Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

FARMAKOTERAPI PASIEN PPOK DAN ASMA

Disusun Oleh:
Kelompok 1_ Kasus 1
1. Nanda Rahma Setianingsih I1C020002
2. Aisyah Alfa Mawaddah I1C020020
3. Alendra Luthfi I1C020040
4. Monica Dyah Achdianis I1C020060
5. Faizah Aurelista Oktaviana I1C020078

Dosen Pembimbing Praktikum : apt. Masita Wulandari S, M.Sc


Tanggal Diskusi Praktikum : 18 Oktober 2022
Tanggal Presentasi Diskusi Dosen : 25 Oktober 2022
Jenis Laporan : UTAMA

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2022
PPOK dan Asma

I. KASUS
A. Identitas Pasien

Nama Pasien Tn WM Umur/TTL 64 tahun


No. Rekam Medik xxxxx BB 80 kg
Alamat Grendeng TB 160
Status Jaminan BPJS Jenis Kelamin L

B. Riwayat MRS

Tanggal MRS 23/11/2020 Tanggal KRS

Riwayat/ Berkunjung ke rumah sakit karena mengalami batuk,


Keluhan sesak nafas, dan peningkatan produksi sputum, tetapi
MRS tidak mengalami demam dan tidak berkeringat di
malam hari.. Tn WM sudah mengatasi keluhan yang
terjadi dengan Albuterol MDI namun tidak bisa
mengatasi keluhan yang dirasakan
Riwayat PPOK dan Asma
Penyakit
Riwayat Ventolin MDI 2 puff jika perlu, Atrovent MDI 2 puff
Obat/ dua kali sehari
Suplemen
Riwayat Merokok
lifestyle
Alergi -

Diagnosa PPOK dan Asma

C. Parameter Penyakit

TTV Tanggal

23/11

TD 120/ 80

N 70
RR 26

Suhu 36,5

Batuk ++
Berdahak

Sesak +++

D. Parameter Laboratorium

TTV Satuan Tanggal

23/11

Leukosit 4,5-10,5 x103/mm3 9000

Limfosit 25-40% 30

HB 10-15,5 g/dl 13

Trombosit 150-450 x 103 µ/L 280000

Na 135-145 mmol/L 135

Cl 98-108 mmol/L 100

K 3.5-5 mmol/L 3.7

Pemeriksaan Penunjang Lainnya: 23/11

FEV1 52%
pO2 50 mmHg
pCO2 65 mmHg

II. PENYELESAIAN KASUS


A. DASAR TEORI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru umum yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan
peradangan pada paru-paru yang berkembang dalam jangka panjang. PPOK bersifat
kronis dan progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel atau gas berbahaya yang penyebabnya dari asap rokok, terhalangnya
jalan nafas akibat inflamasi, lendir atau dahak sehingga penderita sulit bernafas.
Penderita PPOK dapat menyebabkan sekresi lendir berulang dengan batuk hampir
setiap hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun. PPOK dapat dicegah dan diobati
serta dapat menyebabkan efek ekstrapulmoner yang signifikan yang berhubungan
terhadap keparahan penyakit pada sebagian pasien (DiPiro et al., 2020).

Asma adalah penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan peradangan


saluran nafas kronis. Asma juga merupakan penyakit inflamasi kronis pada jalur
pernapasan yang melibatkan sel mast, eosinofil, neutrofil, sel Th2, sel dendritik yang
ditandai dengan mengi, sulit bernapas, sesak nafas dan batuk (GINA, 2021). Riwayat
gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada, dan batuk yang bervariasi
dari waktu ke waktu dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Pada
asma variabel obstruksi aliran udara seringkali reversibel baik secara spontan atau
dengan pengobatan, meskipun reversibilitas mungkin tidak lengkap pada beberapa
pasien asma (DiPiro et al., 2020).

1. Penyebab
1.1 PPOK
PPOK termasuk penyakit radang paru-paru kronis yang menyebabkan
aliran udara terhambat dari paru-paru. Asap rokok mempunyai prevalensi yang
tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru,
terhalangnya jalan nafas akibat inflamasi, lendir atau dahak sehingga penderita
sulit bernafas. Penderita menyebabkan sekresi lendir berulang dengan batuk
hampir setiap hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun. Penyebab utama
PPOK adalah paparan asap tembakau yang menyebabkan aktifnya neutrofil,
makrofag, dan Limfosit CD8 +, yang melepaskan mediator kimia, termasuk
nekrosis tumor faktor-α, interleukin-8, dan leukotriene B4. Sel-sel inflamasi
dan mediator memimpin untuk perubahan destruktif luas di saluran udara,
pembuluh darah paru, dan paru-paru parenkim (DiPiro et al., 2020).
1.2 ASMA
Faktor lingkungan, asap tembakau lingkungan (environmental tobacco
smoke), polusi udara terkait lalu lintas, dan jamur/ragi di rumah, juga
merupakan penyebab asma (Hogan et al., 2021). Asap tembakau akan
menyebabkan inflamasi kronik berulang pada saluran pernapasan sehingga
saluran pernapasan menjadi lebih kecil karena proses remodelling. Selain itu,
polusi udara dan alergen lain, seperti jamur dan bulu hewan, dapat memicu
timbulnya asma karena saluran pernapasan penderita asma bersifat hiperreaktif
terhadap alergen tersebut (Wahyudi et al., 2016).
2. Patofisiologi
1.1 PPOK
PPOK ditandai dengan perubahan inflamasi kronis yang menyebabkan
perubahan jaringan destruktif dan pengembangan keterbatasan aliran udara
kronis. Proses inflamasi tersebar luas dan melibatkan saluran udara, pembuluh
darah paru, dan parenkim paru. Paparan gas berbahaya dan partikel
mengaktifkan sel inflamasi untuk melepaskan berbagai mediator kimia..
Peradangan yang terlihat pada PPOK sering disebut sebagai neutrofilik, tetapi
makrofag dan limfosit CD8+ juga memainkan peran utama (DiPiro et al.,
2020).
Inflamasi yang terjadi pada saluran napas pasien PPOK sebagai
respons peradangan terhadap iritan kronis, seperti asap rokok. Inflamasi paru
tetap bertahan setelah berhenti merokok. Mekanisme patogenesis meliputi:
1) Oxidative stress
2) Ketidakseimbangan Protease – antiprotease
3) Inflammatory cells: di beberapa pasien terdapat peningkatan
eosinophil, Th2 atau ILC 2, terutama jika terjadi bersamaan dengan
asma.
4) Mediator inflamasi
5) Fibrosis peribronkial dan interstisial
6) Perbedaan inflamasi antara PPOK dan asma (GOLD, 2020).
1.2 ASMA

Gambar 1. Patofisiologi Asma

Kebanyakan penderita asma memiliki peradangan tipe 2. Inflamasi


saluran napas tipe 2 pada severe asma mengakibatkan sel T CD4 dengan
fenotipe Th-2 menghasilkan IL-4, IL-13 dan IL-5. IL-13 meningkatkan
regulasi gen epitel saluran napas seperti periostin dan menginduksi produksi
lendir. Sel-sel epitel yang terpapar pada stimulus pro-inflamasi dan alergi
melepaskan mediator seperti Thymic Stromal Lymphopoietin (TSLP), yang
mengaktifkan sel dendritik dan mendorong perkembangan limfosit Th-2.
Kerusakan sel epitel menyebabkan pelepasan IL-33 yang dapat mengaktifkan
inflammasome dan memperburuk inflamasi alergi. Peningkatan kadar IL-5
terkait dengan eosinofilia saluran napas dan perubahan epitel terkait dengan
peningkatan ekspresi eotaxin dan Inducible Nitric Oxide (iNOS). Pelepasan
IL-4 sangat penting dan mendorong isotipe sel plasma/B untuk menghasilkan
IgE. Hal ini terkait dengan peningkatan ekspresi sel mast intraepitel IgE yang
membuatnya rentan terhadap degranulasi ikatan silang IgE. Innate lymphoid
cells (ILC) adalah fitur khusus dari asma berat dan membantu menjelaskan
peradangan eosinofilik/tipe 2 yang terjadi terlepas dari sensitisasi alergi.
Peningkatan sel mast intraepitel pada severe asma menunjukkan fenotipe yang
berubah dengan peningkatan ekspresi chymase dan tryptase. Prostaglandin D2
(PGD2) yang diturunkan dari sel mast meningkat, yang mengaktifkan baik sel
mast itu sendiri maupun sel ILC2. Kemampuan untuk mematikan peradangan
mungkin terganggu. Mengurangi kadar lipoksin A4 mengurangi aktivasi sel
pembunuh alami (NK) yang memainkan peran penting dalam induksi
apoptosis pada eosinofil dan neutrofil. APC, sel penyaji antigen (King et al.,
2018; Mims, 2015).

3. Faktor Resiko
1.1 PPOK
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perkembangan dari penyakit
PPOK. Diantaranya, Asap rokok, polusi udara, genetika, usia dan jenis
kelamin.
- Asap rokok
Kebiasaan merokok diketahui mengganggu efektifitas sebagian
mekanisme pertahanan respirasi. Produk asap rokok diketahui
merangsang produksi mukus dan menurunkan pergerakan silia.
Penurunan pergerakan silia dapat merangsang terjadinya akumulasi
mukus yang kental dan terperangkapnya partikel Merokok pada orang
dewasa dapat menimbulkan berbagai gangguan sistem pernafasan
seperti kanker paru, gejala iritan akut, asma, gejala pernafasan kronik,
penyakit paru obstruktif kronik, infeksi pernafasan (Astuti et al., 2018).
- Polusi udara
Lingkungan yang terkait dengan perkembangan PPOK seperti paparan
asap biomassa, paparan pekerjaan terhadap debu dan asap (di
pertanian, peternakan, pertambangan, konstruksi, paparan produk
kimia di industri), polusi lingkungan, paparan perokok pasif, asma
kronis dan TBC (Pando et al., 2022).
- Genetika
Kelainan genetik yang terkait dengan PPOK adalah defisiensi berat
dari alpha-1 antitrypsin yang merupakan inhibitor utama enzim serin
protease. Kekurangan protein ini dapat meningkatkan risiko menderita
PPOK (Mustofa & Zuya, 2019).
- Usia
Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi degenerasi otot-
otot pernafasan dan elastisitas jaringan menurun. Sehingga kekuatan
otot-otot pernafasan dalam menghirup oksigen menjadi
menurun.Kemudian karena faktor umur yang bertambah maka semakin
banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh semakin rendah. Hasil
penelitian menunjukkan dari 120 penderita PPOK, usia termuda adalah
40 tahun dan tertua adalah 81 tahun (Astuti et al., 2018)
- Jenis kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian
PPOK masih belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa
angka kesakitan dan kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan, namun saat ini angka kejadian PPOK
hampir sama antara laki-laki dan perempuan, terkait dengan
bertambahnya jumlah perokok perempuan (Kemenkes., 2019)
1.2 ASMA

Asma adalah salah satu kondisi paling umum yang menyerang anak
anak dan orang dewasa. Faktor lingkungan dan juga genetik dapat bertindak
sebagai faktor resiko terjadinya asma. Faktor risiko lingkungan misalnya,
merokok, polusi, obesitas, faktor resiko pekerjaan dan Genetika (Toskala &
Kennedy, 2015).
1. Merokok
Merokok telah terbukti menjadi faktor risiko untuk
mengembangkan asma. Selain itu terdapat hubungan perkembangan
asma pada anak dengan orang tua perokok. Dimana orang tua perokok
dapat meningkatkan risiko kejadian asma pada anak-anak (Toskala &
Kennedy., 2015).

2. Polusi
Paparan polusi udara luar dan dalam ruangan tetap menjadi
faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan asma dan memicu
gejala asma. Tingkat polusi pada daerah perkotaan dan pedesaan juga
berpengaruh pada terjadinya asma, anak-anak yang tinggal di
perkotaan lebih besar resikonya terkena asma karena tingkat polutan
pada daerah perkotaan yang lebih tinggi (Toskala & Kennedy., 2015)

3. Obesitas
Selain meningkatkan risiko efek pernapasan dari polusi udara,
obesitas saja memiliki dampak signifikan pada risiko asma, fenotipe,
dan prognosis. Studi epidemiologis telah dengan jelas menunjukkan
bahwa asma lebih mungkin terjadi pada pasien obesitas karena
seseorang yang obesitas memiliki kualitas hidup yang umumnya
buruk. Hubungan antara obesitas dengan asma dapat terjadi karena
proses inflamasi pada saluran pernapasan. Saat terjadi inflamasi,
sitokin dan faktor genetik menghubungkan antara obesitas dengan
asma. TNF-alpha, eotaxin, IL-6, leptin, dan adiponectin yang
diproduksi oleh jaringan lemak dapat mempengaruhi terjadinya proses
inflamasi. TNF-alpha diproduksi di jaringan lemak dan secara
langsung dipengaruhi dengan lemak tubuh.TNF-alpha diketahui
meningkat pada asma dan dipengaruhi dengan produksi sitokin TH2
(IL-4, IL-6) di epitel bronkus.IL-6 meningkat pada orang obesitas dan
dipengaruhi dengan terjadinya asma (Toskala & Kennedy., 2015)

4. Faktor risiko pekerjaan


Lingkungan kerja merupakan faktor risiko potensial yang
penting bagi pasien asma. Asma akibat kerja (OA) adalah bentuk asma
yang sering tidak terdiagnosis dan tidak dilaporkan. Contohnya pada
pekerjaan yang berkontak langsung dengan debu, atau partikel-partikel
yang dapat mengganggu pernapasan (Toskala & Kennedy., 2015)

5. Genetika
Fungsi gen diketahui telah ditunjukkan bahwa polimorfisme
gen yang berbeda mempengaruhi asal-usul asma, tingkat
keparahannya, dan responnya terhadap pengobatan. Seorang anak
dapat mengidap asma ketika ibunya mengidap asma (Toskala &
Kennedy., 2015).

B. PENATALAKSANAAN KASUS
1. Metode SOAP

PROBLEM TERAPI NON


MEDIK SUBJEKTIF OBJEKTIF ASSESSMENT FARMAKOLO
GI
PPOK Riwayat Pemeriksaan Penunjang Pasien sudah - Edukasi dan
Keluhan: Lainnya: menerima terapi self
- Batuk (++) FEV1 52% → stage Albuterol MDI, management
- Peningkata moderate (GOLD, 2020). tetapi tidak efektif - Berhenti
n produksi pO2 50 mmHg (normal > dalam merokok
sputum 80 mmHg) menyembuhkan - Olahraga dan
terapi latihan
pCO2 65 mmHg (normal
pernafasan
Riwayat 35-45 mmHg)
- Perbaikan
Penyakit:
nutrisi
PPOK dan Asma
(DiPiro et al.,
Riwayat Obat: 2020)
- Atrovent
MDI 2 puff
2 kali
sehari
- Ventolin
MDI 2 puff
prn

Riwayat
Lifestyle:
Merokok
Asma Riwayat Pemeriksaan Penunjang Pasien sudah - Edukasi
Keluhan: Lainnya: menerima terapi pasien
- Sesak nafas FEV1 52% → serangan Albuterol MDI, - Menghindari
(+++) berat tetapi tidak efektif paparan
pO2 50 mmHg (normal > dalam alergen
80 mmHg) menyembuhkan - Pola hidup
Riwayat
terapi sehat
Penyakit: pCO2 65 mmHg (normal
(penghentian
PPOK dan Asma 35-45 mmHg)
merokok,
menghindari
Riwayat Obat: kegemukan,
- Atrovent kegiatan fisik
MDI 2 puff seperti senam
asma)
2 kali DiPiro et al.,
sehari 2020)
- Ventolin
MDI 2 puff
prn

Riwayat lifestyle:
Merokok

Plan :
Tujuan Terapi
a. Mengatasi gejala
b. Meningkatkan kualitas hidup pasien
(DiPiro et al., 2015)
c. Kondisi asma jangka panjang dari manajemen terapi asma adalah untuk
mengendalikan gejala
d. Meminimalisir tingkat kematian akibat asma
e. Menurunkan kejadian eksaserbasi dan meminimalkan efek samping terapi
(GINA, 2021)
Terapi Non- Farmakologis PPOK
a. Edukasi dan self management
b. Berhenti merokok
c. Olahraga dan latihan pernafasan
d. Perbaikan nutrisi
(Dipiro et al., 2020)
Terapi Non- Farmakologis Asma
a. Edukasi pasien
b. Menghindari paparan alergen
c. Pola hidup sehat (penghentian merokok, menghindari kegemukan, kegiatan
fisik seperti senam asma)
(DiPiro et al., 2020)
d. Pemberian ASI (menurunkan frekuensi wheezing)
e. Suplemen makanan seperti vitamin D (menurunkan kejadian asma 25% dan
frekuensi wheezing pada anak usia 0-3 tahun)
f. Minyak ikan dan polyunsaturated fatty acid (menurunkan kejadian asma dan
frekuensi wheezing)
(GINA, 2019)
2. Tepat Indikasi
Berdasarkan penilaian informasi pasien, pasien terindikasi menderita PPOK
(Penyakit Paru Obstruksi Kronik) karena jika dilihat dari keluhan yang dialami,
pasien memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi PPOK yaitu sesak napas, bertambahnya
volume sputum dan purulensi sputum (Hathasary et al., 2021). Penyakit PPOK
memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan rokok, semakin banyak dan
semakin lama rokok yang dihisap maka resiko untuk timbulnya PPOK semakin
meningkat. Gejala yang biasanya muncul pada penderita PPOK seperti sesak napas,
peningkatan usaha bernapas, rasa berat saat bernapas, atau gasping, batuk biasanya
kronik (dengan atau tanpa disertai dahak), mudah lelah, dan terganggunya aktivitas
fisik. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien, didapatkan nilai FEV1 sebesar 52%
sehingga pasien ini diklasifikasikan kedalam golongan PPOK GOLD 2 dengan
kategori moderate (GOLD, 2020), dengan keluhan nafas pendek, terutama saat
latihan fisik, kadang disertai batuk dan sputum produktif.

PPOK terdapat kriteria stabil dan eksaserbasi akut, dengan kriteria PPOK stabil
antara lain ; tidak dalam kondisi gagal nafas akut pada gagal napas kronik, dapat
dalam kondisi gagal nafas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah PCO2 <
45mmHg dan PO2 > 60 mmHg, dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas
tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri), penggunaan
bronkodilator sesuai rencana pengobatan, dan tidak ada penggunaan bronkodilator
tambahan (Kristiningrum, 2019). Gejala eksaserbasi akut PPOK terdapat sesak
nafas bertambah, produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum.
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 yaitu Tipe I (eksaserbasi berat), jika memiliki 3
gejala; Tipe II (eksaserbasi sedang), jika memiliki 2 gejala; dan Tipe III
(eksaserbasi ringan), jika memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > dari 20% basal, atau frekuensi nadi > dari
20% basal (Kristiningrum, 2019).

Manajemen PPOK eksaserbasi akut dapat dilakukan dengan pemberian


bronkodilator seperti SABA (Short acting β2 adrenergic agonist dan/atau SAMA
(short-acting muscarinic antagonist); kortikosteroid, dan antibiotik. Pedoman
GOLD secara khusus merekomendasikan bahwa "short-acting inhaled b2-agonis,
dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek direkomendasikan sebagai
bronkodilator awal untuk mengobati eksaserbasi. Pemberian antibiotik diberikan
kepada pasien yang memiliki gejala perubahan warna pada sputum, sedangkan pada
kasus ini tidak ditemukan adanya gejala tersebut (Putcha & Wise, 2018).

Berdasarkan penilaian informasi pasien, pasien telah diberikan Atrovent MDI


yang merupakan golongan SAMA, Ventolin MDI, dan Albuterol MDI termasuk
kedalam golongan SABA, pasien masih merasakan adanya gejala yang
ditimbulkan. Pasien mengalami gejala sesak nafas dengan nilai FEV1 52%. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien terindikasi gejala asma karena nilai FEV1 normal yaitu
pada rentang 75–80% (Afgani & Hendriani, 2020). Tingkat keparahan asma dapat
dilihat dari penilaian fungsi paru, ginjal gangguan aktivitas normal sebelum terapi,
dan terbangun di malam hari.
Pasien yang di diagnosis PPOK dan asma disarankan menggunakan guideline
yang mengacu pada keadaan ACOS (Asthma-COPD Overlap Syndrome). Asthma-
COPD overlap syndrome (ACOS) adalah penyakit hambatan aliran udara persisten
dengan beberapa manifestasi klinis yang biasanya berhubungan dengan asma dan
PPOK. Pemeriksaan spirometri menunjukkan adanya hambatan aliran udara
ekspirasi yang tidak sepenuhnya reversibel (Prasetyo & Handriyani, 2020).

Gambar. Tatalaksana asma, PPOK, dan asthma-COPD overlap syndrome


(ACOS)
Pada terapi farmakologi ACOS, yaitu dengan menggunakan ICS dosis rendah
atau medium, tergantung derajat gejala dan risiko efek samping. Biasanya
ditambahkan terapi LABA dan/atau LAMA kecuali jika terdapat manifestasi asma
(Prasetyo & Handriyani, 2020).

3. Tepat Pemilihan Obat


Secara umum, pengobatan asma dapat dibagi menjadi 2, yaitu antiinflamasi
dan eksaserbasi. Pengobatan antiinflamasi dilakukan untuk mengontrol serta
mencegah serangan atau juga dikenal sebagai pengontrol. Obat ini dikonsumsi
secara rutin. Sementara itu, pada pengobatan eksaserbasi dilakukan dengan tujuan
mengatasi ketika terjadi serangan/eksaserbasi atau juga dikenal dengan pelega
(Nuari et al., 2018).
Terapi Pemeliharaan:
Terapi kombinasi kortikosteroid inhalasi (ICS) / long-acting 2-agonist
(LABA) adalah pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien dengan PPOK dan
riwayat eksaserbasi dan telah terbukti efektif mengurangi tingkat eksaserbasi
dibandingkan dengan plasebo dan/atau monoterapi pada PPOK (Ferguson et al.,
2017).

Tabel di bawah merupakan kelas kombinasi ICS-LABA, yang mana pada


penggunaan LABA dan LAMA tidak digunakan pada pasien asma dan asthma-
COPD overlap syndrome, kecuali digunakan bersama ICS baik secara kombinasi
maupun terpisah. Dengan demikian pasien diberikan kombinasi obat budesonide dan
formoterol yang merupakan kombinasi dari ICS-LABA yang merupakan kombinasi
yang efektif untuk mengurangi eksaserbasi asma (Prasetyo & Handriyani, 2020).

Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi
kombinasi Budesonide-Formoterol Fumarate Dihydrate memiliki tingkat
eksaserbasi asma yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mendapat
terapi kombinasi Fluticasone Propionate-Salmeterol (Tunceli et al., 2014). Selain
itu, Budesonide-Formoterol juga lebih efektif dibandingkan dengan Fluticasone
Propionate-Salmeterol dalam terapi PPOK karena kemampuannya dalam
mengurangi eksaserbasi PPOK pada pasien dengan penyempitan saluran udara
sedang hingga sangat parah serta memiliki riwayat eksaserbasi (Ferguson et al.,
2017).
Terapi Eksaserbasi:
Terapi eksaserbasi akut pada pasien dengan PPOK dan asma, dapat dilakukan
dengan memberikan obat golongan SABA (Short Acting Beta Agonist), seperti
Salbutamol. Untuk eksaserbasi parah, albuterol/salbutamol digunakan dalam
kombinasi dengan inhalasi antagonis muskarinik kerja pendek (SAMA), dan bentuk
sediaan nebulizer umumnya lebih disukai (Merck Manual, 2022).

Obat antagonis muskarinik kerja pendek yang dipilih disini adalah


Ipratropium bromide. Penggunaan bronkodilator antikolinergik aksi pendek dalam
kombinasi dosis tetap dengan SABA memiliki efek yang lebih besar pada fungsi
paru-paru di asma sedang hingga berat daripada penggunaan SABA saja, dan
memberikan penyembuhan gejala yang lebih baik (Donohue et al., 2016; UpToDate,
2022).
4. Tepat Penilaian Pasien
a) Budesonide
Budesonide ditujukan untuk terapi pemeliharaan pada pasien dengan
PPOK dan asma. Pasien juga tidak disebutkan memiliki reaksi
hipersensitivitas atau alergi terhadap obat Budesonide. Selain itu, pada pasien
yang obseitas juga tidak ditemukan adanya efek samping yang mengganggu
seperti penambahan berat badan sehingga obat ini terindikasi aman untuk
pasien (Merck Manual, 2022).

b) Formoterol
Formoterol digunakan untuk terapi pemeliharaan pada PPOK dan
asma. Pasien diketahui tidak memiliki reaksi hipersensitivitas atau alergi
terhadap Formoterol sehingga obat ini terindikasi aman untuk pasien. Selain
itu, Formoterol juga kompatibel dengan Budesonide. Obat ini juga aman untuk
pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat badan pada pasien
yang obesitas (Merck Manual, 2022).
c) Salbutamol
Salbutamol digunakan untuk terapi eksaserbasi akut pada PPOK dan
asma. Pasien juga diketahui tidak memiliki reaksi hipersensitivitas atau alergi
terhadap obat ini sehingga obat terindikasi aman untuk pasien. Selain itu, obat
ini juga aman untuk pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat
badan pada pasien yang obesitas (Merck Manual, 2022).

d) Ipratropium bromide
Obat ini digunakan untuk terapi eksaserbasi akut PPOK dan asma.
Pasien diketahui tidak memiliki kontraindikasi dengan obat ini, yaitu
hipersensitivitas pada ipratropium dan atropine. Selain itu, obat ini juga aman
untuk pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat badan pada
pasien yang obesitas (Merck Manual, 2022).

5. Tepat Dosis
Terapi Pemeliharaan
a) Budesonide
Budesonide digunakan sebagai terapi pemeliharaan asthma bronkial
dan mencegah eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Budesonide diberikan kepada pasien dengan dosis 200-400 mcg sekali sehari
dalam bentuk dry powder inhaler (Merckmanual, 2022). Sebagian besar gejala
pasien akan membaik dalam jangka waktu 1-2 minggu pertama terapi dan akan
mencapai perbaikan maksimum dalam jangka waktu 4-8 minggu (Dipiro et al.,
2020).

b) Formoterol
Formoterol adalah obat untuk meredakan gejala penyempitan saluran
pernapasan akibat asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Obat ini
juga dapat digunakan untuk mencegah frekuensi kekambuhan serangan asma
dan PPOK. Formoterol diberikan kepada pasien dengan dosis 12 mcg yang
diberikan melalui inhalasi oral dengan interval pemberian setiap 12 jam sekali
(2 x 1 hari) (Merckmanual, 2022).
Untuk sediaan budesonide-formoterol yang ada di pasaran yaitu
symbicort 160 mcg/4.5 mcg Turbuhaler 60 Dosis. Per dosis semprot/inhalasi
mengandung budesonide 160 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg. Dosis
pemeliharaan untuk sediaan obat ini yaitu 2 x sehari 2 inhalasi. Cara
penggunaanya adalah dengan cara disemprotkan ke dalam mulut sambil
dihirup.

Terapi Eksaserbasi
a) Salbutamol
Salbutamol digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut pada asma
dan PPOK. Untuk eksaserbasi parah, albuterol digunakan dalam kombinasi
dengan antagonis muskarinik kerja pendek inhalasi, dan perawatan nebulisasi
umumnya lebih disukai. Dosis pada larutan nebulisasi yaitu Inhalasi oral: 2,5
hingga 5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis, kemudian diturunkan sesuai
toleransi (misalnya, menjadi 2,5 hingga 5 mg setiap 1 hingga 4 jam sesuai
kebutuhan). Untuk pasien sakit kritis, 10 hingga 15 mg dapat diberikan dengan
nebulisasi terus menerus selama 1 jam melalui alat khusus. Untuk eksaserbasi
akut pada PPOK dosisnya yaitu 2,5 mg setiap 1 jam selama 2 hingga 3 dosis,
kemudian setiap 2 hingga 4 jam sesuai kebutuhan (Merckmanual, 2022).
b) Ipratropium bromide
Ipratropium bromide digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut pada
asma dan PPOK. Ipratropium bromide diberikan dalam bentuk larutan
nebulisasi yang diberikan melalui inhalasi oral dengan dosis 0,5 mg setiap 20
menit untuk 3 dosis, kemudian setiap jam sesuai kebutuhan hingga 3 jam untuk
terapi asma akut dan 0,5 mg setiap 6 hingga 8 jam sesuai kebutuhan untuk
eksaserbasi akut pada PPOK (Merckmanual, 2022).

Untuk sediaan salbutamol-ipratropium bromide yang ada di pasaran


yaitu combivent UDV 10 vial yang memiliki komposisi salbutamol sulfate 2,5
mg dan ipratropium bromide 500 mcg. dengan dosis awal 1 unit dose vial
(UDV) dan bisa ditingkatkan menjadi 2 UDV jika gejala belum membaik
dengan 1 UDV. Untuk dosis pemeliharaan yaitu 1 UDV untuk dipakai 3–4 kali
sehari. Combivent diberikan melalui nebulizer yang akan mengubah cairan
Combivent menjadi uap. Penghirupan uap disarankan menggunakan
mouthpiece untuk menghindari paparan uap Combivent pada mata.
6. Waspada Efek Samping
Terapi Pemeliharaan
a) Budesonide
Budesonide dapat menyebabkan efek samping seperti sakit kepala
(3%), penambahan berat badan (1% hingga 3%), dispepsia (≥5%), Artralgia
(≥5%), kelemahan (≥5%), nyeri punggung (3%), dan demam (≥3%)
(Merckmanual, 2022).

b) Formoterol
Formoterol dapat menyebabkan efek samping seperti nyeri dada (2%
hingga 3%), kecemasan (2%), pusing (2%), insomnia (2%), pruritus (2%),
diare (5%), mual (5%), dan kram otot (2%) (Merckmanual, 2022).

Terapi Eksaserbasi
a) Salbutamol
Efek samping yang dapat terjadi setelah mengkonsumsi salbutamol
yaitu gugup (4% hingga 15%), tremor (5% hingga 38%; frekuensi meningkat
seiring bertambahnya usia), nyeri dada (<3%), edema (<3%), ekstrasistol
(<3%), flushing, hipertensi (1% hingga 3%), palpitasi, dan takikardia (1%
hingga 7%) (Merckmanual, 2022).
b) Ipratropium bromide
Efek samping dari ipratropium bromide yaitu sinusitis (1% hingga
11%), sakit kepala (6% hingga 7%), pusing (3%), dispepsia (1% hingga
5%), mual (4%), xerostomia (2% hingga 4%), dysgeusia (1%), dan infeksi
saluran kemih (2% hingga 10%) (Merckmaual, 2022).

7. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)


a) Komunikasi dengan tenaga kesehatan yang bersangkutan terkait:
1) Dilakukan pemantauan terhadap pasien terkait gejala yang dialami
dan data laboratorium, seperti data pO2 dan pCO2
2) Dilakukan evaluasi kepatuhan pasien, efek samping, interaksi obat
potensial, dan ukuran subjektif kualitas hidup.
3) Dilakukan tindak lanjut terapi terhadap pasien jika terapi yang
diberikan masih belum efektif.
4) Dilakukan evaluasi terhadap teknik menggunakan obat inhalasi
mereka secara berkala, setiap 3 sampai 6 bulan.
5) Memberikan edukasi kepada pasien tentang gaya hidup yang sehat
dan mengurangi merokok untuk meningkatkan efektivitas terapi serta
mencegah kondisi yang lebih buruk
6) Dilakukan pengendalian asma yang melibatkan upaya mengurangi
bahaya dan risiko. Komponen penilaian meliputi gejala, terbangun di
malam hari, gangguan pada aktivitas normal, fungsi paru, kualitas
hidup, eksaserbasi, kepatuhan, efek samping terkait pengobatan, dan
kepuasan dengan perawatan.
b) Komunikasi dengan pasien dan keluarga pasien
1) Memberikan informasi obat yang digunakan, seperti indikasi, cara
penggunaan, dosis, dan waktu pemberian
2) Memberikan informasi kepada pasien tentang manfaat obat
3) Menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan saat pemberian obat.
4) Memberikan informasi mengenai efek samping obat yang
kemungkinan akan terjadi.
5) Cara penggunaan Nebulizer:
● Lepaskan tutup cangkir nebulizer dan masukkan obat
● Sambungkan penutup mulut ke cangkir nebulizer. Kemudian
hubungkan pipa-pipa nebulizer. Tempelkan salah satu ujung
pipa oksigen ke cangkir nebulizer
● Nyalakan kompresor udara dan gunakan nebulizer. Tarik napas
secara perlahan ke dalam mulut sehingga seluruh obat masuk
ke dalam paru-paru. Hembuskan napas melalui mulut atau
hidung.
● Pastikan telah mencabut nebulizer dari stopkontak serta
lepaskan cangkir obat-obatan dan penutup mulut dari pipa.
● Cucilah cangkir obat dan penutup mulut dengan air sabun
hangat, kemudian bilaslah menggunakan air. Letakkan
peralatan tersebut di atas handuk bersih hingga kering
sepenuhnya oleh udara (Nationwide Children’s, 2022)

6) Cara penggunaan Turbuhaler:


● Buka penutup turbuhaler dengan menarik tutup untuk
melepaskannya.
● Pegang turbuhaler secara tegak lurus. Putar grip ke kiri sampai
bunyi klik (untuk membuka segel dan hanya dilakukan saat
pertama kali membuka turbuhaler baru). Putar grip ke kanan,
selanjutnya putar balik ke kiri dengan cepat sampai bunyi
“klik” (untuk mengambil dosis obat).
● Hembuskan napas melalui mulut.
● Letakkan “mouthpiece” turbuhaler di antara bibir atas dan bibir
bawah dan condongkan kepala ke belakang. Hisap obat dengan
menarik napas kuat dan dalam.
● Lepaskan turbuhaler dari mulut, tahan napas selama 5-10 detik.
Hembuskan nafas perlahan dari mulut, lalu bernafaslah dengan
normal. Jika dosis lain diperlukan, tunggulah 1 menit sebelum
mengulangi langkah 3 – 6.
● Bersihkan “mouthpiece” menggunakan tissue kering atau kain
kering. Tutup kembali turbuhaler.
● Berkumur dengan air. Setelah berkumur, buanglah air tersebut
dan jangan ditelan

(Department of Health, 2022)

KIE
Nama Obat, Aturan
Jumlah
Dosis Pakai Hal yang perlu
Manfaat Obat
diperhatikan

Budesonide 200 to 400 1 turbuhaler Budesonide digunakan untuk ● Penggunaan


mcg/hari (Merck membantu mencegah gejala teknik inhalasi
(Merck Manual, dan menurunkan keparahan yang tepat
Manual, 2022) asma. Namun, tidak akan ● Digunakan pada
2022) meredakan serangan asma waktu yang sama
yang sudah dimulai setiap harinya
(MerckManuals, 2022) ● Tidak boleh
digunakan
sebagai
monoterapi

Albuterol 90 1 inhaler Untuk mengatasi eksaserbasi ● Tidak boleh


mcg/aktuasi (Merck akut diberikan kepada
Inhalasi oral: Manual , (Merck Manual, 2022) pasien yang alergi
2 hingga 4 2022) terhadap obat
inhalasi beta2-agonist
setiap 20 ● Perlu
menit untuk 3 diperhatikan
dosis. untuk penderita
hipertiroidisme,
hipertensi,
diabetes,
gangguan irama
jantung, penyakit
jantung koroner,
penyakit ginjal,
hipokalemia, atau
kejang.

Formoterol 20 mcg tiap 1 turbuhaler Mencegah frekuensi ● Tidak boleh


12 jam (Merck kekambuhan serangan asma digunakan
(Merck Manual , dan PPOK sebagai
Manual, 2022) (Merck Manual, 2022) monoterapi
2022) karena
kontraindikasi
dengan asma

Ipratropium Eksaserbasi 1 inhaler Untuk mengatasi eksaserbasi ● Teknik


Bromide Asma : 0,5 (Merck akut penggunaan yang
mg setiap 20 Manual , (Merck Manual, 2022) tepat
menit untuk 3 2022)
dosis.
Eksaserbasi
PPOK : 0,5
mg setiap 6-8
jam
(Merck
Manual,
2022).

8. Monitoring

Monitoring
Nama Obat Target Keberhasilan
Keberhasilan ESO

Budesonide Keluhan sesak napas dan ● Insufisiensi Sesak napas dan batuk akan
batuk adrenokortikal mereda dalam 8 minggu dan
● Osteoporosis tidak kambuh lagi.
● Gelisah
● Psikosis
● Iritasi Kulit
(Merck Manual,2022)

Albuterol Eksaserbasi akut ● Angina pektoris Mengatasi eksaserbasi akut


● Eksaserbasi dalam kurang dari 3 hari.
● Diabetes
● Muntah
● Anafilaksis
● Psikosis
(Merck Manual, 2022)

Formoterol Eksaserbasi ● Hipersensitivitas Mencegah frekuensi


● Agitasi kekambuhan serangan asma dan
● Diare PPOK dalam 8 minggu
(Merck Manual, 2022)

Ipratropium Eksaserbasi akut ● Sinusitis, Mencegah eksaserbasi akut


Bromide ● sakit kepala, PPOK dan asma
● pusing,
● dispepsia,
● xerostomia,
● dysgeusia,
● dan ISK
(Merck Manual, 2022)

III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada kasus PPOK dan Asma bahwa pasien
yang bernama Tn. WM, umur 64 tahun dengan berat badan 80 Kg dan tinggi badan 160 cm
didiagnosa menderita penyakit PPOK dan Asma. Terapi yang digunakan untuk pasien
menggunakan budesonide 200 to 400 mcg/hari inhaler selama 8 minggu, albuterol 90
mcg/aktuasi dengan Inhalasi oral 2 hingga 4 inhalasi setiap 20 menit untuk 3 dosis selama 3
hari, formoterol 20 mcg tiap 12 jam selama 8 minggu dan obat Ipratropium Bromide pada
eksaserbasi Asma diberikan 0,5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis dan eksaserbasi PPOK
diberikan 0,5 mg setiap 6-8 jam. Untuk mendukung efikasi terapi farmakologi, dapat
dilakukan terapi non farmakologi seperti modifikasi life style (gaya hidup).

IV. DAFTAR PUSTAKA


Afgani, Q.A. & Hendriani, R., 2020 . Review Artikel: Manajemen Terapi Asma. Farmaka,
18(2), pp. 26–36.
Astuti, M. F., Utomo, B., & Suparmin, S., 2018. Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan
Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jurnal Kesehatan, 37(4), pp. 443-
455.
DiPiro, B.G.W.J.T. and DiPiro, T.L.S.C.V., 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth
Edition. Barbara G. Wells, PharmD, FASHP, FCCP: McGraw-Hill Education.
Dipiro J. T., Terry L. S., Barbara, G.W. & C. V. Dipiro. 2020. Pharmacotherapy Handbook
11th Edition. USA: McGraw Hill Education
Department of Health. 2022. How to Use a Turbuhaler. . Diakses tanggal 24 Oktober 2022.
https://www.healthywa.wa.gov.au/Articles/F_I/How-to-use-a-turbuhaler
Donohue, J.F., Wise, R., Busse, W.W., Garfinkel, S., Zubek, V.B., Ghafouri, M., Manuel,
R.C., Herceg, R.H. & Bleecker, E.R., 2016. Efficacy and safety of ipratropium
bromide/ albuterol compared with albuterol in patients with moderate-to-severe
asthma: a randomized controlled trial. BMC Pulmonary Medicine, 16(65). pp. 1–15.
Ferguson, G.T., Tashkin, D.P., Skarby, T., Jourp, C., Sandin, K., Greenwood, M., Pemberton,
K. & Trudo, F., 2017. Effect of budesonide/formoterol pressurized metered-dose
inhaler on exacerbations versus formoterol in chronic obstructive pulmonary disease:
The 6-month, randomized RISE (Revealing the Impact of Symbicort in reducing
Exacerbations in COPD) study, Respiratory Medicine, 132, pp. 31–41.
GINA, 2021. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for
Asthma.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)., 2020. Global strategy for
the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease,
American Journal of COPD.
Hathasary, R. H., Wiyono, W. & Mpila, D. 2021. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) Di Instalasi Rawat Jalan RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado. PHARMACON, 10(1).
Hogan, A. H., Carrol, C. L., Iverson, M. G., Hollenbach, J. P., Philips, K., Saar ., Simoneau,
T., Sturm, J., Vangala, D. & Flores, G. 2021. Risk Factors for Pediatric Asthma
Readmissions: A Systematic Review. The Journal of Pediatrics, pp. 1-65.
Kemenkes RI, 2019, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Kemenkes RI: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kristiningrum, E. 2019. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Cermin
Dunia Kedokteran, 46(4), pp. 262-271.
King, G. G., James, A., Harkness, L., & Wark, P. A. B. 2018, Pathophysiology of severe
asthma: We’ve only just started. Respirology, vol. 23, no. 3, pp: 262–271.
Merckmanuals. 2022. Albuterol. Diakses 18 Oktober 2022.
https://www.merckmanuals.com/professional/resources/brand-names-of-some-
commonly-used-drugs
Merckmanuals. 2022. Formoterol. Diakses 18 Oktober 2022.
https://www.merckmanuals.com/professional/resources/brand-names-of-some-
commonly-used-drugs
Merckmanuals. 2022. Budesonide. Diakses 18 Oktober 2022.
https://www.merckmanuals.com/professional/resources/brand-names-of-some-
commonly-used-drugs.
Merckmanuals, 2022. Ipratropium. Diakses 24 Oktober 2022.
https://www.merckmanuals.com/professional/resources/brand-names-of-some-
commonly-used-drugs.
Mims, J. W. 2015. Asthma: Definitions And Pathophysiology. International Forum of Allergy
& Rhinology, 5(S1), pp. S2–S6.
Nuari, A., Soleha, T.U. & Maulana, M., 2018. Penatalaksanaan Asma Bronkial Eksaserbasi
pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di
Kecamatan Gedong Tataan. Majority, 7(3), pp. 144–151.
Nationwide Children’s. 2022. How to Use a Nebulizer. Diakses tanggal 24 Oktober 2022.
https://www.nationwidechildrens.org/family-resources-education/health-wellness-
and-safety-resources/resources-for-parents-and-kids/how-to-use-an-
epipen/epinephrine-myths-and-facts/how-to-use-a-nebulizer.
Prasetyo, A. & Handriyani, 2020. Diagnosis dan Tatalaksana Asthma-COPD Overlap
Syndrome (ACOS). Cermin Dunia Kedokteran, 47(3), 167-171.
Putcha, N. & Wise, R., 2018. Medication Regimens for Managing COPD Exacerbations.
Respiratory Care, 63(6), pp. 773–782.
Tunceli, O., Williams, S.A., David, Elhefni, H., Pethick, N., Weesman, C., Zhoud, S. &
Trudo, F., 2014. Comparative Effectiveness of Budesonide-Formoterol Combination
and Fluticasone-Salmeterol Combination for Asthma Management: A United States
Retrospective Database Analysis. Journal of Allergy Clinical Immunology Practice,
pp. 719–726.
UpToDate, 2022. Management of asthma exacerbations in adults: Emergency department or
urgent care. Diakses pada 24 Oktober 2022.
https://www.uptodate.com/contents/image?imageKey=PULM%2F111835.
Wahyudi, A., Yani, F. F. & Erkadius. 2016. Hubungan Faktor Risiko Terhadap Kejadian
Asma Pada Anak Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2),
pp. 312-318.

V. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai