Dosen Pengampu:
Hermini, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok IV
o Tenri Wahdania_1901414031
o Utami_1901414256
o Melcidess Daun Tasik_1901414255
o Mutiara Sinan Sari Abidin_1901414259
o Nelsi Pakan_1901414257
o Sopia_1901414258
i
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kasih dan sayang-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah “Psikologi Perkembangan” yang bertemakan “Pengertian
Perkembangan” ini tepat pada waktunya. Makalah ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui
pengertian perkembangan manusia.
Adapun penjelasan-penjelasan pada makalah ini saya ambil dari beberapa sumber buku
dan website .
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen dan teman-teman yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini, akan tetapi penulis juga menyadari bahwa
terdapat kekurangan didalam makalah ini. Untuk itu dengan senang hati penulis senantiasa
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wassalamualaikum wr.wb.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
......................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakekat Moral..............................................................................................................3
B. Perkembangan moral....................................................................................................5
C. Tahapan perkembangan moral..................................................................................7
D. Tahapan perkembangan moral anak usia dini..............................................................12
E. Perkembangan moral anak usia 6-12 tahun..................................................................12
F. Factor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan moral........................................15
G. Usaha dalam meningkatkan penanaman moral pada anak usia dini............................17
H. Upaya mengembangkan moral anak/pendidikan moral untuk anak............................21
I. Perkembngan Psikologi kanak-Kanak/Gangguan Psikologi anak-anak......................24
A. Kesimpulan...................................................................................................................26
B. Saran.............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan anak usia dini penting dilakukan sebagai upaya untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut. Usia dini merupakan usia emas yang hanya
terjadi sekali selama kehidupan manusia. Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan
menerapkan pendidikan dan peningkatan nilai serta sikap yang baik, tentunya kelak
ketika akan dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang
baik. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu jalur formal yang
melayani anak usia 3-6 tahun. Pendidikan anak usia dini bertujuan membantu anak didik
mengembangkan berbagai potensi psikis dan fisik (yang meliputi moral dan nilai-nilai
agama, sosial, emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk
siap memasuki pendidikan dasar.
Pendidikan di era globalisasi saat ini dituntut untuk memiliki kecerdasan bagi
seseorang untuk dapat bertahan dan berkembang dalam kehidupan dan lingkungannya.
Pemberian pendidikan tidak diberikan pada saat sekolah dimulai atau lingkungan formal,
tetapi pendidikan itu seharusnya dimulai sejak anak dalam kandungan seorang ibu dan
dilanjutkan saat anak lahir. Usia 0 – 8 tahun yang merupakan masa keemasan (golden
age) bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, masa tersebut
tidak boleh dilewati begitu saja bagi seorang anak. Hal ini dimaksudkan untuk
pembentukkan suatu kemampuan atau kecerdasan dalam hidupnya. Montessori
mengatakan bahwa masa anak usia dini merupakan periode sensitif. Selama masa inilah
anak secara khusus mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Berdasarkan
pendapat tersebut, lingkungan yang disiapkan untuk anak adalah lingkungan yang
memberi kesempatan anak untuk dapat bereksplorasi. Keadaan lingkungan yang kondusif
(aman dan nyaman) dengan adanya rangsangan, sumber belajar serta latihan yang baik
akan mendukung aspek pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak sejak dini
sampai masa selanjutnya.
1
Aspek moral berlaku bagi siapa saja, orang dewasa dan anakanak. Hal ini
dikarenakan dalam kehidupan masyarakat terdapat aturan benar dan salah yang biasa
dikatakan sebagai moral. Moral yang berlaku di sistem sosial masyarakat bersumber dari
nilai-nilai kebenaran yang disepakati bersama. Masyarakat telah memberikan aturan
dalam hidup bersosial berupa moral. Artinya masyarakat telah menganggap bahwa moral
sangat penting di dalam lingkungan sosial yang mengikat individu untuk saling
berhubungan dengan individu lainnya. Melalui aturan moral, semua orang termasuk
anak-anak dapat dikontrol berbagai perilakunya. Menurut Piaget dan Kohlberg
perkembangan moral berhubungan dengan aspek perkembangan lain terutama kognitif.
Jadi, bila seseorang telah mencapai kematangan kecerdasan, perkembangan moral juga
mengalami kematangan perkembangan kognitif. Sebagai usaha untuk mengoptimalkan
perkembangan moral pada anak untuk mencapai kematangan adalah melalui dongeng.
Dengan dongeng anak diperkenalkan pendidikan moral melalui dunia imajinasi. Melalui
imajinasi ini nilai-nilai dan norma-norma dapat diselipkan sebagai upaya pengembangan
aspek moral pada anak. Selain dilakukan di kelas dongeng ini dapat dilakukan sebagai
pengantar sebelum anak tidur.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakekat MORAL
2. Apa saja tahapan perkembanagan moral
3. Factor yang mempengaruhi perkembangan moral.
4. Gangguan psikologi pada kanak-kanak.
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
psikologi perkembangan anak pada semester 6 di kelas 6G.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Moral
Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat
istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam
kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti
adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani
”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti
adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan
arti ”kesusilaan”. (Bambang Daroeso, 1989).
Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai
susila (Grinder, 1978) dalam Asri Budiningsih, 2004. Sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang
membicarakan salah atau benar. Magic-Suseno (1987) mengatakan bahwa kata moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia, sehingga
bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang.
Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian,
moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Magic-Suseno,1987 dalam Asri Budiningsih
2004 menjelaskan bahwa sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan
sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang
mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan
karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (Magic-Suseno,1987) dalam Asri
Budiningsih 2004.
3
baik atau buruk. Penalaran moral inilah yang akan mencerminkan perbedaan kematangan moral
tersebut.
Hal ini disebabkan pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki
moral yang baik. “This last point is further emphasized by another study that shows no relation
between moral knowledge and moral behavior”(D. McRae. dalam Lawrence E. Shapiro,1997:
530). Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana
pendidikan yang baik dan buruk. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang
memiliki visi dan masa depan sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala
sesuatu mengungkapkan bahwa penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi
perkembangan moral anak (Elida Prayitno, 2005:175 ).
Wila Huky B.A. mengatakan : kita memahami moral dengan tiga cara:
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam ligkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam linkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tigkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu (Bambang Daroeso, 1989:22)
Seseorang dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai
hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-
hal yang etis dan tidak etis. Seseorang yang bermoral akan tampak pada penalaran moralnya
serta pada perilakunya (moralitas) yang baik, benar dan sesuai dengan etika. Artinya, ada
kesatuan dan keselarasan antara penalaran moralnya adan perilaku moralnya (moralitas).
Menurut Blasi dalam Asri Budiningsih 2004 menyatakan bahwa perilaku moral
akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral (moralitas) yang dapat dilihat
saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan moral dan
hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam
melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku yang tidak dapat dilihat tetapi dapat
ditelusuri dan dapat diukur. Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral
merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Artinya, pengukuran perilaku
4
moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus
melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut.
B. Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain. Selain itu, perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran,
perasaan dan perilaku tentang standar benar dan salah.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral yang disebut dengan immoral. Tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain misalnya dengan orang tua, saudara, teman
sebaya dan guru, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh
dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan, tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian,
moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Oleh sebab itu mereka akan melakukan suatu
tindakan, dimana tindakan tersebut akan ternilai sebagai tindakan moral yang ternilai baik atau
sebaliknya.
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada
sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian
penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang
berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg, 1977: 1981).
Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan
moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah akan lebih menjelaskan daripada
memperhatikan individu tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya
bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Piaget dan Kohlberg adalah tokoh yang telah
mengadakan studi dalam proses perkembangan anak.
5
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut Kohlberg (1980) yaitu:
1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi niali-nilai moral lainnya dan prinsip-
prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-niali moral lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subjek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari
dirinya sendiri.
3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan
universal bagi setiap kebudayaan.
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh factor
kognitif atau kematangan intelektual.
2. Perasaan Moral
Empati, berasal dari kata pathos (dalam bahasa yunani) yang berarti perasaan yang
mendalam. Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang
mirip dengan perasaan orang lain tersebut. Berempati lebih dari sekedar simpati, beremapti
berarti menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional. Empati adalah sebuah
keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif-kemampuan untuk melihat keadaan
psikologis dalam diri orang lain.
3. Perilaku Moral
Reinforcement, punishment, imitasi, situasi dan kontrol diri dalam menghadapi godaan
merupakan hal yang mempengaruhi apakah seseorang berperilaku sesuai moral atau tidak.
4. Kepribadian Moral
a. Identitas moral.
Individu memiliki sebuah identitas moral ketika ide-ide dan komitmen moral
merupakan hal yang utama dalam kehidupan mereka (Blasi, 2005). Mereka menyusun
diri bereferensi pada kategori-kategori moral. Pelanggaran terhadap komitmen moral
mereka akan membahayakan integritas dirinya. Perkembangan identitas moral
dipengaruhi oleh tiga kebijakan penting, yaitu (1) kemauan (kontrol diri) yaitu
strategi dan skill metakognitif yang melibatkan analisis masalah, penetapan tujuan,
penagturan atensi, penundaan pemuasan, penghindaran distraksi dan penahanan
godaan, (2) integritas yang terdiri dari rasa tanggung jawab yang ada ketika individu
6
merasa dirinya bertanggung jawab terhadap konsekuensi perilaku mereka, (3) hasrat
moral adalah motivasi dan intense untuk mengejar kehidupan moral.
b.Karakter moral.
c.Teladan moral.
Merupakan orang-orang yang hidup dengan gaya hidup yang patut dicontoh. Orang ini
memiliki kepribadian moral, identitas, karakter dan set kebajikan yang mencerminkan komitmen
dan kesempurnaan moral.
1. Tahap Perkembangan Moral Piaget
Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69). Sebagaimana kemampuan kognitif,
Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang
7
dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran
moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan
Ketertarikan pada bagaimana anak berpikir mengenai isu moral dipicu oleh
Piaget (1932) yang secara ekstensif mengamati dan mewawancarai anak-anak dari usia 4-
12 tahun. Piaget mengamati anak-anak yang bermain kelereng untuk mengetahui
bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan permainan. Dia juga bertanya
tentang isu etis, contohnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Piaget menyimpulkan bahwa anak melewati 2 tahap yang berbeda dalam cara mereka
berpikir tentang moralitas.
a. Moralitas Heteronom (4-7 tahun)
Merupakan tahap pertama dari teori perkembangan moral Piaget. Anak berpikir
bahwa keadilan dan peraturan adalah property dunia yang tidak bisa diubah dan tidak
bisa dikontrol oleh orang.
Beberapa ciri dalam tahap ini antara lain:
- Anak menilai kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya,
bukan berdasarkan niat dari perilaku. Sebagai contoh, memecahkan 12 gelas
secara tidak sengaja lebih buruk dibandingkan dengan memecahkan 1 gelas
dengan sengaja.
- Anak percaya bahwa aturan tidak bisa diubah dan diturunkan oleh sebuah
otoritas yang maha kuasa. Contohnya ketika Piaget menyarankan anak-anak agar
membuat peraturan baru dalam bermain kelereng, mereka menolak.
- Anak percaya adanya immanent justice, sebagai konsep bahwa ketika peraturan
dilanggar maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak
percaya bahwa pelanggaran terhubung langsung secara otomatis dengan
hukumannya. Sehingga, seringkali anak kecil melihat sekelilingnya dengan
perasaan khawatir ketika berbuat salah, takut terhadap adanya immanent justice.
Dari usia 7-10 tahun anak berada masa transisi, yang menunjukkan sebagian ciri-ciri
dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua, moralitas
otonom.
b. Moralitas Otonom
Pada tahap ini anak sadar bahwa aturan dan hukum dibuat oleh manusia dan ketika
menilai sebuah perbuatan mereka mempertimbangkan niat dan juga konskuensinya.
Ketika anak berkembang ke tahap ini, niat mulai dipertimbangkan. Anak mulai
menerima dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat
diubah (terlihat ketika ada saran untuk mengubah aturan dalam permainan kelereng,
anak pada tahap otonom ini mau menerima perubahan).
8
Anak dalam tahap ini menyadari bahwa hukuman terjadi hanya jika ada saksi mata
terhadap pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman adalah
sesuatu yang tidak dapat dielakkan.
Bagaiman perubahan dalam cara berpikir moral ini bisa terjadi?
Piaget berpendapat bahwa ketika anak berkembang, mereka dapat berpikir lebih rumit
mengenai masalah sosial terutama terhadap kemungkinan dan kondisi kerjasama.
Piaget percaya bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui saling memberi dan
menerima dalam hubungan teman sebaya. Di dalam peer group (kelompok sebaya),
di mana anggotanya memiliki status dan kekuatan yang sama, rencana biasanya
dikoordinasikan dan dirundingkan dan perbedaan pendapat dibahas dan pada
akhirnya bisa diselesaikan. Hubugan orang-tua anak, dimana orang tua memiliki
kekuatan yang tidak dimiliki anak akan lebih tidak mungkin mengembangkan
penalaran moral, karena seringkali peraturan diturunkan dengan cara otoriter.
2. Tahapan Moral Kohlberg.
Seperti juga Piaget, Lawrence Kohlberg (1958, 1976, 1986) menekankan bahwa
cara berpikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini bersifat universal.
Kohlberg menggambarkan 3 tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya
memiliki 2 tahapan.
a. Penalaran Prakonvensional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tingkat
ini, baik dan buruk diintepretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment
(hukuman) eksternal. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-
aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia masih menafsirkan baik
atu buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari
tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, imbalan, tukar-menukar kebaikan).
Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari
hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Pada tingkat ini
perasaan dominan yang berkembang adalah rasa takut.
- Tahap 1: Moralitas heteronom, adalah tahap pertama pada tingkat penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.
Sebagai contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
terhadap hukuman perilaku membangkang.
- Tahap 2: Individualism, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap
ini, penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang
benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. karena itu, menurut mereka apa
yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran setara. Meeka berpikir jika
mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap mereka.
9
b. Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini
ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua asuh atau pemerintah. Pada tahap ini
seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga,
masyarakat dan bangsanya. Dalam keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki
aturan standar sendiri. Perasaan dominan pada tahap ini adalah malu.
- Tahap 3: Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan
konformitas interpersonal, merupakan tahap ketiga dari perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian dan
kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penialain moral. Anak dan remaja
sering kali mengadopsi standar moral orang tua pada tahap ini, agar dianggap oleh
orang tua sebagai anak yang baik.
- Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh
pemahaman tentang keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan dan kewajiban.
Sebagai contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja
dengan efektif perlu dilindungi hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya.
c. Penalaran Pascakonvensional
Adalah tingkatan tertinggi dlam teori Kohlberg. Pada tingkat ini, individu menyadari
adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan
berdasarkan kode moral personal. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum
merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum
tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan
yang muncul dalam tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran
keputusan moral adalah hati nurani.
- Tahap 5 : Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu. Pada tahap ini
individu menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas
daripada hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada dan sistem
sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak
asasi dan nilai dasar manusia.
- Tahap 6 : Prinsip etis universal. Merupakan tahapan tertinggi dalam
perkembangan moral. Pada tahap ini seseorang mengembangkan standar moral
berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan
antara hukum dan hati nurani, sesorang menalar bahwa yang harus diikuti adalah
hati nurani, meskipun keputusan itu dapat memberikan resiko. Tindakan yang
benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati
dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini bersifat abstrak dan di dasar lubuk
hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak asasi manusia
dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
10
Kohlberg percaya bahwa tingakatan dan tahapan terjadi secara berurutan dan terkait
dengan usia. Perkembangan moral ini berkembang setahap demi setahap dan tidak
pernah meloncat. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak menggunakan tingkat 1,
penalaran prakonvensional, ketika mereka dihadapkan pada pilihan moral. Ketika
berada pada masa remaja awal, kebanyakan mereka menalar dengan cara yang lebih
konvensional. Kebanyakan remaja menalar dengan tahap 3 dan beberapa tanda pada
tahap 2 dan 4. Ketika berada pada masa dewasa muda, beberapa orang menalar
dengan cara pascakonvensional.
Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peran
pendidik adalah menciptakan iklim untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi.
Seorang yang memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapannya sekarang dan
ia mempunyai peluang untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang
telah dilampauinya.
Asri Budiningsih, 2004: 31-32 menyebutkan secara ringkas alasan-alasan atau motif-
motif yang diberikan bagi kepatuhan terhadap peraturan atau perbuatan moral, yaitu:
1. Tahap 1: patuh pada aturan untuk menghindarkan hukuman.
2. Tahap 2 : menyesuaikan diri (conform) untuk mendapatkan ganjaran,
kebaikannya dibalas dan seterusnya.
3. Tahap 3 : menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidaksetujuan,
ketidaksenangan orang lain.
4. Tahap 4: menyesuaikan diri untuk menghindarkan penilaian oleh otoritas resmi
dan rasa diri bersalah yang diakibatkannya.
5. Tahap 5: menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral
yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat.
6. Tahap 6 : menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.
Meskipun penalaran moral dalam setiap tahap mensyaratkan tingkat perkembangan
kognitif tertentu, Kolhberg berpendapat bahwa kemajuan dalam perkembangan
kognitif anak tidak menentukan perkembangan penalaran moral. Tetapi penalaran
moral mencerminkan pengalaman anak dalam menghadapi pertanyaan moral dan
konflik moral.
Kohlberg dan piaget percaya bahwa hubungan dengan teman sebaya adalah bagian
terpenting dari stimulus sosial yang akan mengembangkan penalaran moral mereka.
Hubungan memberi dan menerima yang bersifat mutual dengan teman sebaya
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengambil peran dan memberikan anak
kesempatan merasakan bahwa peraturan dibuat dengan cara yang demokratis.
Sedangkan orang dewasa memiliki karakteristik untuk cenderung memaksakan aturan
terhadap anak
11
D. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Beberapa perkembangan moral anak usia dini yaitu:
Mampu merasakan kasih sayang, melalui rangkulan dan pelukan
Meniru sikap, nilai dan perilaku orang tua
Menghargai memberi dan menerima
Mencoba memahami arti orang dan lingkungan disekitarnya
Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan
konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan
Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri,
melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa
Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh
sebuah otoritas yang berkuasa
Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka
harus patuh dan takut terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan
karena takut ancaman hukuman dari otoritas
Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka
hukuman akan langsung mengiringi
Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri
adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak
berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau
pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat
baik terhadap dirinya.
12
sebagai model. ”Anak akan menyimpang tingkah laku yang diamati didalam
ingatan lalu ia coba untuk mengungkap ulang tingkah laku model yang dialaminya
itu” (E. Koeswara, 1988:41).
Bandura (Dalam E.Koeswara, 1988:42) menyimpulkan bahwa ”agresif
bisa dipelajari dan terbentuk dalam individu hanya dengan cara maniru atau
mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang disenangi”. Motivasi anak
untuk mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model
memiliki daya tarik yang kuat serta memberikan pengaruh yang menyenangkan
bagi diri.
b. Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar
Anak sering mengajukan berbagai pertanyaan dan meneliti objek.
c. Periode aktif produktif.
d. Suka meimitasi model yang disukainya
Imitasi merupakan proses peniruan, ingin sama dengan individu yang
disenangi. Imitasi ini merupakan salah satu mekanisme yang membentuk perilaku
anak. ”Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain dan melakukan
apa yang dilihatnya” (Chen, 1996:12). ”Anak lebih meniru orang dewasa yang
disukainya sebagai model” (Fanzoi, 2000:14)
”Melalui proses imitasi anak menunjukan perilaku agresif” (Fanzoi,
2000:13). ”Anak tidak melakukan imitasi sembarangan, mereka lebih sering
meniru orang-orang tertentu yang berkuasa, penting atau idola dan memiliki
kemiripan yang sama dengan dirinya” (Fanzoi, 2000:14). Dan anak bisa
mengimitasi apa yang dilihatnya ditelevisi dan tayangan yang disukai apabila yang
memiliki nasip atau kemiripan dengan nya, semakin besar tingkat kemiripan anak
dengan model maka semakin besar perilaku imitasi dan agresi yang ditampilkan
anakn (Fanzoi, 2000:32). ”Karakter anak yang masih labil maka akan lebih mudah
untuk melakukan imitasi” (Abu Said, 2005:31).
e. Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkret
Fanzoi (2000:34) mengemukan bahwa berdasarkan ”hasil eksperimen yang
diperoleh ternyata cuplikan film sepanjang tujuh menit, bisa menimbulkan
pengaruh beberapa jam”. ”Menonton tayangan telivisi mampu membuat orang
mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi walaupun
sekali tayang, dan bisa mengingat 85% dari apa yang mereka lihat dari televisi
setelah tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari kemudian” (Abu Said,
2005:16).
f. Perkembangan moral dari heteronom ke otonom
Perkembangan moral anak yang berumur 6-7 tahun yaitu perkembangan moral
heteronom maksudnya adalah baik buruk segala sesuatu dilihatnya berdasarkan
13
hasil akibat yang dihasilkan. Sedangkan anak yang berumur 8-12 tahun sedang
perkembangan moral otonom yang melihat baik buruk sesuatu berdasarkan
maksud dan tujuan orang bertingkah laku. Menurut Piaget (Dalam Elida dan
Erlamsyah, 2002;100)
”Pada umur 5-7 tahun cara berpikir anak perkembangan berpikir konkret taraf satu”.
Anak memahami tingkah laku baik benarnya tergantung apakah tingkah laku itu
memuaskan dan menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain
(hedonisme). Dan pada anak berumur 8-12 tahun perkembangan moralnya yaitu
instrumental dan hedonisme dan tahap berpikir kognitif tahap dua.
14
F. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Perkembangan Moral
1. Faktor Keluarga
Menurut teori psikonalisa ”moralitas atau kesusilaan adalah bagian dari kata
hati atau superego seseorang” (Sarlito W, 1976:18). Superego terbentuk pada anak
karena mengidentifikasikan orang tua yang sejenis kelamin. Ini berarti hilangnya sifat
”Oedipus Complex”
Menurut Freud (Dalam Mudjiran, 2000:93) ”baik pria atau wanita meniru
tingkah laku orang tua yang sejenis kelamin sama adalah karena keinginan untuk
menjadi seperti orang tua”. ”Anak laki-laki seperti ayah dan anak perempuan ingin
seperti ibunya. Peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak diterima”
demikian Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93). Selanjutnya Bronfenbrenner
(Dalam Mujiran, 2000:93) mengemukakan bahwa seorang anak meniru seluruh atau
sebagain aspek-aspek tingkah laku orang tua mereka yang berikut, yaitu :
Aspek-aspek tingkah laku yang ditiru dari orang tua dipadukan atau diuji
dengan kenyataan yang berada dalam lingkungan, sehingga terjadilah indetifikasi
analitik yang hasilnya identifikasi tingkah laku yang diperoleh.
15
Hal ini disebabkan penggunaan teknik induksi menyebabkan meningkatkan
kemampuan kognitif yang berpengaruh besar terhadap pemahaman moral. Keadaan ini
tidak terjadi jika digunakan teknik disiplin yang lain seperti teknik menghukum dan
memgabaikan. Menurut Hoffman dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110) ”penggunaan
penarikan cinta (love- withdrawal) tidak mendukung perkembangan moral anak,
karena teknik ini terlalu menyuburkan perasaan bersalah yang irrasional dalam diri
anak, namun tidak kuat menahan godaan”. Hoffman (Dalam Elida, 2005:111), juga
meneliti pengaruh keberadaan orang tua lelaki dalam keluarga terhadap perkembangan
moral anak. Anak pria yang ayahnya tidak ada, skor moralnya lebih rendah dari anak
pria yang ayahnya tinggal bersama. Terjadi peristiwa ini dapat dikelaskan sebagai
berikut :
a. Para ayah dapat memberikan pengarahan langsung cara bertingkah laku yang
sesuai dengan standar moral, dalam situasi yang tidak disiplin.
b. Peranan disiplin dari ayah menjadi terancam, kalau disiplin terlalu banyak
ditangani oleh ibu. Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh ibu lebih besar
terhadap perkembangan moral anak daripada pengaruh ayah.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida,
2005:111) tentang hubungan antara disiplin orang tua dan perkembangan moral anak
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Perasaaan kasih sayang yang diberikan orang tua melalui tingkah laku yang ramah
hangat, dan sentuhan-sentuhan fisik, sangat positif akibatnya terhadap perkembangan
moral anak, terutama kasih sayang dari ibu.
16
2. Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara semua unsur lingkungan
sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan
berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai
perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Seberapa banyak model (orang-orang dewasa
yang simpatik, teman-teman,orang-orang yang terkenal dan hal lain) yang
diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal. Perubahan dan kemajuan
dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat
ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemerosotan moral. Perbedaan perilaku
moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan
nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses
belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.
4. Faktor interaksi sosial, termasuk disini adalah factor teman. Seberapa besar faktor
sosial dalam memberikan kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan
standar perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain.
5. Faktor Budaya/kebudayaan
17
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, cerita diartikan dalam beberapa
pengertian, yaitu: 1) tuturan yang membentangkan bagaimana suatu hal atau
peristiwa, kejadian dan sebagainya, 2) karangan yang menuturkan perbuatan,
pengalaman, penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik yang sungguh-
sungguh maupun rekaan belaka, 3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan
digambar hidup seperti sandiwara, wayang dan sebagainya. Azis
Mustafa dan Imam Musbikin (2003:5) membedakan antara bercerita dengan
mendongeng. Perbedaannya adalah dongeng merupakan cerita khayalan atau
karangan, sedangkan cerita bisa khayalan atau karangan,
tetapi bisa pula kenyataan. Akan tetapi keduanya juga memiliki persamaan, yai
tu sama-sama bertujuan untuk menyampaikan pesan.
Cerita sering digunakan oleh para guru untuk menyampaikan pesan kepada
peserta didiknya. Penggunaan cerira ini bukan tanapa alasan. Bercerita
memiliki manfaat yang banyak. Abbas (2005:3) mengungkapkan bercerita
sebagai metode atau media pendidikan mempunyai fungsi: 1) menyajikan
kebenaran yang abstrak menjadi jelas, 2) mengembangkan imajinasi, 3)
membangkitkan rasa ingin tahu, 4) mempengaruhi perasaan, 5) melatih daya
tangkap dan konsentrasi, 6) membantu perkembangan fantasi, 7) menambah
pengetahuan, 8) mengembangkan kemampuan berbahasa.
Otib Satibi Hidayat (2005), mengungkapkan beberapa makna penting
bercerita bagi anak TK sebagai berikut: 1) mengkomunikasikan nilai-nilai
budaya, 2) mengkomunikasikan nilai-nilai sosial, 3) mengkomunikasikan nilai-
nilai agama, 4) menanamkan etos kerja, etos waktu dan etos alam, 5)
membantu mengembangkan fantasi anak, 6) membantu mengembangkan dimensi
kognitif anak, 7) membantu mengembangkan dimensi bahasa anak. Aziz Mustofa
dan Imam Musbikin (2003:6) mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya
dongeng mempunyai kekuatan dalam membangun imajinasi anak, menanamkan
nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa kesetiakawanan pada
sesama, yang akhirnya akan membentuk kepribadian pada seorang anak. Jadi
dongeng mempunyai fungsi bukan sekedar alat komunikasi tetapi juga alat
menanamkan nilai.
Tadzkiroatun Musfiroh (2003:78), menuliskan manfaat bercerita sebagai berikut:
1) mengasah imajinasi anak, 2)mengembangkan kemampuan berbahasa, 3)
mengembangkan aspek sosial, 4) mengembangkan aspek moral, 5)
mengembangkan kesadaran beragama, 6) mengembangkan aspek emosi, 7)
menumbuhkan semangat berprestasi, dan 8) melatih konsentrasi anak.
Dari beberapa uraian di atas jelaslah bahwa bercerita atau mendongeng
sangatlah penting dilakukan untuk kehidupan anak, mengingat manfaatnya yang
18
sangat banyak. Cerita yang diberikan kepada anak disesuiakan dengan aspek
perkembangan anak dan juga pesan yang akan disampaiakan kepada anak.
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam
cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai
moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Ketika bercerita
seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan
anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat
digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu
guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk
membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3. Metode Bernyanyi.
Metode bernyanyi adalah suatu pendekatan
pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira.
Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang
bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan
kata dan nada. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan
kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak
tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang
memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam
menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui
ceramah atau tanya jawab saja.
4. Metode Bersajak, Berpuisi atau Syair.
Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah
satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri
anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa
ingin tahu, ingin mencoba segala
sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau
dilakukannya. Melalui metode sajak guru bisa menanamkan nilai-nilai moral
kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa
senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana
indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Disamping itu anak juga bisa
dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu.
Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk
menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui
sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
5. Metode Karyawisata.
19
Metode karya wisata bertujuan untuk
mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa,
kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau
jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema
yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-
kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau
desa, pesisir, dan pegunungan.
6. Pembiasaan dalam berperilaku.
Cara yang efektif dalam
penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan
tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya,
pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum,
mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar,
berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya
dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.
7. Metode Bermain.
Dalam bermain ternyata banyak sekali terkandung nilai moral,
diantaranya mau mengalah, kerjasama, tolong menolong,
budaya antri, menghormati teman. Nilai moral mau mengalah terjadi manakala
siswa mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu
jenis mainan. Pengertian dan pemahaman terhadap nilai moral mau menerima
kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini.
Seringkali terjadi sikap moral tidak terpuji seperti perusakan dan tindakan anarkis
lainnya yang dilakukan oleh oknum tertentu ketika ia kalah dalam suatu
persaingan, misalnya dalam pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, atau bahkan
dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu betapa penting untuk menanamkan
nilai moral untuk mau menerima kekalahan sejak usia dini.
8. Bermain Peran.
Bermain peran merupakan salah satu metode
yang digunakan dalam menanamkan nilai moral kepada anak TK. Dengan
bermain peran anak akan mempunyai kesadaran merasakan jika ia menjadi
seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran. Misalnya tema
bermain peran tentang kasih sayang dalam keluarga. Anak akan merasakan
bagaimana seorang ayah harus menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu
harus menyayangi keluarga, begitu juga bagaimana dengan anak-anaknya.
9. Metode diskusi.
20
Diskusi yang dimaksud di sini adalah
mendiskusikan tentang suatu peristiwa. Biasanya dilakukan dengan cara siswa
diminta untuk memperhatikan sebuah tayangan dari CD, kemudian setelah selesai
siswa diajak berdiskusi dengan guru tentang isi tayangan CD tersebut. Isi
diskusinya antara lain mengapa hal tersebut dilakukan, mengapa anak itu
dikatakan baik, mengapa harus menyayangi dan sebagainya.
10. Metode Teladan. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-
370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya
sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan
kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Guru
hendaknya menjadi figur yang dapat dicontoh dalam bertingkah laku oleh
siswanya. Secara kodrati manusia merupakan makhluk peniru atau suka
melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang dilihat. Apalagi anak-anak, ia
akan senantiasa dan sangat mudah meniru sesuatu yang baru dan belum pernah
dikenalnya, baik itu perilaku maupun ucapan orang lain.
21
untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-
kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.
b. Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral.
Anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk
mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan
keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
c. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka
tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama
terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan
guru.
d. Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas
Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat
sedang mengalami kemerosotan moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan
para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moral yang baik (kejujuran, kesetiaan,
tanggungjawab, dan lain-lain) melalui pelajaran di rumah dan di sekolah, serta
melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku anak-anak. Kenyataannya tidak ada
bukti generasi anak muda sekarang berada pada pada tingkat moral atau proposional
yang rendah dibandingkan dengan generasi terdahulu (Turiel dalam Jeanne,
2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai perilaku yang tepat secara moral
dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam rangka
menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap
mereka.
e. Memperkuat tingkah laku altruistik.
Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku altruistik
memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan moral anak. Tingkah
laku suka menolong, membagi milik sendiri kepada teman sebaya merupakan contoh
tingkah laku altruistik. Pada periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat
dikembangkan secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati
terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan bahwa
”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak”.
Tingkah laku empati dapat dilihat dari kemampuan anak untuk merasakan orang lain.
Misalnya, seorang anak melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil.
Anak itu dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya
sedang sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu tidak sdih, maka
tingkah laku ini disebut altruistik
22
f. Membangkitkan perasaan bersalah
Untuk membangkitkan perasaan bersalah jika melakukan sesuatu yang
melanggar moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan
bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman
(Dalam Elida, 2005:177) sebagai berikut :
1) Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum
sempurna. Pada umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang
sempurna.
2) Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah
lakunya terhadap orang lain dapat mengembangkan perasaan bersalah. Disiplin
seprti ini disebut disiplin dengan teknik induksi.
3) Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain
sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.
4) Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau
memperbaiki tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.
5) Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan
menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan
diri sendiri.
6) Perasaan bersalah dapat juga dikembangkan dengan memberikan contoh.
7) Perasaan bersalah dapat juga dilakukan dengan disiplin penarikan cinta.
g. Memperkuat kata hati
Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri.
Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking,
dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati
tidak berbeda dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan
perasaan bersalah. Sutton dan Smith (Dalam Elida, 2005: 178) mengemukakan
cara-cara membentuk kata hati anak, dengan maksud lebih memantapkan keyakinan
para orang tua dan guru tentang perlunya usaha mengembangkan moral anak. Cara
itu adalah sebagai berikut :
h. Memberikan model
Orang tua dan guru merupakan model yang sangat penting dalam
pengembangan moral anak. Anak meniru tingkah laku orang tua dan gurunya. Oleh
karena itu orang tua yang mempunyai kata hati yang kuat akan ditiru oleh anak-anak.
i. Menerapakan disiplin
Ada beberapa teknik untuk menerapkan disiplin, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1) Teknik disiplin dengan cara mencari penyebab kesalahan bertingkah laku.
23
2) Teknik disiplin dengan cara ”induksi” yaitu dengan memberikan penjelasan
mengapa anak dilarang atau dibolehkan melakukan tindakan tertentu.
3) Teknik disiplin dengan membangkitkan perasaan bersalah.
4) Teknik disiplin dengan penarikan cinta.
Stres bukan hanya dialami oleh orang dewasa. Anak-anak pun rentan mengalami stres.
Melansir Kids Health, berada di sekolah terlalu lama atau memiliki aktivitas yang sangat padat
setiap harinya dapat memicu anak-anak mengalami stres.
Bukan hanya kejadian yang dilalui, bahkan berita yang menayangkan kekerasan pun
dapat memicu anak mengalami stres. Stres pada anak menyebabkan anak menjadi lebih cepat
emosi, gangguan pola tidur, atau bahkan mengompol.
2. Gangguan Kecemasan
Anak yang mengalami rasa cemas tentunya merupakan hal yang normal. Namun,
perhatikan beberapa gejala, seperti kesulitan berkonsentrasi, tidak dapat tidur nyenyak, sering
mimpi buruk, gangguan pola makan, lebih mudah marah, terus menerus merasa cemas atau
merasa ketakutan, sering menangis, dan tidak bisa jauh dari kedua orangtua.
Sedangkan anak yang mengalami hiperaktif akan terlihat sulit untuk diam atau duduk
dalam waktu yang cukup lama, berlari dan memanjat dalam kondisi yang tidak sesuai, terlalu
banyak bicara, dan senang mengganggu orang lain.
Autistic Spectrum Disorder (ASD) dikenal juga sebagai istilah autisme. Anak dengan
ASD umumnya memiliki kegiatan yang dapat menyibukkan dirinya sendiri. Saat anak fokus
24
dengan satu kegiatan, maka pengidap ASD sulit untuk dialihkan perhatiannya termasuk untuk
berinteraksi atau diajak berbicara.
Tentunya, gangguan psikologis yang dialami anak dapat diatasi lebih dini dengan
pengobatan, seperti terapi maupun penggunaan obat-obatan. Selain itu, dukungan orangtua dan
lingkungan juga sangat menentukan keberhasilan pengobatan yang dilakukan oleh anak.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakekat Moral
Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat
istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam
kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti
adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani
”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti
adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan
arti ”kesusilaan”. (Bambang Daroeso, 1989).
2. Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain. Selain itu, perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran,
perasaan dan perilaku tentang standar benar dan salah.
26
Meniru sikap, nilai dan perilaku orang tua
Menghargai memberi dan menerima
Mencoba memahami arti orang dan lingkungan disekitarnya
Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan
konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan
Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri,
melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa
Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh
sebuah otoritas yang berkuasa
Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka
harus patuh dan takut terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan
karena takut ancaman hukuman dari otoritas
Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka
hukuman akan langsung mengiringi
Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri
adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak
berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau
pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat
baik terhadap dirinya.
5. Perkembangan Moral Anak Usia 6 - 12 tahun (SD)
1. Ciri Khas Perkembangan Anak Usia 6-12 tahun
a. Anak sudah memiliki sikap agresif
b. Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar
c. Periode aktif produktif
d. Suka memitasi model yang disukainya
e. Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkret
f. Perkembangan moral dari heteronom ke otonom.
2. Perkembangan Moral Anak Usia 13 tahun ke atas
27
b. factor lingkungan
c. tingkat penalaran
d. Factor interaksi social
e. factor budaya/kebudayaan.
7. Usaha Dalam Meningkatkan Penanaman Moral Pada Anak Usia Dini
1. Pembelajaran Nilai-Nilai agama sejak dini
2. Metode bercerita
3. Metode bernyanyi
4. Metode bersajak,berpuisi,ataubersyair.
5. Metode karyawisata.
6. Pembiasaan alam berprilaku
7. Metode bermain
8. Bermain peran
9. Metode diskusi
10. Metode teladan.
8. Upaya Mengembangkan Moral Anak / Pendidikan Moral untuk Anak
Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak
seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak
terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam
hidupnya adalah orang tuanya.
Pengembangan tingkah laku moral tidak lepas dari berbagai peran keluarga
adalah sebagai berikut :
28
B. Saran
Demikian makalah ini di buat jika ada kesalahan dalam penulisan maupun penafsiran
mohon dimaklumi dan diberi masukan dan krtikan yang sifatnya membangun semoga apa
yang kami rangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dan penulis
memohon dukungan serta saran dari pembaca agar kiranya memberikan saran dan
kritikannya mengenai makalah ini.
29
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Desmita. 1993. Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Jakarta:Rosda Karya.
Elida Prayitno. 2005. Perkembangan Anak Usia Dini dan Usia SD. Padang : Angkasa
Raya.
Santrock, John.W. 2007 Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sarlito W Sarwono.1976. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
30