Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL PERKEMBANGAN PSIKOLOGI KANAK-

KANAK/GANGGUAN PSIKOLOGI ANAK-ANAK

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok dari


Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Anak

Dosen Pengampu:
Hermini, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok IV
o Tenri Wahdania_1901414031
o Utami_1901414256
o Melcidess Daun Tasik_1901414255
o Mutiara Sinan Sari Abidin_1901414259
o Nelsi Pakan_1901414257
o Sopia_1901414258

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO

i
TAHUN 2022

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT  karena berkat kasih dan sayang-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah “Psikologi Perkembangan” yang bertemakan “Pengertian
Perkembangan” ini tepat pada waktunya.  Makalah ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui
pengertian perkembangan manusia.
Adapun penjelasan-penjelasan pada makalah ini saya ambil dari beberapa sumber buku
dan website .
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen dan  teman-teman yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan makalah ini, akan tetapi penulis juga menyadari bahwa
terdapat kekurangan didalam makalah ini. Untuk itu dengan senang hati penulis senantiasa
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamualaikum wr.wb.                                                                                                
                                                                                                                

               Palopo, 02 Juni 2022


                        Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................................1
......................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakekat Moral..............................................................................................................3
B. Perkembangan moral....................................................................................................5
C. Tahapan perkembangan moral..................................................................................7
D. Tahapan perkembangan moral anak usia dini..............................................................12
E. Perkembangan moral anak usia 6-12 tahun..................................................................12
F. Factor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan moral........................................15
G. Usaha dalam meningkatkan penanaman moral pada anak usia dini............................17
H. Upaya mengembangkan moral anak/pendidikan moral untuk anak............................21
I. Perkembngan Psikologi kanak-Kanak/Gangguan Psikologi anak-anak......................24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................................26
B. Saran.............................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan anak usia dini penting dilakukan sebagai upaya untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut. Usia dini merupakan usia emas yang hanya
terjadi sekali selama kehidupan manusia. Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan
menerapkan pendidikan dan peningkatan nilai serta sikap yang baik, tentunya kelak
ketika akan dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang
baik. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu jalur formal yang
melayani anak usia 3-6 tahun. Pendidikan anak usia dini bertujuan membantu anak didik
mengembangkan berbagai potensi psikis dan fisik (yang meliputi moral dan nilai-nilai
agama, sosial, emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk
siap memasuki pendidikan dasar.
Pendidikan di era globalisasi saat ini dituntut untuk memiliki kecerdasan bagi
seseorang untuk dapat bertahan dan berkembang dalam kehidupan dan lingkungannya.
Pemberian pendidikan tidak diberikan pada saat sekolah dimulai atau lingkungan formal,
tetapi pendidikan itu seharusnya dimulai sejak anak dalam kandungan seorang ibu dan
dilanjutkan saat anak lahir. Usia 0 – 8 tahun yang merupakan masa keemasan (golden
age) bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, masa tersebut
tidak boleh dilewati begitu saja bagi seorang anak. Hal ini dimaksudkan untuk
pembentukkan suatu kemampuan atau kecerdasan dalam hidupnya. Montessori
mengatakan bahwa masa anak usia dini merupakan periode sensitif. Selama masa inilah
anak secara khusus mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Berdasarkan
pendapat tersebut, lingkungan yang disiapkan untuk anak adalah lingkungan yang
memberi kesempatan anak untuk dapat bereksplorasi. Keadaan lingkungan yang kondusif
(aman dan nyaman) dengan adanya rangsangan, sumber belajar serta latihan yang baik
akan mendukung aspek pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak sejak dini
sampai masa selanjutnya.

1
Aspek moral berlaku bagi siapa saja, orang dewasa dan anakanak. Hal ini
dikarenakan dalam kehidupan masyarakat terdapat aturan benar dan salah yang biasa
dikatakan sebagai moral. Moral yang berlaku di sistem sosial masyarakat bersumber dari
nilai-nilai kebenaran yang disepakati bersama. Masyarakat telah memberikan aturan
dalam hidup bersosial berupa moral. Artinya masyarakat telah menganggap bahwa moral
sangat penting di dalam lingkungan sosial yang mengikat individu untuk saling
berhubungan dengan individu lainnya. Melalui aturan moral, semua orang termasuk
anak-anak dapat dikontrol berbagai perilakunya. Menurut Piaget dan Kohlberg
perkembangan moral berhubungan dengan aspek perkembangan lain terutama kognitif.
Jadi, bila seseorang telah mencapai kematangan kecerdasan, perkembangan moral juga
mengalami kematangan perkembangan kognitif. Sebagai usaha untuk mengoptimalkan
perkembangan moral pada anak untuk mencapai kematangan adalah melalui dongeng.
Dengan dongeng anak diperkenalkan pendidikan moral melalui dunia imajinasi. Melalui
imajinasi ini nilai-nilai dan norma-norma dapat diselipkan sebagai upaya pengembangan
aspek moral pada anak. Selain dilakukan di kelas dongeng ini dapat dilakukan sebagai
pengantar sebelum anak tidur.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakekat MORAL
2. Apa saja tahapan perkembanagan moral
3. Factor yang mempengaruhi perkembangan moral.
4. Gangguan psikologi pada kanak-kanak.
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
psikologi perkembangan anak pada semester 6 di kelas 6G.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakekat Moral

Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat
istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam
kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti
adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani
”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti
adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan
arti ”kesusilaan”. (Bambang Daroeso, 1989).

Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai
susila (Grinder, 1978) dalam Asri Budiningsih, 2004. Sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang
membicarakan salah atau benar. Magic-Suseno (1987) mengatakan bahwa kata moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia, sehingga
bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang.

Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian,
moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Magic-Suseno,1987 dalam Asri Budiningsih
2004 menjelaskan bahwa sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan
sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang
mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan
karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (Magic-Suseno,1987) dalam Asri
Budiningsih 2004.

Kohlberg  dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah


seperti moral-reasoning, moral-thinking dan moral-judgement  sebagai istilah-istilah yang
mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian. Istilah itu dialih bahasakan
menjadi penalaran moral. Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan
dilakukan, daripada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut

3
baik atau buruk. Penalaran moral inilah yang akan mencerminkan perbedaan kematangan moral
tersebut.

Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah


beberapa sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan-
kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2002: 370) menekankan bahwa perkembangan
moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.

Hal ini disebabkan pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki
moral yang baik. “This last point is further emphasized by another study that shows no relation
between moral knowledge and moral behavior”(D. McRae. dalam Lawrence E. Shapiro,1997:
530). Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana
pendidikan yang baik dan buruk. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang
memiliki visi dan masa depan sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala
sesuatu mengungkapkan bahwa penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi
perkembangan moral anak  (Elida Prayitno, 2005:175 ).

Wila Huky B.A. mengatakan : kita memahami moral dengan tiga cara:
 a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam ligkungannya.
b.   Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam linkungan tertentu.
c.   Moral adalah ajaran tentang tigkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu (Bambang Daroeso, 1989:22)
Seseorang dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai
hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-
hal yang etis dan tidak etis. Seseorang yang bermoral akan tampak pada penalaran moralnya
serta pada perilakunya (moralitas) yang baik, benar dan sesuai dengan etika. Artinya, ada
kesatuan dan keselarasan antara penalaran moralnya adan perilaku moralnya (moralitas).
Menurut Blasi dalam Asri Budiningsih 2004 menyatakan bahwa perilaku moral
akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral (moralitas) yang dapat dilihat
saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan moral dan
hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam
melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku yang tidak dapat dilihat tetapi dapat
ditelusuri dan dapat diukur. Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral
merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Artinya, pengukuran perilaku

4
moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus
melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut.

B. Perkembangan Moral

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain. Selain itu, perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran,
perasaan dan perilaku tentang standar benar dan salah.

Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral yang disebut dengan immoral. Tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain misalnya dengan orang tua, saudara, teman
sebaya dan guru, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh
dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan, tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian,
moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Oleh sebab itu mereka akan melakukan suatu
tindakan, dimana tindakan tersebut akan ternilai sebagai tindakan moral yang ternilai baik atau
sebaliknya.

Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang


ketika dia tidak terlibat dalam interaksi social dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi
sosial dan penyelesaian konflik. Dimensi perkembangan moral ini membahas tentang penalaran
moral, perasaan moral, perilaku moral dan kepribadian moral.
1.     Penalaran Moral

Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada
sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian
penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang
berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg, 1977: 1981).
Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan
moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah akan lebih menjelaskan daripada
memperhatikan individu tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya
bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Piaget dan Kohlberg adalah tokoh yang telah
mengadakan studi dalam proses perkembangan anak.

5
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut Kohlberg (1980) yaitu:

1. Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi niali-nilai moral lainnya dan prinsip-
prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-niali moral lainnya.
2. Manusia tetap merupakan subjek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari
dirinya sendiri.
3. Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan
universal bagi setiap kebudayaan.
4. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh factor
kognitif atau kematangan intelektual.

2. Perasaan Moral

Empati, berasal dari kata pathos (dalam bahasa yunani) yang berarti perasaan yang
mendalam. Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang
mirip dengan perasaan orang lain tersebut. Berempati lebih dari sekedar simpati, beremapti
berarti menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional. Empati adalah sebuah
keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif-kemampuan untuk melihat keadaan
psikologis dalam diri orang lain.

3. Perilaku Moral

Reinforcement, punishment, imitasi, situasi dan kontrol diri dalam menghadapi godaan
merupakan hal yang mempengaruhi apakah seseorang berperilaku sesuai moral atau tidak.

4. Kepribadian Moral

Tiga aspek kepribadian moral meliputi:

a. Identitas moral.
Individu memiliki sebuah identitas moral ketika ide-ide dan komitmen moral
merupakan hal yang utama dalam kehidupan mereka (Blasi, 2005). Mereka menyusun
diri bereferensi pada kategori-kategori moral. Pelanggaran terhadap komitmen moral
mereka akan membahayakan integritas dirinya. Perkembangan identitas moral
dipengaruhi oleh tiga kebijakan penting, yaitu (1) kemauan (kontrol diri) yaitu
strategi dan skill metakognitif yang melibatkan analisis masalah, penetapan tujuan,
penagturan atensi, penundaan pemuasan, penghindaran distraksi dan penahanan
godaan, (2) integritas yang terdiri dari rasa tanggung jawab yang ada ketika individu

6
merasa dirinya bertanggung jawab terhadap konsekuensi perilaku mereka, (3) hasrat
moral adalah motivasi dan intense untuk mengejar kehidupan moral.

b.Karakter moral.

Merupakan seberapa kuat pendirian individu, perdidtensi dalam menghadapi gangguan


dan hambatan. Karakter moral mensyaratkan seseorang memiliki satu set tujuan moral dan
pencapaian tujuan tersebut melibatkan komitmen untuk bertindak sesuai dengan tujuan tersebut.

c.Teladan moral.

Merupakan orang-orang yang hidup dengan gaya hidup yang patut dicontoh. Orang ini
memiliki kepribadian moral, identitas, karakter dan set kebajikan yang mencerminkan komitmen
dan kesempurnaan moral.

C. Tahapan Perkembangan Moral

Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat berbalik (irreversible), yaitu bahwa suatu


tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan di
bawahnya (Kohlberg, 1977;19808b). misalnya, seseorang ayng telah berada pada tahap-5 tidak
akan kembali pada tahap-3 atau tahap-4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan
penalaran moral cukup jelas, yaitu bergerak maju dari tahap-1 sampai tahap-6 dan gerak maju itu
bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula
peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan
pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral.

Menurut Kohlberg tahapan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada


pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan, yaitu : (1)
tingkat pra-moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, (3)
tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan
menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu (1) tahap
pra-moral, yaitu anak yang berumur di bawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang
berumur antara 4-8 tahun, dan (3) tahap otonomous  yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.

 
1.     Tahap Perkembangan Moral Piaget
Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69). Sebagaimana kemampuan kognitif,
Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang

7
dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran
moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan
Ketertarikan pada bagaimana anak berpikir mengenai isu moral dipicu oleh
Piaget (1932) yang secara ekstensif mengamati dan mewawancarai anak-anak dari usia 4-
12 tahun. Piaget mengamati anak-anak yang bermain kelereng untuk mengetahui
bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan permainan. Dia juga bertanya
tentang isu etis, contohnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Piaget menyimpulkan bahwa anak melewati 2 tahap yang berbeda dalam cara mereka
berpikir tentang moralitas.
a.     Moralitas Heteronom (4-7 tahun)
Merupakan tahap pertama dari teori perkembangan moral Piaget. Anak berpikir
bahwa keadilan dan peraturan adalah property dunia yang tidak bisa diubah dan tidak
bisa dikontrol oleh orang.
Beberapa ciri dalam tahap ini antara lain:
-       Anak menilai kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya,
bukan berdasarkan niat dari perilaku. Sebagai contoh, memecahkan 12 gelas
secara tidak sengaja lebih buruk dibandingkan dengan memecahkan 1 gelas
dengan sengaja.
-       Anak percaya bahwa aturan tidak bisa diubah dan diturunkan oleh sebuah
otoritas yang maha kuasa. Contohnya ketika Piaget menyarankan anak-anak agar
membuat peraturan baru dalam bermain kelereng, mereka menolak.
-       Anak percaya adanya immanent justice, sebagai konsep bahwa ketika peraturan
dilanggar maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak
percaya bahwa pelanggaran terhubung langsung secara otomatis dengan
hukumannya. Sehingga, seringkali anak kecil melihat sekelilingnya dengan
perasaan khawatir ketika berbuat salah, takut terhadap adanya immanent justice.
Dari usia 7-10 tahun anak berada masa transisi, yang menunjukkan sebagian ciri-ciri
dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua, moralitas
otonom.
b.     Moralitas Otonom
Pada tahap ini anak sadar bahwa aturan dan hukum dibuat oleh manusia dan ketika
menilai sebuah perbuatan mereka mempertimbangkan niat dan juga konskuensinya.
Ketika anak berkembang ke tahap ini, niat mulai dipertimbangkan. Anak mulai
menerima dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat
diubah (terlihat ketika ada saran untuk mengubah aturan dalam permainan kelereng,
anak pada tahap otonom ini mau menerima perubahan).

8
Anak dalam tahap ini menyadari bahwa hukuman terjadi hanya jika ada saksi mata
terhadap pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman adalah
sesuatu yang tidak dapat dielakkan.
Bagaiman perubahan dalam cara berpikir moral ini bisa terjadi?
Piaget berpendapat bahwa ketika anak berkembang, mereka dapat berpikir lebih rumit
mengenai masalah sosial terutama terhadap kemungkinan dan kondisi kerjasama.
Piaget percaya bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui saling memberi dan
menerima dalam hubungan teman sebaya. Di dalam peer group (kelompok sebaya),
di mana anggotanya memiliki status dan kekuatan yang sama, rencana biasanya
dikoordinasikan dan dirundingkan dan perbedaan pendapat dibahas dan pada
akhirnya bisa diselesaikan. Hubugan orang-tua anak, dimana orang tua memiliki
kekuatan yang tidak dimiliki anak akan lebih tidak mungkin mengembangkan
penalaran moral, karena seringkali peraturan diturunkan dengan cara otoriter.
 
2.     Tahapan Moral Kohlberg.
Seperti juga Piaget, Lawrence Kohlberg (1958, 1976, 1986) menekankan bahwa
cara berpikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini bersifat universal.
Kohlberg menggambarkan 3 tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya
memiliki 2 tahapan.
a.     Penalaran Prakonvensional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tingkat
ini, baik dan buruk diintepretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment
(hukuman) eksternal. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-
aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia masih menafsirkan baik
atu buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari
tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, imbalan, tukar-menukar kebaikan).
Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari
hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Pada tingkat ini
perasaan dominan yang berkembang adalah rasa takut.
-       Tahap 1: Moralitas heteronom, adalah tahap pertama pada tingkat penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.
Sebagai contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
terhadap hukuman perilaku membangkang.
-       Tahap 2: Individualism, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap
ini, penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang
benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. karena itu, menurut mereka apa
yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran setara. Meeka berpikir jika
mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap mereka.

9
b.     Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini
ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua asuh atau pemerintah. Pada tahap ini
seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga,
masyarakat dan bangsanya. Dalam keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki
aturan standar sendiri. Perasaan dominan pada tahap ini adalah malu.
-       Tahap 3: Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan
konformitas interpersonal, merupakan tahap ketiga dari perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian dan
kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penialain moral. Anak dan remaja
sering kali mengadopsi standar moral orang tua pada tahap ini, agar dianggap oleh
orang tua sebagai anak yang baik.
-       Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh
pemahaman tentang keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan dan kewajiban.
Sebagai contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja
dengan efektif perlu dilindungi hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya.
c.     Penalaran Pascakonvensional
Adalah tingkatan tertinggi dlam teori Kohlberg. Pada tingkat ini, individu menyadari
adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan
berdasarkan kode moral personal. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum
merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum
tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan
yang muncul dalam tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran
keputusan moral adalah hati nurani.
-       Tahap 5 : Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.  Pada tahap ini
individu menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas
daripada hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada dan sistem
sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak
asasi dan nilai dasar manusia.
-       Tahap 6 : Prinsip etis universal. Merupakan tahapan tertinggi dalam
perkembangan moral. Pada tahap ini seseorang mengembangkan standar moral
berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan
antara hukum dan hati nurani, sesorang menalar bahwa yang harus diikuti adalah
hati nurani, meskipun keputusan itu dapat memberikan resiko. Tindakan yang
benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati
dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini bersifat abstrak dan di dasar lubuk
hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak asasi manusia
dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.

10
Kohlberg percaya bahwa tingakatan dan tahapan terjadi secara berurutan dan terkait
dengan usia. Perkembangan moral ini berkembang setahap demi setahap dan tidak
pernah meloncat. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak menggunakan tingkat 1,
penalaran prakonvensional, ketika mereka dihadapkan pada pilihan moral. Ketika
berada pada masa remaja awal, kebanyakan mereka menalar dengan cara yang lebih
konvensional. Kebanyakan remaja menalar dengan tahap 3 dan beberapa tanda pada
tahap 2 dan 4. Ketika berada pada masa dewasa muda, beberapa orang menalar
dengan cara pascakonvensional.
Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peran
pendidik adalah menciptakan iklim untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi.
Seorang yang memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapannya sekarang dan
ia mempunyai peluang untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang
telah dilampauinya.
Asri Budiningsih, 2004: 31-32 menyebutkan secara ringkas alasan-alasan atau motif-
motif yang diberikan bagi kepatuhan terhadap peraturan atau perbuatan moral, yaitu:
1.     Tahap 1: patuh pada aturan untuk menghindarkan hukuman.
2.     Tahap 2 : menyesuaikan diri (conform) untuk mendapatkan ganjaran,
kebaikannya dibalas dan seterusnya.
3.     Tahap 3 : menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidaksetujuan,
ketidaksenangan orang lain.
4.     Tahap 4: menyesuaikan diri untuk menghindarkan penilaian oleh otoritas resmi
dan rasa diri bersalah yang diakibatkannya.
5.     Tahap 5: menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral
yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat.
6.     Tahap 6 : menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.
Meskipun penalaran moral dalam setiap tahap mensyaratkan tingkat perkembangan
kognitif tertentu, Kolhberg berpendapat bahwa kemajuan dalam perkembangan
kognitif anak tidak menentukan perkembangan penalaran moral. Tetapi penalaran
moral mencerminkan pengalaman anak dalam menghadapi pertanyaan moral dan
konflik moral.
Kohlberg dan piaget percaya bahwa hubungan dengan teman sebaya adalah bagian
terpenting dari stimulus sosial yang akan mengembangkan penalaran moral mereka.
Hubungan memberi dan menerima yang bersifat mutual dengan teman sebaya
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengambil peran dan memberikan anak
kesempatan merasakan bahwa peraturan dibuat dengan cara yang demokratis.
Sedangkan orang dewasa memiliki karakteristik untuk cenderung memaksakan aturan
terhadap anak

11
D.    Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Beberapa perkembangan moral anak usia dini yaitu:
 Mampu merasakan kasih sayang, melalui rangkulan dan pelukan
 Meniru sikap, nilai dan perilaku orang tua
 Menghargai memberi dan menerima
 Mencoba memahami arti orang dan lingkungan disekitarnya
 Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan
konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan
 Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri,
melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa
 Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh
sebuah otoritas yang berkuasa
 Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka
harus patuh dan takut terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan
karena takut ancaman hukuman dari otoritas
 Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka
hukuman akan langsung mengiringi
 Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri
adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak
berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau
pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat
baik terhadap dirinya.

E.    Perkembangan Moral Anak Usia 6 - 12 tahun (SD)


1.   Ciri Khas Perkembangan Anak Usia 6-12 tahun
Pada  umur 6-12 tahun anak biasanya menunjukan ciri-ciri khas sebagai berikut:
a.     Anak sudah memiliki sikap agresif
Sagner (Dalam Elida, 2005: 130) ”tingkah laku agresif yaitu tingkah laku
yang cenderung menyakiti orang lain, binatang atau objek”. Tingkah laku agresif
bermacam-macam misalnya memukul, berbicara kasar dan tindakan menyerang.
Tingkah agresif pada anak cenderung dalam penyarangan fisik. ”Agresif banyak
ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu melalui model, pemberian hukuman,
ganjaran dan perasaan kecewa”( Elida, 2005: 132).
”Anak melakukan perilaku agresif berdasarkan hal yang sering dilihatnya
lalu mereka mengidentifikasi diri sama seperti model yang dilihatnnya” (Fanzoi,
2000:13 ).
Tingkah laku individu diperoleh dari hasil balajar melalui pengamatan
(observasitas) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh model yang dijadikan

12
sebagai model. ”Anak akan menyimpang tingkah laku yang diamati didalam
ingatan lalu ia coba untuk mengungkap ulang tingkah laku model yang dialaminya
itu” (E. Koeswara, 1988:41).
Bandura (Dalam E.Koeswara, 1988:42) menyimpulkan bahwa ”agresif
bisa dipelajari dan terbentuk dalam individu hanya dengan cara maniru atau
mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang disenangi”. Motivasi anak
untuk mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model
memiliki daya tarik yang kuat serta memberikan pengaruh yang menyenangkan
bagi diri.
b.     Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar
Anak sering mengajukan berbagai pertanyaan dan meneliti objek.
c.     Periode aktif produktif.
d.     Suka meimitasi model yang disukainya
Imitasi merupakan proses peniruan, ingin sama dengan individu yang
disenangi. Imitasi ini merupakan salah satu mekanisme yang membentuk perilaku
anak. ”Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain dan melakukan
apa yang dilihatnya” (Chen, 1996:12). ”Anak lebih meniru orang dewasa yang
disukainya sebagai model” (Fanzoi, 2000:14)
”Melalui proses imitasi anak menunjukan perilaku agresif” (Fanzoi,
2000:13). ”Anak tidak melakukan imitasi sembarangan, mereka lebih sering
meniru orang-orang tertentu yang berkuasa, penting atau idola dan memiliki
kemiripan yang sama dengan dirinya” (Fanzoi, 2000:14). Dan anak bisa
mengimitasi apa yang dilihatnya ditelevisi dan tayangan yang disukai apabila yang
memiliki nasip atau kemiripan dengan nya, semakin besar tingkat kemiripan anak
dengan model maka semakin besar perilaku imitasi dan agresi  yang ditampilkan
anakn (Fanzoi, 2000:32). ”Karakter anak yang masih labil maka akan lebih mudah
untuk melakukan imitasi” (Abu Said, 2005:31).
e.     Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkret
Fanzoi (2000:34) mengemukan bahwa berdasarkan ”hasil eksperimen yang
diperoleh ternyata cuplikan film  sepanjang tujuh menit, bisa menimbulkan
pengaruh beberapa jam”. ”Menonton tayangan telivisi mampu membuat orang
mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi walaupun
sekali tayang, dan bisa mengingat 85% dari apa yang mereka lihat dari televisi
setelah tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari kemudian” (Abu Said,
2005:16).
f.      Perkembangan moral dari heteronom ke otonom
Perkembangan moral anak yang berumur 6-7 tahun yaitu perkembangan moral
heteronom maksudnya adalah baik buruk segala sesuatu dilihatnya berdasarkan

13
hasil akibat yang dihasilkan. Sedangkan anak yang berumur 8-12 tahun sedang
perkembangan moral otonom yang melihat baik buruk sesuatu berdasarkan
maksud dan tujuan orang bertingkah laku. Menurut Piaget (Dalam Elida dan
Erlamsyah, 2002;100)
”Pada umur 5-7 tahun cara berpikir anak perkembangan berpikir konkret taraf satu”.
Anak memahami tingkah laku baik benarnya tergantung apakah tingkah laku itu
memuaskan dan menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain
(hedonisme). Dan pada anak berumur 8-12 tahun perkembangan moralnya yaitu
instrumental dan hedonisme dan tahap berpikir kognitif tahap dua.

5. Perkembangan Moral Anak Usia 13 tahun ke atas

Perkembangan moral usia 13 tahun ke atas menurut  Ormord (2000:134), diantaranya :


1.      Memiliki kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat
manusia dan perilaku yang melanggar kaidah sosial.
2.      Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulkan bahaya fisik dan
psikologis secara moral salah.
3.      Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang
sedang berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik. 
Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
remaja (Hurlock, 1980:225) sebagai berikut:
1.      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2.      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematika yang pokok dalam masa remaja. Maka
perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak
dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut
menduduki tempat yang sangat penting.

14
F. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Perkembangan Moral

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik,


diantaranya , yaitu:

1.   Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam diri individu. Termasuk disini


pola asuh orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak memberi pengaruh dalam
pembentukan dan perkembangan moral anak. Kualitas hubungan dan komunikasi
orang tua dengan anak.

Menurut teori psikonalisa ”moralitas atau kesusilaan adalah bagian dari kata
hati atau superego seseorang” (Sarlito W, 1976:18). Superego terbentuk pada anak
karena mengidentifikasikan orang tua yang sejenis kelamin. Ini berarti hilangnya sifat
”Oedipus Complex”

Menurut Freud (Dalam Mudjiran, 2000:93) ”baik pria atau wanita meniru
tingkah laku orang tua yang sejenis kelamin sama adalah karena keinginan untuk
menjadi seperti  orang tua”. ”Anak laki-laki seperti ayah dan anak perempuan ingin
seperti ibunya. Peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak diterima”
demikian Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93). Selanjutnya Bronfenbrenner
(Dalam Mujiran, 2000:93)  mengemukakan bahwa seorang anak meniru seluruh  atau
sebagain aspek-aspek tingkah laku orang tua mereka yang berikut, yaitu :

o  Keseluruhan tingkah laku


o  Motivasi
o  Aspirasi

            Aspek-aspek tingkah laku yang ditiru dari orang tua dipadukan atau diuji
dengan kenyataan yang berada dalam lingkungan, sehingga terjadilah indetifikasi
analitik yang hasilnya identifikasi tingkah laku yang diperoleh.

Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110), ”mencoba mengetahui


hubungan antara perkembangan moral anak dengan disiplin orang tua”. Temuan
penelitian mereka menyimpulkan bahwa orang tua yang mempergunakan teknik
disiplin cenderung menyebabkan perkembangan moral anak sangat baik, sedangkan
penggunaan disiplin berkuasa atau otoriter cenderung menyebabkan perkembangan
moral anak yang lemah.

15
Hal ini disebabkan penggunaan teknik induksi menyebabkan meningkatkan
kemampuan kognitif yang berpengaruh besar terhadap pemahaman moral. Keadaan ini
tidak terjadi jika digunakan teknik disiplin yang lain seperti teknik menghukum dan
memgabaikan. Menurut Hoffman dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110) ”penggunaan
penarikan cinta (love- withdrawal) tidak mendukung perkembangan moral anak,
karena teknik ini terlalu menyuburkan perasaan bersalah yang irrasional dalam diri
anak, namun tidak kuat menahan godaan”. Hoffman (Dalam Elida, 2005:111), juga
meneliti pengaruh keberadaan orang tua lelaki dalam keluarga terhadap perkembangan
moral anak. Anak pria yang ayahnya tidak ada, skor moralnya lebih rendah dari anak
pria yang ayahnya tinggal bersama. Terjadi peristiwa ini dapat dikelaskan sebagai
berikut :

a.    Para ayah dapat memberikan pengarahan langsung cara bertingkah laku yang
sesuai dengan standar moral, dalam situasi yang tidak disiplin.

b.    Peranan disiplin dari ayah menjadi terancam, kalau disiplin terlalu banyak
ditangani oleh ibu. Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh ibu lebih besar
terhadap perkembangan moral anak daripada pengaruh ayah.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida,
2005:111) tentang hubungan antara disiplin orang tua dan perkembangan moral anak
dapat disimpulkan  sebagai berikut :

a.    Orang tua dapat menonjolkan kekuasaan dalam mendisiplinkan anak, dapat


melemahkan perkembangan moral anak.

b.    Orang tua yang melaksanakan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh


buruk atau negatif bagi perkembangan moral anak.

c.    Orang tua yang menggunakan disiplin induksi, dapat meninggalkan


perkembangan moral anak.

d.    Disiplin yang dilakukan ayah jarang mempengaruhi perkembangan moral anak.

Perasaaan kasih sayang yang diberikan orang tua melalui tingkah laku yang ramah
hangat, dan sentuhan-sentuhan fisik, sangat positif akibatnya terhadap perkembangan
moral anak, terutama kasih sayang dari ibu.

16
2.   Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara semua unsur lingkungan
sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat  penting adalah unsur lingkungan
berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai
perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Seberapa banyak model (orang-orang dewasa
yang simpatik, teman-teman,orang-orang yang terkenal dan hal lain) yang
diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal. Perubahan dan kemajuan
dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat
ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemerosotan moral. Perbedaan perilaku
moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan
nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses
belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.

3.   Tingkat penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg,


dipengaruhi oleh perkembngan nalar sebagai mana dikemukakan oleh Piaget. Makin
tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin
tinggi pula tingkat moral seseorang.

4.   Faktor interaksi sosial, termasuk disini adalah factor teman. Seberapa besar faktor
sosial dalam memberikan kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan
standar perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain.

5.   Faktor Budaya/kebudayaan

Kohlberg mengatakan bahwa tahap perkembanagn moral merupakan suatu yang


bersifat universal, tidak tergantung pada kebudayaan. Namun, faktor kebudayaan
mempunyai peran dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo (waktu) dan
kecepatan perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya
pencapaian tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap
perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai latar
budaya tertentu dapat berbeda perkembangan moralnya dengan individu lain yang
berasal dari kebudayaan lain. 

G.  Usaha Dalam Meningkatkan Penanaman Moral Pada Anak Usia Dini


Beberapa Usaha Untuk meningkatkan Perkembangan Moral pada Anak Usia
Dini :
1.      Pembelajaran nilai-nilai agama sejak dini
2.      Metode bercerita

17
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, cerita diartikan dalam beberapa
pengertian,  yaitu:  1)  tuturan  yang  membentangkan  bagaimana  suatu  hal  atau
peristiwa, kejadian dan sebagainya, 2) karangan  yang  menuturkan perbuatan,
pengalaman, penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik yang sungguh-
sungguh maupun rekaan belaka, 3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan
digambar hidup seperti sandiwara, wayang dan sebagainya. Azis
Mustafa  dan  Imam  Musbikin  (2003:5)  membedakan  antara bercerita dengan
mendongeng. Perbedaannya adalah dongeng merupakan cerita khayalan atau
karangan, sedangkan cerita bisa khayalan atau karangan,
tetapi  bisa  pula  kenyataan.  Akan  tetapi  keduanya  juga  memiliki  persamaan,  yai
tu sama-sama bertujuan untuk menyampaikan pesan.
Cerita  sering  digunakan  oleh  para  guru  untuk  menyampaikan  pesan kepada
peserta didiknya. Penggunaan cerira ini bukan tanapa alasan. Bercerita
memiliki  manfaat    yang  banyak.  Abbas  (2005:3)  mengungkapkan  bercerita
sebagai  metode  atau  media  pendidikan  mempunyai  fungsi:  1)  menyajikan
kebenaran  yang  abstrak  menjadi  jelas,  2)  mengembangkan  imajinasi,  3)
membangkitkan  rasa  ingin  tahu,  4)  mempengaruhi  perasaan,  5)  melatih  daya
tangkap  dan  konsentrasi,  6)  membantu  perkembangan  fantasi,  7)  menambah
pengetahuan, 8) mengembangkan kemampuan berbahasa.
Otib  Satibi  Hidayat  (2005),  mengungkapkan  beberapa  makna  penting
bercerita  bagi  anak  TK  sebagai  berikut:  1)  mengkomunikasikan  nilai-nilai
budaya, 2) mengkomunikasikan nilai-nilai sosial, 3) mengkomunikasikan nilai-
nilai  agama,  4)  menanamkan  etos  kerja,  etos  waktu  dan  etos  alam,  5)
membantu  mengembangkan  fantasi  anak,  6)  membantu  mengembangkan dimensi
kognitif anak, 7) membantu mengembangkan dimensi bahasa anak. Aziz Mustofa
dan Imam Musbikin (2003:6) mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya
dongeng mempunyai kekuatan dalam membangun imajinasi anak, menanamkan
nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa kesetiakawanan pada
sesama,  yang  akhirnya  akan  membentuk  kepribadian  pada  seorang  anak.  Jadi
dongeng  mempunyai  fungsi  bukan  sekedar  alat  komunikasi  tetapi  juga  alat
menanamkan nilai.
Tadzkiroatun  Musfiroh  (2003:78),  menuliskan  manfaat  bercerita  sebagai berikut:
1) mengasah imajinasi anak, 2)mengembangkan kemampuan berbahasa, 3)
mengembangkan  aspek  sosial,  4)  mengembangkan  aspek  moral,  5)
mengembangkan  kesadaran  beragama,  6)  mengembangkan  aspek  emosi,  7)
menumbuhkan semangat berprestasi, dan 8) melatih konsentrasi anak.
Dari  beberapa  uraian  di  atas  jelaslah  bahwa  bercerita  atau  mendongeng
sangatlah  penting  dilakukan  untuk  kehidupan  anak,  mengingat  manfaatnya  yang

18
sangat  banyak.  Cerita  yang  diberikan  kepada  anak  disesuiakan  dengan  aspek
perkembangan anak dan juga pesan yang akan disampaiakan kepada anak.
Bercerita  dapat  dijadikan  metode  untuk menyampaikan  nilai-
nilai  yang  berlaku  dalam  masyarakat  (Otib  Satibi  Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam
cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai
moral,  nilai  agama,  nilai  sosial,  nilai  budaya,  dan  sebagainya.  Ketika bercerita
seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan
anak  yang  belum  mampu  berpikir  secara  abstrak.  Alat peraga  yang  dapat
digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu
guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk
membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3.      Metode  Bernyanyi. 
Metode  bernyanyi  adalah  suatu  pendekatan
pembelajaran  secara  nyata  yang  mampu  membuat anak senang dan  bergembira.
Anak  diarahkan  pada  situasi  dan  kondisi  psikis  untuk  membangun  jiwa  yang
bahagia,  senang  menikmati  keindahan,  mengembangkan  rasa  melalui  ungkapan
kata dan  nada. Pesan-pesan pendidikan  berupa  nilai  dan  moral  yang dikenalkan
kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak
tidak  dapat  disamakan  dengan  orang  dewasa.  Anak  merupakan  pribadi  yang
memiliki  keunikan  tersendiri.  Pola  pikir  dan  kedewasaan  seorang  anak  dalam
menentukan sikap dan perilakunya  juga  masih  jauh dibandingkan dengan orang
dewasa.  Anak  tidak  cocok  hanya  dikenalkan  tentang  nilai  dan  moral  melalui
ceramah atau tanya jawab saja. 
4.      Metode  Bersajak, Berpuisi  atau  Syair. 
Pendekatan  pembelajaran  melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah
satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri
anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa
ingin tahu, ingin mencoba segala
sesuatu,  dan  ingin  melakukan  sesuatu  yang  belum  pernah  dialami  atau
dilakukannya.  Melalui  metode  sajak  guru  bisa  menanamkan  nilai-nilai  moral
kepada  anak.  Sajak  ini  merupakan  metode  yang  juga  membuat  anak  merasa
senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana
indah,  halus,  dan  menghargai  arti  sebuah  seni.  Disamping  itu  anak  juga  bisa
dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu.
Secara  nilai  moral,  melalui  sajak  anak  akan  memiliki  kemampuan  untuk
menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui
sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
5.      Metode  Karyawisata.

19
 Metode  karya  wisata  bertujuan  untuk
mengembangkan  aspek  perkembangan  anak  Taman  Kanak-kanak  yang  sesuai
dengan  kebutuhannya.  Misalnya  pengembangan  aspek  kognitif,  bahasa,
kreativitas,  emosi,  kehidupan  bermasyarakat,  dan  penghargaan  pada  karya  atau
jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema
yang  sesuai  dengan  pengembangan  aspek  perkembangan  anak  Taman  Kanak-
kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau
desa, pesisir, dan pegunungan.
6.      Pembiasaan  dalam  berperilaku. 
Cara yang efektif dalam
penanaman  moral,  lebih  banyak  dilakukan  melalui  pembiasaan-pembiasaan
tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya,
pada  berdoa  sebelum  dan  sesudah  belajar,  berdoa  sebelum  makan  dan  minum,
mengucap  salam  kepada  guru  dan  teman,  merapikan  mainan  setelah  belajar,
berbaris  sebelum  masuk  kelas  dan  sebagainya.  Pembiasaan  ini  hendaknya
dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.
 
7.      Metode  Bermain. 
Dalam  bermain  ternyata  banyak  sekali terkandung nilai moral,
diantaranya mau mengalah, kerjasama, tolong menolong,
budaya  antri,  menghormati  teman.  Nilai  moral  mau  mengalah  terjadi  manakala
siswa mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu
jenis  mainan.  Pengertian  dan  pemahaman  terhadap  nilai  moral  mau  menerima
kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini.
Seringkali terjadi sikap moral tidak terpuji seperti perusakan dan tindakan anarkis
lainnya  yang  dilakukan  oleh  oknum  tertentu  ketika  ia  kalah  dalam  suatu
persaingan, misalnya dalam pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, atau bahkan
dalam  pemilihan  presiden.  Oleh  karena  itu  betapa  penting  untuk  menanamkan
nilai moral untuk mau menerima kekalahan sejak usia dini.
8.      Bermain Peran.
Bermain peran  merupakan  salah satu metode
yang  digunakan  dalam  menanamkan  nilai  moral  kepada  anak  TK.  Dengan
bermain  peran  anak  akan  mempunyai  kesadaran  merasakan  jika  ia  menjadi
seseorang  yang  dia  perankan  dalam  kegiatan  bermain  peran.  Misalnya tema
bermain  peran  tentang  kasih  sayang  dalam  keluarga.  Anak  akan  merasakan
bagaimana seorang ayah harus menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu
harus menyayangi keluarga, begitu juga bagaimana dengan anak-anaknya.
9.      Metode  diskusi.

20
Diskusi  yang  dimaksud  di  sini  adalah
mendiskusikan  tentang  suatu  peristiwa.  Biasanya  dilakukan  dengan  cara  siswa
diminta untuk memperhatikan sebuah tayangan dari CD, kemudian setelah selesai
siswa  diajak  berdiskusi  dengan  guru  tentang  isi  tayangan  CD  tersebut.  Isi
diskusinya  antara  lain  mengapa  hal  tersebut  dilakukan,  mengapa  anak  itu
dikatakan baik, mengapa harus menyayangi dan sebagainya. 
10.   Metode Teladan. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-
370)  guru  moral  yang  ideal  adalah  mereka  yang  dapat  menempatkan  dirinya
sebagai  fasilitator,  pemimpin,  orang  tua  dan  bahkan  tempat  menyandarkan
kepercayaan,  serta  membantu  orang  lain  dalam  melakukan  refleksi.  Guru
hendaknya  menjadi  figur  yang  dapat  dicontoh  dalam  bertingkah  laku  oleh
siswanya. Secara  kodrati  manusia  merupakan  makhluk  peniru  atau  suka
melakukan  hal  yang  sama  terhadap  sesuatu  yang  dilihat.  Apalagi  anak-anak,  ia
akan  senantiasa dan  sangat  mudah  meniru sesuatu  yang  baru dan  belum pernah
dikenalnya, baik itu perilaku maupun ucapan orang lain. 

 H.  Upaya Mengembangkan Moral Anak / Pendidikan Moral untuk Anak


Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak
seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak
terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam
hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan besar dalam membentuk tingkah laku
altruitis, role taking,dan perasaan bersalah pada anak. Kasih sayang orang tua terhadap
anak, membangun sistem interaksi yang bermoral antara anak dengan orang lain.
Hubungan  dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan kasih sayang, merupakan
pupuk bagi perkembangan moral anak.
Pengembangan tingkah laku  moral tidak lepas dari berbagai peran  keluarga
adalah sebagai berikut :
a.       Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam
bertingkah aku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
(Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan dengan aturan-aturan
berhubungan sosial yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang
berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu.
Kalau terjadi pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam keempat  sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang
berlaku di masyarakat, karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak akan
bertingkah laku yang dianggap baik oleh orang dewasa  sekitarnya walaupun tidak
sesuia dengan moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran

21
untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-
kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.  
b.      Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral.
Anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk
mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan
keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
c.       Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka
tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama
terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan
guru.
d.      Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas
Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat
sedang mengalami kemerosotan moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan
para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moral yang baik (kejujuran, kesetiaan,
tanggungjawab, dan lain-lain) melalui pelajaran di rumah dan di sekolah, serta
melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku anak-anak. Kenyataannya tidak ada
bukti generasi anak muda sekarang berada pada pada tingkat moral atau proposional
yang rendah dibandingkan dengan generasi terdahulu (Turiel dalam Jeanne,
2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai perilaku yang tepat secara moral
dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam rangka
menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap
mereka.
e.    Memperkuat tingkah laku altruistik.
Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku altruistik
memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan moral anak. Tingkah
laku suka menolong, membagi milik sendiri kepada teman sebaya merupakan contoh
tingkah laku altruistik. Pada periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat
dikembangkan secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati
terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan bahwa
”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak”.
Tingkah laku empati dapat dilihat dari kemampuan anak untuk merasakan orang lain.
Misalnya, seorang anak melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil.
Anak  itu dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya
sedang sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu tidak sdih, maka
tingkah laku ini disebut altruistik

22
f.     Membangkitkan perasaan bersalah
Untuk membangkitkan perasaan  bersalah jika melakukan sesuatu yang
melanggar moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan
bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman
(Dalam Elida, 2005:177) sebagai berikut : 
1)      Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum
sempurna. Pada umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang
sempurna.
2)      Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah
lakunya terhadap orang lain dapat mengembangkan  perasaan bersalah. Disiplin
seprti ini disebut disiplin dengan teknik induksi.
3)      Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain
sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.
4)      Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau
memperbaiki tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.
5)      Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan
menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan
diri sendiri.
6)      Perasaan bersalah dapat juga dikembangkan  dengan memberikan contoh.
7)      Perasaan bersalah dapat juga dilakukan dengan disiplin penarikan cinta.
g.      Memperkuat  kata hati
Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri.
Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking,
dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati
tidak berbeda  dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan
perasaan bersalah.   Sutton dan Smith (Dalam Elida, 2005: 178) mengemukakan
cara-cara membentuk kata hati anak, dengan maksud lebih memantapkan keyakinan
para orang tua dan guru tentang perlunya usaha mengembangkan moral anak. Cara
itu adalah sebagai berikut :
h.      Memberikan model
Orang tua dan guru merupakan model yang sangat penting dalam
pengembangan moral anak. Anak meniru tingkah laku orang tua dan gurunya. Oleh
karena itu orang tua yang mempunyai kata hati yang kuat akan ditiru oleh anak-anak.
i.        Menerapakan disiplin
Ada beberapa teknik untuk menerapkan disiplin, diantaranya adalah  sebagai
berikut :
1)   Teknik disiplin dengan cara mencari penyebab kesalahan bertingkah laku.

23
2)   Teknik disiplin dengan cara ”induksi” yaitu dengan memberikan penjelasan
mengapa anak dilarang atau dibolehkan melakukan tindakan tertentu.
3)   Teknik disiplin dengan membangkitkan perasaan bersalah.
4)   Teknik disiplin dengan penarikan cinta.

I. Gangguan Psikologis pada anak-anak.


1. Stres

Stres bukan hanya dialami oleh orang dewasa. Anak-anak pun rentan mengalami stres.
Melansir Kids Health, berada di sekolah terlalu lama atau memiliki aktivitas yang sangat padat
setiap harinya dapat memicu anak-anak mengalami stres.

Bukan hanya kejadian yang dilalui, bahkan berita yang menayangkan kekerasan pun
dapat memicu anak mengalami stres. Stres pada anak menyebabkan anak menjadi lebih cepat
emosi, gangguan pola tidur, atau bahkan mengompol.

2. Gangguan Kecemasan

Anak yang mengalami rasa cemas tentunya merupakan hal yang normal. Namun,
perhatikan beberapa gejala, seperti kesulitan berkonsentrasi, tidak dapat tidur nyenyak, sering
mimpi buruk, gangguan pola makan, lebih mudah marah, terus menerus merasa cemas atau
merasa ketakutan, sering menangis, dan tidak bisa jauh dari kedua orangtua.

Melansir National Health Service UK, umumnya, anak-anak lebih sering


mengalami separation anxiety. Tentunya, orangtua harus mendukung anak secara emosional agar
kondisi ini dapat diatasi dengan baik. Sebaiknya bertanya langsung pada dokter atau
psikolog melalui aplikasi Halodoc untuk mengatasi gangguan kecemasan yang dialami oleh
anak. 

3. Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sering terjadi pada anak-anak.


Umumnya, gejala dari ADHD dapat terdeteksi sejak anak berusia 3 tahun. Gejalanya juga
berbeda pada tiap pengidap. Melansir Mayo Clinic, anak yang mengalami kekurangan perhatian
umumnya lebih ceroboh dalam melakukan pekerjaan, kesulitan untuk berkonsentrasi, kurang
memberikan perhatian pada orang lain, dan mengalami kesulitan dalam mengikuti instruksi yang
diberikan.

Sedangkan anak yang mengalami hiperaktif akan terlihat sulit untuk diam atau duduk
dalam waktu yang cukup lama, berlari dan memanjat dalam kondisi yang tidak sesuai, terlalu
banyak bicara, dan senang mengganggu orang lain. 

4. Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Autistic Spectrum Disorder (ASD) dikenal juga sebagai istilah autisme. Anak dengan
ASD umumnya memiliki kegiatan yang dapat menyibukkan dirinya sendiri. Saat anak fokus

24
dengan satu kegiatan, maka pengidap ASD sulit untuk dialihkan perhatiannya termasuk untuk
berinteraksi atau diajak berbicara.

Tentunya, gangguan psikologis yang dialami anak dapat diatasi lebih dini dengan
pengobatan, seperti terapi maupun penggunaan obat-obatan. Selain itu, dukungan orangtua dan
lingkungan juga sangat menentukan keberhasilan pengobatan yang dilakukan oleh anak.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hakekat Moral

Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat
istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam
kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti
adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani
”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti
adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan
arti ”kesusilaan”. (Bambang Daroeso, 1989).

2. Perkembangan Moral

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain. Selain itu, perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran,
perasaan dan perilaku tentang standar benar dan salah.

3. Tahap perkembangan Moral


1.Tahap perkembangan moral piaget :
a. Moralitas Heteronom
b. Moralitas otonom
2. Tahap moral Kohlberg
a. Penalaran prakonvemsional
b. Penalaran konvensional
c. Penalaran pascakonvensional.

4.  Perkembangan Moral Anak Usia Dini


Beberapa perkembangan moral anak usia dini yaitu:
 Mampu merasakan kasih sayang, melalui rangkulan dan pelukan

26
 Meniru sikap, nilai dan perilaku orang tua
 Menghargai memberi dan menerima
 Mencoba memahami arti orang dan lingkungan disekitarnya
 Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan
konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan
 Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri,
melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa
 Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh
sebuah otoritas yang berkuasa
 Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka
harus patuh dan takut terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan
karena takut ancaman hukuman dari otoritas
 Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka
hukuman akan langsung mengiringi
 Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri
adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak
berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau
pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat
baik terhadap dirinya.
5. Perkembangan Moral Anak Usia 6 - 12 tahun (SD)
1. Ciri Khas Perkembangan Anak Usia 6-12 tahun
a. Anak sudah memiliki sikap agresif
b. Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar
c. Periode aktif produktif
d. Suka memitasi model yang disukainya
e. Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkret
f. Perkembangan moral dari heteronom ke otonom.
2. Perkembangan Moral Anak Usia 13 tahun ke atas

Perkembangan moral usia 13 tahun ke atas menurut  Ormord (2000:134), diantaranya :


1.      Memiliki kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat
manusia dan perilaku yang melanggar kaidah sosial.
2.      Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulkan bahaya fisik dan
psikologis secara moral salah.
3.      Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang
sedang berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik. 
6. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Perkembangan Moral
a. factor keluarga

27
b. factor lingkungan
c. tingkat penalaran
d. Factor interaksi social
e. factor budaya/kebudayaan.
7. Usaha Dalam Meningkatkan Penanaman Moral Pada Anak Usia Dini
1. Pembelajaran Nilai-Nilai agama sejak dini
2. Metode bercerita
3. Metode bernyanyi
4. Metode bersajak,berpuisi,ataubersyair.
5. Metode karyawisata.
6. Pembiasaan alam berprilaku
7. Metode bermain
8. Bermain peran
9. Metode diskusi
10. Metode teladan.
8. Upaya Mengembangkan Moral Anak / Pendidikan Moral untuk Anak
Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak
seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak
terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam
hidupnya adalah orang tuanya.
Pengembangan tingkah laku  moral tidak lepas dari berbagai peran  keluarga
adalah sebagai berikut :

a. Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat


b. Menciptakan Komunikasi
c. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
d. Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas
e. Memperkuat tingkah laku altruistik.
f. Membangkitkan perasaan bersalah
g. Memperkuat  kata hati
9. Gangguan psikologis pada anak-anak
1. Stress
2. Attention Deficit Hyperactivity Disorder
3. Gangguan kecemasan
4. Autistic Spectrum Disorder (ASD)

28
B. Saran
Demikian makalah ini di buat jika ada kesalahan dalam penulisan maupun penafsiran
mohon dimaklumi dan diberi masukan dan krtikan yang sifatnya membangun semoga apa
yang kami rangkum dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dan penulis
memohon dukungan serta saran dari pembaca agar kiranya memberikan saran dan
kritikannya mengenai makalah ini.

29
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Desmita. 1993.  Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Jakarta:Rosda Karya.
Elida Prayitno. 2005. Perkembangan Anak Usia Dini dan Usia SD. Padang : Angkasa
Raya.
Santrock, John.W. 2007 Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sarlito W Sarwono.1976. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga    
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

30

Anda mungkin juga menyukai