Anda di halaman 1dari 3

Dongeng sebagai Pemantik Multiple Intelligence

Oleh Nurul Lathiffah

Persoalan mengenai perkembangan kecerdasan anak, selalu menjadi entry point yang
sangat menarik dalam pembicaraan seputar parenting, pengembangan potensi peserta
didik, bahkan hal ini akan selalu menarik karena setiap individu selalu menghajatkan
potensi kecerdasan itu berkembang dengan baik, matang, dan optimal. Bagaimanapun
juga, mutakhir kita mulai paham bahwa hasil pengukuran mengenai kecerdasan
intelektual yang disandarkan sepenuhnya pada para psikolog, bukanlah suatu hal yang
dapat menggaransi seorang anak sepenuhnya menjadi berhasil, apatah lagi sukses.

Kecerdasan intelektual yang diukur dengan tes psikologi memang kita perlukan, tetapi itu
hanya sebatas memahami dan mengetahui potensi kecerdasan yang sifatnya terberi.
Artinya, tanpa pengembangan dan semangat memperbaharui, kecerdasan intelegensi
tidak akan memiliki posisi penting. Kini, kita mulai paham bahwa sesungguhnya
kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi, apalagi
kecerdasan yang sifatnya kognitif. Kesuksesan seseorang, dapat ditentukan oleh sejauh
mana seseorang mampu mengembangkan potensi multiple intelligence. Kecerdasan
jamak, pada awalnya diperkenalkan oleh Howard Gardener yang menyebutkan 7 jenis
kecerdasan, yang jika dikelola, dan mendapat dukungan secara internal dan eksternal
maka ia akan berkontribusi untuk kesuksesan seseorang. Ketujuh potensi itu adalah
kecerdasan linguistik, logis matematis, spasial, natural, emosional, musikal, dan
kinestetis.

Pada perkembangan berikutnya, Danielle Golemann dan Ian Marshall, kemudian


menambah kajian dengan kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Tentu, penemuan
mengenai potensi kecerdasan dan penggalian mengenai potensi luhur manusia untuk
meraih sukses ini menimbulkan semacam gairah optimisme dalam hidup. Artinya, jika
seseorang tidak unggul dalam bidang bahasa, atau logika matematika, maka mereka tetap
memiliki peluang yang sama untuk sukses dengan cara mengembangkan kecerdasan
lainnya. Pun jika, seseorang sungguh hanya mampu memaksimalkan pengembangan
kecerdasan pada kerja keras, maka seseorang pun dapat menggapai kesuksesan.

Dengan diformulasikannya konsep mengenai kecerdasan berjuang (adversity question),


kita telah menumbangkan rezim yang hanya mengagungkan kecerdasan kognitif.
Sekaligus, kita juga telah mampu menempatkan budi pekerti dan akhlak mulia pada
posisi penting dalam kecerdasan yang mesti diupayakan oleh manusia. Kecerdasan
jamak, telah sangat kita hajatkan mampu kita kelola dengan baik sehingga ia menjadi
kekuatan bagi para orang tua untuk mendidik putra-putrinya. Lalu tiba-tiba, muncullah
berbagai lembaga pendidikan yang menawarkan konsep pembelajaran dengan
mengembangkan kecerdasan jamak. Kita, harus membayar mahal pendidikan yang akan
mendewasakan potensi kepribadian anak-anak.
Jika demikian, sangat terasakan betapa pendidikan berkualitas sangat mahal. Daya
jangkau masyarakat sementara masih rendah, namun kita tidak bisa menafikan bahwa
kebutuhan kita akan kebutuhan yang berkualitas adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar
lagi waktunya. Jika kita dihadapkan pada konfigurasi permasalahan yang demikian, maka
mau tidak mau kita harus memformulasikan suatu pendidikan yang mampu mem-back up
kecerdasan jamak pada setiap individu, dengan strategi yang paling mungkin, dan juga
realistis.

Kembali pada keluarga. Pendidikan semestinya kita kembalikan ke dalam sistem inti.
Nyatanya, kita memiliki instrumen yang dapat kita gunakan untuk memantikkan
kecerdasan majemuk dengan memberikan dongeng kepada anak-anak. Hal ini sangat
perlu, karena dongeng dalam medan fenomena anak-anak adalah stimulus yang mampu
memberikan banyak hal yang barangkali tidak mampu diberikan oleh televisi maupun
buku bacaan lain. Dongeng yang diberikan orang tua kepada anak pada saat menjelang
tidur bukan hanya sebagai pendidikan moral, pesan-pesan positif, tapi juga sebagai
perekat hubungan emosional, bahkan juga mampu menjadi sarana efektif untuk
berkomunikasi.

Dalam posisi menjelang terjaga, gelombang otak akan menyimpan dengan baik sugesti
positif sehingga kata-kata positif yang dibisikkkan pada anak akan menjadi hope
(harapan) dan power yang luar biasa bagi kehidupannya kelak. Mendongeng, adalah
suatu aktivitas yang terasa ringan dan barangkali sangat sepele. Namun, jika kita telisik
lebih dalam, ternyata dalam dongeng, kita mampu melejitkan kecerdasan emosi anak,
kecerdasan linguistik yang sifatnya spontan, kecerdasan sosial anak, bahkan mampu
menstimulasi anak untuk menyukai aktivitas yang berkaitan dengan bahasa semisal
membaca, menulis, dan mendengarkan. Padahal, kita juga sangat memahami bahwa
kecerdasan linguistik itu sangat bermanfaat dalam beragam hal.

Pun di sisi lain, dongeng yang diverbalisasikan menstimulasi anak untuk


mengembangkan kecerdasan visual dan imajinasinya, sehingga anak berperan aktif dan
mampu belajar untuk menjadi lebih kreatif. Latihan semacam ini, tentu akan sangat sulit
didapatkan oleh anak-anak, jika tidak ada dongeng yang diverbalisasikan. Selain itu, anak
akan lebih memiliki ekspresi yang diizinkan secara social, mampu menanggapi dan
merspon kata-kata, juga belajar mengambil hikmah dalam cerita.

Rasa-rasanya dongeng adalah instrumen pemantik kecerdasan jamak yang cukup sayang
untuk kita lewatkan. Mengembangkan potensin anak, bagaimanapun juga adalah tugas
dari orang tua dan betapa hal itu sangat dirindukan bagi anak. Tentu, masih banyak lagi
hikmah yang akan ditemukan dalam perjalanan memberi dongeng kepada anak.
Sejatinya, hanya diperlukan waktu luang, keikhlasan hati, kenyamanan psikis, dan sedikit
keterampilan berkomunikasi. Tentu ini bukan hanya pekerjaan para feminis. Lelaki pun,
memiliki tanggung jawab yang tidak kalah besarnya dibanding perempuan dalam
memberikan pendidikan.

Akhirnya, kini telah tersedia instrumen yang mampu membangkitkan potensi kecerdasan
majemuk anak. Hanya kini tinggal soal manajemen, komitmen, kesanggupan, dan
tanggung jawab. Rupanya disinilah tantangannya. Kesibukan, rasa lelah, kadang menjadi
penghalang yang seolah sangat menusiawi. Meski demikian, kita tetap harus sadar,
bahwa mendidik anak memang harus dibayar dengan kerja hati yang ikhlas, ketulusan,
ketelatenan, dan jiwa yang lapang. Sudahkah kita mengupayakannya?

__________

Nurul Lathiffah, aktivis Forum Kajian Perkembangan Lasi-per UIN Suka Yogyakarta

Sumber: http://www.klik-galamedia.com

Anda mungkin juga menyukai