Anda di halaman 1dari 169

PERATURAN JABATAN NOTARIS

(UUJN)
Dr. UDIN NARSUDIN, SH., M.Hum., SpN.
S-1 UNPAS BANDUNG
Spesialis Notariat dan Pertanahan UI
S-2 Hukum Bisnis UGM
S-3 Ilmu Hukum UNPAD
-Notaris dan PPAT Kota Tangsel
-Dosen MKn UNPAS, Dosen MKn UNS SOLO, dan Dosen PDIH UKI
-Ketua MKP IPPAT
-Anggota Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat
MATERI:
1. SEJARAH LEMBAGA KENOTARIATAN SECARA UMUM DAN EKSISTENSI LEMBAGA
KENOTARIATAN DI INDONESIA
2. LEMBAGA NOTARIAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
3. PEJABAT UMUM DAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM.
4. PENGERTIAN UMUM KENOTARIATAN
5. KEWENANGAN, HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN JABATAN NOTARIS
6. AKTA OTENTIK, ANATOMI AKTA DIBAWAH TANGAN DAN AKTA NOTARIS
7. PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN NOTARIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
NOTARIS
8. JASA DAN HONORARIUM NOTARIS
9. KETENTUAN TENTANG MINUTA, SALINAN, KUTIPAN DAN GROSSE AKTA
10. KETENTUAN TENTANG PENGHADAP, SAKSI-SAKSI.
11. PROTOKOL NOTARIS
12. PENGAWASAN, PEMERIKSAAN TERHADAP NOTARIS DAN SANKSI
13. KODE ETIK NOTARIS MENURUT/DALAM UUJN
14. ORGANISASI JABATAN NOTARIS
BAHAN BACAAN:
1. Komar Andasasmita, Notaris I
2. G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris
3. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan
4.Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris
5. Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik
6. UUJN dan UUJN-P
8. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris)
9. Habib Adjie, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara
10. Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris
SEJARAH LEMBAGA KENOTARIATAN SECARA UMUM DAN EKSISTENSI LEMBAGA KENOTARIATAN
DI INDONESIA
Belanda dijajah Perancis pada periode 1806 sampai 1813 oleh Raja Louis Napoleon. Otomatis
sebagai negara jajahan Perancis, Belanda mengadopsi sistem kenotarisan bergaya latin yang dianut
oleh Perancis. Melalui Dekrit Kaisar tertanggal 8 Nopember 1810 tertanggal 1 Maret 1811
berlakulah undang-undang kenotariatan Perancis di Belanda.
Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI (16 Maret 1803)) sekaligus menjadi peraturan
umum pertama yang mengatur kenotariatan di Belanda.
Undang-undang kenotariatan Belanda hasil penyempurnaan dari undang-undang kenotariatan
Perancis ini sayangnya tidak ikut diadopsi ke ranah hukum Indonesia saat Belanda menjajah
Indonesia.
Justru yang berlaku adalah peraturan lama yang dipakai Belanda sebelum dijajah Perancis. Baru
pada tahun 1860, peraturan yang senada dengan peraturan kenotariatan Belanda (notariswet)
berlaku dengan dikeluarkannnya Peraturan Jabatan Notaris (PJN) pada tanggal 1 Juli 1860.
Jadi apabila ditelusuri maka undang-undang kenotariatan yang berlaku di Indonesia sekarang
dulunya berakar dari peraturan kenotariatan Perancis yang berlaku di Belanda yang kemudian
disempurnakan. Peraturan Jabatan Notaris adalah copie dari pasal-pasal dalam notariswet yang
berlaku di negeri Belanda.
Yang menarik dari jaman ini adalah adanya kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda yang
menetapkan formasi atau kuota notaris di setiap daerah. Mula-mula di Jakarta hanya
Kerchem, kemudian tahun 1650 ditambah menjadi 2 orang, kemudian ditambah lagi
menjadi 3 orang pada tahun 1654. Kemudian ditambah lagi menjadi 5 orang pada tahun
1671 dengan ketentuan 4 orang harus bertempat tinggal di dalam kota dan satu orang
bertempat tinggal di luar kota.
Tujuannya, agar masing-masing notaris bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Ini yang
harus menjadi renungan hari ini, apakah benar kebijakan persaingan bebas yang berlaku
di dunia notaris sekarang ini lebih baik ataukah justru sebuah kemunduran pemikiran.
Setelah Indonesia Merdeka, pemerintah tidak segera mengembangkan konsep peraturan
baru. PJN yang berlaku sejak 1860 terus dipakai sebagai satu-satunya UU yang mengatur
kenotariatan di Indonesia sampai tahun 2004. padahal dari berbagai segi PJN sudah tidak
sesuai dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu sejak tahun 1970-an, INI berusaha
membangun undang-undang kenotariatan yang baru dan bisa mengakomodasi
perkembangan lingkungan hukum dan bisnis di Indonesia. UU induknya yaitu Notariswet
sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan hukum dan bisnis di negeri Belanda, jadi perubahan PJN adalah sebuah hal
yang tidak bisa dihindarkan.
Menurut GHS Lumban Tobing, dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris, lembaga notaris
masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenigde Oost Ind.
Compagnie (VOC) di Indonesia. Sejak kehadiran Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di
Indonesia lalu lintas hukum perdagangan dilakukan dengan akta notariil, hal ini
berdasarkan pendapat Notodisoerjo menyatakan bahwa ”Lembaga Notariat telah dikenal
di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini
diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu
Burgelijk Wetboek”.
Berdasarkan hal tersebut, lembaga notariat yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi
kalangan golongan Eropa dalam lapangan hukum perdata, namun dalam perkembangan
selanjutnya masyarakat Indonesia secara umum dapat membuat suatu perjanjian yang
dilakukan di hadapan Notaris.
Hal ini menjadikan Lembaga Notariat sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat. Setelah Indonesia merdeka, sejak tanggal 17 Agustus 1945, keberadaan
notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan pasal II aturan peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dengan demikian peraturan tentang notaris pada jaman jajahan Belanda yaitu Reglement
op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) tetap berlaku di Indonesia. Pada
tanggal 13 Nopember 1954 telah diberlakukan Undang Undang nomor 33 tahun 1954,
yang menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie
(Stbl.1860 : 3) sebagai Reglement tentang Jabatan Notaris di Indonesia (pasal 1 huruf a)
untuk notaris Indonesia.
Keberadaan jabatan notaris pertama kali tercatat pada tanggal 27 Agustus 1620 dengan
diangkatnya seorang Belanda bernama MELCHIOR KERCHEM menjadi notaris di Jakarta
(Batavia). KERCHEM ditugaskan untuk kepentingan publik khususnya berkaitan dengan
pendaftaran semua dokumen dan akta yang telah dibuatnya.
Awalnya, para notaris adalah pegawai VOC sehingga tidak memiliki kebebasan dalam
menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang melayani masyarakat. Baru sesudah
tahun 1650 notaris benar-benar diberikan kebebasan dalam menjalankan tugasnya dan
melarag para prokureur mencampuri pekerjaan kenotariatan.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 Oktober
2004, pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi : Reglement op
Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) sebagaimana telah diubah terakhir
dalam lembaran Negara 1954 Nomor 101; Ordonantie 16 September 1931 tentang
Honorarium Notaris; Undang-undang nomor 33 tahun 1954; Pasal 54 Undang-undang
nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 1986
tentang peradilan umum; Peraturan pemerintah nomor 11 tahun 1949 tentang
sumpah/janji Jabatan Notaris.
Jika dibandingkan fungsi Notaris pada zaman sekarang sangat berbeda dengan Notarius
pada zaman Romawi tersebut. Pada abad ke-13 Masehi akta yang dibuat oleh notaris
memiliki sifat sebagai akta umum yang diakui, dan untuk selanjutnya pada abad ke-15
barulah akta notaris memiliki kekuatan pembuktian. Meskipun hal ini tidak pernah diakui
secara umum, tetapi para ahli berpendapat mengenai akta notaris sebagai alat bukti di
persidangan dan secara substansial merupakan alat bukti yang mutlak sehingga
mempunyai konsekuensi tersendiri dari sifat mutlaknya tersebut.
Hal senada diutarakan oleh R. Soegondo Notodisoerjo, 1993 bahwa: Akta notaris dapat
diterima dalam sidang di Pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak mengenai isinya,
walaupun terhadap akta itu masih dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya
oleh para saksi, apabila mereka yang membuktikan tersebut dapat membuktikan bahwa
apa yang diterangkan dalam akte itu adalah tidak benar
Secara umum terdapat dua aliran dalam praktik kenotariatan di dunia, yakni Notaris Latin
dan Anglo Saxon. Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil
(Civil Law System), sedangkan notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang menganut
Sistem Hukum Kasus (Common Law System). Kelompok negara yang menganut civil law
system adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria,
Swiss, Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka.
Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut common law, misalnya
Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan, sedangkan untuk kelompok
notariat negara-negara Asia dan Afrika, yaitu Turki, Israel, Mesir, Irak, Jepang, Cina,
Ethiopia, Liberia, Sri Lanka, India dan Korea Selatan.
Civil Law System sangat mementingkan keberadaan peraturan perundang-undangan, dibandingkan
keputusan-keputusan hakim sehingga hakim hanya berfungsi sebagai pelaksana hukum. Notaris
pada civil law system sama seperti hakim. Notaris hanya sebagai pihak yang menetapkan aturan.
Pemerintah mengangkat notaris sebagai orang-orang yang menjadi ”pelayan” masyarakat.
Sebagai pihak yang diangkat oleh negara maka notaris dapat dikategorikan sebagai pejabat negara.
Seorang notaris civil law akan mengeluarkan akta yang sama persis dengan asli akta (minuta akta)
yang disimpan dalam kantor notaris. Akta yang dibuat oleh seorang notaris dalam civil law system
merupakan akta otentik yang sempurna sehingga dapat dijadikan alat bukti yang sah di
pengadilan. Indonesia menganut mazhab Notaris Latin. Notaris di Indonesia memberikan Legal
Advice kepada para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,
ketertiban, dan kesusilaan.
Berbeda dengan negara yang menganut civil law system, pada common law system aturan hukum
ditetapkan oleh hakim. Hakim bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga memutuskan
dan menetapkan peraturan hukum merujuk pada ketentuan-ketentuan hakim terdahulu. Posisi
notaris dalam common law system berbeda dengan posisi notaris dalam civil law system, yaitu
notaris bukanlah pejabat negara. Mereka tidak diangkat oleh negara, tetapi mereka adalah notaris
partikelir yang bekerja tanpa adanya ikatan pada pemerintah. Mereka bekerja hanya sebagai
legalisator dari perjanjian yang dibuat oleh para pembuat perjanjian. Dokumen yang dikeluarkan
oleh notaris bukanlah dokumen otentik karena tidak dibuat di hadapan notaris, hanya
pengesahannya yang dilakukan notaris.
Menurut Izenic, bentuk lembaga notariat ini dapat dibagi dalam kelompok utama, yaitu :
1. notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan
(gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan
bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut
notariat functionnel ini terdapat pemisahan keras antara ”wettelijk” dan ”niet wettelijke”
werkzaamheden, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum
dan yang tidak/bukan dalam notariat;
2. notariat professionnel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur tentang
organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang
kebenaran, kekuatan bukti demikian pula kekuatan eksekutorialnya. Teori Izenis ini
didasarkan pada pemikiran bahwa notariat itu merupakan bagian atau erat sekali
hubungannya dengan kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechtelijke macht), sebagaimana
terdapat di Perancis dan Negeri Belanda.
Perkembangan lalu lintas hukum yang komplek dalam kehidupan bermasyarakat, semakin
menuntut akan adanya kepastian hukum terhadap hubungan hukum individu maupun
subyek hukum. Semenjak itulah akte notaris dibuat tidak hanya sekedar catatan atau bukti
untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tetapi lebih ditujukan
untuk kepentingan kekuatan pembuktiannya, sehingga diharapkan dapat memberikan
kepastian hukum di kemudian hari.
Dengan pesatnya lalu lintas hukum dan tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan
pembuktian suatu akta, sehingga menuntut peranan Notaris sebagai pejabat umum harus
dapat selalu mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada
masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang di buatnya untuk selalu dapat
memberikan kepastian hukum.
LEMBAGA NOTARIAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
Di dalam perkembangannya lembaga notaris ini secara diam-diam telah diadopsi dan
menjadi hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan. Berkaitan dengan
perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dapat dipahami bahwa keberadaan
profesi notaris adalah sebagai pembuat alat bukti tertulis mengenai akta-akta otentik
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam lalu lintas hukum pada umumnya
memerlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang
sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembuktian kepastian
hak dan kewajiban hukum seseorang dalam kehidupan masyarakat, salah satunya
dilakukan dengan peran yang dimainkan notaris.
Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan
hukum dalam masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat pencegahan terjadinya
masalah hukum, dengan cara penerbitan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait
dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang dalam hukum dsb, yangberfungsi
sebagai alat bukti yang paling sempuna di pengadilan, dalam hal terjadi sengketa hak dan
kewajiban yang terkait.
Adapun yang dimaksud dengan akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata adalah :
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuknya yang ditentukan oleh
undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu ditempat dimana akta dibuatnya.”
Sementara itu menurut Pasal 1 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Kewenangan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Pasal 1 Juncto Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
yang mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2004.
Pasal 15 ayat (1) UUJN mendefinisikan tentang kewenangan notaris sebagai pejabat umum, yaitu
sebagai berikut :
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan
yang diharuskan oleh perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberi grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.”
Dari definisi Pasal 1 angka (1) UUJN dan Pasal 15 UUJN ayat (1) di atas dapat diketahui bahwa :
1. Notaris adalah pejabat umum;
2. Notaris merupakan pejabat yang berwenang membuat akta otentik;
3. Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya
dinyatakan dalam suatu akta otentik.
4. Adanya kewajiban dari notaris untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya,
memberikan grosse, salinan dan kutipannya;
5. Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum;
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat
dimana dibuat.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Pasal 1 angka (1) UUJN dan Pasal 15 ayat (1) UUJN
telah menegaskan, bahwa pokok kewenangan notaris adalah membuat akta otentik dan
akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu bukti yang
sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870
KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan diantara para pihak
beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka,
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Disinilah letak arti yang
penting dari profesi notaris ialah bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang
menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut
dalam otentik itu pada pokok dianggap benar.
Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu
keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha.
Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti Verlijden, yaitu
menyusun, membacakan dan menandatangani dan verlijkden dalam arti membuat akta
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap notaris untuk memberikan pelayanan
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
Notaris juga memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan undang-
undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan
mengenai bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk
melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi penguasa, yaitu pemerintah
untuk menunjuk dan mengangkat notaris.
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan untuk
menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan
dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak
diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang
dimiliki oleh notaris meliputi 4 (empat) hal yaitu sebagai berikut;
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
2. Notaris harus berwenang sepanjang yang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Keempat hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat
umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yaitu yang ditugaskan atau dikecualikan
kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2. Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Pasal 52 ayat
(1) UUJN, misalnya telah ditentukan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta
untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mepunyai hubungan kekeluargaan
dengan notaris karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah maupun keatas tanpa pembatasan derajat, serta garis kesamping sampai dengan
derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan
ataupun dengan perantaraan kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk
mencegah terjadinya tindakan memihak dan menyalahgunakan jabatan;
3. Bagi setiap notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya di dalam wilayah jabatan
yang ditentukan tersebut, notaris berwenang untuk membuat akta otentik;
4. Notaris tidak boleh membuat akta selama notaris tersebut masih menjalankan cuti atau
dipecat dari jabatannya, notaris juga tidak boleh membuat akta sebelum memangku
jabatannya atau sebelum diambil sumpah.
Apabila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka akta yang dibuat notaris adalah
tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan,
apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap. Dalam pembuatan akta
notaris sebagaimana disebutkan diatas notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang
diatur oleh Pasal 1 UUJN, sebelum menjalankan tugas jabatannya notaris harus
mengangkat sumpah.
Konsekuensinya, dengan tidak diangkatnya sumpah tersebut adalah tidak diperkenankan
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang termasuk dalam bidang tugas notaris. Adapun
inti dari tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik dan di dalam pembuatannya
notaris harus benar-benar menguasai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
bentuk atau formalitas dari akta notaris itu, agar dapat dikatakan sebagai akta otentik dan
tetap memiliki kekuatan otentisitasnya sebagai akta notaris, hak demikian tidak hanya
sekedar untuk memberikan perlindungan terhadap diri notaris yang bersangkutan,
melainkan demi kepentingan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
membutuhkan jasanya.
Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena
dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Otensitas dari akta notaris bersumber
dari Pasal 1 UUJN, dimana notaris dijadikan sebagai “pejabat umum”, sehingga akta yang
dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut dapat memperoleh sifat akta otentik.
Dengan perkataan lain, akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh
karena undang-undang menetapkan demikian, akan tetapi oleh akta itu dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
-Akta yang dibuat “oleh” notaris atau dinamakan “akta relaas” atau akta (ambtelijke akte),
akta ini merupakan suatu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik
sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
pembuat akta itu, yaitu notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai notaris.
Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan
serta dialaminya itu. Termasuk di dalam akta “relaas” ini antara lain berita acara
rapat/risalah para pemegang saham dalam perseroan terbatas.
Akta yang dibuat “di hadapan” notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten),
akta yang dibuat dihadapan notaris, akta ini yang berisikan suatu “cerita” dari apa yang
terjadi karena perbuatan yang di lakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang
diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan memberikan
kerterangan itu di hadapan notaris, agar keterangan itu dikonstantir oleh notaris di dalam
suatu akta otentik. Termasuk dalam golongan akta ini yaitu perjanjian hibah, jual beli,
wasiat, kuasa dan lain sebagainya.
Undang-undang mengharuskan bahwa akta-akta partij, dengan diancam akan dihilangkan
otentisitasnya atau dikenakan denda, harus di tandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan atau setidak-tidaknya didalam akta itu diterangkan apa yang menjadi alasan
tidak di tandatanganinya akta itu oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya
para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya,
keterangan mana harus dicantumkan oleh notaris dalam akta dan keterangan itu dalam
hal ini berlaku sebagai ganti tanda tangan (surrogaat tanda tangan), dengan demikian
untuk akta partij penandatanganan oleh para pihak merupakan suatu keharusan.
Jadi pada dasarnya bentuk suatu akta notaris yang berisikan keterangan-keterangan dan
hal-hal lain yang dikonstantir oleh notaris, umumnya harus mengikuti ketentuan-
ketentuan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
antara lain KUHPerdata dan UUJN.
Dalam hubungannya dengan apa yang diuraikan diatas, maka yang pasti secara otentik
pada akta partij terhadap pihak lain, ialah :
1. Tanggal dari akta itu;
2. Tanda tangan-tanda tangan dalam akta itu;
3. Identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten);
4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang diterangkan
oleh para penghadap kepada notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedang
kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak yang
bersangkutan sendiri.
Dalam akta relaas tidak menjadi soal, apakah orang-orang yang hadir itu menolak untuk
menandatangani akta itu. Apabila misalnya pada pembuatan berita acara rapat/risalah
para pemegang saham dalam perseroan terbatas orang-orang yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka notaris cukup menerangkan
dalam akta, bahwa para pihak yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum
menandatangani akta itu dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik.
Pembedaan yang dimaksud diatas penting, dalam kaitannya dengan pemberian
pembuktian sebaliknya terhadap isi akta itu, terhadap kebenaran isi dari akta pejabat
(ambtelijke akte) tidak dapat di gugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah
palsu. Pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh kepalsuannya, dengan jalan
menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan ada diuraikan menurut
sesungguhnya dalam akta itu, akan tetapi keterangan itu adalah tidak benar. Artinya
terhadap keterangan yang diberikan diperkenankan pembuktian sebaliknya.
Alat bukti tulisan merupakan alat bukti yang utama di dalam perkara perdata. Hal ini
tertuang di dalam Pasal 1866 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“alat-alat bukti terdiri atas : bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, prasangka-prasangka,
pengakuan, sumpah, segala sesuatu dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam bab-bab yang berikut”.
Berdasarkan alat-alat bukti dalam pasal di atas, jelaslah bahwa alat bukti tulisan lebih
diutamakan dari pada alat bukti lainnya, adapun dari bukti tulisan itu terdapat suatu yang
sangat berharga untuk pembuktian yaitu akta. Akta ini dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Termasuk akta otentik adalah
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Selain dari yang ditentukan dalam
Pasal tersebut maka termasuk dalam akta di bawah tangan.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan bahwa suatu akta notaris lahir dan tercipta
karena :
1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar perbuatan
hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik.
2. Atas dasar undang-undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu
mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak
Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk akta otentik adalah untuk menjamin
kepastian hukum guna melindungi pihak-pihak, baik secara langsung yaitu para pihak yang
berkepentingan langsung dengan akta itu maupun secara tidak langsung yaitu masyarakat.
Suatu akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya bukti
antar para pihak dan terhadap pihak ke tiga, sehingga hal itu merupakan jaminan bagi
para pihak bahwa perbuatan-perbuatan atau akta yang dibuat notaris adalah akta otentik
dan otensitasnya itu bertahan terus, bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda
tangannya pada akta itu tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi
menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu.
Apabila notaris itu sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka
akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi akta-akta tersebut
harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan. Keterangan-keterangan yang
dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut Pasal 1870
KUHPerdata adalah suatu akta otentik memberikan diantara para pihak, beserta ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat di dalamnya. Akta otentik selain merupakan alat bukti yang
mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim,
yaitu harus dianggap benar selama ketidakbenarannya dapat dibuktikan. Akta otentik juga
memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa akta otentik sudah tidak
memerlukan suatu penambahan pembuktian.
Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu
yang dituliskan, tetapi juga bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar. Penafsiran
yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, suatu
akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang sesuatu yang
termuat didalamnya sebagai suatu penurunan belaka, kecuali sekedar sesuatu yang
diturunkan itu adalah hubungannya langsung dengan pokok isi akta. Berdasarkan pasal
tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa akta otentik itu memberikan bukti yang
sempurna mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu
yang dengan tegas dinyatakan oleh para penanda-tangan akta.
Dengan dibuatkannya akta otentik oleh pihak-pihak yang berkepentingan, maka mereka akan
memperoleh bukti tertulis dan kepastian hukum berupa :
1. Pihak yang berkepentingan oleh undang-undang dinyatakan mempunyai alat bukti yang lengkap
atau sempurna dan akta itu telah membuktikan dirinya sendiri, dengan kata lain apabila didalam
suatu perkara salah satu pihak mengajukan alat bukti berupa akta otentik, maka hakim dalam
perkara itu tidak boleh memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk menambah alat bukti
lain untuk menguatkan akta otentik tadi.
2. Akta-akta notaris tertentu dapat dikeluarkan turunan yang istimewa yaitu dalam bentuk grosse
akta yang mempunyai kekuatan akta yang eksekutorial, sebagaimana halnya putusan hakim di
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti untuk dijalankan.
Perbedaan karakter antar akta Notaris dan akta PPAT
1. karakter yuridis akta Notaris
a. Putusan MA No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 Septeber 1973 : “judex factie dalam amar
putusannya membatalkan akta notaris, hal ini adalah tidak dapat dibenarkan, karena notaris
fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para
pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki
secara materil apa-apa (hal-hal) yan dikemukakan oleh penghadap dihadapan notaris tersebut.
b. Putusan MA No. 3199 K/Pdt/1992, tanggal 27 Okotber 1994
Akta otentik menurut ketentuan ex165 HIR jo 265 Rbg jo 1868 BW merupakan bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya.
c. Putusan MA No. 1140 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998
Suatu akta notaris sebagai akta otentik yang isinya memuat 2 perbuatan hukum, yaitu 1.
pengakuan hutang, dan 2. kuasa mutlak untuk menjual tanah. Maka akta notaris ini telah
melanggar adagium. Bahwa suatu akta otentik hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta
notaris yang demikian itu tidak memiliki executorial ex Pasal 24 HIR dan tidak sah.
Berdasarkan yurisprudensi MA tersebut, maka karakter yuridis notaris dan akta notaris yaitu :
1. pembatalan akta notaris oleh hakim tidak dapat dibenarkan, karena akta tersebut merupakan
kehendak para penhadap
2. fungsi notaris hanya mencatatkan keinginan penghadap yang dikemukakan dihadapan notaris
3. notaris tidak mempunyai kewajiban materil atas hal-hal yang dikemukakan dihadapan notaris
4. akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, para ahli
warisnya dan siapa saja yang mendapat hak dari akta tersebut
5. tiap akta notaris (atau satu akta notaris) hanya memuat satu tindakan satu perbuatan hukum
saja. Jika satu akta notaris memuat lebih dari 1 perbuatan hukum, maka akta tersebut tidak
mempunyai kekuatan titel eksekutorial dan tidak sah.
2. Karakter Yuridis Akta PPAT
a. Putusan MA No. 62 K/TUN/1988, tanggal 27 Juli 2001 :
Bahwa akta-akta yang diterbitkan oleh PPAT adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 sub. 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara, karena meskipun dibuat
oleh PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, namun dalam hal ini pejabat tersebut
bertindak sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata.
b. Putusan MA No. 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Pebruari 2000 :
PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan urusan pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria
Nomor 10 tahun 1961, akan tetapi (akta jual beli) yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat
unilateral yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka karakter yuridis PPAT dan
akta PPAT, yaitu :
1. PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, karena menjalankan sebagian urusan
pemerintahan dalam bidang pertanahan atau dalam bidang pendaftaran tanah dengan
membuat akta PPAT sesuai aturan hukum yang berlaku.
2. akta PPAT bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara, meskipun PPAT
dikualifikasikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara.
3. dalam kedudukan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PPAT tetap bertindak sebagai
pejabat umum dalam bidang hukum perdata.
4. akta PPAT tidak memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara, karena akta
PPAT bersifat bilateral (kontraktual), sedangkan keputusan tata usaha negara bersifat
unilateral.
PENGERTIAN UMUM KENOTARIATAN
Jabatan Notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja diciptakan
kemudian baru disosialisasikan kepada masyarakat. G.H.S. Lumban Tobing, SH., dalam bukunya
yang berjudul Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan yang
dikenal sebagai “notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang
menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada
dan/atau terjadi diantara mereka, suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh
kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-undang mengharuskan
sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai
kekuatan otentik.
Sehingga secara singkat dapat dikatakan bahwa eksistensi Notaris bukanlah untuk dirinya sendiri
melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kalimat inilah yang menjadi dasar mengapa
seorang Notaris harus menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam melayani masyarakat
sebagai misi utama dalam hidupnya.
Pada dasarnya, peran seorang Notaris adalah memberikan pelayanan berupa jasa bagi masyarakat
yang berniat untuk membuat alat pembuktian yang bersifat otentik. Pelayanan disini jangan
diartikan sempit, sebagai “membuat akta” saja. Pelayanan harus diartikan menyangkut aspek
holistik dan menyeluruh dari mulai kemudahan masyarakat mendapatkan informasi, menghubungi
Notaris, datang ke tempat Notaris, fasilitas kantor Notaris, keramahan Notaris beserta pegawainya,
dan lain sebagainya. Pembuatan akta hanya sebagian dari aktivitas yang disebut pelayanan.
Hal tersebut di atas berkaitan erat dengan banyaknya jumlah Notaris di Indonesia pada
saat ini, sehingga tidak dapat dipungkiri menimbulkan adanya persaingan diantara para
Notaris. Akan tetapi persaingan tersebut janganlah selalu dipandang dari segi negatifnya,
melainkan harus menjadi ‘cambuk’ bagi setiap Notaris untuk meningkatkan pelayanannya.
Harus diingat bahwa Pelayanan dalam dunia kenotariatan tidak bisa disamakan dengan
pelayanan pada dunia bisnis biasa. Pelayanan dalam dunia kenotariatan harus tetap
mengacu dan patuh pada Kode Etik Notaris yang telah disahkan dan disepakati dalam
UUJN, sehingga seorang Notaris yang memberikan pelayanan kepada kliennya tidak boleh
mengorbankan keluhuran dan martabat Notaris sebagai pejabat umum
Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangannya dapat diandalkan,
dapat dipercaya yang tanda-tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan
sebagai alat bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluhan hukum
yang tidak ada cacatnya (onreukbaar/unimpeachable), yang tutup mulut dalam membuat
suatu perjanjian yang dapat melindungi di hai-hari mendatang. Hal ini berbeda dengan
peran dari seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada pembelaan
hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi notaris harus
berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi di masa depan.
Menurut Pasal 2 UUJN, seorang notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, dan Pasal 3
UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk diangkat menjadi notaris adalah :
a. WNI
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Berumur paling sedikit 27 tahun
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan
f. Telah menjalani magang 2 tahun berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atas
rekomendasi Organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.
Notaris merupakan pejabat yang menjalankan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum privat
dan mempunyai peran penting dalam pembuatan akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna. Oleh karena jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan dengan
peran yang sangat penting maka seorang notaris dalam pelaksanaan jabatannya selain harus
mendapatkan pengawasan juga perlu menddapatkan kepastian hukum.
Kepastian hukum dimaksud agar notaris dalam menjalankan jabatannya senantiasa mendapatkan
keadilan, disamping itu, agar notaris mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan
perundang-undangan.
Keberadaan lembaga Notaris di Indonesia senantiasa dikaitkan dengan keberadaan
fakultas hukum, hal ini terbukti dari institusi yang menghasilkan Notaris (sekarang ini)
semuanya dari fakultas hukum dengan kekhususan (sebelumnya) Program Pendidikan
Spesialis Notaris atau sekarang ini berubah menjadi Program Studi Magister Kenotariatan.
Pada awalnya untuk mengisi jabatan Notaris kepada yang bersangkutan wajib mengikuti
Ujian Notaris yang diadakan oleh Pemerintah Republik Indonesia baru dimulai pada tahun
1950. Ujian ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Peraturan Jabatan Notaris
(PJN).
Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di Universitas
Indonesia, dilanjutkan dengan kursus Notariat dengan menempel di Fakultas Hukum.
Sampai tahun 1970 diadakan Program Studi Spesialis Notariat, sebuah program yang
mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, akta, dan lain-lain), yang lulusannya
dipersiapkan untuk mengemban jabatan sebagai Notaris. Program seperti ini terus
berjalan dan menjadi bagian atau diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, dan kepada
lulusannya memberikan gelar Candidat Notaris (CN) atau Spesialis Notariat (SpN.).
Setelah berjalan sekian lama, pada tahun 2000, dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor
60 yang memperbolehkan pengelola Program Studi Spesialis Notariat berubah menjadi
Program Magister Kenotariatan, dan kepada lululusan memakai gelar Magister
Kenotariatan (MKn).
Program Studi Magister Kenotariatan merupakan program magister yang bersifat
keilmuan atau akademis, tapi dalam prakteknya program ini disamping bersifat akademis,
juga dipersiapkan untuk memasuki profesi hukum tertentu, juga dipersiapkan untuk
memangku jabatan sebagai Notaris, dan juga memberi peluang kepada lulusannya untuk
melanjutkan ke jenjang Strata 3 (S3) bidang hukum.
Dalam konteks demikian pendikan MKn. Yang diselenggarakan di Indonesia merupakan
hybrid atau campuran antara pendidikan profesi dan akademis. Artinya lulusan M.Kn :
a. Dapat mengajukan permohonan untuk dapat diangkat sebagai Notaris.
b. Sebagai penunjang atau tambahan pengetahuan dalam menjalankan profesi hukum
lainnya.
c. Dapat melanjutkan untuk program Strata S3 bidang Ilmu Hukum.
-Landasan Yuridis Notaris
Notaris merupakan profesi di bidang hukum yang terkait erat degan pembuatan alat bukti berupa
akta. Secara yuridis notaris berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yaitu sebagai pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
Adapun kewenangan yang melekat pada notaris (kewenangan atributif) secara lengkap dapat
dibaca dalam ketentuan Pasal 15 UUJN.
Selain adanya kewenangan dimaksud notaris selaku pejabat umum mempunyai beberapa
kewajiban huum sekaligus kewajiban etis yang harus ditunaikan dalam menjalankan tugasnya di
masyarakat. (Pasal 16 UUJN)
-Landasan Sosiologis Notaris
Lembaga kenotariatan yang berlaku di Indonesia menganut sistem kenotariatan latin dengan ciri-
ciri khas sebagai berikut
1. Notaris diangat dan diberhentikan oleh pemerintah, dengan penetapan wilayah dan masa
kerjanya.
2. notaris bertugas melakukan pelayanan jasa kepada publik dan didalam melaksanakan tugasnya
itu ia menjalankan sebagian kewajiban pemerintah, oleh karena itu stb. 1860 No. 3 menyebutnya
sebagai Pejabat Umum.
3. Dalam melaksanakan jabatannya ia harus bertindak secara independen/mandiri dan harus
memperhatikan kepentingan para pihak. Kemandirian yang demikian itu sama dengan
kemandirian seorang hakim
4. Kemandirian sikapnya menyebabkan notaris harus melakukan penilaian dan analisis terhadap
fakta-fakta yang diajukan klien kepadanya.
5. Notaris bertugas pula untuk menghindarkan terjadinya konflik, hal mana terlihat dalam tugas-
tugasnya dibidang hukum keluarga. Tugas-tugas terkait dengan hukum keluarga ini misalnya
berupa wasiat, pembuatan akta kewarisan dsb.
6. Dalam hal-hal tertentu notaris berwenang membuat akta yang mempunyai kekuatan
eksekutorial.
7.notaris mendapatkan imbalan jasa dari pelayanannya.
8. dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh melakukan perangkapan jabatan.
Secara sosiologis keberadaan notaris di tengah-tengah kehidupan masyarakat sangat dibutuhkan,
terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembukian sempurna.
Alat buti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna lazim disebut dengan akta notariil atau
akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat kantor catatan sipil yang mempunyai
kewenangan mengeluarkan akta kelahiran dan akta perkawinan bagi orang-orang non muslim,
pejabat KUA sebagai pejabat yang berwenang mengeluarkan kutipan Akta Nikah, serta Notaris
sebagai pejabat umum yang berwenang mengeluarkan akta otentik.
Dalam kontek UUJN landasan sosiologis adanya notaris pada dasarnya adalah kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat terhadap jasa notaris, khususnya di era
pembangunan di segala bidang kehidupan yang terjadi di Negara RI. Kemudian landasan
diperlukannya UUJN adalah karena notaris merupakan jabatan tertentu yag menjalankan
profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.
Pada intinya keberadaan notaris mendapatkan landasan sosiologis bahwa ia adalah
pejabat umum yang dibutuhkan dalam lalu lintas hukum di masyarakat. Untuk itu notaris
perlu mengikuti dan memahami perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat,
sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dapat memenuhi kebutuhan
akan pembuktian dari masyarakat secara tepat. Dalam rangka mewujudkan hal ini, maka
peran dari organisasi profesi notaris, majelis pengawas notaris, dan lembaga pendidikan
perlu ditingkatkan baik secara kuantitas maupun kualitas.
-Landasan filosofis Notaris
INI sebagai organisasi pejabat umum yang profesional dituntut untuk selalu menngkatkan
kualitas, baik kualitas ilmu, kualitas amal, maupun kualitas moralnya, serta menjunjung
tinggi keluhuran martabat notaris, sehingga dalam memberikan pelayanannya kepada
masyarakat senantiasa berpedoman kepada kode etik profesi berdasarkan UUJN.
Dengan demikian dapa dikatakan dalam masalah idealisme moral dalam hukum,
kepercayaan kepada hukum dan sebagainya tetap merupakan modal yang sangat penting
dalam suatu negara berdasarkan hukum.
Notaris merupakan salah satu pejabat negara yang kedudukannya sangat dibutuhkan di
masa sekarang ini. Di masa modern ini, masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang
berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain seperti yang mereka kenal dulu. Setiap
perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat pasti akan mengarah kepada notaris sebagai
sarana keabsahan perjanjian yang mereka lakukan. Karena itulah, kedudukan notaris
menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini.
Seperti pejabat negara yang lain, notaris juga memiliki kewenangan tersendiri yang tidak
dimiliki oleh pejabat negara yang lainnya. Selain kewenangannya, para notaris juga
memiliki kewajiban dan larangan yang wajib mereka patuhi dalam pelaksanaan tugas
jabatannya. Dengan berdasar pada Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, para notaris di Indonesia wajib untuk memahami apa yang menjadi wewenang
dan kewajiban mereka serta larangan yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan tugas
jabatannya.
Dalam pelaksanaan wewenang, jika misalnya ada seorang pejabat yang melakukan suatu
tindakan diluar atau melebihi kewenangannya, maka perbuatannya itu akan dianggap
sebagai perbuatan melanggar hukum. Demikian pula dengan notaris, para notaris wajib
untuk mengetahui sampai di mana batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka
miliki, notaris juga memilki kewajiban yang harus mereka penuhi dalam pelaksanaan tugas
jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini dilanggar
maka notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai dengan ketentuan yang
telah diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).
PEJABAT UMUM DAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
menyebutkan : “Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Menurut
kamus hukum salah satu arti dari Ambteraren adalah Pejabat, dengan demikian Openbare
Ambteraren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan
publik
sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus
berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum
diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris.
Aturan hukum sebagaimana tersebut diatas yang mengatur keberadaan Notaris tidak
memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang
diberi kualifikasi Pejabat Umum bukan hanya notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, termasuk diantaranya adalah Pejabat
Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain selain Pejabat
Umum, bertolak belakang dengan makna Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT
hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis
akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja.
Hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa akta otentik
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu. Pegawai-
pegawai umum yang berkuasa tersebut diantaranya adalah PPAT, Pejabat Lelang, Pejabat
KUA, Pejabat Dinas Kependudukan dan termasuk Notaris yang berkuasa mengeluarkan
akta otentik sesuai kewenangannya masing-masing yang telah ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris.
Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta otentik,
sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti
Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tetapi
hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang
ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai Pegawai Negeri. Akta-akta yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga
termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menanda-
tanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.
Berdasarkan pengertian diatas, bahwa notaris berwenang membuat akta sepanjang
dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta
otentik. Pembuatan akta tersebut berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan
prosedur pembuatan akta notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak
perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris: seperti notaris
sebagai Pembuat Akta Koperasi berdasarkan Keputusan Menteri dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 98/KEP/M.KUKM/IX/2004, tanggal 24 September
2004 Tentang Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi, kemudian Notaris sebagai
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Pasal 37 ayat (3) dan (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Pemberian sebutan lain kepada notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna
Pejabat Umum. Seakan-akan notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika
disebutkan dalam suatu aturan hukum dari instansi pemerintah.
Dalam kelembagaan (hukum) khususnya untuk notaris, cukup untuk notaris dikategorikan
sebagai Pejabat Umum (atau sebutan lain sebagaimana tersebut dibawah ini) saja dan
tidak perlu menempelkan atau memberikan sebutan lain kepada notaris. Jika suatu
instansi ingin melibatkan notaris dalam rangka pengesahan suatu dokumen atau surat
atau dalam pembuatan dokumen-dokumen hukum, cukup dengan petunjuk bahwa untuk
hal-hal tertentu wajib dibuat dengan akta notaris,
Contohnya :
-Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan
bahwa perseroan terbatas didirikan dengan akta notaris.
-Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia
menegaskan bahwa akta Jaminan Fiducia dibuat dengan akta notaris.
-Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menegaskan
bahwa yayasan didirikan dengan akta notaris.
-Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,
menentukan bahwa pendirian partai politik harus dengan akta notaris
Meskipun bukan sebagai badan hukum, namun Undang-Undang Partai Politik,
menentukan bahwa pendirian partai politik harus dengan akta notaris. Selain itu dalam
KUHPerdata untuk tindakan hukum tertentu diwajibkan dalam bentuk akta otentik, yaitu :
-Berbagai ijin kawin, baik dari orang tua atau kakek/nenek (Pasal 71) ;
-Pencabutan pencegahan perkawinan (Pasal 70 ) ;
-Berbagai perjanjian kawin berikut perubahannya (Pasal 147, 148) ;
-Kuasa melangsungkan perkawinan (Pasal 79) ;
-Hibah berhubung dengan perkawinan dan penerimaannya (Pasal 176, 177);
-Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang pemisahan
harta (Pasal 191) ;
-Pemulihan kembali harta campur yang telah dipisah (Pasal 196) ;
-Syarat-syarat untuk mengadakan perjanjian pisah meja dan ranjang (Pasal 237);
-Pengakuan anak luar kawin (Pasal 281) ;
-Pengangkatan wali (Pasal 355) ;
-Berbagai macam/jenis surat wasiat, termasuk/diantaranya penyimpanan wasiat umum,
wasiat pendirian yayasan, wasiat pemisahan dan pembagian harta peninggalan,
fideicomis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurus harta peninggalan dan
pencabutannya (Bab Ketigabelas-Tentang Surat Wasiat) ;
-Berbagai akta pemisahan dan pembagian harta peninggalan/warisan (Bab Ketujuhbelas-
Tentang Pemisahan Harta Peninggalan ) ;
-Berbagai hibahan (Bab Kesepuluh-Tentang Hibah), dan protes nonpembayaran/akseptasi
(Pasal 132 dan 143 KUHDagang).
Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan
kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik.
Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta
otentik. Oleh karena itu notaris sudah pasti Pejabat Umum, tetapi Pejabat Umum belum
tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.
Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris sebagai Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum atau notaris sebagai pejabat
publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUJN
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan
untuk melayani masyarakat.
Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian mempunyai
wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan notaris sebagai Pejabat
Publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak hukum.
Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam bidang
pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini
dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut.
Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi
syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final.
Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum
perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para
pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat dihadapan atau oleh notaris.
Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum (negeri).
Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produk hukumnya yaitu Surat Keputusan atau
Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Adminstrasi Negara yang memenuhi syarat
sebagai penetapan tertulis yang bersifat individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata, dan sengketa dalam hukum administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
pejabat publik yang bukan pejabat atau Badan Usaha Negara. Berdasarkan uraian diatas maka
notaris dalam kategori sebagai pejabat publik yang bukan pejabat tata usaha negara, dengan
wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan notaris, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 15 UUJN.
Sebagai perbandingan, notaris di beberapa negara bagian Amerika Serikat dan Kanada merangkap
sebagai pengacara hal tersebut sangat berbeda dengan di Indonesia yang harus independen.
A notary public in the rest of United States and most of Canada has powers that area far more
limited than those of civil law or rather common law notaris, both of whom are qualified lawyers of
law, and giving legal advice and preparing legal instruments in forbidden to lay notaris.
Notaris di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan juga Kanada mempunyai wewenang
yang jauh lebih dibatasi dari pada di negara penganut civil law atau common law, keduanya
memiliki pengacara yang memenuhi syarat diakui dikalangan pengacara, diantara notaris boleh
ditunjuk sebagai pengacara notaris. Disamping itu, pada sistem common law, pelayanan notaris
berbeda dengan praktek hukum sementara pemberian nasihat hukum dan persiapan instrumen
hukum tidak diperkenankan bagi notaris. (terjemahan bebas penulis).
In England and Wales, notary are lawyers who specialize in international transctions and
docomentations for use abroad. Abaout 850 number, nearly all of them practice as solicitors in
addition to their notaris practice, although there is a growing number of full time notaris, who may
also carry out normal conveyance and pribate work within this country.
Di Inggris dan Wales bahwa notaris adalah pengacara yang ahli dalam transaksi dan surat
menyurat pada tingkat internasional. Sekitar 850 notaris, mereka berperan sebagai pengacara
disamping sebagai notaris, bahkan ada penambahan jam terbang bagi mereka, yang juga boleh
melaksanakan tugas dinas dan mengurus surat pengesahan dalam satu kantor. (terjemahan bebas
dari penulis).
In England, notary never attained the same prominence as they did in the Continental European
jurisdictions based on Roman Law. As common law, with its preference for lay judges and oral
testimony over trained lawyers and documentary evidence, increasingly replaced roman law, the
need for notary began to diminish.
Di Inggris, notaris tidak pernah mendapat kedudukan yang tinggi sebagaimana yang berlaku pada
hukum Eropa Kontinental yang menganut hukum Romawi. Sebagai penganut common law, dengan
preferensinya pada kebiasaan hakim dan kesaksian lisan terlebih dengan para pengacara yang
terlatih dan bukti-bukti dokumentasi, dewasa ini digantikan dengan hukum Romawi, maka
kebutuhan pada notaris mulai berkurang. (terjemahan bebas dari penulis).
Jabatan Notaris sesungguhnya menjadi bagian penting dari negara Indonesia
yang menganut prinsip Negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Dengan prinsip
ini, Negara menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum,
melalui alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai
subjek hukum dalam masyarakat. Salah satu jaminan atas kepastian hukum
yang memberikan perlindungan hukum adalah alat bukti yang terkuat dan terpenuh,
dan mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris.
Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan UU
oleh/dihadapan pejabat umum yg berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Ps 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adalah alat pembuktian yg sempurna bagi kedua
pihak & AW,sekalian org yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-pihak
suatu pembuktian yg mutlak.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:
-Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan
dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg
per-uu-an yg mengaturnya;
-Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.
-Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd peristiwa,apa yg diterangkan
dlm akta itu benar.
Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka
yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai
Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh
karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris,
karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau
Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika
ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk
memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang
menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3)
UUJN.
Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai
Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta
otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi
Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan
keperdataan, yang dilindungi oleh UU.
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang
terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan
Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare ambtenaren,
uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen,
overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de
belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de
dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif
akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene
algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of
voorbehouden is.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan
Putusan nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan
Pejabat Umum sebagai Public Official.
Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het
Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat
Umum oleh G.H.S.Lumban Tobing. Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam
Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain). Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan :
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat
dimana akta itu dibuat.
Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan
demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian
dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai
Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan
sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta
otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris. Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris
tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini
yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang.
Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain
istilah Openbare diterjemahkan sebagai Umum.
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang
Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain,
seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum
tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang
ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai Pegawai Negeri.
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut
aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Publik
produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama
dalam hukum pembuktian. Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). Pihak atau
mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka
Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan
kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta
otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga
tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai
atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan
hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari
jabatan Notaris.
Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta
tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak
dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung
jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan konstruksi
pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan
tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai
perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan
suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan
hukum yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994,
menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW
merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang
mendapat hak darinya. Pasal 50 KUHP berbunyi : Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan
sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan.
Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian.
Dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna
hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya
yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum
pembuktian.
Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi sengketa
maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Peran
Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang
menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah
Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik
maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta
otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa membuat
akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal
1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat yang
diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam
hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap
para Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga
dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Notaris Dalam Memberikan Pelayanan Kepada
Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi.
KEWENANGAN, HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN JABATAN NOTARIS
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan
maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar
seperti itu mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk
melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani
oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada
notaris.
Oleh karena itu notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum notaris dilengkapi dengan
kewenangan atau kekuasaan umum. Kewenangan atau kekuasaan umum tersebut pada
hakekatnya merupakan sifat dari fungsi publik yang ada pada penguasa yang mengikat
masyarakat umum, dan tugas notaris adalah bersifat fungsi publik, tetapi objek tugasnya
lebih bersifat hukum keperdataan.
Dengan demikian notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai karakteristik, yaitu :
1. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya
aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan notaris di Indonesia,
sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu kepada
UUJN. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.
Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas
yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan
tersebut) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta
otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan
pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. ruang lingkup pertanggung jawaban notaris
meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.
Bagir Manan, menyatakan suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, baik
kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan, delegasi atau mandat melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis
ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum (Beleidsreygeel Policyrules).
2. Notaris Mempunyai Kewenangan Tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan
wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (notaris) melakukan
suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar wewenang.
Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang notaris adalah membuat akta, namun ada
beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang
pejabat atau instansi lain, yaitu :
-Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUH Perdata) ; (apabila tidak dilakukan
dalam akta kelahiran di anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat pula
dilakukan dengan akta otentik. Dengan pengakuan anak luar kawin tersebut timbulah
hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya).
-Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 KUH Perdata);
(para pegawai penyimpan hipotik tidak boleh menolak/memperlambat pembukuan akta-
akta pemindahan hak milik guna pengumuman, pembukuan hak-hak hipotik dan hak-hak
lainnya yang berhubungan dengan pemberian dokumen-dokumen, pemberian
kesempatan melihat surat-surat yang telah diserahkan kepada mereka, serta register-
register, kecuali dalam pasal 619 KUH Perdata yaitu mengenai salinan-salinan akta
penjualan dan akta pemisahan tidak boleh diberikan kepada pihak yang memperoleh
barang tanpa ijin dari pihak yang menjual atau pihak-pihak yang ikut berhak).
-Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan
1406 KUH Perdata) ; (dilakukan kepada seseorang yang berkuasa menerimanya untuk dia,
dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar, ia menguasai semua utang pokok dan
bunga yang dapat ditagih beserta biaya yang telah ditetapkan dan menerima sejumlah
uang untuk biaya yang belum ditetapkan dengan tidak mengurangi penetapan
terkemudian).
-Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) ; (notaris
berwenang membuat akta protes wesel dan cek, apabila wesel dan cek tersebut pada saat tanggal
jatuh tempo belum juga dapat dicairkan dananya dalam hal pembayaran utang kepada pihak lain
atau pihak ketiga).
-Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) ; (akta SKMHT dapat dibuat oleh notaris namun dapat pula
dibuat oleh pejabat lain yaitu PPAT).
-Membuat akta risalah lelang. (notaris dapat membuat akta risalah lelang apabila telah diangkat
menjadi pejabat lelang kelas dua).
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal 18 Agustus
2000, dalam Pasal 7 ayat (3): Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu:
a) Pejabat lelang Kelas I ; dan
b) Pejabat Lelang Kelas II. Selanjutnya dalam Pasal 8 :
Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang diangkat untuk
jabatan itu.
Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang berasal dari
: a) Notaris ; b) Penilai ; dan c) Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) BUPLN diutamakan yang
pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di wilayah kerja tertentu yang
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain
yang akan datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika
notaris melakukan tindakan diluar wewenang yang ditentukan, maka akta notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). Pihak atau mereka yang
merasa dirugikan oleh tindakan notaris diluar wewenang tersebut, maka notaris dapat digugat
secara perdata di Pengadilan Negeri.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan
ketentuan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 (dua ) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta
otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sehingga
tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya. Jika ada orang/pihak yang menilai
atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan
hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari
jabatan notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta
tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak
dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung
jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konstruksi pemahaman seperti diatas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan
dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku Pasal 50 KUHP berbunyi : tidaklah dapat dihukum
barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
Pasal 2 UUJN menentukan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal
ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14) UUJN). Notaris meskipun secara
administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi sub-
ordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu pemerintah.
Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :
-Bersifat autonomous ;
-Tidak memihak siapapun (impartial) ;
-Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas
jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
-Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan
pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah
dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
-Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum
(akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk
melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi dan bunga
jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.
Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dalam pengecualian.
Dengan mengkategorikan notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna
hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama
dengan pejabat publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut.
Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi
seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak
(wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat dihadapan atau oleh
notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum (negeri).
Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang
terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan
tertulis yang bersifat individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa notaris sebagai pejabat publik yang bukan pejabat
atau Badan Tata Usaha Negara. Notaris dalam kategori sebagai pejabat publik yang bukan Pejabat
Tata Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur
jabatan notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN.
Kewenangan yang ada pada notaris sebagai pejabat umum, juga diiringi dengan kewajibannya
sebagai pejabat yang memperoleh kepercayaan dari publik secara moral dan etika. Maksudnya
bahwa notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri dan menjaga kepentingan-
kepentingan pihak yang terkait.
Pasal 1 kode etik notaris hasil kongres di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005 tentang
kepribadian dan martabat notaris disebutkan bahwa :
a. Dalam melaksanakan tugasnya notaris diwajibkan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas
negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya
kepada kepentingan masyarakat dan negara.
b. Dalam kehidupan sehari-hari notaris dengan kepribadian yang baik diwajibkan untuk
menjunjung tinggi martabat jabatan notaris dan sehubungan dengan itu tidak dibenarkan
melakukan hal-hal atau tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan
notaris.
Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat akta dalam bentuk minuta dan menyimpan sebagai bagian
dari protokol notaris. Notaris juga berkewajiban mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, tetapi notaris
tidak mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan akta dalam bentuk original.
Akta-akta yang dapat dikeluarkan notaris dalam bentuk original disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) UUJN
yaitu :
1. Ijin kawin ;
2. Keterangan orang masih hidup ;
3. Pembayaran uang sewa, bunga, pensiun ;
4. Penawaran pembayaran lunas ;
5. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga ;
6. Akta kuasa ;
7. Keterangan pemilikan ;
8. Akta sederhana dan berdasarkan perundang-undangan.
Pembacaan akta notaris, merupakan kewajiban notaris dimana pembacaan akta dilakukan dihadapan
pengahadap dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. Pembacaan ini
tidak diwajibkan kepada notaris, apabila penghadap telah membaca sendiri dan mendapat penjelasan dari
notaris serta mengetahui isi dari akta tersebut, dengan persyaratan khusus bahwa pada setiap halaman
minuta akta itu wajib dibubuhkan paraf para penghadap dan saksi-saksi serta notaris. Pembacaan yang
dilakukan oleh notaris maupun dibaca sendiri oleh penghadap, dihadapkan agar penghadap yang menanda-
tangani akta mengerti akan isi dari akta tersebut sehingga akta notaris benar-benar membuat kehendak
atau sesuai dengan kehendak mereka yang menanda-tangani.
Kewajiban notaris pada umumnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya dengan dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum dan
peraturan perundang-undangan serta Undang-Undang Jabatan Notaris, kode etik notaris,
sumpah jabatan dengan bekerja secara jujur, mandiri, tidak berpihak dan penuh rasa
tanggung jawab. Selain itu oleh undang-undang, notaris ditugaskan untuk melaksanakan
pendaftaran surat-surat dibawah tangan. Tugas pembuatan daftar surat-surat di bawah
tangan dan pengesahan surat-surat di bawah tangan adalah berdasarkan Pasal 1874
KUHPerdata dan Pasal 1874a KUHPerdata.
Bunyi Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan
dianggap akta-akta yang ditanda-tangani dibawah tangan, surat-surat, register-register,
surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan
seorang pegawai umum. Dengan penanda-tanganan sepucuk tulisan dibawah tangan
dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari
seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dari mana
ternyata bahwa ia pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan
kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap
jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membuktikan
tulisan terssebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut
tentang pernyataan dan pembukuan dimaksud.
Bunyi Pasal 1874a KUHPerdata menyebutkan jika pihak-pihak yang berkepentingan
menghendaki, dapat juga, diluar hal yang dimaksud dalam ayat kedua pasal yang lalu,
pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditanda-tangani diberi suatu pernyataan dari
seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana
ternyata bahwa ia mengenal atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa
isi akta telah dijelaskan kepada si penanda-tanganan, dan bahwa setelah itu penanda-
tanganan telah dilakukan dihadapan pegawai tersebut.
Pasal 15 UUJN menyatakan :
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
b. Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang
perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam
buku khusus yang disediakan oleh notaris.
c. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
d. Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
e. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
f. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
g. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
h. Membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan
lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sumber Kewenangan Notaris.
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang
diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana
yang tercantum dalam perundang-undangan yang mengaturnya.
Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum
Administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat. Wewenang secara
Atribusi adalah wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan
/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan
hukum dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang
berkompenten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut ternyata notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh wewenang
secara Atribusi, karena wewenang terebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi
wewenang yang diperoleh notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Notaris sebagai sebuah jabatan (bukan profesi atau profesi jabatan), dan jabatan apapun yang ada
di negeri ini mempunyai wewenang tersediri. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya. Kalau
kita berbicara mengenai wewenang, maka wewenang seorang pejabat apapun harus jelas dan
tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pejabat atau Jabatan
tersebut.
Sehingga apabila seorang Pejabat melakukan suatu tindakan diluar wewenang disebut sebagai
perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, suatu wewenang tidak muncul begitu saja sebagai
hasil dari suatu diskusi atau pembicaraan dibelakang meja ataupun karena pembahasan-
pembahasan ataupun pendapat-pendapat di lembaga legislatif, tapi wewenang harus dinyatakan
dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang
dapat dibagi menjadi
a. Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta
secara umum,hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan sepanjang :
-Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Menurut
Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan
menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikrkan juga bahwa akta itu harus
bergunadikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.
-Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh
yang bersangkutan.
-Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15 UUJN dan
kekuatan pembuktian dari akta notaris :
-Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak kedalam akta
otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
-Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu
dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa
akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib
membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta
notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
Kewenangan Khusus Notaris
Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu,
yaitu :
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
Membuat akta risalah lelang.
Sebenarnya ada kewenangan khusus notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk In Originali, yaitu akta:
-Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; -Penawaran pembayaran tunai; -Protes terhadap tidak dibayarnya
atau tidak diterimanya surat berharga; -Akta kuasa; -Keterangan kepemilikan; atau -Akta lainnya yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Tetapi kewenangan tersebut tidak dimasukan sebagai kewenangan khusus, tapi dimasukan
sebagai kewajiban notaris Pasal 16 ayat (3) UUJN. Dilihat secara substansi hal tersebut
harus dimasukkan sebagai kewenangan khusus notaris, karena Pasal 16 ayat (3) UUJN
tersebut tindakan hukum yang harus dilakukan notaris, yaitu membuat akta tertentu
dalam bentuk In Originali. Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti
yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan
tulisan atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani,
dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara
Pembetulan tersebut notaris wajib menyampaikan kepada para pihak.
Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian
berdasarkan aturan hukum lain yang akan ditentukan kemudian (ius constituendum).
Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika notaris melakukan tindakan diluar wewenang
yang telah di tentukan, maka notaris telah melakukan tindakan diluar wewenang, maka
produk atau akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat
dilaksanakan (nonektuble), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan
notaris diluar wewenang tersebut, maka notaris dapat digugat secara perdata ke
Pengadilan Negeri.
Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan muncul dan
ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini perlu diberikan batasan
mengenai peraturan perundang-undangan yang dimaksud batasan perundang-undangan dapat
dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara bahwa: yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini
ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan
Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun di tingkat daerah, serta
semua keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat
daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan uraian diatas, maka kewenangan notaris
yang akan ditentukan kemudian tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh lembaga Negara (Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat
Negara yang berwenang dan mengikat secara umum, dengan batasan seperti ini, maka peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang (bukan di bawah
undang-undang).Sebenarnya kalau ingin menambah kewenangan notaris bukan dengan cara
menambahkan wewenang notaris berdasarkan undang-undang saja, karena hal tersebut telah
dicakup dalam kewenangan umum notaris, tapi bisa juga dilakukan, yaitu untuk mewajibkan agar
tindakan hukum tertentu harus dibuat dengan akta notaris, contohnya dalam pendirian partai
politik wajib dibuat dengan akta notaris.
Kewenangan Notaris Membuat Akta yang Berkaitan dengan Pertanahan
Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN memberikan kewenangan notaris untuk membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan. Ada 3 (tiga) penafsiran pasal tersebut, yaitu:
Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang notaris atau telah
mendapat wewenang notaris.
Bidang pertanahan menjadi wewenang notaris.
Tetap tidak ada pengambil alihan dari PPAT atau pengambilan wewenang kepada notaris, baik
PPAT maupun notaris telah mempunyai wewenang sendiri-sendiri. Untuk menyelesaikan hal
tersebut, telah dilakukan berbagai upaya dalam seminar maupun diskusi, melalui penfsiran secara
sistematis, dan sudah tentu penafsiran apapun diperkenankan, harus ditentukan penafsiran mana
yanga akan dipakai, karena silang sengketa kewenangan tersebut harus diakhiri.
Selama ini ada anggapan bahwa pasangan yang ideal ketika diangkat sebagai notaris dan PPAT,
juga ketika diangkat sebagai PPAT pasangan yang ideal Notaris. Sehingga ketika Pasal 15 (2) huruf f
UUJN muncul ditangkap dan dimanfaatkan oleh mereka yang selama ini memangku jabatan
sebagai Notaris saja untuk dapat membuat akta dibidang pertanahan yang selama ini menjadi
wewenang PPAT. Dan pasal tersebut dimanfaatkan juga oleh mereka yang telah memangku
jabatan sebagai Notaris dan PPAT, dengan penafsiran dan keinginan untuk tunduk apa adanya dan
sepenuhnya kepada UUJN, sehingga rela meninggalkan jabatan PPAT-nya.
Embrio institusi PPAT telah ada sejak Tahun 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan istilah Pejabat saja. Bahwa
yang dimaksud Pejabat adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Meneteri Negara Agraria Nomor
11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta
Pada awal kelahirannya PPAT dikategorikan atau disebutkan sebagai Pejabat Umum, tapi
sebagai PPAT saja, PPAT dikategorikan atau disebut sebagai Pejabat Umum awalnya
berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Hak Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, bahwa
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah,
sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta tanah tertentu. Secara khusus keberadaan PPAT diatur Peraturan
Pemerintah dalam Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah
(PJPPAT), dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
KEWAJIBAN NOTARIS
Pada dasarnya notaris adalah pejabat yang harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Namun dalam keadaan tertentu, notaris dapat
menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d
UUJN). Dalam penjelasan pasal ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk
menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan
darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak
mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang.
Di dalam praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga notaris menolak untuk
memberikan jasanya, antara lain :
Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan secara fisik.
Apabila notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.
Apabila notaris karena kesibukan pekerjannya tidak dapat melayani orang lain.
Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan kepada notaris.
Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak
dapat diperkenalkan kepadanya.
Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan.
Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan
melanggar hukum.
Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai
oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan
bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
mereka.
Dengan demikian, jika memang notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada pihak
yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum,
dalam artian ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang
bersangkutan dapat memahaminya.
Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I dan k UUJN, di samping
dapat dijatuhi sanksi yang terdapat di dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa
akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum (Pasal 84 UUJN). Maka apabila kemudian
merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi,
dan bunga kepada notaris. Sedangkan untuk pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN, meskipun
termasuk dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya maka tidak akan
dikenakan sanksi apapun.
Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika
dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca
sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut
dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap tidak berkehendak seperti itu,
maka notaris wajib untuk membacakannya, yang kemudian ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN dan
apabila pasal 44 UUJN ini dilanggar oleh notaris, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 84 UUJN.
Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN jika tidak dilaksanakan oleh notaris dalam arti
notaris tidak mau menerima magang, maka kepada notaris yang bersangkutan tidak
dikenai sanksi apapun. Namun demikian meskipun tanpa sanksi, perlu diingat oleh semua
notaris bahwa sebelum menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, yang bersangkutan
pasti pernah melakukan magang sehingga alangkah baiknya jika notaris yang
bersangkutan mau menerima magang sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap
kelangsungan dunia notaris di Indonesia.
Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam UU, notaris masih
memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan sumpah/janji notaris yang
berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh
undang-undang bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan
yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-
undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan
keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan
akta yang dimaksud.
Hal ini dikenal dengan “kewajiban ingkar” notaris Instrumen untuk ingkar bagi notaris
ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan
notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus dilakukan dan dijalankan oleh notaris, kecuali
ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar
tersebut. Kewajiban untuk ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris
diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau
keterangan dari notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh
atau di hadapan notaris yang bersangkutan.
Dalam praktiknya, jika ternyata notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat, ataupun dalam
pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/
pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak
memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut notaris
yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu
membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya notaris wajib menyimpannya. Bahkan sehubungan
dengan perkara perdata, yaitu apabila notaris berada dalam kedudukannya sebagai saksi, maka
notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena
jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya.
LARANGAN NOTARIS
Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris. Jika
larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai substansi Pasal 17 huruf b,
yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah.
Bahwa notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (Pasal 18 ayat [2] UUJN) dan mempunyai
tempat kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (Pasal 18 ayat [1] UUJN).
Yang sebenarnya dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (provinsi) lebih dari tujuh hari
kerja. Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa notaris tidak dilarang untuk meninggalkan
wilayah kedudukan notaris (kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
merangkap sebagai pegawai negeri;
merangkap jabatan sebagai pegawai negara;
merangkap jabatan sebagai advokat;
merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah
atau badan usaha swasta;
merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan notaris;
menjadi notaris pengganti
melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agam, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat
mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa
notaris. Selanjutnya larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi
kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadnya persaingan tida sehat antar notaris
dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, notaris hendaknya
memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang merupakan hak notaris atau jasa hukum yang
diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau
murah dibanding rekan-rekan notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam
memberikan jasa hukum dibidang kenotariatan secara Cuma-Cuma kepada orang yang tidak mampu,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 UUJN.
HONORARIUM
Berkenaan dengan honorarium atas jasa yang diberikan notaris telah di atur dalam pasal 36 dan 37
UUJN sebagai berikut:
Pasal 36 UUJN menyebutkan:
(1). Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya.
(2). Besarnya honorarium yang diterima oleh notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai
sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.
(3). Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai
berikut:
a. Sampai dengan 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram mas ketika itu,
honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen);
b. di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5% (satu koma lima persen); atau
c. di atas Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan
kesepakatan antara notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek
yang dibuatkan aktanya.
(4). Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium
yang diterima paling besar Rp.5000.000,00 (lima juta rupiah).
Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal 36 Ayat (1), (2), dan (3) di dalam UUJN,
mengenai ayat (4) di dalam penjelasan UUJN di sebutkan sebagai berikut: “Akta yang
mempunyai fungsi sosial, misalnya, akta pendirian yayasan, akta pendirian sekolah, akta
tanah wakaf, akta pendirian rumah ibadah, atau akta pendirian rumah sakit”.
Mengenai ketentuan besarnya honorarium yang disebutkan dalam pasal 36 tersebut dia
atas yakni nominal rupiah batas maksimal atas jasa hukum yang telah diberikan oleh
notaris, hal ini dapat kita lihat pada bunyi pasal 36 Ayat (1), (2), (3) dan (4) di dalam UUJN
tersebut berupa kata “paling besar” dan kata “tidak melebihi”.
Honorarium notaris merupakan hak, dalam artian orang yang telah menggunakan jasa
notaris wajib membayar honorarium atas notaris tersebut. Meskipun demikian notaris
berkewajiban membantu secara cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu
memberikan honorarium/ fee kepada notaris. Jasa hukum untuk mereka yang mampu
membayar honorarium notaris atau diberikan secara cuma-cuma oleh notaris karena
ketidakmampuannya penghadap, wajib diberikan tindakan hukum yang sama oleh notaris,
karena akta yang dibuat oleh notaris yang bersangkutan tidak akan ada bedanya baik bagi
yang mampu membayar honorarium notaris maupun bagi yang tidak mampu atau
diberikan secara cuma-cuma. (Pasal 37 UUJN).
AKTA OTENTIK, ANATOMI AKTA DIBAWAH TANGAN DAN AKTA NOTARIS
Kewenangan utama dari notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk dapat suatu
akta memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi ketentuan
sebagai akta otentik yang diatur dalam pasal 1868 KUHPerdata, yaitu :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenberstaan) seorang pejabat umum,
yang berarti akta-akta notaris yang isinya mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan
harus menjadikan notaris sebagai pejabat umum ;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, maka dalam
hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta tersebut kehilangan
otensitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan apabila akta
tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten);
c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang notaris hanya dapat melakukan
atau menjalankan jabatannya didalam daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika
notaris membuat akta yang berada diluar daerah hukum jabatannya maka akta yang
dibuatnya menjadi tidak sah.
Ada beberapa perbedaan dari akta otentik dengan akta dibawah tangan, yaitu :
1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti sebagaimana akta yang dibuat oleh notaris
sedangkan untuk akta dibawah tangan mengenai tanggal tidak selalu demikian ;
2. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan
pengadilan, sedangkan akta dibawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial ;
3. Kemungkinan hilangnya akta dibawah tangan lebih besar dari akta otentik.
Akta-akta yang dibuat oleh notaris terbagi menjadi dua golongan, yaitu :
-Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat
(ambtelijke akten), yaitu akta yang menguraikan secara otentik mengenai suatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan serta dialaminya sendiri oleh notaris
saat menjalankan jabatannya, sebagai contoh, relaas akta misalnya Berita Acara Rapat Para
Pemegang Saham Perseroan Terbatas, Berita Acara Undian Berhadiah dan sebagainya.
-Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamai akta partij (partij akten),
yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris
dalam melaksanakannya dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut
dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik, sebagai contoh, partij akta misalnya perjanjian
hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.
Perbedaan kedua bentuk akta diatas dapat dilihat dari bentuk akta-aktanya, partij akta
(dibuat dihadapan notaris) ada keharusan tanda tangan dari penghadap sedangkan hal
tersebut tidak merupakan satu keharusan pada akta relaas (dibuat oleh notaris).
Pembedaan kedua bentuk akta tersebut berpengaruh dalam kaitannya dengan pemberian
pembuktian sebaliknya terhadap isi akta.
Untuk akta relaas hanya dapat digugat jika akta tersebut palsu, sedangkan pada partij
akta dapat digugat mengenai isi dari akta tersebut tanpa menuduh kalau aktanya palsu.
Kekuatan suatu surat bukti terletak dalam aktanya yang asli. Apabila akta yang asli
tersebut masih ada, maka salinan-salinannya dan petikan-petikannya hanya dapat
dipercaya sepanjang isinya serupa dengan bunyinya dengan isi dari surat asli dan setiap
waktu surat tersebut dapat dituntut untuk ditunjukkan aslinya (pasal 301 Rbg, pasal 1888
KUHPerdata), selanjutnya salinan-salinan mempunyai kekuatan bukti jika akta aslinya
sudah tidak ada.
-Grosse-grosse dan salinan-salinan pertama mengandung kekuatan bukti yang setara dengan akta
asli, begitu juga dengan salinan-salinan yang dikeluarkan oleh hakim ;
-Salinan-salinan yang tanpa perantaraan hakim atau diluar persetujuan pihak-pihak yang
bersangkutan, setelah grosse-grosse serta salinan-salinan pertama dikeluarkan, lalu oleh notaris
dibuat sesuai dengan minuta akta yang dibuat dihadapannya atau oleh salah satu notaris
penggantinya atau oleh pejabat-pejabat pemerintah yang dalam jabatan mereka menyimpan
minuta-minuta tersebut berhak mengeluarkan salinan-salinan dan diterima hakim sebagai bukti
penuh jika yang asli telah hilang ;
Apabila salinan-salinan yang dibuat sesuai dengan minuta aslinya, oleh notaris tidak dibuat
dihadapan para pihak atau notaris penggantinya maupun pejabat yang berwenang, maka salinan
tersebut hanya sebagai permulaan bukti dengan surat.
Salinan-salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta-akta dibawah tangan dalam keadaan
tertentu mengandung permulaan pembuktian sebagai surat (pasal 302 Rbg). Notaris mempunyai
kewenangan untuk:
-Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, sepanjang pembuatan-pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
-Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
-Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus
-Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;
-Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
-Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ;
-Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan ; atau
-Membuat akta risalah lelang.
Adapun akta yang dibuat oleh notaris menyangkut berbagai bidang, salah satunya seperti di
bidang perikatan, dimana salah satu macam akta yang dapat dibuat oleh notaris adalah akta
pengakuan hutang. Menurut Soetarno Soedja bahwa apa yang dimaksud dengan pengakuan
hutang adalah suatu pernyataan sepihak yang ditandatangani yang berisikan pengakuan hutang
sejumlah uang dan dengan syarat-syarat yang dibuat menurut keinginan (akta tersebut harus
bermaterai).
Akta pengakuan hutang merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk notaril, dimana akta
tersebut hanya memuat pengakuan hutang seseorang, berikut dengan jumlah uang, suku bunga,
jangka waktu, tempat pembayaran, hal-hal yang dapat menyebabkan hutang dapat ditagih atau
dibayar seketika, (opeisbaarheid), jaminan dan tidak disertai dengan persyaratan-persyaratan lain
terlebih apabila persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.
Salinan atau turunan dari akta pengakuan hutang disebut juga sebagai grosse akta pengakuan
hutang. Notaris dapat memberikan grosse akta pengakuan hutang kepada pihak yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang-orang yang memperoleh hak kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Menurut kamus hukum karangan H. Van Der Tas, grosse
adalah suatu salinan rapih dalam huruf-huruf besar dari minuta suatu akta atau putusan, sekarang
suatu salinan dalam bentuk eksekutorial.
Menurut Achmad Ichsan, grosse adalah salinan dari suatu vonis pengadilan atau akta otentik (akta
notaris) yang mempunyai kekuatan eksekutorial, dimana pada kepala akta ada kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Empat syarat agar grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu :
-Grosse akta tersebut harus berkepala “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”;
-Di bawah grosse akta harus dicantumkan kata-kata”Diberikan sebagai grosse pertama”.
-Dicantumkan pula nama orang yang meminta diberikan grosse akta;
-Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta
Jika dilihat dari rumusan pasal 224 HIR, ada dua macam groses akta yang mempunyai kekuatan
eksekutorial yaitu :
-Grosse akta pengakuan hutang ;
-Grose akta hipotik.
Tercermin dari badan peradilan Indonesia dalam makalah-makalah para hakim agung dan
putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung berpendirian, bahwa masing-masing
grosse akta tersebut murni berdiri sendiri serta masing-masing mempunyai dan melekat
kekuatan eksekusi sehingga kedua bentuk grosse akta tersebut tidak boleh dicampur aduk
atau saling bertumpang bertindih dalam satu objek yang sama dalam waktu yang
bersamaan. Pengakuan hutang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk
membayar atau melunaskan sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu.
Bukti tulisan dalam perkara perdata adalah merupakan bukti yang utama, karena dalam
lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang
dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti tadi lajimnya atau biasanya
berupa tulisan.
Menurut Pasal 1867 KUH Perdata juga disebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan,
dari bukti berupa tulisan tersebut ada bagian yang sangat berharga untuk dilakukan
pembuktian, yaitu pembuktian tentang akta. Suatu akta adalah berupa tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani
secukupnya.
Unsur penting untuk suatu akta ialah kesengajaaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis
dan penandatangan tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dapat dilihat dari
Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi Nomor 29 Tahun 1867 yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan yang dibuat
oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka. Tulisan-tulisan
otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
undangundang, dibuat dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi
wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat.
Secara etimologi menurut S. J. Fachema Andreae, kata “akta” berasal dari bahasa latin
“acta” yang berarti “geschrift” atau surat. Menurut R. Subekti dan R.Tjitro Sudibio, kata
akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang
berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan. Pitlo mengemukakan bahwa
akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan
untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Menurut
Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Dari beberapa pengertian mengenai akta oleh para ahli hukum, maka untuk dapat
dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi syarat-syarat :
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
a. Surat tersebut harus ditandatangani, hal ini untuk membedakan akta yang satu dengan
akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Jadi tanda tangan berfungsi
untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah akta ;
b. Surat harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau peristiwa, yaitu
pada akta harus berisi suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang diperlukan ;
c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti, maksudnya dimana di dalam surat
tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang dapat
menimbulkan hak atau perikatan.
Apabila dilihat dari penerapannya dalam masyarakat terdapat dua macam akta yaitu akta
otentik dan akta di bawah tangan, yang menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1867
KUHPerdata yaitu pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik
maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
Akta otentik mempunyai tiga kekuatan pembuktian yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan, yaitu :
a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht).
Kekuatan pembuktian lahiriah Yaitu kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan bahwa akta
tersebut adalah akta otentik, dimana kata-kata dalam akta tersebut berasal dari pejabat umum (notaris).
b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht).
Kekuatan pembuktian formal, yaitu dimana notaris menyatakan di dalam aktanya mengenai kebenaran dari
isi akta tersebut sebagai hal yang dilakukan dan disaksikan sendiri oleh notaris dalam menjalankan
jabatannya.
c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).
Kekuatan pembuktian material, yaitu tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang
dibuktikan oleh akta tersebut, akan tetapi juga mengenai isi dari akta dianggap dibuktikan sebagai
kebenaran terhadap setiap orang.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht), karena akta otentik
membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan meliputi apa yang dilihat, didengar dan dilakukan sendiri
oleh notaris.
Sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya. Untuk akta yang dibuat di bawah tangan, kekuatan
pembuktiannya hanya meliputi kenyataan bahwa keterangan itu diberikan, apabila tandatangan diakui oleh
yang menandatangani.
Kekuatan pembuktian formal menjamin kebenaran kepastian tanggal akta, kebenaran tandatangan dalam
akta, identitas orang-orang yang hadir (comparaten) dan tempat di mana kata itu dibuat. Sedang kekuatan
pembuktian material (materiele bewijkracht) sepanjang diakui benar oleh para pihak, mengenai apa yang
tercantum dalam akta.
Kekuatan suatu surat bukti terletak dalam aktanya yang asli. Apabila akta yang asli
tersebut masih ada, maka salinan-salinannya dan petikan-petikannya hanya dapat
dipercaya sepanjang isinya serupa dengan bunyinya dengan isi dari surat asli dan setiap
waktu surat tersebut dapat dituntut untuk ditunjukan aslinya (Pasal 301 Rechtsreghment
buiten gewesteren (Rbg).
Pasal 1888 KUHPerdata, selanjutnya salinan-salinan mempunyai kekuatan bukti jika akta
aslinya sudah tidak ada, dengan ketentuan :
a. Grosse-grosse dan salinan-salinan pertama mengandung kekuatan bukti yang setaraf
dengan akta asli, begitu juga dengan salinan-salinan yang dikeluarkan oleh hakim ;
b. Salinan-salinan yang tanpa perantaraan hakim atau di luar persetujuan pihakpihak yang
bersangkutan, setelah grosse-grosse serta salinan-salinan pertama dikeluarkan, lalu oleh
notaris dibuat sesuai dengan minuta akta yang dibuat dihadapannya atau oleh salah satu
notaris penggantinya atau oleh pejabat-pejabat pemerintah yang dalam jabatan mereka
menyimpan minuta-minuta tersebut berhak mengeluarkan salinan-salinan dan diterima
hakim sebagai bukti penuh jika yang asli telah hilang.
c. Apabila salinan-salinan yang dibuat sesuai dengan minuta aslinya, oleh notaris tidak
dibuat di hadapan para pihak atau notaris penggantinya maupun pejabat yang
berwenang, maka salinan tersebut hanya sebagai permulaan bukti dengan surat;
Salinan-salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta-akta di bawah tangan dalam keadaan
tertentu mengandung permulaan pembuktian sebagai surat (Pasal 302 Rbg). Kewenangan
membuat grosse-grosse dan salinan-salinan dari akta otentik ini juga merupakan bagian dari
kewenangan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUJN.
Grosse adalah salinan dari suatu vonis pengadilan atau akta otentik (akta notaris) yang mempunyai
kekuatan eksekutorial, di mana pada kepala akta ada kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Empat syarat agar grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu :
a. Grosse akta tersebut harus berkepala “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”;
b. Di bawah grosse akta harus dicantumkan kata-kata “Diberikan sebagai grosse pertama”;
c. Dicantumkan pula nama orang yang meminta diberikan grosse akta;
d. Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta.
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.
Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN
berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Dalam PJN kerangka akta
atau anatomi akta terdiri dari :
1. Kepala (hoofd) Akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan
orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara ;
2. Badan Akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihakpihak
dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya
atas permintaan yang bersangkutan ;
3. Penutup Akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta
dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan
akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu.
Perbedaan antara Pasal 38 dengan PJN mengenai kerangka akta terutama dalam Pasal 38
ayat (1) huruf a dan b mengenai awal atau kepala akta dan badan akta. Dalam PJN kepala
akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan
Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap Notaris, dan dalam
Pasal 38 ayat (2) UUJN kepala akta memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal,
bulan dan tahun; dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Satu perbedaan yang
perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para penghadap.
Dalam PJN identitas para pihak atau para penghadap merupakan bagian dari kepala akta,
sedangkan menurut Pasal 38 ayat (2) UUJN, identitas para pihak atau para penghadap
bukan bagian dari kepala akta, tapi merupakan bagian dari badan akta (Pasal 38 ayat (3)
huruf a), dan dalam PJN bahwa badan akta memuat isi akta yang sesuai dengan keinginan
atau permintaan para pihak atau para penghadap.
Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak atau para penghadap
yang semula dalam PJN yang merupakan bagian dari kepala atau, kemudian dalam Pasal
38 ayat (3) huruf b UUJN identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian
dari badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta, sehingga muncul
penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan isi akta. Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari
formalitas akta Notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta. Dalam hal ini Pasal 38 ayat
(2) dan (3) telah mencampuradukkan antara komparisi dan isi akta.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika
suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :
1. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta
tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak,
dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak
dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris
menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa
gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah
didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung
pembuktian dan penilaian hukum.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat
Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan
ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam
gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari
akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja
yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta
Notaris.
PENGANGKATAN, PEMBERHENTIAN NOTARIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS
Pasal 1 UUJN memberikan defenisi notaris yaitu pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Jabatan Notaris juga merupakan jabatan seorang pejabat negara atau pejabat umum,
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan
sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata.
Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
Pasal 3 Undang-undang Jabatan Notaris, yakni :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh)tahun;
4. Sehat jasmani dan rohani;
5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata Dua (S-2) Kenotariatan;
6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu
2 tahun berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi
Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku
jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
Notaris yang telah diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dengan surat keputusan, tetapi belum disumpah adalah telah cakap sebagai
Notaris tetapi belum berwenang membuat akta otentik, demikian halnya dengan Notaris
yang sedang menjalani cuti, tidak berwenang membuat akta otentik.
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut
agamanya dan dihadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN. Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1)
UUJN berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji :
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang tentang
Jabatan Notaris serta peraturan perundangundangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri,
dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban
saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya
sebagai Notaris.
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan
atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.
Makna dari kalimat yang menjadi sumpah Notaris tersebut adalah bahwa dalam
menjalankan jabatannya, notaris harus melaksanakannya dengan professional dan
menjaga integritas moralnya. Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan
(vertrouwensambt) dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan
sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan (vertrouwensambt), notaris
berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku
notaris.
Kewajiban merahasiakan tersebut dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar
(verschoningsrecht), yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909
ayat (3e) KUHPerdata, Pasal 146 dan Pasal 227 HIR bahwa setiap orang yang dipanggil
sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka pengadilan. Notaris yang memberikan
keterangan atau penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya,
maka Notaris tersebut telah melanggar undang-undang yaitu sumpah jabatan dalam Pasal
4 UUJN dan Pasal 322 KUHPidana tentang Membuka Rahasia.
Menurut G.H.S. Lumban Tobing, bahwa pengangkatan sumpah sebelum menjalankan
jabatannya dengan sah merupakan azas hukum publik (publiekrochtelijk beginsel) bagi
pejabat umum, artinya selama belum dilakukan pengambilan sumpah, maka jabatan
tersebut tidak boleh dan tidak dapat dijalankan dengan sah. Pengucapan sumpah/janji
jabatan notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUJN dilakukan dalam
waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan
sebagai notaris (Pasal 5 UUJN).
Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 UUJN, maka keputusan pengangkatan Notaris dapat dibatalkan
oleh menteri (Pasal 6 UUJN).
Guna mengetahui notaris tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan nyata, Pasal 7
UUJN menegaskan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib :
a. Menjalankan jabatannya dengan nyata
b. Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi
Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah ; dan
c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf serta teraan cap/stempel
jabatan notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab
di bidang agraria/pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis
pengawas Daerah, serta Bupati atau Walikota di tempat notaris diangkat.
Ada 3 alasan dalam UUJN yang berkaitan dengan alasan pemberhentian notaris dari
jabatannya :
1. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 9 ayat (1) hurup a UUJN, bahwa salah satu alasan diberhentikan sementara dari
jabatannya karena dalam proses pailit atau PKPU. Pasal 12 huruf a UUJN, notaris
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya atas usul MPP karena dinyatakan
pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5
tahun atau lebih.
Pasal 13 UUJN menegaskan bahwa notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh
menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindakan pidana yang diancam
dengan pidan penjara 5 tahun atau lebih.
3. Melakukan perbuatan tercela atau perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan notaris.
Pasal 9 ayat (1) UUJN menegaskan salah satu alasan notaris diberhentikan sementara dari
jabatannya yaitu melakukan perbuatan tercela.
Pasal 12 huruf c UUJN menegaskan bahwa salah asatu alasan notaris diberhentikan
dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul MPP yaitu melakukan
perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris.
Perlindungan hukum terhadap notaris yang dipanggil dalam proses peradilan terkait Pasal
66 UUJN sejak diundangkannya UUJN, para notaris berharap mendapat perlindungan yang
seimbang dan proporsional kepada para notaris pada saat menjalankan jabatannya
sebagai notaris. Hal tersebut terdapat dalam implementasiPasal 66 UUJN yang dlakukan
oleh MPD, dimana diharapkan adanya suatu pemeriksaan yang adil, transparan, beretika
dan iliah ketika MPD memeriksa notaris atas permohonan pihak lain (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan).
Dalam hal tersebut juga diperlukan suatu kepastian bahwa objek pemerisaannya adalah
akta notaris saja. Jika MPD menempatkan notaris sebagai objeknya, maka artinya bawa
MPD akan memeriksa tindakan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang
dikhawatirkan akhirnya akan mengiring notaris pada kualifikasi turut serta atau
membantu terjadinya tindak pidana.
Notaris dalam peradilan perdata.
Notaris tidaklah kebal hukum, oleh karenanya ada satu ukuran atau patokan tertentu jka ingin
melibatkan notaris dalam masalah hukum yang nantinya timbul secara perdata atau pidana.
Menurut UUD 1945, tidak ada satu orangpun yang kebal hukum, baik itu masyarakat awam
maupun para pejabat bahkan anggota MPR sekalipun di mata hukum bahwa kedudukan semua
orang adalah sama. Maka jika seorang bersalah, harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.
Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum baik yang tertulis maupun norma yang
idak tertulis karena apabila tidakpatuh akan dikenakan sanksi.
-sebagai saksi
Menurut Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata : “semua orang yang cakap menjadi saksi, diharuskan
memberikan kesaksian di muka hakim”.
Tidak semua orang cakap di mata hukum. Orang dikatakan cakap (bekwaam) apabila orang pada
umumnya berdasarkan ketentuan UU mampu melakukan semua tindakan hukum. Orang yang
cakap belum tentu wenang, sedangkan yang wenang pasti cakap.
Notaris dapat dikatakan tidak cakap dan tidak wenang, yaitu apabila notaris itu dalam membuat
akta berada diluar wilayah jabatannya maka dikatakan notaris itu tidak berwenang untuk
bertindak, apabila notaris membuat suatu yang tidak termasuk bidang tugasnya maka dikatakan
bahwa notaris itu tidak cakap.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa ada 3 kewajiban bagi yang dipanggil sebagai
saksi :
1. kewajiban untuk menghadap (Pasal 140 dan 141 HIR) artinya bahwa jika seseorang
dipanggil sebagai saksi, maka mereka harus memenuhi panggilan tersebut sepanjang
panggilan tersebut tidak merupaka suatu kekecualian dan bahkan jika mereka menolak
tanpa alasan yang sah menurut hukum maka mereka dapat dikenakan sanksi.
2. kewajiban untuk bersumpah (Pasal 147 HIR dan Pasal 1911 KUHPerdata) artinya bahwa
pada dasarnya semua orang sebelum memberikan keterangan dimuka pengadilan harus
disumpah dan keterangannya harus semata-mata hanya menjadi sebuah keterangan
biasa dan kebenaranya dikembalikan kepada penilaian hakim yang memeriksa.
3. kewajiban untuk memberikan keterangan,akan tetapi ketentuan ini tidak sepenuhnya
berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan dapat
dbebaskan dari kewajiban untuk memberikan kesaksian sebagaimana yang telah diatur
secara lengkap dalam Pasal 1909 ayat (2) sub 3e KUHPerdata.
Kesaksian mempunyai arti penting dalam sebuah pembuktian baik perdata maupun pidana. Dalam
memutuskan perkara, hakim terikat kepada alat-alat bukti yang sah yang salah satunya kesaksian.
Dalam perkara perdata arti penting kesaksian sebagai alat bukti tampak dari kenyataan bahwa
banyak peristiwa-peristiwa hukum yang tidak tercatat dan tidak ada bukti tertulisnya, sehingga
alat bukti kesaksian menjadi satu-satunya alat bukti.
Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan kepada hakim itu
berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan.
Pihak ketiga pada umumnya melihat peristiwa secara objektif daripada pihak yang berkepentingan
sendiri. Akan tetapi dalam hal ini, notaris sebagai profesi mempunyai kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan kliennya, sehingga diatur lebih lanjut dalam UUJN tentang hal pemberian copy dari
minuta akta yang telah dibuatnya.
Notaris yang dipanggil atau diminta sebagai saksi dalam suatu perkara perdata, dapat menolaknya
atau tidak urgensi hukumnya untuk hadir memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan
atau dasar hukum yaitu :
a. Pasal 165 HIR jo Pasal 1865 KUHPerdata : “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Esensi jika seseorang mendalilkan mempunyai suatu hak maka ia wajib membuktikan adanya hak
tersebut. Begitu pula sebaliknya jika seseorang membantah hak orang lain ia wajib membuktikan
bantahannya tersebut.
b. Pasal 165 HIR jo Pasal 1870 KUHPerdata mengatakan bahwa pada akta otentik (akta
notaris) melekat kekuatan bukti lengkap (sempurna) dan mengikat, artinya pada akta
otentik telah mencukupi batas minimal pembuktian tanpa diperlukan bantuan alat bukti
lain, sehingga terhadap akta otentik hakim wajib:
-menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna;
-menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti dan
-terikat akan kebenaran yang dibuktikan dengan akta tersebut dan harus dijadikan dasar
pertimbangan mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa.
Menjadi saksi dalam perkara perdata bukanlah merupakan suatu kewajiban yang bersifat
memaksa, kecuali ada alasan yang sah untuk menghadirkan saksi yang ditentukan dalam
Pasal 139 ayat (1) dan Pasal 143 HIR yaitu keterangan yang akan diberikan sebagai sangat
urgen dan relevan dalam meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat. Bagi
kesaksian notaris yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya
dalam perkara perdata bukan merupakan kewajiban yang imperatif atau memaksa oleh
karena akta otentik telah memberikan kekuatan bukti yang mencukupi tanpa perlu
bantuan alat bukti lain menurut UU.
-sebagai turut tergugat
Dalam praktek sering pula notaris dijadikan atau diadukan sebagai turut tergugat oleh pihak ketiga
yang menggugat. Artinya disini adalah notaris didudukkan sebagai tergugat bersama-sama pihak
dalam akta yang berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan notaris, dimana diduga notaris
secara sengaja atau bersama-sama pihak dalam akta yang juga tersebut dalam akta melakukan
suatu tindakan hukum perdata yang sengaja untuk merugikan pihak lain. Disini notaris dijadikan
pihak dalam gugatan.
Dalam hal ini pembuktian untuk hal tersevut cukup sulit, dimana notaris adalah jabatan
kepercayaan yang tugasnya hanya menuangkan segala keinginan para pihak agar tindakannya
dituangkan dalam suatu akta otentik, dimana keinginan pembuatan akta tersebut adalah berasal
dari keinginan pihak sendiri, kecuali memang secara nyata dan jelas notaris bersekongkol.
Bila notaris dalam kedudukan tergugat, MPD melalui surat keputusannya mengijinkan notaris
untuk diperiksa dalam peradilan, maka dalam persidangan nanti dapat menjawab apa yang
menjadi tugas dan fungsinya, dalam hal membuat akta, sebagaimana tersebut dalam
yurisprudensi MARI No. 702 K/Sip/1973, bahwa notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan
apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang meghadap notaris tersebut, dan
tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materiil hal-hal yang dikemukakan oleh
penghadap dihadapan notaris. Dalam hal ini notaris dapat menggunakan hak ingkarnya sebagai
pelaksanaan jabatan publik.
Berkaitan dengan pengambilan fotocopy minuta akta guna proses peradilan dalam hal
tersebut, maka diperlukan ijin dari MPD, oleh karena minuta akta itu merupakan arsip
atau dokumen negara. Terkadang oleh karena keterangan dari notaris dalam proses
peradilan tersebut, ada pihak yang tidak terima dan merasa dirugikan oleh karena pihak
tersebut percaya bahwa notaris tidak akan membuka rahasia jabatannya, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 50 KUHPidana mengatakan barang siapa melakukan
perbuatan untuk menjalankan ketentuan UU, tidak dipidana. Berdasarkan ketentuan Pasal
50 KUHPidana Jo Pasal 1865 KUHPerdata, notaris yang ditarik sebagai tergugat jika
membantah dalil-dalil yang diajukan penggugat termasuk rahasia jabatan notaris, maka
notaris dapat membuka rahasia jabatan tersebut dan tindakan notaris itu dapat
dibenarkan oleh hukum.
Pasal 16 ayat 1 huruf a jo Pasal 4 UUJN pada prinsipnya mengatur kewajiban menyipan
rahasia jabatan, tidak bersifat tertutup atau memaksa melainkan memberikan
pengecualian dengan dicantumkannya kata-kata dalam Pasal 16 jo Pasal 4 UUJN “kecuali
undang-undang menentukan lain”.
-sebagai tergugat
Lain halnya bila notaris didudukan sebagai tergugat oleh salah satu pihak dalam akta,
dimana pihak ingin mengingkari akta dengan batasannya dalam hal pembuatan akta,
tanda-tangan yang tercantum dalam akta, pihak tersebut merasa tidak menghadap, akta
tidak ditanda-tangani dihadapan notaris, akta tidak dibacakan ataupun alasan lainnya
secara formalitas akta, maka pihak tersebut dapat menggugat notaris secara tunggal dan
secara perdata ke pengadilan negeri.
Pembuktian dalam hal ini harus dilakukan oleh pihak yang menggugat sesuai dengan
ketentuan Pasal 163 HIR/283 Rbg “barang siapa mendalilkan, mempunyai suatu hak, atau
guna menguatkan haknya atau untu membantah hak orang lain, menunjuk kepada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan nhak atau peristiwa tersebut:, karena pada hakikatnya
akta notaris adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
Notaris dalam peradilan pidana
Ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan notaris yaitu membuat alat bukti yang
diinginkan pihak dalam hubungan perdata, dan hal tersebut datang atas permintaan dari
para pihak yang menghadap. Dalam hal tersebut notaris membuat akta yang dimaksud
berdasarkan alat bukti, keterangan atau alat bukti yang dinyatakan, diterangkan dan
diperlihatkan kepada notaris.
Apabila dikemudian hari terjadi suatu permasalahan hukum yang terjadinya dalam
perkara pidana, maka notaris baik sebagai saksi maupun tersangka, yang nantinya
dipanggil dalam peradilan, maka menurut Pasal 66 UUJN dan peraturan pelaksanaannya,
haruslan mendapat persetujuan dari MPD.
Ketika Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia (MKRI) dengan Putusan Nomor : 49/PUU–
X/2012 memutuskan telah meniadakan atau mengakhiri kewenangan Majelis Pengawas
Daerah (MPD) yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN membuat Notaris “terkejut
sesaat”, seakan-akan tidak ada perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya.
PASAL 66 UUJN
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang;
(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta
Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang
dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2). Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
AMAR PUTUSAN MK :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya:
1.1 Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
DENGAN DEMIKIAN PASAL 66 UUJN HARUS DIBACA:
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang;
(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau suratsurat yang dilekatkan pada Minuta
Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang
dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2). Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
BAHWA SEMUA KETENTUAN UUJN BERLAKU UNTUK : Notaris, Notaris Pengganti, Notaris
Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris dan bertanggungjawab sampai
hembusan / tarikan nafas terakhir (meskipun sudah pensiunan / werda Notaris).
Pasal 65 UUJN
Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris
bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah
diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpanan Protokol Notaris.
DENGAN DEMIKIAN : penyidik (penyidik apapun), penuntut umum, atau hakim
mempunyai kewenangan untuk langsung melaksanakan ketentuan Pasal 66 ayat (1) huruf
a dan b UUJN secara langsung kepada Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti
Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris (baik yang masih aktif atapun yang sudah
pensiun/werda).
DEMIKIAN PULA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 TENTANG PENGAMBILAN MINUTA AKTA
DAN PEMANGGILAN NOTARIS TIDAK BELAKU LAGI (DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR : 10/HUM/2008) TIDAK BERLAKU LAGI)
PERLU KITA FAHAMI BAHWA PENGAWASAN SECARA ATRIBUTIF ADA PADA MENTERI
HUKUM DAN HAM RI (Pasal 67 ayat (1) UUJN) KEMUDIAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI
MEMBENTUK MAJELIS PENGAWAS DAN MENDELEGASIKAN PENGAWASANNYA KEPADA
MAJELIS PENGAWAS NOTARIS (PASAL 67 ayat (2) dan (3) UUJN)
DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERSEBUT MAKA MENTERI HUKUM DAN
HAM RI (KHUSUSNYA PASAL 66 AYAT (1) UUJN) TIDAK MEMPUNYAI KEWENANGAN SECARA
ATRIBUTIF LAGI KEPADA MPD TAPI SEMUANYA (DIAMBIL ALIH) MENJADI KEWENANGAN
penyidik (penyidik apapun), penuntut umum, atau hakim.
DENGAN KATA LAIN BERDASARKAN PUTUSAN MK TERSEBUT, untuk kepentingan proses
peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim, berwenang :
(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau suratsurat yang dilekatkan pada Minuta
Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang
dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, Tanpa
Persetujuan Majelis Pengawas Daerah.
atau MPD sudah tidak mempunyai kewenangan apapun yang berkaitan dengan Pasal 66
ayat (1) UUJN. Sehingga jika Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim akan melaksanakan
ketentuan yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN terhadap Notaris, maka Notaris harus
berhadapan langsung dengan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.
Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya, sebagai Warga
Negara Indonesia yang taat hukum kita tunduk dan patuh pada Putusan MKRI tersebut,
karena Putusan MKRI telah “final and binding”.
HAK INGKAR (Verschoningsrecht)
Hak Ingkar atau hak menolak sebagai imunitas hukum notaris untuk tidak berbicara atau
memberikan keterangan apapun yang berkaitan dengan akta (atau keterangan lainnya yang
berkaitan dengan akta) yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris sebagai saksi dalam penuntutan
dan pengadilan merupakan Verschoningsrecht atau suatu hak untuk tidak berbicara/tidak
memberikan informasi apapun didasarkan pada Pasal 170 KUHAP dan Pasal 1909 ayat (3)
KUHPerdata.
PASAL 170 KUHAP :
(1)Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan keterangan sebagai saksi
yaitu tentang hal yang dipercaya kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Penjelasan :
Ayat (1)
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atas
pekerjaan dimaksud, maka seperti yang telah ditentukan oleh ayat ini, hakim menentukan sah
atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Pasal 1909 KUHPerdata :
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka hakim.
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian.
Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata :
Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undangundang
diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya demikian.
Pasal 146 HIR ayat (1), angka 3 :
Boleh mengundurkan dirinya untuk memberi kesaksian : Sekalian orang yang karena martabatnya,
pekerjaan atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata
mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya
itu .
(2) Kesungguhan kewajiban menyimpan rahasia yang dikatakan itu, terserah dalam pertimbangan
pengadilan negeri.
Berdasar beberapan undang-undang sebagaimana terurai di atas bahwa Hak Ingkar Notaris dapat
dipergunakan ketika Notaris sebagai saksi dalam perkara Perdata : Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata,
Pasal 146 ayat (1) HIR, dan Pidana : Pasal 170 KUHAP dalam persidangan pengadilan yang
berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan segala keterangan yang
diperoleh dalam pembuatan akta tersebut.
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht)
Kewajiban Ingkar suatu kewajiban untuk tidak bicara yang didasarkan
pada : Pasal 4 ayat (2) UUJN, Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN Pasal 54 UUJN. Pasal 4 ayat (2) UUJN :
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji :
-bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang- Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-
undangan lainnya.
-bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
-bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode
etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
-bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
-bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama
atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.”
Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN :
Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN :
Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhungungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah
untuk melindungi kepentingan sesama pihak yang terkait dengan akta tersebut.
Pasal 54 UUJN :
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta,
Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris,
atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
UUJN MENEMPATKAN KEWAJIBAN INGKAR NOTARIS SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN NOTARIS (Pasal
4 ayat (2) UUJN, Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, Pasal 54 UUJN).
KAPANKAH NOTARIS MENGGUNAKAN KEWAJIBAN/HAK INGKAR ?
Dalam hal ini timbul pertanyaan, kapan kewajiban/hak ingkar dapat dilakukan ? Kewajiban/hak
ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang
berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta
yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan.
A. PERGUNAKAN HAK INGKAR KETIKA NOTARIS DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI DI PENGADILAN
(DALAM PERKARA PERDATA/PIDANA).
KETIKA NOTARIS DIPANGGIL PENGADILAN UNTUK BERSAKSI BERKAITAN DENGAN AKTA YANG
DIBUAT OLEH/DIHADAPANNYA ATAU BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN TUGAS JABATAN
NOTARIS BERDASARKAN UUJN MAKA NOTARIS WAJIB MEMENUHI PANGGILAN TERSEBUT.
PASAL 244 KUHPIDANA
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa menurut undang-undang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya,
diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan
PASAL 522 KUHP
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak
datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
Dengan ancaman pidana sebagaimana tersebut di atas, sudah tentu Notaris wajib memenuhi
panggilan tersebut, tapi ketika panggilan tersebut dipenuhi, apakah Notaris akan memberikan
keterangan/bersaksi (tidak mempergunakan hak ingkar) atau akan mempergunakan hak ingkar ?.
Bahwa penggunaan Hak Ingkar tersebut ketika Notaris sebagai saksi dalam persidangan
pengadilan tidak bersifat serta merta, artinya langsung berlaku. Tapi jika notaris akan
mempergunakan hak ingkarnya, wajib datang dan memenuhi panggilan tersebut dan wajib
membuat surat permohonan kepada hakim yang mengadili/memeriksa perkara tersebut, bahwa
Notaris akan menggunakan Hak Ingkarnya. Atas permohonan Notaris, Hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan akan menetapkan apakah mengabulkan atau menolak permohonan
Notaris tersebut ?
JIKA NOTARIS AKAN MEMPERGUNAKAN HAK INGKARNYA WAJIB MEMBUAT SURAT
PERMOHONAN KEPADA HAKIM YANG MENGADILI/MEMERIKSA PERKARA TERSEBUT.
HAKIM AKAN MENETAPKAN APAKAH MENGABULKAN ATAU MENOLAK PERMOHONAN
TERSEBUT. (LIHAT PASAL 170 AYAT (1) DAN (2) KUHAP). JIKA HAKIM MENGABULKAN
PERMOHONAN NOTARIS TERSEBUT MAKA NOTARIS TIDAK PERLU BERSAKSI. JIKA HAKIM
MENOLAK PERMOHONAN NOTARIS TERSEBUT MAKA NOTARIS PERLU BERSAKSI. DAN ATAS
KETERANGAN SAKSI DI PENGADILAN, JIKA ADA YANG DIRUGIKAN ATAS KETERANGAN
NOTARIS, NOTARIS TIDAK DAPAT DITUNTUT BERDASARKAN PASAL 322 AYAT (1) KUHP
KARENA NOTARIS MELAKUKANNYA ATAS PERINTAH HAKIM.
B. PERGUNAKAN KEWAJIBAN INGKAR KETIKA DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI/ MEMBERIKAN
KETERANGAN DALAM PROSES PENYIDIKAN.
KETIKA NOTARIS DIPANGGIL/DIMINTA UNTUK BERSAKSI /MEMBERIKAN KETERANGAN
AKTA AKTA YANG DIBUAT OLEH/DIHADAPAN NOTARIS ATAU PELAKSANAAN TUGAS
JABATAN NOTARIS MENURUT UUJN , MENJADI KEWAJIBAN HUKUM NOTARIS UNTUK
MEMENUHI HAL TERSEBUT.
PADA SAAT NOTARIS MEMENUHI PANGGILAN TERSEBUT KE HADAPAN PENYIDIK, NOTARIS
DAPAT MENYATAKAN AKAN MENGUNAKAN KEWAJIBAN INGKARNYA SEBAGAIMANA
DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2), PASAL 16 AYAT (1) HURUF e DAN 54 UUJN. PERNYATAAN
TERSEBUT DICATAT DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAN.
PERNYATAAN MENGGUNAKAN KEWAJIBAN INGKAR TERSEBUT TIDAK PERLU DISERTAI
ALASAN APAPUN. TAPI SEMATA-MATA MENJALANKAN PERINTAH UU/UUJN. JIKA NOTARIS
MENGGUNAKAN KEWAJIBAN INGKAR, APAKAH PENYIDIK/KEJAKSAAN/HAKIM AKAN
MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA KEPADA NOTARIS DAN MENGANCAM NOTARIS DENGAN
ANCAMAN MENGHALANGI PROSES PENYIDIKAN/PERADILAN ? (PASAL 117 AYAT (1) KUHAP
“KETERANGAN TERSANGKA DAN/ATAU SAKSI KEPADA PENYIDIK DIBERIKAN TANPA
TEKANAN DARI APAPUN DAN/ATAU DALAM BENTUK APAPUN”).
C. PERGUNAKAN KEWAJIBAN INGKAR KETIKA MEMBERIKAN KETERANGAN/ SAKSI DI
HADAPAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS.
APAKAH NOTARIS DAPAT MENGGUNAKAN KEWAJIBAN INGKARNYA KETIKA
DIPERIKSA/MEMBERIKAN KETERANGAN DIHADAPAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
BERKAITAN DENGAN ADANYA LAPORAN/PENGADUAN MASYARAKAT KEPADA MAJELIS
PENGAWAS NOTARIS (MPD – MPW – MPP)…..?
SESAAT SETELAH NOTARIS DISUMPAH/MENGANGKAT SUMPAH SEBAGAI NOTARIS, MAKA
PADA JABATANNYA TELAH PULA MELEKAT (ANTARA LAIN) KEWAJIBAN INGKAR (PASAL 4
AYAT (2), PASAL 16 AYAT (1) HURUF e DAN 54 UUJN) SEHINGGA PADA SETIAP
WAKTU/TEMPAT/DIMANAPUN NOTARIS DAPAT MEMPERGUNAKAN KEWAJIBAN INGKAR
TERSEBUT.
NOTARIS YANG MELANGGAR KETENTUAN HAK/KEWAJIBAN INGKAR, AKAN DIKENAI/DIJATUHI
SANKSI (SECARA KUMULATIF) BERUPA :
1. SANKSI PIDANA
Pasal 322 ayat 1 KUHP :…pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
2. SANKSI PERDATA
BERDASARKAN PASAL 1365 KUHPerdata SEBAGAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM GUGATAN
GANTI KERUGIAN.
3. SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 85 UUJN :
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam......pasal 16 ayat (1) huruf e, ............Pasal
54, ............ dapat dikenai sanksi berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.
KETENTUAN TENTANG PENGHADAP, SAKSI-SAKSI
Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan atau perbuatannya diformulasikan ke
dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan kemudian Notaris
membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam
hal ini memberikan landasan kepada Notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan
hukum. Oleh karena itu Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah
sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang
bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut.
Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum
tersebut yang merupakan awal dari tanggungugat Notaris. Istilah ini dapat ditujukan
terutama terutama terhadap kesalahan- kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan
jabatan-jabatan khusus tertentu (beroepsaansprakelijkheid), Untuk memberikan
landasan kepada hubungan hukum seperti tersebut di atas, perlu ditentukan
tanggunggugat Notaris apakah dapat berlandaskan kepada wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili orang lain tanpa kuasa
(zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving), perjanjian untuk melakukan
pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.
Sampai saat ini di Indonesia, khususnya di kalangan Notaris masih dianut ajaran bahwa
pertanggungjawaban Notaris dalam hubungannya dengan para pihak yang menghadap,
disamping berdasarkan UUJN, juga berdasarkan perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi, Hubungan hukum antara para penghadap dengan Notaris dapat dimasukkan
atau dikualifikasikan dalam bentuk sebuah wanprestasi jika terjadi hubungan hukum
secara kontraktual, misalnya para penghadap memberi kuasa untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Notaris karena keinginan para penghadap sendiri, dan pada dasarnya semua Notaris
terbuka untuk siapa saja, dan suatu hal tidak tepat jika tiap orang yang datang kepada
Notaris terlebih dahulu harus membuat perjanjian pemberian kuasa untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu, dalam hal ini membuat akta. Dengan tidak adanya perjanjian
baik tertulis atau lisan yang dinyatakan secara tegas atau tidak antara Notaris dengan para
pihak untuk membuat akta yang diinginkannya, maka tidak tepat jika hubungan hukum
antara Notaris dan para pihak dikualifikasikan sebagai hubungan kontraktual yang jika
Notaris wanprestasi dapat dituntut digugat dengan dasar gugatan Notaris telah
wanprestasi.
Inti dari suatu perbuatan melawan hukum, yaitu tidak ada hubungan kontraktual antara satu pihak
dengan pihak lainnya. Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain
tanpa adanya suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Dalam praktek
Notaris melakukan suatu pekerjaan berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas
jabatan sebagai Notaris berdasarkan UUJN. Para penghadap datang kepada Notaris atas kesadaran
sendiri dan mengutarakan keinginannya di hadapan Notaris, yang kemudian dituangkan ke dalam
bentuk akta Notaris sesuai aturan hukum yang berlaku, dan suatu hal yang tidak mungkin Notaris
membuatkan akta tanpa ada permintaan dari siapapun. Sepanjang Notaris melaksanakan tugas
jabatannya sesuai UUJN, dan telah memenuhi semua tatacara dan persyaratan dalam pembuatan
akta, dan akta yang bersangkutan telah pula sesuai dengan para pihak yang menghadap Notaris,
maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 BW tidak
mungkin untuk dilakukan.
Dalam hal tidak ada kontraktual atau saling mengikatkan diri antara para penghadap dengan
Notaris ataupun ada persetujuan untuk memberikan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan
demikian hubungan hukum yang terjadi antara Notaris dan para penghadap merupakan suatu
hubungan hukum yang tidak termasuk ke dalam bentuk suatu perjanjian yang tunduk kepada
pengaturan tentang kuasa, dalam hal ini Notaris menerima atau melakukan pekerjaan untuk orang
lain untuk melakukan suatu urusan atau perjanjian tertentu, seperti persetujuan untuk melakukan
jasa-jasa tertentu, dalam bentuk persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan (Pasal
1601 BW) ataupun persetujuan perburuhan yang melakukan pekerjaan dibawah perintah orang
lain (Pasal 1601 d BW).
Subjek hukum yang datang menghadap Notaris didasari adanya suatu keperluan dan keinginan
sendiri, Notaris juga tidak mungkin melakukan suatu pekerjaan atau membuat akta tanpa ada
permintaan dari para penghadap, dengan demikian menuntut Notaris dalam bentuk mewakili
orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) tidak mungkin terjadi berdasarkan Pasal 1354 BW.
Dengan demikian hubungan hukum yang terjadi antara Notaris dan para penghadap tidak dapat
dikontruksikan dipastikan atau ditentukan sejak awal ke dalam bentuk adanya atau telah terjadi
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau persetujuan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming)
yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut Notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga.
Kontruksi seperti itu tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap Notaris karena tidak ada
syarat yang dipenuhi seperti :
a. tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan pekerjaan tertentu.
b. tidak ada hak-hak para pihak atau penghadap yang dilanggar oleh Notaris.
c. Notaris tidak mempunyai atasan untuk menerima perintah melakukan suatu pekerjaan, dan
d. tidak ada kesukarelaan dari Notaris untuk membuat akta, tanpa ada permintaan dari para pihak.
Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter:
a. tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat
akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
b. mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris mempunyai kemampuan untuk
membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik.
c. hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari permintaan atau keingian
para pihak sendiri, dan
d. notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.
Pada dasarnya bahwa hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap yang telah membuat akta di hadapan
atau oleh Notaris tidak dapat dikontruksikan ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap berhubungan,
karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk menentukan bentuk hubungan antara Notaris
dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan dengan Pasal 1869 BW, bahwa akta otentik
terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dengan alasan :
(1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(3) cacat dalam bentuknya, atau karena akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum, maka hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat Notaris sebagai suatu
perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain hubungan Notaris dan para penghadap dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan melawan hukum, karena :
1. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan.
2. tidak mampunya Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta,
3. akta Notaris cacat dalam bentuknya.
Pelaksanaan tugas jabatan Notaris merupakan pelaksanaan tugas jabatan yang Esoterik,
artinya diperlukan pendidikan khusus dan kemampuan yang memadai untuk
menjalankannya. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus
mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam UUJN, sehingga dalam hal ini
diperlukan kecermatan, ketelitian dan ketepatan tidak hanya dalam teknik administratif
membuat akta, tapi juga penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta
yang bersangkutan untuk para penghadap, dan kemampuan menguasai keilmuan bidang
Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.
Dengan demikian kedudukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan atau akta Notaris menjadi batal demi hukum tidak berdasarkan akta
Notaris tidak memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tapi dalam hal ini :
a. undang-undang (UUNJ) telah menentukan sendiri ketentuan syarat akta Notaris yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta Notaris menjadi
batal demi hukum akta, yaitu tidak memenuhi syarat eksternal.
b. Notaris telah tidak cermat, tidak teliti dan tidak tepat dalam menerapkan aturan hukum
yang berkaitan pelaksanaan tugas jabatan Notaris berdasarkan UUJN, dan juga dalam
menerapkan aturan hukum yang berkaitan dengan isi akta.
Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai
akibat akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau
batal demi hukum, berdasarkan adanya :
1. hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap.
2. ketidakcermatan, ketidaktelitian dan ketidaktepatan dalam :
a. teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN,
b. penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk
para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang
Notaris secara khusus dan hukum pada umumnya, dan sebelum Notaris dijatuhi sanksi
perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus
dapat dibuktikan bahwa :
a. adanya diderita kerugian;
b. antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris terdapat
hubungan kausal;
c. pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum Notaris dengan
para penghadap, jika terjadi suatu permasalahan yang berkaitan dengan akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris, tidak dapat ditentukan di awal pada kontruksi hukum dalam
bentuk wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau
mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving),
perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.
Dengan kata lain bahwa sejak awal hubungan hukum Notaris dan para pihak yang datang
menghadap Notaris untuk membuat akta tidak dapat ditentukan sebagai hubungan
hukum tertentu, tapi hubungan hukum Notaris dan para penghadap tersebut dapat
dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum dari Notaris jika dapat dibuktikan
bahwa :
a. adanya diderita kerugian;
b. antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris terdapat
hubungan kausal;
c. pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan. Jika hal-hal tersebut tidak
dapat dibuktikan, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dituntut dengan cara dan
alasan apapun, karena Notaris telah bertindak sesuai dengan kewenangannya.
Dalam UUJN dikenal saksi dalam pembuatan akta :
1. saksi attesterend,
-memperkenalkan para penghadap yang tidak dikenal
-kewenangannya bisa turut tanda-tangan akta tsb.
2.saksi instrumentair
-harus dikenal oleh notaris
-harus cakap melakukan perbuatan hukum
-harus mengerti bahasa dalam akta yang dibuat
-harus dapat tanda-tangan
Pembuatan akta notaris didasarkan atau berasal dari keterangan atau penjelasan papa pihak
(klien) atau hasil wawancara (tanya jawab) dengan para (pihak) dan bukti-bukti yang diberikan
kepada kita, ataupun berdasarkan hasil penelitian awal serta negoisasi awal untuk kemudian
merumuskan dan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk membangun struktur akta notaris, antara lain :
1. Latar belakangyang akan diperjanjikan
2. Identitas para pihak (subjek hukum)
3. Identifikasi objek yang akan diperjanjikan
4. Membuat kerangka akta
5. Merumuskan substansi akta :
a. Kedudukan para pihak
b. Batasan-batasan (yang boleh atau tidak diperbolehkan) menurut aturan hukum.
c. Hal-hal yang dibatasi dalam pelaksanaannya.
d. Pilihan hukum dan pilihan pengadilan
e. Klausula penyelesaian sengketa
f. Kaitannya dengan akta yang lain (jika ada).
PROTOKOL NOTARIS
Minuta akta adalah asli akta notaris. Pengertian Minuta dalam hal ini dimaksudkan akta
asli yang disimpan dalam protokol notaris. Dalam minuta ini juga tercantum asli tanda
tangan, paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri dan kanan, para saksi dan
notaris, renvooi.
Akta notaris ada yang dibuat dalam bentuk minuta dapat dibuatkan salinannya yang sama
bunyinya atau isinya sesuai dengan permintaan para penghadap, orang yang memperoleh
hak atau para ahli warisnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,
dan bukti-bukti lain yang mendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta tersebut.
Akta dalam bentuk minuta (in minuta) wajib disimpan oleh notaris, diberi nomor bulanan
dan dimasukan ke dalam buku daftar akta notaris (Repertorium) serta diberi nomor
repertorium oleh notaris yang bersangkutan atau pemegang protokolnya.
Protokol notaris merupakan kumpulan dokumen-dokumen, baik merupakan akta ataupun
surat-surat penting lainnya yang berada dalam penguasaan dan pemeliharaan notaris.
Kumpulan dokumen-dokumen ini adalah arsip negara. Pengaturan protokol notaris dapat
dilihat pada pasal 1 butir ke 13 dari UUJN, sebagai kumpulan dokumen yang merupakan
arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris.
Bagian terpenting dalam sebuah protokol adalah berkas-berkas bulanan semua surat asli
akta (minut) yang dibuat oleh seorang notaris. Yang dimaksud dengan disimpan dalam
protokol notaris adalah penyimpanan dalam berkas surat asli akta. Protokol bukan milik
notaris yang membuat akta-akta dan juga tidak milik notaris yang ditugaskan oleh menteri
Kehakiman untuk menyimpannya.
Renvooi berarti penunjukkan kepada catatan di sisi akta tentang tambahan, coretan dan
penggantian yang disahkan.
Pasal 54 UUJN menegaskan Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau
memberitahukan isi akta, Grosse akta, Salinan akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Mengeluarkan atau memberikan,
memperlihatkan, atau memberithaukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan
Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang
memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Protokol adalah milik masyarakat dan berada di bawah pengawasan menteri Hukum dan
HAM. Seseorang yang menyimpan dokumen dalam protokol seorang notaris pada
umumnya mengetahui bahwa sebuah dokumen itu aman di tangan seorang notaris.
Masyarakat mempunyai kepercayaan besar, baik terhadap notaris maupun lembaga
notariat. Kalaupun notaris yang berkenaan pindah atau pensiun, menteri kehakiman
berdasarkan undang-undang menunjuk seorang notaris lain yang berkedudukan di kota
yang sama atau mengangkat seorang notaris baru untuk memegang protokol notaris yang
akan berhenti atau pindah. Dengan demikian orang yang menyimpan suatu dokumen atau
ahli-ahli warisnya selalu dapat meminta salinan ataupun copie collationne dari dokumen
itu.
Minuta akta adalah merupakan bagian dari protokol notaris. Minut-minut akta yang selalu
di simpan dan menjadi bagian dari protokol notaris di kantor Notaris adalah milik pribadi
notaris yang membuatnya, bukanlah hal yang baru. Menurut Vellema, yang secara luas
mempelajari sejarah notariat di Belanda dan di Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia
sebelum tahun 1695 ada anggapan bahwa protokol adalah milik notaris yang
bersangkutan. Ini terbukti dari suatu larangan yang dikeluarkan pada tahun itu oleh
pemerintah Belanda untuk menjual protokol tanpa izin Raad (Raad ini sudah lama
dihapus).
Protokol terdiri atas semua minuta akta (minuut akte), daftar-daftar (registers) dan daftar
tahunan akta notaris (repertoria). Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris menentukan
dalam Pasal 62 ayat (1) mengenai hal yang harus dilakukan jika seorang Notaris meninggal
dan dalam Pasal 62 ayat (2) mengatur jika Notaris diberhentikan atau pindah. Dalam hal-
hal itu para ahli waris atau notaris sendiri harus melaporkan kejadian itu kepada
pengadilan negeri atau gubenur. Pasal 63 menentukan bahwa pejabat yang menerima
pemberitahuan itu harus segera mengangkat penggantinya. Penggantinya ini harus segera
berangkat ke tempat protokol berada untuk menerima semua minut, daftar-daftar,
repertoria dan klapper.
(Pasal 62 dan 63 telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang
Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara). Dahulu urutan pengambilalihan protokol
adalah sebagai berikut: ahli waris Notaris yang meninggal dunia atau Notaris yang
berhenti mengoperkan protokol kepada pengganti, kemudian pengganti kepada Notaris
yang baru diangkat. Kemudian menurut Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1954 dan Pasal 64 PJN ditentukan dalam hal seorang Notaris meninggal atau berhenti, hal
itu harus dilaporkan kepada pengadilan dan pengganti mengalihkan protokol kepada
Notaris yang baru diangkat.
Dari ketentuan dalam undang-undang tersebut mengenai pengalihan protokol dapat
diketahui bahwa protokol bukanlah milik notaris yang membuatnya atau menguasainya.
Berkaitan dengan pengalihan dan notaris penerima protokol, Notaris penerima protokol
tidak mempunyai cukup tempat untuk menampung bundel-bundel minut. Setiap tahun
menurut PJN dibuat 12 buku.Bila seorang Notaris bekerja di suatu tempat selama 15
tahun, maka jumlah buku-buku yang harus diserahkan adalah buah, bahkan dalam satu
bulan ada beberapa Notaris yang membuat lebih dari 100 akta atau lebih. Dapat
dibayangkan betapa tebalnya satu bundel minut akta dan kesulitan penerima protokol
untuk menampungnya.
Akibat tidak adanya cukup tempat untuk menampung protokol yang harus diterima adalah
buku-buku minut berserakan di kantor dan di rumah penerima protokol. Ini membawa
bahaya, yaitu rusaknya akta-akta karena hama rayap.
Menurut PJN untuk satu bulan satu buku dan tidak boleh dua buku atau lebih. Setelah
UUJN berlaku, dibolehkan dua buku atau lebih. Hal ini terlihat dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf f UUJN yang menyatakan bahwa menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan
menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 akta, dan jika jumlah akta tidak dapat
dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.
Dalam Penjelasan Pasal 62 UUJN, disebutkan bahwa Protokol Notaris terdiri atas:
a. Minuta Akta;
Minuta akta adalah asli akta Notaris, dimana di dalam minuta akta ini terdiri dari (dilekatkan) data-
data diri para penghadap dan dokumen lain yang diperlukan untuk pembuatan akta tersebut.
Setiap bulannya minuta akta harus selalu dijilid menjadi satu buku yang memuat tidak lebih dari
50 akta. Pada sampul setiap buku tersebut dicatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun
pembuatannya.
b. Buku daftar akta atau Repertorium;
Dalam Repertorium ini, setiap hari Notaris mencatat semua akta yang dibuat oleh atau
dihadapannya baik dalam bentuk minuta akta maupun Originali dengan mencantumkan nomor
urut, nomor bulanan, tanggal, sifat akta dan nama para penghadap.
c. Buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan di hadapan Notaris atau
akta di bawah tangan yang didaftar; Notaris wajib mencatat surat-surat di bawah tangan, baik yang
disahkan maupun yang dibukukan dengan mencantumkan nomor urut, tanggal, sifat surat dan
nama semua pihak.
d. Buku daftar nama penghadap atau Klapper;
Notaris wajib membuat daftar Klapper yang disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan,
dimana dicantumkan nama semua orang/pihak yang menghadap, sifat dan nomor akta.
e. Buku daftar protes;
Setiap bulan Notaris menyampaikan Daftar Akta Protes dan apabila tidak ada, maka tetap wajib
dibuat dengan tulisan “NIHIL”.
f. Buku daftar wasiat; dan
Notaris wajib mencatat akta-akta wasiat yang dibuatnya dalam Buku Daftar Wasiat. Selain itu, paling lambat
pada tanggal 5 setiap bulannya, Notaris wajib membuat dan melaporkan daftar wasiat atas wasiat-wasiat
yang dibuat pada bulan sebelumnya. Apabila tidak ada wasiat yang dibuat, maka Buku Daftar Wasiat tetap
harus dibuat dan dilaporkan dengan tulisan “NIHIL”.
g. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah Buku Daftar Perseroan
Terbatas, yang mencatat kapan Pendiriannya dan dengan akta nomor dan tanggal berapa, Perubahan
Anggaran Dasar atau Perubahan susunan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pemegang
Sahamnya.
Di samping Buku Daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris yang telah disebutkan di atas, seorang
Notaris yang baik seyogyanya mengadministrasikan dan membuat tata kearsipan terhadap hal-hal sebagai
berikut:
1. Buku Daftar Akta Harian ;
2. Map khusus yang berisikan minuta-minuta akta sebelum dijilid menjadi Buku setiap bulannya
3. File Arsip Warkah Akta ;
4. File Arsip yang berisikan copy Surat Di Bawah Tangan Yang Disahkan ;
5. File Arsip yang berisikan copy Surat Di Bawah Tangan Yang Dibukukan ;
6. File Arsip yang berisikan copy Daftar Protes ;
7. File Arsip Copy Collatione (yaitu copy dari surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan).
8. File Arsip Laporan Bulanan Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang
dilampiri dengan tanda terima dari MPD ;
9. File Arsip yang berisikan Laporan Wasiat kepada Direktur Perdata cq Balai Harta
Peninggalan Sub Direktorat Wasiat;
10. File Arsip yang berisikan tanda terima salinan Akta;
11. Buku Surat Masuk dan Surat Keluar Notaris ;
12. File Arsip Surat Masuk Notaris ;
13. File Arsip copy Surat Keluar Notaris ;
14. Buku Daftar tentang Badan Hukum Sosial dan Badan Usaha yang bukan badan hukum
yang dibuat di kantornya.
Setiap bulan, selambat-lambatnya tanggal 15, Notaris wajib menyampaikan secara tertulis
salinan yang telah disahkannya dari daftar Akta dan daftar lain yang dibuat pada bulan
sebelumnya kepada Majelis Pengawas Daerah (Laporan Bulanan).
PENGAWASAN, PEMERIKSAAN TERHADAP NOTARIS DAN SANKSI
Pengertian Pengawasan
Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik diawasi oleh MPN yang dibentuk oleh Menteri. Ketentuan mengenai pengawasan terhadap
notaris diatur dalam UUJN Bab IX tentang Pengawasan. Secara umum, pengertian dari
pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dalam melihat, memperhatikan,
mengamati, mengontrol, menilik dan menjaga serta memberi pengarahan yang bijak.
Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota
Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1
angka 5 menjelaskan mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut:
“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan
yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.”
Para sarjana hukum memberikan pengertian mengenai pengawasan, pengawasan adalah suatu
proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.
Pengawasan adalah tindakan atau proses kegiatan untuk memenuhi hasil pelaksanaan, kesalahan,
kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan-
kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang
ditetapkan, namun sebaliknya sebaik apapun rencana yang ditetapkan tetap memerlukan
pengawasan.
Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi
dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada MPN yang dia bentuk. UUJN
menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan kewenangan Menteri
untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam bentuk pendelegasian delegatif
kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah
ditetapkan secara eksplisit menjadi kewenangan MPN.
Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap notaris seperti
menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud
dengan pengawasan adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang
dilakukan
oleh Majelis Pengawas terhadap notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh
MPN, yaitu;
a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris sebanyak
mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya. Persyaratan-
persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-undang saja, akan
tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap notaris tersebut.
Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris
akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu agar para notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-
undang demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayani.
Tujuan lain yang perlu dicapai melalui pengawasan selain untuk tujuan efisiensi adalah:
a. Pelaksanaan tugas-tugas yang telah ditentukan berjalan sungguh-sungguh sesuai
dengan pola yang direncanakan;
b. Struktur serta hierarki organisasi sesuai dengan pola yang ditentukan dalam rencana;
c. Sistem dan prosedur kerja tidak menyimpang dari garis kebijakan yang telah tercermin
dalam rencana;
d. Tidak terdapat penyimpangan dan/atau penyelewengan dalam penggunaan kekuasaan,
kedudukan, terutama keuntungan.
Pengawasan terhadap notaris dilakukan berdasarkan kode etik dan UUJN. Pengawasan dalam kode
etik dilakukan oleh Dewan Kehormatan, dan pengawasan dalam UUJN dilakukan oleh MPN.
Sebelum menguraikan pengawasan menurut kode etik, lebih dulu diuraikan tentang pengertian
dari kode etik. Menurut Bertens kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima
oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana
seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasar penerapan
pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi
tidak mempunyai sanksi yang keras, berlakunya kode etik semata-mata berdasarkan kesadaran
moral anggota profesi.
Kode etik perlu dirumuskan secara tertulis, yaitu:
a. Sebagai sarana kontrol sosial;
b. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
c. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat
diketahui dengan pasti kewajiban profesionalisme anggota lama, baru, ataupun calon anggota
kelompok profesi. Dengan demikian pemerintah atau mayarakat tidak perlu ikut campur tangan
untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban
profesionalnya. Kode etik notaris meliputi: etika kepribadian notaris, etika melakukan tugas
jabatan, etika pelayanan terhadap klien, etika hubungan sesama rekan notaris, dan etika
pengawasan terhadap notaris.
Pengawasan menurut kode etik menurut kode etik Pasal 1 angka (1) Dewan Kehormatan adalah
alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari
keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk:
a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung
tinggi kode etik;
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara
langsung;
c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode
etik dan jabatan notaris.
Posisi Dewan Kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk
memastikan para notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten baik dan benar.
Dewan Kehormatan juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi, kehormatan dan
keluhuran profesi Jabatan notaris di tengah masyarakat.
Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pada tingkat pertama dilakukan oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat banding dilakukan oleh pengurus wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat akhir dilakukan oleh pengurus pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Pusat.
Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri dan dalam
operasionalnya Menteri akan membentuk MPN. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN, Majelis
Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.
Keanggotaan Majelis Pengawas notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (3) UUJN berjumlah 9
(sembilan) orang yang terdiri dari:
a. Unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Unsur organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Unsur ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Keterlibatan unsur notaris dalam MPN, yang berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa notaris,
dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang bersifat internal. Hal ini dapat
diartikan bahwa unsur notaris tersebut dapat memahami dunia notaris baik yang bersifat ke luar
maupun ke dalam. Sedangkan unsur lainnya, akademisi dan pemerintah dipandang sebagai unsur
eksternal. Perpaduan keanggotaan MPN sebagaimana tertuang dalam UUJN diharapkan dapat
memberikan sinergitas pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan
yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan notaris dalam menjalankan tugas dan
jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi baik secara internal maupun eksternal.
Wewenang Majelis Pengawas Notaris
Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan
pengawasan, pemeriksaan, dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis
Pengawasan (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing.
1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39- PW.07.10 Tahun 2004. Dalam
Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan Surat-Surat yang dilekatkan pada Minuta Akta
atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris;
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang
dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau Surat-Surat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW
maupun MPP. Subtansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh pentidik, penuntut umum
atau hakim.
Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta
keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek
pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan pars pihak, bukan menempatkan
subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan
akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan
anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan, dan akademis yang memahami akta
Notaris, baik dari prosedur maupun substansinya. Tanpa ada izin dari MPD penyidik,
penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu
perkara pidana.
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau
setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah
berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
h.Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan g kepada Majelis Pengawasan Wilayah.
Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a.Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal
pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah Surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal
pemeriksaan terakhir;
b.Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat,
dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada
Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang
melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Wewenang MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat MPD diatur dalam Pasal 14
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10Tahun 2004,
yang berkaitan dengan :
a. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat
negara;
b. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang meninggal dunia;
c. Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk proses peradilan;
d. Menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol
Notaris dalam penyimpanan Notaris;
e. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal
73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat
yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sanksi
berupa teguran lisan atau tertulis;
e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
(1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
(2) Pemberhentian dengan tidak hormat.
f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
huruf e dan huruf f.
Wewenang MPW menurut pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu:
(1) Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil perneriksaan Majelis Pemeriksa Daerah;
(2) Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas
Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3) Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya;
(4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas
diterima.
Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-
PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk
menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam Pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Kemudian angka 2 butir 2
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004
mengatur pula mengenai kewenangan MPW, yaitu:
(1) Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat;
(2) Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah.
(3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;
(4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan
oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat;
(5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu:
a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Februari;
b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima betas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.
3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)
Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam
Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat kepada Menteri.
Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yang berkaitan dengan
pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari MPW:
(1) Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa
Wilayah;
(2) Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3) Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan guna didengar keterangannya;
(4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas
diterima;
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang
cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan/ putusan;
(6) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Ketua Anggota dan
Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat;
(7) Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan
kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Pengurus
Pusat Ikatan Notari Indonesia, dalamjangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
terhitung sejak putusan diucapkan.
Mengenai kewenangan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah, dan Pusat) ini, ada satu
kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk diluruskan sesuai aturan hukum yang
berlaku, yaitu atas laporan Majelis Pemeri ksa jika menemukan suatu tindak pidana dalam
melakukan pemeriksaan terhadap Notaris, maka Majelis Pengawas akan melaporkannya
kepada pihak yang berwenang. (Pasal 32 ayat [1] dan [2] Peraturan Menteri). Subtansi
pasal ini telah menempatkan Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana.
Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa
laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh "seorang" karena "hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang" kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Berdasarkan isi pasal tersebut,
bahwa syarat untuk menjadi pelapor, yaitu:
(1) Seorang (satu orang/perseorangan), dan
(2) Ada hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang.
Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat [11 Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02. PR.08.10 Tahun 2004), dengan
parameter seperti ini dikaitkan dengan Pasal 1
angka 24 (KUHAP), bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum berupa
orang, bukan majelis atau badan.
Pada pasal 70 huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris dan pada pasal 16 ayat (1) peraturan Menteri Hukum
dan HAM nomor M.20.PR.08.10 tahun 2004, menentukan bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang
melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala sekali dalam setahun atau tiap waktu
yang dianggap perlu. Tugas seperti ini hanya dimiliki oleh Majelis Pengawas Daerah karena merupakan
pemeriksaan rutin dan langsung dilakukan di kantor notaris yang bersangkutan dan tim pemeriksa ini
bersifat insidentil saja yakni dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika diperlukan saja, maksudnya
pemeriksaan dilakukan jika ada laporan dari masyarakat ataupun notaris lainnya.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh tim pemeriksa meliputi pemeriksaan:
a. Kantor notaris yang yang meliputi alamat dan kondisi fisik kantor;
b. Surat pengangkatan sebagai notaris;
c. Berita acara sumpah jabatan notaris;
d. Surat keterangan izin cuti notaris;
e. Sertifikat cuti notaris;
f. Protokol notaris yang terdiri dari:
1) Minuta akta
2) Buku daftar akta atau repertorium
3) Buku khusus untuk mendaftarkan surat di bawah tangan yang disahkan tanda tangannya dan surat di
bawah tangan yang dibukukan
4) Buku daftar nama penghadap atau klapper dari daftar akta dan daftar surat dibawah tangan yang
disahkan
5) Buku daftar protes
6) Buku daftar wasiat
7) Buku daftar lain yang harus disimpan oleh notaris berdasarkan ketentuan undang-undang.
g. Keadaan arsip;
h. Keadaan penyimpanan akta seperti penjilidannya serta keamanannya;
i. Laporan bulanan pengiriman salinan yang disahkan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan
yang disahkan dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan;
j. Uji petik terhadap akta untuk menyesuaikan antara daftar akta yang ada pada reportarium;
k. Penyerahan protokol notaris yang telah berumur 25 tahun atau lebih;
l. Jumlah pegawai serta pendidikan terakhir pegawai apakah sarjana atau non sarjana;
m. Sarana kantor notaris yang bersangkutan yang meliputi alat-alat kantor seperti computer, meja,
kursi, lemari,dll;
n. Penilaian pemeriksaan;
o. Waktu dan tanggal pemeriksaan.
Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris yaitu Majelis
Pengawas Notaris. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk tim pemeriksa yang
bertugas melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala setahun sekali atau
tiap saat yang diperlukan atau dianggap perlu. Sedangkan untuk menerima dan memeriksa
laporan yang diterima dari sesama notaris ataupun masyarakat maka dibentuk majelis pemeriksa.
Adapun tata cara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis pemeriksa meliputi:
a. Pengajuan Laporan.
Pengajuan laporan dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan secara tertulis kepada Majelis
Pengawas Daerah disertai dengan bukti yang dapat dipertanggung jawabkan.
b. Pembentukan Majelis Pemeriksa Notaris.
Pembentukan Majelis Pemeriksa dimaksudkan untuk menindaklanjuti atas laporan yang diterima
dari masyarakat ataupun sesame notaris.
c. Pemanggilan
Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan kepada terlapor dan pelapor untuk mendengarkan
keterangan dari keduabelah pihak.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksa bersifat tertutup untuk umum dan hasil dari
pemeriksaan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah dengan tembusan kepada pelapor,
telapor, Majelis Pengawas Pusat dan pengurus daerah organisasi notaris.
e. Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah bersifat tertutup untuk umum dan
Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, laporan tersebut dinyatakan ditolak dan terlapor
direhabilitasi nama baiknya sedangkan dalam hal laporan dapat dibuktikan, terlapor dijatuhi sanksi
sesuai dengan pelanggarannya.
Putusan dari Majelis Pemeriksa Wilayah wajib memuat alasan dan pertimbangan yang cukup
untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan. Salinan putusan tersebut disampaikan kepada
Menteri Hukum dan HAM, pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Daerah dan pengurus pusat
organisasi notaris dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan diucapkan.
f. Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Pusat.
Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Pusat ini bersifat terbuka untuk umum dan merupakan upaya
hukum banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah yang dianggap tidak sesuai oleh pelapor
maupun terlapor
Penjatuhan Sanksi
Majelis Pengawas Notaris memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi terhadap notaris sesuai
dengan aturan yang tertuang dalam UUJN Tidak semua Majelis Pengawas Notaris dapat
menjatuhkan sanksi misalnya Majelis Pengawas Daerah tidak dapat menjatuhkan sanksi walaupun
menerima laporan dan melakukan pemeriksaan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh notaris
walaupun demikian tetap saja Majelis Pengawas Daerah tidak diberikan kewenangan menjatuhkan
sanksi apapun dan hanya memiliki wewenang menyampaikan laporan hasil putusan sidang
pemeriksaan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Sedangkan Majelis Pengawas Wilayah memiliki
wewenang menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan ataupun tertulis saja seperti yang telah diatur
dalam pasal 73 UUJN.
Namun Majelis Pengawas Wilayah memiliki wewenang mengajukan sanksi kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara selama 3 bulan sampai 6 bulan atau
pemberhentian secara tidak hormat.
Sedangkan Majelis Pengawas Pusat memiliki wewenang terbatas yakni hanya
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara yakni dapat dikatakan sebagai tahap
menunggu sanksi lainnya dari Menteri Hukum dan HAM seperti pemberhentian secara
tidak hormat atau secara hormat dari profesi notaris karena, Majelis Pengawas Pusat juga
memiliki wewenang mengajukan sanksi kepada menteri berupa pemberhentian dengan
tidak hormat kepada notaris yang diatur dalam pasal 12 dan pasal 77 UUJN.

Anda mungkin juga menyukai