Anda di halaman 1dari 2

Penerapan Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru pemerintah berupaya menegakkan kembali prinsip-prinsip politik luar negeri bebas
aktif. Penerapan politik luar negeri bebas aktif oleh pemerintah Orde Baru sebagai berikut.

1. Mengakhiri Konfrontasi dengan Malaysia


Upaya mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia telah dilakukan secara diam-diam oleh sebagian
anggota Angkatan Darat (AD) sebelum pemerintah Orde Baru berkuasa. Upaya tersebut dilakukan karena
dalam tubuh AD terdapat beberapa anggota yang tidak sejalan dengan pemikiran Presiden Soekarno
mengenai konfrontasi dengan Malaysia.
Pada 1964 Letjen Ahmad Yani bertemu dengan para perwira kostrad dan menceritakan
kekhawatirannya terhadap gerakan konfrontasi terhadap Malaysia. Dalam pandangan Letjen Ahmad Yani,
dirinya tidak rela apabila pasukan elite Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dilibatkan dalam
konfrontasi yang dilakukan oleh Kabinet Dwikora. Menanggapi hal tersebut, seorang perwira staf intel dan
operasi khusus di Kostrad yaitu Letnan Kolonel Ali Moertopo menyatakan kesediaan untuk melaksanakan
tugas mengakhiri rencana konfrontasi.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Ali Moertopo melibatkan beberapa pihak seperti, Benny Moerdani
dan Aloysius Sugianto. Selain itu, Ali Moertopo melibatkan mantan petinggi Permesta di Sulawesi Utara
seperti Jerry Sumendap, Daan J. Mogot, Welly Pesik, Jan Walandauw, Ventje Sumual, dan Des Alwi sebagai
seorang yang pernah terlibat PRRI–Permesta di luar negeri. Mereka secara diam-diam melakukan kontak
dengan pihak Malaysia untuk merundingkan perdamaian. Melalui berbagai upaya tersebut, Malaysia
bersedia mengatur pembebasan anggota ABRI dan sukarelawan yang sebelumnya ditangkap pemerintah
Malaysia.
Misi rahasia yang dilakukan oleh sebagian anggota AD membuka jalan terang perdamaian ketika
pemerintah Orde Baru mulai memegang kendali kepemimpinan negara. Menteri Luar Negeri (Menlu)
Adam Malik secara formal bertemu Menlu Malaysia, Tun Abdul Razak untuk merumuskan perdamaian
pada 29 Mei–1 Juni 1966 di Bangkok, Thailand. Dengan perjanjian damai tersebut, Indonesia dan Malaysia
akhirnya dapat melakukan kerja sama bilateral di berbagai bidang.

2. Kembali menjadi Anggota PBB


Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno Indonesia pernah menyatakan keluar dari
keanggotaan PBB. Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh diterimanya Malaysia sebagai anggota Dewan
Keamanan tidak tetap PBB pada 1965. Kondisi tersebut menandai kerenggangan hubungan Indonesia
dengan negara-negara Barat.
Pada masa Orde Baru Presiden Soekarno berupaya menegakkan kembali prinsip politik bebas
aktif. Dengan pelaksanaan politik bebas aktif tersebut, Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada
28 September 1966. Kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB mendorong Indonesia berperan aktif
dalam menjaga perdamaian dunia, seperti sebagai mediator konflik di Kamboja dan di Filipina, serta
pengiriman kontingen Garuda ke daerah-daerah konflik di Timur Tengah.
3. Memprakarsai Pembentukan ASEAN
Pembentukan ASEAN tidak lepas dari dinamika politik di kawasan Asia Tenggara pada masa Perang Dingin.
Saat itu, kawasan Asia Tenggara menjadi perebutan pengaruh ideologi antara blok Barat dan blok Timur. Perebutan
pengaruh terjadi karena Asia Tenggara merupakan kawasan yang diperhitungkan dalam tataran geopolitik dan
geoekonomi. Selain itu, konflik antarnegara di kawasan Asia Tenggara rentan terjadi, seperti konflik militer di
Laos, Kamboja, Vietnam, serta konflik bilateral Indonesia dan Malaysia.
Untuk menjaga stabilitas kawasan dan kondisi yang berdampak positif bagi negara, beberapa organisasi
dibentuk, seperti South East Asia Treaty Organization (SEATO), Association of Southeast Asia (ASA), dan
Malaysia–Philipina–Indonesia (Maphilindo). Dalam penerapannya, organisasi-organisasi tersebut belum mampu
mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Menyadari pentingnya kerja sama untuk menciptakan stabilitas kawasan
dan negara, pada 8 Agustus 1967 lima negara yang terdiri atas Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand mengadakan pertemuan di Bangkok, Thailand. Pertemuan tersebut berhasil menyepakati pembentukan
organisasi yang mampu mempererat kerja sama dan hubungan antarnegara. Dengan demikian, lahirlah ASEAN
yang ditandai dengan Deklarasi Bangkok atau Deklarasi ASEAN.
Sebagai negara yang besar, Indonesia dipandang pantas memimpin ASEAN. Hal tersebut ditandai dengan
terpilihnya H.R. Dharsono sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) pertama ASEAN periode 1977–1978. Dalam
perkembangannya, jabatan sekjen kembali disematkan kepada wakil Indonesia, yaitu Urmadi Nyotowijono
(1978–1979) dan Rusli Noor (1989–1992). Selain itu, Indonesia dipercaya sebagai penyelenggara Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pertama pada 23–24 Februari 1976 yang diselenggarakan di Bali.

Anda mungkin juga menyukai