Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TEORI KOSMETIK

ASPEK MIKROBIOLOGIS KOSMETIK DAN BAHAN PENGAWET DALAM


KOSMETIK

Dosen Pengampu: Apt.Husnani M.sc

Nama : Marhamah Juli Darliah

Nim:209681

Kelas: IIIC

AKADEMI FARMASI YARSI

PONTIANAK 2022
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk memberikan dampak
kecantikan dan kesehatan bagi tubuh yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral maupun bahan
kimia sintetik (Tranggono, 2007). Pada umumnya, sediaan kosmetik diproduksi oleh industri secara
besar-besaran dan biasanya memakan waktu yang cukup lama dalam produksi, penyimpanan,
distribusi dan akhirnya sampai ke tangan konsumen sehingga kemungkinan dapat terjadi
pertumbuhan mikroba didalamnya (Djide, 2008). Populasi mikroorganisme di alam sekitar kita sangat
besar dan kompleks. Mikroorganisme ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan.

Mikroorganisme yang merugikan yaitu yang dapat menyebabkan infeksi, menghasilkan racun dan
merusak bahan dengan cara pembusukan ataupun menguraikannya. Terdapatnya mikroorganisme
pada sediaan farmasi, salah satunya kosmetik sebagai kontaminan, kemungkinan disebabkan oleh
cara pengolahan yang tidak bersih dan sehat, cara pengepakan yang kurang bagus, atau cara
penyimpanan yang kurang baik. Sedangkan sumbernya kemungkinan dari udara, air, tanah, peralatan
yang digunakan dalam pengolahan atau personalia yang melakukan proses pembuatannya (Djide,
2008).

Ada dua alasan mengapa ahli kimia kosmetik harus memiliki pengetahuan tentang bakteri dan jamur.
Pertama, karena banyak penyakit kulit, misalnya bau badan tidak sedap dapat disebabkan
mikroorganisme. Kedua, karena sediaan kosmetik sendiri tidak dapat digunakan bila tercemar
bakteri atau jamur dan hanya aman disimpan bila diberi bahan pengawet (Tranggono, 2007).
1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada pembuatan makalah ini, yaitu: 1. Apa saja aspek mikrobiologi pada
sediaan farmasi khususnya kosmetik?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini, yaitu:

1. Mengetahui aspek mikrobiologi pada sediaan farmasi khususnya kosmetik.

1.4. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aspek mikrobiologi kosmetik kepada
masyarakat.
BAB II

ISI

2.1. Kosmetika

Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti ”berhias”. Bahan yang dipakai dalam
usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di sekitarnya.
Sekarang kosmetika dibuat manusia tidak hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan untuk
maksud meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997). Menurut Wall dan Jellinek, 1970, kosmetik
dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian kosmetik mulai mendapat
perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan.

Perkembangan ilmu kosmetik serta industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke-20
(Tranggono, 2007). Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau
memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (PerKa BPOM,
2015).

Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan
seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, gigi, dan rongga mulut antara lain untuk membersihkan,
menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik,
memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu
penyakit (Tranggono, 2007).

Definisi zat pengawet menurut Permenkes RI No.445/MENKES/PER/V/1998 adalah zat yang dapat
mencegah kerusakan kosmetika yang disebabkan oleh mikroorganisme. Istilah “agen antimikroba”
secara umum digunakan untuk agen kimia yang terdapat dalam kosmetika atau produk rumah tangga
baik yang memiliki aktivitas bakterisida ataupun bakteriostatik selama penggunaannya.

Fungsi dari antibakteri adalah untuk melindungi produk (Barel, et al., 2001). Mikroorganisme akan
tumbuh pada kondisi dimana terdapat nutrisi yang berlimpah, lingkungan yang lembab, dan suhu
yang sesuai. Berbagai kosmetik, khususnya formulasi tipe emulsi, menyediakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri dan jamur (Butler, 2000). Dalam suatu sediaan/produk sering ditambahkan
pengawet untuk menstabilkan sediaan dari degradasi kimia dan fisika yang berhubungan dengan
kondisi lingkungan (Barel, et al., 2001).

2.2. Mikrobiologi

Mikrobiologi adalah sebuah cabang dari ilmu biologi yang mempelajari mikroorganisme. Objek
kajiannya biasanya adalah semua makhluk hidup yang perlu dilihat dengan mikroskop, khususnya
bakteri, fungi, alga mikroskopik, protozoa, dan Archaea (Madigan et al, 2009).

2.3. Aspek Mikrobiologi Kosmetik

2.3.1. Bakteri

Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Walaupun
bentuknya sederhana, namun bakteri terdiri dari ribuan spesies yang berbeda. Mereka dibagi atas 3
kelompok besar berdasarkan bentuknya, yaitu:
1. Coccus yang bulat.

2. Bacillus yang seperti batang, langsing atau setengah bulat.

3. Spirillae yang berbentuk spiral (Tranggono, 2007).

Dari sudut pandang ahli kimia kosmetik, factor terpenting pada bakteri adalah metabolisme yang
menyebabkan yang perubahan kimia pada lingkungan sekitarnya. Selama berlangsungnya proses
ini, komponen-komponen tertentu dari jaringan kulit atau kosmetik mengalami degradasi dan
terbentuklah bahan-bahan yang memiliki bau yang kurang sedap serta dapat mengiritasi atau
meracuni kulit (Tranggono, 2007).

Pada industri tertentu, metabolisme bakteri dimanfaatkan untuk produkproduk yang dihasilkannya.
Namun sebaliknya, para ahli kimia kosmetik tidak memperoleh keuntungan dari mikroorganisme
tersebut bahkan mereka mengharapkan mikroorganisme tidak merusak produk mereka (Tranggono,
2007).

Beragam bakteri dapat hidup dalam berbagai kondisi. Bakteri memiliki persyaratan hidup yang sangat
berbeda satu sama lainnya, misalnya ada jenis bakteri yang membutuhkan senyawa anorganik untuk
makanannya. Sementara jenis lain memerlukan senyawa organik yang rumit.

2.3.2. Ragi

Ragi (yeast) dalam banyak hal mirip bakteri, dan hanya terdiri dari sebuah sel. Perbedaan terpenting
antara ragi dan bakteri adalah semua ragi berperan dalam permentasi gula menjadi alkohol. Walaupun
terdapat dipermukaan kulit, ragi tidak begitu penting dibidang kosmetikologi.

2.3.3. Jamur

Jamur (molds/fungi) merupakan suatu kelas mikroorganisme yang luas dan beraneka ragam,
mencakup mikroorganisme bersel sederhana misalnya ragi dan jamur sampai tumbuhan yang lebih
besar, contohya cendawan (mushroom). Penyebaran jamur yang bersel tunggal sama seperti bakteri.

Keadaan lingkungan hidup yang baik bagi pertumbuhan jamur:

1. Tingkat kelembaban udara tinggi.

2. Ada senyawa karbon dan nitrogen.

3. Ada oksigen.

4. Suhu lingkungan sedang, yaitu antara 20-40⁰C.

Kecuali pada ketiak dan sela-sela jari, kelembaban kulit umumnya terlalu rendah bagi jamur
untuk tumbuh baik. Tetapi banyak sediaan kosmetik yang merupakan medium yang ideal bagi
hidupnya jamur.

2.3.4. Mikroorganisme pada Permukaan Kulit

Dalam keadaan normal, kulit manusia senantiasa ditumbuhi sejumlah mikroorganisme yang
disebut resident flora. Beberapa mikroorganisme tumbuh pada kulit karena terkontaminasi oleh
udara yang mengandung mikroorganisme dan sifatnya hanya untuk sementara waktu (transience
flora).
a. Jenis-Jenis Mikroorganisme pada Kulit
Jenis-jenis bakteri dan jamur yang terdapat pada kulit dan kulit kepala adalah:
1. Staphylococcus aureus dan sejenisnya
2. Streptococcus pyogenes dan S. haemolyticus
3. Bacillus subtilis
4. Escherichia coli
5. Bacterium Proteus vulgaris

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengawet

Pengawet adalah zat yang ditambahkan pada sediaan nonsteril untuk melindungi sediaan terhadap
pertumbuhan mikroba yang ada atau mikroba yang masuk secara tidak sengaja selama ataupun
sesudah proses produksi. Dalam sediaan steril dosis ganda, pengawet ditambahkan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba yang mungkin masuk pada pengambilan berulang. Penambahan pengawet juga
diperlukan untuk sediaan yang pada proses sterilisasi bahan aktif yang digunakan tidak tahan terhadap
pemanasan dengan suhu tinggi dan pada sediaan yang memiliki jaminan sterilitas yang rendah
misalnya proses sterilisasi dengan filtrasi (Depkes RI, 2009). Keefektifan pengawet salah satunya
dipengaruhi oleh pH karena laju pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh pH. Setiap bakteri
memiliki pH optimum untuk pertumbuhannya (Waluyo, 2007).

Begitupula dengan konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi maka kinetika pembunuhan bakteri akan
semakin cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pengawet, aktivitas pengawet dipengaruhi
oleh faktor intrisik dan faktor ekstrinsik dari organisme target. Yang termasuk faktor intrisik adalah
struktur, komposisi, kondisi mikroorganisme dan kapasitasnya untuk menahan, merusak atau
menginaktifkan pengawet. Sedangkan faktor ekstrinsik berhubungan dengan lingkungan ekternal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pengawet yaitu konsentrasi pengawet, pH, lingkungan
yang meliputi jenis, jumlah, usia dan sifat organisme, suhu, sifat fisik dan kimia substrat dan
pengaruh partisi dalam sistem multifasa. Pengawet yang ideal disamping efektif mencegah
kontaminasi berbagai mikroorganisme juga stabil (Nyi Mekar, 2007).

2.3.5.Mekanisme Kerja Pengawet

Pengawet mempengaruhi dan mengganggu pertumbuhan mikroba, multiplikasi, dan metabolisme


melalui mekanisme modifikasi permeabilitas membrane sel dan menyebabkan kebocoran komponen
penyusun sel (lisis parsial), penghambatan metabolisme seluler seperti menghambat sintesis dinding
sel, oksidasi komponen seluler, koagulasi komponen sitoplasma yang tidak dapat balik/irreversible,
dan hidrolisis. Pemilihan pengawet harus didasarkan pada pertimbangan berikut yaitu pengawet dapat
mencegah pertumbuhan tipe mikroorganisme tertentu terutama yang sering mengkontaminasi
sediaan, pengawet cukup larut dalam air untuk mencapai konsentrasi yang cukup dalam fase air dari
sistem yang terdiri dari dua atau lebih fase, komposisi pengawet tetap tidak terdisosiasi pada pH
dimana sediaan tersebut dapat mempenetrasi mikroorganisme dan mengganggu integritasnya,
konsentrasi pengawet yang diperlukan tidak boleh mempengaruhi keamanan dan kenyamanan pasien
selama penggunaan sediaan tersebut (nonirritating, nonsensitizing, dan nontoxic), pengawet harus
stabil dan tidak berkurang konsentrasinya akibat dekomposisi kimia dan penguapan sepanjang umur
dari sediaan, pengawet harus cocok/kompatibel dengan semua komponen formula sediaan (tidak
saling mengganggu aktivitas masing-masing).

Mikroorganisme yang dimaksud dalam hal ini adalah kapang, jamur, dan bakteri, dimana bakteri
umumnya lebih menyukai medium yang sedikit basa dan yang lainnya menyukai medium asam.
Pengawet yang dipilih tidak boleh terdisosiasi pada pH sediaan. Pengawet yang bersifat asam seperti
asam sorbat, benzoat, dan borat tidak terdisosiasi dan lebih efektif dalam medium yang lebih asam.
Kebalikannya, pengawet yang bersifat basa kurang efektif pada medium yang bersifat asam ataupun
netral dan lebih efektif dalam medium yang bersifat basa (Allen, et al., 2011).

Mekanisme kerja senyawa antimikroba berbeda-beda antara senyawa yang satu dengan yang lain,
meskipun tujuan akhirnya sama yaitu menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba.
Larutan garam NaCl dan gula yang digunakan sebagai bahan pengawet seharusnya lebih pekat dari
pada sitoplasma dalam sel mikroorganisme. Oleh sebab itu, air akan keluar dari sel dan sel menjadi
kering atau mengalami dehidrasi. Kerja asam sebagai bahan pengawet tergantung pada pengaruhnya
terhadap pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, khamir, dan kapang yang tumbuh pada bahan
pangan. Penambahan asam berarti menurunkan pH yang disertai dengan naiknya konsentrasi ion
hidrogen (H+ ), dan dijumpai bahwa pH rendah lebih besar penghambatannya pada pertumbuhan
mikroorganisme.

Asam digunakan sebagai pengatur pH sampai pada harga yang bersifat toksik untuk mikroorganisme
dalam bahan pangan. Efektivitasnya suatu asam dalam menurunkan pH tergantung pada kekuatan
(strength), yaitu derajat ionisasi asam dan konsentrasi yaitu jumlah asam dalam volume tertentu
(misalnya molaritas). Jadi, asam keras lebih efektif dalam menurunkan pH apabila dibandingkan
dengan asam lemah pada konsentrasi yang sama.

2.3.6.Contoh Bahan Pengawet Yang Aman dan Tidak Aman Digunakan


Beserta Konsentrasinya

3. 1 Contoh bahan pengawet yang aman

a. Sodium Lauryl Sulfate (SLS) dan Ammonium Lauryl Sulfate (ALS)

Zat ini sering dikatakan berasal dari sari buah kelapa untuk menutupi racun alami yang terdapat di
dalamnya. Zat ini sering digunakan untuk campuran shampoo, pasta gigi, sabun wajah, pembersih
badan dan sabun mandi. Jika penggunaan berlebih SLS dapat menyebabkan iritasi kulit yang hebat
dan kedua zat ini dapat dengan mudah diserap ke dalam tubuh. SLS juga berpotensi menyebabkan
katarak dan menganggu kesehatan mata. Batas konsentrasi 1% (Lina Pangaribuan, 2017).

b. Propylene Glycol
Ditemukan pada beberapa produk kecantikan, kosmetik dan pembersih wajah. Persyaratan
propilen glikol sebagai humectant pada sediaan topikal memiliki konsentrasi maksimal 15%,
sebagai pengawet pada sediaan solutions dan semi solid memiliki rentang konsentrasi
maksimal 15–30% dan sebagai solvent atau cosolvent pada sediaan topikal memiliki rentang
konsentrasi 5-80% (Raymond, 2003).
3. 2 Contoh bahan pengawet yang berbahaya

a. Bahan Pengawet Paraben


Paraben digunakan terutama pada kosmetik, deodoran, dan beberapa produk perawatan kulit
lainnya. Zat ini dapat menyebabkan kemerahan dan reaksi alergi pada kulit. Penelitian
terakhir di Inggris menyebutkan bahwa ada hubungan antara penggunaan paraben dengan
peningkatan kejadian kanker payudara pada perempuan. Disebutkan pula terdapat konsentrasi
paraben yang sangat tinggi pada 90% kasus kanker payudara yang diteliti. Diantaranya
penggunaan bahan Metil Paraben dan Propil Paraben yang diperbolehkan dengan kadar
maksimal 0,3%. Efek samping gatal, ruam kemerahan, kering dan bersisik, bengkak, nyeri
dan melepuh atau seperti terbakar (Lina Pangaribuan, 2017).

b.Isopropyl Alcohol
Alkohol digunakan sebagai pelarut pada beberapa produk perawatan kulit. Zat ini dapat
menyebabkan efek samping iritasi kulit dan merusak lapisan asam kulit sehingga bakteri
dapat tumbuh dengan subur. Disamping itu, alkohol juga dapat menyebabkan penuaan dini.
Dalam kosmetik tidak lebih dari 40% karena dapat menimbulkan iritasi dan mengeringkan
kulit (Lina Pangaribuan, 2017).

c.DEA (Diethanolamine)
TEA (Triethanolamine) dan MEA (Monoethanolamine) Bahan ini jamak ditemukan pada
kosmetik dan produk perawatan kulit. Bahan bahan berbahaya ini dapat menyebabkan efek
samping reaksi alergi dan penggunaan jangka panjang diduga dapat meningkatkan resiko
terjadinya kanker ginjal dan hati. 1 % Monoethanolamine (MEA), 1 % Diethanolamine
(DEA) dan 1 % Triethanolamine (TEA) (Lina Pangaribuan, 2017). d. Aluminium Aluminium
sering digunakan pada produk penghilang bau badan. Aluminium diduga daoat menyebabkan
penyakit pikun atau Alzheimer‟s. Konsentrasi yang digunakan tidak lebih dari 0.5% (BPOM
2019).

e. Polyethylene Glycol (PEG)


Bahan ini digunakan untuk mengentalkan produk kosmetik. PEG akan menganggu
kelembaban alami kulit sehingga menyebabkan efek samping terjadinya penuaan dini dan
kulit menjadi rentan terhadap bakteri. Konsentrasi yang dianjurkan 0.005% (BPOM, 2019).

f. Formaldehida
Formaldehida adalah gas alami yang berperan sebagai pengawet di beberapa produk
kosmetik. Dalam bentuk cair, zat tersebut dinamakan etilen glikol atau formalin.
Penggunaaan formalin atau formaldehid dalam kosmetik sebagai pengawet dengan batas
kadar maksimal 0,1% untuk sediaan hygiene mulut (pasta gigi), 0,2% untuk sediaan kosmetik
lainnya, formalin dilarang digunakan pada sediaan aerosol. Efek samping dapat menyebabkan
tenggorokan sakit, batuk, mata terasa gatal, mimisan, hingga terserang kanker. Jika terpapar
formalin pada kadar yang lebih tinggi, dapat menyebabkan ruam kulit, sesak napas, hingga
gangguan pernapasan (BPOM, 2019

E. Dampak Bahaya Bahan


Pengawet Selain mempunyai kelebihan, kosmetik berbahan kimia mempunyai banyak
kekurangan. Akibat penggunaan bahan kimia, berbagai bahaya dapat terjadi antara lain :

1.Keracunan
Sebagai akibat masuknya bahan kimia kedalam tubuh melalui paru-paru, mulut dan kulit.
Keracunan bisa berakibat fatal, misalnya hilang kesadaran atau gangguan kesehatan yang
baru dirasakan setelah beberapa tahun kemudian. Keracunan yang terjadi pada kulit karena
pemakaian kosmetik berbahan kimia biasanya kulit menjadi mudah alergi, kulit memerah,
timbul flek hitam berlebihan, kulit menjadi tipis, bahkan bisa menyebabkan kerusakan kulit
secara permanen.

. 2. Iritasi
Sebagai akibat kontak dengan bahan kimia misalnya peradangan pada kulit, mata dan saluran
pernapasan. Apabila terkena sinar matahari kulit yang iritasi mudah memerah, poripori kulit
semakin melebar dan hal ini dengan mudah debu akan masuk kedalam poro-pori yang dapat
mengakibatkan timbulnya jerawat secara berlebihan.

3. Dapat memperlambat pertumbuhan janin


Efek dari pemkaian kosmetik berbahan kimia oleh ibu hamil ternyata dapar menyebabkan
lambatnya pertumbuhan pada janin, dalam hal ini ibu yang sedang hamil dilarang keras untuk
memakai kosmetik jenis apapun. Karena dapat mengakibatkan keguguran, pemakaian
kosmetik dalam jangka pendek atau panjang yang dilakukan oleh ibu hamil dapat
menyebabkan keguguran.

4. Flek hitam pada kulit akan memucat


Bila pemakaian dihentikan flek itu akan timbul lagi dan bertambah parah. Pemakaian
kosmetik berbahan kimia menyebabkan kulit wajah menjadi pucat ataupun putih yang tidak
sehat. Tidak menunjukkan bahwa kulit wajah segar. Menurut Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia pemerintah Indonesia membatasi penggunaan bahan
kimia berbahaya karena krim pemutih yang mengandung bahan kimia berbahaya dapat
menimbulkan toksisitas terhadap organ-organ tubuh. Pemakaian kosmetik berbahaya dapat
menimbulkan berbagai hal, antara lain perubahan pada warna kulit, yang kemudian bisa
mengakibatkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, kerusakan permanent pada
susunan syaraf, seperti tremor, insomnia, kepikunan, gangguan penglihatan, gerakan tangan
abnormal, gangguan emosi, otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin. Bahkan paparan
dalam jangka pendek dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan muntah-muntah, diare dan
kerusakan ginjal serta merupakan zat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia
(Ana Syarofatun, 2018).

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan isi diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Aspek mikrobiologi kosmetik terdiri atas bakteri, ragi, jamur dan mikroorganisme
pada permukaan kulit.
2. Pengawet adalah zat yang dapat mencegah kerusakan kosmetika yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Contoh bahan pengawet yang aman Sodium Lauryl Sulfate (SLS) dan
Ammonium Lauryl Sulfate (ALS) dengan konsentrasi 1% dan Propylene Glycol dengan
konsentrasi maksimal 15%. Sedangkan contoh bahan pengawet yang berbahaya yaitu
Bahan Pengawet Paraben kadar maksimal 0,3%, Isopropyl Alcohol dengan konsentrasi
tidak lebih dari 40%, DEA (Diethanolamine), TEA (Triethanolamine) dan MEA
(Monoethanolamine) dengan konsentrasi 1 %, Aluminium dengan konsentrasi tidak lebih
dari 0.5%, Polyethylene Glycol (PEG) dengan konsentrasi 0.005%, Formaldehida
dengan batas kadar maksimal 0,1%.
DAFTAR PUSTAKA
Djide M, Natsir., dan Sartini. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Universitas
Hasanuddin.
Makassar. Madigan MT., JM, Martinko., J, Parker. 2009.
Biology of Microorganism. Twelfth edition. Brook. PerKa BPOM. 2015.
Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. No. 18. Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. Jakarta. Tranggono. 2007.
Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. PT. Gramedia Pustaka Uttama. Jakarta.
Wasitaatmadja, S. M. 1997.
Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Universitas Indonesia. Jakarta.
Ana Syarofatun. 2018. Dampak Pemakaian Kosmetik Berbahan Kimia Terhadap
Perkembangan Usaha. Institus Agama Islam Negeri (IAIN). Metro.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No.23 tahun 2019 Tentang Persyaratan
Teknis Bahan Kosmetika. Butler, H. 2000. Poucher’s Perfumes, Cosmetics and Soaps,
10th Edition.
Menkes RI. 1998. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
159b/MENKES/PER/II/1988 Tentang Rekan Medis. Jakarta : Kementerian
Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai