PEMBAHASAN
Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan
yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Implementasi kebijakan dipandang dari
pengertian yang luas, merupakan tahap proses kebijakan segera setelah penetapan undang-
undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang
yang mencakup berbagai actor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-
program (Winarno, Budi. 2007 :144).
Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam (Winarno, Budi. 2007 : 146),
mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik
oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijaksanaan”. Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut 3 hal, yaitu : (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau
kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa setelah kebijakan tersebut
dirumuskan maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut
dengan cara menjabarkannya dalam produk-produk hokum atau instruksi-instruksi lainnya
yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Implementasi kebijakan juga
merupakan suatu proses yang dinamis, yaitu pelaksana dari suatu kebijakan tersebut
melakukan aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang
sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan.
Atas dasar pengelompokan tersebut di atas, struktur program dapat tersusun secara
berjenjang ke dalam : Program Induk (yang menangani satu masalah utama), Kategori
Program Utama, Program Utama, dan Program/Kegiatan. Setiap kegiatan dijabarkan ke dalam
rincian kegiatan, baik untuk setiap satuan kerja maupun untuk setiap orang yang terlibat dalam
pelaksanaan. Dengan demikian, struktur program tersebut dapat menggambar-kan atau
mencerminkan secara menyeluruh mengenai arah, strategi, dan sasaran yang ditempuh oleh
setiap unit administratif dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang serta tujuan-
tujuan dan sasaran-sasaran yang hendak dicapai.
Untuk mengukur kualitas program dapat dilakukan dari aspek struktur dan aspek isinya
(content). Struktur program menggambarkan struktur permasalahan yang akan dipecahkan,
sedangkan isi program menggambarkan volume (bobot) pekerjaan dan sumber dayanya.
Target group (kelompok sasaran), yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam
masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh
kebijakan. Mereka diharapkan dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola
interaksi yang ditentukan oleh kebijakan. Adapun sampai seberapa jauh mereka dapat
mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan bergantung
kepada kesesuaian isi kebijakan (program) dengan harapan mereka. Selanjutnya karakteristik
yang dimiliki oleh mereka (kelompok sasaran) seperti : besaran kelompok sasaran, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia dan keadaan sosial-ekonomi mempengaruhi
terhadap efektivitas implementasi. Adapun karakteristik tersebut sebagian dipengaruhi oleh
lingkungan di mana mereka hidup baik lingkungan geografis maupun lingkungan sosial-
budaya.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, faktor komunikasi juga sangat berpengaruh
terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga jeleknya proses komunikasi
ini akan menjadi titik lemah dalam mencapai efektivitas pelaksanaan kebijakan negara.
Dengan demikian, penyebarluasan isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan
mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Dalam hal ini media komunikasi
yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat
berperan.
Pendekatan generasai pertama hanya terbatas pada studi kasus dengan metode
deskriptif dengan melakukan investigasi terhadap implementasi suatu kebijakan publik secara
mendalam yang dilaksanakan pada daerah atau lokasi tertentu. Dengan pendekatan studi
kasus, Generasi pertama kemudian menghasilkan banyak sekali kasus-kasus kegagalan
implementasi. Cara mereka menjelaskan fenomena kegagalan tersebut biasanya dengan
metode deskriptif, yaitu menggambarkan kebijakan yang ditelitinya secara: mendalam, detil,
dan banyak ilustrasi sehingga hasil penelitian mereka sangat menarik untuk dibaca. Setelah
membuat deskripsi tentang kegagalan implementasi dan mengidentifikasi faktor yang menjadi
penyebab kegagalan, para peneliti kemudian memberikan preskripsi (resep) masing-masing
tentang bagaimana mengatasi permasalahan implementasi suatu kebijakan.
a. Pendekatan Top-Down
Pendekatan ini menggunakan logika berfikir dari atas lalu melakukan pemetaan
kebawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan.
Barrett (2004) menjelaskan bahwa studi implementasi yang menggunakan pendekatan
top-down memiliki kecenderungan untuk menjelaskan persolan-persoalan (hambatan atau
kegagalan) yang berkaitan dengan implemantasi suatu kebijakan dan atas dasar faktor-
faktor yang membuat implementasi tersebut gagal.
Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang
menggunakan pendekatan top-down biasanya adalah sebagai berikut :
b. Pendekatan Bottom-Up
Sabatier (1984) mencatat pada dasarnya ada empat kritik yang dilontarkan
terhadap pendekatan top-down oleh para peneliti implementasi. Empat kelemahan
pendekatan topdown yang dimaksudkan tersebut menurut para peneliti yang kritis seperti:
Hjern dan Hull (1982), Barrett dan Fudge (1981), serta Elmore (1979) adalah :
Pendekatan bottom-up ini dipelopori oleh beberapa peneliti Generasi kedua seperti
Elmore (1978,1979), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978)
yang didasarkan atas ketidakpuasan mereka, kemudian mereka mengembangkan
pendekatan baru yaitu bottom-up. Para penganut pendekatan ini mencoba menekankan
bagaimana pentingnya memperhatikan dua aspek yang penting dalam implementasi suatu
kebijakan, yaitu: birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran
kebijakan (target group). Argumen yang menjadi dasar tentang pentingnya peran birokrat
pada level bawah sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan
merealisasikan keluaran kebijakan (apabila konteks keluaran kebijakan bersifat pelayanan
kepada masyarakat) atau menyampaikan keluaran tersebut kepada target group (apabila
konteks keluaran kebijakan berupa hibah,bantuan,subsidi, dan lain-lain). Dengan peran
sebagai merealisasikan keluaran kebijakan, maka birokrat pada level bawah memiliki
posisi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang
menggunakan pendekatan bottom-up biasanya adalah dengan langkahlangkah sebagai
berikut :
Top-down Bottom-up
Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat) Jaringan implementasi paa level
paling bawah
Identifikasi aktor Dari pusat (atas) dilanjutkan ke Dari bawah, yaitu para
utama yang terlibat bawah sebagai konsekuensi implementer pada level local ke atas
dalam proses implementasi
Kriteria Evaluasi Berfokus pada pencapaian tujuan Kurang begitu jelas, apa saja yang
formal yang dinyatakan dalam dianggap peneliti penting dan punya
dokumen kebijakan relevansi dengan kebijakan
Generasi ketiga ketiga disebut sebagai generasi pembaharu karena ingin menerapkan
menerapkan metodologi yang lebih “sound” sehingga hasil studi implementasi lebih
dipercaya. Generasi ketiga sepakat untuk melanjutkan dukungannya terhadap pendekatan
bottom-up yang telah dirintis oleh para generasi kedua, namun disamping itu mereka juga
berusaha mengembangkan studi implementasi kearah yang lebih scientific.
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganjurkan penggunaan prosedur ilmiah yang
lebih baku. Goggin et.al (1990) dalam bukunya mengatakan bahwa agar implementasi makin
diakui kualitas kaar keilmiahannya maka peneliti perlu: (i) memperjelas konsep-konsep yang
digunakan, terutama konsep implementasi itu sendiri; (ii) memperbanyak kasus yang akan
distudi sehingga member ruang yang lebih baik untuk menjelaskan fenomen implementasi (iii)
membangun model dan indicator yang akan dipakai untuk menguji hipotesis; (iv) berani
melakukan perbaikan terhadap persoalan penggunaaan konsep dan pengukuran yang dihadapi
oleh para peneliti sebelumnya. Yang membedakan para Generasi ketiga dengan para peneliti
sebelumnya adalah mendorong penelitian implementasi untuk mengadopsi penelitian
kuantitatif dengan makin meningkatkan kualitas indikator untuk melakukan pengukuran, baik
terhadap variable dependent (kinerja implementasi) maupun variable predictor (faktorfaktor
yang menjelaskan kinerja implementasi.
DAFTAR PUSTAKA
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. AIPI Bandung - Puslit KP2W Lemlit Unpad