Anda di halaman 1dari 48

Refarat

Cerebral Arteriovenous Malformation

OLEH:

Nur Syahrul Ramadhan NR (70700122003)

Nurul Annisa (70700122004)

Pembimbing
dr. Saharuddin, M.Kes
Dr. dr. Nadyah Haruna, M.Kes

SUPERVISOR:
dr. Maulana, Sp.Rad.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN RADIOLOGI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif jarang


tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Umumnya, lesi yang terjadi akibat
kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan
tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi malformasi
arterio- vena (AVM) semakin sering ditemukan.
Arterio-Venous Malformation (AVM) atau malformasi pada pembuluh darah
arteri dan vena dengan banyak pirau yang saling berhubungan tanpa pembuluh
darah kapiler sehingga rentan terjadi penyumbatan di otak. AVM merupakan
kelainan kongenital atau bawaan lahir yang jarang terjadi namun berpotensial
memberikan gejala neurologi yang serius apabila terjadi pada vaskularisasi otak
dan bahkan berisiko menimbulkan kematian.
Penyakit AVM umumnya adalah penyakit yang tidak menunjukkan gejala
apapun dan baru diketahui setelah terjadi perdarahan intrakranial atau
subarahnoid. Penyakit ini biasanya memberikan gejala berupa sakit kepala dan
kejang tanpa sebab.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Arteriovenous Malformation adalah kumpulan dari pembuluh darah
abnormal dari koneksi fistula antara arteri dan vena tanpa disertai jaringan neural
fungsional atau juga sering disebut bed/ranjang kapiler. Lesi terdiri atas tiga
komponen, feeding arteries, nidus dan draining vein. Nidus menggantikan
arteriole dan kapiler normal dengan pembuluh darah yang resistensinya rendah
tapi alirannya tinggi. Malformasi arterivena biasanya terjadi di otak, tetapi kadang
dapat terjadi di medulla spinalis dan lapisan dura. Tekanan dari darah yang
melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk diterima oleh vena dan ini
menyebabkan vena mengembang. Pengembangan ini mampu menyebabkan vena
itu pecah dan berdarah.1

B. Epidemiologi
AVM intrakranial adalah lesi yang tak lazim dengan insidensi/kemunculan
serta prevalensi yang sukar ditebak. Data otopsi menunjukkan bahwa frekuensi
terdeteksinya AVM adalah 4,3% dari keseluruhan data. Dalam studi berbasis
populasi, angka insidensi yang dilaporkan berada pada 1,1 per 100.000 orang pada
Olmstead County, Minessota; 1,34 per 100.000 orang pada Manhattan, Staten dan
Long Island di New York, dll. Data prevalensi dalam berbagai literatur bervariasi
mulai dari 18 per 100.000 orang dalam sebuah analisis retrospektif di Skotlandia
hingga 0,2 persen dalam sebuah analisis terhadap 2500 pria berkebangsaan
Jerman yang asimtomatik. Meskipun lesi ini terhitung 12 kali lipat lebih jarang
dibandingkan aneurisme intrakranial, mereka mencakup 2% dari seluruh
penyebab stroke dan 38% dari perdarahan intraserebral pada pasien dengan
rentang umur 15 hingga 45 tahun.

AVM serebral umumnya ditemukan pada dekade ketiga atau keempat dari
seorang indivdu, namun penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai rentang

2
umur. Belum ada studi yang dapat mengungkapkan secara jelas predominansi
jenis kelamin pasien terhadap penyakit ini. AVN dapat ditemukan pada banyak
lokasi anatomis, dimana kompartmen supratentorial adalah lokasi yang paling
umum. Serebelum adalah lokasi ditemukannya AVM yang paling umum pada
fossa posterior, sedangkan batang otak dan lokasi-lokasi ventrikular lain lebih
jarang dijangkiti. Malformasi semacam ini umumnya bersifat tunggal/solitary,
namun sekitar 1 hingga 9 persen dari pasien memiliki beberapa lesi sekaligus.1

C. Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah diusulkan menentukan menggolongkan
AVM-AVM serebral. Sistem-sistem ini mencakup berbagai fitur anatomis dan
fisiologis dari AVM yang akan mempengaruhi pengobatan. Sistem penilaian
Spetzler-Martin merupakan sistem klasifikasi yang paling banyak diterima
praktisi medis dan yang paling banyak memiliki kegunaan untuk memberikan
informasi mengenai AVM serebral serta memberikan prediksi dari kesulitan
teknis dan resiko terkait reseksi lesi tersebut. Pada sistem ini, AVM digolongkan
mulai dari derajat I hingga V, yang sesuai dengan skala titik yang bergantung
kepada ukuran dari lesi AVM, kedekatannya dengan jaringan saraf elokuen dan
apakah AVM terhubung dan mengalirkan darah ke sistem vena dalam.

1. Ukuran Malformasi Arteriovenosa

Ukuran dari AVM dinilai dengan mengukur diameter terbesar nidus AVM
pada citra dari DSA, CT atau MRI. Nidus AVM kemudian akan dibagi-bagi ke
dalam kategori kecil (kurang dari 3 cm), sedang (3 hingga 6 cm), atau besar (lebih
dari 6 cm). Penilaian akan ukuran dari AVM ditunjukkan sebagai pengganti akan
penghitungan jumlah arteri feeding-nya, jumlah arus darah yang melewati AVM
dan derajat efek hemodinamis pada jaringan otak di sekitarnya.

2. Elokuensi dari Jaringan Otak Sekeliling

Jaringan syaraf elokuen dijabarkan sebagai daerah pada otak yang


memiliki fungsi neurologis yang mudah dikenali dan apabila terluka dapat

3
mengakibatkan defisit neurologis yang mengakibatkan kecacatan permanen. Area-
area ini mencakup korteks visual, bahasa, motor dan indrawi/sensory; hipotalamus
dan talamus; kapsul internal; batang otak; pendunkel serebelum; dan nukleus
serebelum yang terletak jauh di dalam otak. Namun area pada otak seperti korteks
serebelum atau frontopolar, dianggap bukan merupakan bagian dari jaringan
elokuen karena memiliki fungsi neurologis yang apabila terluka tidak akan
menimbulkan kecacatan yang melumpuhkan.

3. Pola Drainase pada Vena

Drainase vena akan dinilai sebagai 'dangkal' apabila seluruh pembuluh


vena pengeringan/drainage adalah bagian/komponen dari sistem vena kortikal,
dan akan dinilai 'dalam' apabila salah satu atau keseluruhan dari vena drainase ini
mengalir melewati pembuluh darah otak internal atau sistem galen. Pada fosa
posterior, hanya vena kortikal serebelum (otak kecil) yang 'menguras' darah
langsung ke sinus dural-lah yang dianggap dangkal.

Keberadaan drainase vena dalam adalah indikator tidak langsung dari fakta
bahwa AVM telah melibatkan dinding ventrikel atau AVM terletak atau meluas
jauh ke dalam otak. FItur-fitur ini akan membuat reseksi lebih menantang secara
teknis karena fitur-fitur ini sangatlah sulit untuk dicapai dan disuplai oleh arteri
yang berada jauh didalam otak bahkan apabila fitur ini tidak selalu terlihat pada
citra angiogram. Lebih lanjut, keterlibatan dinding ventrikel dikaitkan dengan
keberadaan pembuluh vena subependimal yang terarterialisasi, yang sangatlah
rapuh, tahan akan koagulasi, dan cenderung 'menarik' diri ke dalam ventrikel.
Namun, drainase vena dalam dapat dianggap menguntungkan pada saat operasi
karena pembuluh 'penguras' ini tersembunyi dari dokter bedah sampai saat-saat
terakhir reseksi AVM. Semakin tinggi derajat AVM-nya, semakin tinggi pula
kesulitan dan resiko dari pembedahan dengan reseksi. AVM kelas rendah (grade I
dan II) memiliki tingkat morbiditas rendah (0 hingga 5 persen) terkait reseksinya
dan umumnya ditangani secara bedah. AVM dengan derajat tinggi (IV dan V)
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi (12 hingga 38 persen) terkait reseksinya,

4
dan umumnya membutuhkan penanganan konservatif. Sebaliknya AVM derajat
ke-III mewakili grup lesi yang heterogen dengan resiko pembedahan yang
bervariasi. Dalam serangkaian pembedahan dari 74 pasien dengan AVM kelas III,
Lawton menemukan bahwa AVM kecil (S1V1E1), AVM sedang/dalam
(S2V1E0), dan AVM yang medium/elokuen (S2V0E1) memiliki risiko bedah
(baik itu dalam kemunculan defisit neurologis baru atau kematian) sebesar 2,9
persen, 7,1 persen, dan 14,8 persen, secara berurutan. (S mewakili size/ukuran, V
mewakili drainase vena, dan E mewakili elokuensi dari AVM). Menariknya, tidak
terdapat AVM dari derajat ke-III pada seri/rangkaian ini, baik karena bias seleksi
atau kelangkaan dari lesinya sendiri. Hasil ini membuat Lawton menyarankan
agar sistem klasifikasi Spetzler-Martin kelas III berdasarkan resiko pembedahan
sebagai berikut: AVM kelas III- (S1V1E1), dengan risiko yang serupa dengan
AVM kelas rendah, dapat ditangani dengan aman dengan reseksi mikro; AVM
kelas III+ (S2V0E1), dengan risiko yang serupa dengan AVM kelas tinggi, harus
dikelola secara konservatif; dan AVM kelas III (S2V1E0), dengan risiko yang
tergolong menengah, memerlukan seleksi yang tepat terlebih dahulu sebelum
memulai operasi. Modifikasi serupa diajukan oleh de Oliveira dan kolega, dimana
mereka mengajukan bahwa AVM kelas III dibagi ke dalam dua subkelas, yaitu
IIIA apabila lesinya tergolong besar dan IIIB apabila lesinya kecil namun
memiliki drainase vena yang dalam atau terletak di area elokuen. De Oliveira dan
kolega umumnya merekomendasikan embolisasi yang diikuti dengan bedah
reseksi untuk AVM IIIA dan pembedahan-radio untuk IIIB.

Meskipun kebanyakan ahli bedah telah mengkonfirmasi validitas dari


sistem klasifikasi Spetzler-Martin dalam memperkirakan morbiditas dan
mortalitas terkait pembedahan, klasifikasi ini memiliki kelemahan dalam beberapa
faktor penting seperti, mengklasifikasi pola suplai arterial (dangkal atau dalam
dan menyebar), konfigurasi nidus (padat atau difusif) dan keberadaan aneurisma
pada arteri feeding. Namun, sistem klasifikasi ini sangat berguna untuk
mengkomunikasikan informasi mengenai AVM serebral, analisis dari seri kasus
tiap individu ahli bedah dan perbandingan dengan hasil-hasil dari seri bedah lain

5
atau modalitas pengobatan. Lebih lanjut, sistem ini berguna sebagai titik awal dari
proses pengambilan keputusan.1,2,4

D. Patofisiologi
Patogenesis dari AVM masih tergolong kontroversial. Lesi-lesi ini
umumnya dipercaya tumbuh dengan sendirinya, meskipun terdapat bukti adanya
faktor lain yang belum diketahui yang memicu pertumbuhannya. Terdapat dugaan
bahwa penyimpanan dari koneksi arteriovenosa awal atau kegagalan dari
pembentukan jaringan kapiler penghalang arteri dan vena merupakan penyebab
pembentukan malformasi arteriovenosa. Terdapat pula dugaan bahwa
abnormalitas utama pada patogenesis AVM berada pada terganggunya sistem
drainase vena. Hipertensi pada pembuluh vena juga diduga kuat meningkatkan
tekanan intrakranial/didalam tengkorak, menurunkan tingkat perfusi jaringan dan
meningkatkan faktor angiogenik (faktor pembentuk angioma). Terganggunya arus
pada vena dapat membuka 'kembali' koneksi arteriovenosa, 'sambungan' ini akan
membesar seiring waktu. Keberadaan beberapa tipe malformasi vaskular sekaligus
juga diketahui dalam beberapa kasus. Serupa dengan kasus tersebut, terdapat
banyak laporan yang menunjukkan adanya pola-pola drainase vena yang tidak
normal, yang kemudian diasosiasikan baik dengan AVM, telangiektasia dan
cavernoma, adapun, masih belum jelas apakah keterkaitan ini merupakan bagian
dari efek sebab-akibat atau hanya sekedar kebetulan semata dimana terdapat
beberapa vaskulatur serebral secara bersamaan.

AVM terdiri atas tiga bagian yaitu feeding arteri, nidus dan draining vein.
Nidus disebut juga sarang karena tampak seperti pembuluh darah yang berbelit –
belit. Feeding artery memiliki lapisan otot yang tidak adekuat dan draining vein
cenderung mengalami dilatasi karena kecepatan aliran darah yang melaluinya.
Beberapa orang lahir dengan nidus yang seiring dengan waktu cenderung melebar
karena tekanan yang besar pada pembuluh arteri tidak dapat dikendalikan oleh
vena yang mengalirkannya. Mengakibatkan kumpulan pembuluh darah besar yang
tampak seperti cacing dapat mengalami perdarahan di masa yang akan datang.

6
Gambar 1. Perbedaan antara aliran darah pada AVM dan yang normal

AVM serebral umumnya ditemukan pada dekade ketiga atau keempat dari
seorang indivdu, namun penyakit ini dapat ditemukan dalam berbagai rentang
umur. Belum ada studi yang dapat mengungkapkan secara jelas predominansi
jenis kelamin pasien terhadap penyakit ini. AVN dapat ditemukan pada banyak
lokasi anatomis, dimana kompartmen supratentorial adalah lokasi yang paling
umum. Serebelum adalah lokasi ditemukannya AVM yang paling umum pada
fossa posterior, sedangkan batang otak dan lokasi-lokasi ventrikular lain lebih
jarang dijangkiti. Malformasi semacam ini umumnya bersifat tunggal/solitary,
namun sekitar 1 hingga 9 persen dari pasien memiliki beberapa lesi sekaligus.

Malformasi vaskular serebral juga dikaitkan bersamaan dengan gangguan


genetik tertentu. SIndrom Sturge-Weber, yang juga dikenal dengan angiomatosis
ensefalotrigeminal, adalah sindrom neurokutan yang tidak memiliki moda
transmisi genetik yang jelas. Sindrom ini ditandai dengan angioma kutan (yang
juga disebut port-wine stain) yang melibatkan bagian wajah pasien dalam
distribusi malformasi vaskular pada leptomeninges/membran halus di kedua sisi
(ipsilateral) dan pada syaraf trigeminal. Lesi vaskular yang mencirikan sindrom
ini umumnya melibatkan lobus parieto-oksipital dan terdiri dari subaraknoid yang
berdinding tipis serta pembuluh pia yang menyerupai kanal kapiler serta vena.

7
Kalsifikasi distrofik juga terjadi pada lapisan tengah dari materi abu-abu (L.:
substansia grisea), dimana kalsifikasi ini berpusat pada pembuluh-pembuluh
mikro dan menghasilkan garis paralel ganda apabila dilihat pada radiograf atau
hasil CT scan. Pasien dapat menderita epilepsi parah dan kemungkinan akan
mengalami kecacatan mental. Sindrom Rendu-Osler-Weber, yang juga dikenal
dengan nama telangiektasia hemoragik turunan/herediter, adalah gangguan genetis
autosomal dominan yang diakibatkan oleh mutasi pada gen reseptor TGF-beta.
Sindrom ini dicirikan dengan malformasi vaskular yang melibatkan jaringan
kutan/kulit, mukosa dan visceral. Lesi vaskular serebral mencakup telangiektasia
atau banyak AVM. Sindrom Wyburn-Mason dicirikan dengan nevi kutan
unilateral dan AVM yang melibatkan retina, syaraf optik dan diensefalon.1,2,4

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari AVM dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori
dasar: perdarahan intraserebral, seizure/kejang, defisit neurologis, sakit kepala.
dan lesi asimtomatik atau insidental/karena kecelakaan.

1. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral masih menjadi presentasi yang paling berbahaya


serta yang paling umum ditemui. Pecah pada AVM bertanggung jawab atas
kemunculan presentasi ini pada 70% dari pasien di masa lampau. Ulasan terbaru
dari studi-studi di zaman modern menemukan bahwa 45 hingga 72 persen dari
pasien AVM akan mengalami presentasi awal semacam ini. Karena hal tersebut,
AVM bertanggung jawab atas sepertiga dari keseluruhan penyebab stroke
perdarahan pada pasien usia dewasa, dan hal ini menempatkan AVM dalam
urutan kedua setelah pecahnya aneurisma arteri. Perdarahan intraparenkimal
adalah tipe yang paling umum, diikuti oleh perdarahan intraventrikular
subaraknoid. Kebanyakan pasien mengalami perdarahan pertama mereka pada
saat umur 20 hingga 40 tahun. Perkiraan mortalitas serta morbiditas permanen

8
pada tiap jenis perdarahan (secara berurutan), adalah 10 hingga 30 persen serta 20
hingga 30 persen.

2. Kejang-kejang

Kejang menempati urutan kedua presentasi AVM supretentorial yang


paling banyak ditemui. Munculnya kejang-kejang tanpa perdarahan yang jelas
terlihat ditemukan pada 25 hingga 50 persen kasus; 18 hingga 35 persen pasien
yang dievaluasi setelah mengalami kejang-kejang ditemukan mengidap AVM.
Umur rata-rata awal kemunculan presentasi ini berada pada 25 tahun. Kejang
parsial kompleks serta kejang-kejang 'sederhana' adalah tipe-tipe yang paling
umum dikenali. Patofisiologi dari kemunculan kejang-kejang mungkin merupakan
reaksi sekunder dari iritasi korteks serta mass effect, perubahan/alterasi
hemodinamik yang mengarah pada iskemia, atau gliosis. Kejang-kejang
ditemukan lebih sering terjadi pada penderita AVM yang memiliki setidaknya
satu atau lebih dari fitur-fitur ini: distribusi arteri serebral tengah (MCA/Middle
Cerebral Artery) yang berukuran besar, arterial feeder yang berlokasi di korteks,
dan keberadaan varises pada vena.

3. Defisit Neurologis Progresif

Sekitar 3 hingga 10 persen yang mengidap AVM serebral akan


menunjukkan defisit neurologis progresif tanpa adanya perdarahan. Patofisiologi
yang mendasarinya adalah bahwa presentasi klinis ini muncul setelah mass effect
atau dikarenakan iskemia. Mass effect dapat terjadi karena adanya tekanan
langsung oleh AVM atau edema serebral di sekeliling parenkima. 'Pencurian'
iskemia dianggap berasal dari jalur berarus tinggi dan memiliki resistansi yang
rendah akibat dari AVM. Arus darah serebral (CBF) dari jaringan disekitarnya
akan hilang akibat malformasi ini. Hal ini dapat mengarah kepada berbagai
macam gejala, yang bergantung pada lokasi anatomis dari iskemia. AVM yang
lebih besar dan beberapa karakteristik tertentu dari shunt atau sambungan arteri
dan venanya lebih memungkinkan untuk menimbulkan iskemia simtomatik.

9
Evaluasi Doppler transkutan telah menunjukkan kecepatan serta volume arus yang
lebih tinggi pada populasi pasien yang memiliki presentasi semacam ini.

4. Sakit Kepala

Sekitar 6 hingga 14 persen dari pasien yang mengidap AVM akan


mengalami sakit kepala kronis yang tidak disertai perdarahan. Pola dari sakit
kepala ini umumnya hemikranial (baik ipsilateral/pada kedua sisi maupun
kontralateral/pada sisi berlawanan dari lokasi AVM) dan serupa dengan migrain;
adapun insidensi dari sakit kepala akibat migrain pada pasien dengan AVM tidak
akan melebihi insidensi dari populasi umum. Pasien dengan AVM oksipital lebih
rentan dengan presentasi ini. Ketika sakit kepala yang dirasakan menjadi serupa
dengan ciri-ciri migrain, presentasi ini akan terjadi pada sisi kepala dimana AVM
terletak. Fenomena visual, apabila terjadi, akan selalu berada pada jarak pandang
di sisi yang berlawanan dari lokasi AVM. Konsistensi dari lateralisasi migrain ini
membedakan pasien yang mengidap AVM oksipital dari pasien dengan migrain
klasik dimana sakit kepala umumnya akan berpindah tempat/sisi. Maka dari itu,
apabila seorang pasien yang mengalami migrain melaporkan bahwa sakit kepala
serta fenomena visual yang dialaminya selalu berada pada sisi yang sama, studi
pencitraan harus segera diindikasikan untuk memastikan keberadaan lesi organik
seperti AVM. Patofisiologi yang diajukan adalah bahwa presentasi ini disebabkan
oleh perekrutan pembuluh-pembuluh arteri pada meninges dan peningkatan dari
arus laju darah.

5. Asimtomatik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebanyakan pasien yang


didiagnosa dengan AVM menunjukkan presentasi seperti perdarahan atau kejang-
kejang, namun dengan semakin banyak digunakannya pencitraan yang non-
invasif, tidak jarang terdapat penemuan AVM secara tidak sengaja pada pasien
yang dievaluasi dengan pencitraan karena berbagai keluhan. Proporsi ini telah
meningkat sebanyak 10 persen pada era modern, dibandingkan pada era lampau
(sebanyak 2 persen). Menariknya, dalam studi berbasis populasi tunggal terhadap

10
malformasi vaskular intraserebral, 40 persen dari seluruh pengidapnya berstatus
asimtomatik.1,2,4

F. Diagnosis
Insidens diagnosis unruptured AVM meningkat seiring dengan
perkembangan teknologi kedokteran sebagai alat penunjang diagnostik.
Sebelumnya, diagnosis AVM umumnya ditegakkan setelah adanya perdarahan
intraserebral akibat ruptur AVM atau aneurisma terkait-AVM. 1-6 Pemeriksaan
yang dapat membantu diagnosis AVM adalah pemeriksaan radiologis berupa
angiogram, CT scan dan MRI.
Pemeriksaan CT scan dan MRI otak sebagai alat diagnostik unruptured
AVM merupakan salah satu pemeriksaan pilihan. Namun, pemeriksaan CT scan
tanpa kontras memiliki sensitivitas yang rendah. Pemeriksaan ini memberikan
gambaran lesi, perkiraan jenis lesi, dan lokasi anatomisnya. 7
1. Angiogram
Angiogram (arteriogram) adalah baku emas untuk diagnosis kelainan pada
pembuluh darah karena paling komprehensif, spesifik dan sensistif. Akan tetapi
pemeriksaan ini mahal dan invasif. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu selama
kurang lebih 2 jam. pada pemeriksaan angiografi dibutuhkan kontras yang
dimasukin melaui arteri femoralis atau secara langsung pada daerah arteri karotis
komunis. Kontras yang digunakan adalah renografin, conray 60, urografin,
angiografin.
Arteriografi merupakan standar penting untuk menggambarkan anatomi
arteri dan vena, sebagai tambahan, angiografi yang sangat selektif dapat memberi
data penting mengenai fungsi dan fisiologi untuk analisis klinis tindakan.CT scan
dengan kontras dan didapatkan gambaran malformasi arteri vena pada daerah
parietal kiri, kemudian untuk mengetahui anatominya dilakukan angiografi.
Angiografi kateter masih menjadi criteria standar untuk menggambarkan AVM
pada otak dan medulla spinalis. Angiografi adalah penilaian real time yang tidak
hanya menunjukan keberadaan AVM, tetapi juga menunjukan vascular transit

11
time. Angiografi juga dapat menentukan asal dari AVM apakah dari pial, dural
ataupun keduanya. Angiografi dapat digunakan untuk menentukan ukuran AVM
dan menilai kepadatan nidus. Angiografi juga dapat menggambarak faktor resiko
untuk peradarahan seperti aneurisma dan stenosis vena.

Gambar 2. Angiogram pada AVM, a tampak bagian – bagian dari AVM, b


penampang lateral

Kekurangan dari Angiografi


Angiografi adalah prosedur yang invasif dan memiliki resiko saat
penempatan kateter, pemberian kontras dan injeksinya. Resiko neurangiografi
seperti stroke, diseksi arteri, reaksi terhadap bahan kontras, dan gagal ginjal.
Resiko yang mungkin terjadi
 Resiko yang timbul akibat angiogram sangat kecil untuk terjadi.
Pada kebanyakan kasus, maslah muncul 2 jam setelah tes dilakukan
saat berada di ruanag pemulihan dan jika terjadi masalah selama
angiogram maka pemeriksaan dihentikan dan mungkin dibutuhkan
pengobatan segera bahakan pembedahan.
 Ada kemungkinan kecil bahwa kateter merusak pembuluh
atau melepaskan darah yang membeku atau lemak dari dinding
pembuluh darah. Bekuan darah (clot) atau lemak dapat memblokir
aliran darah.
 Perdarahan dapat terjadi karena jarum. Bahkan bekuan darah dapat
terbentuk di tempat kateter dimasukkan sehingga dapat menggangu
aliran darah ke kaki atau lengan.

12
 Penggunaan iodine dapat menyebabkan hilangnya air atau bahkan
langsung merusak ginjal, terutama pada pasien dengan gannguan
ginjal, diabetes atau yang dehidrasi.
 Selalu ada kemungkinan kecil kerusakan sel atau jaringan dari
pajanan radiasi, bahkan pada tingkat rendah seperti pada
pemeriksaan ini.

2. CT Scan
CT scan adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi
perdarahan pada otak atau rongga berisi cairan di sekeliling otak. Pemeriksaan
pada otak dapat dilakukan baik menggunakan kontras ataupun tidak. Dengan CT
scan kita bisa melihat malformasi arterivena di otak, terutama setelah pemberian
kontras. Deteksi perdarahan lobar mengindikasikan adanya masa atau AVM. CT
scanning digunakan untuk mengidentifikasi area perdarahan akut, dan hasilnya
dapat member kesan adanya malformasi vaskuler, lebih jelas jika menggunakan
kontras. Selain itu, CT scanning dapat menggambarkan kalsifikasi vaskuler
yang berhubungan dengan AVM.

Gambar 3. CT scan kepala menunjukan malformasi arterivena pada


lobus oksipital kiri dengan multiple flebolit yang terkalsifikasi dan dan banyak
hiperatenuasi vaskular channels.

13
Gambar 4. Arteriovenous malformasi (AVM) dari otak. CT scan fossa
posterior menunjukkan pendarahan pada ventrikel keempat, dengan ekstensi ke
cerebellum kiri.

Gambar 5. CT scan awal menunjukkan lesi berukuran 1,5 cm yang


berlobulasi dan kalsifikasi di sentral yang dikelilingi substansi hipoatenuasi.

14
Gambar 6. Classic deep type AVM pada wanita 19 tahun dengan nyeri
kepala mendadak yang diikuti dengan kehilangan kesadaran. Pada pemeriksaan
terdapat palsi nervus VI bilateral (a) potongan axial. Dan (b) CT scan dengan
kontras . CT scan menunjukkan struktur vascular yang meningkat pada thalamus
kiri. Meskipun tidak terbukti adanya perdarahan di CT Scan, secara klinis
dicurigai terdapat ruptur.

Gambar 7. AVM cerebri pada wanita 27 tahun dengan riwayat 6 tahun


kejang dan nyeri kepala. CT scan potongan axial dengan kontras menunjukkan
terdapat lesi vascular lobus frontal parasagital kiri, dengan area focal internal
isoatenuasi yang menunjukkan parenkim otak yang normal diselingi dengan
nidus.

15
Gambar 8. AVM Cerebri pada anak perempuan 10 tahun riwayat
hemiparesis kanan progresif, kemosis dan proptosis mata kiri. (a) CT scan
kontras potongan axial setinggi orbita dan (b) cerebri menunjukkan adanya
peningkatan lesi vaskuler ganglia basalis kiri. Masa lesi yang mendesak ventrikel
lateral kiri.

Gambar 9. AVM temporal cerebri pada anak 15 tahun dengan nyeri kepala
mendadak yang diikuti dengan kejang. CT scan axial menunjukkan lesi
hiperatenuasi pada lobus temporal sesuai dengan hematom intraparenkim

Kekurangan CT
 CT Scan hanya dapat mengidentifikasi AVM yang besar,karena
AVM relatif isoatenuasi dengan parenkim normal sehingga bisa
saja terabaikan apalagi tanpa penggunaan kontras.
 Pada CT scan, AVM muncul sebagai masa nonkalsifikasi atau
masa kalsifikasi dan masa fokal yang hiperatenuasi sehingga sulit

16
dibedakan dengan tuberous sclerosis, kista koloid, neoplasma, dan
aneurisma.

3. Magnetic Resonance Imaging


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu mengidentifikasi
dan menggambarkan AVM pada sistem saraf pusat yaitu pada otak dan medulla
spinalis tanpa radiasi ataupun teknik yang invasif. MRI biasanya mengikuti CT
scan pada pasien neurologi saat terjadi kelainan pada vaskuler seperti AVM yang
dicurigai. MRI dapat menunjukan area parenkim yang terkena AVM, menunjukan
dilatasi pada arteri dan vena. MRI adalah pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi
malformasi pembuluh darah dari medulla spinalis dan otak.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) sangat sensitif, menunjukkan
hilangnya sinyal pada area korteks, umumnya dengan hemosiderin yang
menujukkan adanya perdarahan sebelumnya. MRI juga dapat memberikan
informasi penting mengenai lokalisasi dan topografi dari AVM bila intervensi
akan dilakukan.

Gambar 10. Gambaran Malformasi arterivena pada otak dengan metode


MRI.

Pemeriksaan MRI dapat melihat keadaan pembuluh darah dengan lebih


efektif yaitu menggunakan MR angiografi (MRA). Pemeriksaan MRA juga dapat
dilakukan untuk mengetahui gangguan secara non-invasif, tetapi tidak
memberikan informasi mengenai berbagai faktor secara rinci seperti adanya

17
aneurisma intranidal atau aneurisma pada feeding artery, pola drainage vena, atau
karakteristik nidus. Gambaran dari MRA mengenai keadaan AVM sangat baik.
Lesi tersembunyi dari angiogram konvensional dapat diidentifikasi oleh MRI
karena kemampuan untuk menggambarkan hemosiderin atau bukti lain pecahnya
darah. Produk1– produk pecahnya darah tampak beberapa waktu setelah
perdarahan intrakranial.

Kekurangan
MRI adalah pemeriksaan yang sangat sesuai untuk menunjukan nidus dan
aliran darah abnormal akan tetapi pada perdarahan serebral akut AVM yang
terkompresi tidak menunjukan alirannya dan tidak terlihat. Pada keadaan ini
dibutuhkan MRI serial untuk mencari penyebab perdarahan.MRI dapat
menyebabkan beberapa arteri feeding tidak terdeteksi.MRI memiliki sensistifitas
yang rendah untuk mendeteksi malformasi dural.5,7

E. Penatalaksanaan
1. Proses pengambilan keputusan

Penatalaksanaan dari pasien dengan AVM serebral didasarkan dari


pemahaman menyeluruh dari riwayat alamiah serta resiko dari intervensi.
Keputusan mengenai penatalaksanaan dari AVM serebral adalah rumit. Maka dari
itu, terdapat beberapa faktor yang spesifik untuk tiap pasien yang harus diamati.

1.1. Faktor Terkait AVM

Sistem penggolongan Spetzler-Martin didesain untuk memprediksi resiko


pembedahan yang dikaitkan dengan reseksi terhadap AVM. Pengaruh dari ukuran,
lokasi dan pola dari drainase vena pada riwayat alamiahnya harus diperhatikan
dalam proses pengambilan keputusan.

a. Ukuran AVM

Pengaruh ukuran akan kemunculan perdarahan pada waktu yang akan

18
datang masih tergolong kontroversial. Dalam serangkaian pembedahan terhadap
168 pasien yang diberikan setelah munculnya gejala tanpa disertai perdarahan,
ukuran AVM tidak ditemukan sebagai faktor prediktif dari perdarahan di waktu
yang akan datang. Namun penelitian lain menemukan pasien dengan AVM yang
kecil namun dengan resiko yang lebih tinggi akan perdarahan. Spetzler dan kolega
melaporkan insidensi yang secara signifikan lebih tinggi dalam presentasi
perdarahan pada AVM kecil (<3 cm) dibandingkan dengan yang besar (>6 cm),
persentasenya (secara berurutan) adalah 82 persen versus 21 persen. Mereka
kemudian membandingkan pengukuran tekanan pembuluh arteri feeding pada fase
intraoperatif pada AVM besar serta kecil. Mereka menemukan tekanan darah pada
arteri feeding yang secara signifikan lebih tinggi pada AVM yang lebih kecil, dan
menyiratkan bahwa perbedaan pada tekanan pembuluh feeding ini kemungkinan
besar berpengaruh langsung atas frekuensi dan derajat keparahan dari perdarahan.

b. Lokasi AVM

Lokasi infratentorial yang dalam telah ditunjukkan memiliki keterkaitan


dengan tingginya resiko perdarahan dibandingkan AVM supratentorial. Sebagai
tambahan, angka morbiditas terkait perdarahan ini sangatlah signifikan, dimana
85,5 persen dari pasien mengidap hemiparesis atau hemiplegia. Meskipun reseksi
dari lesi ini secara teknis lebih menantang, intervensi dengan pembedahan
sangatlah direkomendasikan.

c. Pola Drainase Vena

Drainase vena yang dalam dianggap sebagai faktor resiko yang penting
pada perdarahan AVM. Nataf dan kolega melaporkan bahwa terdapat korelasi
yang kuat antara frekuensi dari perdarahan dan keberadaan dari drainase yang
dalam ini. Serupa dengan hal tersebut, AVM yang hanya memiliki satu pembuluh
'penguras' atau yang memiliki kerusakan pada drainase vena (baik itu disebabkan
oleh stemosis atau kinking) memiliki resiko yang lebih tinggi akan munculnya
perdarahan. Hal ini dapat dijelaskan karena kerusakan arus vena dari nidus AVM
akan menyebabkan kelebihan beban/overload hemodinamis yang kemudian akan

19
berujung pada pecahnya AVM. AVM dengan fitur semacam ini harus
dipertimbangkan untuk diberikan reseksi bahkan apabila resiko dari pembedahan
tersebut cukup tinggi.

d. AVM dan Aneurisma

Keterkaitan aneurisma dan AVM tidaklah jarang ditemukan. Persentase


kejadian yang dilaporkan berkisar dari 2,7 hingga 58 persen dari keseluruhan
kasus. Terdapat beberapa klasifikasi dari aneurisma yang terkait dengan AVM.
Adapun kemi percaya bahwa klasifikasi sederhana yang terdiri dari aneurisme
intranidal (yang dapat bersifat arterial maupun venosa), aneurisme terkait arus
darah (pada pedikel arteri yang memberi makan/feeding lesi AVM), dan
aneurisma tak terkait (yang terletak pada arteri yang tidak langsung memberi
nutrisi/feeding vessel pada AVM) adalah cukup praktis untuk dipakai.
Resiko dari perdarahan pada pasien dengan AVM yang belum terpecah
dan aneurisma yang juga belum pecah dipelajari oleh Brown dan kolega. Dari 91
pasien dengan AVM yang belum terpecah, 16 (17,6 persen) memiliki total
keseluruhan aneurisma sakular intrakranial yang belum pecah sebanyak 26 buah.
96 persen dari aneurisme terletak pada arteri feeder dari AVM. Selama periode
follow-up, perdarahan intrakranial terjadi pada enam (38 persen) dari 16 pasien
dengan aneurisma serta AVM. Resiko dari perdarahan intrakranial pada 16 pasien
dengan aneurisme serta AVM adalah 7 persen pada tahun pertamanya,
dibandingkan 3 persen pada mereka yang hanya memiliki AVM saja. Pada
rentang waktu 5 tahun, persentase resiko bertahan pada 7 persen per tahun,
dimana resiko ini akan menurun ke angka 1,7 persen per tahun pada pasien yang
memiliki AVM namun tidak memiliki aneurisma.
Serupa dengan temuan ini, Grup Studi Malformasi Vaskular pada Otak
dari Universitas Toronto melaporkan tingkat perdarahan yang lebih tinggi pada
pasien AVM yang dikaitkan dengan keberadaan aneurisma intranidal dan yang
terkait arus darah. Di antara 632 pasien dengan AVM serebral, aneurisma
intranidal ditemukan pada 35 kasus (5,5 persen) dan aneurisma terkait arus
ditemukan pada 71 kasus (11,2 persen). Tiga belas pasien dengan aneurisma

20
intranidal tidak menerima pengobatan. Selama rata-rata periode follow-up atau
tindak lanjut dalam (rata-rata) 11 tahun (range dimulai dari 1,5 hingga 24 tahun)
14 perdarahan terjadi, yang kemudian menghasilkan tingkat perdarahan tahunan
sebesar 9,8 persen. Enam belas pasien dengan aneurisma terkait aliran menerima
pengobatan sebagian dari AVM yang mereka derita, menghasilkan tingkat
perdarahan tahunan sebesar 1,7%. Dengan demikian, total gabungan dari tingkat
perdarahan aneurisma yang terkait perdarhan dan AVMs adalah 7%.
Signifikansi dari aneurisma intranidal arterial maupun venosa, yang cukup
umum ditemukan pada kumpulan AVM yang berukuran besar, tidak diketahui,
karena apabila perdarahan telah terjadi, sangatlah sulit untuk menentukan sumber
pasti dari perdarahan tersebut. Namun, temuan ini kemungkinan terkait dengan
peningkatan resiko dari perdarahan. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa
aneurisma intranidal, atau aneurisma pada pembuluh feeder dari AVM, mungkin
bukanlah faktor independen yang dapat memprediksi, namun aneurisma akan
lebih banyak ditemukan bersamaan dengan AVM yang kompleks dan memiliki
arus yang tinggi, yang membawa resiko yang lebih tinggi akan perdarahan tak
hanya dikarenakan aneurisma itu sendiri, namun juga karena arusnya yang tinggi
atau angioarsitektur-nya yang lebih kompleks.

Penatalaksanaan dari Aneurisma yang Terkait dengan AVM

Penatalaksanaan dari AVM yang diasosiasikan dengan aneurisma


intrakranial bergantung kepada apakah pasien mengalami perdarahan sebelumnya
atau tidak. Pada perdarahan intrakranial, dokter harus terlebih dahulu menentukan
sumber perdarahan berdasarkan pola perdarahan dari hasil CT scan atau morfologi
aneurisma pada angiografi. Perdarahan subaraknoid umumnya menandakan
'kebocoran' dari aneurisma, sedangkan gumpalan intraparenkimal umumnya
dikarenakan perdarahan dari AVM. Namun, sangatlah sulit untuk menentukan
sumber perdarahan, terlebih pada aneurisma intranidal. Apabila sumber dari
perdarahan telah dipastikan berasal dari aneurisma, penatalaksanaan selanjutnya
bergantung pada kedekatan dan kemudahan akses dari aneurisma kepada AVM.
Apabila aneurisma tidak dekat dengan AVM, maka penanganan harus terlebih

21
dahulu diarahkan dalam 'pengamanan' aneurisma lewat metode clipping atau
coiling secara endovaskular, yang diikuti oleh penanganan definitif akan AVM.
Apabila aneurisma tergolong dekat dengan AVM, dokter harus menentukan
apakah AVM dapat disembuhkan lewat reseksi bedah atau embolisasi. Apabila
AVM dapat disembuhkan, maka penanganan secara bersamaan dari aneurisma
dan AVM dapat dilakukan. Apabila sebaliknya, aneurisma harus 'diamankan'
terlebih dahulu, lalu kemudian diikuti oleh penanganan definitif akan AVM.
Apabila sumber perdarahan telah dipastikan berasal dari AVM, pasien
harus ditangani secara konservatif dengan pengendalian dan pengukuran tekanan
darah untuk mengecilkan edema otak, hal ini dapat dilakukan apabila gumpalan
parenkimal tidak segera membutuhkan intervensi bedah. Angiografi berulang
harus dilakukan setelah 4 atau 6 minggu setelah arus darah sudah kembali
'normal'. Penatalaksanaan selanjutnya dari AVM dan aneurisma harus berjalan
seperti halnya dalam kasus-kasus khusus. Artinya, setiap lesi harus ditangani
dengan hati-hati dan mempertimbangkan resiko pengobatan dan riwayat
alamiahnya (resiko akan perdarahan kembali).
Jika dokter tidak dapat menentukan sumber perdarahannya, kami
menyarankan pengobatan terhadap kedua lesi apabila memungkinkan. Jika tidak,
pengobatan harus diarahkan kepada aneurisma terlebih dahulu karena morbiditas
dan mortalitas terkait pecahnya aneurisma lebih beresiko dibandingkan AVM.
Lebih lanjut, risiko perdarahan berulang dari AVM secara signifikan lebih rendah
dibandingkan aneurisma, maka dari itu kita harus berasumsi, dalam kasus ini,
bahwa kedua lesi itu bisa jadi merupakan sumber dari perdarahan.
Penatalaksanaan dari AVM yang dikaitkan dengan aneurisma intrakranial
pada pasien yang sebelumnya tidak mengalami perdarahan tergantung pada tipe
dari aneurismanya itu sendiri. Keputusan dalam pemberian penanganan kepada
aneurisma yang terletak jauh dari AVM dan tak terkait langsung dengannya
tidaklah berbeda jauh dengan keputusan yang dibuat untuk aneurisma serupa yang
tak terkait dengan dengan AVM. Manajemen terhadap aneurisma intranidal terkait
juga lebih menantang, karena riwayat alamiahnya tidak terdefinisi dengan jelas.
Bedah reseksi dari AVM atau embolisasi endovaskular lengkap harus dilakukan

22
jika memungkinkan; jika tidak, embolisasi sebagian dari AVM, termasuk dengan
penyumbatan pada aneurisma intranidal, harus dipertimbangkan apabila bisa
dilakukan dengan aman.
Penatalaksanaan aneurisma terkait aliran yang ditemukan secara tidak
sengaja dan terkait dengan AVM masih kontroversial. Terdapat tiga strategi
pengobatan yang memungkinkan: Penanganan terhadap AVM lebih dahulu,
penanganan terhadap aneurisma dulu, atau penanganan kedua lesi secara
bersamaan. Penulis yang menganjurkan penargetan awal dari AVM mendasarkan
alasan pengobatan mereka pada berbagai laporan akan adanya regresi spontan
aneurisma terkait aliran setelah penghilangan AVM. Dipercaya bahwa dalam
keadaan ini, kecepatan aliran darah yang melintasi aneurisma akan berkurang
setelah AVM berhasil dihapuskan, dan ini akan menghasilkan penurunan bertahap
dalam ukuran aneurisma. Berdasarkan penelitian oleh Redekop dan kolega,
kedekatan dari aneurisma dapat mungkin berguna dalam memprediksi respons
aneurisma terhadap terapi AVM. Seseorang mungkin lebih cenderung mengamati
aneurisma terkait arus yang distal karena peluang regresi spontan yang lebih
tinggi pasca penanganan AVM dibandingkan dengan aneurisma terkait arus yang
proksimal. Pendekatan alternatif adalah dengan 'mengamankan' aneurisma dengan
cara bedah atau endovaskular sebelum dilakukannya pengobatan AVM yang
definitif. Kebijakan penanganan ini didasarkan laporan pecahnya aneurisma
selama dilakukannya terapi AVM. Dalam kasus-kasus semacam itu, 'penghapusan'
AVM diyakini menyebabkan kenaikan dalam tekanan intraluminal yang secara
teoritis dapat menghasilkan perdarahan pada aneurisma. Pilihan ketiga adalah
perawatan kedua lesi secara bersamaan jika memungkinkan.
Pendekatan kami akan penatalaksanaan dari aneurisma intranidal dan
insidental yang terkait-arus yang juga terkait AVM bergantung pada apakah AVM
dapat disembuhkan secara bedah atau lewat embolisasi vaskular. Apabila AVM
tidak dapat disembuhkan secara bedah atau endovaskular, keputusan harus
diambil apakah lesi ini dapat ditangani lewat prosedur pembedahan-radio
stereostatis. Apabila AVM dapat ditangani lewat pembedahan-radio/radiosurgery,
kami menyarankan untuk terlebih dahulu mengamankan aneurisma. Apabila

23
AVM tergolong terlampau besar untuk prosedur radiosurgery, keputusan untuk
menangani aneurisma dibuat dengan mempertimbangkan apakah aneurisma ini
dapat dihilangkan dengan pembedahan clipping atau lewat coiling endovaskular.

Gambar 11. Manajemen aneurisma yang terkait AVM jika terjadi


intracranial hemorrhage

24
1.2. Faktor terkait Pasien

Umur pasien, kesehatan serta kondisi klinisnya, pekerjaan serta gaya hidup
harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Umur pasien
sangatlah penting dalam menentukan apakah resiko kumulatif dari pecahnya
AVM selama sisa dari usia harapan hidupnya. Apabila kita berasumsi akan tingkat
perdarahan tahunan sebesar 2 hingga 4 persen dan pengharapan umurnya sebesar
70 tahun, resiko kumulatif dari perdarahan AVM dapat diperkirakan lewat
formula ini: 105 - umur pasien (dalam tahun). Maka, seseorang dapat
membenarkan pendekatan yang lebih agresif untuk menangani lewat pembedahan
pada pasien yang lebih muda, karena resiko kumulatifnya akan perdarahan
cenderung tinggi. Lebih lanjut, defisit neurologis yang terjadi di usia muda
umumnya dapat ditolerasi dengan baik dan pasien memiliki kemungkinan yang
lebih besar akan kesembuhan. Kesehatan umum dari pasien sangatlah penting,
karena pasien dengan kondisi-kondisi komorbiditas yang parah mungkin saja akan
terhalangi akan pembedahan sebagai pilihan pengobatan yang lebih mudah.
Presentasi klinis dan kondisi neurologis pasien akan seringkali menentukan waktu
yang tepat akan dimulainya operasi, sebagai contoh, seperti yang diindikasikan
diatas, pasien mungkin membutuhkan 'evakuasi' segera akan hematoma yang
disebabkan oleh AVM yang pecah, atau mungkin lebih baik untuk menunggu
hingga pasien telah membaik kondisi neurologisnya sebelum reseksi AVM dapat
dilakukan. Pasien dengan AVM yang awalnya mengalami perdarahan besar,
kerusakan neurologis yang progresif, epilepsi yang tidak terkendali, atau sakit
kepala yang sulit dikendalikan, harus dipertimbangkan untuk menjalani bedah
reseksi. Gaya hidup serta pekerja dari pasien juga merupakan pertimbangan yang
penting saat dokter bedah syaraf mulai untuk menimbang resiko dan keuntungan
dari penanganan terhadap AVM pada daerah yang kritis di otak. Sebagai contoh,
seorang pasien yang bekerja sebagai pilot dan sangat bergantung pada visi
sempurna dan mengidap AVM oksipital mungkin akan memiliki pandangan yang
berbeda mengenai pembedahan reseksi dengan kemungkinan diatas 50 persen
akan munculnya hemianopia pasca-operasi dibandingkan pasien dengan AVM di

25
lokasi yang sama namun memiliki kerjaan sebagai buruh.

1.3. Faktor terkait Ahli Bedah

Pengalaman pribadi dari dokter bedah terhadap penanganan AVM adalah


sebuah faktor yang penting pula untuk dipertimbangkan. Pertimbangan etis terkait
dari pengalaman dokter tersebut dapat berpengaruh pada titik dimana ahli bedah
tersebut harus menentukan apakah AVM dapat dioperasi atau tidak. Kebanyakan
ahli bedah syaraf yang kompeten dapat menghilangkan AVM kecil yang terletak
pada jaringan otak yang non-elokuen secara aman. Adapun, dengan lesi yang
lebih kopleks, keputusan harus dibuat oleh ahli bedah syaraf serebrovaskular yang
lebih berpengalaman pada departemen rujukan yang memiliki spesialisasi akan
pembedahan AVM. Doktor bedah harus dapat menjelaskan (kepada pasien)
seluruh pilihan perawtan dan resiko yang dibawanya serta keuntungannya,
berdasarkan literatur serta pengalaman pribadi dari dokter bedah tersebut. Dokter
bedah harus memberikan informasi kepada pasien secara jelas dan tidak ambigu
dalam memberikan pendapatnya akan pilihan pengobatan yang paling baik,
dimana dalam beberapa kasus tertentu, mungkin tidak terdapat opsi pengobatan
sama sekali.

26
Gambar 12. Manajemen aneurisma yang tidak ruptur yang berhubungan
dengan AVM yang tidak ruptur.

2. Farmakologis

Pengobatan farmakologis dilakukan untuk mengatasi gejala yang dialami


pasien seperti sakit kepala atau kejang. Terapi ini juga diberikan pada pasien yang
tidak dapat melakukan terapi operatif karena resiko yang terlalu besar. Fenitoin
dapat diberikan untuk mengontrol kejang.

3. Non Farmakologis
Tujuan utama dari pengobatan AVM serebral ini adalah pencegahan dari
perdarahan lanjutan di kemudian hari serta kemungkinan kerusakan neurologis.
Saat ini, pilihan pengobatan dari AVM mencakup reseksi bedah mikro saja ,

27
embolisasi endovaskular pra-operasi yang diikuti oleh reseksi dengan bedah
mikro, bedah-radio dengan stereotaktik saja, embolisasi endovaskular pra-
prosedular yang diikuti dengan pengobatan dengan bedah-radio, embolisasi
endovaskular saja, dan pengamatan. Setiap modalitas pengobatan memiliki
kelebihannya sendiri yang spesifik dan disertai kelemahan-kelemahan pula.

3.1. Operasi Reseksi


a. Timing dari Pembedahan

Pembedahan malformasi arteriovenosa umumnya merupakan prosedur


yang elektif. Dalam kasus AVM yang mengalami perdarahan intrakranial namun
tidak disertai defisit neurologis yang signifikan, kebijakan yang kami sarankan
adalah untuk mengoperasinya namun didahului dengan penundaan (4 hingga 6
minggu). Selama periode ini, resiko dari perdarahan kembali umumnya relatif
rendah, namun waktu yang diberikan akan memudahkan hematoma untuk mencair
dengan sendirinya, agar edema disekitarnya dapat pecah dan agar jaringan otak
yang ter-disautoregulasi dapat sembuh. Dalam kejadian dimana pendarahan yang
mengancam jiwa membutuhkan operasi yang mendesak, kami umumnya hanya
merekomendasikan evakuasi yang lembut/hati-hati terhadap gumpalan tanpa
mengganggu AVM. Kami hanya mencoba untuk menyayat AVM hanya dalam
kasus dimana terdapat AVM kecil di permukaan yang mudah diangkat bersamaan
dengan gumpalan. Meski beberapa penulis telah melaporkan hasil yang baik pada
pelaksanaan reseksi bedah akut. Perlu diketahui bahwa defisit neurologis yang
signifikan menyusul pecahnya AVM tidak selalu permanen. Seringkali, defisit
yang diamati dalam situasi ini terjadi sebagai akibat dari hematoma yang
mengerahkan tekanan pada struktur otak kritis dibanding kehancuran dari jaringan
syaraf fungsional. Oleh karena itu, menurut kami adalah sebuah kesalahan untuk
mengoperasi AVM akut dengan mempercayai bahwa operasi tidak bisa
memperburuk keadaan defisit neurologis lengkap yang lebih dahulu terjadi.
Setelah memberikan penundaan yang wajar untuk memungkinkan pemulihan
terhadap jaringan, ahli bedah akan berada pada situasi yang lebih baik untuk
menilai apakah, mengingat derajat pemulihannya, memungkinkan untuk

28
mengobati pasien dengan modalitas pengobatan alternatif(contohnya,
radiosurgery) atau untuk merekomendasikan pasien terhadap terapi konservatif.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kami lebih suka mengulang scan
angiogram serebral sesaat sebelum memulai operasi untuk memastikan bahwa
konfigurasi AVM tidak berubah sejak saat pendarahan awal.

b. Teknik Pembedahan Umum

Angiografi intraoperatif harus digunakan untuk semua kasus pembedahan


terhadap AVM, kecuali posisi dari pasien membuatnya tidak praktis. Dalam kasus
seperti itu, angiogram pascaoperasi harus segera dilakukan. Sebuah bingkai
radiolucent tiga pin dengan head-holder digunakan untuk kasus dimana
angiografi intraoperatif dipertimbangkan. Sebuah selubung arteri femoralis
ditempatkan pada awal dimulainya prosedur, terutama jika posisi terakhir pasien
untuk pembedahan membuat akses ke daerah selangkangan sulit. Sebagai
alternatif, daerah selangkangan bisa disiapkan untuk akses femoral intraoperatif
setelah reseksi AVM untuk meminimalkan komplikasi terkait selubung tadi
karena akses arteri yang berkepanjangan. Posisi kepala bervariasi sesuai lokasi
dari AVM. Untuk lesi yang konveks, kepala diposisikan sedemikian rupa
sehingga representasi kortikal dari AVM berada di bagian terluar pada sudut
pandang operasinya. Untuk lesi yang dalam, kepala diposisikan berdasarkan
pendekatan yang memungkinkan pemaparan terbaik akan AVM namun dengan
jumlah retraksi atau transgresi otak yang paling sedikit.

Untuk AVM korteks, lebih dipilih prosedur kraniotomi besar dengan


margin beberapa sentimeter di sekitar lesi. Keuntungan utama dari paparan yang
besar ini adalah kemampuan untuk dengan mudah mengidentifikasi anatomi
vaskular untuk dibandingkan dengan angiogram serebral. Terkadang, arteri
feeding pada permukaan korteks akan terlihat pada permukaan kortikal tak jauh
dari AVM sebelum turun ke sulkus untuk mencapai malformasi, dan karena itu
tidak akan terlihat dalam prosedur kraniotomi yang lebih kecil. Begitu pula
dengan perubahan warna pada vena pengeringan/draining yang ter-arterialisasi
menjadi biru, hal ini merupakan indikasi bahwa pasokan arteri ke AVM telah

29
terputus, hal ini hanya bisa dilihat pada beberapa sentimeter dari lesi karena
pembuluh vena menerima drainase kortikal yang normal. Akhirnya, perdarahan
dari parenkima di sekeliling mungkin lebih sulit dikendalikan dalam kraniotomi
yang lebih kecil.

Dura harus dibuka dengan hati-hati untuk menghindari cedera pada


pembuluh drainase penyokongnya. Eksisi/pemotongan AVM umumnya
berlangsung melalui beberapa tahapan yang terdefinisi dengan baik. Pertama,
anatomi permukaan kortikal dihubungkan dengan angiogram pra-operasi. Jika
AVM tidak terlihat di permukaan kortikal, teknik yang berguna adalah dengan
mengikuti vena pengeringan yang terarterialisasi yang dangkal kembali ke
malformasi (AVM), meski teknik ini memiliki risiko untuk melukai pembuluh
darah. Alternatif terbaik, apabila tersedia, adalah mengikuti arteri feeder yang
dangkal kembali ke sulkus. USG intraoperatif dan panduan stereotaktis yang
frameless juga dapat membantu dalam mengidentifikasi malformasi. Selanjutnya,
sulkus-sulkus di sekitar AVM akan dibuka dan arteri feeder dari malformasi
diidentifikasi, dikoagulasikan, dan dipotong. Akan ebih sulit untuk
menggumpalkan pembuluh feeder AVM yang memiliki aliran darah tinggi
daripada arteri normal dengan diameter yang sama. Gangguan pada aliran pada
arteri besar dengan klip AVM sementara akan memfasilitasi koagulasi pada arteri.
Kami telah menemukan irrigating bipolar forceps sangat berguna selama operasi
AVM. Teknik bipolar forceps kami terdiri dari koagulasi intermiten selama 1
sampai 2 detik dengan irigasi konstan sambil menghindari penutupan dari forsep
untuk mencegah pasokan dari pembuluh yang dikauterisasi ke ujung dari forsep
bipolar. Selanjutnya, kami secara terus-menerus menjaga kebersihan kebersihan
dari ujung bipolar forceps, yang juga mencegah terjadinya pelekatan. Penting
untuk membagi arteri-arteri feeder dekat dengan nidus hanya apabila telah
dipastikan bahwa mereka tidak memasok darah ke jaringan otak normal setelah
melewati malformasi (vessels en passage). Meskipun vena drainase pada
umumnya lebih besar dan memiliki dinding yang lebih tipis, terkadang sulit untuk
membedakan antara arteri feeder atau vena drainase yang terarterialisasi. Sebuah

30
teknik yang berguna adalah dengan menempatkan klip sementara pada pembuluh
yang dimaksud. Vena yang mengering akan mengecil dan akan membiru semakin
jauh dari klip tersebut, sedangkan arteri akan terus berdenyut terhadap klip.
Sebagai alternatif, probe aliran mikrovaskular dapat digunakan untuk menentukan
arah aliran.

Setelah semua pembuluh feeder dangkal yang terlihat telah 'dikorbankan',


Insisi/irisan kortikal secara sirkumferensial/mengelilingi didekat AVM kemudian
dilakukan dengan segera. Kortikektomi ini kemudian dilakukan ke bagian dalam
sulkus, dan oklusi/penyumbatan selanjutnya terhadap pembuluh feeder dangkal
yang tersisa dapat dilakukan. Meski usaha ini dilakukan untuk menjaga keutuhan
semua vena yang terarterialisasi sampai pada akhir dari reseksi, kadang
mengorbankan satu atau lebih pembuluh darah superfisial/dangkal untuk
memfasilitasi reseksi diperlukan. Hal ini umumnya dapat ditolerir dengan baik
asalkan drainase vena utama dibiarkan utuh. Jika 'pengorbanan' awal dari
pembuluh vena ini dipertimbangkan, adalah bijaksana untuk pertama kali
menutupnya sementara untuk memastikan nidus tidak membengkak atau
mengalami perdarahan.

Pembedahan AVM berlanjut secara melingkar/sirkumferensial dengan


membentuk spiral. Dalam kasus dimana AVM berada terletak dalam daerah non-
elokuen di otak, pengirisan korteks dapat dilakukan beberapa milimeter dari AVM
untuk memudahkan pembedahan AVM. Namun, pada kasus di mana AVM berada
di dalam atau sangat dekat dengan daerah elokuen, dokter bedah harus
mengerjakan pembedahan langsung pada loop dari AVM. Teknik yang berguna
adalah dengan memberikan koagulasi lembut pada loop AVM ini untuk
mengecilkan nidus jauh dari jaringan serebral yang elokuen. Namun, teknik harus
dilakukan hanya apabila pasokan arterial utama ke AVM telah dihentukan dan
pembengkakan dari nidus telah dikecilkan secara signifikan. Koagulasi awal dari
nidus pada AVM, selama tekanan internal dan arus darah masih tinggi, dapat
berujung pada peningkatan tekanan dalam AVM yang bisa mengarah pada
perdarahan dikarenakan diminusi/pengecilan dari volume nidus yang tanpa

31
disertai penurunan dari aliran darah arteri ke malformasi tersebut. Apabila
perdarahan pada AVM terjadi, biasanya dapat dikendalikan dengan menempatkan
kapas pada titik perdarahan dan pengaplikasian tekanan yang lembut dengan
retractor yang self-retaining. Namun, perdarahan pada otak yang jauh dari AVM
tidak boleh diberikan penanganan yang sama, karena hal ini dapat mengakibatkan
perdarahan intraparenkimal serius. Pada kejadian seperti ini, perdarahan biasanya
terjadi pada pembuluh yang telah tertarik kembali ke dalam jaringan otak
sekelilingnya atau dari sisa-sisa AVM yang telah diputus dari nidus utamanya.
Ahli bedah harus menahan godaan untuk menghentikan perdarahan dengan kapas
untuk segera menemukan dan mengkoagulasi pembuluh yang bocor.

Pembedahan sirkumferensial dilakukan hingga ke bagian AVM yang


paling dalam yang dekat atau berada pada permukaan ependimal ventrikular.
Koagulasi dan pemotongan lapisan subependimal kecil yang rapuh atau
melubangi arteri feeder pada lokasi ini sangatlah sulit. Setelah terluka, pembuluh
dalam ini memiliki kecenderungan menarik dirinya kembali, dan kadang-kadang
koagulasi bipolar benar-benar tidak efektif dalam kasus ini. Maka dari itu, kontrol
dari pembuluh halus ini hanya bisa dicapai dengan penempatan microclip Sundt
yang secara khusus dirancang untuk tujuan ini. Perdarahan tidak akan berhenti
hingga ependima telah dicapai dan sisa arteri feeder ependimal kecil, yang lebih
mudah dikoagulasi, telah di-'sumbat', hal ini seringkali muncul pada kumpulan
AVM yang telah mencapai ventrikel. Setelah nidus berhasil dibedah dari jaringan
otak sekitarnya dan semua arteri feeder yang terlihat telah di-'korbankan', warna
pembuluh pengeringan yang besar ini akan menjadi lebih gelap dan akhirnya akan
berubah dari merah ke biru. Jika vena tetap terarterialisasi, ahli bedah harus
mencari sisa-sisa dari feeding vessel yang mungkin terlewat, yang seringkali
terletak di bawah atau di dekat vena. Hanya setelah pembuluh arteri akhir ini telah
terputus saja maka vena drainase yang tidak terarterialisasi dapat diambil.

Tahap akhir adalah pemeriksaan rongga reseksi untuk residu dari nidus
AVM. Begitu hemostasis telah dicapai, tekanan rata-rata pada pembuluh arteri
pasien dinaikkan sebesar 15 sampai 20 mmHg di atas diatas ambang normal dan

32
dipertahankan selama 10 menit. Adapun apabila terdapat perdarahan selama
periode ini dicurigai didalangi oleh residu nidus AVM dan harus segera diperiksa
secara menyeluruh. Jika tidak terjadi perdarahan, rongga bedah itu dilapisi dengan
satu lapis Surgicel (Ethicon US LLC, Somerville, New Jersey) dan tekanan darah
pasien harus dijaga pada ambang normal atau sedikit di bawahnya dan dijaga
selama 24 jam. Angiografi intraoperatif kemudian dilakukan untuk
mengkonfirmasi reseksi AVM secara lengkap.

3.2. Endovaskuler
Terapi ini telah menjadi alat terapeutik yang penting dalam
penatalaksanaan AVM serebral. Saat ini, terapi endovaskuler digunakan dalam
beberapa cara: (1) embolisasi adjuvant sebelum dimulainya reseksi bedah definitif
atau terapi-radio; (2) terapi paliatif yang diarahkan untuk fitur-fitur angiografik
beresiko tinggi (arteri feeding atau aneurisma intranidal) atau untuk menurunkan
laju pada pasien yang mengalami defisit neurologis progresif; dan (3) terapi
kuratif (oklusi AVM lengkap).

a. Embolisasi Pra-operatif

Menurut penulis, embolisasi sebelum reseksi bedah definitif erupakan


indikasi utama untuk dimulainya terapi endovaskular. Dikarenakan morbiditas
yang terkait dengan embolisasi, seharusnya embolisasi ditujukan untuk
meningkatkan keamanan reseksi bedah. Embolisasi tidak boleh dilakukan tanpa
pandang bulu hanya untuk tujuan mereduksi aliran darah agar pembedahan
menjadi lebih cepat atau lebih mudah bagi ahli bedah. Oklusi pra-operatif dari
arteri feeder yang tidak dapat diakses selama paparan pembedahan dini bisa
sangat membantu. Demikian pula, embolisasi pra-operatif dari pasokan perforator
kepada AVM dapat meningkatkan keamanan dari reseksi bedah. Namun,
embolisasi feeder dangkal yang dapat dengan mudah dikendalikan saat operasi
tidak diperlukan.
Indikasi lainnya meliputi oklusi dari bocornya aneurisma arteri feeding
terdekat sebelum dimulainya reseksi atau radiosurgery. Serta, pelaksanaan

33
embolisasi dari AVM besar yang beraliran tinggi dengan tujuan mengurangi
shunting arteriovenosa secara bertahap dapat mengembalikan reaktivitas vaskuler
serebral yang normal dan berpotensi memperkecil risiko penerobosan perfusi
tekanan normal (NPPB) pada periode pasca-operasi. Kami sesekali menggunakan
embolisasi untuk AVM yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah otak
yang elokuen dalam usaha untuk menurunkan aliran darah di dalam lesi secara
signifikan dan membuat pasien aman untuk menjalani pembedahan. Demikian
pula, seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, AVM yang dalam dapat
dipertimbangkan untuk menjalani reseksi bedah apabila pasokan perforator dapat
dengan aman disumbat dengan terapi endovaskular.

b. Embolisasi Pra-Bedah-Radio

Embolisasi telah seringkali digunakan untuk menurunkan ukuran dari


AVM yang besar untuk membuatnya aman untuk menjalani radiosurgery.
Adapun, rekanalisasi yang tertunda dan kemunculan kembali sebagian nidus
AVM yang tidak terpapar medan radiasi telah diketahui dapat terjadi. Faktanya,
embolisasi sebelumnya telah dilaporkan sebagai prediktor negatif akan obliterasi
AVM yang sukses setelah dilaksanakannya radiosurgery/bedah-radio. Kegagalan
dari radiosurgery ini umum ditemui setelah embolisasi partikel, dengan kasus
rekanalisasi yang dilaporkan berada pada persentase 15 hingga 20 persen.
Meskipun, rekanalisasi dapat juga terjadi pada emboli cair, umumnya hal ini
jarang terjadi dan biasanya terlihat pada kasus dimana embolisasi menghasilkan
oklusi pedikular dengan penetrasi nidus yang minimal atau tidak ada sama sekali.
Embolisasi juga telah digunakan untuk menurunkan arus ke AVM dalam
persiapan sebelum bedah-radio dilangsungkan. Adapun, tidak ditemukan bukti
definitif bahwa embolisasi pra-bedah radio akan menurunkan resiko perdarahan
selama periode waktu hingga obliterasi komplit AVM telah terjadi. Maka dari itu,
kami umumnya tidak merekomendasikan penggunaan embolisasi dengan alasan
demikian.

c. Embolisasi Paliatif

34
Embolisasi paliatif atau parsial dari AVM yang tidak dapat dioperasi atau
tidak cocok untuk radiosurgery dapat dipertimbangkan untuk beberapa alasan.
Pada pasien yang mengalami perdarahan, metode ini bisa digunakan untuk
menargetkan fitur angiografik yang berisiko tinggi, seperti arteri feeding atau
aneurisma intranidal atau juga fistula langsung. Embolisasi dapat juga digunakan
untuk mengurangi aliran melalui AVM besar pada pasien dengan sakit kepala
yang tak kunjung sembuh atau defisit neurologis progresif yang terkait dengan
arterial steal atau tekanan darah tinggi pada vena.
Masalah apakah embolisasi paliatif atau parsial merubah riwayat alami
dari AVM masih belum jelas. Sebagian besar penelitian menyarankan bahwa
embolisasi semacam itu tidak memperbaiki hasil klinis apabila dibandingkan
dengan terapi konservatif. Miyamoto dan kolega melaporkan kemunculan sekuele
pada 46 pasien dengan AVM serebral yang diobati secara paliatif dengan
embolisasi, radiosurgery, reseksi subtotal, atau ligasi arteri feeding. Tingkat
perdarahan tahunan pada AVM yang tidak diobati adalah 2,6 persen dibandingkan
dengan 14,6 persen pada AVM yang diobati secara paliatif. Tingkat perdarahan
pada pasien yang telah mengalami embolisasi saja adalah 25 persen. Kwon dan
kolega mengevaluasi manfaat dari embolisasi paliatif pada 27 pasien dengan
AVM lebih besar dari 4 cm yang dianggap tidak bisa dioperasi. Enam belas pasien
diobati secara medis dan 11 pasien diberikan embolisasi sebagian. Dari 16 pasien
yang dirawat secara medis, 31 persen memburuk dan 25 persen mengalami
pendarahan. Dari 11 pasien yang menjalani embolisasi paliatif, 27,3 persen
memburuk dan 45,5 persen mengalami perdarahan. Hasil serupa juga dilaporkan
dalam sebuah ulasan mengenai pengalaman Institut Neurologis Barrow dalam
menangani AVM grade IV dan V. Tingkat perdarahan tahunan pada pasien yang
dirawat secara konservatif adalah 1 persen, dibandingkan dengan 10,4 persen pada
pasien yang diobati sebagian/parsial. Namun, beberapa penulis telah menyiratkan
bahwa oklusi parsial AVM dapat menyebabkan perbaikan tingkat kelangsungan
hidup dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Dalam sebuah studi yang
melibatkan 623 pasien dengan AVM serebral yang berhasil diobati di Universitas
Helsinki, Laakso dan kolega menemukan bahwa pasien dengan AVM serebral

35
memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada populasi umum, dan hal
berlangsung selama 20 tahun. Tingkat kematian keseluruhan dari semua penyebab
adalah 2 persen, dan setengah dari kematian ini terkait AVM. Menariknya, angka
kematian tahunan pada pada pasien yang diberikan pengobatan konservatif adalah
yang tertinggi (3,4 persen), yang terendah (1,2 persen) berada pada pasien yang
AVMnya benar-benar telah 'disumbat', dan menengah (1,8 persen) adalah pada
pasien AVM yang 'disumbat' sebagian. Efek menguntungkan dari oklusi AVM
parsial pada kelangsungan hidup (dibandingkan dengan terapi konservatif) tidak
terlihat sampai 5 sampai 7 tahun setelah perawatan. Penundaan ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa penelitian sebelumnya (dimana frekuensi follow-up-nya
tergolong kurang) telah gagal untuk mendeteksi adanya manfaat dari perawatan
parsial ini. Penulis menjelaskan bahwa pengamatan ini dengan menunjukkan
bahwa oklusi parsial AVM mungkin dapat menghasilkan trombosis AVM yang
bertahap dan oklusi komplit selama kurun waktu beberapa tahun.

d. Embolisasi Kuratif

Tingkat penghilangan lengkap AVM yang dilaporkan setelah embolisasi


bervariasi sesuai dengan grade AVM-nya, bahan embolik yang digunakan,
teknologi yang tersedia, dan kemahiran dari pusat perawatan. Tabel 1 merangkum
penghilangan/obliterasi dan tingkat morbiditas serta mortalitas yang ditemukan
pada beberapa laporan embolisasi sebagai pengobatan untuk AVM. Secara
keseluruhan, tingkat obliterasi yang lengkap yang telah dilaporkan berada di
antara 5 dan 30 persen pada kebanyakan seri. Tingkat obliterasi cenderung lebih
tinggi pada kasus yang dipilih dengan maksud untuk menyembuhkan. Valavanis
dan Yaşargil, dalam seri mereka dari 387 AVM yang diembolisasi, melaporkan
tingkat kesembuhan sebesar 39 persen. Dalam analisis mereka akan hasil pada
subgrup dari 182 AVM yang diembolisasi dengan maksud
kuratif/menyembuhkan, mereka melaporkan tingkat kesembuhan hingga 75
persen. Dalam seri berturut-turut dari 27 pasien dengan AVM serebral, embolisasi
dengan maksud untuk menyembuhkan diberikan pada 10 pasien yang kemudian
menghasilkan obliterasi lengkap pada enam (60%) pasien. Saatci dan koleganya

36
baru-baru ini melaporkan hasil dari embolisasi dalam rangkaian 350 AVM dengan
Onyx. Tujuan terapi endovaskular adalah untuk menyembuhkan semua AVM
berukuran kecil sampai sedang dengan embolisasi saja, dan untuk mengurangi
ukuran AVM yang lebih besar untuk membuat mereka aman untuk diberikan
penanganan dengan radiosurgery atau pembedahan konvensional. AVM kelas I
dan II mencakup 45 persen dari total kohor studi. Secara keseluruhan, para
peneliti mencapai tingkat obliterasi angiografik sebesar 51 persen dengan terapi
endovaskular saja. Dari semua pasien yang awalnya mengalami obliterasi AVM
yang terdokumentasi secara angiografis, semua kecuali satu pasien, yang
meninggal dalam 48 jam setelah menjalani embolisasi, kemudian ditindak lanjuti
dengan angiogram setelah kurun waktu 1 tahun. Dalam kelompok ini, penulisnya
telah menunjukkan sebuah tingkat rekanalisasi yang rendah sebesar 1,1 persen.
Tingkat komplikasi mereka relatif rendah, dengan tingkat kematian keseluruhan
sebesar 1,4 persen dan tingkat morbiditas neurologis permanen sebesar 7,1 persen.
Analisis subkelompok menunjukkan tingkat kesembuhan endovaskular sebesar 98
persen pada pasien AVM kelas I dan II, dengan tingkat morbiditas dan
mortalitasnya masing-masing sebesar 2,5 persen dan 0,6 persen. Namun,
penyembuhan endovaskular hanya diraih oleh 12,5 persen pasien dengan AVM
grade III dan V AVM dan tingkat morbiditas dan mortalitasnya masing-masing
sebesar 10,9 persen dan 2,1 persen.
Meskipun tingkat penyembuhan yang luar biasa dan tingkat morbiditas
yang dapat diterima telah dilaporkan oleh penulis ini, kami percaya bahwa upaya
penyembuhan menggunakan embolisasi harus digunakan dengan hati-hati. Saat
digunakan, strategi embolisasi agresif ini harus dilakukan pada pusat medis yang
memiliki keahlian yang cukup besar dalam embolisasi AVM, dan hanya pada
AVM dengan angioarsitektur yang relatif sederhana, dengan arteri feeding yang
mudah diakses secara endovaskular yang terletak pada derah otak yang dalam atau
kritis lah, di mana reseksi bedah akan membawa morbiditas yang tidak dapat
diterima atau juga pada pasien dengan ko-morbiditas medis yang akan membuat
bedah reseksi terlalu berisiko.

37
Tabel 1. Hasil embolisasi untuk AVM

3.3. Radiosurgery
Tujuan radiosurgery atau bedah-radio adalah penghilangan bertahap AVM
oleh hiperplasia intimal progresif dan trombosis progresif terhadap nidus.
Radiosurgery/bedah-radio dapat dilakukan dengan menggunakan unsur kobalt
sebagai sumber sinar-X (pisau gamma), dengan akselerator linier, atau dengan
mengambil keuntungan dari efek puncak Bragg dari partikel radioaktif berat yang
dihasilkan dengan siklotron (terapi sinar proton atau helium).

38
Radiosurgery stereotaktik sangat ideal untuk AVM kecil (<3 cm) yang
terletak di daerah kritis otak dimana morbiditas dari penyayatan bedah dianggap
tidak dapat diterima (contohnya perdarahan). Hal ini juga merupakan pilihan
pengobatan yang baik untuk pasien dengan usia atau komorbiditas tertentu yang
memiliki risiko terhadap pemberian anestesi umum yang mungkin tidak dapat
diterima.
Tingkat penghilangan pada bedah-radop sulit untuk dievaluasi dan
diperbandingkan pada seluruh seri. Perbandingannya dibuat menantang oleh
beberapa seri yang melaporkan tingkat obliterasi AVM hanya berdasarkan pada
pasien yang mengalami angiografi akhir, dan yang lainnya menggabungkan hasil
MRI dan angiografi. Tingkat obliterasi yang dilaporkan berkisar antara 100 persen
pada AVM kurang dari 4 cm, 3 sampai 78 persen pada pasien yang menjalani
pengobatan untuk pertama kali, dan kurang dari 50 persen pada pasien AVM
dimana malformasinya yang terletak sangat dalam. Ukuran AVM telah terbukti
menjadi prediktor yang penting dari penghilangan yang sukses. Friedman
melaporkan pencapaian tingkat obliterasi sebesar 79 persen pada AVM kurang
dari 10 cm tapi hanya 47 persen untuk AVM dengan ukuran yang sama atau lebih
besar dari 10 cm. Pollock dan kolega melaporkan keseluruhan tingkat obliterasi
222 pasien sebesar 61 persen; tingkat obliterasi meningkat sampai 83 persen
hanya pada AVM yang ukurannya kurang dari 4 cm. Steinberg dkk menerbitkan
tingkat penghilangan 100 persen untuk AVM dengan diameter kurang dari 3,7 cm,
dan tingkat penghilangan 70 persen untuk AVM berukuran sama dengan atau
lebih besar dari 3,7 cm. Tabel 2 merangkum tingkat penghilangan dan komplikasi
dari beberapa seri pengobatan bedah-radio stereotaktis besar.

39
Tabel 2. Hasil post-radiosurgical AVM
Dua kelemahan utama dari radiosurgery adalah periode laten hingga
sampai tuntasnya proses obliterasi dan tidak adanya kepastian dari obliterasi itu
sendiri. Selama periode penundaan ini, yang mungkin berkisar antara 1 hingga
beberapa tahun, pasien tetap berisiko mengalami perdarahan, dan risikonya
hampir sama seperti jika tidak ada pengobatan. Radiosurgery tidak efektif dalam
mengobat 10 sampai 15 persen AVM kecil. Peningkatan ukuran AVM secara
timbal balik mempengaruhi tingkat obliterasi AVM, radiosurgery berulang untuk
AVM yang belum hilang secara keseluruhan memiliki persentase yang lebih
buruk untuk pemusnahan selanjutnya. Tidak ada bukti definitif yang menunjukkan
penurunan pada laju perdarahan ketika lesi tidak sepenuhnya berhasil dihilangkan.
Malformasi arteriovenosa dapat muncul kembali setelah benar-benar tersumbat
pasca bedah-radio/radiosurgery, terutama pada populasi pediatrik (anak-anak).
Ringkasan dari faktor-faktor yang terkait dengan kegagalan pengobatan bedah-
mikro telah dikompilasi dan terdiri dari perubahan pada morfologi nidus
setelah radiosurgery karena resolusi dari hematoma, rekanalisasi dari bagian
AVM yang sebelumnya diembolisasi, kesalahan teknis dalam perencanaan
perawatan, ukuran nidus yang besar (diatas 10 cm), dan peningkatan
dalam kelas Spetzler-Martin.
Terdapat risiko cedera neurologis yang kecil namun signifikan dari
kerusakan akibat radiasi (3-10 persen, tergantung pada lokasinya). AVM pada
jaringan otak fungsional atau berdekatan denga jaringan tersebut memiliki risiko

40
cedera radiasi yang lebih tinggi. Kasus-kasus langka dari tumor sekunder yang
berasal dari bedah-radio/radiosurgery telah pula dilaporkan. Komplikasi lain
termasuk kematian (dibawah 0,2 persen), cedera saraf kranial (1 persen), kejang
baru atau kejang lama yang memburuk (0,8 persen), peningkatan resiko
perdarahan kembali setelah radiosurgery pada AVM yang berukuran besar dan
usia pasien yang relatif lebih tua, dan hiperemia oklusif.
Teknik radiosurgery telah dipuji dalam hal efektivitas biasaya-nya apabila
digunakan sebagai alternatif dari pembedahan dari AVM yang memang perlu
dioperasi. Namun, apabila mempertimbangkan model analisis pengambilan-
keputusan, biaya dari perdarahan di masa depan dan pengobatan-pengobatan
lanjutan yang mungkin diperlukan apabila pasien diobati dengan bedah-radio,
kami menemukan bahwa pembedahan mikro lebih cost-effective dibandingkan
radiosurgery secara jangka-panjang.1,2,4

E. Komplikasi

Persiapan pra-operasi yang seksama, teknik serta keputusan yang diambil


pada saat operasi, serta tindakan pencegahan yang diambil pada periode pasca-
operasi harus diikuti untuk meminimalisir morbiditas dan mortalitas pasca
pembedahan. Indikasi akan pembedahan harus dianalisa secara menyeluruh,
karena banyak komplikasi yang dapat dilacak kembali secara retrospektif kepada
prosedur pembedahan yang tidak tepat pada pasien. Kebanyakan kesalahan pada
proses pengambilan keputusan adalah karena misinterpretasi tiga dimensi dari
hubungan-hubungan anatomis elokuen.

1. Komplikasi Intraoperatif

Perdarahan dan cidera intraparenkimal adalah dua komplikasi yang paling


umum ditemukan selama reseksi AVM. Perdarahan selama pembedahan
umumnya disebabkan langsung oleh AVM pada saat bedah nidus berlangsung
atau karena penyumbatan prematur dari pembuluh vena mayor yang bersifat
draining. Cedera intraparenkimal dapat terjadi lewat beberapa mekanisme. Saat

41
berlangsungnya reseksi nidus, kehati-hatian harus diutamakan dalam mengangkal
pinggiran korteks yang tipis tanpa memasuki AVM. Namun, reseksi
sirkumferensial yang lebar dapat mengarah kepada kerusakan permanen dari
parenkima fungsional. Mekanisme cedera lainnya mencakup pemotongan arteri
feeder yang terlalu jauh dari nidus, retraksi yang berlebihan, dan cedera pada
pembuluh vena 'jembatan'. Cedera radiasi juga merupakan kekhawatiran tersendiri
dalam reseksi dari AVM temporal maupun oksipital. Pada perencanaan operasi
bedah, seorang dokter harus memperhitungkan jalur-jalur anatomisdari serat
genikulokalkarin dan loop Meyer ketika mereka melewati area ventrikel lateral. .
Pertimbangan tambahan untuk menghindarkan cedera adalah pelepasan CSF,
penempatan yang berhati-hati, kraniotomi yang lebar, dan pendekatan pada dasar
tengkorak.

2. Komplikasi Pasca-Operasi

2.1. Perdarahan

Perdarahan merupakan komplikasi pasca-operasi yang paling cepat terjadi


dan ditakuti. Perdarahan adalah hasil dari nidus yang tersisa atau hemostasis yang
tidak mencukupi. Untungnya, kekhawatiran akan nidus yang masih tersisa dan
terlewati pada saat pembedahan dapat ditangani dengan angiografi intraoperatif.

2.2. Kejang-Kejang

Dari pasien-pasien yang mengalami kejang, 55 persen mengalami


perbaikan kesehatan yang signifikan, 35 persen masih mengalami gejala ini, dan
12 persen memburuk setelah ditangani. Keseluruhannya, 15 dari pasien yang tidak
memiliki riwayat kejang-kejang akan kemudian mengalami gejala ini pada
periode pasca-operasi. Karena resiko ini, kami merekomendasikan pemberian
pengobatan anti-epileptik selama 6 bulan setelah pembedahan AVM
supratentorial.

2.3. Penerobosan Tekanan Perfusi Normal

Penerobosan Tekanan Perfusi Normal (NPPB/Normal Perfusion Pressure

42
Breakthrough) merujuk kepada teori bahwa perubahan hemodinamis setelah
dilakukannya reseksi AVM dapat mengarah kepada edema serebral, perdarahan,
atau keduanya. Prediktor angioarsitektural dari NPPB adalah arteri feeding dengan
aliran yang tinggi, panjang, dan besar yang membelokkan arus dari parenkima
sekeliling (fenomena 'pencurian' arus). NPPB dapat dihindari dengan meng-
embolisasi lesi secara selektif yang memiliki karakteristik seperti yang
disebutkan.

2.4. Trombosis Retrograde pada Arteri Feeding

Setelah pembedahan terhadap AVM, stasis pada arteri feeding angiografis


merupakan temuan umum yang dapat bertahan hingga satu bulan. Trombosis pada
arteri ini jarang terjadi. Lima dari 76 pasien (6,6 persen) dilaporkan memiliki
trombosis retrograde pada arteri feeder pada satu seri klinis. Resiko yang
dilaporkan ini sangat tinggi pada pasien usia lanjut.

2.5. Trombosis Vena Retrograde

Trombosis retrograde pada pembuluh vena dapat terjadi sebagai


manifestasi dari stasis di vena drainase besar pada periode pasca-operasi.

2.6. Vasospasm

Vasospasm adalah komplikasi yang sangat jarang terjadi. Yasargil


menjelaskan bahwa dua dari 414 pasien pada seri klinisnya mengalami vasospasm
pasca-operasi. Ia menjabarkan pembedahan segmen A1 dan M1 selama prosedur,
yang kemungkinan berkontribusi pada munculnya komplikasi ini.1

F. Prognosis
 Semua AVM di otak sangat berbahaya
- Resiko terjadinya hemoragi pertama adalah seumur hidup,
meningkat sesuai usia (2-4% per tahun, kumulatif)
- Sebagian besar akan menimbulkan gejala seumur hidup pasien

43
 Sembuh spontan sangat jarang terjadi (< 1% kasus)
- 75 % merupakan lesi kecil (< 3cm) aliran vena tunggal
- 75 % memiliki ‘spontanneous’ ICH2

44
BAB III
KESIMPULAN

Malformasi arterio-vena merupakan kelainan intrakranial yang relatif


jarang tetapi lesi ini semakin sering ditemukan. Umumnya, lesi yang terjadi akibat
kelainan kongenital ini muncul dan dikenali setelah terdapat perdarahan. Akan
tetapi, seiring dengan berkembangnya teknologi kedokteran, lesi unrupterd AVM
semakin sering ditemukan.
Penanganan pasien yang mengidap AVM serebral membutuhkan
pengetahuan menyeluruh akan riwayat alamiahnya, serta kemanjuran dan resiko
terkait berbagai macam modalitas pengobatan. Menurut kami, risiko intervensi
paling baik dilakukan oleh ahli bedah dengan pengalaman dalam operasi AVM,
terapi endovaskular, dan pengetahuan praktis tentang nilai dan batasan bedah-
radio. Alternatifnya adalah pendekatan multidisipliner. Menurut pendapat kami,
harus ada "kapten" tim yang bertanggung jawab atas keputusan akhir dan
konsekuensinya. Keputusan mengenai pengelolaan AVM serebral sangatlah
kompleks.

Tidak ada protokol tetap yang akan langsung cocok pada pasien tertentu
dan secara otomatis memudahkan proses pengambilan keputusan untuk dokter.
Pasien dengan AVM grade I dan II harus menjalani pembedahan, dengan syarat
pasien relatif muda dan sehat. Radiosurgery merupakan alternatif yang masuk
akal pada pasien lanjut usia yang umumnya memiliki ko-morbiditas yang
signifikan akan pembedahan. Keputusan mengenai AVM grade III tidak dapat
langsung diambil begitu saja, meskipun beberapa kasus pada kelas ini dapat
menjalani bedah reseksi dengan disertai morbiditas yang dapat diterima. Sebagian
besar lesi grade IV dan V harus dirawat secara konservatif karena bedah reseksi
dikaitkan dengan morbiditas yang serius pada kelas ini dan kemungkinan untuk
melenyapkan AVM sepenuhnya dengan terapi multimodal rendah. Lebih jauh
lagi, kebanyakan bukti menunjukkan bahwa obliterasi AVM parsial tidak
memperbaiki riwayat alami AVM dan bahkan mungkin malah memperburuk

45
keadaan.

Embolisasi pra-operatif dapat digunakan untuk menutup baik arteri feeder


yang mungkin tidak dapat diakses selama paparan bedah awal atau pasokan
perforator untuk meningkatkan keamanan pada saat reseksi. Embolisasi pra-
operatif juga berharga dalam menangani AVM berarus besar untuk mengurangi
risiko komplikasi operasi dan pasca-operasi. Hal ini juga berguna pada beberapa
kasus AVM yang berada di daerah otak yang kritis atau didekatnya untuk
memungkinkan reseksi yang aman. Namun, karena risiko terkait embolisasi,
cmetode seharusnya tidak digunakan semata-mata untuk tujuan itu mempercepat
proses pembedahan lebih cepat atau lebih mudah. Embolisasi paliatif dapat
dipertimbangkan dalam kasus tertentu untuk menargetkan fitur-fitur angiografis
yang beresiko tinggi atau untuk mengurangi aliran terhadap AVM pada pasien
dengan sakit kepala yang tak kunjung hilang atau defisit neurologis progresif yang
berkaitan dengan arterial steal atau hipertensi pada vena. Embolisasi kuratif,
harus dilakukan hanya untuk kasus tertentu dan hanya dilakukan pada institusi
dengan pengalaman yang signifikan dalam teknik ini. Radiosurgery atau bedah-
radio tetap merupakan pilihan pengobatan yang sangat baik untuk lesi kecil yang
dalam.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Elhammady SM, Hayes S, Heros RC. Cerebral Arterioveous


Malformations. In: Spletzer RF, Kalani MYS, Nakaji P. Neurovascular
Surgery. New York: Thieme; 2015. p:787-815.
2. Rutherford, RB. Arteriovenous Fistulas, Vascular Malformations, and
Vascular Tumors. In: Rutherford RB: Vascular Surgery 6 th edition.
Philadelphia: Elsevier sanders; 2005. p:1597-1601.
3. Menon S, Chowdhurry R, Mohan C. Arteriovenous malformation in
mandible. MJAFI 2005; 61:295-6. Diunduh pada Agustus 2017.
4. Rutherford, RB. Congenital Vascular Malformation. In Cronenwett JL,
Rutherford RB [eds]: Decision Making in Vascular Surgery. Philadelphia:
WB Saunders; 2001.
5. Geibprasert, et al. Radiologic Assessment of Brain Arteriovenous
Malformations: What Clinicians Need to Know pp: 433-450. Rsna.org.
2010. Diunduh pada Agustus 2017.
6. Benndorf G, Campi A, Hell B, et al. Case report endovascular
management of a bleeding mandibular arteriovenous malformation by
transfemoral venous embolization with nbca. AJNR Am J Neuroradiol
22:359-62, February 2001. Diunduh pada Agustus 2017.
7. Krapf, H, Siekmann, R, et al. Spontaneous Occlusion of a Cerebral
Ateriovenous Malformation: Angiography and MR Imaging Follow up and
Review of Literature.Germany. 2001.p: 1556-1560. Diunduh pada Agustus
2017.

47

Anda mungkin juga menyukai