Anda di halaman 1dari 40

HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

ANALISIS SENGKETA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TERKAIT


SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PTUN
BANDUNG No. 101/G/2021/PTUN-BDG

Kelompok 34 Kelas A – Paralel

Muhammad Farhan 1906385790

Samuel Boi Humala 1906318615

Muhammad Raihan Daffa Islamay 1906386332

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2022
ABSTRAK

Salah satu kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan masalah-
masalah sengketa Tata Usaha Negara. Salah satu permasalahan sengketa Tata Usaha
Negara dalam hal ini adalah dalam perkara pengeluaran sertifikat hak atas tanah. Urgensi
penulisan penelitian ini, agar penegak hukum mendapatkan pemahaman dan juga
memberikan referensi untuk penanganan sengketa Tata Usaha Negara, terutama sengketa
mengenai pengeluaran sertifikat hak kepemilikan atas tanah. Penelitian ini dikaji
memakai kajian hukum normatif, penelitian ini sifatnya kualitatif, Sumber data sekunder
serta memakai analisa data kualitatif.

Kata Kunci: Sengketa, pertanahan, tanah, kewenangan

ABSTRACT

One of the powers of the State Administrative Court is to resolve disputes over State
Administrative disputes. One of the problems of State Administrative disputes in this
case is in the case of issuance of certificates of land rights. The urgency of writing this
research is so that law enforcers gain an understanding and also provide references for
handling State Administrative disputes, especially disputes regarding the issuance of
certificates of land ownership rights. This research was studied using normative legal
studies, this research is qualitative in nature, secondary data sources and using qualitative
data analysis.

Keywords: Dispute, land, powers, agrarian affairs.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah diterangkan


dan ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara yang
didasari atas kekuasaan (machtsstaat), sehingga dapat disimpulkan bahwa segala aspek
kehidupan dalam berbangsa dan berbangsa wajib berpedoman pada hukum yang berlaku
di Indonesia (Penjelasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat).

Oleh karena Indonesia merupakan negara hukum, yang mana segala sesuatu
dalam tata penyelenggaraan negara harus didasari pada hukum maka sangat diperlukan
adanya segala kebijakan Tata Usaha Negara yang taat akan segala peraturan negara yang
berlaku. Namun tentu saja dalam mengeluarkan kebijakan TUN, para pejabat Tata Usaha
Negara tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam menjalankan kewenangannya,
yang kemudian menimbulkan Sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga dibutuhkan
Pengadilan yang bisa memutus Sengketa Tata Usaha Negara, baik antara lembaga negara
maupun antara pribadi dengan pejabat/lembaga negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara menurut UU 5/1986 jo UU 9/2004 jo UU 51/2009


berwenang untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara dengan berpedoman pada tata ketentuan hukum yang berlaku, mulai dari
UU PTUN, peraturan-peraturan perundang-undangan lain, serta petunjuk-petunjuk dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA, PERMA, dan lainnya).

Sedangkan ruang lingkup dari Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sengketa-
sengketa yang berkaitan dengan kebijakan Tata Usaha Negara, dimana berdasarkan Pasal
1 angka 10 UU No. 51/2009, sengketa Tata Usaha Negara didefinisikan sebagai sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu sengketa yang banyak dipermasalahkan didalam Peradilan Tata Usaha
Negara adalah sengketa izin dan sertifikat kepemilikan atas tanah. Meskipun sengketa
sertifikat tanah bersinggungan dengan hukum perdata, PTUN tetap dapat berwenang
memutus perkara tersebut secara administratif, yaitu menilai apakah penerbitan sertifikat
tanah sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pengadilan Tata Usaha Negara akan
menetapkan siapa yang memiliki hak dan kewenangan yang sah secara hukum
kewenangan untuk menyatakan suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun
membatalkan suatu sertifikat tanah. Oleh karena kasusnya yang unik tersebutlah, kami
memiliki keinginan untuk meneliti masalah ini dalam artikel kami.

1.2 Rumusan Masalah

Supaya penulisan makalah ini lebih terfokus dan tidak meluas dan melenceng dari
pembahasan yang dimaksudkan, maka makalah ini membataskan pembahasan terhadap
pembahasan sengketa PTUN terkait kepemilikan tanah, dengan putusan yang dianalisis adalah
Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG. Untuk rumusan masalah yang akan
diajukan diantaranya adalah:

1. Apa saja hal yang memenuhi syarat formil dan materiil dalam Putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG terkait Sertifikat kepemilikan hak atas tanah ?
2. Bagaimana kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dalam sengketa
tanah terhadap sertifikat hak atas tanah di Putusan PTUN Bandung No.
101/G/2021/PTUN-BDG?

1.3 Metode Penelitian

- Bentuk Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami apa yang menjadi
sasaran dari sebuah proyek penelitian, dan metodenya meliputi prosedur serta teknik
penelitian.1 Metode penelitian merupakan cara atau upaya peneliti atau dalam hal ini
penulis dalam sebuah karya ilmiah untuk mendapatkan data yang bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk menyusun sebuah karya ilmiah. 2 Data yang
didapatkan untuk kepentingan penelitian sebagai bahan penulisan penelitian haruslah data
yang valid, reliabel dan objektif.3 Dalam menyusun tulisan ilmiah ini, bentuk penelitian
yang kami gunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Metode penelitian Yuridis
Normatif merupakan proses penelitian untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum
yang sedang diteliti.4 Bentuk penelitian ini saya lakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka, baik sumber primer yaitu peraturan perundang-undangan dan sumber sekunder
yaitu buku dan jurnal-jurnal hukum.5 Isu hukum yang hendak saya bahas dalam makalah
ini yakni terkait penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang pertanahan,
maka metodenya yang tepat untuk digunakan adalah metode normatif. Penelitian yuridis-
normatif yang saya lakukan dalam tulisan ilmiah ini difokuskan dalam pencarian bahan-
bahan berupa: teori, konsep, asas hukum serta peraturan hukum yang berhubungan
dengan pokok bahasan yaitu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang
pertanahan. Penarikan asas-asas hukum terkait dari peraturan yang berlaku dalam metode
yuridis normatif ini dapat dilakukan terhadap hukum positif yang tertulis, dan
dirumuskan baik secara tersurat maupun tersirat.
- Tipologi Penelitian
Tipologi Penelitian adalah sudut perspektif peneliti yang dipakai dalam
melaksanakan penelitian yang akan menentukan tata cara dan tujuan penelitian yang akan
dilakukan sesuai dengan tipe penelitiannya. Sudut tipologi penelitian yang digunakan
dalam tulisan ini adalah berdasarkan sifat penelitian tersebut, yaitu bersifat deskriptif.

1
Simanjuntak, Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2018), hlm 22-23
2
Indonesia, Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.
3
Indonesia, Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.

4
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Primamedia Pustaka, 1999), hlm. 2.
5
Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm.
20.
Jenis deskriptif adalah dimana penelitian tersebut bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat dari individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan/atau untuk
menentukan penyebaran suatu kondisi, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan
antara suatu kondisi dengan kondisi lain yang ditemui dalam masyarakat. 6 Dalam hal ini
penulis akan menyajikan analisis terhadap ruang lingkup dari pengadilan tata usaha
negara di Indonesia. Data yang diperoleh dari penelitian ini seperti hasil pengamatan,
hasil wawancara, analisis dokumen, tidak dituangkan dalam bentuk angka melainkan
pemaparan hasil analisis data terkait pembahasan tersebut dituangkan melalui bentuk
uraian naratif.

- Data atau Bahan Penelitian


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Sumber
data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur atau melalui
pendalaman kepada pihak tertentu untuk memperoleh informasi lanjutan yang
mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian yuridis-normatif,
sumber data yang utama adalah dari data kepustakaan atau data sekunder. Sumber data
yang utama dalam penelitian ini adalah data kepustakaan. Untuk memperoleh data
tersebut, dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menelusuri dan mengutip dari
berbagai literatur yang bentuknya dapat meliputi buku tertulis, elektronik book (e-book),
jurnal ilmiah, maupun jurnal yang diterbitkan oleh Pemerintah. Data-data tersebut dapat
diperoleh dengan mengunjungi perpustakaan, pusat dokumentasi, atau melalui media
elektronik yang dimiliki oleh penulis.
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian berdasarkan data sekunder
terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu, bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara umum atau kepada pihak tertentu. Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang

6
Rifan Aditya, “Jenis Metode Penelitian, Selain Kualitatif dan Kuantitatif”,
https://www.suara.com/tekno/2021/09/07/200712/jenis-metode-penelitian-selain-kualitatif-dan-kuantitatif, diunggah
07 September 2021.
mempunyai otoritas.7 Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN,
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Sementara putusan yang
dipakai adalah Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu, dokumen atau bahan hukum yang dapat
membantu menjelaskan, menganalisis, dan menerangkan lebih lanjut terhadap
bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah
dan bahan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bentuk-
bentuk dari bahan hukum sekunder tersebut akan digunakan di dalam penelitian
ini guna membantu penulis dalam menganalisis dan melandaskan teori terkait
pembahasan dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu, bahan hukum yang berperan sebagai pelengkap
dalam penelitian dan membantu memberikan penjelasan atau memberikan
petunjuk dan pedoman dalam menelusuri bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 8 Selain itu Bahan hukum
tersier juga meliputi abstrak, bibliografi, buku pedoman, buku petunjuk, biografi,
ensiklopedia, kamus, indeks, penerbitan pemerintah, peta atau atlas, dan
timbangan buku atau book review. Salah satu bentuk bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk mengukur data yang
hendak dikumpulkan. Alat pengumpulan data tidak terlepas dari metode pengumpulan
data yang digunakan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen. Penulis lebih menitikberatkan pada studi dokumen karena bentuk
penelitian yang digunakan adalah bentuk kepustakaan dengan sumber data yang

7
Vigih Hery Kristanto, Metodologi Penelitian, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah karya Vigih Kristanto,
(Yogyakarta: Deepublish, 2018).
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 35.
digunakan yaitu data primer. Dengan ini maka pengumpulan data dilakukan dengan cara
menelusuri dan menganalisis putusan serta peraturan perundang-undangan, menganalisis
dan membaca buku-buku dan sumber lainnya yang relevan dengan pembahasan yang
diangkat sebagai topik tulisan ilmiah ini yaitu Analisis Putusan PTUN Bandung No.
101/G/2021/PTUN-BDG terkait penyelesaian sengketa tanah.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan suatu metode yang digunakan guna memproses
kumpulan data agar mendapatkan suatu informasi. Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis secara kualitatif yang mana merupakan suatu
metode yang dipakai untuk memproses dan mengolah data bukan angka, yang kemudian
disebut sebagai data kualitatif. Penelitian dengan metode analisis ini menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata yang tertulis9 sehingga tidak menghadirkan penggunaan alat-
alat statistik dalam penelitian kualitatif10 Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan
cara menganalisis bahan hukum berdasarkan putusan, peraturan perundang-undangan,
konsep, teori, pandangan para ahli hukum maupun menurut pandangan penulis, kemudian
dilakukan interpretasi untuk menarik suatu kesimpulan dari permasalahan penelitian ini. 11
Penelitian ini akan lebih menekankan pada analisis saya terhadap putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG dalam menyelesaikan sengketa sertifikat hak
kepemilikan atas tanah. Metode analisis data kualitatif digunakan dengan pertimbangan
atas kelebihan dari hasil analisis metode ini yang akan lebih mendalam dibandingkan
dengan hasil analisis dari metode analisis data kuantitatif.
1.4 . Sistematika Penulisan
Adapun dalam artikel ini, bagian-bagian yang tercantum meliputi pendahuluan
(yang berisi latar belakang, rumusan masalah), metode penelitian serta sistematika
penulisan, pembahasan yang berisikan landasan teori dan analisis putusan, serta
kesimpulan, saran dan daftar pustaka.

9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
10
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 25.
11
I Ketut Suardita, SH. MH., Pengenalan Bahan Hukum (PBH), (Bali: 2017).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

Menurut pendapat para ahli apa yang disebut sebagai pengadilan dan peradilan, Menurut

R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio Pengadilan adalah badan yang melakukan peradilan yang

memeriksa dan memutus sengketa hukum dan pelanggaran hukum, Sedangkan peradilan adalah

segala sesuatu yang berkaitan dengan negara yang menjalankan tugasnya dalam menegakkan

hukum dan keadilan. Menurut Sjachran Basah, istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau

wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan adalah proses untuk memberikan

keadilan.

Kemudian menurut Rochmat Soemitro terdapat empat unsur-unsur peradilan yaitu:

1. Adanya aturan hukum yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu

persoalan

2. Ada suatu perselisihan yang konkrit

3. Ada sedikitnya 2 pihak

4. Ada aparatur peradilan yang berwenang memutus sengketa/perselisihan

Untuk menjaga kepastian hukum materiil suatu sengketa badan peradilan harus memperhatikan

proses peradilan dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Di

dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


Sebelum lahirnya undang-undang yang mengatur peradilan Tata Usaha Negara, diawali

pada zaman kolonial Belanda dimana walaupun tidak ada peradilan khusus TUN tapi pada saat

zaman Hindia Belanda, sengketa yang melibatkan pejabat negara diadili oleh hakim perdata atau

lembaga kuasi peradilan,lalu pada saat masa kolonial berakhir, sistem kekuasaan kehakiman

mulai berubah di awali dengan TAP MPRS No. II Tahun 1960. Kemudian pada Pasal 7 ayat (1)

UU No. 19 Tahun 1964 yang mengatur ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang mencakup

ranah peradilan tata usaha negara. Kemudian disahkan UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan

pokok kekuasaan kehakiman, kemudian disahkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. 12

Peradilan tata usaha negara merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan keadilan

dalam hukum, peradilan tata usaha negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara

pemerintah dengan warga negaranya, dalam hal ini sengketa yang timbul akibat tindakan

pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara, Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

Mahkamah Konstitusi Negara diperlukan untuk melindungi rakyat, sebenarnya tidak hanya

untuk perlindungan hak-hak individu tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak publik pada

umumnya dan juga tempat kontrol oleh publik atau pemerintah- pengawasan kebijakan yang

dikeluarkan.

Dalam pasal 1 angka 11 undang-undang no. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas

undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa

“Gugatan adalah permohonan yang berisi permohonan banding terhadap suatu badan atau

pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk diputus”.

12
Soerjono Soekanto dan Sri Muji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 13.
Dalam undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ada dua

kategori syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perkara, jika tidak terpenuhi akan

mengakibatkan suatu perkara tidak tuntas, kategori syarat tersebut adalah syarat formil dan

syarat materiil.

Syarat Formil

Berdasarkan pasal 47 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Adapun syarat formil gugatan, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha

Negara harus memenuhi kompetensi absolut dan relatif. Yurisdiksi absolut adalah yurisdiksi

badan peradilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu dan tidak mungkin diperiksa oleh badan

peradilan lainnya. Sedangkan yurisdiksi relatif sesuai dengan asas Actor Sequitor Forum Rei

(satu-satunya yang berwenang mengadili adalah pengadilan dimana terdakwa berdomisili).

Dalam wilayah hukum mutlak Peradilan Tata Usaha Negara, obyek dan obyek sengketa PTUN

harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Tentang obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dapat menjadi penggugat

sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah setiap badan hukum, baik perseorangan

maupun badan hukum yang berpendapat bahwa kepentingannya dirugikan oleh dikeluarkannya

suatu keputusan tata usaha negara oleh suatu badan tata usaha negara atau suatu resmi di Pusat

atau di Daerah. Sedangkan terdakwa, menurut pasal 1 angka 6 undang-undang no. 5 tahun 1986

tentang peradilan tata usaha negara adalah terdakwa adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan putusan atas dasar kewenangan yang ada atau yang dilimpahkan kepadanya.

Selanjutnya, pihak ketiga yang berkepentingan juga dapat dikenakan PTUN sesuai dengan pasal

83 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang TAR Negara, yang menetapkan bahwa dalam

pemeriksaan pendahuluan, setiap orang yang berkepentingan terhadap sengketa pihak lain untuk

diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsanya sendiri dengan mengajukan permohonan,

maupun atas prakarsa hakim, dapat melakukan sengketa tata usaha negara, dan bertindak

sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang

bersengketa. Selanjutnya pasal 118 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang TAR Negara mengatur

bahwa apabila pihak ketiga yang tidak pernah ikut atau terlibat dalam pemeriksaan sengketa,

maka pihak ketiga tersebut berhak menentang pelaksanaan putusan pengadilan kepada

Pengadilan yang mengatur sengketa tersebut di peringkat pertama.

Setelah itu, objek sengketa dalam PTUN menurut Pasal 53 ayat (1) Undang Undang No.

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, sesuai

dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

yaitu “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata.”13. Mengenai keputusan TUN yang bersifat fiktif atau tidak

dikeluarkannya putusan, Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara mengatur sebagai berikut:

13
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2007)
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan

dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data

peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan

yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah

lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan

keputusan penolakan. 14

Adapun yurisdiksi relatif Peradilan Tata Usaha Negara, asas Forum Aktor Sequitor Rei

diatur dalam pasal 54 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang

mengatur bahwa perkara sengketa tata usaha negara diajukan ke pengadilan yang berwenang

yang wilayah hukumnya adalah domisili tergugat. Selanjutnya pasal yang sama juga menyatakan

bahwa:

(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan

berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan

14
Yoni Ardianto, “Memahami Metode Penelitian Kualitatif”,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12773/Memahami-Metode-Penelitian-Kualitatif.html diunggah pada
06 Maret 2019
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum

Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk

selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang

bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan

kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman Penggugat.

(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,

gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.

(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri,

gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.

egeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.

Pasal mengenai Tenggang waktu pengajuan gugatan, tertulis dalam Pasal 55

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka gugatan

dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterima dan

diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara15

15
Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun
1997, TLN No. 3696.
Syarat Materiil

Syarat-syarat materiil pengajuan perkara tata usaha negara yang diuraikan oleh Martiman

Prodjohamidjojo yang dapat dilihat dalam buku karya W. Riawan Tjandra halaman 60, perkara

tersebut harus memuat hal-hal sebagai berikut:

● Dasar perkara: yaitu peristiwa atau hal-hal yang terjadi. merupakan dasar gugatan, itulah

alasan gugatan (Posita).

● Pengaduan: atau yang diminta berupa: tuntutan pokok dan tuntutan ganti rugi dan/atau

rehabilitasi.

Berdasarkan pasal 56 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

gugatan yang diajukan oleh penggugat harus memenuhi syarat formil dan materiil. Oleh karena

itu mengenai hal tersebut perlu diperhatikan cara pembentukan posita dan petitum aduan yang

benar, antara lain:

Perumusan posita diperlukan:

● Atas dasar terjadinya kecelakaan material (material gebeuren) sehingga memenuhi

persyaratan kelayakan sebagai dasar permohonan.

● Mendeskripsikan akibat hukum berupa kerugian sesuai dengan hal sebagaimana

dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 undang-undang no. 5 Tahun 1986 atau tidak diterbitkan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 undang-undang no. 5 Tahun 1986 Keputusan Tata

Usaha Negara (Beschikking).

● Argumen posita harus mengarah pada menyatakan aplikasi tidak sah atau tidak sah

Keputusan administratif Negara yang diperebutkan.


● Kualifikasi perbuatan terdakwa dalam pengambilan keputusan administrasi Negara harus

dinyatakan secara tegas berdasarkan fakta-fakta akibat hukum seperti: detournement de

pouvoir (Pasal 53 ayat 2 huruf b UU No. 1986), willekeur (Pasal 53 ayat 2 huruf c UU

No. 5 Tahun 1986), bertentangan dengan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik

(algemene beginelen van berhoorlijk bestuur), dan lain-lain.

● Dalam menjelaskan dasar banding, harus dijelaskan dengan hati-hati, jelas dan lengkap,

dan secara kronologis.

Hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan petitum

A. Petitum hanya menyangkut dua hal (pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986):

● Tuntutan Pokok: berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha

Negara yang merugikan kepentingan Penggugat dinyatakan batal

atau tidak sah.

● Tuntutan Tambahan: berisi tuntutan ganti rugi dan atau

rehabilitasi (dalam sengketa kepegawaian)

B. Pokok Permohonan yang memuat permohonan pembatalan atau ketidakabsahan TUN yang

merugikan kepentingan Penggugat.

Dalam menyusun Posita dalam surat gugatan harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a. Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan, tidak menyerang

kehormatan atau merendahkan pihak lain, terutama pihak lawan (tergugat);


b. Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang mudah dibaca dan dipahami

serta tidak monoton;

c. Bahasa baku, artinya menggunakan kalimat yang sederhana, singkat, jelas, dan

tegas;

d. Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda, menghindari perbedaan penafsiran

antara penggugat, tergugat, dan hakim;

e. Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang

berbeda-beda untuk hal tertentu;

f. Sinkron, artinya tidak kontradiktif diantara bagian posita dengan petitum;

g. Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab akibat (kausal) artinya

fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal, akan membawa akibat hukum

yang diuraikan dalam kalimat selanjutnya;

h. Menyusun posita dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum, hal ini guna

memudahkan pemahaman yang runtut untuk meyakinkan hakim.

Dalam menyusun Petitum dalam surat gugatan harus memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

a. Kesesuaian atau sinkronisasi dengan posita, artinya alasan yang telah diuraikan

dalam posita kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan;

b. Tidak kontradiktif, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun

dengan bagian petitum lainnya;

c. Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak yang terlibat dalam

perkara;
d. Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas dan tegas agar

tidak membingungkan hakim;

e. Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi tentang perintah untuk tidak

berbuat;

f. Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin dalam posita, dan diberi

nomor urut.

Persyaratan materiil lain untuk mengajukan gugatan tata usaha negara adalah pokok

sengketa. Menurut susunan kata pasal 47 undang-undang no. 5 tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 10

UU No. 51 Tahun 2009 bahwa obyek sengketa Tata Usaha Negara merupakan ketentuan

administrasi Negara.Pengertian obyek sengketa lebih lanjut dijelaskan dalam UU No. 51 tahun

2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara yang berbentuk putusan diatur dalam pasal 1 angka 9.

Pasal 1 angka 9 mengatur pengelompokan dalam keputusan tata usaha negara, atau

Keputusan Tata Usaha Negara Positif, atau penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang memuat tuntutan hukum tata usaha negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, konkrit, individual, dan final yang menimbulkan

akibat hukum bagi orang atau badan sipil, kemudian kriteria keputusan tata usaha negara dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Penetapan tertulis. Yang dimaksud dengan "tertulis" tidak hanya harus berupa suatu

ketentuan formal yang memuat pembukaan dan diktum, tetapi juga dapat berupa: Catatan

Dinas, Perintah, Memo, dan lain-lain, sepanjang dibuat secara tertulis dan jelas memuat

oleh siapa, untuk siapa dan apa yang diandalkan;


2. Dikeluarkan oleh Badan atau petugas TUN;

3. Berisi tuntutan hukum TUN;

4. Berdasarkan undang-undang saat ini;

5. Konkrit, yang berarti berwujud, bukan abstrak;

6. Orang perseorangan, dalam arti bahwa keputusan Tata Usaha Negara ditujukan kepada

orang perseorangan tertentu (menyebutkan nama dan identitas orang tertentu atau badan

hukum perdata);

7. Definitif, dalam arti bahwa keputusan Tata Usaha Negara bersifat definitif, mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mempunyai akibat hukum, bukan merupakan keputusan yang

masih menunggu persetujuan dari badan/pejabat yang berwenang atau oleh subyek lain;

8. Menimbulkan akibat hukum bagi orang perdata atau badan hukum, akibat hukum yang

ditimbulkan dapat mempengaruhi orang perdata atau badan hukum yang namanya

tercantum dalam keputusan administrasi negara atau pihak ketiga yang meyakini bahwa

kepentingannya dirugikan karena keputusan tersebut .

Setelah itu pasal 3 ayat (1) menetapkan keputusan tata usaha negara fiktif, yaitu

keputusan tata usaha negara yang seharusnya dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara

sesuai dengan kewajibannya, tetapi tidak dikeluarkan sehingga merugikan orang sipil. atau

badan hukum dan Pasal 3 Ayat (2) mengatur tentang putusan-putusan tata usaha negara yang

bersifat negatif, yaitu putusan-putusan tata usaha negara yang diminta oleh seorang atau badan

hukum kepada badan/pejabat tata usaha negara, tetapi tidak dijawab atau dikeluarkan oleh

negara. instansi/pejabat

Mengenai pokok perkara dalam Sertifikat Kepemilikan Hak atas Tanah dalam ranah Pengadilan

Tata Usaha Negara, mengatur dari segi administratif, walaupun bersinggungan dengan ranah
Hukum Perdata, namun dalam peradilan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa nya

adalah Sertifikat Kepemilikan hak atas tanah yang dikeluarkan pejabat PTUN, Dalam UU

Agraria bahwa mengatur untuk diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin

kepastian hukum, , pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang diubah menjadi Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 16


PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah diundangkan karena merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh Indonesia sebagaimana

yang tertuang dalam UUPA.

Dalam sengketa sertifikat kepemilikan hak atas tanah, yang diperiksa oleh pengadilan

apakah suatu sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan pejabat berwenang sudah sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku, kemudian Pengadilan Tata Usaha Negara akan menetapkan siapa

yang memiliki hak dan kewenangan yang sah secara hukum kewenangan untuk menyatakan

suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun membatalkan suatu sertifikat tanah.17

Kewenangan absolut peradilan/atribusi kewenangan (attributie van rechtsmacht)

merupakan pembagian wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan

pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan

Umum. Kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam

pelaksanaannya seringkali bersinggungan. Pada satu pihak Peradilan Umum mengadili suatu

perkara perdata di bidang pertanahan yang berkaitan dengan aspek hak atas tanahnya, di mana

sertifikat hak atas tanahnya sebagai salah satu alat bukti. Kemudian, pada pihak lain Peradilan
16
Dewi Asimah, Implementasi Perluasan Kompetensi PTUN Dalam Mengadili Tindakan Faktual (Jakarta:2020)
Jurnal Kenotaritan Vol 1 hlm. 155-159
17
Marten Bunga. (2018). Tinjauan Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Menyelesaikan Sengketa Tanah. Gorontal Law Review. Vol. 1. No. 1. h. 42
Tata Usaha Negara juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara

yang berkaitan dengan aspek prosedur pendaftaran tanahnya, di mana sertifikat, Surat

Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang dimaksud sebagai

objek sengketanya menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004)18

2.2 Kasus

2.2.1. Identitas Para Pihak dan Objek Gugatan

Dalam Putusan Nomor 101/G/2021/PTUN.BDG para pihak yang bersengketa adalah


Nama : Ida Farida
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Tempat Tinggal : Telaga Golf Blok E.I/33 Rt. 001/010 Kelurahan Sawangan, Kecamatan
Sawangan, Kota Depok

Yang selanjutnya disebut sebagai


PENGGUGAT----------------------------------------------------------

MELAWAN:

Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok berkedudukan di Komplek Sub Perkantoran Kota Depok,
Jl. Boulevard Raya Kota Kembang, Grand Depok City, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat yang
mana pada sengketa ini memberikan Surat Kuasa Khusus Nomor
51/SMU-MP-02.03-32.76/IX/2021 tanggal 20 September 2021 yang terdiri atas:

1. Lucky Ariansa, S.H., M.H.


2. Yudhi Subagja, S..H., M.H.

18 Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 13.
3. Murdianto Hendro Sakti, S.H.
4. Martha Dormauli Lumban, A.Md.

dan

PT. Pakuan Tbk. berkedudukan di Sawangan Golf Hotel & Resort, Jalan Raya Muchtar,
Sawangan, RT. 02/RW. 07, Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kota Depo, Provinsi
Jawa Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utama yakni Erick Wihardja seorang
Warga Negara Indonesia, berdomisili di Graha Sunter Pratama Blok Q No. 9, RT. 017/RW. 002,
Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara yang kemudian memberikan
surat kuasa khususnya kepada para advokat dari kantor Advokat Bumame & Associate Law firm,
beralamat pada Plaza Sentral Lt. 14, Jalan Jendral Sudirman No. 47-48, Jakarta Selatan, yang
kesemuanya berkewarganegaraan Indonesia pada tanggal 30 September 2021 untuk diwakili oleh
kuasa nya, yaitu:

1. Riesky Indrawan, S.H.


2. Ricardo Sinaga, S.H.
3. Yulianto Girsang, S.H., M.H.
4. Bram Mohammad Yasser, S.H., M.H.
5. Aprilia Dwi Paramita, S.H., M.H.
6. Tomi Hermayudha, S.H.
7. Gleshya Regita Putri My Made, S.H., M.H.

Selanjutnya disebut sebagai


TERGUGAT-------------------------------------------------------------------

Kemudian yang menjadi objek gugatan dalam perkara ini adalah:

1. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1970/Kel.Sawangan, terbit tanggal 27 Desember


2017, Surat Ukur No. 680/Sawangan/2017 tanggal 20 Desember 2017, luas 2.871 M2
atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
2. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1971/Kel.Sawangan, terbit tanggal 29 Desember
2017, Surat Ukur No. 682/Sawangan/2017 tanggal 28 Desember 2017 luas 46.370 M2
atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
3. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1972/Sawangan, terbit tanggal 29 Desember 2017,
Surat Ukur No. 272/Sawangan/2015 tanggal 28 Desember 2017, luas 75.525 M2 atas
nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
4. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1973/Sawangan, terbit tanggal 29 Desember 2017,
Surat Ukur No. 683/Sawangan/2017 tanggal 28 Desember 2017, luas 41.174 M2 atas
nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
5. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1976/Sawangan, terbit tanggal 7 Juni 2018, Surat
Ukur No. 759/Sawangan/2017 tanggal 7 Juni 2018, luas 503.340 M2 atas nama PT.
Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok beserta pecahannya yaitu:
a. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 2051/Kel.Sawangan, terbit tanggal 8 Juli
2021, Surat Ukur No. 2520/Sawangan/2021 tanggal 6 Juli 2021, luas 99.800 M2
atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
b. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 2052/Kel.Sawangan, terbit tanggal 23 Juli
2021, Surat Ukur No. 2521/Sawangan/2021 tanggal 19 Juli 2021, luas 19.310 M2,
atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok;
c. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 2053/Sawangan, terbit tanggal 23 Juli 2021,
Surat Ukur No. 2522/Sawangan/2021 tanggal 19 Juli 2021, luas 40.100 M2, atas
nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok.

2.2.2 Kasus Posisi

Bahwa duduk perkara yang terjadi berdasarkan Putusan Nomor 101/G/2021/PTUN.BDG


adalah pada tanggal 31 Agustus 2021 Penggugat telah mengajukan gugatan yang telah
didaftarkan dan diterima oleh Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan nomor
register perkara 101/G/2021/PTUN.BDG yang kemudian telah diperbaiki pada tanggal 7
Oktober 2021. Penggugat adalah pemilik atas tanah di daerah Sawangan dan Bojongsari kota
Depok seluas kurang lebih 250 Ha berdasarkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Garapan
tanggal 17 Maret 2007 antara M.A Hendro dan Penggugat dan telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Depok No. 03/WMK/SPAW/2007/PN/DEPOK tanggal 26 Maret 2007
dengan batas-batas tanah yakni sebelah utara adalah danau, sebelah barat adalah jalan, sebelah
timur adalah Perumahan Telaga Golf, dan sebelah selatan adalah Jalan Raya Mochtar. Bahwa
status tanah yang disengketakan antara Penggugat dengan PT. Pakuan semula adalah tanah bekas
Eigendom (partikelir) yang berdasarkan UU No. 1 Tahun 1958 telah dilikuidasi menjadi Tanah
Negara kemudian tanah tersebut menjadi objek Landreform dan diredistribusikan kepada petani
penggarap atas dasar SK KINAG No. 205 D/VIII-54 tanggal 31 Desember 1964, SK KINAG
No. 11/VIII-54/62 tanggal 11 Juni 1963 dan SK KINAG No. 44A/III/Insp/C-54/64 tanggal 14
September 1964.
Kemudian pada tahun 1964/1965, Hak Milik dari para pemegang hak telah dibebaskan
oleh Saudara Garmadi Kartawidjaja dengan memberikan ganti rugi kepada Pemegang SK
KINAG melalui kuasanya Saudara H. Mustofa dan Saudara M. Tohir untuk bidang tanah seluas
kurang lebih 250 Ha. Selanjutnya bidang tanah SK KINAG dimaksud dijual oleh Saudara
Garmadi Kartawidjaja berdasarkan perjanjian jual beli di bawah tangan dengan Major Udara S.
Kardono dan M.A Hendro untuk dijadikan tanah Kavling Departemen Perhubungan (Pukadara),
namun rencana tersebut tidak terlaksana. Kepemilikan Major Udara S.Kardono dan M.A Hendro
atas tanah bekas obyek SK KINAG tersebut telah dikuatkan berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta No. 304/67 tanggal 21 Agustus 1968 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta No. 110/Pdt/1970/PT.DKI tanggal 3 Maret 1971 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.
554 K/Sip/1973 tanggal 17 September 1973 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian, berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut oleh M.A. Hendro
dilepaskan haknya kepada Penggugat berdasarkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Garapan
tanggal 17 Maret 2007 antara M. A. Hendro dan Penggugat yang telah didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok No. 03/WMK/SPAW/2007/PN/DEPOK tanggal 26
Maret 2007 atas obyek tanah yakni Luas 744.100 M2 yang terletak di Desa Cinangka, Luas
182.000 M2 terletak Desa Serua, Luas 176.000 M2 terletak di Desa Bojongsari, Luas 309.196
M2 terletak di Desa Pondokpetir, Luas 400.000 M2 terletak di Desa Curug, dan Luas 370.000
M2 terletak di Desa Pondok Cabe Udik. Oleh karena itu, bidang tanah milik Penggugat tersebut
berdasarkan SK KINAG, sebagian telah dikuatkan statusnya dengan diterbitkannya sertifikat-
sertifikat Hak Guna Bangunan oleh Kantor Pertanahan Kota Depok yaitu SHGB No.
328/Kedaung atas nama PT. Bumi Kedaung Lestari milik Penggugat seluas 93.875 M2 dan
SHGB No. 02255/Serua, SHGB No. 02256/Serua, SHGB No.02257/Serua, ketiganya atas nama
PT. Unggul Mas Sejahtera milik Penggugat.
Hal ini membuktikan SK KINAG yang dimiliki oleh Penggugat diakui oleh Negara dan
dapat ditingkatkan status hak kepemilikannya yang diprioritaskan hanya kepada pemegang SK
KINAG tersebut dalam hal ini adalah Penggugat. Namun, terhadap Bidang tanah milik
Penggugat yang terletak di Sawangan, pada tahun 1985 dengan sewenang-wenangnya Tergugat
telah memberikan sesuatu hak kepada PT. Pakuan yaitu dengan menerbitkan SHGB No.
27/Sawangan, luas 5.970 M2, SHGB No. 28/Sawangan, luas 46.370 M2, SHGB No.
29/Sawangan, luas 75.505 M2, SHGB No. 30/Sawangan, luas 4.960 M2, SHGB No.
863/Sawangan, luas 3.875 M2, SHGB No. 864/Sawangan, luas 503.340 M2, SHGB No.
865/Sawangan, luas 41.055 M2, SHGB No. 00013/Bojongsari, luas 217.760 M2, dan SHGB No.
4/Bojongsari Lama, luas 19.035 M2.

2.2.3 Analisis

2.2.3.1 Syarat Formil Gugatan

Syarat formil suatu gugatan pengadilan tata usaha negara pada dasarnya

mencakup siapa yang menggugat dan tenggang waktu untuk menggugat. Berdasarkan

Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara dalam mengajukan gugatan harus mencantumkan identitas dan tenggang waktu.

Selain itu, proses harus diberi tanggal dan ditandatangani serta yang dapat mengajukan

gugatan adalah orang perseorangan atau badan hukum perdata. Dalam memenuhi syarat

formil, sebuah gugatan harus mencantumkan identitas pihak atau pihak yang

berkepentingan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Identitas penggugat

meliputi nama lengkap, kebangsaan, tempat tinggal dan pekerjaan. Identitas terdakwa

meliputi nama lengkap, kedudukan dan tempat tinggal terdakwa. Mengenai tenggang

waktu pengajuan gugatan, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara telah mengatur bahwa gugatan hanya dapat diberikan
tenggang waktu sembilan puluh hari sejak tanggal diterimanya atau diumumkannya

Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2014 juga merupakan regulasi yang perlu mendapat perhatian. Pasal tersebut

menjelaskan bahwa jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang

menjadi kewajiban, maka setelah lewat batas waktu tersebut akan sama dengan

Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini dapat diajukan gugatan tata usaha negara

serta sebuah gugatan juga harus diberi tanggal. Hal ini berkaitan dengan jangka waktu

pengajuan gugatan. Dengan menulis tanggal, Anda dapat mengetahui apakah gugatan

telah berakhir dan diakhiri dengan tanda tangan. Sebuah gugatan harus ditandatangani

oleh penggugat atau kuasa hukumnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat 1

HIR Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara

menegaskan apabila penuntutan ditandatangani oleh kuasa penggugat, maka harus

dilampirkan surat kuasa yang sah. Surat kuasa dapat diberikan dalam bentuk surat kuasa

khusus, atau dapat dilakukan secara lisan di pengadilan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa syarat formal yang harus dipenuhi

dalam suatu gugatan adalah:

● Harus memuat: Nama, Kewarganegaraan, Tempat tinggal, Tanggal

pembuatan surat gugatan, dan Pekerjaan penggugat atau kuasanya;

nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat, dasar gugatan dan hal

yang diinginkan pada putusan


Syarat formal dari pengajuan gugatan ke PTUN harus juga terdapat

identitas dari pihak penggugat dan tergugat, hal ini didasari dalam Pasal

56 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.

Identitas dari pihak penggugat dan tergugat harus tertulis secara lengkap

karena bertujuan agar dapat memudahkan dalam pengiriman turunan surat

gugatan dan pemanggilan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Pembuatan surat gugatan harus mencantumkan nama, kewarganegaraan,

tempat gugatan diajukan. Tempat yang dimaksud disini adalah tempat

tinggal atau domisili pihak yang berperkara. Jika hal ini dilakukan oleh

penggugat sendiri, apakah tempat yang termasuk dalam gugatan

tergantung pada kabupaten atau kota tempat tinggal penggugat; jika dibuat

oleh kuasa hukum, lokasi atau tempat tinggal tergantung pada tempat

tinggal pengacara. Secara khusus, tanggal pada aplikasi gugatan juga

harus disebutkan dengan jelas, karena membantu menentukan tanggal

gugatan.

Dalam surat gugatan terlebih dahulu harus disebutkan identitas dari

penggugat pribadi kemudian apabila terdaat kuasa hukum yang

mendampinginya, baru menyebutkan identitas dari kuasa yang

mendampinginya dalam perkara, hal ini dikarenakan agar memudahkan

penanganan kasus dan untuk keseragaman model dari surat gugatan, hal

ini juga didasari dengan SEMA No. 2 Tahun 1991.

Pada Putusan No. 101/G/2021/PTTUN.BDG identitas penggugat

ditulis dan dalam Putusan tersebut identitas nya adalah Ida Farida yang
merupakan seorang berkewarganegaraan Indonesia yang mempunyai

pekerjaan sebagai mengurus rumah tangga, beralamat di Telaga Golf Blok

E.I/33 RT.001/RW. 010.

Selanjutnya, terdapat Tergugat yakni Kepala Kantor Pertahanan

Kota Depok yang berkedudukan di Komplek Sub Perkantoran Kota

Depok, Jl. Boulevard Raya Kota Kembang, Grand Depok City Kota

Depok yang kemudian memberikan kuasa kepada Lucky Ariansa,

S.H.M.H., Yudhi Subagja, S.E.M.H., Murdianto Hendro Sakti, S.H.,

Martha Dormauli Lumban, A.Md. berdasarkan surat kuasa khusus Nomor:

51/SKU-MP-02.03-32.76/IX/2021 tertanggal 20 September 2021.

Kemudian terdapat juga Tergugat II Intervensi yaitu PT. Pakuan Tbk yang

merupakan Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum dan

ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia,

berkedudukan di Sawangan Golf Hotel & Resort, Jalan Raya Muchtar,

Sawangan RT.02 RW.07, Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan,

Kota Depok, Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Direktur Utama PT.

Pakuan Tbk yakni Erick Wihardja dan memberikan surat kuasa khusus

yang bernomor 155/PAK/Leg/X/2021 tanggal 30 September 2021 kepada

kuasa hukumnya dari Bumame & Associate Law Firm yang berada di

Plaza Sentral Lt.14, Jl. Jend. Sudirman No.47-48, Jakarta Selatan yaitu

Riesky Indrawan, S.H., Ricardo Sinaga, S.H., Yulianto Girsang, S.H.,

M.H., Bram Mohammad Yasser, S.H., M., Aprilia Dwi Paramita, S.H.,
M.H., Tomi Hermayudha, S.H., Gleshya Regita Putri My Made, S.H.,

M.H.

Kemudian, mengenai dasar gugatan yang terdapat dalam Gugatan

No. 101/G/2021/PTUN.BG dalam hal ini penggugat mengemukakan dasar

dari gugatanya yaitu terdapat di dalam bagian objek gugatan yakni

beberapa sertifikat Hak Guna Bangunan yaitu:

a. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1970/Kel.Sawangan,

terbit tanggal 27 Desember 2017, Surat Ukur No.

680/Sawangan/2017 tanggal 20 Desember 2017, luas 2.871

M2 atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di Kota

Depok;

b. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1971/Kel.Sawangan,

terbit tanggal 29 Desember 2017, Surat Ukur No.

682/Sawangan/2017 tanggal 28 Desember 2017 luas

46.370 M2 atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di

Kota Depok;

c. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1972/Sawangan, terbit

tanggal 29 Desember 2017, Surat Ukur No.

272/Sawangan/2015 tanggal 28 Desember 2017, luas

75.525 M2 atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di

Kota Depok;

d. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1973/Sawangan, terbit

tanggal 29 Desember 2017, Surat Ukur No.


683/Sawangan/2017 tanggal 28 Desember 2017, luas

41.174 M2 atas nama PT. Pakuan Tbk berkedudukan di

Kota Depok;

e. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1976/Sawangan, terbit

tanggal 7 Juni 2018, Surat Ukur No. 759/Sawangan/2017

tanggal 7 Juni 2018, luas 503.340 M2 atas nama PT.

Pakuan Tbk berkedudukan di Kota Depok beserta

pecahannya yaitu :

○ Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

2051/Kel.Sawangan, terbit tanggal 8 Juli 2021,

Surat Ukur No. 2520/Sawangan/2021 tanggal 6 Juli

2021, luas 99.800 M2 atas nama PT. Pakuan Tbk

berkedudukan di Kota Depok;

○ Sertifikat Hak Guna Bangunan No.

2052/Kel.Sawangan, terbit tanggal 23 Juli 2021,

Surat Ukur No. 2521/Sawangan/2021 tanggal 19

Juli 2021, luas 19.310 M2, atas nama PT. Pakuan

Tbk berkedudukan di Kota Depok;

○ Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 2053/Sawangan,

terbit tanggal 23 Juli 2021, Surat Ukur No.

2522/Sawangan/2021 tanggal 19 Juli 2021, luas

40.100 M2, atas nama PT. Pakuan Tbk

berkedudukan di Kota Depok.


Sedangkan hal yang diinginkan pada putusan terdapat dalam

bagian Petitum dalam putusan tersebut yaitu Penggugat meminta untuk

membatalkan objek sengketa atas nama Tergugat II intervensi yang telah

disebutkan diatas.

Dengan demikian, maka syarat formal mengenai identitas

penggugat dan kuasanya, serta identitas tergugat, dasar gugatan, dan

petitum terhadap gugatan tersebut telah terpenuhi.

● Harus Ada Materai

Dalam surat permohonan gugatan besarnya materai Rp 6.000 (Rp

6.000), dan tanggal, bulan, dan tahun di atas materai sesuai dengan tanggal

pengajuan Permohonan, dan pada saat yang sama harus dibubuhi tanda

tangan pada bagian bea materai dan dibubuhi nama penggugat atau atasan

wakilnya.

● Jika gugatan dibuat dan ditandatangani oleh kuasa penggugat, maka

gugatan harus disertai dengan surat kuasa yang sah

Surat permohonan gugatan harus ditandatangani oleh penggugat

atau kuasa hukumnya yang diberi kuasa khusus untuk menangani perkara

di persidangan Pasal 118 ayat 1 dan pasal 123 ayat 1 HIR. Gugatan yang

tidak ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, karena gugatan yang

tidak ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya tidak lengkap

secara hukum, maka pengadilan akan mengembalikannya. Tanda tangan


penggugat dalam gugatan yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung

merupakan bentuk pertanggungjawaban gugatan penggugat terhadap

tergugat. Jika gugatan yang diajukan oleh penggugat atau melalui kuasa

hukumnya tidak ditandatangani, jika gugatannya telah diproses di

pengadilan oleh hakim yang memeriksa dan telah terjadi replik dan duplik,

maka kelemahan tersebut dapat dijadikan alasan yang sah oleh pihak

tergugat bahwa gugatan penggugat tidak sah dan dapat batal demi hukum.

Dalam hal ini, penggugat tidak diwakili oleh kuasanya dalam membuat

gugatan.

● Diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat diterima atau

diumumkan Keputusan TUN yang digugat

Dalam PTUN pengajuan gugatan yang diajukan yaitu dalam

tenggang waktu 90 hari sejak diterima atau diumumkannya Keputusan

TUN yang digugat. Perhitungan tenggang waktu pengajuan gugatan ke

PTUN didasari pada Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 6 Tahun 2018 tentang

pedoman penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan setelah

menempuh upaya administratif.

Dalam perumusannya, pada kasus posisi diatas terdapat objek

sengketa tata usaha negara di dalamnya, perhitungan tenggang waktu 90

hari pengajuan gugatan ke PTUN terkait dengan kasus posisi diatas yaitu:

- Objek sengketa : Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama

Tergugat II intervensi
Dari objek sengketa tersebut dapat diketahui bahwa Keputusan

TUN tersebut terbit pada tanggal 23 Juli 2021. Dan gugatan penggugat,

diajukan pada tanggal 3 September 2021. Dengan demikian, maka

perhitungan tenggang waktu pengajuan gugatan Keputusan TUN tersebut

yaitu:

Juli 2021 : 31 hari - 23 hari = 8 hari

Agustus 2021 : 31 hari = 31 hari

September 2021 : 30 hari = 30 hari

Oktober 2021 : 31 hari - 9 hari = 21 hari

-------------------------------------------------------------- +

90 hari

Jadi hari ke 90 dari diumumkannya Keputusan TUN tersebut jatuh

pada 21 Oktober 2021 yang mana hari tersebut adalah batas hari terakhir

pengajuan gugatan TUN diajukan. Dengan demikian, terkait dari kasus

posisi diatas terhadap objek sengketa tersebut penggugat mengajukan

gugatannya pada tanggal 3 September 2021 maka pengajuan gugatan TUN

yang diajukan penggugat terhadap objek sengketa tersebut dapat

dinyatakan sah atau memenuhi syarat. Yang diatur dalam Pasal 55 PTUN.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa syarat formal

mengenai batas tenggang waktu pengajuan gugatan TUN telah terpenuhi


oleh penggugat dan syarat pengajuan gugatan TUN terhadap objek

sengketa dalam kasus posisi diatas adalah sah.

Jika tata cara pembuatan surat gugatan tidak benar dan tidak tepat

pada saat gugatan diajukan, serta syarat formil dan syarat materiil yang

ditentukan tidak dapat dipenuhi, hakim dapat menyatakan gugatan tidak

dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard. Surat gugatan yang tidak

dapat diterima adalah putusan hakim dalam hal ini litigasi yang dianggap

tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Keputusan yang

tidak dapat diterima adalah keputusan akhir yang negatif. Ada banyak

alasan mengapa gugatan tidak dapat diterima karena catatan formal, yaitu

surat kuasa yang diajukan tidak sah, gugatan diajukan oleh pihak yang

tidak memiliki kepentingan hukum, gugatan prematur, gugatan di luar

kompetensi, gugatan obscuur libel, gugatan error in persona dan gugatan

daluwarsa.

2.2.3.2 Syarat Materiil Gugatan

Setelah melihat teori mengenai syarat materiil bisa dipastikan bahwa benar yang menjadi

objek sengketa sesuai yang diatur dalam UU PTUN, memang benar terdapat titik singgung

antara Hukum Perdata maupun Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, namun yang dijadikan

objek gugatan oleh penggugat adalah keabsahan terhadap penerbitan Sertifikat HGB yang

menjadi objek gugatan. Menilai bahwa secara runut telah ditelusuri bahwa dengan adanya

sertifikat yang diterbitkan oleh tergugat jelas menimbulkan kerugian bagi penggugat, hal tersebut
sesuai dengan apa yang diatur dalam syarat materiil gugatan, dan dapat diakui bahwa objek

gugatan, sudah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur.

Tekait dengan titik singgung dalam Praktik mengenai hubungan hukum perdata dan

administrasi terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 88 K/TUN/1993 yang dapat ditarik

suatu kaidah hukum yaitu, walaupun penerbit Surat Keputusan terkait kepemilikan hak atas

tanah diterbitkan oleh Pejabat TUN namun terkait kepemilikannya harus terlebih dahulu

diajukan ke Peradilan umum.

Menilai terkait kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam kasus ini pun juga sudah

masuk memang ke dalam kewenangan PTUN karena memang yang dipermasalahkan memang

terkait kewenangan administratif yang dilakukan penggugat yang kemudian dampaknya telah

merugikan tergugat. Dalam gugatannya Penggugat memohonkan untuk mencabut Surat

Keputusan yang telah diterbitkan oleh Tergugat, dan menerbitkan Surat Keputusan terkait obyek

gugatan kepada Penggugat. Menilai dari apa yang dimohonkan penggugat juga sesuai dengan

parameter hukum mengenai sengketa tanah dalam Peradilan TUN.

Dalam UU Agraria diatur mengenai Pendaftaran Tanah, yang kemudian diatur juga

dalam PP 24/1997. Dalam hal ini tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan yang telah

merugikan Penggugat, yang dimana dalam kasus ini telah melanggar Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik (AAUPB),yakni Asas Kepastian Hukum. Dengan adanya SK KINAG

yang diajukan sebagi bukti oleh penggugat dan dengan terbitnya Sertipikat HGB atas nama PT.

Pakuan, maka jelas adanya kesalahan dari tergugat selaku pejabat yang berwenang hal ini tentu

menimbulkan kerugian bagi Penggugat, yang merasa haknya telah dirampas, dan dengan adanya
sertipikat tersebut timbul tumpang tindih antara obyek gugatan dan bukti–bukti yang telah

diajukan Penggugat.

Menilai Sengketa pada Putusan No. 101/G/2021/PTUN-BDG berdasarkan analisis kami

selaku penulis memang benar adanya kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat, karena adanya

dua sertipikat yang menyatakan kepemilikan tanah yang dimiliki oleh dua pihak yang berbeda

yakni Penggugat dan Tergugat. Maka dari itu secara materiil memang ada kesalahan yang

dilakukan oleh Pejabat TUN yang berwenang dan adanya kerugian yang timbul dari

kesalahan tersebut yang merugikan tergugat.

2.3.3.3 Amar Putusan

Dalam amar putusan Hakim mengadili bahwa gugatan tidak dapat diterima, dengan

alasan ne bis in idem, karena pernah diputus dalam perkara yang sama dalam peradilan TUN

yang dimana hasil putusannya bersifat ne bis in idem, maka dari itu gugatan yang diajukan

penggugat tidak dapat diterima dan dianggap sebagai ne bis in idem.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Untuk dapat mengajukan gugatan sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan
Penggugat wajib memenuhi syarat formil dan materiil. Kedudukan Penggugat dan Tergugat
sebagai subjek hukum atau gugatan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam syarat formil.
Berdasarkan pembahasan di analisis kami, diketahui bahwa identitas pada diri Penggugat dan
Tergugat telah terpenuhi secara lengkap. Penggugat adalah orang perseorangan atas nama Ida
Farida, sedangkan Tergugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok yang merupakan
pejabat yang mengeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Pakuan Tbk , yang
berkedudukan di Kota Depok; HGB tersebut dianggap merugikan bagi Penggugat. Adapun
syarat formil pengajuan gugatan juga memuat bahwa gugatan PTUN diajukan dalam bentuk
tertulis. Syarat tersebut terpenuhi karena dalam putusan ini diketahui gugatan Penggugat
diajukan secara tertulis pada 3 September 2021.

Syarat formil selanjutnya adalah terkait kompetensi pengadilan, yaitu kompetensi relatif
dan absolut. Mengenai kompetensi relatif, pengajuan gugatan telah dengan benar diajukan ke
domisili Tergugat yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Adapun sengketa ini
disebabkan oleh dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum
bagi Penggugat yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Pakuan Tbk. Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini termasuk kompetensi absolut Pengadilan
Tata Usaha Negara yaitu sengketa pertanahan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU 9
Tahun 2004 jo UU 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. `Namun, perkara
tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan yang sama, sehingga bahwasannya Putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima,
dikarenakan gugatan bersifat nebis in nidem,. Meskipun secara materiil memang keputusan TUN
itu melanggar asas kepastian hukum, hanya gugatan itu sudah pernah diajukan sebelumnya,
sehingga syarat formil tidak dapat terpenuhi.

Syarat selanjutnya adalah syarat materiil yang meliputi dasar gugatan (Posita) dan
tuntutan (Petitum). Posita merupakan dasar gugatan yang harus dicantumkan oleh Penggugat
secara detail dan sejelas mungkin. Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG telah
menyebutkan bahwa Objek Gugatan dalam Surat Gugatan adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan
atas nama PT. Pakuan Tbk yang mana menurut penggugat telah melanggar asas-asas
pemerintahan yang baik menurut ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Asas-asas yang dilanggar pada UU No. 30 Tahun 2014 tersebut mengenai asas
kepastian hukum. Menurut pertimbangan hakim secara materiil memang ada kesalahan
yang dilakukan oleh Pejabat TUN yang berwenang dan adanya kerugian yang timbul dari
kesalahan tersebut yang merugikan tergugat. Mengacu pada pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa meski syarat formil tidak dipenuhi, syarat materiil dalam gugatan ini sudah
dipenuhi oleh penggugat dalam pengajuan gugatan.

3.2 Saran

Peradilan tata usaha negara di Indonesia harus disertai dengan prosedur yang jelas dan

bisa diterima dan dilalui oleh setiap orang yang menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Begitu pula dalam mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara baik penggugat dan

tergugat haruslah memahami syarat formil dan materiil dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Hal

ini agar proses peradilan bisa berjalan dengan baik dan baik penggugat dan tergugat bisa

mendapatkan penyelesaian sengketa yang seadil-adilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

H. Sunarto. Peran HAKIM Dalam Perkara Perdata. Jakarta, Prenadamedia, 2014

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, (Bandung : PT Remaja


Rosdakarya, 2007)

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, persidangan, penyitaan,

pembuktian, dan putusan pengadilan), Jakarta, Sinar Grafika, 2014

Pratiwi, Cekli S., et al. Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Judicial Sector Support Program, 2016

Ridwan, H.R. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2018


Sarwono, Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik), Jakarta, Sinar Grafika, 2011

Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.

Jakarta: PT Primamedia Pustaka, 1999.

Vigih Hery Kristanto, Metodologi Penelitian, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah karya
Vigih Kristanto, (Yogyakarta: Deepublish, 2018).

Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982)

Jurnal

Gunawan, Andy. Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Menyelesaikan

Sengketa Hukum Acara Tata Usaha Negara. Jurnal Analogi Hukum Vol. 1 No. 1 (2019)

Solechan. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayanan Publik. Administrative

Law & Governance Journal Vol. 2 No. 3 (Agustus 2019)

Dewi Asimah. Implementasi Perluasan Kompetensi PTUN Dalam Mengadili Tindakan

Faktual. Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan. Vol. 1. No. 1. h. 154-155. (2020)

Marten Bunga. Tinjauan Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah. Gorontalo Law Review. Vol. 1. No. 1 (2018)

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun 1986, LN

No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344

Indonesia. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30 Tahun 2014, LN


No. 292 Tahun 2014, TLN No. 5601.

Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun

1997, LN No. 59 Tahun 1997, TLN No. 3696.

Putusan pengadilan

No. 101/G/2021/P TUN-BDG

Anda mungkin juga menyukai