PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
PENDAHULUAN
Hukum merupakan hal yang menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya
melibatkan ahli hukum dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik perhatian
berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat dikarenakan hampir tidak ada
celah dalam kehidupan yang tidak diintervensi oleh norma hukum. Seiring dengan
pengendali sosial untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat yang
adil gender.1
hukum menjadi persoalan serius bagi masyarakat Indonesia, ini dapat menimbulkan
dampak-dampak serius dalam sistem hukum di Indonesia yang masih banyak terjadi
terhadap hukum, baik itu pembaharuan dari sisi pelaksanaan hukum, aturan hukum,
maupun lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Sehingga negara ini mampu mencapai
keadilan yang tidak memihak, serta mencapai kesejahteraan dan kualitas keamanan
yang baik.
relasi kuasa yang timpang, substansi dan struktur hukum di Indonesia yang bias
1
Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan sistem Hukum, ( Jakarta: Nusa Media, 2010), h.9.
1
2
gender dan tidak memihak pada perempuan tidak terlepas dari budaya patriarki yang
bagaimana sistem hukum dapat diterapkan dalam budaya yang sudah ada dalam
masyarakat, oleh karena itu tidak mengherankan jika struktur dan substansi hukum di
halus. Sensitif dan sifat feminim lainnya membuatnya tidak memiliki kesempatan
sama dengan laki-laki. Sehingga pihak yang tertindas merasa tidak sadar pada
kenyataan itu sehingga sampai menjadi kebiasaan, tidak hanya kaum laki-laki kaum
berpendapat bahwa hal tersebut sudah tidak perlu untuk di koreksi hal ini dianggap
sebagai kodrat ilahi yang diberikan kepada makhluknya di bumi.2 Perempuan yang
privat dan Pendapat yang tidak membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin
didasari oleh pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang secara subtantif
telah memposisikan kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan.
2
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2009), h.8.
3
Kementrian Agama RI, Al-Qu’an dan Terjemahannya (Q.S An-Nisa/4:34). h.84.
3
Terjemahnya:
“Laki-laki (Suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
dank arena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka
dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka
bagi korban. Bias gender dalam peraturan perundangan yang ada dapat diatasi dengan
keterlibatan gerakan feminism dalam hukum melalui salah satu teori hukum feminis
seharusnya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi juga terlebih kepada asas
keadilan. Namun satu hal yang dihadapi adalah kemapanan studi hukum yang telah
4
berusia berabad-abad dan yang sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan
aliran, sedangkan studi feminis baru muncul dibilang stengah abad lalu.4
Beberapa aliran yang ada dalam teori hukum, para ahli mengkategorikan
teori-teori tersebut ke dalam dua kelompok yaitu, Pertama, hukum sebagai suatu
sistem yang pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang
kondisi sistem yang sekarang. Perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh bagian-
bagian terkecil dari sistem itu dan teori yang akan menjelaskan persoalan bagaimana
adanya tanpa keterkaitan dengan pengamatannya.5
Kedua, hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur, akan tetapi
merupakan suatu yang berkaitan dengan ketidakberaturan, tidak dapat diramalkan dan
bahwa hukum sangat dipengaruhi persepsi dari pengamatanya dalam memaknai suatu
hukum tersebut. Akademis bidang hukum khususnya feminis serta anggota gerakan
Critical Legal Studies, yang mengunakan metode dekontruksi ini sebagai cara untuk
menetang hukum yang tidak berkeadilan. Mereka setuju bahwa tekhnik dekontruksi
dapat diadaptasi untuk tujuan mengkritik doktrin hukum yang tidak berkeadilan dan
Dekontruksi inilah yang dapat digunakan oleh feminis untuk merekonstruksi kembali
Dilihat dari teori hukum feminis (Feminist Legal Theory), maka hukum yang
4
Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender
(Jakarta: Pustaka Obor, 2012), h. 27.
5
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum (Refiks Aditama: Bandung, 2004). h. 47.
5
baik hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya
Asumsi dasar dari teori hukum feminis (Feminist Legal Theory) berawal dari
Brenda Cossman. Yang dikatakan bahwa hukum diinformasikan oleh laki-laki, yang
hukum yang dihasilkan adalah hukum yang bias dan dampaknya justru terjadi
ketidakadilan terhadap perempuan. Peraturan tertulis (hukum positif) di negeri ini
bias jadi hanya berperan kasta dan strata kehidupan sosial yang nyaris melenceng dari
dalam melihat bagaimana hukum itu diperaktekan. Dalam hal ini Feminist Legal
Theory memberikan penawaran terhadap perbaikan pada hukum yang selama ini
pada umumnya..
Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Covenant on Civil and Political Rights
(Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang mengatakan bahwa
melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang
dari diskriminasi, termasuk jenis kelamin atau gender. Serta Undang-Undang Nomor
6
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum “Refleksi Kritis terhadap Hukum”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012). Hal 157.
6
undang perempuan masih saja mengalami berbagai kendala dalam meraih pemenuhan
haknya yang disebebkan oleh diskriminasi dan pandangan negatif terhadap jenis
kelamin dan gender. Diskriminatif dan stereotip yang di alami oleh perempuan dalam
negatif maka semakin terbatas akses perempuan terhadap keadilan.7 Melihat kondisi
tersebut, pada tahun 2017, Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi
perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh seksualitas belaka. Hal ini nampak
misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang
7
Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesia MaPPI FHUI, Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (Jakarta: AIPJ, 2018), h. 10.
7
perkosaan pasal 285, yang mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus
perempuan pada posisi sebagai korban. Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun
2017 yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal mencapai 71% atau
9.609 kasus, sebagaian besar diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
terjadi dan terus mengancam perempuan dalam berbagai rentang usia. Namun,
korban.
kehidupan termasuk pada bidang hukum. Untuk itu tulisan ini akan membahas lebih
jauh tentang “Feminist Legal Theory dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 Tentang Mengadili Perkara Perempuan (Studi Analisis Gender dan
Hukum Islam). Tulisan ini dibahas oleh penulis sebagai bentuk kepedulian
menanggapi berbagai isu gender. Melalui berbagai penulusuran referensi penulis
mengumpulkan beberapa data kepustakaan untuk memperkuat data dalam tulisan ini
8
Harkristutu Harktisnowo, “Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap perempuan” dalam
Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Alternatif Pemecahannya, (Jakarta: Kelompok Kerja Covention Watch dan Pusat Kajian Wanita dan
Gender UI, 2000), h. 85.
8
B. Rumusan Masalah
Feminist Legal Theory dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017
Analisis Gender dan Hukum Islam), maka sub permasalahan yang ingin diteliti yakni:
hukum?
Dalam penelitian ini yang menjadi masalah dalam fokus penelitian adalah
Untuk memberikan arah yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan
di bahas, maka penulis memberikan penjelasan terhadap beberapa kata yang dianggap
penting, diantarannya:
1. Feminist Legal Theory atau teori hukum feminist adalah teori hukum
yang lahir dari pemikiran kaum feminist, yaitu suatu gerakan atau orang-
hak-hak perempuan.
Pada penelitian ini, masalah yang akan di kaji menegenai bagaimana feminist
legal theory dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 Tentang
Mengadili Perkara Perempuan. Diperlukan banyak literature dan referensi yang kuat
untuk membahas penelitian ini. Referensi yang digunakan penulis antara lain:
buku ini mengkaji perbedaan antara konsep seks atau gender dan
transformasi perempuan yang diawali dengan gerakan feminism yang
mengkaji feminist legal theory sebagai salah satu aliran dalam filsafat
10
hukum yang aliran pemikiran lahir filsafat paradiqma critical theory et.al
pengalama perempuan.
Girindra Pratiwi. Dalam jurnal ini menjelaskan teori hukum feminis yang
4. Analisis Gender dalam Hukum Islam, karya Mphd Anuar Ramli. Dalam
jurnal ini menjelaskan wacana gender dalam hukum islam isu-isu gender
5. Teori Hukum Feminis, karya Ruth Flecher. Dalam jurnal ini menjelaskan
keterlibatan feminis dengan hukum yang telah mengambil berbagai
hukum dan feminis telah terlibat secara eksplisit dengan hukum dan
Dari sekian jurnal ini, peneliti berpandangan bahwa belum ada satu
11
penelitian yang mencoba meneliti peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017
analisis Feminist Legal Theory, sehingga judul ini terasa urgen untuk diteliti.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
hukum Islam jika dilihat dari sumber datanya yang berupa buku-buku atau karya tulis
lainnya (library research) maka termasuk jenis penelitian deskripsi kualitatif.
dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai ini sifat-sifat,
karakteristik, atau faktor-faktor tertentu. dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
2. Pendekatan Penelitian
motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikannya
dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
apabila data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan
9
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Cet. VII; Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.10.
10
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 6.
12
pengukuran, data tersebut sulit diukur dengan angka, hubungan antar variable tidak
Penelitian ini berkaitan dengan sejarah, hukum dan sosial, maka studi
kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara mengumpulkan dan meneliti bahan pustaka atau yang lazim disebut
dengan data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum
normatif mencakup; 1) Bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari norma-norma
yag tidak dikodifikasi, jurisprudensi dan traktat. Bahan hukum primer seperti
Bahan hukum tertier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder berupa kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif.12
Dalam mengola dan menganalisis data sekunder tersebut digunakan metode analisis
menurut cara-cara analisis atau penafsiran (interpretasi) hukum sesuai dengan jenis
dan tujuan penelitian ini. Metode analisis hukum yang akan digunakan mencakup
normatif-yuridis.
11
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, h. 77-78
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat
(Cet. III; Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 14-15.
13
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, h. 77-78.
13
meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan
ditangani (case aproach) dilakukan dengan cara melakukan telaah kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang
a. Pendekatan historis
sehingga tidak keluar dari konteks historisnya.16 Pendekatan sejarah pada dasarnya
mengkaji dan mengungkapkan sebuah wacana yang terjadi pada periode tertentu.
masyarakat muslim.17
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
h. 13-14.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 93-95.
16
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 48.
17
Ahmad Faisal, Rekonstruksi Syariat Islam (Arus Baru Pemikiran Ulama terhadap Ide
Penegakan Syariat (Cet.I; Yogyakarta: Graha Guru, 2010), h. 13.
14
berkenaan dengan sumber dan dalil hukum yang digunakan, metode ijtihad yang
diunggulkan dan produk pemikiran ulama. Sementara itu, aspek-aspek eksternal dari
entitas kehidupan yang menjadi perhatian dan pengkajian tokoh pembaharu hukum
Islam.18 Data-data dalam penelitian ini terutama diperoleh dari buku-buku yang
menjadi bahan hukum primer, diikuti kemudian dengan data dari buku-buku
pembaharuan hukum Islam dan maqashid al-syari’ah atau literatur lain yang
Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content
analysis (analisis isi). Dalam analisis data jenis ini dokumen yang dianalisis disebut
dengan istilah ”teks” atau wujud dari representasi simbolik yang direkam atau
relevansinya.19
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet.
I; Jakarta: RajaGrafindo, Persada, 2004), h. 272.
19
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisis Metodologis ke Arah Ragam
Variasi Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 203.
15
pembahasan.
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari
a. Untuk mengetahui hakikat feminist legal theory dalam studi analisis gender dan
hukum Islam.
2. Kegunaan Penelitian
a. Manfaat teoritis
pada umumnya dan khususnya dipelajari lebih lanjut oleh kalangan pemikir
b. Manfaat praktis
diperoleh.
5) Dapat digunakan sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya
Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda
(noun) atau kata sifat (adjective) diartikan dengan kata feminism. Feminist
merupakan kata sifat (adjective) dan feminism yang berarti teori tentang kesetaraan
politik, ekonomi dan social berdasarkan jenis kelamin dan aktivitas yang diorganisasi
atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.1 Feminism berarti advokasi hak-hak
sebagai:
“A broad movement that seeks to show hoe conventional legal theory, far
from being gender-blind, ignores the position and perspective of women. Feminist
write examine the inequalities to be found in the criminal law (especially in rape and
domestic violence), family law, contract tort, property, and others branches of the
Kaum feminist menunjukkan kesenjagan yang dapat ditemukan dalam hukum pidana
(terutama dalam pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga), hukum keluarga,
1
Merriam-Webster, 2006, Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus. Merriam-Webster’s
Dictionary and Thesaurus, Incorporated Springfield, Massachusetts, h. 398.
2
Naomi, 1989, Sosial Feminism (New York: Cornell University Press). h. 19.
17
18
Feminst Legal Theory atau teori hukum feminis lahir untuk mendobrak
tatanan hukum yang timpang karena dunia yang terlampau patriarki. Para feminis ini
menyakini bahwa sejarah yang ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama
penyusunan sejarah. Sejarah itulah yang kemudian telah bias menciptakan konsep-
konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa social yang
menghasilkan logika, bahasa dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan
dapat dikatakan sebagai pengalaman particular, karena tidak semua perempuan ini
adalah sama, sehingga hal ini bersifat subjektif. Selain itu, feminist Legal Theory
sendiri adalah aliran pemikiran yang memihak kepada perempuan dalam rangka
melihat bahwa aliran ini bersifat subjektif, bukan objektif sebagaimana hukum yang
diusung oleh aliran positivism hukum.
pada pengalama perempuan, maka hal ini dapat diidentifikasi dalam telaah
epistimologis, bahwa Feninist Legal Theory bukanlah aliran pemikiran yang dinaungi
menuntun pemikiran Feminist Legal Theory adalah Critical Theory et.al. atau
Aditya Yuli Sulistyawan “Feminist Legal Theorty dalam Telaah Paradigma: Suatu
3
Pemetaan Filsafat Hukum” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47. No.1, (Januari 2018). h.57.
19
konstrutivisme. Kedua kemungkinan inilah paradigma Critical Theory et. al. lebih
hukum Feminist Legal Theory ini. Untuk menganalisis sifat, hakikat dan metode dari
feminist legal theory melalui analisi yang secara ontology, epistimologi, dan
pemikiran hukum yang bernaung dalam paradigma Critical Theory. Pertama, secara
hakikat feminist legal theory adalah aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang
menyoroti kepada hukum yang di anggap tidak adil dan diskriminatif terhadap
perempuan. Dengan demikian hukum yang dimaksud adalah realitas historis. Dalam
aspek hakikat sebagaimana onotologi paradigma critical theory, hukum yang dalam
sorotan feminist legal theory merupakan serangkaian struktur, ebagai suatu realitas
virtual atau historis yang merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang
kristalisasi nilai-nilai ekonomi, social, politik, budaya, gender, etnik, dan agama. Jadi
realitas hukum yang virtual ini diterima seperti seolah-olah benar, bahwa hukum yang
ada itu adil untuk semua orang dan tidak berpihak pada siapapun, padahal
kenyatannya adalah sebuah proses panjang di mana hukum dipengaruhi oleh budaya
patriarki, pemahaman bias gender, termasuk agama, dan yang paling dominan adalah
politik yang menentukan hukum yang dikendalikan oleh laki-laki.4
Hakikat hukum dalam pandangan feminist legal theory ini tidak bisa terlepas
dari pengaruh budaya patriarki, gender termasuk agama yang secara turun-temurun
perempuan, dalam hal ini konstruksi gender. Gender adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi oleh social maupun secara
4
Aditya Yuli Sulistyawan “Feminist Legal Theorty dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan
Filsafat Hukum” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47. No.1, (Januari 2018). h.57
20
kultural. Misalnya, perempuan harus lemah lembut, cantik, emosional, dan harus
keibuan, sedangkan laiki-laki dianggap kuat, perkasa, jantan, dan rasional. Sifat-sifat
tersebut yang sebenarnya dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki tang memiliki
sifat lemah lembut, emosional dan keibuan da nada juga perempuan yang rasional dan
kuat. Penerimaan realitas hubungan anatara perempuan dan laki-laki dalam mitos-
mitos seperti itu yang diterima seperti seolah-olah benar oleh masyarakat, padahal
Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan
sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir feminist legal
theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-
laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula dengan hukum diciptakan dan
melahirkan berbagai gerakan, pemikiran dan teory feminis, yang kemudian menjadi
1. Feminisme liberal
pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk rasional
yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan diperlukan sama
5
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berspektif Feminist. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan). h.84
21
memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-pilihan kesempatan untuk
bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama dengan laki-laki.6
laki-laki dan perempuan, mestikah mereka diperlukan sama ataukah berbeda, namun
pada akhirnya, sebagaian mereka percaya bahwa “hukum yang spesifik gender adalah
lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetraan di antara
melalui pendekatan hukum dengan cara mereformasi sistem yang ada agar
perempuan memiliki hak yang sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan
kerja.
2. Feminism radikal
karena adanya pemisahan antara wilayah privat dan public, dimana ranah privat
Keren Kate Millentt dalam bukunya “sexual Politics” berpendapat bahwa seks
karena adanya kendali dan penguasaan laki-laki terhadap dunia public dan privat,
yang disebut sebagai patriarki. Sehingga kebebeasan perempuan hanya mungkin jika
6
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought (Yogyakarta), h. 18-21
22
terutama status, peran dan temptramen seksual sebgaimana hal itu dibangun dibawah
patriarkhi. Karenanya kaum feminis radikal memiliki slogan untuk gerakan mereka
bahwa “the personal is political” (yang pribadi adalah politisi), yang artinya bahwa
sebagai penindasan yang terjadi pada ranah pribadi (privat) merupakan juga
antara kebutuhan kesetaraan feminis di satu pihak dan kebutuhan menjaga integritas
antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak selalu akan
pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan peran perempuan.
Peniindasan tersebut terjadi melalui produk politik, sosial dan struktur ekonomi yang
Mereka percaya bahwa kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik
perempuan.
7
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h.69.
8
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001). h.90-91.
23
4. Feminism kultrural/eksistensialisme
memiliki suatu yang istimewa dalam dirinya. Kemampuan perempuan untuk peduli
membawa dampak luar biasa pada identifikasi sebagai perempuan, dan juga
berdampak positif pada cara pandang perempuan terhadap dunisa. Apa yang dimiliki
karemna mengalami aliensi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa
dan perbedaan.9
9
Herien Puspitawati, Teori Gender dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga (Bogor:
Intitut Pertanian Bogor, Fakutas Ekologi Manusia, 2009) h.22.
24
Aliensi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu
pzda bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan dilihat sebagai yang lain,
yang memiliki perbedaan cara berada, berfikir dan berbahasa yang berbeda dari laki-
laki.
aturan laki-laki yang sangat maskulin. hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap
lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam, ekofeminisme
berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis
da nisi ekologi.
Asumsi dasar dunia dibentuk oleh bingksi pikir konseptual patriarchal yang
Cara berfikir patriarki yang hirarkhis dan opresif merusak perempuan dan
alam. Hal ini karena perempuan dinaturallisasi, ketika digambarkan melalui acuan
terhadap binatang, missal sapi, anjing betina, serigala, ptak kuda dll. Demikian pula
10
Herien Puspitawati, Teori Gender dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga (Bogor:
Intitut Pertanian Bogor, Fakutas Ekologi Manusia, 2009) h.26.
25
melawan kekerasan seksual dan feminisasi pekerja rumah tangga. Melalui beberapa
sebagai seorang perempuan. Salah satu prinsip feminisme yang kemudian menjadi
terhadap perempuan.12
11
J Wallach scott (eds), Feminisme Berteori Politik (new York, Routledge, 1992) h. 22-40
12
C. Mackinnon, “Peningkatan Kesadaran” dalam dirinya menuju Teori Negara Feminis
(Cambridge: Harvard University Press, 1989) h. 83-105
26
pengetahuan tentang perempuan baik itu untuk kepentingan diri sendiri, terkang juga
memainkan peran strategis dalam memberikan bukti agensi perempuan yang dapat
yang beragam dan dapat merespon situasi dengan cara yang lebih kreatif. Dengan
berbagai aktivitas ini dapat menciptakan ruang bagi perempuan untuk berbagi
eksplisit dan menghasilkan praktik feminis yang lebih refleksif. Mereka berkontribusi
bagaimana asumsi tentang perilaku yang pantas untuk laki-laki maupun perempuan
yang dirumuskan dan dipertahankan sampai hari ini. Untuk mengkaji hal itu para
feminis mulai mengadopsi perbedaan jenis kelamin atau gender sebagai alat analis.14
Seks dipahami sebagai status biologis laki-laki dan perempuan. Kedua jenis
kelamin ini dibedakan satu sama lain dengan mengacu pada organ seksual dan
reproduksi. Kehadiran penis dan testis mempuat seseorang bergender sebagai laki-
14
A. Oakley, Seks, Gender dan Masyarakat (1972), P. Caplan, Kontruksi Budaya Seksualitas
(London, Routledge, 1987), h. 88.
27
perempuan. Gender di sisi lain dipahami mengacu pada status social laki-laki dan
perempuan. Gender juga dibedakan dengan mengacu pada peran social maskulinitas
dan feminitas. Apakah seseorang berjenis kelamin maskulin atau feminism yang
bergantung pada praktik yang diadopsi seseorang dalam memainkan peran sosialnya.
laki-laki dan perempuan seharusnya berbeda karena secara seksual berbeda dalam
pengertian bilogis mereka. Misalnya para feminis ini dapat membuat argument bahwa
hanya karena dia seorang perempuan secara biologis mampu untuk hamil dan
melahirkan tidak berarti bahwa ibu kandung harus memiliki tanggung jawab social
perbedaan jenis kelamin. Seks tidak membuat pria tidak mampu mengganti popok
otonomi terntentu dalam menentukan peran social yang dianggap sesuai bagi laki-laki
dan perempuan. Jika gender sebagai struktur social bertanggung jawab atas definisi
peran maskulin dan feminine, maka itu bisa ditantang dan diubah. Sosiolog
seharusnya dari tanggung jawab perempuan untuk tugas-tugas rumah tangga dan
gender ini, para feminis berpendapat bahwa potensi perempuan tidak dibatasi oleh
15
P. Caplan, Kontruksi Budaya Seksualitas (London, Routledge, 1987), h. 91.
28
apa yang disebut takdir biologis. Satu-satunya penghalang bagi perempuan untuk
dikembangkan bahwa mereka tidsk bisa memenuhi tugas itu. jika masyarakat tersebut
Secara keseluruhan wanita akan dirugikan dan pria diuntungkan oleh berbagai
mengalihkan fokus dari perempuan ke institusi dan ideologi, wacana yang membatasi
potensi perempuan, gender tidak hanya terjadi hanya pada perempuan saja, tetapi
terjadi pada laki-laki. Dari pada hanya mengidentifikasi laki-laki sebagai penyebab
1. Hukum Positif
Di Indonesia menganut positivism hukum yaitu tidak ada hukum lain kecuali
pemerintah penguasa atau norma hukum adalah sah apabila ditetapkan oleh lembaga
atau otoritas berwenang yang didasarkan pada aturan lebih tinggi bukan digantungkan
pada nilai moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-undang,
yang dianggap bahwa setiap gerak kehidupan perlu untuk diubah karena disesuaikan
dengan keberadaan global kalau tidak mau dianggap kuno. Peraturan tertulis atau
29
hukum positif negeri ini bias jadi hanya berberan dalam strategi kehidupan sosial dan
pemisahan seks dari gender. Mereka menyebutkan suatu hubungan dialektis antara
keduanya yang dilihat sebagai suatu interaksi diantara keduanya. Keduanya tidak
sama sekali saling terpisah, namun dikatakan bahwa dikhotomi patriarki mmencegah
kita dari melihat komponen lain dari yang saling berhuungan ini.17
bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah
tangga antara pria dan perempuan) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia,
Berbeda dengan para pemikir hukum feminis bahwa hal demikian dianggap
mungkin dilakukan kerena para feminis melihat kaitan antara hukum dengan relasi
kuasa yang tak setara anatara perempuan dan pria. Bagi para feminis, hukum yang
diyakini netral dan objektif oleh teori positivism hukum sebenarnya tidak mungkin
ada. Sebab disadari satu atau tidak berbagai hukum tersebut dibuat dalam perspektif
patriarki dan dengan demikian lebih melindungi pria dari pada perempuan.18 Bahkan
hukum-hukum seperti itu justru membenarkan ketidak setaraan pria dan perempuan,
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum “Refleksi Kritis terhadap Hukum”, (Jakarta: PT.Raja
16
kawin. Dan dengan demikian memungkinkan istri mandiri secara ekonomi dari
suaminya, namun kemandirian ini segera disangkal oleh pasal 140 KUHperdata yang
menyatakan “perjanjian kawin” tersebut tidak boleh mengurangi segala hal yang
didasarkan kepada suami sebagai suami. Barang tentu yang dimaksud oleh pasal 140
kuhperdata dengan “hak yang disadrkan kepada suami sebagai suami” adalah pasal
205 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepada persatuan suami istri” dan
dengan demikian “suami wajib menjadi wali istrinya untuk menghadap ke hakim
(melakukan perbuatan hukum)”. Selain itu juga dinyatakan, bahwa “suami wajib
mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya (kecuali dinyatakan lain dalan
perjanjian kawin) tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus
tangankan harta persatuan (harta yang diperoleh bersama selama perkawinan) tanpa
perempuan dianggap sebagai mmakhluk tubuh seksualita belaka. Hal ini Nampak
misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah perkosaan
(pasal 285) yang mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi
dalam bentuk “hubungan seksual” yang keputusan Hooge Raad (Mahkamah agung
Kelompok Kerja Conventuon Watch dan pusat kajian wanita dan gender UI,2000), h. 85
31
penis ke vagina”. Dengan kata lain, kekerasan seksual terdapat perempuan yang tidak
dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan
terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa. Para
feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali
tidak merefleksikan peranan perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah.
keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa,
logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut
pelaku (pria). Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban
(perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan
sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu hukum (yang ditulis dalam
perspektif teori positivism hukum) memang tidak mampu dan tidak mau menafsirkan
diskriminasi gender suatu tafsir yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak secara
antara perempuan dan pria yang terjadi di masyarakat.20
nilai dasar tersebut dalam implementasi hukum. Tove Srang Dahl, yang menekankan
berpusat pada perempuan, menyebut dua nilai dasar ini diidentifikasi sebagai nilai-
20
Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, (Jakarta:
Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 228
32
dahl juga berpendapat bahwa pertimbangan kebijakan yang berpusat pada perempuan
pertimbangan kebijakan lainnya, yang semua merupakan dan diakui sebagai sumber
hukum. Secara politis niali-nilai dasar yang dimaksud adalah mendasari visi dan
studi terhadap hukum dan pengalaman perempuan yang menyeluruh. Artinya kita
berlaku, dalan sistem sosial yang berlaku, dalam berbagai bidang seperti latar
2. Hukum Islam
realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah SWT
21
Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender,
(Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 230
33
Allah atas makhluknya (laki-laki dan perempuan) memiliki missi sebagai khalifah
konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah
yang sama dengan laki-laki. Muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam
yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di
zamannya pada satu keunggulan peradaban.
yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap nilai-nilai islam (khususnya terkait
cenderung diterima bulat-bulat oelh kalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis
perempuan bahkan tua-tua jemaatpun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-
kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus tunduk kepada
suami.
22
Heri Junaidi, “ Gender dan Feminisme dalam Islam” Vol. 2, No. 2, ( Desember 2010), h.
249.
34
manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam
Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana
nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada
dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki
nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya
dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika
ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang
potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai
menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek
Secara teoritis, landasan teologis islam menghormati hak asasi manusia, yang
didasarkan pada cinta dan solidaritas, dan mengakui bahwa laki-laki dan perempuan
adalah sama dalam hal kemampuan moral , spiritual dan intelektual. Salah satu
prinsip islam yang paling mendasar adalah bahwa ni;lai seseorang didasarkan pada
takwa. Di sini, nilai seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin, ras, status sosial
23
Siti Aisyah, “Rereading Patriarchal Interpretations On The Qur’an From Hadith
Perspective In The Eve Of Law No.23/2004 on The Elimination of Domestic Violence” Vol 06. No. 01,
(Journal Of Indonesian Islam: Juni 2012), h..53.
35
Ayat 228) yang mengacu pada perwalian dan superioritas laki-laki atas perempuan,
khususnya dalam hal bimbingan moral, memiliki implikasi yang signifikan bagi
identitas diri mereka dalam islam. Argument bahwa perempuan hanya melakukan
peran sekunder yang mengacu pada interpretasi yang menawarkan bahwa perempuan
amanah.24
Feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam Islam. Namun kita
dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma
lewat paham feminis ini memberikan efek yang sangat besar. Gagasan-gagasan yang
perempuan yang nyatanya sampai saat ini juga belum ada berubah yang signifikan.
differences) dengan kata lain sering disebut ‘jenis kelamin sosial’. Dalam persepsi
mereka, sifat paten (kodrat) laki-laki dan perempuan merupakan produk budaya yang
dapat dipertukarkan dan bersifat tidapat permanent alias dapat berubah sesuai dengan
24
Siti Aisyah, “Rereading Patriarchal Interpretations On The Qur’an From Hadith
Perspective In The Eve Of Law No.23/2004 on The Elimination of Domestic Violence” Vol 06. No. 01,
(Journal Of Indonesian Islam: Juni 2012), h..58.
36
Feminis menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan
kerumahtanggaan. Pada intinya mereka tidak menerima bahwa manusia lahir dengan
kodrat maskulinitas dan feminitas. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan
kadar pengabdiannya.25
b. Ketidaksetaraan gender merugikan perempuan.
kemajuan oleh kaum feminis karena ini berarti kesempatan bagi mereka untuk
mengejar keinginannya tanpa batasan cultural dan struktural yang dapt menghambat.
menentukan. Dengan kata lain, halal hukumnya menolak kodrat manusiawi mereka.
Contohnya, laki-laki dan perempuan dapat bertukar peran, apakah itu sebagai ayah
25
Nasruddin Umar, Quran untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan
Kayu, 2002), h. 6
37
menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah Swt.,
juga untuk menjadi khalifah di bumi (khala’if fi al-ardh). (lihat QS. Al-An’am Ayat
165). Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang
Konsep penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam bersifat derivatif dan
sekunder. Riffat Hasan dalam tulisannya yang berjudul Teologi Perempuan dalam
Tradisi Islam berpendapat secara filosofis maupun teologis konsep ketidakadilan atau
ini.27
26
Nasruddin Umar, Quran untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan
Kayu, 2002), h. 7
27
Riffat Hasan, 1990, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Jurnal Ulumul Qur’an No. 4,
Vol. I., Jakarta
38
BAB V (PENUTUP)
A. Kesimpulan
B. Implikasi Penelitian
40
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1987. Sejarah dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ali, Zainuddin. 2016. Metode Penelitian Hukum. Cet. VII; Jakarta: Sinar Grafika.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan
Pranata Sosial. Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo, Persada.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. III;
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Arifia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminist. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisis Metodologis ke
Arah Ragam Variasi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum “Refleksi Kritis terhadap Hukum”, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Fadjar, Mukthie. 2014. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara press.
Faisal, Ahmad. 2010. Rekonstruksi Syariat Islam (Arus Baru Pemikiran Ulama
terhadap Ide Penegakan Syariat. Cet.I; Yogyakarta: Graha Guru.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist
Press.
Harktisnowo, Harkristutu. 2000. “Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap
perempuan”. Jakarta: Kelompok Kerja Conventuon Watch dan pusat kajian
wanita dan gender UI.
Hasan, Riffat .1990. Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam. Jurnal Ulumul Qur’an
No. 4, Vol. I.
J Wallach scott (eds). 1992. Feminisme Berteori Politik. New York, Routledge.
Lapian, Gandhi. 2012. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender. Jakarta: Pustaka Obor.
Lapian, Gandhi. 2012. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
41