Disusun Oleh:
Kelompok 1_ Kasus 1
1. Nanda Rahma Setianingsih I1C020002
2. Aisyah Alfa Mawaddah I1C020020
3. Alendra Luthfi I1C020040
4. Monica Dyah Achdianis I1C020060
5. Faizah Aurelista Oktaviana I1C020078
I. KASUS
A. Identitas Pasien
B. Riwayat MRS
C. Parameter Penyakit
TTV Tanggal
23/11
TD 120/ 80
N 70
RR 26
Suhu 36,5
Batuk ++
Berdahak
Sesak +++
D. Parameter Laboratorium
23/11
Limfosit 25-40% 30
HB 10-15,5 g/dl 13
FEV1 52%
pO2 50 mmHg
pCO2 65 mmHg
1. Penyebab
1.1 PPOK
PPOK termasuk penyakit radang paru-paru kronis yang menyebabkan
aliran udara terhambat dari paru-paru. Asap rokok mempunyai prevalensi yang
tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru,
terhalangnya jalan nafas akibat inflamasi, lendir atau dahak sehingga penderita
sulit bernafas. Penderita menyebabkan sekresi lendir berulang dengan batuk
hampir setiap hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun. Penyebab utama
PPOK adalah paparan asap tembakau yang menyebabkan aktifnya neutrofil,
makrofag, dan Limfosit CD8 +, yang melepaskan mediator kimia, termasuk
nekrosis tumor faktor-α, interleukin-8, dan leukotriene B4. Sel-sel inflamasi
dan mediator memimpin untuk perubahan destruktif luas di saluran udara,
pembuluh darah paru, dan paru-paru parenkim (DiPiro et al., 2020).
1.2 ASMA
Faktor lingkungan, asap tembakau lingkungan (environmental tobacco
smoke), polusi udara terkait lalu lintas, dan jamur/ragi di rumah, juga
merupakan penyebab asma (Hogan et al., 2021). Asap tembakau akan
menyebabkan inflamasi kronik berulang pada saluran pernapasan sehingga
saluran pernapasan menjadi lebih kecil karena proses remodelling. Selain itu,
polusi udara dan alergen lain, seperti jamur dan bulu hewan, dapat memicu
timbulnya asma karena saluran pernapasan penderita asma bersifat hiperreaktif
terhadap alergen tersebut (Wahyudi et al., 2016).
2. Patofisiologi
1.1 PPOK
PPOK ditandai dengan perubahan inflamasi kronis yang menyebabkan
perubahan jaringan destruktif dan pengembangan keterbatasan aliran udara
kronis. Proses inflamasi tersebar luas dan melibatkan saluran udara, pembuluh
darah paru, dan parenkim paru. Paparan gas berbahaya dan partikel
mengaktifkan sel inflamasi untuk melepaskan berbagai mediator kimia..
Peradangan yang terlihat pada PPOK sering disebut sebagai neutrofilik, tetapi
makrofag dan limfosit CD8+ juga memainkan peran utama (DiPiro et al.,
2020).
Inflamasi yang terjadi pada saluran napas pasien PPOK sebagai
respons peradangan terhadap iritan kronis, seperti asap rokok. Inflamasi paru
tetap bertahan setelah berhenti merokok. Mekanisme patogenesis meliputi:
1) Oxidative stress
2) Ketidakseimbangan Protease – antiprotease
3) Inflammatory cells: di beberapa pasien terdapat peningkatan
eosinophil, Th2 atau ILC 2, terutama jika terjadi bersamaan dengan
asma.
4) Mediator inflamasi
5) Fibrosis peribronkial dan interstisial
6) Perbedaan inflamasi antara PPOK dan asma (GOLD, 2020).
1.2 ASMA
3. Faktor Resiko
1.1 PPOK
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perkembangan dari penyakit
PPOK. Diantaranya, Asap rokok, polusi udara, genetika, usia dan jenis
kelamin.
- Asap rokok
Kebiasaan merokok diketahui mengganggu efektifitas sebagian
mekanisme pertahanan respirasi. Produk asap rokok diketahui
merangsang produksi mukus dan menurunkan pergerakan silia.
Penurunan pergerakan silia dapat merangsang terjadinya akumulasi
mukus yang kental dan terperangkapnya partikel Merokok pada orang
dewasa dapat menimbulkan berbagai gangguan sistem pernafasan
seperti kanker paru, gejala iritan akut, asma, gejala pernafasan kronik,
penyakit paru obstruktif kronik, infeksi pernafasan (Astuti et al., 2018).
- Polusi udara
Lingkungan yang terkait dengan perkembangan PPOK seperti paparan
asap biomassa, paparan pekerjaan terhadap debu dan asap (di
pertanian, peternakan, pertambangan, konstruksi, paparan produk
kimia di industri), polusi lingkungan, paparan perokok pasif, asma
kronis dan TBC (Pando et al., 2022).
- Genetika
Kelainan genetik yang terkait dengan PPOK adalah defisiensi berat
dari alpha-1 antitrypsin yang merupakan inhibitor utama enzim serin
protease. Kekurangan protein ini dapat meningkatkan risiko menderita
PPOK (Mustofa & Zuya, 2019).
- Usia
Semakin bertambah umur seseorang maka akan terjadi degenerasi otot-
otot pernafasan dan elastisitas jaringan menurun. Sehingga kekuatan
otot-otot pernafasan dalam menghirup oksigen menjadi
menurun.Kemudian karena faktor umur yang bertambah maka semakin
banyak alveoli yang rusak dan daya tahan tubuh semakin rendah. Hasil
penelitian menunjukkan dari 120 penderita PPOK, usia termuda adalah
40 tahun dan tertua adalah 81 tahun (Astuti et al., 2018)
- Jenis kelamin
Sampai saat ini hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian
PPOK masih belum jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa
angka kesakitan dan kematian akibat PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan, namun saat ini angka kejadian PPOK
hampir sama antara laki-laki dan perempuan, terkait dengan
bertambahnya jumlah perokok perempuan (Kemenkes., 2019)
1.2 ASMA
Asma adalah salah satu kondisi paling umum yang menyerang anak
anak dan orang dewasa. Faktor lingkungan dan juga genetik dapat bertindak
sebagai faktor resiko terjadinya asma. Faktor risiko lingkungan misalnya,
merokok, polusi, obesitas, faktor resiko pekerjaan dan Genetika (Toskala &
Kennedy, 2015).
1. Merokok
Merokok telah terbukti menjadi faktor risiko untuk
mengembangkan asma. Selain itu terdapat hubungan perkembangan
asma pada anak dengan orang tua perokok. Dimana orang tua perokok
dapat meningkatkan risiko kejadian asma pada anak-anak (Toskala &
Kennedy., 2015).
2. Polusi
Paparan polusi udara luar dan dalam ruangan tetap menjadi
faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan asma dan memicu
gejala asma. Tingkat polusi pada daerah perkotaan dan pedesaan juga
berpengaruh pada terjadinya asma, anak-anak yang tinggal di
perkotaan lebih besar resikonya terkena asma karena tingkat polutan
pada daerah perkotaan yang lebih tinggi (Toskala & Kennedy., 2015)
3. Obesitas
Selain meningkatkan risiko efek pernapasan dari polusi udara,
obesitas saja memiliki dampak signifikan pada risiko asma, fenotipe,
dan prognosis. Studi epidemiologis telah dengan jelas menunjukkan
bahwa asma lebih mungkin terjadi pada pasien obesitas karena
seseorang yang obesitas memiliki kualitas hidup yang umumnya
buruk. Hubungan antara obesitas dengan asma dapat terjadi karena
proses inflamasi pada saluran pernapasan. Saat terjadi inflamasi,
sitokin dan faktor genetik menghubungkan antara obesitas dengan
asma. TNF-alpha, eotaxin, IL-6, leptin, dan adiponectin yang
diproduksi oleh jaringan lemak dapat mempengaruhi terjadinya proses
inflamasi. TNF-alpha diproduksi di jaringan lemak dan secara
langsung dipengaruhi dengan lemak tubuh.TNF-alpha diketahui
meningkat pada asma dan dipengaruhi dengan produksi sitokin TH2
(IL-4, IL-6) di epitel bronkus.IL-6 meningkat pada orang obesitas dan
dipengaruhi dengan terjadinya asma (Toskala & Kennedy., 2015)
5. Genetika
Fungsi gen diketahui telah ditunjukkan bahwa polimorfisme
gen yang berbeda mempengaruhi asal-usul asma, tingkat
keparahannya, dan responnya terhadap pengobatan. Seorang anak
dapat mengidap asma ketika ibunya mengidap asma (Toskala &
Kennedy., 2015).
B. PENATALAKSANAAN KASUS
1. Metode SOAP
Riwayat
Lifestyle:
Merokok
Asma Riwayat Pemeriksaan Penunjang Pasien sudah - Edukasi
Keluhan: Lainnya: menerima terapi pasien
- Sesak nafas FEV1 52% → serangan Albuterol MDI, - Menghindari
(+++) berat tetapi tidak efektif paparan
pO2 50 mmHg (normal > dalam alergen
80 mmHg) menyembuhkan - Pola hidup
Riwayat
terapi sehat
Penyakit: pCO2 65 mmHg (normal
(penghentian
PPOK dan Asma 35-45 mmHg)
merokok,
menghindari
Riwayat Obat: kegemukan,
- Atrovent kegiatan fisik
MDI 2 puff seperti senam
asma)
2 kali DiPiro et al.,
sehari 2020)
- Ventolin
MDI 2 puff
prn
Riwayat lifestyle:
Merokok
Plan :
Tujuan Terapi
a. Mengatasi gejala
b. Meningkatkan kualitas hidup pasien
(DiPiro et al., 2015)
c. Kondisi asma jangka panjang dari manajemen terapi asma adalah untuk
mengendalikan gejala
d. Meminimalisir tingkat kematian akibat asma
e. Menurunkan kejadian eksaserbasi dan meminimalkan efek samping terapi
(GINA, 2021)
Terapi Non- Farmakologis PPOK
a. Edukasi dan self management
b. Berhenti merokok
c. Olahraga dan latihan pernafasan
d. Perbaikan nutrisi
(Dipiro et al., 2020)
Terapi Non- Farmakologis Asma
a. Edukasi pasien
b. Menghindari paparan alergen
c. Pola hidup sehat (penghentian merokok, menghindari kegemukan, kegiatan
fisik seperti senam asma)
(DiPiro et al., 2020)
d. Pemberian ASI (menurunkan frekuensi wheezing)
e. Suplemen makanan seperti vitamin D (menurunkan kejadian asma 25% dan
frekuensi wheezing pada anak usia 0-3 tahun)
f. Minyak ikan dan polyunsaturated fatty acid (menurunkan kejadian asma dan
frekuensi wheezing)
(GINA, 2019)
2. Tepat Indikasi
Berdasarkan penilaian informasi pasien, pasien terindikasi menderita PPOK
(Penyakit Paru Obstruksi Kronik) karena jika dilihat dari keluhan yang dialami,
pasien memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi PPOK yaitu sesak napas, bertambahnya
volume sputum dan purulensi sputum (Hathasary et al., 2021). Penyakit PPOK
memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan rokok, semakin banyak dan
semakin lama rokok yang dihisap maka resiko untuk timbulnya PPOK semakin
meningkat. Gejala yang biasanya muncul pada penderita PPOK seperti sesak napas,
peningkatan usaha bernapas, rasa berat saat bernapas, atau gasping, batuk biasanya
kronik (dengan atau tanpa disertai dahak), mudah lelah, dan terganggunya aktivitas
fisik. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien, didapatkan nilai FEV1 sebesar 52%
sehingga pasien ini diklasifikasikan kedalam golongan PPOK GOLD 2 dengan
kategori moderate (GOLD, 2020), dengan keluhan nafas pendek, terutama saat
latihan fisik, kadang disertai batuk dan sputum produktif.
PPOK terdapat kriteria stabil dan eksaserbasi akut, dengan kriteria PPOK stabil
antara lain ; tidak dalam kondisi gagal nafas akut pada gagal napas kronik, dapat
dalam kondisi gagal nafas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah PCO2 <
45mmHg dan PO2 > 60 mmHg, dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas
tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri), penggunaan
bronkodilator sesuai rencana pengobatan, dan tidak ada penggunaan bronkodilator
tambahan (Kristiningrum, 2019). Gejala eksaserbasi akut PPOK terdapat sesak
nafas bertambah, produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum.
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 yaitu Tipe I (eksaserbasi berat), jika memiliki 3
gejala; Tipe II (eksaserbasi sedang), jika memiliki 2 gejala; dan Tipe III
(eksaserbasi ringan), jika memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > dari 20% basal, atau frekuensi nadi > dari
20% basal (Kristiningrum, 2019).
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi
kombinasi Budesonide-Formoterol Fumarate Dihydrate memiliki tingkat
eksaserbasi asma yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mendapat
terapi kombinasi Fluticasone Propionate-Salmeterol (Tunceli et al., 2014). Selain
itu, Budesonide-Formoterol juga lebih efektif dibandingkan dengan Fluticasone
Propionate-Salmeterol dalam terapi PPOK karena kemampuannya dalam
mengurangi eksaserbasi PPOK pada pasien dengan penyempitan saluran udara
sedang hingga sangat parah serta memiliki riwayat eksaserbasi (Ferguson et al.,
2017).
Terapi Eksaserbasi:
Terapi eksaserbasi akut pada pasien dengan PPOK dan asma, dapat dilakukan
dengan memberikan obat golongan SABA (Short Acting Beta Agonist), seperti
Salbutamol. Untuk eksaserbasi parah, albuterol/salbutamol digunakan dalam
kombinasi dengan inhalasi antagonis muskarinik kerja pendek (SAMA), dan bentuk
sediaan nebulizer umumnya lebih disukai (Merck Manual, 2022).
b) Formoterol
Formoterol digunakan untuk terapi pemeliharaan pada PPOK dan
asma. Pasien diketahui tidak memiliki reaksi hipersensitivitas atau alergi
terhadap Formoterol sehingga obat ini terindikasi aman untuk pasien. Selain
itu, Formoterol juga kompatibel dengan Budesonide. Obat ini juga aman untuk
pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat badan pada pasien
yang obesitas (Merck Manual, 2022).
c) Salbutamol
Salbutamol digunakan untuk terapi eksaserbasi akut pada PPOK dan
asma. Pasien juga diketahui tidak memiliki reaksi hipersensitivitas atau alergi
terhadap obat ini sehingga obat terindikasi aman untuk pasien. Selain itu, obat
ini juga aman untuk pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat
badan pada pasien yang obesitas (Merck Manual, 2022).
d) Ipratropium bromide
Obat ini digunakan untuk terapi eksaserbasi akut PPOK dan asma.
Pasien diketahui tidak memiliki kontraindikasi dengan obat ini, yaitu
hipersensitivitas pada ipratropium dan atropine. Selain itu, obat ini juga aman
untuk pasien karena tidak menimbulkan efek penambahan berat badan pada
pasien yang obesitas (Merck Manual, 2022).
5. Tepat Dosis
Terapi Pemeliharaan
a) Budesonide
Budesonide digunakan sebagai terapi pemeliharaan asthma bronkial
dan mencegah eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Budesonide diberikan kepada pasien dengan dosis 200-400 mcg sekali sehari
dalam bentuk dry powder inhaler (Merckmanual, 2022). Sebagian besar gejala
pasien akan membaik dalam jangka waktu 1-2 minggu pertama terapi dan akan
mencapai perbaikan maksimum dalam jangka waktu 4-8 minggu (Dipiro et al.,
2020).
b) Formoterol
Formoterol adalah obat untuk meredakan gejala penyempitan saluran
pernapasan akibat asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Obat ini
juga dapat digunakan untuk mencegah frekuensi kekambuhan serangan asma
dan PPOK. Formoterol diberikan kepada pasien dengan dosis 12 mcg yang
diberikan melalui inhalasi oral dengan interval pemberian setiap 12 jam sekali
(2 x 1 hari) (Merckmanual, 2022).
Untuk sediaan budesonide-formoterol yang ada di pasaran yaitu
symbicort 160 mcg/4.5 mcg Turbuhaler 60 Dosis. Per dosis semprot/inhalasi
mengandung budesonide 160 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg. Dosis
pemeliharaan untuk sediaan obat ini yaitu 2 x sehari 2 inhalasi. Cara
penggunaanya adalah dengan cara disemprotkan ke dalam mulut sambil
dihirup.
Terapi Eksaserbasi
a) Salbutamol
Salbutamol digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut pada asma
dan PPOK. Untuk eksaserbasi parah, albuterol digunakan dalam kombinasi
dengan antagonis muskarinik kerja pendek inhalasi, dan perawatan nebulisasi
umumnya lebih disukai. Dosis pada larutan nebulisasi yaitu Inhalasi oral: 2,5
hingga 5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis, kemudian diturunkan sesuai
toleransi (misalnya, menjadi 2,5 hingga 5 mg setiap 1 hingga 4 jam sesuai
kebutuhan). Untuk pasien sakit kritis, 10 hingga 15 mg dapat diberikan dengan
nebulisasi terus menerus selama 1 jam melalui alat khusus. Untuk eksaserbasi
akut pada PPOK dosisnya yaitu 2,5 mg setiap 1 jam selama 2 hingga 3 dosis,
kemudian setiap 2 hingga 4 jam sesuai kebutuhan (Merckmanual, 2022).
b) Ipratropium bromide
Ipratropium bromide digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut pada
asma dan PPOK. Ipratropium bromide diberikan dalam bentuk larutan
nebulisasi yang diberikan melalui inhalasi oral dengan dosis 0,5 mg setiap 20
menit untuk 3 dosis, kemudian setiap jam sesuai kebutuhan hingga 3 jam untuk
terapi asma akut dan 0,5 mg setiap 6 hingga 8 jam sesuai kebutuhan untuk
eksaserbasi akut pada PPOK (Merckmanual, 2022).
b) Formoterol
Formoterol dapat menyebabkan efek samping seperti nyeri dada (2%
hingga 3%), kecemasan (2%), pusing (2%), insomnia (2%), pruritus (2%),
diare (5%), mual (5%), dan kram otot (2%) (Merckmanual, 2022).
Terapi Eksaserbasi
a) Salbutamol
Efek samping yang dapat terjadi setelah mengkonsumsi salbutamol
yaitu gugup (4% hingga 15%), tremor (5% hingga 38%; frekuensi meningkat
seiring bertambahnya usia), nyeri dada (<3%), edema (<3%), ekstrasistol
(<3%), flushing, hipertensi (1% hingga 3%), palpitasi, dan takikardia (1%
hingga 7%) (Merckmanual, 2022).
b) Ipratropium bromide
Efek samping dari ipratropium bromide yaitu sinusitis (1% hingga
11%), sakit kepala (6% hingga 7%), pusing (3%), dispepsia (1% hingga
5%), mual (4%), xerostomia (2% hingga 4%), dysgeusia (1%), dan infeksi
saluran kemih (2% hingga 10%) (Merckmaual, 2022).
KIE
Nama Obat, Aturan
Jumlah
Dosis Pakai Hal yang perlu
Manfaat Obat
diperhatikan
8. Monitoring
Monitoring
Nama Obat Target Keberhasilan
Keberhasilan ESO
Budesonide Keluhan sesak napas dan ● Insufisiensi Sesak napas dan batuk akan
batuk adrenokortikal mereda dalam 8 minggu dan
● Osteoporosis tidak kambuh lagi.
● Gelisah
● Psikosis
● Iritasi Kulit
(Merck Manual,2022)
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada kasus PPOK dan Asma bahwa pasien
yang bernama Tn. WM, umur 64 tahun dengan berat badan 80 Kg dan tinggi badan 160 cm
didiagnosa menderita penyakit PPOK dan Asma. Terapi yang digunakan untuk pasien
menggunakan budesonide 200 to 400 mcg/hari inhaler selama 8 minggu, albuterol 90
mcg/aktuasi dengan Inhalasi oral 2 hingga 4 inhalasi setiap 20 menit untuk 3 dosis selama 3
hari, formoterol 20 mcg tiap 12 jam selama 8 minggu dan obat Ipratropium Bromide pada
eksaserbasi Asma diberikan 0,5 mg setiap 20 menit untuk 3 dosis dan eksaserbasi PPOK
diberikan 0,5 mg setiap 6-8 jam. Untuk mendukung efikasi terapi farmakologi, dapat
dilakukan terapi non farmakologi seperti modifikasi life style (gaya hidup).
V. LAMPIRAN