“Pencegahan Terhadap Kriminalisasi Praktik Kefarmasian”
Hari, tanggal : Sabtu, 22 Mei 2021 A. Materi 1 : Brigjen Pol. apt. Mufti Djusnir, M.Si. (Ketua Bidang Advokasi Anggota PP IAI) 1. Karena belum memiliki UU Praktik Kefarmasian, maka di mata hukum masih melakukan UU Kesehatan, sehingga payung hukum dan tindak pidana yang ada masih mengikuti UU Kesehatan. 2. Pekerjaan kefarmasian dilakukan sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dan Permenkes No. 72, 73, dan 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit. 3. Praktik Apoteker harus dimaknai sebagai pelayanan kesehatan. 4. Dalam menjalankan praktik, Apoteker harus memiliki SIPA, STRA, dan Serkom. 5. SIPA sudah dimaknai sebagai SIK. 6. SIPA paling banyak diberikan untuk 3 tempat fasyankes dan diberikan oleh Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota tempat fasyankes berada. 7. Pekerjaan Kefarmasian terdiri dari: a. Pengadaan sediaan farmasi, b. Produksi sediaan farmasi, c. Distribusi dan penyaluran sediaan farmasi, dan d. Pelayanan sediaan farmasi. 8. Level tertinggi dalam acuan hukum adalah Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan lain-lain (misal: Permenkes). Bisa dilihat pada hirarki peraturan per- UUan. 9. Polisi datang tanpa surat tugas dan tidak didampingi oleh petugas pembina dan pengawasan, apakah diizinkan? Tidak diizinkan secara hukum, karena tidak didampingi oleh petugas pengawasan dan Pembina (misalnya: Menteri, Pemda Kab/Kota, IAI, Pemda Provinsi, dan/atau Badan POM), KECUALI ada dugaan telah terjadi tindak pidana. SEHINGGA APOTEKER DAPAT MENOLAK PEMERIKSAAN (Sesuai dengan Pasal 185 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan). Bila pihak kepolisian akan melakukan penyelidikan, harus ada surat tugas yang lengkap. 10. Surat tugas yang lengkap mengandung kop surat, nomer surat, ada keterangan Pro Yusticia, pertimbangan yang relevan, dasar yang relevan, nama-nama petugas dan dicek tanda pengenalnya, tanda tangan dan nama pejabat yang mengeluarkan, dan ada stempel. Bila ada yang tidak relevan, dapat dilakukan PRA-PERADILAN. 11. Kadang ada petugas kepolisian yang undercover. Bila hal ini terjadi, Apoteker dapat melayani dengan melakukan konseling dan dibuat formulirnya. 12. Ada lowongan kerja dari swalayan yang merekrut Apoteker TIDAK SESUAI, karena toko swalayan bukan tempat praktik profesi Apoteker. 13. Langkah-langkah mengatasi praktik swamedikasi, misalnya: pelayanan obat keras tertentu tanpa resep dokter (1) PIO atau konseling dengan Formulir 6 dan 7 pada Permenkes No. 73 tahun 2016; (2) Butuh obat keras harus lihat dalam DOWA 1, 2, dan 3. 14. SOP harus ada untuk segala aspek kegiatan kefarmasian dalam kegiatan praktik kefarmasian. 15. Kegiatan meracik berbeda dengan produksi. Peracikan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Kegiatan peracikan skala kecil, tetapi belum ada standar ukuran yang membedakan antara kegiatan meracik dengan kegiatan produksi. Izin edar di dalam praktik Apoteker di apotek adalah dalam bentuk etiket dan sudah bersifat legal. 16. Dalam penyusunan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), sebaiknya didiskusikan dengan Pengurus IAI setempat, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan sejawat Apoteker di kemudian hari. Dibuatkan standar SPK oleh Pengurus yang menampung kewenangan atau hak dan tanggung jawab masing-masing Apoteker maupun PSA. 17. Bila ada pemaksaan pembayaran iuran (pungli), dapat dilaporkan. 18. Penanggung jawab alkes seharusnya Apoteker. Harus dibedakan mana pekerjaan dan pelayanan kefarmasian. B. Materi 2 : Dr. apt. Yustina Sri Hartini, M.Si. (Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma) 1. Apoteker TIDAK DAPAT berdalih bahwa tidak mengerti dan/atau belum membaca peraturan yang ada. Wajib mengetahui peraturan perundang-undangan sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011. 2. Suatu peraturan mulai berlaku tidak selalu sama dengan tanggal penetapan peraturan. 3. Akses file naskah Peraturan PerUUan ada di Website BPOM RI, Kemenkes RI, Dirjen Kefarmasian dan Alkes Kemenkes RI, dan sumber lain. 4. UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah dicabut dan diganti dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 5. Pendidikan di bawah D3 disebut sebagai Asisten Tenaga Kesehatan (mengikuti UU No. 36 tahun 2014). 6. Praktik kefarmasian dan pekerjaan kefarmasian berbeda. Harus dicermati pada setiap UU, karena acuannya berbeda. Pekerjaan kefarmasian mengacu pada UU No. 36 tahun 2014, sedangkan untuk praktik kefarmasian mengacu pada UU No. 36 tahun 2009. 7. Standar pelayanan kefarmasian harus diikuti secara keseluruhan, karena ada beberapa perubahan pasal.