OLEH:
Pembimbing
dr. Saharuddin, M.Kes
Dr. dr. Nadyah Haruna, M.Kes
SUPERVISOR:
dr. Maulana, Sp.Rad.
DEPARTEMEN RADIOLOGI
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Arteriovenous Malformation adalah kumpulan dari pembuluh darah
abnormal dari koneksi fistula antara arteri dan vena tanpa disertai jaringan neural
fungsional atau juga sering disebut bed/ranjang kapiler. Lesi terdiri atas tiga
komponen, feeding arteries, nidus dan draining vein. Nidus menggantikan
arteriole dan kapiler normal dengan pembuluh darah yang resistensinya rendah
tapi alirannya tinggi. Malformasi arterivena biasanya terjadi di otak, tetapi kadang
dapat terjadi di medulla spinalis dan lapisan dura. Tekanan dari darah yang
melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk diterima oleh vena dan ini
menyebabkan vena mengembang. Pengembangan ini mampu menyebabkan vena
itu pecah dan berdarah.1
B. Epidemiologi
AVM intrakranial adalah lesi yang tak lazim dengan insidensi/kemunculan
serta prevalensi yang sukar ditebak. Data otopsi menunjukkan bahwa frekuensi
terdeteksinya AVM adalah 4,3% dari keseluruhan data. Dalam studi berbasis
populasi, angka insidensi yang dilaporkan berada pada 1,1 per 100.000 orang pada
Olmstead County, Minessota; 1,34 per 100.000 orang pada Manhattan, Staten dan
Long Island di New York, dll. Data prevalensi dalam berbagai literatur bervariasi
mulai dari 18 per 100.000 orang dalam sebuah analisis retrospektif di Skotlandia
hingga 0,2 persen dalam sebuah analisis terhadap 2500 pria berkebangsaan
Jerman yang asimtomatik. Meskipun lesi ini terhitung 12 kali lipat lebih jarang
dibandingkan aneurisme intrakranial, mereka mencakup 2% dari seluruh
penyebab stroke dan 38% dari perdarahan intraserebral pada pasien dengan
rentang umur 15 hingga 45 tahun.
AVM serebral umumnya ditemukan pada dekade ketiga atau keempat dari
seorang indivdu, namun penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai rentang
2
umur. Belum ada studi yang dapat mengungkapkan secara jelas predominansi
jenis kelamin pasien terhadap penyakit ini. AVN dapat ditemukan pada banyak
lokasi anatomis, dimana kompartmen supratentorial adalah lokasi yang paling
umum. Serebelum adalah lokasi ditemukannya AVM yang paling umum pada
fossa posterior, sedangkan batang otak dan lokasi-lokasi ventrikular lain lebih
jarang dijangkiti. Malformasi semacam ini umumnya bersifat tunggal/solitary,
namun sekitar 1 hingga 9 persen dari pasien memiliki beberapa lesi sekaligus.1
C. Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah diusulkan menentukan menggolongkan
AVM-AVM serebral. Sistem-sistem ini mencakup berbagai fitur anatomis dan
fisiologis dari AVM yang akan mempengaruhi pengobatan. Sistem penilaian
Spetzler-Martin merupakan sistem klasifikasi yang paling banyak diterima
praktisi medis dan yang paling banyak memiliki kegunaan untuk memberikan
informasi mengenai AVM serebral serta memberikan prediksi dari kesulitan
teknis dan resiko terkait reseksi lesi tersebut. Pada sistem ini, AVM digolongkan
mulai dari derajat I hingga V, yang sesuai dengan skala titik yang bergantung
kepada ukuran dari lesi AVM, kedekatannya dengan jaringan saraf elokuen dan
apakah AVM terhubung dan mengalirkan darah ke sistem vena dalam.
Ukuran dari AVM dinilai dengan mengukur diameter terbesar nidus AVM
pada citra dari DSA, CT atau MRI. Nidus AVM kemudian akan dibagi-bagi ke
dalam kategori kecil (kurang dari 3 cm), sedang (3 hingga 6 cm), atau besar (lebih
dari 6 cm). Penilaian akan ukuran dari AVM ditunjukkan sebagai pengganti akan
penghitungan jumlah arteri feeding-nya, jumlah arus darah yang melewati AVM
dan derajat efek hemodinamis pada jaringan otak di sekitarnya.
3
mengakibatkan defisit neurologis yang mengakibatkan kecacatan permanen. Area-
area ini mencakup korteks visual, bahasa, motor dan indrawi/sensory; hipotalamus
dan talamus; kapsul internal; batang otak; pendunkel serebelum; dan nukleus
serebelum yang terletak jauh di dalam otak. Namun area pada otak seperti korteks
serebelum atau frontopolar, dianggap bukan merupakan bagian dari jaringan
elokuen karena memiliki fungsi neurologis yang apabila terluka tidak akan
menimbulkan kecacatan yang melumpuhkan.
Keberadaan drainase vena dalam adalah indikator tidak langsung dari fakta
bahwa AVM telah melibatkan dinding ventrikel atau AVM terletak atau meluas
jauh ke dalam otak. FItur-fitur ini akan membuat reseksi lebih menantang secara
teknis karena fitur-fitur ini sangatlah sulit untuk dicapai dan disuplai oleh arteri
yang berada jauh didalam otak bahkan apabila fitur ini tidak selalu terlihat pada
citra angiogram. Lebih lanjut, keterlibatan dinding ventrikel dikaitkan dengan
keberadaan pembuluh vena subependimal yang terarterialisasi, yang sangatlah
rapuh, tahan akan koagulasi, dan cenderung 'menarik' diri ke dalam ventrikel.
Namun, drainase vena dalam dapat dianggap menguntungkan pada saat operasi
karena pembuluh 'penguras' ini tersembunyi dari dokter bedah sampai saat-saat
terakhir reseksi AVM. Semakin tinggi derajat AVM-nya, semakin tinggi pula
kesulitan dan resiko dari pembedahan dengan reseksi. AVM kelas rendah (grade I
dan II) memiliki tingkat morbiditas rendah (0 hingga 5 persen) terkait reseksinya
dan umumnya ditangani secara bedah. AVM dengan derajat tinggi (IV dan V)
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi (12 hingga 38 persen) terkait reseksinya,
4
dan umumnya membutuhkan penanganan konservatif. Sebaliknya AVM derajat
ke-III mewakili grup lesi yang heterogen dengan resiko pembedahan yang
bervariasi. Dalam serangkaian pembedahan dari 74 pasien dengan AVM kelas III,
Lawton menemukan bahwa AVM kecil (S1V1E1), AVM sedang/dalam
(S2V1E0), dan AVM yang medium/elokuen (S2V0E1) memiliki risiko bedah
(baik itu dalam kemunculan defisit neurologis baru atau kematian) sebesar 2,9
persen, 7,1 persen, dan 14,8 persen, secara berurutan. (S mewakili size/ukuran, V
mewakili drainase vena, dan E mewakili elokuensi dari AVM). Menariknya, tidak
terdapat AVM dari derajat ke-III pada seri/rangkaian ini, baik karena bias seleksi
atau kelangkaan dari lesinya sendiri. Hasil ini membuat Lawton menyarankan
agar sistem klasifikasi Spetzler-Martin kelas III berdasarkan resiko pembedahan
sebagai berikut: AVM kelas III- (S1V1E1), dengan risiko yang serupa dengan
AVM kelas rendah, dapat ditangani dengan aman dengan reseksi mikro; AVM
kelas III+ (S2V0E1), dengan risiko yang serupa dengan AVM kelas tinggi, harus
dikelola secara konservatif; dan AVM kelas III (S2V1E0), dengan risiko yang
tergolong menengah, memerlukan seleksi yang tepat terlebih dahulu sebelum
memulai operasi. Modifikasi serupa diajukan oleh de Oliveira dan kolega, dimana
mereka mengajukan bahwa AVM kelas III dibagi ke dalam dua subkelas, yaitu
IIIA apabila lesinya tergolong besar dan IIIB apabila lesinya kecil namun
memiliki drainase vena yang dalam atau terletak di area elokuen. De Oliveira dan
kolega umumnya merekomendasikan embolisasi yang diikuti dengan bedah
reseksi untuk AVM IIIA dan pembedahan-radio untuk IIIB.
5
atau modalitas pengobatan. Lebih lanjut, sistem ini berguna sebagai titik awal dari
proses pengambilan keputusan.1,2,4
D. Patofisiologi
Patogenesis dari AVM masih tergolong kontroversial. Lesi-lesi ini
umumnya dipercaya tumbuh dengan sendirinya, meskipun terdapat bukti adanya
faktor lain yang belum diketahui yang memicu pertumbuhannya. Terdapat dugaan
bahwa penyimpanan dari koneksi arteriovenosa awal atau kegagalan dari
pembentukan jaringan kapiler penghalang arteri dan vena merupakan penyebab
pembentukan malformasi arteriovenosa. Terdapat pula dugaan bahwa
abnormalitas utama pada patogenesis AVM berada pada terganggunya sistem
drainase vena. Hipertensi pada pembuluh vena juga diduga kuat meningkatkan
tekanan intrakranial/didalam tengkorak, menurunkan tingkat perfusi jaringan dan
meningkatkan faktor angiogenik (faktor pembentuk angioma). Terganggunya arus
pada vena dapat membuka 'kembali' koneksi arteriovenosa, 'sambungan' ini akan
membesar seiring waktu. Keberadaan beberapa tipe malformasi vaskular sekaligus
juga diketahui dalam beberapa kasus. Serupa dengan kasus tersebut, terdapat
banyak laporan yang menunjukkan adanya pola-pola drainase vena yang tidak
normal, yang kemudian diasosiasikan baik dengan AVM, telangiektasia dan
cavernoma, adapun, masih belum jelas apakah keterkaitan ini merupakan bagian
dari efek sebab-akibat atau hanya sekedar kebetulan semata dimana terdapat
beberapa vaskulatur serebral secara bersamaan.
AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arteri, nidus dan draining vein.
Nidus disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit –
belit. Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein
cenderung mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya.
Beberapa orang lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung melebar
karena tekanan yang besar pada pembuluh arteri tidak dapat dikendalikan oleh
vena yang mengalirkannya. Mengakibatkan kumpulan pembuluh darah besar yang
tampak seperti cacing dapat mengalami perdarahan di masa yang akan datang.
6
Gambar 1. Perbedaan antara aliran darah pada AVM dan yang normal
AVM serebral umumnya ditemukan pada dekade ketiga atau keempat dari
seorang indivdu, namun penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai rentang
umur. Belum ada studi yang dapat mengungkapkan secara jelas predominansi
jenis kelamin pasien terhadap penyakit ini. AVN dapat ditemukan pada banyak
lokasi anatomis, dimana kompartmen supratentorial adalah lokasi yang paling
umum. Serebelum adalah lokasi ditemukannya AVM yang paling umum pada
fossa posterior, sedangkan batang otak dan lokasi-lokasi ventrikular lain lebih
jarang dijangkiti. Malformasi semacam ini umumnya bersifat tunggal/solitary,
namun sekitar 1 hingga 9 persen dari pasien memiliki beberapa lesi sekaligus.
7
Kalsifikasi distrofik juga terjadi pada lapisan tengah dari materi abu-abu (L.:
substansia grisea), dimana kalsifikasi ini berpusat pada pembuluh-pembuluh
mikro dan menghasilkan garis paralel ganda apabila dilihat pada radiograf atau
hasil CT scan. Pasien dapat menderita epilepsi parah dan kemungkinan akan
mengalami kecacatan mental. Sindrom Rendu-Osler-Weber, yang juga dikenal
dengan nama telangiektasia hemoragik turunan/herediter, adalah gangguan genetis
autosomal dominan yang diakibatkan oleh mutasi pada gen reseptor TGF-beta.
Sindrom ini dicirikan dengan malformasi vaskular yang melibatkan jaringan
kutan/kulit, mukosa dan visceral. Lesi vaskular serebral mencakup telangiektasia
atau banyak AVM. Sindrom Wyburn-Mason dicirikan dengan nevi kutan
unilateral dan AVM yang melibatkan retina, syaraf optik dan diensefalon.1,2,4
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari AVM dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori
dasar: perdarahan intraserebral, seizure/kejang, defisit neurologis, sakit kepala.
dan lesi asimtomatik atau insidental/karena kecelakaan.
1. Perdarahan Intraserebral
8
pada tiap jenis perdarahan (secara berurutan), adalah 10 hingga 30 persen serta 20
hingga 30 persen.
2. Kejang-kejang
9
Evaluasi Doppler transkutan telah menunjukkan kecepatan serta volume arus yang
lebih tinggi pada populasi pasien yang memiliki presentasi semacam ini.
4. Sakit Kepala
5. Asimtomatik
10
malformasi vaskular intraserebral, 40 persen dari seluruh pengidapnya berstatus
asimtomatik.1,2,4
F. Diagnosis
Insidens diagnosis unruptured AVM meningkat seiring dengan
perkembangan teknologi kedokteran sebagai alat penunjang diagnostik.
Sebelumnya, diagnosis AVM umumnya ditegakkan setelah adanya perdarahan
intraserebral akibat ruptur AVM atau aneurisma terkait-AVM. 1-6 Pemeriksaan
yang dapat membantu diagnosis AVM adalah pemeriksaan radiologis berupa
angiogram, CT scan dan MRI.
Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured
AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT scan
tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah. Pemeriksaan ini memberikan
gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi anatomisnya. 7
1. Angiogram
Angiogram (arteriogram) adalah baku emas untuk diagnosis kelainan pada
pembuluh darah karena paling komprehensif, spesifik dan sensistif. Akan tetapi
pemeriksaan ini mahal dan invasif. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu selama
kurang lebih 2 jam. pada pemeriksaan angiografi dibutuhkan kontras yang
dimasukin melaui arteri femoralis atau secara langsung pada daerah arteri karotis
komunis. Kontras yang digunakan adalah renografin, conray 60, urografin,
angiografin.
Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan anatomi
arteri dan vena, sebagai tambahan, angiografi yang sangat selektif dapat memberi
data penting mengenai fungsi dan fisiologi untuk analisis klinis tindakan.CT scan
dengan kontras dan didapatkan gambaran malformasi arteri vena pada daerah
parietal kiri, kemudian untuk mengetahui anatominya dilakukan angiografi.
Angiografi kateter masih menjadi criteria standar untuk menggambarkan AVM
pada otak dan medulla spinalis. Angiografi adalah penilaian real time yang tidak
hanya menunjukan keberadaan AVM, tetapi juga menunjukan vascular transit
11
time. Angiografi juga dapat menentukan asal dari AVM apakah dari pial, dural
ataupun keduanya. Angiografi dapat digunakan untuk menentukan ukuran AVM
dan menilai kepadatan nidus. Angiografi juga dapat menggambarak faktor resiko
untuk peradarahan seperti aneurisma dan stenosis vena.
12
Penggunaan iodine dapat menyebabkan hilangnya air atau bahkan
langsung merusak ginjal, terutama pada pasien dengan gannguan
ginjal, diabetes atau yang dehidrasi.
Selalu ada kemungkinan kecil kerusakan sel atau jaringan dari
pajanan radiasi, bahkan pada tingkat rendah seperti pada
pemeriksaan ini.
2. CT Scan
CT scan adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi
perdarahan pada otak atau rongga berisi cairan di sekeliling otak. Pemeriksaan
pada otak dapat dilakukan baik menggunakan kontras ataupun tidak. Dengan CT
scan kita bisa melihat malformasi arterivena di otak, terutama setelah pemberian
kontras. Deteksi perdarahan lobar mengindikasikan adanya masa atau AVM. CT
scanning digunakan untuk mengidentifikasi area perdarahan akut, dan hasilnya
dapat member kesan adanya malformasi vaskuler, lebih jelas jika menggunakan
kontras. Selain itu, CT scanning dapat menggambarkan kalsifikasi vaskuler
yang berhubungan dengan AVM.
13
Gambar 4. Arteriovenous malformasi (AVM) dari otak. CT scan fossa
posterior menunjukkan pendarahan pada ventrikel keempat, dengan ekstensi ke
cerebellum kiri.
14
Gambar 6. Classic deep type AVM pada wanita 19 tahun dengan nyeri
kepala mendadak yang diikuti dengan kehilangan kesadaran. Pada pemeriksaan
terdapat palsi nervus VI bilateral (a) potongan axial. Dan (b) CT scan dengan
kontras . CT scan menunjukkan struktur vascular yang meningkat pada thalamus
kiri. Meskipun tidak terbukti adanya perdarahan di CT Scan, secara klinis
dicurigai terdapat ruptur.
15
Gambar 8. AVM Cerebri pada anak perempuan 10 tahun riwayat
hemiparesis kanan progresif, kemosis dan proptosis mata kiri. (a) CT scan
kontras potongan axial setinggi orbita dan (b) cerebri menunjukkan adanya
peningkatan lesi vaskuler ganglia basalis kiri. Masa lesi yang mendesak ventrikel
lateral kiri.
Gambar 9. AVM temporal cerebri pada anak 15 tahun dengan nyeri kepala
mendadak yang diikuti dengan kejang. CT scan axial menunjukkan lesi
hiperatenuasi pada lobus temporal sesuai dengan hematom intraparenkim
Kekurangan CT
CT Scan hanya dapat mengidentifikasi AVM yang besar,karena
AVM relatif isoatenuasi dengan parenkim normal sehingga bisa
saja terabaikan apalagi tanpa penggunaan kontras.
Pada CT scan, AVM muncul sebagai masa nonkalsifikasi atau
masa kalsifikasi dan masa fokal yang hiperatenuasi sehingga sulit
16
dibedakan dengan tuberous sclerosis, kista koloid, neoplasma, dan
aneurisma.
17
aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding artery, pola drainage vena, atau
karakteristik nidus. Gambaran dari MRA mengenai keadaan AVM sangat baik.
Lesi tersembunyi dari angiogram konvensional dapat diidentifikasi oleh MRI
karena kemampuan untuk menggambarkan hemosiderin atau bukti lain pecahnya
darah. Produk1– produk pecahnya darah tampak beberapa waktu setelah
perdarahan intrakranial.
Kekurangan
MRI adalah pemeriksaan yang sangat sesuai untuk menunjukan nidus dan
aliran darah abnormal akan tetapi pada perdarahan serebral akut AVM yang
terkompresi tidak menunjukan alirannya dan tidak terlihat. Pada keadaan ini
dibutuhkan MRI serial untuk mencari penyebab perdarahan.MRI dapat
menyebabkan beberapa arteri feeding tidak terdeteksi.MRI memiliki sensistifitas
yang rendah untuk mendeteksi malformasi dural.5,7
E. Penatalaksanaan
1. Proses pengambilan keputusan
a. Ukuran AVM
18
datang masih tergolong kontroversial. Dalam serangkaian pembedahan terhadap
168 pasien yang diberikan setelah munculnya gejala tanpa disertai perdarahan,
ukuran AVM tidak ditemukan sebagai faktor prediktif dari perdarahan di waktu
yang akan datang. Namun penelitian lain menemukan pasien dengan AVM yang
kecil namun dengan resiko yang lebih tinggi akan perdarahan. Spetzler dan kolega
melaporkan insidensi yang secara signifikan lebih tinggi dalam presentasi
perdarahan pada AVM kecil (<3 cm) dibandingkan dengan yang besar (>6 cm),
persentasenya (secara berurutan) adalah 82 persen versus 21 persen. Mereka
kemudian membandingkan pengukuran tekanan pembuluh arteri feeding pada fase
intraoperatif pada AVM besar serta kecil. Mereka menemukan tekanan darah pada
arteri feeding yang secara signifikan lebih tinggi pada AVM yang lebih kecil, dan
menyiratkan bahwa perbedaan pada tekanan pembuluh feeding ini kemungkinan
besar berpengaruh langsung atas frekuensi dan derajat keparahan dari perdarahan.
b. Lokasi AVM
Drainase vena yang dalam dianggap sebagai faktor resiko yang penting
pada perdarahan AVM. Nataf dan kolega melaporkan bahwa terdapat korelasi
yang kuat antara frekuensi dari perdarahan dan keberadaan dari drainase yang
dalam ini. Serupa dengan hal tersebut, AVM yang hanya memiliki satu pembuluh
'penguras' atau yang memiliki kerusakan pada drainase vena (baik itu disebabkan
oleh stemosis atau kinking) memiliki resiko yang lebih tinggi akan munculnya
perdarahan. Hal ini dapat dijelaskan karena kerusakan arus vena dari nidus AVM
akan menyebabkan kelebihan beban/overload hemodinamis yang kemudian akan
19
berujung pada pecahnya AVM. AVM dengan fitur semacam ini harus
dipertimbangkan untuk diberikan reseksi bahkan apabila resiko dari pembedahan
tersebut cukup tinggi.
20
intranidal tidak menerima pengobatan. Selama rata-rata periode follow-up atau
tindak lanjut dalam (rata-rata) 11 tahun (range dimulai dari 1,5 hingga 24 tahun)
14 perdarahan terjadi, yang kemudian menghasilkan tingkat perdarahan tahunan
sebesar 9,8 persen. Enam belas pasien dengan aneurisma terkait aliran menerima
pengobatan sebagian dari AVM yang mereka derita, menghasilkan tingkat
perdarahan tahunan sebesar 1,7%. Dengan demikian, total gabungan dari tingkat
perdarahan aneurisma yang terkait perdarhan dan AVMs adalah 7%.
Signifikansi dari aneurisma intranidal arterial maupun venosa, yang cukup
umum ditemukan pada kumpulan AVM yang berukuran besar, tidak diketahui,
karena apabila perdarahan telah terjadi, sangatlah sulit untuk menentukan sumber
pasti dari perdarahan tersebut. Namun, temuan ini kemungkinan terkait dengan
peningkatan resiko dari perdarahan. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa
aneurisma intranidal, atau aneurisma pada pembuluh feeder dari AVM, mungkin
bukanlah faktor independen yang dapat memprediksi, namun aneurisma akan
lebih banyak ditemukan bersamaan dengan AVM yang kompleks dan memiliki
arus yang tinggi, yang membawa resiko yang lebih tinggi akan perdarahan tak
hanya dikarenakan aneurisma itu sendiri, namun juga karena arusnya yang tinggi
atau angioarsitektur-nya yang lebih kompleks.
21
dahulu diarahkan dalam 'pengamanan' aneurisma lewat metode clipping atau
coiling secara endovaskular, yang diikuti oleh penanganan definitif akan AVM.
Apabila aneurisma tergolong dekat dengan AVM, dokter harus menentukan
apakah AVM dapat disembuhkan lewat reseksi bedah atau embolisasi. Apabila
AVM dapat disembuhkan, maka penanganan secara bersamaan dari aneurisma
dan AVM dapat dilakukan. Apabila sebaliknya, aneurisma harus 'diamankan'
terlebih dahulu, lalu kemudian diikuti oleh penanganan definitif akan AVM.
Apabila sumber perdarahan telah dipastikan berasal dari AVM, pasien
harus ditangani secara konservatif dengan pengendalian dan pengukuran tekanan
darah untuk mengecilkan edema otak, hal ini dapat dilakukan apabila gumpalan
parenkimal tidak segera membutuhkan intervensi bedah. Angiografi berulang
harus dilakukan setelah 4 atau 6 minggu setelah arus darah sudah kembali
'normal'. Penatalaksanaan selanjutnya dari AVM dan aneurisma harus berjalan
seperti halnya dalam kasus-kasus khusus. Artinya, setiap lesi harus ditangani
dengan hati-hati dan mempertimbangkan resiko pengobatan dan riwayat
alamiahnya (resiko akan perdarahan kembali).
Jika dokter tidak dapat menentukan sumber perdarahannya, kami
menyarankan pengobatan terhadap kedua lesi apabila memungkinkan. Jika tidak,
pengobatan harus diarahkan kepada aneurisma terlebih dahulu karena morbiditas
dan mortalitas terkait pecahnya aneurisma lebih beresiko dibandingkan AVM.
Lebih lanjut, risiko perdarahan berulang dari AVM secara signifikan lebih rendah
dibandingkan aneurisma, maka dari itu kita harus berasumsi, dalam kasus ini,
bahwa kedua lesi itu bisa jadi merupakan sumber dari perdarahan.
Penatalaksanaan dari AVM yang dikaitkan dengan aneurisma intrakranial
pada pasien yang sebelumnya tidak mengalami perdarahan tergantung pada tipe
dari aneurismanya itu sendiri. Keputusan dalam pemberian penanganan kepada
aneurisma yang terletak jauh dari AVM dan tak terkait langsung dengannya
tidaklah berbeda jauh dengan keputusan yang dibuat untuk aneurisma serupa yang
tak terkait dengan dengan AVM. Manajemen terhadap aneurisma intranidal terkait
juga lebih menantang, karena riwayat alamiahnya tidak terdefinisi dengan jelas.
Bedah reseksi dari AVM atau embolisasi endovaskular lengkap harus dilakukan
22
jika memungkinkan; jika tidak, embolisasi sebagian dari AVM, termasuk dengan
penyumbatan pada aneurisma intranidal, harus dipertimbangkan apabila bisa
dilakukan dengan aman.
Penatalaksanaan aneurisma terkait aliran yang ditemukan secara tidak
sengaja dan terkait dengan AVM masih kontroversial. Terdapat tiga strategi
pengobatan yang memungkinkan: Penanganan terhadap AVM lebih dahulu,
penanganan terhadap aneurisma dulu, atau penanganan kedua lesi secara
bersamaan. Penulis yang menganjurkan penargetan awal dari AVM mendasarkan
alasan pengobatan mereka pada berbagai laporan akan adanya regresi spontan
aneurisma terkait aliran setelah penghilangan AVM. Dipercaya bahwa dalam
keadaan ini, kecepatan aliran darah yang melintasi aneurisma akan berkurang
setelah AVM berhasil dihapuskan, dan ini akan menghasilkan penurunan bertahap
dalam ukuran aneurisma. Berdasarkan penelitian oleh Redekop dan kolega,
kedekatan dari aneurisma dapat mungkin berguna dalam memprediksi respons
aneurisma terhadap terapi AVM. Seseorang mungkin lebih cenderung mengamati
aneurisma terkait arus yang distal karena peluang regresi spontan yang lebih
tinggi pasca penanganan AVM dibandingkan dengan aneurisma terkait arus yang
proksimal. Pendekatan alternatif adalah dengan 'mengamankan' aneurisma dengan
cara bedah atau endovaskular sebelum dilakukannya pengobatan AVM yang
definitif. Kebijakan penanganan ini didasarkan laporan pecahnya aneurisma
selama dilakukannya terapi AVM. Dalam kasus-kasus semacam itu, 'penghapusan'
AVM diyakini menyebabkan kenaikan dalam tekanan intraluminal yang secara
teoritis dapat menghasilkan perdarahan pada aneurisma. Pilihan ketiga adalah
perawatan kedua lesi secara bersamaan jika memungkinkan.
Pendekatan kami akan penatalaksanaan dari aneurisma intranidal dan
insidental yang terkait-arus yang juga terkait AVM bergantung pada apakah AVM
dapat disembuhkan secara bedah atau lewat embolisasi vaskular. Apabila AVM
tidak dapat disembuhkan secara bedah atau endovaskular, keputusan harus
diambil apakah lesi ini dapat ditangani lewat prosedur pembedahan-radio
stereostatis. Apabila AVM dapat ditangani lewat pembedahan-radio/radiosurgery,
kami menyarankan untuk terlebih dahulu mengamankan aneurisma. Apabila
23
AVM tergolong terlampau besar untuk prosedur radiosurgery, keputusan untuk
menangani aneurisma dibuat dengan mempertimbangkan apakah aneurisma ini
dapat dihilangkan dengan pembedahan clipping atau lewat coiling endovaskular.
24
1.2. Faktor terkait Pasien
Umur pasien, kesehatan serta kondisi klinisnya, pekerjaan serta gaya hidup
harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Umur pasien
sangatlah penting dalam menentukan apakah resiko kumulatif dari pecahnya
AVM selama sisa dari usia harapan hidupnya. Apabila kita berasumsi akan tingkat
perdarahan tahunan sebesar 2 hingga 4 persen dan pengharapan umurnya sebesar
70 tahun, resiko kumulatif dari perdarahan AVM dapat diperkirakan lewat
formula ini: 105 - umur pasien (dalam tahun). Maka, seseorang dapat
membenarkan pendekatan yang lebih agresif untuk menangani lewat pembedahan
pada pasien yang lebih muda, karena resiko kumulatifnya akan perdarahan
cenderung tinggi. Lebih lanjut, defisit neurologis yang terjadi di usia muda
umumnya dapat ditolerasi dengan baik dan pasien memiliki kemungkinan yang
lebih besar akan kesembuhan. Kesehatan umum dari pasien sangatlah penting,
karena pasien dengan kondisi-kondisi komorbiditas yang parah mungkin saja akan
terhalangi akan pembedahan sebagai pilihan pengobatan yang lebih mudah.
Presentasi klinis dan kondisi neurologis pasien akan seringkali menentukan waktu
yang tepat akan dimulainya operasi, sebagai contoh, seperti yang diindikasikan
diatas, pasien mungkin membutuhkan 'evakuasi' segera akan hematoma yang
disebabkan oleh AVM yang pecah, atau mungkin lebih baik untuk menunggu
hingga pasien telah membaik kondisi neurologisnya sebelum reseksi AVM dapat
dilakukan. Pasien dengan AVM yang awalnya mengalami perdarahan besar,
kerusakan neurologis yang progresif, epilepsi yang tidak terkendali, atau sakit
kepala yang sulit dikendalikan, harus dipertimbangkan untuk menjalani bedah
reseksi. Gaya hidup serta pekerja dari pasien juga merupakan pertimbangan yang
penting saat dokter bedah syaraf mulai untuk menimbang resiko dan keuntungan
dari penanganan terhadap AVM pada daerah yang kritis di otak. Sebagai contoh,
seorang pasien yang bekerja sebagai pilot dan sangat bergantung pada visi
sempurna dan mengidap AVM oksipital mungkin akan memiliki pandangan yang
berbeda mengenai pembedahan reseksi dengan kemungkinan diatas 50 persen
akan munculnya hemianopia pasca-operasi dibandingkan pasien dengan AVM di
25
lokasi yang sama namun memiliki kerjaan sebagai buruh.
26
Gambar 12. Manajemen aneurisma yang tidak ruptur yang berhubungan
dengan AVM yang tidak ruptur.
2. Farmakologis
3. Non Farmakologis
Tujuan utama dari pengobatan AVM serebral ini adalah pencegahan dari
perdarahan lanjutan di kemudian hari serta kemungkinan kerusakan neurologis.
Saat ini, pilihan pengobatan dari AVM mencakup reseksi bedah mikro saja ,
27
embolisasi endovaskular pra-operasi yang diikuti oleh reseksi dengan bedah
mikro, bedah-radio dengan stereotaktik saja, embolisasi endovaskular pra-
prosedular yang diikuti dengan pengobatan dengan bedah-radio, embolisasi
endovaskular saja, dan pengamatan. Setiap modalitas pengobatan memiliki
kelebihannya sendiri yang spesifik dan disertai kelemahan-kelemahan pula.
28
mengobati pasien dengan modalitas pengobatan alternatif(contohnya,
radiosurgery) atau untuk merekomendasikan pasien terhadap terapi konservatif.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kami lebih suka mengulang scan
angiogram serebral sesaat sebelum memulai operasi untuk memastikan bahwa
konfigurasi AVM tidak berubah sejak saat pendarahan awal.
29
terputus, hal ini hanya bisa dilihat pada beberapa sentimeter dari lesi karena
pembuluh vena menerima drainase kortikal yang normal. Akhirnya, perdarahan
dari parenkima di sekeliling mungkin lebih sulit dikendalikan dalam kraniotomi
yang lebih kecil.
30
teknik yang berguna adalah dengan menempatkan klip sementara pada pembuluh
yang dimaksud. Vena yang mengering akan mengecil dan akan membiru semakin
jauh dari klip tersebut, sedangkan arteri akan terus berdenyut terhadap klip.
Sebagai alternatif, probe aliran mikrovaskular dapat digunakan untuk menentukan
arah aliran.
31
disertai penurunan dari aliran darah arteri ke malformasi tersebut. Apabila
perdarahan pada AVM terjadi, biasanya dapat dikendalikan dengan menempatkan
kapas pada titik perdarahan dan pengaplikasian tekanan yang lembut dengan
retractor yang self-retaining. Namun, perdarahan pada otak yang jauh dari AVM
tidak boleh diberikan penanganan yang sama, karena hal ini dapat mengakibatkan
perdarahan intraparenkimal serius. Pada kejadian seperti ini, perdarahan biasanya
terjadi pada pembuluh yang telah tertarik kembali ke dalam jaringan otak
sekelilingnya atau dari sisa-sisa AVM yang telah diputus dari nidus utamanya.
Ahli bedah harus menahan godaan untuk menghentikan perdarahan dengan kapas
untuk segera menemukan dan mengkoagulasi pembuluh yang bocor.
Tahap akhir adalah pemeriksaan rongga reseksi untuk residu dari nidus
AVM. Begitu hemostasis telah dicapai, tekanan rata-rata pada pembuluh arteri
pasien dinaikkan sebesar 15 sampai 20 mmHg di atas diatas ambang normal dan
32
dipertahankan selama 10 menit. Adapun apabila terdapat perdarahan selama
periode ini dicurigai didalangi oleh residu nidus AVM dan harus segera diperiksa
secara menyeluruh. Jika tidak terjadi perdarahan, rongga bedah itu dilapisi dengan
satu lapis Surgicel (Ethicon US LLC, Somerville, New Jersey) dan tekanan darah
pasien harus dijaga pada ambang normal atau sedikit di bawahnya dan dijaga
selama 24 jam. Angiografi intraoperatif kemudian dilakukan untuk
mengkonfirmasi reseksi AVM secara lengkap.
3.2. Endovaskuler
Terapi ini telah menjadi alat terapeutik yang penting dalam
penatalaksanaan AVM serebral. Saat ini, terapi endovaskuler digunakan dalam
beberapa cara: (1) embolisasi adjuvant sebelum dimulainya reseksi bedah definitif
atau terapi-radio; (2) terapi paliatif yang diarahkan untuk fitur-fitur angiografik
beresiko tinggi (arteri feeding atau aneurisma intranidal) atau untuk menurunkan
laju pada pasien yang mengalami defisit neurologis progresif; dan (3) terapi
kuratif (oklusi AVM lengkap).
a. Embolisasi Pra-operatif
33
embolisasi dari AVM besar yang beraliran tinggi dengan tujuan mengurangi
shunting arteriovenosa secara bertahap dapat mengembalikan reaktivitas vaskuler
serebral yang normal dan berpotensi memperkecil risiko penerobosan perfusi
tekanan normal (NPPB) pada periode pasca-operasi. Kami sesekali menggunakan
embolisasi untuk AVM yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah otak
yang elokuen dalam usaha untuk menurunkan aliran darah di dalam lesi secara
signifikan dan membuat pasien aman untuk menjalani pembedahan. Demikian
pula, seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, AVM yang dalam dapat
dipertimbangkan untuk menjalani reseksi bedah apabila pasokan perforator dapat
dengan aman disumbat dengan terapi endovaskular.
b. Embolisasi Pra-Bedah-Radio
c. Embolisasi Paliatif
34
Embolisasi paliatif atau parsial dari AVM yang tidak dapat dioperasi atau
tidak cocok untuk radiosurgery dapat dipertimbangkan untuk beberapa alasan.
Pada pasien yang mengalami perdarahan, metode ini bisa digunakan untuk
menargetkan fitur angiografik yang berisiko tinggi, seperti arteri feeding atau
aneurisma intranidal atau juga fistula langsung. Embolisasi dapat juga digunakan
untuk mengurangi aliran melalui AVM besar pada pasien dengan sakit kepala
yang tak kunjung sembuh atau defisit neurologis progresif yang terkait dengan
arterial steal atau tekanan darah tinggi pada vena.
Masalah apakah embolisasi paliatif atau parsial merubah riwayat alami
dari AVM masih belum jelas. Sebagian besar penelitian menyarankan bahwa
embolisasi semacam itu tidak memperbaiki hasil klinis apabila dibandingkan
dengan terapi konservatif. Miyamoto dan kolega melaporkan kemunculan sekuele
pada 46 pasien dengan AVM serebral yang diobati secara paliatif dengan
embolisasi, radiosurgery, reseksi subtotal, atau ligasi arteri feeding. Tingkat
perdarahan tahunan pada AVM yang tidak diobati adalah 2,6 persen dibandingkan
dengan 14,6 persen pada AVM yang diobati secara paliatif. Tingkat perdarahan
pada pasien yang telah mengalami embolisasi saja adalah 25 persen. Kwon dan
kolega mengevaluasi manfaat dari embolisasi paliatif pada 27 pasien dengan
AVM lebih besar dari 4 cm yang dianggap tidak bisa dioperasi. Enam belas pasien
diobati secara medis dan 11 pasien diberikan embolisasi sebagian. Dari 16 pasien
yang dirawat secara medis, 31 persen memburuk dan 25 persen mengalami
pendarahan. Dari 11 pasien yang menjalani embolisasi paliatif, 27,3 persen
memburuk dan 45,5 persen mengalami perdarahan. Hasil serupa juga dilaporkan
dalam sebuah ulasan mengenai pengalaman Institut Neurologis Barrow dalam
menangani AVM grade IV dan V. Tingkat perdarahan tahunan pada pasien yang
dirawat secara konservatif adalah 1 persen, dibandingkan dengan 10,4 persen pada
pasien yang diobati sebagian/parsial. Namun, beberapa penulis telah menyiratkan
bahwa oklusi parsial AVM dapat menyebabkan perbaikan tingkat kelangsungan
hidup dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Dalam sebuah studi yang
melibatkan 623 pasien dengan AVM serebral yang berhasil diobati di Universitas
Helsinki, Laakso dan kolega menemukan bahwa pasien dengan AVM serebral
35
memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada populasi umum, dan hal
berlangsung selama 20 tahun. Tingkat kematian keseluruhan dari semua penyebab
adalah 2 persen, dan setengah dari kematian ini terkait AVM. Menariknya, angka
kematian tahunan pada pada pasien yang diberikan pengobatan konservatif adalah
yang tertinggi (3,4 persen), yang terendah (1,2 persen) berada pada pasien yang
AVMnya benar-benar telah 'disumbat', dan menengah (1,8 persen) adalah pada
pasien AVM yang 'disumbat' sebagian. Efek menguntungkan dari oklusi AVM
parsial pada kelangsungan hidup (dibandingkan dengan terapi konservatif) tidak
terlihat sampai 5 sampai 7 tahun setelah perawatan. Penundaan ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa penelitian sebelumnya (dimana frekuensi follow-up-nya
tergolong kurang) telah gagal untuk mendeteksi adanya manfaat dari perawatan
parsial ini. Penulis menjelaskan bahwa pengamatan ini dengan menunjukkan
bahwa oklusi parsial AVM mungkin dapat menghasilkan trombosis AVM yang
bertahap dan oklusi komplit selama kurun waktu beberapa tahun.
d. Embolisasi Kuratif
36
baru-baru ini melaporkan hasil dari embolisasi dalam rangkaian 350 AVM dengan
Onyx. Tujuan terapi endovaskular adalah untuk menyembuhkan semua AVM
berukuran kecil sampai sedang dengan embolisasi saja, dan untuk mengurangi
ukuran AVM yang lebih besar untuk membuat mereka aman untuk diberikan
penanganan dengan radiosurgery atau pembedahan konvensional. AVM kelas I
dan II mencakup 45 persen dari total kohor studi. Secara keseluruhan, para
peneliti mencapai tingkat obliterasi angiografik sebesar 51 persen dengan terapi
endovaskular saja. Dari semua pasien yang awalnya mengalami obliterasi AVM
yang terdokumentasi secara angiografis, semua kecuali satu pasien, yang
meninggal dalam 48 jam setelah menjalani embolisasi, kemudian ditindak lanjuti
dengan angiogram setelah kurun waktu 1 tahun. Dalam kelompok ini, penulisnya
telah menunjukkan sebuah tingkat rekanalisasi yang rendah sebesar 1,1 persen.
Tingkat komplikasi mereka relatif rendah, dengan tingkat kematian keseluruhan
sebesar 1,4 persen dan tingkat morbiditas neurologis permanen sebesar 7,1 persen.
Analisis subkelompok menunjukkan tingkat kesembuhan endovaskular sebesar 98
persen pada pasien AVM kelas I dan II, dengan tingkat morbiditas dan
mortalitasnya masing-masing sebesar 2,5 persen dan 0,6 persen. Namun,
penyembuhan endovaskular hanya diraih oleh 12,5 persen pasien dengan AVM
grade III dan V AVM dan tingkat morbiditas dan mortalitasnya masing-masing
sebesar 10,9 persen dan 2,1 persen.
Meskipun tingkat penyembuhan yang luar biasa dan tingkat morbiditas
yang dapat diterima telah dilaporkan oleh penulis ini, kami percaya bahwa upaya
penyembuhan menggunakan embolisasi harus digunakan dengan hati-hati. Saat
digunakan, strategi embolisasi agresif ini harus dilakukan pada pusat medis yang
memiliki keahlian yang cukup besar dalam embolisasi AVM, dan hanya pada
AVM dengan angioarsitektur yang relatif sederhana, dengan arteri feeding yang
mudah diakses secara endovaskular yang terletak pada derah otak yang dalam atau
kritis lah, di mana reseksi bedah akan membawa morbiditas yang tidak dapat
diterima atau juga pada pasien dengan ko-morbiditas medis yang akan membuat
bedah reseksi terlalu berisiko.
37
Tabel 1. Hasil embolisasi untuk AVM
3.3. Radiosurgery
Tujuan radiosurgery atau bedah-radio adalah penghilangan bertahap AVM
oleh hiperplasia intimal progresif dan trombosis progresif terhadap nidus.
Radiosurgery/bedah-radio dapat dilakukan dengan menggunakan unsur kobalt
sebagai sumber sinar-X (pisau gamma), dengan akselerator linier, atau dengan
mengambil keuntungan dari efek puncak Bragg dari partikel radioaktif berat yang
dihasilkan dengan siklotron (terapi sinar proton atau helium).
38
Radiosurgery stereotaktik sangat ideal untuk AVM kecil (<3 cm) yang
terletak di daerah kritis otak dimana morbiditas dari penyayatan bedah dianggap
tidak dapat diterima (contohnya perdarahan). Hal ini juga merupakan pilihan
pengobatan yang baik untuk pasien dengan usia atau komorbiditas tertentu yang
memiliki risiko terhadap pemberian anestesi umum yang mungkin tidak dapat
diterima.
Tingkat penghilangan pada bedah-radop sulit untuk dievaluasi dan
diperbandingkan pada seluruh seri. Perbandingannya dibuat menantang oleh
beberapa seri yang melaporkan tingkat obliterasi AVM hanya berdasarkan pada
pasien yang mengalami angiografi akhir, dan yang lainnya menggabungkan hasil
MRI dan angiografi. Tingkat obliterasi yang dilaporkan berkisar antara 100 persen
pada AVM kurang dari 4 cm, 3 sampai 78 persen pada pasien yang menjalani
pengobatan untuk pertama kali, dan kurang dari 50 persen pada pasien AVM
dimana malformasinya yang terletak sangat dalam. Ukuran AVM telah terbukti
menjadi prediktor yang penting dari penghilangan yang sukses. Friedman
melaporkan pencapaian tingkat obliterasi sebesar 79 persen pada AVM kurang
dari 10 cm tapi hanya 47 persen untuk AVM dengan ukuran yang sama atau lebih
besar dari 10 cm. Pollock dan kolega melaporkan keseluruhan tingkat obliterasi
222 pasien sebesar 61 persen; tingkat obliterasi meningkat sampai 83 persen
hanya pada AVM yang ukurannya kurang dari 4 cm. Steinberg dkk menerbitkan
tingkat penghilangan 100 persen untuk AVM dengan diameter kurang dari 3,7 cm,
dan tingkat penghilangan 70 persen untuk AVM berukuran sama dengan atau
lebih besar dari 3,7 cm. Tabel 2 merangkum tingkat penghilangan dan komplikasi
dari beberapa seri pengobatan bedah-radio stereotaktis besar.
39
Tabel 2. Hasil post-radiosurgical AVM
Dua kelemahan utama dari radiosurgery adalah periode laten hingga
sampai tuntasnya proses obliterasi dan tidak adanya kepastian dari obliterasi itu
sendiri. Selama periode penundaan ini, yang mungkin berkisar antara 1 hingga
beberapa tahun, pasien tetap berisiko mengalami perdarahan, dan risikonya
hampir sama seperti jika tidak ada pengobatan. Radiosurgery tidak efektif dalam
mengobat 10 sampai 15 persen AVM kecil. Peningkatan ukuran AVM secara
timbal balik mempengaruhi tingkat obliterasi AVM, radiosurgery berulang untuk
AVM yang belum hilang secara keseluruhan memiliki persentase yang lebih
buruk untuk pemusnahan selanjutnya. Tidak ada bukti definitif yang menunjukkan
penurunan pada laju perdarahan ketika lesi tidak sepenuhnya berhasil dihilangkan.
Malformasi arteriovenosa dapat muncul kembali setelah benar-benar tersumbat
pasca bedah-radio/radiosurgery, terutama pada populasi pediatrik (anak-anak).
Ringkasan dari faktor-faktor yang terkait dengan kegagalan pengobatan bedah-
mikro telah dikompilasi dan terdiri dari perubahan pada morfologi nidus
setelah radiosurgery karena resolusi dari hematoma, rekanalisasi dari bagian
AVM yang sebelumnya diembolisasi, kesalahan teknis dalam perencanaan
perawatan, ukuran nidus yang besar (diatas 10 cm), dan peningkatan
dalam kelas Spetzler-Martin.
Terdapat risiko cedera neurologis yang kecil namun signifikan dari
kerusakan akibat radiasi (3-10 persen, tergantung pada lokasinya). AVM pada
jaringan otak fungsional atau berdekatan denga jaringan tersebut memiliki risiko
40
cedera radiasi yang lebih tinggi. Kasus-kasus langka dari tumor sekunder yang
berasal dari bedah-radio/radiosurgery telah pula dilaporkan. Komplikasi lain
termasuk kematian (dibawah 0,2 persen), cedera saraf kranial (1 persen), kejang
baru atau kejang lama yang memburuk (0,8 persen), peningkatan resiko
perdarahan kembali setelah radiosurgery pada AVM yang berukuran besar dan
usia pasien yang relatif lebih tua, dan hiperemia oklusif.
Teknik radiosurgery telah dipuji dalam hal efektivitas biasaya-nya apabila
digunakan sebagai alternatif dari pembedahan dari AVM yang memang perlu
dioperasi. Namun, apabila mempertimbangkan model analisis pengambilan-
keputusan, biaya dari perdarahan di masa depan dan pengobatan-pengobatan
lanjutan yang mungkin diperlukan apabila pasien diobati dengan bedah-radio,
kami menemukan bahwa pembedahan mikro lebih cost-effective dibandingkan
radiosurgery secara jangka-panjang.1,2,4
E. Komplikasi
1. Komplikasi Intraoperatif
41
berlangsungnya reseksi nidus, kehati-hatian harus diutamakan dalam mengangkal
pinggiran korteks yang tipis tanpa memasuki AVM. Namun, reseksi
sirkumferensial yang lebar dapat mengarah kepada kerusakan permanen dari
parenkima fungsional. Mekanisme cedera lainnya mencakup pemotongan arteri
feeder yang terlalu jauh dari nidus, retraksi yang berlebihan, dan cedera pada
pembuluh vena 'jembatan'. Cedera radiasi juga merupakan kekhawatiran tersendiri
dalam reseksi dari AVM temporal maupun oksipital. Pada perencanaan operasi
bedah, seorang dokter harus memperhitungkan jalur-jalur anatomisdari serat
genikulokalkarin dan loop Meyer ketika mereka melewati area ventrikel lateral. .
Pertimbangan tambahan untuk menghindarkan cedera adalah pelepasan CSF,
penempatan yang berhati-hati, kraniotomi yang lebar, dan pendekatan pada dasar
tengkorak.
2. Komplikasi Pasca-Operasi
2.1. Perdarahan
2.2. Kejang-Kejang
42
Breakthrough) merujuk kepada teori bahwa perubahan hemodinamis setelah
dilakukannya reseksi AVM dapat mengarah kepada edema serebral, perdarahan,
atau keduanya. Prediktor angioarsitektural dari NPPB adalah arteri feeding dengan
aliran yang tinggi, panjang, dan besar yang membelokkan arus dari parenkima
sekeliling (fenomena 'pencurian' arus). NPPB dapat dihindari dengan meng-
embolisasi lesi secara selektif yang memiliki karakteristik seperti yang
disebutkan.
2.6. Vasospasm
F. Prognosis
Semua AVM di otak sangat berbahaya
- Resiko terjadinya hemoragi pertama adalah seumur hidup,
meningkat sesuai usia (2-4% per tahun, kumulatif)
- Sebagian besar akan menimbulkan gejala seumur hidup pasien
43
Sembuh spontan sangat jarang terjadi (< 1% kasus)
- 75 % merupakan lesi kecil (< 3cm) aliran vena tunggal
- 75 % memiliki ‘spontanneous’ ICH2
44
BAB III
KESIMPULAN
Tidak ada protokol tetap yang akan langsung cocok pada pasien tertentu
dan secara otomatis memudahkan proses pengambilan keputusan untuk dokter.
Pasien dengan AVM grade I dan II harus menjalani pembedahan, dengan syarat
pasien relatif muda dan sehat. Radiosurgery merupakan alternatif yang masuk
akal pada pasien lanjut usia yang umumnya memiliki ko-morbiditas yang
signifikan akan pembedahan. Keputusan mengenai AVM grade III tidak dapat
langsung diambil begitu saja, meskipun beberapa kasus pada kelas ini dapat
menjalani bedah reseksi dengan disertai morbiditas yang dapat diterima. Sebagian
besar lesi grade IV dan V harus dirawat secara konservatif karena bedah reseksi
dikaitkan dengan morbiditas yang serius pada kelas ini dan kemungkinan untuk
melenyapkan AVM sepenuhnya dengan terapi multimodal rendah. Lebih jauh
lagi, kebanyakan bukti menunjukkan bahwa obliterasi AVM parsial tidak
memperbaiki riwayat alami AVM dan bahkan mungkin malah memperburuk
45
keadaan.
46
DAFTAR PUSTAKA
47