Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi Infark Lacunar

Stroke lakunar adalah sindrom stroke klinis dengan gejala dan tanda khusus

yang merupakan lesi kecil pada subkorteks atau batang otak (Wardlaw, 2008).

Dalam klasifikasi yang dibuat oleh TOAST disebutkan bahwa pada stroke lakunar

seharusnya didapatkan temuan klinis dari salah satu sindrom lakunar, pencitraan

bisa normal atau menunjukkan lesi yang relevan berukuran <1,5cm pada batang

otak atau hemisfer subkorteks. Infark ini terjadi dari oklusi arteri perforator,

terutama arteri koroidalis anterior, serebri media, serebri posterior, dan arteri

basilaris (Toni D, Sacco RL, Brainin M, et al. 2011).

Stroke lakunar adalah stroke iskemik yang diakibatkan oleh adanya

oklusi salah satu cabang arteri penetrasi yang mensuplai darah ke struktur

bagian dalam otak.

1. Karena arteri ini (penetrating arteries) hanya memiliki sedikit hubungan

kolateralmak

a. disebut juga end arteries, sehingga obstruksi pada arteri ini

menyebabkan area infark yang hanya terbatas.

b. Stroke yang manifestasi klinisnya didasari atas terjadinya infark kecil

(lacunar infarction) ini disebut stroke lakunar.

c. Istilah infark lakunar digunakan apabila ditemukan infark dengan

ukuran kurang dari 15mm pada daerah vaskularisasi suatu

pembuluh darah kecil. Umumnya pasien stroke lakunar

mempunyai prognosis yang baik, namun kronologis perubahan


hemodinamik terjadinya infark lakunar pada daerah iskemik belum

dipahami betul. Pada tahun1901, Pierre Marie melaporkan

gambaran klinis seorang pasien yang dapat dikaitkan dengan infark

lakunar yang ditemukan pada pasien yang diotopsi. Infark ini setelah

sembuh akan meninggalkan lubang kecil yang disebut lacune

(danau), sering ditemukan di ganglia basalis(putamen, nucleus

kaudatus), thalamus, pons, dan krus posterior kapsula interna.

Infark lakunar yang kecil prognosisnya lebih baik dan

dengan pengobatan faktor resiko (hipertensi) yang baik, maka

kekambuhan dapat dihindari.

d. Infark lakunar dapat terjadi di semua sistem susunan saraf pusat

bahkan di medulla spinalis dan dapat pula terjadi tanpa gejala.

e. Dalam 20 tahun terakhir, Fisher telah memberikan kontribusi

tentang adanya korelasi antara temuan klinis dan anatomis. Dengan

menggunakan Computed Tomography(CT), maka konfirmsi diagnosis

infark lakunar menjadi lebih mudah. Namun ukuran infark (juga infark

lakunar) tidak selalu berbanding lurus dengan beratnya gejala klinis

stroke maka walaupun berukuran kecil, infark lakunar dapat

menyebabkan defisit neurologis yang berat jika terjadi pada bagian

otak tertentu seperti di kapsula interna atau pons. Adanya

ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan radiologi yang

ditemukan pada berbagai kasus sering kali menimbulkan

kesulitan dalam menetapkan diagnosis dan penatalaksanaannya


B. Tinjauan Anatomi Dan Patofisiologi

Stroke lakunar merupakan salah satu manifestasi dari Small Vessel Disease

(SVD). Yang dimaksud small vessel adalah pembuluh darah yang berdiameter

kurang dari 500μm dan berlokasi di area yang lebih dalam dari korteks serebri

(Pantoni L, 2014). SVD ini terutama mengenai lenticulostriata, cabang dari

serebri media rekurens Heubner, cabang dari serebri anterior perforator dari

khoroidalis anterior talamoperforata dan talamogenikulata, cabang dari serebri

posterior; paramedian perforata dari basilaris pons, mesensefalon, dan talamus

(Caplan L.R, 2009).

Sebagian besar infark lakunar berasal dari arteri dengan ukuran 200-400 μm

dan menghasilkan infark sekitar 2-3 mm. Infark kecil ini ditemukan reguler hanya

pada MRI 1,5 tesla, biasanya terlewatkan pada CT scan, dan terabaikan pada

otopsi (Marti JL, Arboix A, Mohr JP, 2011).

C. Patofisiologi Stroke Lakunar

Sebagian besar mekanisme belum diketahui dengan jelas namun diduga

terkait mikroateroma, atau merupakan konsekuensi dari hipertensi, vasospasme,

atau baru-baru ini dicurigai merupakan akibat dari kegagalan endotel (Wardlaw J,

Smith C, Dichgans M, 2013).

Dua puluh pemeriksaan klinikopatologi Fisher secara detail menjelaskan sepuluh

infark lakunar pada teritori arteri serebri media. Enam diantaranya terkait dengan

mikroateroma pada arteri perforator, dua lipohialinosis, dan dua emboli (karena

arteriol tampak normal dan emboli diasumsikan telah lepas). Fisher juga

menjelaskan 45 dari 50 infark lakunar dimana arteri yang mensuplai menunjukkan


lipohialinosis atau fibrinoid nekrosis (Wardlaw J, Smith C, Dichgans M, 2013;

Lammie, 2000; Caplan LR, 2009; Marti JL, Arboix A, Mohr JP, 2011).

Ukuran dari infark lakunar diduga terkait dengan ukuran arteri yang

terkena, dan karena lesi yang lebih besar cenderung menyebabkan gejala, infark

lakunar yang simtomatis dipercaya terkait dengan aterosklerosis atau emboli pada

arteri yang lebih besar, sedangkan infark silent lebih kecil dan dihubungkan

dengan lipohialinosis atau fibrinoid nekrosis pada arteri yang lebih kecil

(Wardlaw J,

Smith C, Dichgans M, 2013).

Studi baru-baru ini menyebutkan bahwa aktivasi endotel pembuluh darah

kecil otak kemungkinanmerupakan penyebab primer dari patogenesis stroke

lakunar, terutama subtipe WML dan aLAC. Aktivasi endotel menyebabkan

peningkatan permeabilitas sawar darah otak, yang mengakibatkan komponen

plasma masuk ruang perivaskular sehingga terjadi kerusakan neuron dan glia.

D. Patologi

Infark lakunar adalah lesi kecil, seringkali ireguler, dengan ukuran berkisar 1-

15 mm. Hanya 17% dari lakunar yang berukuran lebih kecil dari 1 cm. Inspeksi

dari kavitas kecil biasanya tampak anyaman halus dari jaringan ikat menyerupai

jaring laba-laba(Caplan LR, 2009). Dominasi lakuna adalah diganglia basalis,

terutama putamen, talamus, dan substansia alba dari kapsula interna dan pons.

Jarang terjadi pada korpus kalosum, radiasio optika, sentrum semiovale, hemisfer

serebri, medula,

serebelum, spinal (Marti JL, Arboix A, Mohr JP, 2011).

E. Faktor Resiko
Hubungan antara faktor resiko vaskular dan infark lakunar masih belum

sepenuhnya dipahami. Hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia dan

merokok sama seringnya pada pasien dengan aterotromboemboli sebagaimana

pada stroke lakunar (Wardlaw J, Smith C, Dichgans M, 2013). Baik hipertensi

maupun diabetes sama-sama merupakan faktor resiko yang umum pada stroke

lakunar

dan non lakunar, namun stroke lakunar jarang disebabkan oleh emboli dari

jantung atau proksimal arteri dan prevalensi yang lebih rendah untuk penyakit

jantung iskemik pada stroke lakunar (Jackson CA, Hutchison A, Dennis MS, et al,

2010). Stroke lakunar simtomatis terkait dengan hipertensi, diabetes, merokok,

penyakit jantung iskemik dan hiperlipidemia. Faktor resiko stroke lakunar hampir

sama dengan stroke infark arteri besar kecuali bahwa pada stroke lakunar TIA

lebih jarang, yaitu 13% dibanding 40%, dan riwayat stroke sebelumnya yaitu 19%

dibanding 39% (Kim MH, Moon JS, Park SY, et al, 2011)

F. Manifestasi Klinis

Infark lakunar dapat bermanifestasi sebagai infark lakunar asimtomatis,

episode TIA, dan defisit neurologis dengan klinis sindrom lakunar.

a. Asimtomatis

Infark lakunar silent atau asimtomatis lebih sering dibandingkan yang

simtomatis. Sekitar 20-28% populasi dengan usia 65 tahun atau lebih

memiliki lakuna pada gambaran MRI (Marti JL, et al. 2011). Biasanya terjadi

pada pasien hipertensi, umumnya multipel dan terkait dengan lipohialinosis.

Infark

lakunar silent adalah bentuk yang paling sering, yaitu sekitar 77% pada serial
kasus yang dilakukan oleh Fisher. Pada pasien dengan stroke lakunar, infark

silent terdokumentasi pada 42% kasus pada MRI. Hal ini mungkin dijelaskan

oleh ukuran yang kecil dari lakuna dan bentuk serta lokasinya, yang

tidak melibatkan jalur motorik maupun sensorik yang biasanya menjadi

keluhan utama (Arboix A, Marti JL, 2009).

b. Transient Ischemic Attack(TIA)

Infark lakunar dapat bermanifestasi sebagai TIA, yaitu defisit neurologis

fokal berlangsung kurang dari satu jam atau pada definisi klasik 24 jam.

Infark lakunar terhitung sekitar 29-34% dari semua kasus TIA (Arboix A,

Marti JL, 2009).

c. Sindrom Lakunar

Sindrom lakunar diartikan sebagai suatu gambaran klinis yang pada

mayoritas kasus dikaitkan dengan infark serebri tipe lakunar (Arboix A,

Marti JL, 2009). Infark lakunar bisa tunggal atau jamak, simtomatis

maupun asimtomatis. Sindrom lakunar memiliki nilai klinis diagnostik

sekaligus merupakan suatu prediktor terjadinya infark lakunar, dengan

nilai prediktif sekitar 84%-90% (Gan et al, 1997; Boiten J, Lodder J,

1991, Biller J, Love BB, Schneck MJ, 2012). Iskemia pada lakunar terjadi

pada arteri perforator tunggal dalam dapat menyebabkan infark pada area

yang terbatas. Infark lakunar yang terjadi pada area nukleus lentiformis,

terkadang tidak tampak seperti sindrom lakunar, melainkan merupakan

penyebab penting dari penurunan kognitif. Infark lakunar lain terjadi pada

tempat yang strategis seperti kapsula interna dan pons, yang secara klinis

mengganggu jalur ascending dan descending, dengan hasil defisit klinis


yang luas bisa terjadi dari suatu lesi yang secara anatomis kecil (Warlow

J, van Gijn J, Dennis M, et al, 2008). Hubungan antara sindrom lakunar

dengan infark lakunar bergantung pada waktu munculnya gejala dan

pemeriksaan. Paling besar hubungannya pada pasien yang diperiksa

hingga 96 jam setelah onset stroke, dan kurang keterkaitannya pada

pasien yang diperiksa pada jam-jam awal onset stroke (Biller J, Love BB,

Schneck MJ, 2012). Awalnya hanya sedikit sindrom klinis terkait dengan

lakunar yang relevan pada pemeriksaan postmortem, yang

dipertimbangkan sebagai sindrom lakunar klasik, yang derajat sensitifitas

dan spesifisitasnya telah diuji dengan CT atau MRI. Sejak itu banyak sindrom

lakunar lain dilaporkan

dihubungkan dengan gambaran imejing (Warlow J, van Gijn J, Dennis M, et al,

2008).

d. Sindrom lakunar klasik atau tipikal

Sindrom lakunar klasik yang sering dijumpai adalah sebagai berikut:

Stroke Motorik Murni Stroke Sensorik Murni Ataksia Homolateral dan

Paresis Krural Dysarthria Clumsy Hand Stroke Sensorimotor (Arboix et

al, 2010; Nicolai et al, 1996).

e. Sindom Lakunar Atipikal

Sindrom lakunar atipikal yang pernah dilaporkan diantaranya hemikorea-

hemibalismus, disartria dengan paresis fasial sentral, disartria terisolasi,

hemiataksia terisolasi (Arboix, 2009).

f. Gangguan kognitif pada infark lakunar


Demensia vaskular menyebabkan gangguan kognitif dan meningkatkan

resiko buruknya keluaran. Disfungsi kognitif pada infark lakunar

kemungkinan disebabkan oleh kerusakan selektif dari sirkuit frontal-

subkortikal yang melayani fungsi eksekutif. Terjadinya stroke berulang,

infark lakunar multipel terkait dengan meningkatnya resiko gangguan

kognitif. Sebagian besar infark lakunar adalah asimtomatis, dan sekitar

20-28% populasi usia >65 tahun, infark lakunar ditemukan dari MRI.

Infark lakunar silent telah diidentifikasi sebagai faktor resiko terjadinya

penurunan fungsi kognitif dan stroke berulang tipe lakunar (Arboix A,

2011).

G. Penatalaksanaan

Penggunaan terapi trombolitik, IV-rTPA dalam tiga jam sejak onset pada

pasien dengan infark lakunar masih kontroversial, namun dari hasil studi

NINDS dan studi lainnya tiga dari empat pasien dengan infark lakunar

memiliki prognosis yang baik, mendukung tidak direkomendasikannya terapi

tersebut (Marti JL, Arboix A, Mohr JP, 2011). Studi multisenter Secondary

Prevention of Small Subcortical Strokes (SPS3) terhadap 3020 pasien

dengan infark lakunar baru simtomatis yang ditunjang oleh MRI. Hasil

penelitian ini adalah penambahan clopidogrel tidak signifikan dalam

menurunkan resiko stroke berulang dan secara signifikan meningkatkan

resiko perdarahan dan kematian (Benavente OR, Hart RG, McClure LA, et al,

2012). Studi Cilostazol Stroke Prevention Study (CSPS), 1095 pasien 75%

diantaranya adalah stroke lakunar. Terapi dengan cilostazol 2x100mg/hari


dikaitkan dengan penurunan resiko rekurensi stroke lakunar sebesar 43,4%

(Pantoni L, 2010).

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas pasien dan penanggung jawab

Pada bagian ini berisi nama, jenis kelamin, umur, agama, status

perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat, no. RM, dan

diagnosa medis pasien.

b. Riwayat Keperawatan

1) Riwayat kesehatan pasien

Pada bagian ini berisi tentang riwayat penyakit pasien sekarang

(berisi keluhan utama, kronologi penyakit saat ini, pengaruh penyakit

terhadap pasien, serta harapan pasien dari pelayanan kesehatan), dan

riwayat penyakit masa lalu. Adapun keluhan utama yang sering

dijumpai yaitu klien mengalami kelemahan anggota gerak sebelah

badan, biasanya klien mengalami bicara pelo, biasanya klien kesulitan

dalam berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.

2) Riwayat Kesehatan Keluarga

Berisi genogram minimal 3 generasi, dengan siapa klien tinggal,

berapa jumlah anggota keluarga, adakah anggota keluarga yang


menderita penyakit serupa, adakah keluarga yang mempunyai

penyakit menular/menurun, serta efek yang terjadi pada keluarga bila

salah satu anggota keluarga sakit.

3) Pengkajian biologis (dikaji sebelum dan sesudah sakit)

a) Rasa aman dan nyaman

Pada riwayat ini bisa dapat menyebabkan gangguan rasa aman dan

nyaman, karena dengan adanya riwayat penyakit maka klien akan

beresiko terkena penyakit sehingga menimbulkan rasa tidak

nyaman pada pasien.

b) Aktivitas

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana aktivitas pasien sebelum

dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.

c) Istirahat

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana pola istirahat pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.

d) Tidur

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana pola tidur pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.

e) Cairan
Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana pemenuhan kebutuhan

cairan pasien sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau

tidak.

f) Nutrisi

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana pola pemenuhan nutrisi

pasien sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.

g) Eliminasi feses

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana eliminasi feses pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Berapa

kali pasien BAB per hari, terkait pola, frekuensi, waktu dan

karakteristik fesesnya, serta apakah menggunakan alat bantu

defekasi/BAB atau tidak.

h) Eliminasi urine

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana eliminasi urine pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Berapa

kali pasien BAK per hari, terkait pola, frekuensi, waktu dan

karakteristik urinenya, serta apakah menggunakan alat bantu

miksi/BAK atau tidak.

i) Pernafasan

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana aktivitas pernafsan

pasien sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.


Adakah gangguan pernafasan, adakah riwayat alergi terhadap debu,

obat-obatan.

j) Kardiovaskuler

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana kinerja kardiovaskuler

pasien sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak.

k) Personal hygiene

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana personal hygiene pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Berapa

kali pasien mandi dalam sehari, sikat gigi, keramas dan apakah

klien memerlukan bantuan dalam melaksanakannya.

l) Seksual

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana aktivitas seksual pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Adakah

kesulitan dalam hubungan sesksual pasien, serta penyakit yang

diderita pasien mengganggu fungsi seksualnya.

m)Psikologi

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana status emosi pasien, cara

mengekspresikan perasaannya, suasana hati pasien, persaan pasien

saat ini dan hal yang dilakukan pasien bila suasana hatinya sedih,

marah, gembira.

n) Konsep diri

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana pandangan atau konsep

diri pasien terhadap dirinya sendiri sebelum dan sesudah sakit,


apakah terganggu atau tidak. Hal-hal yang disukai pasien, dan apa

saj yang bisa dilakukan pasien saat ini.

o) Hubungan sosial

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana hubungan sosial pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Siapa

teman dekatnya, orang yang dipercaya, kegiatan msyarakat yang

diikuti serta pekerjaan pasien sekarang sesuai sama kemampuannya

atau tidak.

p) Spiritual

Pada riwayat ini berisi tentang bagaimana aktivitas spiritual pasien

sebelum dan sesudah sakit, apakah terganggu atau tidak. Adakah

gangguan untuk menjalankan ibadah dan agama yang dianut oleh

pasien dan keluarganya.

c. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Pengkajian ini berisi kesadaran, nilai GCS, kondisi pasien secara

umum, TTV, serta keadaan kulit terkait warna, tekstur, adakah

kelainan kulit.

Gonce (2002) tingkat kesadaran merupakan parameter untama

yang sangat penting pada penderita stroke. Perludikaji secara teliti

dan secara komprehensif untuk mengetahui tingkat kesadaran dari

klien dengan stroke. Macam-macam tingkat kesadaran terbagi atas:

Metoda Tingkat Responsivitas


a) Composmentis : kondisi sesorang yang sadar sepenuhnya,

baik terhadap dirinya maupun terhadap dirinya maupun terhap

lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang

dinyatakan pemeriksa dengan baik

b) Apatis : yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh

tak acuh terhadap lingkungannya

c) Derilium : yaitu kondisi sesorang yang mengalami kekacauan

gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak

gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta

d) Somnolen : yaitu kondisi sesorang yang mengantuk namun

masih dapat sadar bila diransang, tetapi bila rangsang berhenti

akan tertidur kembali

e) Sopor : yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam,

namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,

misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan

tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

f) Semi-Coma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak

memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat

dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri

hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.

g) Coma : yaitu penurunan kesadaran yang salangat dalam,

memberikan respons terhadap pernyataan, tidak ada gerakan,

dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor GCS


a. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14

b. Nilai GCS Apatis : 13 – 12

c. Nilai GCS Derilium : 11 – 10

d. Nilai GCS Somnolen :9–7

e. Nilai GCS Semi Coma :4

f. Nilai GCS Coma :3

2) Pemeriksaan Cepalo Kaudal

Pengkajian ini berisi tentang bentuk, keadaan kulit serta kebersihan

dari kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan gigi pasien.

3) Leher

Pengkajian ini berisi bentuk, gerakan, pembesaran thyroid, kelenjar

getah bening, tonsil, JVP, nyeri telan ?

4) Dada

Pengkajian ini berisi hasil observasi yaitu hasil inspeksi, auskultasi,

perkusi dan palpasi dada pasien.

5) Abdomen

Pengkajian ini berisi hasil observasi yaitu hasil inspeksi, auskultasi,

perkusi dan palpasi abdomen pasien.

6) Genetalia, anus, rektum

Pengkajian ini berisi hasil observasi yaitu hasil inspeksi dan palpasi

genetalia, anus, dan rektum pasien.

7) Ekstremitas

Pengkajian ini berisi hasil observasi pada ekstremitas atas dan bawah

pasien.
d. Pemeriksaan penunjang

1) Radilogi.

2) Laboratorium.

3) CT scan.

Tiap pemeriksaan harus dicantumkan tanggal pemeriksaan, hasil dan

rentang nilai normalnya.

e. Terapi yang diberikan.

Pengkajian ini berisi terapi apa saja yang diberikan selama perawatan di

rumah sakit.

B. Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respon

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya

baik yang berlangsung actual maupun potensial (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2018). Diagnosis keperawatan dapat dijadikan sebagai dasar dalam

pemilihan intervensi untuk menjadi tanggung gugat perawat (Hidayat,

2021).

a. Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan kinerja ventrikel

kiri, tumor otak, cidera kepala, infark miokard akut, hipertensi dan

hiperkolesteronemia.

b. Pola napas tidak efektif b/d depresi pusat pernapasan, hambatan upaya

napas, gangguan neuromuskular dan gangguan neurologis.

c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d spasme jalan napas, disfungsi

neuromuskuler dan sekresi yang tertahan.


d. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan

anggota gerak

e. Gangguan komunikasi verbal b/d penurunan sirkulasi serebral, dan

gangguan neuromuskuler

f. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan penglihatan, pendengaran,

penghiduan, dan hipoksia serebral.

g. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan

h. Resiko gangguan integritas kulit/ jaringan b/d penurunan mobilitas

i. Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskuler dan kelemahan

(SDKI, Edisi 1)
Intervensi Keperawatan

N Standar Indonesia (SLKI) Luaran


Diagnosa Keperawatan Standar Intervensi(SI Keperawatan Indonesia KI)
No Keperawatan
1 Resiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
efektif b/d hipertensi Keperawatan Observasi
3x 24 jam diharapkan perfusi jaringan 1. Identikasi penyebab peningkatan TIK
serebral pasien menjadi efektif dengan 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
kriteria hasil : 3. Monitor MAP, CVP, PAWP, PAP, ICP, dan
a) Tingkat kesadaran kognitif meningkat CPP, jika perlu
b) Gelisah menurun 4. Monitor gelombang ICP
c) Tekanan intrakranial menurun 5. Monitor status pernapasan
d) Kesadaran membaik 6. Monitor intake dan output cairan
7. Monitor cairan serebro-spinal
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver Valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Atur ventilator agar PaCO2 optimal
7. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja
Pemantauan Neurologis
Observasi :
1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan
reaktifitas pupil.
2. Monitor tingkat kesadaran
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor status pernapasan : analisa gas darah,
oksimetri nadi, kedalaman napas, pola napas,
dan usaha napas
5. Monitor refleks kornea
6. Monitor kesimetrisan wajah
7. Monitor respons babinski
8. Monitor respons terhadap pengobatan.
Terapeutik
1. Tingkatkan frekuensi pemantauan neurologis,
jika perlu
2. Hindari aktivitas yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial
3. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
4. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan.
Pola Nafas tidak Efektif b/d
hambatan upaya nafas
2 Setelah dilakukan tindakan asuhan Manajemen jalan nafas
keperawatan 3x 24 jam diharapkan Observasi
pola 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,usaha
nafas pasien menjadi efektif dengan napas)
kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas tambahan(mis: wheezing)
1. Frekuensi napas membaik Terapeutik
2. Kedalaman napas membaik 1. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Ekskursi dada membaik 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head
tilt dan chin-lift
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
6. Berikan oksigen
Edukasi
1. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,mukolitik.
Dukungan Ventilasi
Observasi
1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
2. Identifikasi efek perubahan posisi terhadap
status pernapasan
3. Monitor status respirasi dan oksigenasi (
frekuensi, dan kedalaman napas, penggunaan
otot bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi
oksigen)
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Berikan posisi semi fowler atau fowler
3. Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
4. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
Edukasi
1. Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
2. Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
3. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,jika perlu
Bersihan jalan nafas tidak
efektif b/d spasme
jalan napas, disfungsi Pemantauan Respirasi
neuromuskuler dan Setelah dilakukan Tindakan asuhan Observasi
3 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
sekresi yang tertahan keperawatan 3x24 jam diharapkan
bersihan jalan napas tetap paten napas.
dengan 2. Monitor pola napas
Kriteria Hasil : 3. Monitor kemampuan batuk efektif
1. Batuk efektif meningkat 4. Monitor adanya produksi sputum
2. Produksi sputum menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
3. Frekuensi napas dan pola napas 6. Monitor saturasi oksigen
membaik 7. Monitor nilai AGD
8. Monitor hasil X-Ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
Penghisapan Jalan Napas
Observasi
1. Identifikasi kebutuhan dilakukan penghisapan
2. Monitor status oksigenasi, status neurologis, dan
status hemodinamik sebelum, selama dan setelah
tindakan
3. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi
sekret
Terapeutik
1. Gunakan tindakan aseptik
2. Gunakan prosedural steril dan disposibel
3. Gunakan teknik penghisapan tertutup,sesuai
indikasi
4. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
(100%) paling sedikit 30 detik sebelum dan
setelah tindakan
5. Lakukan penghisapan lebih dari 15 detik
6. Hentikan penghisapan dan berikan terapi
oksigen jika mengalami kondisi-kondisi seperti
bradikardi, penurunan saturasi
Edukasi
1. Anjurkan melakukan teknik napas dalam,
sebelum melakukan penghisapan
2. Anjurkan bernapas dalam dan pelan selama
insersi kateter suction
Gangguan mobilitas fisik b/d
gangguan
neuromuskuler dan
Dukungan mobilisasi
kelemahan anggota Setelah dilakukan Tindakan asuhan
4 Observasi
gerak keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
mobilitas fisik tidak terganggu dengan lainnya
kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
1. Pergerakan ekstremitas meningkat 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
2. Kekuatan otot meningkat sebelum memulai mobilisasi
3. Rentang gerak( ROM) meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
4. Kelemahan fisik menurun mobilisasi
Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu(
mis; duduk diatas tempat tidur
2. Fasilitasi melakukan pergerakan
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis: duduk diatas tempat tidur)
Pemantauan Neurologis
Observasi :
1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan
reaktifitas pupil.
2. Monitor tingkat kesadaran
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor status pernapasan : analisa gas darah,
oksimetri nadi, kedalaman napas, pola napas,
dan usaha napas
5. Monitor refleks kornea
6. Monitor kesimetrisan wajah
7. Monitor respons babinski
8. Monitor respons terhadap pengobatan.
Terapeutik
1. Tingkatkan frekuensi pemantauan neurologis,
jika perlu
2. Hindari aktivitas yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial
3. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
4. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Gangguan komunikasi
Edukasi
verbal b/d penurunan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
sirkulasi serebral, dan
2. Informasikan hasil pemantauan.
gangguan
neuromuskuler Promosi komunikasi defisit bicara
5 Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
keperawatan 3x 24 jam diharapkan 1. Monitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain
komunikasi verbal meningkat dengan yang mengganggu bicara
kriteria hasil: 2. Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai
1. Kemampuan berbicara meningkat bentuk komunikasi
2. Kemampuan mendengar meningkat Terapeutik
3. Kesesuaian ekspresi wajah/ tubuh 1. Gunakan metode komunikasi alternatif(mis:
meningkat menulis, mata berkedip, isyarat tangan)
4. Pelo menurun 2. Berikan dukungan psikologis
5. Pemahaman komunikasi membaik 3. Ulangi apa yang disampaikan pasien
4. Gunakan juru bicara
Edukasi
1. Anjurkan berbicara perlahan
2. Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif
Gangguan persepsi sensori dengan kemampuan berbicara
b/d gangguan Kolaborasi
penglihatan, pendengaran, 1. Rujuk keahli patologi bicara atau terapis
penghiduan, dan
hipoksia serebral

6 Minimalisasi Rangsangan
Kriteria Hasil : Observasi
1. Respons sesuai stimulus membaik 1. Periksa status mental, status sensori, dan tingkat
2. Konsentrasi membaik kenyamanan.
3. Orientasi membaik Terapeutik
1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban
sensori (bisinf, terlalu terang)
2. Batasi stimulus lingkungan (cahaya, aktivitas,
suara)
3. Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
Edukasi
1. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (
mengatur pencahayaan ruangan, mengurangi
kebisingan, membatasi kunjungan)
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi
persepsi sensori
Manajemen Delirium
Observasi
1. Identifikasi faktor risiko delirium ( gangguan
penglihatan/pendengaran, penurunan
kemampuan fungsional, dll)
2. Identifikasi tipe delirium
3. Monitor status neurologis dan tingkat delirium
Terapeutik
1. Berikan pencahayaan yang baik
2. Sediakan kalender yang mudah dibaca
3. Sediakan informasi tentang apa yang terjadi dan
apa yang dapat terjadi selanjutnya
4. Batasi pembuatan keputusan
5. Nyatakan persepsi dengan cara tenang,
meyakinkan, dan tidak argumentatif
6. Fokus pada apa yang dikenali dan bermakna saat
interaksi interpersonal
7. Lakukan reorientasi
8. Sediakan lingkungan fisik dan rutinitas harian
yang konsisten
9. Gunakan isyarat lingkungan untuk stimulus
memori, reorientasi, dan meningkatkan perilaku
yang sesuai
Edukasi
1. Anjurkan kunjungan keluarga
2. Anjurkan pengggunaan alat bantu sensorik
Defisit nutrisi b/d Kolaborasi
ketidakmampuan menelan 1. Kolaborasi pemberian obat ansietas atau agitasi
makanan

Kriteria Hasil: Manajemen nutrisi


7
1. Porsi makanan yang dihabiskan Observasi
meningkat 1. Identifikasi status nutrisi
2. Kekuatan otot mengunyah meningkat 2. Identifikasi alergi dan toleransi makanan
3. Kekuatan otot menelan meningkat 3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Berat badan membaik 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi
5. Frekuensi makan membaik 5. Monitor asupan makanan
6. Nafsu mkan membaik 6. Monitor berat badan
7. Membran mukosa membaik Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene
2. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
3. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
4. Berikan suplemen makanan
5. Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan(
mis: peredanyeri, antiemetik)
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
Terapi Menelan
Observasi
1. Monitor tanda dan gejala aspirasi
2. Monitor gerakan lidah saat makan
3. Monitor tanda kelelahan saat makan, minum dan
menelan
Terapeutik
1. Berikan lingkungan yang nyaman
2. Jaga privasi pasien
3. Gunakan alat bantu,jika perlu
4. Hindari penggunaan sedotan
5. Posisikan duduk
6. Berikan permen loliipop untuk meningkatkan
kekuatan lidah
7. Fasilitasi meletakkan makanan dibelakang lidah
8. Berikan perawatan mulut, sesuai kebutuhan
Edukasi
1. Informasikan manfaat terapi menelan kepada
pasien dan keluarga
2. Anjurkan membuka dan menutup mulut saat
memberikan makanan
3. Anjurkan tidak bicara saat makan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam
memberikan terapi
Defisit perawatan diri b/d
gangguan neuromuskuler
dan kelemaha Dukungan perawatan diri
8 Kriteria Hasil: Observasi
1. Kemampuan mandi meningkat 1. Monitor tingkat kemandirian
2. Kemampuan mengenakan pakaian 2. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri,
meningkat berpakaian, berhias, dan makan
3. Kemampuan makan meningkat Terapeutik
4. Verbalisasi keinginan melakukan 1. Sediakan lingkungan yang terapeutik ( mis:
perawatan diri meningkat suasana rileks, privasi)
2. Siapkan keperluan pribadi (mis: sikat gigi, sabun
mandi)
3. Dampingi dalam melakukan perawatan diri
sampai mandiri
4. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri
5. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
1. Anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan.
DAFTAR PUSTAKA

Adams HP, 2012. Clinical Scales to Assess Patients with Stroke. In Mohr JP,

Wolf

PA, Grotta JC(Eds).

Stroke: Pathophysiology, Diagnosis, and Management, 5th ed. Philadelphia:

Elsevier Saunders, p 318

Arboix A, 2011. Lacunar infarct and cognitive decline. Neurother 9: 1251–1254

Arboix A, Marti JL, 2009. Lacunar Stroke. Neurother 9: 179–196

Arboix A, Massons J, Eroles LG, et al, 2010. Clinical predictors of lacunar

syndrome not due tolacunar infarction. BMC Neurology 10: 31

Bailey EL, Smith C, Sudlow CL, et al. 2012. Pathology of Lacunar Ischemic

Stroke

in Humans, A Systematic Review. Brain Pathology 22: 583–591

Bailey EL, Wardlaw J, 2012. Pathophysiology of lacunar stroke: ischaemic stroke

or blood brain barrier dysfunction? Benavente OR, Coffey CS, Conwit R,

et al, 2013. Blood-pressure targets in patients with recent lacunar stroke:

the SPS3 randomised trial. Lancet neurol 382: 507–15

Benavente OR, Hart RG, McClure LA, et al, 2012. Effects of Clopidogrel Added

to Aspirin in Patients with Recent Lacunar Stroke, The SPS3 Investigators.

N Engl J Med 367: 817-25

Biller J, Love BB, Schneck MJ, 2012. Vascular Diseases of the Nervous System

Ischemic

Cerebrovascular Disease. In: Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, et al (Eds).


Bradley’s Neurology in Clinical Practice Volume I: Principles of

Diagnosis

and Management, 6th ed. Philadelphia: ElsevierSaunders, pp 1017-1018

Anda mungkin juga menyukai