Anda di halaman 1dari 10

KONSEP SISTEM PEMBAYARAN

Oleh
Elsi Stiarani
Najwa Naili
Suryawiastarani

A. Pembayaran dan Sistem Pembayaran

Dalam kegiatan perekonomian sehari-hari pasti terjadi transaksi yang


dilakukan para ekonom serta masyarakat pada umumnya. Sadar atau tidak, kegiatan
transaksi yang dilakukan tersebut berkaitan erat dengan sistem pembayaran. Sebelum
itu, kita harus mengenal terlebih dahulu apa itu pembayaran. Pembayaran dapat
diartikan sebagai perpindahan nilai antara dua belah pihak (secara sederhana kita
memakai istilah pembeli dan penjual), dimana secara bersamaan terjadi perpindahan
barang dan jasa. Pada intinya dalam setiap kegiatan ekonomi pasti melibatkan proses
pembayaran ini.

Sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup pengaturan,


kontrak/perjanjian, fasilitas operasional, dan mekanisme teknis yang digunakan untuk
penyampaian, pengesahan dan penerimaan instruksi pembayaran, serta pemenuhan
kewajiban pembayaran melalui pertukaran “nilai” antarperorangan, bank, dan
lembaga lainnya baik domestik maupun cross border ‘antarnegara’. 1 Definisi sistem
pembayaran menurut UU No.23/1999 “Sistem yang mencakup seperangkat aturan,
lembaga dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna
memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi”.

Dari definisi diatas maka dapat di simpulkan bahwa sistem pembayaran


adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga dan mekanisme yang
digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban

1
Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem
Pembayaran, Pengantar Sistem Pembayaran, hal 2

1
yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Sistem pembayaran merupakan sistem yang
berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain.

Media yang digunakan untuk pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam,
mulai dari penggunakan alat pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan
sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai lembaga dalam aturan mainnya.
Secara umum sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu sistem pembayaran
tunai dan sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar dari kedua jenis sistem
pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Pada sistem
pembayaran tunai instrumen yang digunakan berupa uang kartal, yaitu uang dalam
bentuk fisik uang kertas dan uang logam, sedangkan pada sistem pembayaran non-
tunai instrumen yang digunakan berupa Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
(APMK), cek, bilyet giro, nota debit, maupun uang elektronik.

Sistem pembayaran tidak dapat dipisahkan dari perkembangan uang yang diawali
dari pembayaran secara tunai sampai kepada pembayaran elektronis yang bersifat
nontunai. Perkembangan sistem pembayaran didorong oleh semakin besarnya volume
dan nilai transaksi, peningkatan risiko, kompleksnya transaksi, dan perkembangan
teknologi.

B. Komponen Sistem Pembayaran

Dalam pelaksanaan sistem pembayaran diperlukan adanya komponen yang


memadai, antara lain :

- Kebijakan
- Kelembagaan,
- Alat Pembayaran,
- Mekanisme Operasional,
- Infrastruktur dan
- Perangkat Hukum

2
1. Kebijakan Komponen kebijakan dalam sistem pembayaran memberikan
dasar pengembangan Sistem Pembayaran di suatu negara. Kebijakan
sistem pembayaran biasanya tercermin dalam berbagai peraturan dan
ketentuan.
Pada umumnya kebijakan yang berkaitan dengan sistem pembayaran
ditetapkan oleh bank sentral masing-masing negara. Hal ini dikarenakan
adanya keterkaitan yang erat antara kebijakan-kebijakan di bidang sistem
pembayaran dengan sistem moneter dan sistem perbankan.
2. Kelembagaan dalam Sistem Pembayaran meliputi berbagai lembaga yang
secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam penyelenggaraan
Sistem Pembayaran.
Secara umum lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem
pembayaran meliputi antara lain bank sentral, bank-bank dan lembaga
kliring, pasar modal, penyedia jasa jaringan komunikasi, penerbit kartu
kredit, dll. Masing-masing lembaga tersebut mempunyai peran dan
tanggung jawab yang berbeda dalam Sistem Pembayaran.
3. Instrumen Pembayaran non-tunai yang digunakan sebagai media
pembayaran meliputi berbagai media baik berupa paper based maupun
card-based). Penggunaan instrument pembayaran non-tunai ini memiliki
karakteristik yang berbeda satu sama lain dimana di dalamnya melekat
hak dan kewajiban keuangan bagi para pelaku yang bertransaksi.
4. Dalam sistem pembayaran non-tunai diperlukan suatu mekanisme
operasional untuk melakukan perpindahan dana dari satu pihak ke pihak
lainnya. Mekanisme operasional ini idealnya harus dapat menjamin
kelancaran dan keamanan perpindahan dana, serta kepastian penerimaan
dana oleh pihak penerima. Sebagai contoh, mekanisme operasional yang
ada saat ini antara lain adalah kliring, transfer dana via RTGS, dan lain-
lain.
5. Infrastruktur teknis meliputi berbagai komponen teknis yang diperlukan
untuk memproses dan melakukan perpindahan dana, standard-standard

3
seperti message format, sistem jaringan komputer, komunikasi, perangkat
keras dan lunak, sistem back-up, disaster recovery plan dan lain-lain.
Keberadaan infrastruktur teknis ini sangat menunjang kelancaran
penyelenggaraan suatu Sistem Pembayaran. Pilihan atas infrastruktur ini
tergantung pada kebutuhan dan kebijakan masing-masing negara dalam
pengembangan Sistem Pembayaran Nasionalnya. Pilihan ini tentunya
mempunyai implikasi terhadap investasi yang harus dikeluarkan, dimana
semakin tinggi teknologi yang digunakan diperlukan investasi yang
semakin besar pula.
6. Perangkat hukum dalam Sistem Pembayaran mencakup undang-undang,
dan peraturan-peraturan yang terkait dengan Sistem Pembayaran.
Termasuk juga aturan main berbagai pihak yang terlibat, misalnya antar
bank, antar bank dan nasabah, antar bank dan bank sentral dll. Peranan
perangkat hukum ini sangat penting untuk menjamin adanya aspek
legalitas dalam penyelenggaraan Sistem Pembayaran. Ketiadaan
perangkat hukum tertentu dapat menghambat pengembangan suatu Sistem
Pembayaran.

C. Evolusi Sistem Pembayaran

Tahapan evolusi sistem pembayaran dimulai dari sistem perekonomian yang


paling sederhana, yakni yang dikenal dengan istilah barter, dimana seseorang yang
membutuhkan barang tertentu dapat memperolehnya dengan cara menukarnya
dengan barang yang berbeda. Pada masa tersebut belum ada satuan nilai sebagai alat
pengukur barang/jasa, sehingga orang mengukur suatu barang dengan barang lainnya.
Sistem barter tersebut kemudian digantikan dengan sistem „commodity currency‟
yaitu sistem pertukaran dengan menggunakan barang tertentu yang telah diterima
secara umum sebagai media pertukaran (medium of exchange) maupun sebagai suatu
standard nilai yang digunakan dalam pertukaran barang. Sebagai contoh, selama

4
periode awal pemukiman Amerika, penduduknya menggunakan tembakau, beras,
kayu, dan lain sebagainya sebagai medium of exchange.

Sistem barter dan ‘commodity curreny’ ini sangat tidak efisien, antara lain karena:

 sulit mencari orang yang memiliki barang yang dibutuhkan, dan berkeinginan
untuk menukarkan sebagian barangnya dengan barang yang ditawarkan,

 setiap orang mempunyai ide yang berbeda terhadap nilai barang yang akan
dipertukarkan, dibandingkan dengan barang lainnya,

 nilai suatu barang yang dipertukarkan belum tentu mencerminkan nilai


sebenarnya, serta belum tentu sesuai nilainya dengan barang yang diperoleh sebagai
imbalan atas barang yang dipertukarkan.2

Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia, sistem tersebut menjadi tidak


efisien lagi, sehingga munculah uang sebagai alat ukur dan alat tukar yang dapat
digunakan dalam perdagangan. Bentuk uang itu sendiri secara fisik juga mengalami
evolusi dari bentuk yang paling sederhana ke bentuk yang lebih maju sejalan dengan
perkembangan teknologi. Uang dalam bentuk kerang dan batu-batuan berganti
dengan lempengan logam dan logam mulia, untuk kemudian berubah lagi menjadi
bentuk yang dianggap paling efisien yaitu uang kertas dan uang logam.

Penggunaan uang tunai (kertas dan logam) telah memberikan kepraktisan dalam
melakukan suatu transaksi pembayaran. Namun sejalan dengan perkembangan
perekonomian dan teknologi, penggunaan uang tunai ini kemudian hanya dirasa
cukup praktis untuk pembayaran-pembayaran yang bernilai relatif kecil. Namun tidak
demikian halnya untuk transaksi-transaksi yang nilainya cukup besar, karena

2
Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem
Pembayaran, Pengantar Sistem Pembayaran, hal 9

5
diperlukan kuantitas fisik uang yang banyak, serta faktor keamanan karena orang
akan merasa tidak aman bila membawa sejumlah uang tunai dalam jumlah besar.

Berbagai kendala dalam penggunaan uang tunai (kertas dan logam) mendorong
munculnya inovasi-inovasi baru dalam penciptaan alat pembayaran yang bersifat
nontunai. Alat pembayaran non-tunai yang saat ini kita kenal ada yang berbentuk
paperbased (Cek/Bilyet Giro), card-based (Kartu Kredit, Kartu Debet) dan electronic
based. Bahkan ejak tahun 2007 mulai dikenalkan uang elektronik yang ditujukan
untuk jenis pembayaran mikro sebagai pengganti uang. Saat ini penggunaan uang
elektronik tersebut banyak dijumpai di berbagai supermarket, pom bensin,
pembayaran toll, transportasi dan kedepan dimunkinkan untuk berkembang lebih
lanjut. Perkembangan teknologi juga telah memungkinkan perpindahan (transfer)
dana secara elektronis yang cepat antar kota bahkan antar negara.

D. Peran Sistem Pembayaran dalam Perekonomian

Sistem pembayaran menjadi bagian penting terhadap maju/mundurnya


ekonomi suatu negara. Efektivitas dan kelancaran perekonomian suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kelancaran mekanisme dalam sistem pembayaran yang dimilikinya.
Perkembangan teknologi di satu sisi diakui telah memberikan alternatif alat
pembayaran non-tunai dan mekanisme perpindahan dana yang cukup efisien bagi
para pelaku ekonomi, namun di sisi lain terdapat risiko-risiko seperti risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko operasional dan lain-lain yang perlu dikelola dengan baik. Jika
risiko-risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat memberikan dampak
yang cukup serius bagi perekonomian suata negara.

Mengingat pentingnya keberadaan suatu sistem pembayaran yang efisien, aman


dan handal bagi suatu perekenomian, maka sejak awal tahun 1990-an issue mengenai
system pembayaran ini telah mulai menjadi perhatian serius bank-bank sentral karena
mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan efektivitas tugas pokok bank sentral

6
lainnya dalam bidang moneter dan perbankan. Saat ini hampir semua bank sentral
menempatkan sistem pembayaran sebagai salah satu bidang dalam tugas pokoknya.

Menurut Sheppard (1996) peran penting sistem pembayaran dalam


perekonomian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai elemen penting dalam infrastruktur keuangan suatu


perekonomian untuk mendukung stabilitas keuangan. Hal itu
disebabkan sistem keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan
sistem pembayaran. Gangguan di sistem pembayaran akan
menimbulkan keterlambatan atau kegagalan kewajiban pembayaran,
yang pada gilirannya akan menyebabkan turunnya kepercayaan
masyarakat terhadap likuiditas dan stabilitas sistem keuangan dan
perbankan. Demikian pula sebaliknya. Krisis keuangan dan perbankan
yang mempengaruhi satu atau lebih bank peserta sistem pembayaran
akan mempengaruhi setelmen antarbank dan dapat menyebabkan
gridlock ‘kemacetan’ di dalam keseluruhan sistem pembayaran. Oleh
karena itu, diperlukan koordinasi yang baik antara pihak bank dan
pengawas pasar keuangan dengan pengawas sistem pembayaran, untuk
memastikan agar masalah-masalah tersebut dapat diantisipasi dan
diselesaikan seawal mungkin;
2. Sebagai channel ‘saluran’ penting dalam pengendalian ekonomi yang
efektif, khususnya melalui kebijakan moneter. Dengan lancarnya sistem
pembayaran, kebijakan moneter dapat mempengaruhi likuiditas
perekonomian sehingga proses transmisi kebijakan moneter dari sistem
perbankan ke sektor riil dapat menjadi lancar; dan
3. Sebagai alat untuk mendorong efisiensi ekonomi. Keterlambatan dan
ketidaklancaran pembayaran akan mengganggu perencanaan keuangan
usaha dan pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan produktivitas
perekonomian.

7
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranan sistem pembayaran penting
dalam perekonomian, yaitu untuk mendukung terciptanya kestabilitasan system
keuangan, sebagai channel utama tranmisi kebijakan moneter intuk mendukung
kebijakan pengendalian moneter yang lebih efektif dan efisien, dan intuk mendorong
efisiensi perekonomian nasional. Untuk itu, sistem pembayaran harus diawasi dengan
baik agar sistem pembayaran berjalan dengan aman dan lancar.

E. Risiko dalam Sistem Pembayaran

Kini alat-alat pembayaran non-tunia telah tercipta sebagai jawaban atas


kebutuhan masyarakat didalam melaksanakan pengiriman dana atau melaksanakan
pembayaran yang mana tidak dapat dipenuhi oleh uang tunai.

Dengan adanya evolusi kini mengenai alat pembayaran mulai dari bentuk
kertas seperti cek, wesel, bilyet giro bahkan sampai dengan bentuk elektronik bahkan
digital serta mungkin nantinya dapat berkembang menjadi bentuk-bentuk lainnya.
Maka dalam satu sisi , perkembangan teknologi informasi dengan segala bentuknya
memberi berbagai kemudahan, kecepatan dan kelancaran pada system pembayaran.
Namun pada sisi lain hal ini juga dapat menimbulkan ketergantungan, misalkan
ketergantungan system transfer dana elektronik terhadap kehandala infrastruktur
jaringan komunikasi.

Pada saat jaringan komunikasi memiliki performance yang kurang baik,


makan akan menimbulkan risiko operasional. Lalu gangguan tersebut juga dapat
berpotensi dalam memperlambat mekanisme settlement dana sehingga menimbulakn
risiko likuiditas, yaitu sebuah risiko yang mana terjadi akibat pihak yang berutang
tidak dapat memenuhi kewajiban pada waktunya sehingga dapat mempengaruhi
likuiditas pihak lain. Dalam kelanjutannya risiko likuiditas dapat meningkat menjadi
risiko kredit. Dan dalam keadaan ini maka yang paling ditakuti karna dapat
menggoncangkan stabilitas system keuangan adalah risiko sistematik.

8
Risiko yang disebutkan diatas tak hanya disebabkan oleh terjadinya gangguan
operasional, tetapi dimungkinkan pula terjadi akibat masalah-masalah keuangan yang
dihadapi oleh para pelaku system pembayaran. Masalah-masalah keuangan para
pelaku system pembayaran berpotensi menjadi problem apabila tidak cukup di-cover
dalam aturan main setiap pembayaran.

Selain daripada risiko diatas terdapat pula risiko hukum yang mana sering
diabaikan oleh para pelaku, namun masalah kekuatan dan kejelasan hukum ditiap-tiap
yurisdiksi dimana sebuah system pembayaran beroperasi bisa menjadi suatu pemicu
terjadinya potensi risiko tersebut. Bukan hanya itu saja ternyata sebuah industry
masih pula dihadapkan pada risiko fraud dan human error yang merupakan bagian
dari risiko operasional.3

Pengertian dari pada risiko system pembayaran antara lain :

1. Risiko kredit, yaitu risiko ketika salah satu peserta dalam sistem
pembayaran tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo atau
di masa mendatang;

2. Risiko likuiditas, yaitu risiko ketika salah satu peserta dalam sistem
pembayaran tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajibannya pada
saat jatuh tempo, meskipun mungkin mampu pada waktu yang akan datang;

3. Risiko hukum, yaitu risiko ketika kerangka hukum yang lemah atau
ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan atau memperburuk risiko
kredit dan risiko likuiditas;

4. Risiko operasional, yaitu risiko yang ditimbulkan oleh faktor-faktor


operasional, seperti tidak berfungsinya secara teknis atau kesalahan

3
Sri Mulyati Tri Subari, Kebijakan Sitem Pembayaran di Indonesia(Seri Kebanksentralan),
PPSK BI, Jakarta, i-vii, hal 8

9
operasional, yang dapat menyebabkan atau memperburuk risiko kredit dan
risiko likuiditas; dan

5. Risiko sistemik, yaitu risiko ketika ketidakmampuan salah satu peserta


untuk memenuhi kewajibannya, atau gangguan pada sistem menyebabkan
ketidakmampuan peserta lain untuk memenuhi kewajibannya yang jatuh
tempo. Selanjutnya, kegagalan pembayaran tersebut dapat menyebar secara
luas sehingga pada akhirnya dapat membahayakan sistem atau pasar
keuangan.

10

Anda mungkin juga menyukai