Anda di halaman 1dari 3

LEADERSHIP SUCCES MINDSET

EKO SUPRIYATNO, MTB

Master Terapi Bisnis

Director Terapi Bisnis Consulting

Gong turbulensi ‘perubahan’ di Indonesia semakin cepat bergerak. Setidaknya, salah satu
indikator penting dalam konteks perubahan tersebut adalah pemilihan kepada daerah
langsung (Pilkadal) dan Pemilihan presiden (Pilpres). Terlepas dari pro kontra maupun baik
buruknya, Pilkada menjadi elemen penting proses demokrasi dan transformasi
kepemimpinan di berbagai daerah di Indonesia. Agenda perubahan merupakan hal yang
paling santer terdengar dalam berbagai kampanye politik di daerah. Mengapa tema
perubahan menjadi sangat signifikan pada saat ini? Sebab, perubahan menjadi harapan
terbesar bagi sebagian besar rakyat Indonesia pada saat ini. Pemimpin dituntut untuk
menciptakan kenyamanan dan kemudahan sebaik mungkin bagi para stakeholders
khususnya masyarakat. Itulah mengapa, esensi seorang pemimpin adalah membawa
perubahan yang lebih baik ke dalam sistem yang akan dipimpinnya. Perubahan yang
memberi kemudahan bagi seluruh pengikutnya, bukan hanya bagi dirinya. Yang jelas, kata
kunci (pilkada) adalah bagaimana melahirkan seorang pemimpin yang mampu mendorong
percepatan perubahan dan pengembangan daerah.

Eksploitasi Peluang

Peter Drucker mengatakan bahwa tugas kepemimpinan adalah menciptakan keselarasan


dari kekuatan-kekuatan yang ada, sehingga kekurangan-kekurangan yang ada menjadi tidak
relevan. Disini jelas terlihat, bahwa cara berpikir positif menjadi keharusan bagi pemimpin
untuk berhasil mendorong perbaikan.  Pemimpin harus mempunyai paradigma yang mampu
mendayagunakan semua potensi yang ada di daerah secara efektif. Ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh John Naisbitt, seorang futuris modern paling terkemuka. Naisbitt
menyebutkan bahwa:  “hasil bukan didapat dari memecahkan masalah, melainkan dari
mengeksploitasi peluang”.
Pernyataan Naisbitt tersebut bukanlah isapan jempol semata. Ucapannya mengandung
makna filosofis sekaligus makna pragmatis. Pertama, secara filosofis eksploitasi peluang
merujuk pada bagaimana seorang pemimpin mampu melihat berbagai potensi yang ada di
daerahnya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa untuk menjadi pemimpin dibutuhkan
kompetensi yang luar biasa dalam memandang keseluruhan potensi ’aset’. Pemimpin sejati
bukanlah pemimpin yang hanya dapat menggunakan resource yang ada untuk kemudian
memecahkan segala problem yang dihadapainya. Pemimpin yang unggul adalah mereka
yang mampu melihat hal-hal yang ’terlihat’ maupun yang ’tersebunyi.’ Sebagian besar
pemimpin yang hanya mampu mendayagunakan yang terlihat bukanlah pemimpin idaman.
Meskipun sesungguhnya mereka juga adalah orang yang cukup baik untuk memimpin. Akan
jauh lebih spesial bila pemimpin mampu menggerakan sesuatu yang oleh kebanyakan orang
tidak nampak. pemimpin semacam ini adalah orang yang benar-benar memiliki kemampuan
di atas rata-rata dalam memimpin. Mereka adalah orang yang cerdas melihat setiap hal
menjadi berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan daerah. Pemimpin
model ini terkadang dianggap kurang atau bahkan tidak rasional. Setidaknya ungkapan
tersebut dipertegas oleh Shaw. Ia menyatakan bahwa orang yang rasional biasanya
menyesuaikan dirinya dengan kondisi sekeliling. Sementara orang yang tidak rasional
cenderung menyesuaikan kondisi sekeliling dengan dirinya. Dan semua kemajuan
bergantung pada orang yang tidak rasional. Kedua, secara pragmatis pemimpin seperti itu
adalah pemimpin yang mampu menggerakkan perubahan menjadi implementasi yang
bersifat riil. Mereka mempunyai pengetahuan dan ketrampilan wirausaha untuk mendorong
kepada perbaikan ekonomi masyarakat. Karena itu, untuk memenangkan sebuah pemilihan
kepala daerah,  kemampuan dan ketrampilan eksploitasi peluang menjadi ’mantra sakti’
yang cukup mujarab. Arnold Schwarzenegger dan Jimmy Carter adalah dua contoh sukses
mengeksploitasi peluang. Gubernur California Arnold Schwarzenegger berhasil
memenangkan pemilihan gubernur karena ia mempersiapkan langkahnya selama bertahun-
tahun. Ia telah siap saat peluang muncul. Begitu pula dengan Jimmy Carter, seorang
kandidat pemilu kepresidenan AS pertama  yang memiliki jiwa wirausaha. Carter melihat
peluang melalui pemilihan pendahuluan, dan penggunaan berbagai teknologi media baru. Ia
memperoleh kemenangkan cukup tinggi atas saingannya untuk memenangkan nominasi
sebelum konvensi nasional Partai Demokrat. Dalam konteks tersebut, momentum pilkada
seharusnya menjadi katalisator bagi calon pemimpin (gubernur) untuk memanfaatkan setiap
peluang yang ada di daerah. Integrasi antara variabel politik, ekonomi, sosial dan teknologi
adalah kata kuncinya. Kemampuan dan ketrampilan untuk menjadikan semua faktor
tersebut dalam satu kemasan ’perbaikan’ akan menjadi kompetensi inti bagi daerah.
Kompetensi inti inilah yang nantinya akan menjadi ’produk’ yang layak bersaing dengan
daerah lain tidak hanya di Indonesia. Dengan kompetensi inti, maka pembangunan inovasi,
kreativitas dan jaringan (relationship) mudah terbangun. Inilah sebenarnya yang disebut
dengan eksploitasi peluang.

Mindset of Success

Indonesia yang saat ini masih berkubang dalam genangan berbagai krisis membutuhkan
pemimpin yang mampu menjangkau masa depan dengan pijakan melalui penelitian yang
objektif dan tidak terbias mengenai masa kini. Kita semua tahu, bahwa masalah yang
mendera Indonesia sungguh luar biasa. Oleh karenanya, kita sangat membutuhkan
pemimpin yang benar-benar bisa melakukan breaktrough. Pemimpin seperti ini mampu
melihat Perbedaan antara detail dan gambaran  besar tidak selalu dialami dengan cara
ekstrem. Namun idenya tetap sama. Naisbitt menyatakan, ”Sesungguhnya kita tidak bisa
melihat hutan dari tengah-tengah pepohonan”. Artinya, jika seorang pemimpin ingin
menemukan peristiwa penentu masa depan di dunia ini, Ia harus mengawasi dari jauh.
Sebab, jika terlalu dekat kecenderungan sesaat akan menghalangi pandangan.
Kecenderungan sesaat sendiri tertanam dalam tren dan merupakan manifestasi tren.
Pergerseran tren tidak sering terjadi, tapi kecenderungan-kecenderungan sesaat tertanam
dalam tren selalu mengilhami perubahan.

Masalah-masalah yang menghadang Indonesia mestinya dipandang sebagai  sebuah


fenomena untuk bergerak maju. Kenapa demikian? Karena masalah (problem) seperti kata
Adi Gunawan berasal dari kata yunani proballein. Jika diurai, pro dapat diartikan sebagai
maju (forward), sementara ballein berarti bergerak (to drive). Sehingga bila dirangkai,
problem sesungguhnya adalah bergerak maju. Sebab itulah, pemimpin yang kita butuhkan
adalah pemimpin yang benar-benar mampu membangun pola pikir sukses. Dan untuk
membangun paradigma seperti ini dibutuhkan cara pandang ’apa yang benar’ dan bukan
’siapa yang benar’.  Cara pendang seperti ini akan menitikberatkan pada subtansi dan
bukan pada ego pribadi. Disini terlihat bahwa kebenaran bukanlah milik kelompok, golongan
maupun partai politik tertentu, tetapi berpihak pada rakyat.  Sehingga berbagai masalah
yang muncul di Indonesia dapat dilihat dengan jernih tanpa vested interest. Jelas, kita
sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki success mindset seperti itu. Pemimpin
seperti ini menyadari bahwa bawahan akan melakukan yang terbaik manakala mereka
bekerja dan membangun daerah berdasarkan inspirasi sebagai hasil dari perhatian yang
diberikan secara berkesinambungan terhadap kekuatan serta kesuksesan yang diraih. Di
Indonesia sendiri, suka tidak suka, mau tidak mau, pemimpin dituntut untuk selalu
melakukan perubahan menuju perbaikan. Ketika nasib Indonesia masih ada di tangan
bangsa lain, Soekarno-Hatta dan kawan-kawan menjadi agen perubahan dengan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka memanfaatkan keadaan Jepang yang
terjepit untuk mengatur sendiri nasib bangsa Indonesia.
Indonesia hingga saat ini masih terus didera oleh krisis ekonomi. Ini karena kurangnya jiwa
kepemimpinan. Dalam kurun waktu enam tahun, Indonesia masih tertinggal cukup jauh
dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, dan negara lain di kawasan
Asia. Negara-negara tersebut sudah mampu keluar dari krisis dan menata ekonominya
untuk bersaing dalam permainan globalisasi dan ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Penyebab kemajuan mereka, menurut Charlo Mamora, Managing Partner Transforma,
karena adanya dukungan dari perusahaan-perusahaan yang dapat menyikapi krisis tersebut
dengan arif.

"Mereka melakukan penyelarasan pola pikir individu dan pembenahan kepemimpinan top
team untuk organisasi. Kedua hal ini adalah yang paling menentukan dan membedakan
suatu organisasi akan menjadi pemenang, biasa-biasa saja, atau bahkan punah". Jepang
berhasil mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui gerakan kualitas, dan Korea
mampu bersaing di pasaran internasional dengan program survival atau kuantum.
Menurut Charlo "Indonesia sebenarnya dapat mengikuti jejak kedua bangsa itu, mengejar
ketertinggalan melalui gerakan penyelarasan pola pikir (mindset alignment movement).
Tetapi, selama pejabat pemerintah melihat dirinya sebagai penguasa dan bukan pelayan
masyarakat, selama itu pula perubahan berarti tidak akan terjadi. Selama mentalitas guru
melihat dirinya sebagai pengajar, dan bukan sebagai pendidik, selama itu pula kualitas
sumber daya manusia kita tidak akan mengalami perubahan besar. Saya amat yakin
Indonesia masih sangat mungkin menuju kesuksesan. Syaratnya adalah jika para
pemimpinnya berpola fikir ’apa yang benar’, dan mampu mengeksploitasi setiap peluang jadi
manfaat bagi masyarakat banyak

Anda mungkin juga menyukai