Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Implementasi

Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan
yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Implementasi kebijakan dipandang dari
pengertian yang luas, merupakan tahap proses kebijakan segera setelah penetapan undang-
undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang
yang mencakup berbagai actor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-
program (Winarno, Budi. 2007 :144).

Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam (Winarno, Budi. 2007 : 146),
mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik
oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijaksanaan”. Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut 3 hal, yaitu : (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau
kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.

Sedangkan menurut Parsons, 2008:464 Implementasi adalah pelaksanaan pembuatan


kebijakan dengan cara-cara lain. Idealnya keputusan-keputusan (tersebut) menjelaskan
masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam
berbagai cara “menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa setelah kebijakan tersebut
dirumuskan maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut
dengan cara menjabarkannya dalam produk-produk hokum atau instruksi-instruksi lainnya
yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Implementasi kebijakan juga
merupakan suatu proses yang dinamis, yaitu pelaksana dari suatu kebijakan tersebut
melakukan aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang
sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan.

Dalam mengimplementasikan kebijakan yang dimaksud diperlukan suatu input berupa:


peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan, sumber daya manusia sebagai pelaksana,
sumber daya keuangan yang akan mendukung pelaksanaan kebijakan, komitmen pelaku-
pelaku yang terkait serta standard operating procedurs dan lain sebagainya.

2.2 Unsur-Unsur Implementasi Kebijakan

Adapun unsur-unsur implementasi kebijakan yang mutlak harus ada ialah :

2.2.1 Pelaksana (Implementor)

Pihak yang terutama mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kebijakan publik


adalah unit-unit administratif atau unit-unit birokratik (Sharkansky, 1975; Ripley & Grace A.
Franklin, 1986) pada setiap tingkat pemerintahan. Jadi unit-unit administratif atau unit-unit
birokratik ini berfungsi sebagai wahana melalui dan dalam hal mana berbagai kegiatan
administratif yang bertalian dengan proses kebijakan publik dilakukan. Dalam implementasi
kebijakan ia memiliki diskresi mengenai instrumen apa yang paling tepat untuk digunakan.
Berdasarkan otoritas dan kapasitas administratif yang dimilikinya ia melakukan berbagai
tindakan, mulai dari : “penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan
kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program,
pengorganisasian, penggerakan manusia, pelaksanaan kegiatan operasional, pengawasan, dan
penilaian” (Dimock & Dimock, 1984 : 117; Tjokroamidjojo, 1974 : 114; Siagian, 1985 : 69).
Menurut Dimock & Dimock (1984 : 117), terdapat beberapa fase yang harus dilakukan
oleh seorang administrator, yaitu :

1. Fase pertama, administrator harus menetapkan tujuan dan sasaran dari


rencananya, kemudian berdasarkan hasil analisis perumusan kebijakan
ditentukan kebijakan administratif yang bersifat ke dalam sedemikian rupa
sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan akan dapat tercapai dengan
sebaik-baiknya, dan untuk selanjutnya dituangkan ke dalam program-program
operasional, sehingga terbentuk struktur program.
2. Fase kedua, yaitu pengorganisasian. Dengan melalui tindakan ini akan
terbentuk suatu organisasi (bisa dalam bentuk tim) yang siap untuk
melaksanakan program-program yang telah ditetapkan. Oleh karena dengan
melalui peng-organisasian, tenaga manusia, alat, tugas, wewenang, tanggung
jawab dan tata kerja ditata sedemikian rupa sehingga dapat digerakan untuk
melaksanakan kegiatan. Dan sejalan dengan tindakan ini, orang-orang tersebut
perlu dimotivasi (motivating) agar mereka mempunyai sikap dan komitmen
terhadap pelaksanaan program.
3. Fase ketiga, mengembangkan metode-metode dan prosedur-prosedur yang
dibutuhkan, termasuk cara-cara untuk terus-menerus meninjau hasil-hasil
sewaktu program itu dalam proses pelaksanaan. Jadi, sambil berlangsungnya
kegiatan operasional, pengawasan dilakukan. Kemudian, apabila suatu tahap
pelaksanaan kegiatan operasional telah selesai dilaksanakan misalnya atas dasar
satu kurun waktu tertentu maka perlu dilakukan penilaian, dengan maksud
untuk memperoleh masukan yang tepat tentang perbandingan antara hasil yang
nyatanya dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai. Bilamana terdapat
kesenjangan di antara kedua jenis hasil tersebut, perlu dilakukan pengkajian
(analisis) yang mendalam untuk menentukan faktor-faktor penyebabnya.

Dengan demikian, penilaian yang merupakan langkah terakhir dalam proses


administrasi dan sebagai salah satu fungsi organik manajemen - merupakan tindakan
pengukuran dan pembandingan daripada hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-
hasil yang seharusnya dicapai. Dalam penilaian tersebut yang menjadi objeknya adalah
seluruh segi kegiatan yang telah selesai dilakukan yang meliputi :

1. Hasil yang dicapai dalam satu kurun waktu tertentu,


2. Biaya yang nyatanya dikeluarkan oleh satu organisasi untuk mencapai hasil itu
dibandingkan dengan biaya yang tersedia,
3. Tenaga yang dipergunakan,
4. Sarana dan prasarana yang dimanfaatkan, termasuk cara pemanfaatannya,
5. Efektivitas mekanisme dan prosedur kerja yang telah ditetapkan. (Siagian, 1985
: 103)
2.2.2 Adanya program yang dilaksanakan

Seperti yang telah dikemukakan diatas, pada hakekatnya implementasi kebijakan


adalah implementasi program. Program-program yang bersifat operasional adalah program-
program yang isinya dengan mudah dapat dipahami dan dilaksanakan oleh pelaksana. Program
tersebut tidak hanya berisi mengenai kejelasan tujuan/sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah, melainkan secara rinci telah menggambarkan pula alokasi sumber daya yang
diperlukan, kemudian kejelasan metode dan prosedur kerja yang harus ditempuh, dan
kejelasan standar yang harus dipedomani.

Berdasarkan permasalahan pokok yang berkembang serta prioritas pemecahannya pada


setiap unit administratif, program (rangkaian kegiatan pemecahan masalah) tersebut dapat
dikelompokkan secara berjenjang ke dalam (Zwick dalam Djamaludin, 1977 : 82 83) :

1. Program categories, merupakan suatu program struktur yang menggambarkan


kerangka dasar yang mempertimbangkan pemecahan masalah-masalah utama
dari tujuan/sasaran dan skala prioritas operasinya.
2. Program sub-categories, merupakan perincian dari program categories, dan
merupakan pengelompokan dari program elements yang menghasilkan output
yang hampir sama atau serupa.
3. Program elements, mencakup kegiatan-kegiatan unit administrative yang
secara langsung dikembangkan dengan outputs nyata atau sekelompok outputs
yang saling berkaitan. Jadi program elements tersebut merupakan kesatuan-
kesatuan dasar dari program struktur.

Atas dasar pengelompokan tersebut di atas, struktur program dapat tersusun secara
berjenjang ke dalam : Program Induk (yang menangani satu masalah utama), Kategori
Program Utama, Program Utama, dan Program/Kegiatan. Setiap kegiatan dijabarkan ke dalam
rincian kegiatan, baik untuk setiap satuan kerja maupun untuk setiap orang yang terlibat dalam
pelaksanaan. Dengan demikian, struktur program tersebut dapat menggambar-kan atau
mencerminkan secara menyeluruh mengenai arah, strategi, dan sasaran yang ditempuh oleh
setiap unit administratif dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang serta tujuan-
tujuan dan sasaran-sasaran yang hendak dicapai.
Untuk mengukur kualitas program dapat dilakukan dari aspek struktur dan aspek isinya
(content). Struktur program menggambarkan struktur permasalahan yang akan dipecahkan,
sedangkan isi program menggambarkan volume (bobot) pekerjaan dan sumber dayanya.

2.2.3 Kelompok sasaran

Target group (kelompok sasaran), yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam
masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh
kebijakan. Mereka diharapkan dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola
interaksi yang ditentukan oleh kebijakan. Adapun sampai seberapa jauh mereka dapat
mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan bergantung
kepada kesesuaian isi kebijakan (program) dengan harapan mereka. Selanjutnya karakteristik
yang dimiliki oleh mereka (kelompok sasaran) seperti : besaran kelompok sasaran, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia dan keadaan sosial-ekonomi mempengaruhi
terhadap efektivitas implementasi. Adapun karakteristik tersebut sebagian dipengaruhi oleh
lingkungan di mana mereka hidup baik lingkungan geografis maupun lingkungan sosial-
budaya.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, faktor komunikasi juga sangat berpengaruh
terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga jeleknya proses komunikasi
ini akan menjadi titik lemah dalam mencapai efektivitas pelaksanaan kebijakan negara.
Dengan demikian, penyebarluasan isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan
mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Dalam hal ini media komunikasi
yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat
berperan.

2.3 Pendekatan-Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Peter de Leon dan Linda de Leon (2011), pendekatan-pendekatan dalam


implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi.yaitu generasi
pertama, generasi kedua dan generasi ketiga.
2.3.1 Generasi pertama (1970-an)

Generasi pertama menggunakan pendekatan implementasi Studi Kasus. Memahami


implemantasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan
eksekusinya. Generasi pertama tidak dapat dilepaskan dari kegalauan para ahli tentang
kenyataan yang mereka hadapi dan temukan dalam kehidupan peraktis kebijakan publik.
Hakekat kebijakan publik yang dipahami oleh akademisi atau ilmuan administrasi publik,
mereka percaya bahwa kebijakan publik, sebagai sebuah aksi kolektif dan merupakan
instrumen yang dianggap paling efektif dalam memecahkan problema atau masalah yang
dihadapi oleh masyarakat (masalah publik) ketika mekanisme pasar gagal memecahkan
masalah bersama.

Pendekatan generasai pertama hanya terbatas pada studi kasus dengan metode
deskriptif dengan melakukan investigasi terhadap implementasi suatu kebijakan publik secara
mendalam yang dilaksanakan pada daerah atau lokasi tertentu. Dengan pendekatan studi
kasus, Generasi pertama kemudian menghasilkan banyak sekali kasus-kasus kegagalan
implementasi. Cara mereka menjelaskan fenomena kegagalan tersebut biasanya dengan
metode deskriptif, yaitu menggambarkan kebijakan yang ditelitinya secara: mendalam, detil,
dan banyak ilustrasi sehingga hasil penelitian mereka sangat menarik untuk dibaca. Setelah
membuat deskripsi tentang kegagalan implementasi dan mengidentifikasi faktor yang menjadi
penyebab kegagalan, para peneliti kemudian memberikan preskripsi (resep) masing-masing
tentang bagaimana mengatasi permasalahan implementasi suatu kebijakan.

Sayangnya “resep-resep” yang dirumuskan tersebut belum mampu menghasilkan apa


yang bisa disebut sebagai teori umum tentang implementasi, yaitu penjelasan hubungan sebab-
akibat tentang kegagalan atau keberhasilan implementasi yang dapat diterapkan dimana saja.
Sebagai sebuah studi kasus, hasil penelitian generasi pertama memang memiliki limitasi, di
mana proposisi-proposisi yang mereka hasilkan hanya berlaku di lokasi dimana studi kasus
tersebut dihasilkan.
2.3.2 Generasi kedua (1980-an)

Merupakan generasi yang Membangun Model. Mengembangkan pendekatan


implementasi kebijakan yang bersifat dari top-down dan bottom-up

a. Pendekatan Top-Down

Pendekatan ini menggunakan logika berfikir dari atas lalu melakukan pemetaan
kebawah untuk melihat keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan.
Barrett (2004) menjelaskan bahwa studi implementasi yang menggunakan pendekatan
top-down memiliki kecenderungan untuk menjelaskan persolan-persoalan (hambatan atau
kegagalan) yang berkaitan dengan implemantasi suatu kebijakan dan atas dasar faktor-
faktor yang membuat implementasi tersebut gagal.

Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang
menggunakan pendekatan top-down biasanya adalah sebagai berikut :

1) Memilih kebijakan yang akan dikaji;


2) Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk dapat mengidentifikasi
tujuan dan sasaran kebijakan yang secara formal tercantum dalam
dokumen kebijakan; iii. Mengidentifikasi bentuk-bentuk keluaran
kebijakan yang digunakan sebagai instrument untuk mencapai tujuan
dan sasaran kebijakan;
3) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah diterima oleh
kelompok sasaran dengan baik (sesuai dengan Standard Operating
Procedure yang ada);
4) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan tersebut memiliki manfaat
bagi kelompok sasaran
5) Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah kelompok sasaran
memanfaatkan keluaran kebijakan yang mereka terima. Analisis
kemudian diarahkan untuk mengetahui apakah dampak yang muncul
tersebut berimplikasi terhadap terwujudnya tujuan kebijakan
sebagaimana ditetapkan dalam dokumen kebijakan.
Dengan langkah-langkah kerja sebagaimana digambarkan, maka penelitian yang
bersifat top-down lebih tepat dipakai untuk menilai efektifitas implementasi suatu
kebijakan, yaitu untuk memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan
dapat tercapai dilapangan atau tidak.

Gambar 1. Model Implementasi Top-Down


Sumber : Mazmanian dan Sabatier (1983:22)
Model yang dibangun oleh Sabatier dan Mazmanian (1983) mensintesis lebih
kurang 17 variabel tergantung hasil penelitian para sarjana terdahulu. Variabel-variabel
tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Tractablity of the problem
atau tingkat kesulitan masalah yang harus dipecahkan melalui implementasi suatu
kebijakan. Semakin sulit masalah yang harus dipecahkan tentu akan semakin kecil
peluang keberhasilan implementasi;(2) Ability of statute to structure implementation atau
kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan dipecahkan. Semakin jelas
tujuan,dukungan sumber daya, dan lain-lain maka akan semakin besar peluang
keberhasilan implementasi kebijakan; (3) Non Statutory variable atau variable non
kebijakan. Kelompok variable ketiga ini dapat juga disebut sebagai variable konteks atau
lingkungan kebijakan. Semakin baik dukungan lingkungan kebijakan maka semakin besar
peluang keberhasilan implementasi kebijakan

b. Pendekatan Bottom-Up

Para peneliti Generasi kedua yang menggunakan pendekatan top-down telah


memberikan banyak kontribusi terhadap upaya untuk memahami realitas implementasi
kebijakan, akan tetapi beberapa peneliti Generasi kedua tidak terlalu puas dengan
pendekatan top-down yang dianggap terlalu menyederhanakan masalah dan cenderung
instrumentalis karena hanya menaruh perhatian terhadap efektifitas implementasi
kebijakan. Padahal, menurut para pengkritik pendekatan top-down ini, realitas
implementasi kebijakan bisa jadi kompleks dan tidak hanya berkepentingan dengan isu
efektifitas atau efisiensi implementasi suatu kebijakan saja.

Sabatier (1984) mencatat pada dasarnya ada empat kritik yang dilontarkan
terhadap pendekatan top-down oleh para peneliti implementasi. Empat kelemahan
pendekatan topdown yang dimaksudkan tersebut menurut para peneliti yang kritis seperti:
Hjern dan Hull (1982), Barrett dan Fudge (1981), serta Elmore (1979) adalah :

1) Menganggap bahwa aktor utama yang paling berpengaruh adalah dalam


implementasi yaitu para policy maker, sehingga mereka lupa bahwa
kegagalan dalam implementasi dapat dipengaruhi oleh beberapa aktor
antara lain yaitu birokrat garda depan, kelompok sasaran,sektor swasta dan
lain-lainnya;
2) Pendekatan top-down sulit diterapkan ketika tidak ada kebijakan atau aktor
yang dominan. Beberapa kasus yang dapatmenunjukkan bahwa suatu
persoalan pubik menarik perhatian banyak pihak sehingga upaya untuk
mengatasi kasus tersebut tidak hanya melinatkan pemerintah akan tetapi
juga swasta dan masyarakat sipil;
3) Pendekatan top-down merupakan kenyataan bahwa para birokrat garda
depan dan para kelompok sasaran memiliki kecenderungan untuk
menyelewengkan arah kebijakan bagi kepentingan mereka masing-masing,
4) Siklus kebijakan itu sendiri sering tahapan-tahapannya tidak bersifat clear-
cut, sehingga membuka ruang bagi para birokrat garda depan dan
kelompok sasaran untuk mempengaruhi dan melakukan negosiasi pada saat
formulasi kebijakan dilakukan hingga berlanjut pada implementasi

Pendekatan bottom-up ini dipelopori oleh beberapa peneliti Generasi kedua seperti
Elmore (1978,1979), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978)
yang didasarkan atas ketidakpuasan mereka, kemudian mereka mengembangkan
pendekatan baru yaitu bottom-up. Para penganut pendekatan ini mencoba menekankan
bagaimana pentingnya memperhatikan dua aspek yang penting dalam implementasi suatu
kebijakan, yaitu: birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran
kebijakan (target group). Argumen yang menjadi dasar tentang pentingnya peran birokrat
pada level bawah sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan
merealisasikan keluaran kebijakan (apabila konteks keluaran kebijakan bersifat pelayanan
kepada masyarakat) atau menyampaikan keluaran tersebut kepada target group (apabila
konteks keluaran kebijakan berupa hibah,bantuan,subsidi, dan lain-lain). Dengan peran
sebagai merealisasikan keluaran kebijakan, maka birokrat pada level bawah memiliki
posisi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.

Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti Generasi kedua yang
menggunakan pendekatan bottom-up biasanya adalah dengan langkahlangkah sebagai
berikut :

1. Memetakan aktor dan organisasi (steakholder) yang terlibat dalam implementasi


kebijakan pada level bawah;
2. Mempertanyakan para aktor tersebut tentang pemahaman mereka terhadap
kebijakan yang mereka implementasikan dan apa kepentingan mereka terlibat
dalam implementasi dalam bentuk pengumpulan informasi;
3. Memetakan keterkaitan (jaringan) para aktor pada level terbawah tersebut dengan
aktor-aktor pada level diatasnya; i
4. Peneliti mencoba memetakan pimpinan pada level yang lebih tinggi dengan
mencari informasi yang sama
5. Peneliti melakukan pemetaan sampai kejenjang level tertinggi yaitu para pembuat
kebijakan (policy maker)

Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas antara gambaran perbedaan pendekatan


top-down dan bottom-up, Sabatier (1984) membuat suatu ringkasan elemen-elemen yang
berbeda dari dua pendekatan sebagai berikut :

Tabel 1. Perbandingan Pendekatan Implementasi Top-Down dan Bottom-Up

Top-down Bottom-up
Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat) Jaringan implementasi paa level
paling bawah
Identifikasi aktor Dari pusat (atas) dilanjutkan ke Dari bawah, yaitu para
utama yang terlibat bawah sebagai konsekuensi implementer pada level local ke atas
dalam proses implementasi

Kriteria Evaluasi Berfokus pada pencapaian tujuan Kurang begitu jelas, apa saja yang
formal yang dinyatakan dalam dianggap peneliti penting dan punya
dokumen kebijakan relevansi dengan kebijakan

Fokus secara keseluruhan Bagaimana mekanisme Intraksi strategis antar berbagai


implementasi bekerja untuk aktor yang terlibat dalam
mencapai tujuan kebijakan implementasi

2.3.3 Generasi ketiga (1990-an) dikembangkan oleh Malocom L.Gogging.

Merumuskan bahwa perilaku aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih


menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada masa ini lahir pendekatan kontijensi
(situasional) yang berpandangan bahwa implementasi kebijakan didukung oleh implementasi
kebijakan tersebut. Berbagai upaya untuk membangun model dan mengujinya dilapangan
makin membuat body of knowledge studi implementasi terus mengalami perkembangan. Hal
ini member peluang bagi para model yang berhasil digagas oleh para ahli.

Generasi ketiga ketiga disebut sebagai generasi pembaharu karena ingin menerapkan
menerapkan metodologi yang lebih “sound” sehingga hasil studi implementasi lebih
dipercaya. Generasi ketiga sepakat untuk melanjutkan dukungannya terhadap pendekatan
bottom-up yang telah dirintis oleh para generasi kedua, namun disamping itu mereka juga
berusaha mengembangkan studi implementasi kearah yang lebih scientific.

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganjurkan penggunaan prosedur ilmiah yang
lebih baku. Goggin et.al (1990) dalam bukunya mengatakan bahwa agar implementasi makin
diakui kualitas kaar keilmiahannya maka peneliti perlu: (i) memperjelas konsep-konsep yang
digunakan, terutama konsep implementasi itu sendiri; (ii) memperbanyak kasus yang akan
distudi sehingga member ruang yang lebih baik untuk menjelaskan fenomen implementasi (iii)
membangun model dan indicator yang akan dipakai untuk menguji hipotesis; (iv) berani
melakukan perbaikan terhadap persoalan penggunaaan konsep dan pengukuran yang dihadapi
oleh para peneliti sebelumnya. Yang membedakan para Generasi ketiga dengan para peneliti
sebelumnya adalah mendorong penelitian implementasi untuk mengadopsi penelitian
kuantitatif dengan makin meningkatkan kualitas indikator untuk melakukan pengukuran, baik
terhadap variable dependent (kinerja implementasi) maupun variable predictor (faktorfaktor
yang menjelaskan kinerja implementasi.
DAFTAR PUSTAKA

Kasmad, Rulinawaty. 2016. Implementasi Kebijakan Publik. Kedai Aksara

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. AIPI Bandung - Puslit KP2W Lemlit Unpad

Anda mungkin juga menyukai