berdosa. Perasaan ini berhubungan erat dengan
kehidupan emosi dan cinta kasih yang diterima ibu hamil dari orang tuanya,
terutama pada ibunya. Manakala ia menerima kasih saying yang baik,
kemungkinan perasaan bersalah lebih kecil ketimbang dengan mereka yang
memiliki kehidupan emosi yang kurang menyenangkan. Hal ini sangat jelas
berlaku jika anak yang akan dilahirkan adalah hasil pemerkosaan atau anak
yang tidak diinginkan sehingga cenderung ingin melakukan aborsi. Selain
itu, proses identifikasi yang diterima ibu hamil. Jika identifikasi menjadi
bentuk yang salah, maka kemungkinan besar akan mengembangkan
mekanisme rasa bersalah atau berdosa pada ibunya. Keadaan rasa bersalah
atau berdosa akan membuat ibu semakin takut pada kematian sehingga salah
satu upaya yang dilakukan nya adalah meminta ibunya untuk selalu
menemani sebelum selama dan pasca persalinan. Kehadiran ibunya
dianggap sebagai obat pengganti rasa bersalahnya. Perasaan
bersalah/berdosa Perasaan berdosa terhadap ibu ini erat hubungannya
dengan ketakutan akan mati pada saat wanita tersebut melahirkan bayinya.
Oleh karena itu kita jumpai adat kebiasaan sejak zaman dahulu sampai masa
sekarang berupa:
14

 Orang lebih suka dan merasa lebih mantap kalau ibunya (nenek sang
bayi) menunggui dikala ia melahirkan bayinya.
 Maka menjadi sangat pentinglah kehadiran ibu tersebut pada saat
anaknya melahirkan bayinya.
3. Rasa Takut Konkrit

Pada umumnya wanita hamil akan dirundung rasa ketakutan konkrit


menjelang persalinan seperti ketakutan jika anak lahir cacat atau keadaan
patologis, takut bayinya bernasib buruk akibat dosa-dosanya, ketakutan atas
beban hidup yang semakin berat dengan kehadiran anak, sikap penolakan
dan regresi kalau dirinya dipisahkan dengan bayinya. Pada saat wanita
hamil, ketakutan untuk melahirkan bayinya itu bisa diperkuat oleh
sebabsebab konkret lainnya, misalnya:

1) Takut kalau-kalau bayinya akan lahir cacat, atau lahir dalam kondisi
yang patologis
2) Takut kalau bayinya akan bernasib buruk disebabkan oleh dosa-dosa
ibu itu sendiri dimasa silam.
3) Takut kalau beban hidupnya akan menjadi semakin berat oleh kelahiran
sang bayi.
4) Munculnya elemen ketakutan yang sangat mendalam dan tidak disadari,
kalau ia akan dipisahkan dari bayinya.
5) Takut kehilangan bayinya yang sering muncul sejak masa kehamilan
sampai waktu melahirkan bayinya. Ketakutan ini bisa diperkuat oleh
rasa-rasa berdosa atau rasa bersalah.
4. Trauma Kelahiran

Trauma kelahiran biasanya berkaitan erat dengan sikap ibu yang selalu
dirundung ketakutan untuk berpisah dengan anak dari rahimnya, sikap
protektif ibu yang berlebihan atau perasaan tidak mampu merawat bayinya.
Jadi, terdapat perasaan takut akan kehilangan bayi atau postmatur.

5. Halusinasi Hipnagogik
15

Gambaran-gambaran tanpa disertai perangsang yang adekuat yang


berlangsung saat setengah tidur dan setengah terjaga. Selama interval relaks
ini akan bermunculan berbagai konflik batin, tendensi psikologis yang tidak
terselesaikan yang masih terus mengganggu ketenangannya hingga
menjelang proses persalinan.

6. Tidak Ada Dukungan Lingkungan Sosial (Dukungan Suami)

Wortmen dan Dunkell Scheffer (dalam Abraham, 1997)


menidentifikasikan beberapa jenis dukungan meliputi ekspresi peranan
positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang diperlukan dengan
penghargaan yang tinggi dan ekspresi persetujuan atau pemberitahuan
tentang ketepatan, keyakinan dan perasaan seseorang.

Dukungan keluarga, terutama suami saat ibu melahirkan sangat


dibutuhkan seperti kehadiran kelurga dan suami untuk mendampingi istri
menjelang melahirkan atau suami menyentuh tangan istri dengan penuh
perasaan sehingga istri akan merasa lebih tenang untuk menhadapi proses
persalinan. Selain itu kata-kata yang mampu memotivasi dan memberikan
keyakinan pada ibu bahwa proses persalinan yang dijalani ibu akan
berlangsung dengan baik, sehingga ibu tidak perlu merasa cemas, tegang
atau ketakutan (Musbikin, 2005).
7. Pendidikan

Pendidikan adalah proses belajar yang berarti di dalam pendidikan


terjadi proses perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih baik dari
individu, kelompok, dan masyarakat yang lebih luas. Menurut Raytone
(dalam Maria, 2005) tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam
memberikan respons terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun
luar. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan
respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih
rendah atau yang tidak mempunyai pendidikan.
16

 Responden yang memiliki Pendidikan rendah yang berhubungan


dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi masa menjelang
persalinan sebesar 74,0% (17 responden), sedangkan responden yang
pendidikan tinggi yang berhubungan dengan tingkat kecemasan dalam
menghadapimasa menjelang persalinan sebesar 31,8% (7 responden).
Sumber: Heriani. (2016). Kecemasan dalam Menjelang Persalinan
Ditinjau dari Paritas, Usia dan Tingkat Pendidikan. Jurnal Ilmu
Kesehatan Aisyah. Vol 1 No 2. Hal 1-7. DOI: 10.30604/jika.v1i2.14.
https://aisyah.journalpress.id/index.php/jika/article/view/Heriani
 Hasil penelitian di atas sejalan dengan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Astria (2009), bahwa pendidikan ibu hubungan yang
bermakna dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi masa
menjelang persalinan. Juga sesuai dengan pendapat yang dikemukan
Pasaribu (2014), bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka
akan semakin besar peluang untuk mencari pengobatan ke tenaga
kesehatan. Sebaliknya, semakin rendahnya pendidikan seseorang akan
menyebabkan seseorang mengalami stres, dimana stres dan kecemasan
yang terjadi disebabkan kurang nya informasi yang didapat orang
tersebut.
d) Dampak

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan


masalah besar di negara berkembang. Persalinan lama merupakan salah satu
penyebab tingginya AKI di Indonesia. Beberapa faktor yang berkontribusi
terjadinya persalinan lama antara lain power atau kekuatan ibu saat melahirkan
tidak efektif dan psikologis ibu yang tidak siap menghadapi persalinan. Tidak
semua ibu menyadari bahwa aspek fisik dan psikis adalah dua hal yang terkait
saling mempengaruhi.

Perlu diketahui bahwa kecemasan, kegelisahan, ataupun ketakutan


merupakan suatu keadaan normal yang mungkin di rasakan oleh setiap orang
jika ada jiwa yang mengalami tekanan atau perasaan yang sangat dalam
17

sehingga dapat menyebabkan masalah psikiatris. Penelitian di Indonesia


menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami kecemasan tingkat tinggi dapat
meningkatkan resiko kelahiran bayi prematur bahkan keguguran. Jika hal itu
dibiarkan terjadi, maka angka mortalitas dan morbiditas pada ibu hamil akan
semakin meningkat.

C. Emosi Pada Saat Hamil dan Proses Melahirkan

Kematangan emosi seseorang dapat dilihat berdasarkan ketidak-matangan


emosi yang dimiliki, hal ini karena menurut Kohli dan Malhotra (2008) tidak ada
seorangpun di dunia yang benar-benar matang secara emosi. Karakteristik seseorang
yang memiliki kematangan emosi yang rendah menurut Singh dan Bhargava (Kohli
& Malhotra, 2008; Matheen, 2011) adalah:

a. Emotional instability (Ketidakstabilan emosi). Ketidakstabilan emosional dapat


berupa kurangnya kapasitas untuk menyelesaikan masalah, mudah untuk marah
dikarenakan kurangnya kontrol amarah, mengalami kerentanan atau mudah
rentan dan keras kepala.
b. Emotional regression (regresi emosional). Regresi emosional mencakup
perasaan rendah diri, mudah merasa gelisah, memiliki rasa permusuhan, bersikap
agresif dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
c. Social Maladjustment (ketidakmampuan penyesuaian diri secara sosial). Sosial
maladjustment ditandai dengan kurang mampunya individu untuk dapat
beradaptasi secara sosial.
d. Personality disintegration (disintegrasi kepribadian). Disintegrasi kepribadian
mencakup semua gejala-gejala yang mewakili disintegrasi kepribadian seperti
reaksi fobia, formasi, rasionalisasi, pesimisme dan amoralitas.
e. Lack of Independence (kurangnya kemandirian). Kurangnya kemandirian diri
dalam melakukan sesuatu ataupun dalam suatu kondisi yang menunjukkan
ketergantungan pada orang lain, adanya sikap egois dan hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri secara subjektif.
18

A. Emosi Pada Saat Kehamilan

Kecemasan dalam kehamilan hingga mendekati persalinan merupakan hal


yang wajar dialami oleh ibu hamil karena merupakan suatu pengalaman baru dan
merupakan masa-masa yang sulit bagi seorang wanita (Arindra & Zulkaida,
2008). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ibu hamil seringkali
mengalami kecemasan (Lee, Lam, Marie, Chong, Chui dan Fong, 2007; Gayatri,
Raddi, & Metgud,2010; Alipour, Lamyian, Hajizadeh & Vafaei, 2010:
Khalajzadeh, Shojaei & Mirfaizi, 2012)

Kecemasan yang dialami ibu hamil menjadi tidak wajar karena berdampak
pada gangguan tidur dan pola tidur yang tidak teratur (Khalajzadeh, Shojaei &
Mirfaizi, 2012), mengalami mimpi buruk berlebihan (Alipour, Lamyian,
Hajizadeh & Vafaei, 2010), adanya gangguan mood dan emosi, serta kehilangan
nafsu makan sehingga mengarah pada gangguan makan (Hofberg & Ward,
2003).

Tidak teraturnya pola tidur pada ibu hamil yang mengalami kecemasan
akan berdampak pada kesehatan bayi dalam kandungan. Mimpi buruk yang
berlebihan dialami oleh ibu hamil akan membuat ibu membayang-bayangkan
tentang mimpi yang dialami sehingga pikiran ibu hamil tidak sesuai dengan
realita.

Penelitian yang dilakukan Lee, Lam, Marie, Chong, Chui dan Fong (2007)
menunjukkan lebih dari setengah atau 54% dan lebih dari sepertiga atau 37%
dari perempuan memiliki kecemasan saat sedang hamil dan gejala depresi,
kecemasan lebih umum terjadi saat kehamilan hingga menjelang persalinan.
Lebih dari 20% wanita hamil melaporkan ketakutan dan 6% menggambarkan
rasa takut yang melumpuhkan. 13% dari seluruh wanita yang tidak hamil
melaporkan rasa takut akan persalinan sehingga cukup untuk menunda atau
menghindari kehamilan (Hofberg & Ward, 2003)
19

B. Emosi Pada Saat Proses Melahirkan

Banyak hal yang mempengaruhi kecemasan menghadapi persalinan,


seperti dukungan sosial dari suami dan keluarga, kondisi ekonomi, pengendalian
emosi (Zanden, 1985), tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai
persalinan (Zanden, 1985; Gayatri, Raddi, & Metgud, 2010). Pengendalian
emosi dianggap menjadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi kecemasan ibu
menghadapi persalinan.

Bahiyatun (2008) menjelaskan kecemasan-kecemasan menjelang


persalinan yang dialami ibu hamil berupa perasaan cemas dan khawatir bila
pembukaannya nanti akan lama, ketakutan akan terjadinya pendarahan yang
banyak, takut merasakan sakit pada setiap kala persalinan, perasaan cemas
mengenai keadaan bayi yang akan lahir. Pada usia kandungan tujuh bulan ke
atas, tingkat kecemasan ibu semakin akut dan intensif seiring dengan
mendekatnya kelahiran bayi pertama (Kartono, 1992; Kalil, 1995; dalam
Wulandari 2006).

Hal yang sama dijelaskan dalam penelitian Margiantari, Basuki dan


Ningsih (2008) bahwa para ibu pada awal kehamilan biasanya akan merasa
senang, namun seiring bertambahnya usia kehamilan dan mendekati jadwal
persalinan, maka perasaan cemas mulai muncul.Individu yang mampu menahan
dan tidak meluapkan emosi di hadapan orang lain, tetapi justru menunggu saat
yang tepat dan tempat yang sesuai untuk mengungkapkan emosinya dianggap
telah matang dalam hal emosi jika mampu untuk menilai secara kritis suatu
situasi sebelum bereaksi secara emosional (Mighwar, 2006).

Amalia (Rahmi, 2010) menjelaskan bahwa emosi yang tidak stabil juga
akan membuat ibu merasakan sakit yang semakin hebat selama proses
persalinan. Perubahan emosi ibu dalam kehamilan hingga proses kelahiran akan
sangat berpengaruh terhadap lancar tidaknya persalinan dan keadaan bayi
sehingga dibutuhkan pengendalian emosi pada ibu. Kematangan emosi
melibatkan kontrol emosi yang membuat seseorang mampu menstabilkan emosi
dengan cara memelihara perasaan, dapat meredam emosi, meredam kegelisahan,
20

tidak cepat mengubah suasana hati dan tidak mudah berubah pendirian serta
pikiran.

C. Kecemasan Menghadapi Persalinan

Pertama Nevid (2005) mendefinisikan kecemasan adalah suatu keadaan


emosional yang mempunyai ciri-ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang
yang tidak menyenangkan dan perasaaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi. Ciri-ciri kecemasan menurut Nevid (2005) berupa:

A. Ciri-ciri fisik yaitu kecemasan seseorang secara fisik berupa keterangsangan


keadaan fisiologis yang ditandai timbulnya kegelisahan, tangan atau anggota
tubuh gemetar, dada terasa kencang, mengeluarkan banyak keringat, jantung
yang berdebar kencang, anggota tubuh menjadi dingin, dan lemas atau mati
rasa.
B. Ciri-ciri behavioral atau perilaku, yaitu kecemasan seseorang dapat berupa
adanya perilaku menghindar sumber kecemasan, sehingga lebih bergantung
pada orang lain, bersikap manja dan selalu ingin diperhatikan ataupun dekat
dengan orang lain, merasa sensitif dan mudah marah serta mudah merasa
terguncang,
C. Ciri-ciri kognitif, ditandai dengan adanya kekhawatiran tentang sesuatu,
perasaan terganggu pada ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi
dimasa yang akan datang, adanya keyakinan bahwa sesuatu yang
mengerikan akan segera terjadi dan tidak ada penjelasan yang jelas, sangat
bersikap waspada terhadap sensasi kebutuhan yang dialami, kebingungan
dan kekhawatiran. Bahiyatun (2008) menjelaskan persalinan sebagai
serangkaian peristiwa atau kejadian pada wanita usia subur yang ditandai
dengan pengeluaran bayi yang hampir atau sudah cukup bulan disertai
dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh seorang ibu.
Kecemasan menghadapi persalinan pertama adalah kondisi emosional yang
ditandai oleh afek negatif berupa perasaan takut dan khawatir yang tidak
menyenangkan seperti ketakutan akan kematian kehilangan kontrol,
ketakutan akan rasa sakit terhadap proses persalinan yang tidak pasti dan
21

tidak menentu yang berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam


menghadapi persalinan.

D. Faktor Somatik dan Psikis yang Mempengaruhi Kelahiran


A. Faktor Somatik yang Mempengaruhi Proses Kelahiran
Faktor Somatik di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Neroanatomi
b. Nerofisiologi
c. Nerokimia
d. tingkat kematangan dan perkembangan organik
e. Faktor-faktor pre dan peri – natal

Sue, dkk (dalam Kartikasari, 1995) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan


terwujud dalam empat hal yaitu :

1. Manifestasi kognitif Terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali


memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi.
2. Perilaku motorik Kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak
menentu seperti gemetar.
3. Perubahan somatic Muncul dalam keadaan mulut kering, tangan dan kaki
kaku, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan
lain‐lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan
detak jantung, peningkatan respirasi, ketegangan otot, peningkatan tekanan
darah dan lain‐lain.
4. Afektif Diwujudkan dalam perasaan gelisah, perasaan tegang yang
berlebihan.
B. Faktor Psikis yang Mempengaruhi Proses Kelahiran

Secara umum, gangguan psikis ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:

a. Perubahan Hormon
22

Perlu diketahui, ketika mengandung bahkan setelah melahirkan terjadi


fluktusi hormonal dalam tubuh. Hal inilah yang antara lain menyebabkan
terjadinya gangguan psikologis pada ibu yang baru melahirkan.
b. Kurangnya Persiapan Mental
Kondisi psikis atau mental yang kurang dalam menghadapi berbagai
kemungkinan seputar peran ganda merawat bayi, pasangan, dan diri sendiri.
Terutama hal-hal baru dan luar biasa yang bakal dialami setelah melahirkan.
Ini tentunya dapat menimbulkan masalah. Penderitaan fisik dan beban
jasmaniah selama berminggu-minggu terakhir masa kehamilan itu
menimbulkan banyak gangguan psikis dan pada akhirnya meregangkan
jelinan hubungan baik ibu dan anak yang semula tunggal dan harmonis.
c. Keinginan Narsistis
Keinginan yang narsistis ini cenderung menolak kelahiran bayinya, dan
ingin mempertahankan bayinya selama mungkin di dalam kandungan.
Peristiwa ini disebabkan oleh:
1) Fantasi tentang calon bayinya yang akan menjadi objek kasih sayang.
2) Beban fisik oleh semakin membesarnya bayi dalam kandungan.
d. Faktor-faktor psikologik (psikogenik):
a. Interaksi ibu –anak: normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal
berdasarkan
b. Kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya
dan kebimbangan.
c. Peranan ayah
d. Persaingan antara saudara kandung
e. Inteligensi
f. Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
g. kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa
salah h. Konsep dini: pengertian identitas diri sendiri lawan peranan
yang tidak menentu
h. Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
i. Tingkat perkembangan emosi
23

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persalinan Terdapat lima faktor


yang mempengaruhi persalinan atau sering disebut 5P, yaitu Passenger,
passage, power, psikologi, dan penolong(Bidan). Akan tetapi faktor penentu
persalinan yang akan kita bahas lebih lanjut adalah faktor psikologi.

Banyaknya wanita normal bisa merasakan kegairahan dan


kegembiraan disaat merasa kesakitan awal menjelang kelahiran bayinya.
Perasaan positif ini berupa kelegaan hati, seolah-olah pada saat itulah benar-
benar terjadi realitas “kewanitaan sejati” yaitu munculnya rasa bangga bisa
melahirkan atau memproduksi anaknya. Khususnya rasa lega itu
berlangsung jika kehamilannya mengalami perpanjangan waktu.

Mereka seolah-olah mendapatkan kepastian bahwa kehamilan yang


semula dianggap sebagai suatu “keadaan yang belum pasti” sekarang
menjadi hal yang nyata. Psikologi meliputi: 1. Melibatkan psikologis ibu,
emosi dan persiapan intelektual 2. Pengalaman bayi sebelumnya 3.
Kebiasaan adat 4. Dukungan orang terdekat pada kehidupan ibu.

Efek dari kecemasan dalam persalinan dapat mengakibatkan kadar


katekolamin yang berlebihan pada Kala 1 menyebabkan turunnya aliran
darah ke rahim, turunnya kontraksi rahim, turunnya aliran darah ke plasenta,
turunnya oksigen yang tersedia untuk janin serta dapat meningkatkan
lamanya Persalinan Kala 1.

Puncak kekhawatiran muncul bersamaan dengan dimulainya tanda-


tanda persalinan. Kontraksi yang lama kelamaan meningkat menambah
beban ibu, sehingga kekhawatiran bertambah. Pada kondisi inilah perasaan
khawatir, bila tidak ditangani dengan baik, bisa merusak konsentrasi ibu
sehingga persalinan yang diperkirakan lancer, berantakan akibat ibu panik.
Kecemasan mengakibatkan peningkatan hormone stress (stress related
hormone).

Stress persalinan tidak hanya berakibat pada ibu, tetapi juga teradap
janin. Sebab ibu yang mengalami stress, sinyalnya berjalan lewat aksis HPA
24

(Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) dapat menyebabkan lepasnya hormone


stres antara lain ACTH, Kortisol, katekolaminn, beta endokrin, GH,
Prolaktin, dan LH/FSH. Akibatnya terjadi vasokonstriksi sistemk, termasuk
konstriksi vasa utero plasenta yang menyebabkan gangguuan aliran darah
didalam rahim, sehingga penyampaian oksigen kedalam miometrium
terganggu, berakibat melemahnya konstruksi otot rahim. Kejadian tersebut
menyebabkan makin lamanya proses persalinan (partus lama) sehingga janin
dapat mengalami kegawatan (fetal-distres).

Disamping itu dapat menyebabkan kortisol, berakibat menurunkan


respon ibu dan janin. Dengan demikian stres persalinan dapat
membahayakan ibu dan bayinya. Akibat tersebut terbawa sampai periode
pasca persalinan, misalnya terganggunya produksi ASI, melambatnya
penyembuhan luka persalinan, kekuatan bayi menyusu ibu melemah
sehingga penambahan berat bayi lambat. Hasil akhirnya kontak fisik ibu dan
anak terganggu dengan berbagai akibatnya. (Yanti, 2009).

Secara epidemiologis, kecemasan dapat terjadi pada semua


persalinan baik pada persalinan primigravida maupun multigravida. Felman
et al (dalam Aryasatiani, 2005) dalam penelitiannya menemukan lebih dari
12 % ibu‐ibu yang pernah melahirkan mengatakan bahwa mereka
mengalami cemas pada saat melahirkan dimana pengalaman tersebut
merupakan saat‐saat tidak menyenangkan dalam hidupnya. Rasa takut dan
sakit menimbulkan stress yang mengakibatkan pengeluaran adrenalin.

Hal ini mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan


mengurangi aliran darah yang membawa oksigen ke rahim sehingga terjadi
penurunan kontraksi rahim yang akan menyebabkan memanjangnya waktu
persalinan. Hal ini kurang menguntungkan bagi ibu maupun janin yang
berada dalam rahim ibu.

Penelitian yang berkaitan dengan kejadian persalinan lama, 65%


disebabkan karena kontraksi uterus yang tidak efisien. Menurut Old et al
(2000), adanya disfungsional kontraksi uterus sebagai respon terhadap
25

kecemasan sehingga menghambat aktifitas uterus. Respon tersebut adalah


bagian dari komponen psikologis, sehingga dapat dinyatakan bahwa faktor
psikologis mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan proses
persalinan. Takut biasanya dialami pada hal – hal yang belum diketahui ibu
sehingga ibu tidak siap untuk melahirkan atau persalinan tidak sesuai
dengan jadwal, ibu akan mengalami kelelahan, tegang selama kontraksi dan
nyeri yang luar biasa sehingga ibu menjadi cemas. Kecemasan juga bisa
terjadi karena pengalaman buruk kerabat atau teman tentang persalinan dan
kenyataan bahwa kehamilan yang beresiko juga menyebabkan ibu tidak siap
menghadapi persalinan. Tenaga medis dan situasi tempat yang tidak
bersahabat dapat mempengaruhi rasa nyaman ibu untuk melahirkan.

Terkadang hambatan psikologis lebih besar pengaruhnya


dibandingkan fisik. Sering juga terjadi baik gangguan fisik maupun
psikologis berpadu menjadi lingkaran setan yang sulit diputuskan,
mekanisme ini disebut incoordinate uterine action. Soewandi (1997)
menyatakan bahwa pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang
mudah mengalami kecemasan. Ketidaktahuan tentang suatu hal dianggap
sebagai tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan
kecemasan. Kecemasan dapat terjadi pada ibu dengan pengetahuan yang
rendah tentang proses persalinan, hal‐hal yang akan dan harus dialami oleh
ibu sebagai dampak dari kemajuan persalinan. Hal ini disebabkan karena
kurangnya informasi yang diperoleh. Menurut Pilliteri (2002) rasa takut,
lelah dan kultur akan mempengaruhi respon psikologis berupa cemas yang
terjadi pada wanita menjelang persalinan.

Dengan pemeriksaan kehamilan yang teratur ibu akan mendapatkan


informasi/pendidikan kesehatan sehingga diharapkan ibu bisa lebih siap
menghadapi persalinan dengan penuh percaya diri. Kecemasan pada ibu
bersalin kala I bisa berdampak meningkatnya sekresi adrenalin. Salah satu
efek adrenalin adalah konstriksi pembuluh darah sehingga suplai oksigen ke
janin menurun. Penurunan aliran darah juga menyebabkan melemahnya
26

kontraksi rahim dan berakibat memanjangnya proses persalinan. Tidak


hanya sekresi adrenalin yang meningkat tetapi sekresi ACTH
(Adrenocorticotropic hormone) juga meningkat, menyebabkan peningkatan
kadar kortisol serum dan gula darah.

Sebagaimana yang diungkapkan Mc. Kinney, et al (2000bahwa


kecemasan dapat timbul dari reaksi seseorang terhadap nyeri. Hal ini akan
meningkatkan aktifitas saraf simpatik dan meningkatkan sekresi
katekolamin. Sekresi katekolamin yang berlebihan akan menimbulkan
penurunan aliran darah ke plasenta sehinga membatasi suplai oksigen serta
penurunan efektifitas dari kontraksi uterus yang dapat memperlambat proses
persalinan.

Cara mengatasi masalah psikologis ibu pada saat persalinan 1.


Kegiatan konseling pada ibu melahirkan merupakan pemberian bantuan
kepada ibu yang akan melahirkan. Adapun langkah-langkah konseling
kebidanan pada ibu melahirkan seperti: a. Menjalin hubungan yang
mengenakan (rapport) dengan klien. b. Bidan menerima klien apa adanya
dan memberikan dukungan yang positif. • c. Kehadiran Merupakan bentuk
tindakan aktif keterampilan yang meliputi mengatasi semua
kekacauan/kebingungan, memberikan perhatian total kepada klien. Bidan
dalam memberikan pendampingan klien yang bersalin difokuskan secar fisik
dan psikologis. d. Mendengarkan Bidan selalu mendengarkan dan
memperhatikan keluhan klien e. Sentuhan dalam pendampingan klien yang
bersalin.

E. Reaksi Wanita Hypermasculine Dalam Menghadapi Kelahiran


A. Pengertian Wanita Hipermaskulin

Wanita hipermaskulin adalah wanita yang memiliki sifat yang


aktif dan kejantanan. Padawanita ini, sejak awal kehamilan dihadapkan pada
perasaan enggan untuk melahirkan tetapidia ingin memiliki anak. Ia
menganggap bahwa anak dapat menghambat pekerjaan dan karirnya.
27

B. Reaksi Wanita Hipermaskulin

Reaksi yang terjadi pada wanita hipermaskulin adalah selalu diikuti


perasaan bahwa dia sangat berharap dan mendampabakn anak tetapi ada konflik
batin bahwa dia juga tidak suka mendapatkan keturunan akibatnya dapat timbul
ketidakpercayaan diri pada wanita tersebut, bahkan dapat mengalami gangguan
saraf seperti sakit kepala hebat pada satu sisi saja atau migraine. Ketika wanita
hipermaskulin mengetahui dirinya hamil, pertama kali akan timbul konflik batin.
Dia merasa seperti bermimpi. Emosi-emosi negative akan mengikuti wanita ini.
Akibatnya timbul khawatir dan kecemasan yang berlebihan.

C. Kecemasan yang Dirasakan Wanita Hipermaskulin

Kecemasan-kecemasan yang dirasakan diantaranya, yaitu:

1. Bayi yang lahir nanti dapat menghalangi kebahagiaannya.


2. Bayi itu akan menghambat karier dan mengurangi eksistensinya dalam
pekerjaan.
3. Tidak percaya diri apakah dia mampu menjadi ibu dan bisa merawat bayi.
4. Bakat dan kemampuan ibu dapat mati setelah bayi lahir.
5. Nanti dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri setelah kelahiran bayinya.
6. Takut tidak dapat membagi waktu antara anak, karier dan keluarga.

Kecemasan-kecemasan tersebut sebenarnya bersumber dari dirinya sendiri


yang mengalami konflik batin antara dorongan feminitas dan maskulinitasnya.
Disatu sisi dorongan feminitas mendambakan keturunan sendiri dan secara
naluri ingin menjadi ibu tetapi disisi lain ada dorongan maskulinitas yang lebih
mengutamakan karier, jabatan, pretasi dan eksistensi diri.

Pada proses persalinan, wanita hipermaskulin akan berjuan mengatasi


kecemasan dan ketakutannya tersebut. Kesakitan fisik yang dialami saat proses
persalinan missal pada saat timbulnya kontraksi, akan diatasi oleh wanita
hipermaskulin dengan usahanya sendiri. Tapi kadang kala usaha tersebut muncul
secara ekstrim dan cenderung bersifat masculine-agresif. Pada proses persalinan
normal hal ini malah berakibat menghambat jalannya persalinan dan dapat
28

mempersulit kelahiran bayi. Pada keadaan selanjutnya wanita ini akan bersifat
hiper-pasive, cenderung kurang peduli dan akhirnya membiarkan dokter untuk
melakukan operasi untuk melahirkan bayinya.

F. Gangguan Attachment

Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog


dari inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih
lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969.

Menurut Bowlby (dalam Santrock 2002) attachment adalah adanya suatu relasi
atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang
dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan
cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak
pada ibu atau figur lain pengganti ibu.

Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk


seorang individu dengan orang lain yang bersifat kekal sepanjang waktu.

Hubungan attachment antara orangtua dan anak mengacu pada aspek-aspek


hubungan yang berfungsi bagi bayi dalam menghadapi stres dan menumbuhkan rasa
aman. Dari anak-anak di panti asuhan yang diasuh dalam empat tahun pertama
kehidupannya, mereka yang menghabiskan tiga tahun pertama seluruhnya di panti
dengan sekitar 50 pengasuh yang berbeda setiap minggu memperlihatkan
pengembangan hubungan attachment yang selektif. Hal ini berpengaruh terhadap
ketahanan (resiliency) anak-anak dan memungkinkan terjadinya Reactive
Attachment Disorder.

Reactive Attachment Disorder/Gangguan Pelekatan Reaktif didefinisikan


sebagai gangguan interaksi dan hubungan sosial yang didasarkan pada pengasuhan
yang sangat tidak memadai, seperti menelantarkan kebutuhan fisik dan emosional
dasar anak atau sering berganti pengasuh, sehingga menghalangi ikatan yang
adekuat. RAD digambarkan ada dua subtipe yaitu emotionally withdrawn/ inhibited
subtype dan indiscriminately social/ disinhibited subtype. RAD merupakan hasil dari
29

attachment yang patologis yang disebabkan oleh kurangnya attachment dan


kurangnya perilaku attachment pada pengasuh utama.

Gambaran penting anak dengan RAD adalah tidak adanya attachment yang
berkembang secara nyata di antara anak dan pengasuhnya, dimana seorang anak
jarang atau minimal bergantung kepada figur attachment untuk kenyamanan,
dukungan, perlindungan dan pemeliharaan. Anak-anak dengan RAD pada bayi dan
masa anak-anak awal sering pertama kali diidentifikasi guru pra sekolah atau dokter
spesialis anak berdasarkan observasi langsung dari respon sosial anak yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Diagnosis RAD didasarkan atas riwayat
penelantaran dan dari attachment yang mengarah ke perilaku sosial yang tidak sesuai
sebelum usia 5 tahun.

Gejala dari RAD sering tumpang tindih dengan gangguan yang lain atau sering
ada bersamaan dengan pervasive developmental disorder, retardasi mental, gangguan
depresi, skizofrenia masa anak, genetic syndromes, berbagai kelainan neurologis
yang berat, dan kekerdilan psikososial.

Beberapa prinsip umum terapi berlaku untuk RAD. Keparahan keadaan fisik
dan emosional anak atau keparahan pengasuhan patologis menentukan strategi terapi.
Terdapat beberapa pilihan penatalaksanaan untuk RAD, antara lain pendekatan
psikoterapi konvensional, holding therapy, BMT dan DDP.

Prognosis tergantung pada kualitas lingkungan pengasuhan termasuk


pengabaian sosial yang serius dan pada komplikasi yang menyertai seperti gagal
tumbuh. Semakin lama anak tetap dalam lingkungan yang merugikan tanpa
intervensi yang adekuat, semakin besar kerusakan fisik dan emosi yang terjadi, akan
semakin buruk prognosisnya. Untuk anak-anak yang memiliki banyak masalah yang
berasal dari pengasuhan patogenik, pemulihan fisiknya mungkin lebih cepat dan
lebih lengkap dibandingkan kesehatan emosinya. Hubungan pengasuhan,
pengalaman traumatis dan trauma yang kronis berperan penting dalam menentukan
tingkat keparahan anak dalam perilaku dan hubungan berikutnya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Faktor emosi atau psikologis terjadinya partus lama adalah ketakutan dan
kecemasan ibu yang tidak teratasi selama melahirkan. 65% kejadian partus lama
disebabkan karena kontraksi uterus yang tidak efisien sebagai respon terhadap kecemasan
sehingga menghambat aktifitas uterus. Salah satu penyebab terjadinya partus lama adalah
respon stres yang menempati urutan paling atas di antara lainnya. Kondisi ini terjadi
karena ibu bersalin akan menghadapi berbagai masalah dalam adaptasinya selama proses
persalinan, diantaranya rasa nyeri saat kontraksi, ketakutan akan ketidakmampuan dalam
menangani masalah yang akan terjadi, ketegangan dan hiperventilasi.

Salah satu penyebab ketidak lancaran proses persalinan adalah fakta psikologi,
kecemasan, kelelahan, kehabisan tenaga dan kekhawatiran ibu, seluruhnya menyatu
sehingga dapat memperberat nyeri fisik yang sudah ada. Begitu nyeri persepsi semakin
intens, kecemasan ibu meningkat semakin berat, sehingga terjadi siklus nyeri stress nyeri
dan seterusnya sehingga akhirnya ibu yang bersalin tidak mampu lagi bertahan (Yanti,
2009).

30
DAFTAR PUSTAKA

Efendy, S. P. A. (2013). Hubungan pola kelekatan (attachment) anak yang memiliki ibu bekerja
dengan kematangan sosial di SDN Tlogomas 02 Malang. Skripsi, 53(9), 1689–1699.

Kurniarum Ari. 2016. ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN DAN BAYI BARU LAHIR. Jakarta
Selatan : Jl. Hang Jebet III Blok F3, Kebayoran Baru. Pusdik SDM Kesehatan.

Yuliasari, Hesti1, Hepi Wahyuningsih2. 2017. KEMATANGAN EMOSI DAN KECEMASAN


MENGHADAPI PERSALINAN PERTAMA PADA IBU HAMIL. JURNAL
PSIKOLOGI JAMBI. Volume 2, No. 1, Juli 2017. Jambi.

Sandhi, Shinta Ika, Kurniawan Dwi Lestari. 2021. HUBUNGAN PSIKOLOGI IBU BERSALIN
DENGAN KELANCARAN PROSES PERSALINAN KALA II DI RB BHAKTI IBU
SEMARANG. Jurnal Surya Muda, Vol. 3, No, 1. 2021. Semarang.

Hakim Moh, N. (2013). Islam Tradisional dan Reformasi Pragtisme. Islam Tradisiional Dan
Reformasi Pragtisme, 29.

Hesty Novitasari, Sasanti Juniar REACTIVE ATTACHMENT DISORDER (Gangguan


Kelekatan Reaktif) file:///C:/Users/user/Downloads/download-fullpapers-
pjs9344c0e768full.pdf 119 KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 1,
No. 3, Desember 2006.

31

Anda mungkin juga menyukai