Anda di halaman 1dari 138

GOOD LABORATORY PRACTICE

(GLP)
1. PENGERTIAN
“Good Laboratory Practice” atau GLP
adalah suatu cara pengorganisasian
laboratorium dalam proses pelaksanaan
pengujian, fasilitas, tenaga kerja dan kondisi
yang dapat menjamin agar pengujian dapat
dilaksanakan, dimonitor, dicatat dan
dilaporkan sesuai standar
nasional/internasional serta memenuhi
persyaratan keselamatan dan kesehatan.
TUJUAN
Penerapan GLP bertujuan untuk
meyakinkan bahwa data hasil uji yang
dihasilkan telah mempertimbangkan :
1. Perencanaan dan pelaksanaan yang
benar (Good Planning and execution)
2. Praktek pengambilan sampel yang baik
(Good Sampling Practice)
3. Praktek melakukan analisa yang baik
(Good Analytical Practice)
LANJUTAN
4. Praktek melakukan pengukuran yang baik
(Good Measurement Practice)
5. Praktek mendokumentasikan hasil
pengujian/data yang baik (Good
Dokumentation Practice)
6. Praktek menjaga akomodasi dan
lingkungan kerja yang baik (Good
Housekeeping Practice)
FAKTOR YANG MENENTUKAN KEBENARAN
DAN KEHANDALAN PENGUJIAN YANG
DILAKUKAN OLEH LABORATORIUM
1) Personel
2) Kondisi akomodasi dan lingkungan
3) Metode pengujian dan kalibrasi serta validasi
metode
4) Peralatan
5) Ketertelusuran pengukuran
6) Pengambilan contoh uji
7) Penanganan contoh yang akan diuji dan barang
yang akan dikalibrasi
8) Jaminan mutu hasil pengujian dan kalibrasi
9) Laporan hasil uji atau sertifikat kalibrasi
ORGANISASI
LABORATORIUM
Struktur organisasi laboratorium harus
menunjukan garis kewenangan, ruang
lingkup tanggung jawab, uraian kerja serta
hubungan timbal balik semua personel yang
mengelola, melaksanakan atau
memverifikasi pekerjaan yang dapat
mempengaruhi mutu pengujian.
PERSONEL
Penempatan personel dalam organisasi
laboratorium harus disesuaikan dengan
kualifikasi dan pengalaman yang tepat.
Laboratorium harus memiliki ketentuan
untuk menjamin agar seluruh personelnya
bebas dari pengaruh komersial baik secara
internal maupun eksternal, pengaruh
keuangan serta tekanan lainnya yang dapat
mempengaruhi mutu kerjanya.
Good Sampling Practice
Praktek pengambilan sampel yang baik
(Good Sampling Practice)
Pengambilan contoh Pengambilan contoh
didefinisikan sebagai prosedur pengambilan
suatu bagian dari substansi, bahan, atau
produk untuk keperluan pengujian dari
contoh yang mewakili kumpulannya
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam
pengambilan contoh adalah :
1) Perencanaan pengambilan contoh
2) Petugas pengambil contoh
3) Prosedur pengambilan contoh
4) Peralatan yang digunakan
5) Lokasi dan titik pengambilan contoh
6) Frekuensi pengambilan contoh
7) Keselamatan kerja
8) Dokumentasi yang terkait
LANJUTAN
Prosedur pengambilan contoh harus
menguraikan pemilihan, rencana
pengambilan contoh, preparasi contoh untuk
menghasilkan informasi yang diperlukan.
LANJUTAN
Petugas pengamabil contoh harus dilakukan
oleh personel yang qualified, dibuktikan
dengan pendidikan, pelatihan dan dapat
menunjukan keterampilannya dalam
pengambilan contoh serta telah ditunjuk
atau mewakili laboratorium yang
bersangkutan
Good Analytical Practice (Praktek
melakukan analisa yang baik)
Pengertian Metode pengujian adalah
prosedur teknis tertentu untuk
melaksanakan pengujian. Tanpa metode
laboratorium tidak mungkin melaksanakan
kegiatan pengujian, pengukuran atau
kalibrasi
Ruang lingkup pengujian
1. Pengambilan contoh uji
2. Penanganan contoh uji
3. Transportasi
4. Penyimpanan
5. Preparasi contoh/barang yang akan diuji
dan/atau dikal
Ruang lingkup pengujian
1. Pengambilan contoh uji
2. Penanganan contoh uji
3. Transportasi
4. Penyimpanan
5. Preparasi contoh/barang yang akan diuji
dan/atau dikalibrasi
6. Perkiraan ketidakpastian pengukuran
7. Teknik statistik untuk analisis data pengujian
dan/atau kalibrasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan metode
1) Semua metode pengujian harus
didokumentasikan dan divalidasi;
2) Semua metode tersebut harus dipelihara
kemutakhirannya dan tersedia untuk
personel yang tepat;
3) Metode harus diikuti secara benar
sepanjang waktu;
4) Personel yang bersangkutan harus dilatih
dan/atau dievaluasi kompetensinya
Validasi metode adalah konfirmasi dengan
cara menguji suatu metode dan melengkapi
bukti-bukti yang objektif apakah metode
tersebut memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dan sesuai tujuan tertentu
Fungsi Validasi Metode
1) memperoleh hasil yang dapat dipercaya
2) menentukan kondisi di mana hasil data
uji diperoleh
3) menentukan batasan suatu metode,
misalnya akurasi, presisi, batas deteksi,
pengaruh matrik, dan lain-lain.
LANJUTAN
Tujuan Validasi metode untuk mengetahui
sejauh mana penyimpangan yang tidak
dapat dihindari dari suatu metode pada
kondisi normal dimana seluruh elemen
terkait telah dilaksanakan dengan baik dan
benar.
Hal – hal yang harus divalidasi :
1) Metode non-standar
2) Metode yang didesain/dikembangkan
oleh laboratorium
3) Metode standar yang digunakan di luar
ruang lingkup (rentang) yang ditentukan
4) Penegasan serta modifikasi metode
standar untuk konfirmasi bahwa metode
tersebut sesuai penggunaan yang
dimaksud
Hal-hal yang biasanya menjadi bahan
pertimbangan dalam melaksanakan validasi
metode adalah :
1) keterbatasan biaya, waktu, dan personel
2) kepentingan laboratorium
3) kepentingan pelanggan
4) diutamakan untuk pekerjaan yang
bersifat rutin.
Good Analytical Practice: Praktek
melakukan pengukuran yang baik (Good
Measurement Practice)
setiap peralatan harus ada dan disimpan yang
meliputi :
1) Nama peralatan, deskripsi dan nomor seri.
2) Tanggal perolehan peralatan (delivery)
3) Data maintenance, kalibrasi dan perbaikan,
4) Keselamatan yang diperlukan bagi setiap
peralataan utama.
5) Bukti bahwa suatu peralatan tertentu
menghasilkan data analisa atau test yang sesuai
standar dan memadai untuk kontrak atau
peraturan
Selang waktu antar kalibrasi harus sesuai
dengan standar nasional atau internasional.
Apabila standar tidak ada, peralatan
dikalibrasi pada interval sesuai tujuan
standar. Untuk peralatan yang didasarkan
pada perbandingan dan bahan pengukuran
mutlak, kalibrasi awal harus dilakukan untuk
menjamin ketelitian (accuracy) hasil analisa.
Good Analytical Practice :Praktek
mendokumentasikan hasil pengujian data yang
baik (Good Dokumentation Practice)
Rekaman data hasil uji, pemrosesan, serta penerbitan
laporan hasil uji merupakan unsur yang sangat penting
dalam keseluruhan proses pengujian. Rekaman dapat
berupa hard copy atau media elektronik. Seluruh
rekaman data yang berhubungan dengan pengujian
harus mudah dibaca, didokumentasikan, dan dipelihara
sedemikian rupa sehingga rekaman tersebut dapat
mudah diperoleh kembali dengan cepat sampai batas
waktu yang ditentukan. Selain itu, rekaman tersebut
harus disimpan pada lokasi yang memadai untuk
mencegah kerusakan, kehilangan dan harus dijamin
aman serta rahasia. Biasanya rekaman disimpan selama
5 tahun, dan kemudian dimusnahkan sesuai prosedur
yang ditetapkan oleh laboratorium.
Fungsi Pencatatan Atau Rekaman untuk
mendokumentasikan apa yang diperoleh
dari perhitungan atau pengamatan orisinil
tanpa direkayasa
Untuk meminimalkan kesalahan rekaman,
laboratorium harus melaksanakan usaha-usaha,
antar lain :
1. Meningkatkan kesadaran personel penanggung
jawab melalui pelatihan atau pengarahan dari
atasannya
2. Pemeriksaan oleh operator yang berbeda
3. Pemeriksaan perhitungan oleh orang lain
4. Perhitungan kembali dengan metode yang
berbeda
5. Verifikasi data atau hasil perhitungan.
• Apabila kesalahan tetap terjadi dalam suatu
rekaman, setiap kesalahan harus dicoret.
Tidak diperkenankan untuk menghapus atau
menghilangkan data aslinya, sehingga
membuat tidak dapat terbaca. Cara yang
benar adalah : nilai yang salah dicoret, dan
nilai yang benar ditulis disampingnya.
• Semua perubahan dalam rekaman harus
ditandatangani atau diparaf oleh orang yang
melakukan koreksi.
Good Analytical Practice: Praktek menjaga
akomodasi dan lingkungan kerja yang baik
(Good Housekeeping Practice).
Laboratorium harus mempunyai ukuran,
konstruksi, lokasi dan sistem pengendalian
yang memadai agar dapat memenuhi tugas
dan fungsi laboratorium
Kondisi akomodasi dan lingkungan dapat
berpengaruh terhadap :
1. Kondisi contoh yang akan diuji.
2. Kinerja peralatan laboratorium.
3. Personel laboratorium.
4. Kesesuaian kondisi yang dipersyaratkan.
Fasilitas Laboratorium Fasilitas laboratorium
yang harus dipenuhi adalah:
1. Ventilasi
2. Sumber Energi
3. Persediaan Air
4. Alat Keselamatan
5. Meja Kerja dan Area kerja Personel
Laboratorium
Fasilitas dan peralatan keselamatan harus
tersedia untuk menjamin lingkungan kerja
yang bersih dan aman :
1. Almari asam dan almari pengaman
2. Informasi safety
3. Alat untuk menangani tumpahan bahan kimia
4. Pakaian kerja dan alat pelindung diri
5. Saluran air dengan kran dan shower
6. Saluran gas dengan kran sentral
7. Jaringan listrik yang dilengkapi dengan sekering atau pemutus
arus
8. Kotak P3K yang berisi lengkap obat
9. Nomor telepon kantor pemadam kebakaran, rumah sakit, dan
dokter
10. Alat pemadam kebakaran yang siap pakai dan mudah dijangkau,
bak berisi pasir kering dengan sekop, selimut anti api
11. Fasilitas pembuangan limbah
• Upaya untuk memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan
cara pencegahan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Beberapa isu K3 RS yang penting adalah :
• Keselamatan pasien dan pengunjung
• Keselamatan dan kesehatan petugas
kesehatan
• Keselamatan bangunan
• Keselamatan lingkungan
• Suatu proses pelayanan • is a new healthcare
pasien yang aman terdiri
dari: discipline that
1. Asesmen risiko emphasizes the
2. Identifikasi dan reporting, analysis,
manajemen risiko and prevention of
3. Pelaporan dan analisis medical error that
insiden
4. Tindak lanjut dan solusi
often leads to
untuk meminimalkan adverse healthcare
timbulnya risiko events.
adalah terciptanya :
cara kerja,
lingkungan kerja yang sehat, aman,
nyaman, dan
dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan karyawan RS.
1. Bagi RS :
a. Meningkatkan mutu pelayanan
b. Mempertahankan kelangsungan operasional RS
c. Meningkatkan citra RS.
2. Bagi karyawan RS :
a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK)
b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
3. Bagi pasien dan pengunjung :
a. Mutu layanan yang baik
b. Kepuasan pasien dan pengunjung
5 prinsip dasar
dalam penerapan SMK3

Peningkatan
Berkelanjutan
Faktor-faktor yg mempengaruhi
kesehatan tenaga kerja
Beban Lingkungan
kerja kerja
-Fisik -Fisik
-Mental -Kimia
-Biologi
-Ergonomi
-Psikologi
Kapasitas kerja
- Ketrampilan
- Kesegaran jasmani &
rohani
- Status kesehatan/gizi
- usia
- Jenis kelamin
- Ukuran tubuh
Kecelakaan Kerja
• Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga
dan tidak diharapkan. Biasanya kecelakaan
menyebabkan, kerugian material dan penderitaan dari
yang paling ringan sampai kepada yang paling berat.

Kecelakaan di laboratorium dapat berbentuk 2 jenis yaitu :


1. Kecelakaan medis, jika yang menjadi korban pasien
2. Kecelakaan kerja, jika yang menjadi korban petugas
laboratorium itu sendiri.
• adalah instrumen, aparatus, mesin dan
atau implan yang tidak mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan,
meringankan penyakit dan merawat orang
sakit.
• Beberapa sarana Keselamatan kerja yang
perlu diawasi antara lain bejana tekan uap,
penangkal petir, sistem pemadaman
kebakaran, sistem jaringan gas medis.
Sarana tesebut perlu mendapat
pemeliharaan dan pengawasan sehingga
aman dalam pengoperasiannya.
• Kebakaran terjadi apabila terdapat tiga unsur
bersama-sama. Unsur-unsur tersebut adalah
adalah oksigen, panas dan bahan yang mudah
terbakar. Bahan yang mudah terbakar di Rumah
Sakit antara lain ethyl eter, ethylene oxide dan
ethyl alcohol.
• Sebagai tempat layanan umum perlu
disediakan peralatan pemadaman kebakaran
mulai dari APAR, Hydran hingga sistem
pemadaman Otomatis. Jalur evakuasi juga perlu
dipasang.
• Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian
yang dapat menimbulkan kematian atau luka
serius bagi pekerja, pengunjung ataupun
masyarakat atau dapat menutup kegiatan usaha,
mengganggu operasi, menyebabkan kerusakan
fisik lingkungan ataupun mengancam finansial
dan citra RS.
• Sistem Tanggap Darurat RS : BSB dan Internal.
ü SMK3 RS: lingkungan kerja aman, sehat dan
nyaman baik bagi karyawan, pasien, pengunjung
ataupun masyarakat di sekitar RS.
ü Pengelolaan K3 di RS dapat berjalan dengan
baik bila ada komitmen pimpinan
puncak/Direktur RS.
ü Perlu pemahaman, kesadaran dan perhatian
yang penuh dari segala pihak yang terlibat di RS,
sehingga apa yang diharapkan bisa tercapai.
TERIMA KASIH
IMUNODEFISIENSI
PENYIMPANGAN FUNGSI SISTEM IMUN

FUNGSI HIPER HIPO


PERTAHANAN HIPERSENSITIF DEFISIENSI IMUN

HOMEOSTASIS AUTOIMUN _
PENGAWASAN _ KEGANASAN

Defisiensi imun:
• Tidak adanya atau kegagalan dari satu atau lebih
komponen sistem imunitas
• Menyebabkan penyakit defisiensi imun
KLASIFIKASI IMUNODEFISIENSI
 Spesifik dan Non-spesifik
 Spesifik: abnormalitas dari Sel B dan T
 Non-spesifik: abnormalitas dari komponen imun non-spesifik

 Primer dan sekunder


 Primer :
- kongenital, abnormalitas dapat pada imunitas spesifik maupun
non-spesifik
- Diklasifikasi berdasarkan lokasi lesi pada jalur perkembangan
maupun jalur deferensiasi sistem imun
 Sekunder : didapat
- obat obatan: kortikosteroid, mtx, siklosporin
- malnutrisi
- mineral
- vitamin
- obesitas
PROTEKSI HOST PADA IMUNODEFISIENSI PRIMER DAN SEKUNDER
MEKANISME IMUNODEFISIENSI
4 KOMPONEN SISTEM IMUN:

1. IMUNITAS SELULER
2. IMUNITAS HUMORAL
3. FAGOSITOSIS
4. KOMPLEMEN

INFEKSI DAN PENYAKIT KRN


1. VIRUS
2. BAKTERI
3. PROTOZOA
4. FUNGI
5. NON REPLICATING AGENT

* DEFISIENSI IMUN DAPAT DISEBABKAN OLEH 1 ATAU LEBIH KELAINAN


DEFISIENSI PENYAKIT RESPON IMUN INFEKSI PENGOBATAN

HUMORAL SELULER

KOMPLEMEN DEFISIENSI C3 NORMAL NORMAL BAKTERIOGENIK ANTIBIOTIK

SEL MIELOID GRANULOMAT NORMAL NORMAL BAKTERI, ANTIBIOTIK


OUS KRONIK MATALASE,
JAMUR
SEL B AGAMAGLOBU BAKTERI GAMA
LINEMIA INF. PIOGENIK, GLOBULIN
BRUTON NORMAL PNEUMOCYSTIS
CARINII
SEL T HIPOPLASIA VIRUS ,CANDIDA TRANSPL. TIMUS
TIMUS
DI-GEORGE

STEM SEL SCID SEMUA M.O TRANSPL. SUM


SUM TULANG
DEFISIENSI IMUN PRIMER
DEFISIENSI IMUN PRIMER
 Defisiensi sel B
ü X liked a gammaglobuinemia
ü IgA deficiency
ü IgG subclass deficiency
ü Immunodeficiency with increased Igm
ü Common variable immundeficiency
ü Transient hypogammaglobulinaemia of infancy

 Defisiensi sel T
ü Di Gerorge syndrome
ü Teleangiectasis
ü Wiscott-Aldrich
1. X-Linked Agamaglobulinemia
 Kegagalam maturasi sel B

 Laki laki

 Sel B dl darah :<< atau (-) atau <<

 Limfonodus dan tonsil sangat kecil

 Ig (-)

 Sedikit Ig G pada usia dini

 Recurrent pyogenic infection


2. Defisiensi IgA dan IgG
 Kegagalan pada diferensiasi akhir sel B

 Sering defisiensi IgA

 Pasien cenderung menderita peny.imun kompleks

 20% tidak memiliki IgG2 dan IgG4

 Patients tend to develop immune complex disease

 Susceptible to pyogenic infection


3. Defisiensi imun dengan peningkatan IgM
(HIgM)
 Pada pasien dengan defisiensi IgA dan IgG

 Ketidak mampuan sel B dalam switching isotipe

 Produksi IgM poliklonal >200mg/dl

 Susceptible to pyogenic infection

 Th/iv gamma globulin


4. Common Variable immunodeficiency (CVID)
 Gangguan pada sinyal sel T terhadap sel B
 Acquired a gammaglobulinemia pada dekade ke 2 dan 3
kehidupan
 Pyogenic infection
 Sel B normal, tapi 80% tidak berfungsi

5. Hipogamaglobulinemia pada infant


 Keterlambatan sintesis IgG (sp 36 bulan, normal 3 bulan)
 sel B : normal

 Kemungkinan gangguan sel T


DEFISIENSI SEL T
1. Di George’s syndrome
 Defisiensi sel T limfopenia

 Dikenal sebagai congenital thymic aplasia/hypoplasia

 Kegagalan perkembangan kantong pharingeal III dan IV


pada minggu ke 6-10 kehamilan
 Diikuti kelainan jantung kongenital dan hipoparatiroid

 Sel B normal, Fungsi terganggu

 Infeksi berulang
DEFISIENSI SEL T DENGAN GANGGUAN SEL B
1. Ataksia- teleangiektasis
 Gangguan fungsi Sel T dalam berbagai tingkat
 Sel B normal, IgM normal atau menurun
 IgG dan IgA menurun
 Gangguan pada pembentukan kromosom 14 pada TCR dan
gen Ig heavi chain
 Berhubungan dengan ataksia dan teleangiektasis
 Insiden tinggi pada keganasan terutama lekemia
1. Sindrom Wiscott- Aldrich
 Gangguan fungsi sel T Gangguan fungsi Sel T
dalam berbagai tingkat
 IgM menurun, IgG normal
 IgG dan IgA meningkat
 Pada anak laki laki sering diikuti eksim
 Respon buruk terhadap Ag polisakarida dan rentan
Defisiensi MHC
 Gangguan pada gen protein MHC class II
transactivator (CIITA) menyebabkan tidak adanya
molekul MHC klas II pada APC
 CD 4 <> rentan infeksi
 Gangguan gen transport associated protein (TAP)
tidak mengekspresikan Molekul MHC klas II CD8<<
Defisiensi sel Fagosit
Gangguan jumlah dan fungsi sel fagositinfeksi
1-Cyclic neutropenia
 Penurunan jumlah netrofil perifer setiap 3 minggu
rentan infeksi
 Disebabkan gangguan regulasi produksi netrofil
2- Chronic granulomatous disease
(CGD):
CGD is characterized by marked
lymphadenopathy, hepato- splenomegaly and
chronic draining lymph nodes.
 In majority of patients with CGD, the deficiency
is due to a defect in NADPH oxidase that
participate in phagocytic respiratory burst.
3- Leukocyte Adhesion Deficiency:
o Leukocytes lack the complement receptor CR3
due to a defect in CD11 or CD18 peptides and
consequently they cannot respond to C3b
opsonin.
o Alternatively there may a defect in integrin
molecules, LFA-1 or mac-1 arising from
defective CD11a or CD11b peptides,
respectively.
o These molecules are involved in diapedesis and
hence defective neutrophils cannot respond
effectively to chemotactic signals.
4- Chediak-Higashi syndrome:
 This syndrome is marked by reduced (slower
rate) intracellular killing and chemotactic
movement accompanied by inability of
phagosome and lysosome fusion and proteinase
deficiency.
 Respiratory burst is normal.
 Associated with NK cell defect, platelet and
neurological disorders
SEVERE COMBINED
IMMUNODEFICENCY
 In about 50% of SCID patients the
immunodeficiency is x-linked whereas in
the other half the deficiency is autosomal.
 They are both characterized by an
absence of T cell and B cell immunity
and absence (or very low numbers) of
circulating T and B lymphocytes.
 Patients with SCID are susceptible to a
variety of bacterial, viral, mycotic and
protozoan infections.
 The x-linked SCID is due to a defect in gamma-chain
of IL-2 also shared by IL-4, -7, -11 and 15, all involved
in lymphocyte proliferation and/or differentiation.

 The autosomal SCIDs arise primarily from defects in


adenosine deaminase (ADA) or purine nucleoside
phosphorylase (PNP) genes which results is
accumulation of dATP or dGTP, respectively, and
cause toxicity to lymphoid stem cells
Diagnosis
Is based on enumeration of T and B cells and
immunoglobulin measurement.

Severe combined immunodeficiency can be treated


with bone marrow transplant
SECONDARY
IMMUBODEFICIENCY
DEFISIENSI IMUN PRIMER

1. DEFISIENSI SEL B
- AGAMAGLOBULINEMIA KONGENITAL BRUTON (X -LINKED)
- HIPOGAMAGLOBULINEMIA INFANTIL
- DEFISIENSI SUBKLAS IgA, IgM DAN IgG SELEKTIF

2. DEFISIENSI SEL T
- APLASIA TIMUS KONGENITAL (DI GEORGE SYNDROME)

3. KOMBINASI DEFISIENSI SEL B DAN T


- SEVERE COMBINEED IMMUNODEFICIENCY DISEASES (AUTOSOMAL
RERECESSIVE,
X-LINKED)
- D.I DG SINTESA Ig ABNORMAL
- D.I DG ATAKSIA DAN TELEANGIEKTASIS (WISCOT-ALDRICH SYNDROME)
- D.I DG DEFISIENSI ADENOSIN DEAMINASE

4. DISFUNGSI FAGOSIT
- GRANULOMA KRONIK
- DEFISIENSI G-6-P DEHIDROGENASE
- CHÉDIAK-HIGASHI SYNDROME
AGAMAGLOBULINEMIA KONGENITAL BRUTON (X -LINKED)

 KLN PADA KROMOSOM X  MENGENAI ANAK LK2


 INFEKSI BERULANG MULAI USIA 5-6 BL (IgG DR IBU )
 INFEKSI PIOGENIK OK S.PNEUMONIA, S.PYOGEN,
P.AEROGINOSA, H.INFLUENZA
 IgM, IgA, IgD, IgE (-) , IgG<<
 LIMFOSIT B PERIFER (-)

HIPOGAMAGLOBULINEMIA INFANTIL (TRANSIEN)

 ETILOGI : ?
 BAYI USIA 5-6 BL : IgG (MG KE 16 KEHAMILAN TRANSFER
IgG PASIF, STLH LAHIR )
 INFEKSI SALURAN NAFAS BERULANG
 DEFISIENSI LIMFOSIT DAN PENURUNAN PRODUKSI Ig OLEH
SEL B
 DAPAT NORMAL KEMBALI SETELAH USIA 4 TH
DEFISIENSI SUBKLAS IgA, IgM DAN IgG SELEKTIF

 ETOLOGI : ?
 DEFISIENSI HANYA PADA SUBKLAS Ig, Ig LAIN NORMAL
 IMUNITAS SELULER : NORMAL
 GEJALA TERGANTUNG Ig YANG DEFISIENSI:
- INFEKSI SINOPULMONARI BERULANG
- ALERGI
- GANGGUAN G I T
- PENYAKIT AUTOIMUN
SEVERE COMBINED IMMUNODEFICIENCY DISEASE (SCID)

 X-LINKED, AUTOSOMAL
 BERHUBUNGAN DG DEFISIENSI ENIM
ADENOSIN DEAMINASE
 LIMPOFENIA
 IMUNITAS SELULER DAN HUMORAL (-)
 GEJALA MULAI USIA 6 BULAN (KRN
IgG DR IBU )
 RENTAN THD INFEKSI
 GEJALA AWAL: KANDIDIASIS ORAL
RESISTEN
 INFEKSI VR, BK, FG, PR BERULANG
DIARE KRONIK, DERMATITIS
EKSFOLIATA, PNEUMONIA, OMC,
SEPSIS
 HEPATOSPLENOMEGALI,
LIMFADENOPATI
 GGN. PERTUMBUHAN
GRANULOMATOSA KRONIK
 DEFEK SEL FAGOSIT ( DEF. MEKANISME IMUN NON-SPESIFIK)
 GGN KROMOSOM XMUTASI GEN SITOKROM OKSIDASE SEL PMN TDK
MAMPU MEMBUNUH STAPH. YG SUDAH DIFAGOSIT
 INFEKSI AKUT/ KRONIK DG PENYEBAB YG TDK BIASA/ VIRULENSI RENDA H
PD USIA < 2 TH
 LIMFADENOPATI, HEPATOSPLENOMEGALI

DEFISIENSI G-6-P DEHIDROGENASE


 G-6-P DEHIDROGENASE LEUKOSIT (-)
 GEJALA SPT GRANULOMATOSA KRONIK

CHÉDIAK-HIGASHI SYNDROME
 KLN MULTISISTIM, AUTOSOMAL RESESIF
 DEFEK PD KEMOTAKSIS NETROFIL, PENGHANCURN MIKROBA
INTRASELULER
 INFEKSI BAKTERI BERULANG E.C BER-MACAM2 MIKROORGANISME
 HEPATOSPLENOMEGALI, ALBINISMUS PARSIAL, KLN SSP
 PROGNOSIS JELEK, TH/ SIMTOMATIS
IMUNODEFISIENSI SEKUNDER
DEFISIENSI IMUN SEKUNDER
1. D.I KRN MALNUTRISI
PCM BERAT DEPRESI IMUNITAS SELULER
2. D.I KRN DEFISIENSI ZINC DAN VITAMIN A, E, PIRIDOKSIN, AS.FOLAT 
HIPOPLASIA LIMFOID, DEFISIENSI IMUN S/H
3. D.I KARENA INFEKSI VIRUS, BAKTERI, PARASIT
 DEPRESI IMUNITAS S/H
4. D.I KRN PROTEIN (ENTEROPATI, SINDROMA NEPROTIK)
5. D.I KRN LUKA BAKAR  KLN IMUNOLOGIS LUAS
6. D.I KRN INDUKSI RADIASI DAN OBAT2AN IMUNOSUPRESIF (STEROID,
SITOTOKSIK)
7. OPERASI DG ANASTESI UMUM  DEPRESI FUNGSI IMUN TRANSIEN
SPLENEKTOMI DEPRESI SISTIM IMUN
8. AQCUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME ( A I D S)
9 PENYAKIT AUTOIMUN ?
SECONDARY IMMUNODEFICIENCY

PRODUCTION LOSS OR CATABOLISM

. MALNUTRITION . NEPHROTIC SYNDROME


. LYMPHOPROLIFERATIVE DISSEASES . PROTEIN-LOSING ENTEROPATHY
CLL . BURNS
MALIGNANCIES
. DRUGS
IMMUNOSUPRESSIVE DRUG
ANTIBIOTICS
. INFECTION
VIRAL (HEPATITIS, MEASLES,HIV)
BACTERIAL (TBC, LEPROSY,SYPHILIS
DEFISIENSI IMUN KARENA OBAT
CORTICOSTEROIDS
 Menyebabkan perubahan limfosit dalam sirkulasi

 Penurunan CD4

 Monositopenia

 Eosinofil f=dan basofil dl sirkulasi menurun

 Gangguan aktivasi sel T dan maturasi sel B

 Gangguan sintesis sitokin

METHOTREXATE
 Analog struktur asam folat  sintesis DNA

 Jangka panjanggangguan sintesis Ig

CYCOLOSPORIN
 Efek yang berat pada sinyal dan fungsi sel T

 Menghambat IL-12
A I DS

 DISEBABKAN OLEH VIRUS HIV


 KLN: GEJALA IMUNOSUPRESI
 JUMLAH LIMFOSIT T, Th (CD4)
 RESPON LIMFOSIT T THD MITOGEN DAN SEL ALLOGENEIK
 AKTIFITAS SEL NK
 SINDROMA SEHUBUNGAN DENGAN DEFISIENSI LIMFOSIT T
- INFEKSI OPORTUNISTIK (PNEUMOSISTIS CARINII, KANDIDA)
- INFEKSI KRONIS ( CITOMEGALOVIRUS, HERPES)
- INSIDEN NEOPLASTIK (KAPOSI’S SARCOMA, BURKIT’S
LYMPHOMA, SQUAMOUS CELL CARCINOMA)
 VIRUS PD CAIRAN TUBUH (DARAH, SEMEN, ASI)
 PENULARAN HORIZONTAL DAN VERTIKAL
 RESIKO TINGGI: - HOMOSEKS
- PEKERJA SEKS
- PENGGUNA NARKOBA
- NA-KES
- PENDERITA HEMOFILIA
Progresivitas AIDS

1. Iinfeksi

2. viremia

3. Respon imun thd HIV : generasi Tc


antibodi HIV (seroconversion)

4. temporary reduction of virus-infected


CD4 T cells (due to HIV-induced
apoptosis and T cell attack)

5. partial recovery of CD4 T cell number

6. Penurunan gradual dl 2-15 th

7. AIDS (CD4 T < 200)


PEMERIKSAAN PADA
PENYAKIT
IMUNODEFISIENSI
 Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang
sangat penting untuk mengetahui penyakit
defisiensi imun. pada tahap pertama dapat
dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
 Pemeriksaan darah tepi
 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
 Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA,
IgM, IgE)
 Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya
(fungsi IgG)
 Titer antibodi Tetatus, Difteri
 Titer antibodi H.influenzae

 Penilaian komplemen (komplemen hemolisis


total = CH50)
 Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP,
kultur dan pencitraan yang sesuai)
PEMERIKSAAN LANJUTAN PADA
PENYAKIT DEFISIENSI IMUN
Defisiensi Sel B
Uji Tapis:
 Kadar IgG, IgM dan IgA
 Titer isoaglutinin
 Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri,
H.influenzae)
 Uji lanjutan:
 Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
 Kadar subklas IgG
 Kadar IgE dan IgD
 Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli
 Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus
 Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
 Riset: 
Fenotiping sel B lanjut
Biopsi kelenjar
Respons antibodi terhadap antigen khusus misal
phage antigen
Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris
Sintesis Ig in vitro
Analisis aktivasi sel
Analisis mutasi
 
 Defisiensi sel T
 Uji tapis:
 Hitung limfosit total dan morfologinya
 Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T
total, Th dan Ts
 Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid
tetanus, tuberkulin
 Foto sinar X dada : ukuran timus
 Uji lanjutan: 
 Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)
 Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan
sel alogeneik
 HLA typing
 Analisis kromosom
 Riset:
 Advance flow cytometry
 Analisis sitokin dan sitokin reseptor
 Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)
 Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase
nukleoside purin/PNP)
 Pencitraan timus dab fungsinya
 Analisis reseptor sel T
 Riset aktivasi sel T
 Riset apoptosis
 Biopsi
 Analisis mutasi
 Defisiensi fagosit
 Uji tapis:
 Hitung leukosit total dan hitung jenis
 Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi :
fungsi metabolik neutrofil
 Titer IgE
 Uji lanjutan: 
 Reduksi dihidrorhodamin
 White cell turn over
 Morfologi spesial
 Kemotaksis dan mobilitas random
 Phagocytosis assay
 Bactericidal assays
 Riset: 
 Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan
selektin)
 Oxidative metabolism

 Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD,


NADPH)
 Analisis mutasi
 Defisensi komplemen
 Uji tapis:
 Titer C3 dan C4
 Aktivitas CH50
 Uji lanjutan: 
 Opsonin assays
 Component assays
 Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
 Riset:
 Aktivitas jalur alternatif
 Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune
adherence)
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang
diagnosis penyakit alergi dan imunologi antara
lain :
a. cara intradermal
b. uji tusuk (prick test)
c. uji gores (scratch test)
d. patch test (uji tempel).
Tiap jenis pemeriksaan mempunyai sensitivitas
dan spesifitas yang berbeda.
Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alergen
ialah adanya reaksi wheal and flare pada kulit
untuk membuktikan adanya IgE spesifik
terhadap alergen yang diuji (reaksi tipe I).
Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat
menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi
masa sensitisasinya lebih pendek hanya
beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa
sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa
minggu. Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20
menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah
4-8 jam.
Alergi Tipe 1 (IgE-mediated) adalah hasil dari
produksi IgE spesifik dari alergen. Alergi yang
dimediasi IgE, termasuk rhinitis alergi, asma,
dermatitis atopik, anafilaksis, urticaria dan
angioedema akut, alergi makanan, alergi racun
serangga, lateks alergi dan beberapa alergi
obat.
Cara :
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml
semprit tuberkulin disuntikkan secara
superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm
gelembung. Dimulai dengan konsentrasi
terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian
ditingkatkan berangsur masing-masing dengan
konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan
indurasi 5-15 mm.
Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk
titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian
injeksi intradermal tidak direkomendasikan
untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens
dan makanan, tetapi mungkin untuk
mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat.
Ini membawa resiko lebih besar anafilaksis dan
harus dilakukan dengan tenaga medis yang
berkopeten melalui pelatihan spesialis.
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan
lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang
paling baik adalah pada lengan bawah bagian
dalam dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari
lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak
alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan
pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau
jarum yang dimodifikasi, atau dengan
menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk.
Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali
lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji
intradermal.
Dengan menggunakan sekitar 5 ul ekstrak pada
kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi
anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk
mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan
dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya
lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang
lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif
digunakan 0,01% histamin pada uji intradermal
dan 1% pada uji tusuk
Gunanya: memeriksa alergi terhadap alergen
yang dihirup (debu, tungau, serbuk bunga) dan
alergen makanan (susu, udang, kepiting),
hingga 33 jenis alergen atau lebih.
Hasil tes diketahui dalam 15 menit.
Interpretasi hasil : positif alergi terhadap
alergen tertentu, akan timbul bentol merah
yang gatal di kulit.
Harus dilakukan oleh dokter yang ahli di bidang
alergi-imunologi karena tehnik dan interpretasi
(membaca hasil tes) lebih sulit dibanding tes
lain.
Metode lain adalah dengan menerapkan alergi
untuk sebuah patch yang kemudian diletakkan
pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk
menunjukkan yang memicu dermatitis kontak
alergi. Jika ada alergi antibodi dalam sistem
anda, kulit anda akan menjadi gatal, lebih
mirip gigitan nyamuk.
Dua hari sebelum tes, pasien tidak boleh
melakukan aktivitas yang berkeringat atau mandi.
Punggungnya pun tidak boleh terkena gesekan dan
harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
Tes akan dilakukan di kulit punggung.
Caranya, dengan menempatkan bahan-bahan kimia
dalam tempat khusus (finn chamber) lalu
ditempelkan pada punggung pasien. Selama
dilakukan tes (48 jam), pasien tidak boleh terlalu
aktif bergerak.
Hasil tes didapat setelah 48 jam. Bila positif alergi
terhadap bahan kimia tertentu, di kulit punggung
akan timbul bercak kemerahan atau melenting.
 Bahan Penutup
 Untuk uji tempel tertutup digunakan bahan
penutup yang merupakan suatu kesatuan,
disebut Unit Uji tempel, yang terdiri atas:
 Kertas saring berbentuk bulat atau persegi,
dengan diameter kira-kira 1 cm.
 Bahan impermeabel dengan diameter kira -
kira 2,5 cm.
 Plester dengan diameter kira -kira 4,5 cm
 Cara Penempelan
 Bahan ditempelkan pada kulit dengan jarak
satu sama lain cukup jauh sehingga jika
terjadi reaksi tidak saling mengganggu.
Menempelnya cukup lekat, tidak mudah
lepas, sehingga penyerapan bahan lebih
sempurna
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaa n
dilakukan 15-25 menit kemudian, supaya kalau ada
tanda- tanda akibat tekanan, penutupan dan
pelepasan dari Unit uji tempel yang menyerupai
bentuk reaksi, sudah hilang.
Cara penilaian:
+ / - : hanya eritem lemah: ragu -ragu
+ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif
lemah
++ : eritem, infiltrasi, papul, vesikel: positif
kuat
+++ : bula: positif sangat kuat
- : tidak ada kelainan : iritasi
NT : tidak diteskan
Gunanya: mengetahui alergi terhadap alergen
hirup dan alergen makanan
Prosedur:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun
dan tidak menggunakan obat-obatan.
Dalam tes ini, sampel serum darah anak akan
diambil sebanyak 2 cc, lalu diproses dengan
mesin komputerisasi khusus. Hasilnya diketahui
setelah 4 jam.
Gunanya: mengetahui alergi terhadap
makanan tertentu.
Prosedur:
Dapat dilakukan pada semua usia anak.
Diagnosis alergi makanan dibuat
berdasarkan diagnosis klinis, yaitu
anamnesis atau riwayat penyakit anak
dan pemeriksaan yang cermat tentang
riwayat keluarga, riwayat pemberian
makanan dan tanda serta gejala alergi
makanan sejak kecil.
“Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka
Sederhana”.
Caranya: dalam diet sehari-hari anak,
dilakukan eliminasi (dihindari) beberapa
makanan penyebab alergi selama 2–3 minggu.
Setelah itu, bila sudah tidak ada keluhan
alergi, maka dilanjutkan dengan provokasi
makanan yang dicurigai. Selanjutnya,
dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan
dalam 1 minggu dan bila timbul gejala dicatat.
Gunanya: mengetahui alergi terhadap obat yang diminum.
Prosedur:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun.
Metode yang digunakan adalah DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. Caranya, pasien minum
obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu
reaksinya dengan interval 15–30 menit.
Dalam satu hari, hanya boleh satu macam obat yang dites.
Bila perlu dilanjutkan dengan tes obat lain, jaraknya
minimal satu minggu, bergantung dari jenis obatnya
 Uji kulit tipe lambat digunakan untuk
mengukur reaksi imunologi selular secara in
vivo dengan melihat terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat setelah
penyuntikan antigen yang sudah dikenal
sebelumnya (recall antigen) pada kulit.
Uji ini menggunakan antigen spesifik yang
disuntikkan secara intradermal. Antigen yang
digunakan biasanya yang telah berkontak
dengan individu normal, misalnya tetanus,
difteria, streptokokus, tuberkulin (OT),
Candida albicans, trikofiton, dan proteus.
Gunakan aplikator sekali pakai yang berisi
semua antigen tersebut dengan larutan gliserin
sebagai kontrol. Kit ini mengandung 7 jenis
antigen (Candida albicans, toksoid tetanus,
toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine,
trikofiton, dan proteus) serta kontrol gliserin
secara bersamaan sekaligus dapat diuji
Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan
dalam keadaan layak pakai, perhatikan cara
penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus
diingat bahwa kortikosteroid dan obat
imunosupresan dapat menekan reaksi ini
sehingga memberi hasil negatif palsu. Setelah
itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah
berkontak sebelumnya dengan antigen yang
akan digunakan.
Gunakan aplikator yang dapat digunakan banyak
antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup
antigen, harus dengan posisi menghadap ke atas
sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada
aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang
mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan sebagainya).
Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan
bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara
intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak
subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing
lokasi antigen.
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah
24 jam hasil tes tetap negatif maka cukup
aman untuk memberikan dosis antigen yang
lebih kuat. Indurasi yang terjadi harus diraba
dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur
dalam mm dengan diameter melintang (a) dan
memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan
formula (a+b):2. Suatu reaksi disebut positif
bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.

Anda mungkin juga menyukai