FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2022
ABSTRAK
Salah satu kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan masalah-
masalah sengketa Tata Usaha Negara. Salah satu permasalahan sengketa Tata Usaha
Negara dalam hal ini adalah dalam perkara pengeluaran sertifikat hak atas tanah. Urgensi
penulisan penelitian ini, agar penegak hukum mendapatkan pemahaman dan juga
memberikan referensi untuk penanganan sengketa Tata Usaha Negara, terutama sengketa
mengenai pengeluaran sertifikat hak kepemilikan atas tanah. Penelitian ini dikaji
memakai kajian hukum normatif, penelitian ini sifatnya kualitatif, Sumber data sekunder
serta memakai analisa data kualitatif.
ABSTRACT
One of the powers of the State Administrative Court is to resolve disputes over State
Administrative disputes. One of the problems of State Administrative disputes in this
case is in the case of issuance of certificates of land rights. The urgency of writing this
research is so that law enforcers gain an understanding and also provide references for
handling State Administrative disputes, especially disputes regarding the issuance of
certificates of land ownership rights. This research was studied using normative legal
studies, this research is qualitative in nature, secondary data sources and using qualitative
data analysis.
PENDAHULUAN
Oleh karena Indonesia merupakan negara hukum, yang mana segala sesuatu
dalam tata penyelenggaraan negara harus didasari pada hukum maka sangat diperlukan
adanya segala kebijakan Tata Usaha Negara yang taat akan segala peraturan negara yang
berlaku. Namun tentu saja dalam mengeluarkan kebijakan TUN, para pejabat Tata Usaha
Negara tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam menjalankan kewenangannya,
yang kemudian menimbulkan Sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga dibutuhkan
Pengadilan yang bisa memutus Sengketa Tata Usaha Negara, baik antara lembaga negara
maupun antara pribadi dengan pejabat/lembaga negara.
Sedangkan ruang lingkup dari Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sengketa-
sengketa yang berkaitan dengan kebijakan Tata Usaha Negara, dimana berdasarkan Pasal
1 angka 10 UU No. 51/2009, sengketa Tata Usaha Negara didefinisikan sebagai sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu sengketa yang banyak dipermasalahkan didalam Peradilan Tata Usaha
Negara adalah sengketa izin dan sertifikat kepemilikan atas tanah. Meskipun sengketa
sertifikat tanah bersinggungan dengan hukum perdata, PTUN tetap dapat berwenang
memutus perkara tersebut secara administratif, yaitu menilai apakah penerbitan sertifikat
tanah sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pengadilan Tata Usaha Negara akan
menetapkan siapa yang memiliki hak dan kewenangan yang sah secara hukum
kewenangan untuk menyatakan suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun
membatalkan suatu sertifikat tanah. Oleh karena kasusnya yang unik tersebutlah, kami
memiliki keinginan untuk meneliti masalah ini dalam artikel kami.
Supaya penulisan makalah ini lebih terfokus dan tidak meluas dan melenceng dari
pembahasan yang dimaksudkan, maka makalah ini membataskan pembahasan terhadap
pembahasan sengketa PTUN terkait kepemilikan tanah, dengan putusan yang dianalisis adalah
Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG. Untuk rumusan masalah yang akan
diajukan diantaranya adalah:
1. Apa saja hal yang memenuhi syarat formil dan materiil dalam Putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG terkait Sertifikat kepemilikan hak atas tanah ?
2. Bagaimana kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dalam sengketa
tanah terhadap sertifikat hak atas tanah di Putusan PTUN Bandung No.
101/G/2021/PTUN-BDG?
- Bentuk Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami apa yang menjadi
sasaran dari sebuah proyek penelitian, dan metodenya meliputi prosedur serta teknik
penelitian.1 Metode penelitian merupakan cara atau upaya peneliti atau dalam hal ini
penulis dalam sebuah karya ilmiah untuk mendapatkan data yang bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk menyusun sebuah karya ilmiah. 2 Data yang
didapatkan untuk kepentingan penelitian sebagai bahan penulisan penelitian haruslah data
yang valid, reliabel dan objektif.3 Dalam menyusun tulisan ilmiah ini, bentuk penelitian
yang kami gunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Metode penelitian Yuridis
Normatif merupakan proses penelitian untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum
yang sedang diteliti.4 Bentuk penelitian ini saya lakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka, baik sumber primer yaitu peraturan perundang-undangan dan sumber sekunder
yaitu buku dan jurnal-jurnal hukum.5 Isu hukum yang hendak saya bahas dalam makalah
ini yakni terkait penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang pertanahan,
maka metodenya yang tepat untuk digunakan adalah metode normatif. Penelitian yuridis-
normatif yang saya lakukan dalam tulisan ilmiah ini difokuskan dalam pencarian bahan-
bahan berupa: teori, konsep, asas hukum serta peraturan hukum yang berhubungan
dengan pokok bahasan yaitu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang
pertanahan. Penarikan asas-asas hukum terkait dari peraturan yang berlaku dalam metode
yuridis normatif ini dapat dilakukan terhadap hukum positif yang tertulis, dan
dirumuskan baik secara tersurat maupun tersirat.
- Tipologi Penelitian
Tipologi Penelitian adalah sudut perspektif peneliti yang dipakai dalam
melaksanakan penelitian yang akan menentukan tata cara dan tujuan penelitian yang akan
dilakukan sesuai dengan tipe penelitiannya. Sudut tipologi penelitian yang digunakan
dalam tulisan ini adalah berdasarkan sifat penelitian tersebut, yaitu bersifat deskriptif.
1
Simanjuntak, Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2018), hlm 22-23
2
Indonesia, Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.
3
Indonesia, Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.
4
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Primamedia Pustaka, 1999), hlm. 2.
5
Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm.
20.
Jenis deskriptif adalah dimana penelitian tersebut bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat dari individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan/atau untuk
menentukan penyebaran suatu kondisi, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan
antara suatu kondisi dengan kondisi lain yang ditemui dalam masyarakat. 6 Dalam hal ini
penulis akan menyajikan analisis terhadap ruang lingkup dari pengadilan tata usaha
negara di Indonesia. Data yang diperoleh dari penelitian ini seperti hasil pengamatan,
hasil wawancara, analisis dokumen, tidak dituangkan dalam bentuk angka melainkan
pemaparan hasil analisis data terkait pembahasan tersebut dituangkan melalui bentuk
uraian naratif.
6
Rifan Aditya, “Jenis Metode Penelitian, Selain Kualitatif dan Kuantitatif”,
https://www.suara.com/tekno/2021/09/07/200712/jenis-metode-penelitian-selain-kualitatif-dan-kuantitatif, diunggah
07 September 2021.
mempunyai otoritas.7 Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN,
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Sementara putusan yang
dipakai adalah Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu, dokumen atau bahan hukum yang dapat
membantu menjelaskan, menganalisis, dan menerangkan lebih lanjut terhadap
bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah
dan bahan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bentuk-
bentuk dari bahan hukum sekunder tersebut akan digunakan di dalam penelitian
ini guna membantu penulis dalam menganalisis dan melandaskan teori terkait
pembahasan dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu, bahan hukum yang berperan sebagai pelengkap
dalam penelitian dan membantu memberikan penjelasan atau memberikan
petunjuk dan pedoman dalam menelusuri bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 8 Selain itu Bahan hukum
tersier juga meliputi abstrak, bibliografi, buku pedoman, buku petunjuk, biografi,
ensiklopedia, kamus, indeks, penerbitan pemerintah, peta atau atlas, dan
timbangan buku atau book review. Salah satu bentuk bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk mengukur data yang
hendak dikumpulkan. Alat pengumpulan data tidak terlepas dari metode pengumpulan
data yang digunakan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen. Penulis lebih menitikberatkan pada studi dokumen karena bentuk
penelitian yang digunakan adalah bentuk kepustakaan dengan sumber data yang
7
Vigih Hery Kristanto, Metodologi Penelitian, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah karya Vigih Kristanto,
(Yogyakarta: Deepublish, 2018).
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 35.
digunakan yaitu data primer. Dengan ini maka pengumpulan data dilakukan dengan cara
menelusuri dan menganalisis putusan serta peraturan perundang-undangan, menganalisis
dan membaca buku-buku dan sumber lainnya yang relevan dengan pembahasan yang
diangkat sebagai topik tulisan ilmiah ini yaitu Analisis Putusan PTUN Bandung No.
101/G/2021/PTUN-BDG terkait penyelesaian sengketa tanah.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan suatu metode yang digunakan guna memproses
kumpulan data agar mendapatkan suatu informasi. Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis secara kualitatif yang mana merupakan suatu
metode yang dipakai untuk memproses dan mengolah data bukan angka, yang kemudian
disebut sebagai data kualitatif. Penelitian dengan metode analisis ini menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata yang tertulis9 sehingga tidak menghadirkan penggunaan alat-
alat statistik dalam penelitian kualitatif10 Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan
cara menganalisis bahan hukum berdasarkan putusan, peraturan perundang-undangan,
konsep, teori, pandangan para ahli hukum maupun menurut pandangan penulis, kemudian
dilakukan interpretasi untuk menarik suatu kesimpulan dari permasalahan penelitian ini. 11
Penelitian ini akan lebih menekankan pada analisis saya terhadap putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG dalam menyelesaikan sengketa sertifikat hak
kepemilikan atas tanah. Metode analisis data kualitatif digunakan dengan pertimbangan
atas kelebihan dari hasil analisis metode ini yang akan lebih mendalam dibandingkan
dengan hasil analisis dari metode analisis data kuantitatif.
1.4 . Sistematika Penulisan
Adapun dalam artikel ini, bagian-bagian yang tercantum meliputi pendahuluan
(yang berisi latar belakang, rumusan masalah), metode penelitian serta sistematika
penulisan, pembahasan yang berisikan landasan teori dan analisis putusan, serta
kesimpulan, saran dan daftar pustaka.
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
10
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 25.
11
I Ketut Suardita, SH. MH., Pengenalan Bahan Hukum (PBH), (Bali: 2017).
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut pendapat para ahli apa yang disebut sebagai pengadilan dan peradilan, Menurut
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio Pengadilan adalah badan yang melakukan peradilan yang
memeriksa dan memutus sengketa hukum dan pelanggaran hukum, Sedangkan peradilan adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan negara yang menjalankan tugasnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Menurut Sjachran Basah, istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau
wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan adalah proses untuk memberikan
keadilan.
1. Adanya aturan hukum yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu
persoalan
Untuk menjaga kepastian hukum materiil suatu sengketa badan peradilan harus memperhatikan
proses peradilan dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Di
dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan
pada zaman kolonial Belanda dimana walaupun tidak ada peradilan khusus TUN tapi pada saat
zaman Hindia Belanda, sengketa yang melibatkan pejabat negara diadili oleh hakim perdata atau
lembaga kuasi peradilan,lalu pada saat masa kolonial berakhir, sistem kekuasaan kehakiman
mulai berubah di awali dengan TAP MPRS No. II Tahun 1960. Kemudian pada Pasal 7 ayat (1)
UU No. 19 Tahun 1964 yang mengatur ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang mencakup
ranah peradilan tata usaha negara. Kemudian disahkan UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman, kemudian disahkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. 12
Peradilan tata usaha negara merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan keadilan
dalam hukum, peradilan tata usaha negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dengan warga negaranya, dalam hal ini sengketa yang timbul akibat tindakan
pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara, Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi Negara diperlukan untuk melindungi rakyat, sebenarnya tidak hanya
untuk perlindungan hak-hak individu tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak publik pada
umumnya dan juga tempat kontrol oleh publik atau pemerintah- pengawasan kebijakan yang
dikeluarkan.
Dalam pasal 1 angka 11 undang-undang no. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa
“Gugatan adalah permohonan yang berisi permohonan banding terhadap suatu badan atau
12
Soerjono Soekanto dan Sri Muji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 13.
Dalam undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ada dua
kategori syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perkara, jika tidak terpenuhi akan
mengakibatkan suatu perkara tidak tuntas, kategori syarat tersebut adalah syarat formil dan
syarat materiil.
Syarat Formil
Berdasarkan pasal 47 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa,
Adapun syarat formil gugatan, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara harus memenuhi kompetensi absolut dan relatif. Yurisdiksi absolut adalah yurisdiksi
badan peradilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu dan tidak mungkin diperiksa oleh badan
peradilan lainnya. Sedangkan yurisdiksi relatif sesuai dengan asas Actor Sequitor Forum Rei
Dalam wilayah hukum mutlak Peradilan Tata Usaha Negara, obyek dan obyek sengketa PTUN
Tentang obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dapat menjadi penggugat
sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah setiap badan hukum, baik perseorangan
maupun badan hukum yang berpendapat bahwa kepentingannya dirugikan oleh dikeluarkannya
suatu keputusan tata usaha negara oleh suatu badan tata usaha negara atau suatu resmi di Pusat
atau di Daerah. Sedangkan terdakwa, menurut pasal 1 angka 6 undang-undang no. 5 tahun 1986
tentang peradilan tata usaha negara adalah terdakwa adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan putusan atas dasar kewenangan yang ada atau yang dilimpahkan kepadanya.
Selanjutnya, pihak ketiga yang berkepentingan juga dapat dikenakan PTUN sesuai dengan pasal
83 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang TAR Negara, yang menetapkan bahwa dalam
pemeriksaan pendahuluan, setiap orang yang berkepentingan terhadap sengketa pihak lain untuk
diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsanya sendiri dengan mengajukan permohonan,
maupun atas prakarsa hakim, dapat melakukan sengketa tata usaha negara, dan bertindak
sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa. Selanjutnya pasal 118 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang TAR Negara mengatur
bahwa apabila pihak ketiga yang tidak pernah ikut atau terlibat dalam pemeriksaan sengketa,
maka pihak ketiga tersebut berhak menentang pelaksanaan putusan pengadilan kepada
Setelah itu, objek sengketa dalam PTUN menurut Pasal 53 ayat (1) Undang Undang No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, sesuai
dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yaitu “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”13. Mengenai keputusan TUN yang bersifat fiktif atau tidak
dikeluarkannya putusan, Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
13
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2007)
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
yang dimaksud.
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah
lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau
keputusan penolakan. 14
Adapun yurisdiksi relatif Peradilan Tata Usaha Negara, asas Forum Aktor Sequitor Rei
diatur dalam pasal 54 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
mengatur bahwa perkara sengketa tata usaha negara diajukan ke pengadilan yang berwenang
yang wilayah hukumnya adalah domisili tergugat. Selanjutnya pasal yang sama juga menyatakan
bahwa:
(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
14
Yoni Ardianto, “Memahami Metode Penelitian Kualitatif”,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12773/Memahami-Metode-Penelitian-Kualitatif.html diunggah pada
06 Maret 2019
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum
(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang
kediaman Penggugat.
(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka gugatan
dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterima dan
15
Indonesia, Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun
1997, TLN No. 3696.
Syarat Materiil
Syarat-syarat materiil pengajuan perkara tata usaha negara yang diuraikan oleh Martiman
Prodjohamidjojo yang dapat dilihat dalam buku karya W. Riawan Tjandra halaman 60, perkara
● Dasar perkara: yaitu peristiwa atau hal-hal yang terjadi. merupakan dasar gugatan, itulah
● Pengaduan: atau yang diminta berupa: tuntutan pokok dan tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi.
Berdasarkan pasal 56 undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
gugatan yang diajukan oleh penggugat harus memenuhi syarat formil dan materiil. Oleh karena
itu mengenai hal tersebut perlu diperhatikan cara pembentukan posita dan petitum aduan yang
dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 undang-undang no. 5 Tahun 1986 atau tidak diterbitkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 undang-undang no. 5 Tahun 1986 Keputusan Tata
● Argumen posita harus mengarah pada menyatakan aplikasi tidak sah atau tidak sah
pouvoir (Pasal 53 ayat 2 huruf b UU No. 1986), willekeur (Pasal 53 ayat 2 huruf c UU
No. 5 Tahun 1986), bertentangan dengan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik
● Dalam menjelaskan dasar banding, harus dijelaskan dengan hati-hati, jelas dan lengkap,
A. Petitum hanya menyangkut dua hal (pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986):
B. Pokok Permohonan yang memuat permohonan pembatalan atau ketidakabsahan TUN yang
Dalam menyusun Posita dalam surat gugatan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
c. Bahasa baku, artinya menggunakan kalimat yang sederhana, singkat, jelas, dan
tegas;
fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal, akan membawa akibat hukum
h. Menyusun posita dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum, hal ini guna
sebagai berikut:
a. Kesesuaian atau sinkronisasi dengan posita, artinya alasan yang telah diuraikan
b. Tidak kontradiktif, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun
c. Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak yang terlibat dalam
perkara;
d. Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas dan tegas agar
e. Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi tentang perintah untuk tidak
berbuat;
f. Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin dalam posita, dan diberi
nomor urut.
Persyaratan materiil lain untuk mengajukan gugatan tata usaha negara adalah pokok
sengketa. Menurut susunan kata pasal 47 undang-undang no. 5 tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 10
UU No. 51 Tahun 2009 bahwa obyek sengketa Tata Usaha Negara merupakan ketentuan
administrasi Negara.Pengertian obyek sengketa lebih lanjut dijelaskan dalam UU No. 51 tahun
2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Pasal 1 angka 9 mengatur pengelompokan dalam keputusan tata usaha negara, atau
Keputusan Tata Usaha Negara Positif, atau penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang memuat tuntutan hukum tata usaha negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, konkrit, individual, dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi orang atau badan sipil, kemudian kriteria keputusan tata usaha negara dapat
1. Penetapan tertulis. Yang dimaksud dengan "tertulis" tidak hanya harus berupa suatu
ketentuan formal yang memuat pembukaan dan diktum, tetapi juga dapat berupa: Catatan
Dinas, Perintah, Memo, dan lain-lain, sepanjang dibuat secara tertulis dan jelas memuat
6. Orang perseorangan, dalam arti bahwa keputusan Tata Usaha Negara ditujukan kepada
orang perseorangan tertentu (menyebutkan nama dan identitas orang tertentu atau badan
hukum perdata);
7. Definitif, dalam arti bahwa keputusan Tata Usaha Negara bersifat definitif, mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mempunyai akibat hukum, bukan merupakan keputusan yang
masih menunggu persetujuan dari badan/pejabat yang berwenang atau oleh subyek lain;
8. Menimbulkan akibat hukum bagi orang perdata atau badan hukum, akibat hukum yang
ditimbulkan dapat mempengaruhi orang perdata atau badan hukum yang namanya
tercantum dalam keputusan administrasi negara atau pihak ketiga yang meyakini bahwa
Setelah itu pasal 3 ayat (1) menetapkan keputusan tata usaha negara fiktif, yaitu
keputusan tata usaha negara yang seharusnya dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara
sesuai dengan kewajibannya, tetapi tidak dikeluarkan sehingga merugikan orang sipil. atau
badan hukum dan Pasal 3 Ayat (2) mengatur tentang putusan-putusan tata usaha negara yang
bersifat negatif, yaitu putusan-putusan tata usaha negara yang diminta oleh seorang atau badan
hukum kepada badan/pejabat tata usaha negara, tetapi tidak dijawab atau dikeluarkan oleh
negara. instansi/pejabat
Mengenai pokok perkara dalam Sertifikat Kepemilikan Hak atas Tanah dalam ranah Pengadilan
Tata Usaha Negara, mengatur dari segi administratif, walaupun bersinggungan dengan ranah
Hukum Perdata, namun dalam peradilan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa nya
adalah Sertifikat Kepemilikan hak atas tanah yang dikeluarkan pejabat PTUN, Dalam UU
Agraria bahwa mengatur untuk diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum, , pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang diubah menjadi Peraturan Pemerintah
Pendaftaran Tanah diundangkan karena merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh Indonesia sebagaimana
Dalam sengketa sertifikat kepemilikan hak atas tanah, yang diperiksa oleh pengadilan
apakah suatu sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan pejabat berwenang sudah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, kemudian Pengadilan Tata Usaha Negara akan menetapkan siapa
yang memiliki hak dan kewenangan yang sah secara hukum kewenangan untuk menyatakan
suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun membatalkan suatu sertifikat tanah.17
pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Umum. Kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam
pelaksanaannya seringkali bersinggungan. Pada satu pihak Peradilan Umum mengadili suatu
perkara perdata di bidang pertanahan yang berkaitan dengan aspek hak atas tanahnya, di mana
sertifikat hak atas tanahnya sebagai salah satu alat bukti. Kemudian, pada pihak lain Peradilan
16
Dewi Asimah, Implementasi Perluasan Kompetensi PTUN Dalam Mengadili Tindakan Faktual (Jakarta:2020)
Jurnal Kenotaritan Vol 1 hlm. 155-159
17
Marten Bunga. (2018). Tinjauan Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Menyelesaikan Sengketa Tanah. Gorontal Law Review. Vol. 1. No. 1. h. 42
Tata Usaha Negara juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
yang berkaitan dengan aspek prosedur pendaftaran tanahnya, di mana sertifikat, Surat
Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang dimaksud sebagai
objek sengketanya menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004)18
2.2 Kasus
MELAWAN:
Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok berkedudukan di Komplek Sub Perkantoran Kota Depok,
Jl. Boulevard Raya Kota Kembang, Grand Depok City, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat yang
mana pada sengketa ini memberikan Surat Kuasa Khusus Nomor
51/SMU-MP-02.03-32.76/IX/2021 tanggal 20 September 2021 yang terdiri atas:
18 Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 13.
3. Murdianto Hendro Sakti, S.H.
4. Martha Dormauli Lumban, A.Md.
dan
PT. Pakuan Tbk. berkedudukan di Sawangan Golf Hotel & Resort, Jalan Raya Muchtar,
Sawangan, RT. 02/RW. 07, Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kota Depo, Provinsi
Jawa Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utama yakni Erick Wihardja seorang
Warga Negara Indonesia, berdomisili di Graha Sunter Pratama Blok Q No. 9, RT. 017/RW. 002,
Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara yang kemudian memberikan
surat kuasa khususnya kepada para advokat dari kantor Advokat Bumame & Associate Law firm,
beralamat pada Plaza Sentral Lt. 14, Jalan Jendral Sudirman No. 47-48, Jakarta Selatan, yang
kesemuanya berkewarganegaraan Indonesia pada tanggal 30 September 2021 untuk diwakili oleh
kuasa nya, yaitu:
2.2.3 Analisis
Syarat formil suatu gugatan pengadilan tata usaha negara pada dasarnya
mencakup siapa yang menggugat dan tenggang waktu untuk menggugat. Berdasarkan
Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dalam mengajukan gugatan harus mencantumkan identitas dan tenggang waktu.
Selain itu, proses harus diberi tanggal dan ditandatangani serta yang dapat mengajukan
gugatan adalah orang perseorangan atau badan hukum perdata. Dalam memenuhi syarat
formil, sebuah gugatan harus mencantumkan identitas pihak atau pihak yang
meliputi nama lengkap, kebangsaan, tempat tinggal dan pekerjaan. Identitas terdakwa
meliputi nama lengkap, kedudukan dan tempat tinggal terdakwa. Mengenai tenggang
Peradilan Tata Usaha Negara telah mengatur bahwa gugatan hanya dapat diberikan
tenggang waktu sembilan puluh hari sejak tanggal diterimanya atau diumumkannya
Tahun 2014 juga merupakan regulasi yang perlu mendapat perhatian. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang
menjadi kewajiban, maka setelah lewat batas waktu tersebut akan sama dengan
Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini dapat diajukan gugatan tata usaha negara
serta sebuah gugatan juga harus diberi tanggal. Hal ini berkaitan dengan jangka waktu
pengajuan gugatan. Dengan menulis tanggal, Anda dapat mengetahui apakah gugatan
telah berakhir dan diakhiri dengan tanda tangan. Sebuah gugatan harus ditandatangani
oleh penggugat atau kuasa hukumnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat 1
HIR Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara
dilampirkan surat kuasa yang sah. Surat kuasa dapat diberikan dalam bentuk surat kuasa
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa syarat formal yang harus dipenuhi
nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat, dasar gugatan dan hal
identitas dari pihak penggugat dan tergugat, hal ini didasari dalam Pasal
56 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.
Identitas dari pihak penggugat dan tergugat harus tertulis secara lengkap
tinggal atau domisili pihak yang berperkara. Jika hal ini dilakukan oleh
tergantung pada kabupaten atau kota tempat tinggal penggugat; jika dibuat
oleh kuasa hukum, lokasi atau tempat tinggal tergantung pada tempat
gugatan.
penanganan kasus dan untuk keseragaman model dari surat gugatan, hal
ditulis dan dalam Putusan tersebut identitas nya adalah Ida Farida yang
merupakan seorang berkewarganegaraan Indonesia yang mempunyai
Depok, Jl. Boulevard Raya Kota Kembang, Grand Depok City Kota
Kemudian terdapat juga Tergugat II Intervensi yaitu PT. Pakuan Tbk yang
Kota Depok, Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Direktur Utama PT.
Pakuan Tbk yakni Erick Wihardja dan memberikan surat kuasa khusus
kuasa hukumnya dari Bumame & Associate Law Firm yang berada di
Plaza Sentral Lt.14, Jl. Jend. Sudirman No.47-48, Jakarta Selatan yaitu
M.H., Bram Mohammad Yasser, S.H., M., Aprilia Dwi Paramita, S.H.,
M.H., Tomi Hermayudha, S.H., Gleshya Regita Putri My Made, S.H.,
M.H.
Depok;
Kota Depok;
Kota Depok;
Kota Depok;
pecahannya yaitu :
disebutkan diatas.
6.000), dan tanggal, bulan, dan tahun di atas materai sesuai dengan tanggal
pengajuan Permohonan, dan pada saat yang sama harus dibubuhi tanda
tangan pada bagian bea materai dan dibubuhi nama penggugat atau atasan
wakilnya.
atau kuasa hukumnya yang diberi kuasa khusus untuk menangani perkara
di persidangan Pasal 118 ayat 1 dan pasal 123 ayat 1 HIR. Gugatan yang
tergugat. Jika gugatan yang diajukan oleh penggugat atau melalui kuasa
pengadilan oleh hakim yang memeriksa dan telah terjadi replik dan duplik,
maka kelemahan tersebut dapat dijadikan alasan yang sah oleh pihak
tergugat bahwa gugatan penggugat tidak sah dan dapat batal demi hukum.
Dalam hal ini, penggugat tidak diwakili oleh kuasanya dalam membuat
gugatan.
PTUN didasari pada Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 6 Tahun 2018 tentang
hari pengajuan gugatan ke PTUN terkait dengan kasus posisi diatas yaitu:
Tergugat II intervensi
Dari objek sengketa tersebut dapat diketahui bahwa Keputusan
TUN tersebut terbit pada tanggal 23 Juli 2021. Dan gugatan penggugat,
yaitu:
-------------------------------------------------------------- +
90 hari
pada 21 Oktober 2021 yang mana hari tersebut adalah batas hari terakhir
dinyatakan sah atau memenuhi syarat. Yang diatur dalam Pasal 55 PTUN.
Jika tata cara pembuatan surat gugatan tidak benar dan tidak tepat
pada saat gugatan diajukan, serta syarat formil dan syarat materiil yang
dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard. Surat gugatan yang tidak
dapat diterima adalah putusan hakim dalam hal ini litigasi yang dianggap
tidak dapat diterima adalah keputusan akhir yang negatif. Ada banyak
alasan mengapa gugatan tidak dapat diterima karena catatan formal, yaitu
surat kuasa yang diajukan tidak sah, gugatan diajukan oleh pihak yang
daluwarsa.
Setelah melihat teori mengenai syarat materiil bisa dipastikan bahwa benar yang menjadi
objek sengketa sesuai yang diatur dalam UU PTUN, memang benar terdapat titik singgung
antara Hukum Perdata maupun Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, namun yang dijadikan
objek gugatan oleh penggugat adalah keabsahan terhadap penerbitan Sertifikat HGB yang
menjadi objek gugatan. Menilai bahwa secara runut telah ditelusuri bahwa dengan adanya
sertifikat yang diterbitkan oleh tergugat jelas menimbulkan kerugian bagi penggugat, hal tersebut
sesuai dengan apa yang diatur dalam syarat materiil gugatan, dan dapat diakui bahwa objek
Tekait dengan titik singgung dalam Praktik mengenai hubungan hukum perdata dan
administrasi terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 88 K/TUN/1993 yang dapat ditarik
suatu kaidah hukum yaitu, walaupun penerbit Surat Keputusan terkait kepemilikan hak atas
tanah diterbitkan oleh Pejabat TUN namun terkait kepemilikannya harus terlebih dahulu
Menilai terkait kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam kasus ini pun juga sudah
masuk memang ke dalam kewenangan PTUN karena memang yang dipermasalahkan memang
terkait kewenangan administratif yang dilakukan penggugat yang kemudian dampaknya telah
Keputusan yang telah diterbitkan oleh Tergugat, dan menerbitkan Surat Keputusan terkait obyek
gugatan kepada Penggugat. Menilai dari apa yang dimohonkan penggugat juga sesuai dengan
Dalam UU Agraria diatur mengenai Pendaftaran Tanah, yang kemudian diatur juga
dalam PP 24/1997. Dalam hal ini tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan yang telah
merugikan Penggugat, yang dimana dalam kasus ini telah melanggar Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB),yakni Asas Kepastian Hukum. Dengan adanya SK KINAG
yang diajukan sebagi bukti oleh penggugat dan dengan terbitnya Sertipikat HGB atas nama PT.
Pakuan, maka jelas adanya kesalahan dari tergugat selaku pejabat yang berwenang hal ini tentu
menimbulkan kerugian bagi Penggugat, yang merasa haknya telah dirampas, dan dengan adanya
sertipikat tersebut timbul tumpang tindih antara obyek gugatan dan bukti–bukti yang telah
diajukan Penggugat.
selaku penulis memang benar adanya kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat, karena adanya
dua sertipikat yang menyatakan kepemilikan tanah yang dimiliki oleh dua pihak yang berbeda
yakni Penggugat dan Tergugat. Maka dari itu secara materiil memang ada kesalahan yang
dilakukan oleh Pejabat TUN yang berwenang dan adanya kerugian yang timbul dari
Dalam amar putusan Hakim mengadili bahwa gugatan tidak dapat diterima, dengan
alasan ne bis in idem, karena pernah diputus dalam perkara yang sama dalam peradilan TUN
yang dimana hasil putusannya bersifat ne bis in idem, maka dari itu gugatan yang diajukan
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Untuk dapat mengajukan gugatan sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan
Penggugat wajib memenuhi syarat formil dan materiil. Kedudukan Penggugat dan Tergugat
sebagai subjek hukum atau gugatan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam syarat formil.
Berdasarkan pembahasan di analisis kami, diketahui bahwa identitas pada diri Penggugat dan
Tergugat telah terpenuhi secara lengkap. Penggugat adalah orang perseorangan atas nama Ida
Farida, sedangkan Tergugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok yang merupakan
pejabat yang mengeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Pakuan Tbk , yang
berkedudukan di Kota Depok; HGB tersebut dianggap merugikan bagi Penggugat. Adapun
syarat formil pengajuan gugatan juga memuat bahwa gugatan PTUN diajukan dalam bentuk
tertulis. Syarat tersebut terpenuhi karena dalam putusan ini diketahui gugatan Penggugat
diajukan secara tertulis pada 3 September 2021.
Syarat formil selanjutnya adalah terkait kompetensi pengadilan, yaitu kompetensi relatif
dan absolut. Mengenai kompetensi relatif, pengajuan gugatan telah dengan benar diajukan ke
domisili Tergugat yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Adapun sengketa ini
disebabkan oleh dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum
bagi Penggugat yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Pakuan Tbk. Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini termasuk kompetensi absolut Pengadilan
Tata Usaha Negara yaitu sengketa pertanahan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU 9
Tahun 2004 jo UU 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. `Namun, perkara
tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan yang sama, sehingga bahwasannya Putusan PTUN
Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima,
dikarenakan gugatan bersifat nebis in nidem,. Meskipun secara materiil memang keputusan TUN
itu melanggar asas kepastian hukum, hanya gugatan itu sudah pernah diajukan sebelumnya,
sehingga syarat formil tidak dapat terpenuhi.
Syarat selanjutnya adalah syarat materiil yang meliputi dasar gugatan (Posita) dan
tuntutan (Petitum). Posita merupakan dasar gugatan yang harus dicantumkan oleh Penggugat
secara detail dan sejelas mungkin. Putusan PTUN Bandung No. 101/G/2021/PTUN-BDG telah
menyebutkan bahwa Objek Gugatan dalam Surat Gugatan adalah Sertifikat Hak Guna Bangunan
atas nama PT. Pakuan Tbk yang mana menurut penggugat telah melanggar asas-asas
pemerintahan yang baik menurut ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Asas-asas yang dilanggar pada UU No. 30 Tahun 2014 tersebut mengenai asas
kepastian hukum. Menurut pertimbangan hakim secara materiil memang ada kesalahan
yang dilakukan oleh Pejabat TUN yang berwenang dan adanya kerugian yang timbul dari
kesalahan tersebut yang merugikan tergugat. Mengacu pada pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa meski syarat formil tidak dipenuhi, syarat materiil dalam gugatan ini sudah
dipenuhi oleh penggugat dalam pengajuan gugatan.
3.2 Saran
Peradilan tata usaha negara di Indonesia harus disertai dengan prosedur yang jelas dan
bisa diterima dan dilalui oleh setiap orang yang menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Begitu pula dalam mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara baik penggugat dan
tergugat haruslah memahami syarat formil dan materiil dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Hal
ini agar proses peradilan bisa berjalan dengan baik dan baik penggugat dan tergugat bisa
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Pratiwi, Cekli S., et al. Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Vigih Hery Kristanto, Metodologi Penelitian, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah karya
Vigih Kristanto, (Yogyakarta: Deepublish, 2018).
Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982)
Jurnal
Gunawan, Andy. Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Menyelesaikan
Sengketa Hukum Acara Tata Usaha Negara. Jurnal Analogi Hukum Vol. 1 No. 1 (2019)
Solechan. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Pelayanan Publik. Administrative
Marten Bunga. Tinjauan Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah. Gorontalo Law Review. Vol. 1. No. 1 (2018)
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun 1986, LN
Putusan pengadilan