Anda di halaman 1dari 23

Pembiayaan Bersifat Jual Beli

Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pembiayaan Syariah
Dosen Dedi Suyandi, S.Ag., M.E

Oleh

Adil Muhammad Al Badr 1209230001


Aditya Putra Pratama 1209230003
Agym Hasan Anshari 1209230005
Ahmad Jafar Tamami 1209230004
Ahmad Syarmaya 1209230007
Aisyah Alkhaniza 1209120008
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Pembiayaan Bersifat Jual beli”.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah
Manajemen Pembiayaan Syariah Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapat bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dedi Suyandi, S.Ag., M.E. selaku dosen mata kuliah Manajemen Pembiayaan
Syariah
2. Teman-teman kelompok yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Dan segala kerendahan hati dan keterbatasan kemampuan, penulis menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini.

Bandung, 11 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Pembiayaan Bersifat Jual Beli........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
Abstrak ......................................................................................................................................... iv
BAB 1............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................... 2
D. Manfaat penelitian ............................................................................................................. 3
BAB II ........................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 5
A. Akad Murabahah .............................................................................................................. 5
B. Akad Salam ....................................................................................................................... 8
C. Akad Istisna .................................................................................................................... 11
D. Penerapan Akad Murabhah, Salam, dan Istisna dalam Pembiayaan .............................. 14
BAB III........................................................................................................................................ 17
PENUTUP ................................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 17
B. Saran................................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 19

iii
Abstrak
Kegiatan pembiayaan dalam jual beli dengan menggunakan akad murabahah, salam dan istisna. Berkaitan
dengan adanya aturan jual beli. Kegiatan pada pembiayaan dalam jual beli ini harus dikelola dengan
efisien dan efektif, karena dalam setiap pembiayaan yang diberikan berpotensi timbulnya resiko pada
setiap lembaga keuangan syariah. Pembiayaan dengan akad murabahah, salam dan istisna menjadi salah
satu alternatif akad dalam masyarakat yang dapat diterapkan dalam pembiayaan lembaga keuangan
syariah.
Kata Kunci: Pembiayaan, murabahah, salam, istisna, lembaga keuangan syariah

Financing activities in buying and selling using murabahah, salam and istisna contracts. Regarding the
rules of buying and selling. Activities on financing in this sale and purchase must be managed efficiently
and effectively, because every financing causes risks to every Islamic financial institution. Financing with
murabahah, salam and istisna contracts is one of the alternative contracts in society that can be applied in
financing Islamic financial institutions.

Keywords: Financing, murabahah, greetings, istisna, financial institutions, sharia

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akuntansi Pembiayaan memiliki kontribusi besar terhadap profitabilitas suatu
bank. Hampir semua dana dari masyarakat yang ada pada bank disalurkan kembali
melalui pembiayaan. Hal ini yang menjadikan sebagian besar bank syariah masih
mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari operasi pembiayaan. Jenis dan
produk pembiayaan yang berlandaskan pada syariat islam menjadi daya tarik tersendiri
bagi bank syariah terutama untuk umat islam yang menginginkan kegiatannya bersih
dari unsur riba. Karena riba telah jelas menjadi larangan bagi umat islam.

Pembiayaan yang diberikan bank umum syariah dan unit usaha syariah terdiri dari
beberapa akad, diantaranya akad Mudharabah, akad Musyarakah, akad Murabahah,
akad Istishna', akad Ijarah, akad Qardh. Secara terperinci komposisi pembiayaan yang
disalurkan masyarakat oleh bank umum syariah

Secara sederhana pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal yaitu, Pembiayaan
produktif dan Pembiayaan konsumtif. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif
dapat dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.5
Pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan
likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan
pembiayaan persediaan (inventory financing).

Pembiayaan piutang (Receivable Financing) yaitu bentuk pinjaman untuk


berbagai keperluan, khususnya pembiayaan jangka pendek yang dijamin oleh piutang.
Dalam pengembangan produk-produk perbankan syariah, BSM mempertimbangkan
tingkat kebutuhan nasabah dengan selalu mengikuti perkembangan tren yang ada di

1
masyarakat. Salah satunya ialah Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad
murabahah, akad salam, akad istishna atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah. Produk BSM pembiayaan murabahahmerupakanpembiayaan
berdasarkan akad jual beli antara bank dan nasabah. Bank membeli barang yang
dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan
margin keuntungan yang disepakati. Dapat dipergunakan untuk keperluan usaha
(investasi, modal kerja) dan pembiayaan konsumer.

BSM pembiayaan Istishna’ merupakan Pembiayaan pengadaan barang dengan


skema Istishna adalah pembiayaan jangka pendek, menengah, dan panjang yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengadaan barang (obyek istishna). Masa
angsurannya melebihi periode pengadaan barang (goods in process) dan bank
mengakui pendapatan yang menjadi haknya pada periodeangsuran, baik pada saat
pengadaan berdasarkan persentase penyerahan barang, maupun setelah barang selesai
dikerjakan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusun rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana pengertian dari akad Murabahah.
2. Bagaimana pengertian dari akad salam.
3. Bagaimana pengertian dari akad istisna.
4. Bentuk pembiayaan menggunakan akad murabahah, salam, dan istisna.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan preumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
penulisan laporan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari akad Murabahah.
2. Untuk mengetahui pengertian dari akad salam.
3. Untuk mengetahui pengertian dari akad istisna.
4. Untuk mengetahui pembiayaan menggunakan akad murabahah, salam, dan
istisna.

2
D. Manfaat penelitian
Berdasarkan makalah yang sudah penulis tulis, besar harapan penulis semoga
makalah ini bermanfaat bagi banyak pihak. Manfaat yang didapatkan bagi mahasiswa,
sebagai wujud dalam pelaksaan tugas dan menambah wawasan tentang gambaran
umum akuntansi dan kegiatan perusahaan.
Masyarakat umum semoga juga mendapatkan manfaat dari makalah ini. Makalah
yang telah penulis tulis semoga dapat menjadi referensi bagi masyarakat umum yang
ingin mempelajari mengenai akuntansi.
A. Teknik Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan metode Studi Pustaka. Penulis mencari
literatur terkait hirarki strategi yang sudah ada sebelumnya. Literatur yang sudah ada
sebelumnya nantinya akan dibaca dan ditelaah oleh penulis sehingga dapat membantu
penulisan makalah ini

3
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akad Murabahah
Pembiayaan murabahah terdiri dari dua suku kata, yaitu pembiayaan dan murabahah.
Pembiayaan merupakan pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut undang-undang perbankan No 10
Tahun 1998 ayat 12 adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.

Murabahah atau disebut juga ba’i bitsamanil ajil. Kata murabahah berasal dari kata
ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Secara
sederhana murabahah berarti jual beli barang ditambah keuntungan yang disepakat. 1

Sejalan dengan itu, Rivai dan Andria Permata Veithzal, mengartikan murabahah
sebagai atas suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjual dan pembeli,
setelah sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga perolehan atas barang
tersebut dan bersarnya keuntungan yang diperolehnya.2

Jual beli murabahah termasuk transaksi yang dibolehkan oleh syariat. Mayoritas
ulama, dari kalangan para sahabat, tabi’in dan Imam mazhab, juga membolehkan jual beli
jenis ini. Hanya saja, menurut ulama Malikiyah, jual beli ini hukumnya khilaaful awla.

1
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, 2012, Jakarta, hlm.136
2
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), Ed. 1, Cet. 1, hlm. 145.

5
Murabahah adalah menjual barang dengan harga yang jelas, sehingga boleh
dipraktikkan dalam transaksi jual beli. Contohnya adalah jika seseorang berkata, “aku
menjual barang ini dengan seratus sepuluh.” Dengan begitu, keuntungan yang diambilnya
jelas. Ini tak jauh beda dengan mengatakan, “berilah aku keuntungan sepuluh dirham. 3

Bambang Hermanto berpendapat murabahah adalah akad jual beli dimana harga dan
keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli. Jenis dan jumlah barang dijelaskan
dengan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli dan pembayaran dilakukan secara
mengangsur atau cicilan atau sekaligus.4 Penetapan murabahah sebagai salah satu akad
dalam transaksi ekonomi islam diambil dari:

1. Al-Qur’an

Ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan hukum murabahah adalah surat An-
Nisa ayat 29 yaitu:

‫ّٰللا َكانَ بِ ُك ْم‬ َ ُ‫اض ِم ْن ُك ْم ۗ َو ََل ت َ ْقتُلُ ْٰٓوا اَ ْنف‬


َ ‫س ُك ْم ۗ ا َِّن ه‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ ٰٓ َّ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت َأ ْ ُكلُ ْٰٓوا ا َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَاطِ ِل ا‬
َ ‫َِل ا َ ْن ت َ ُك ْونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬
‫َرحِ ْي ًما‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS: An-Nisa: 29)

Ayat di atas menjelaskan kepada orang yang beriman untuk memakan dan
mendapatkan harta dengan sesamanaya melalui jalan perniagaan (jual beli) atas dasar
suka sama suka dan melarang memakan dan mendapatkan harta dengan jalan yang batil.

2. Hadits

3
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Cet. Ke-1, Jilid 5, hlm. 358.
4
Bambang Hermanto, Lembaga Keuangan Syari’ah, 2008, Pekanbaru, hlm. 63.

6
: ‫لم قَا َل‬
َ ‫س‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَى هللا‬ ُ ‫ع ْن ُه أَن َر‬
َ ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫ضي هللا‬ ْ ‫س ِع ْي ِد ْال ُخد ِْر‬
ِ ‫ي َر‬ َ ‫ع ْن أبِى‬
َ

َ ‫إنَما ْال َب ْي ُع‬


ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
44 )‫ (رواه البيهقي وابن ماجه و صحح ابن حبان‬, ‫اض‬

Artinya: Dari Abu Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka. (HR. Al- Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban).

Hadits ini menjelaskan bahwasanya jual beli itu harus didasarkan pada suka sama
suka antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli), jika ada unsur keterpakasaan atau
tidak rela diantara keduanya maka jual belinya cacat atau pun tidak sah.

3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli (murabahah) diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu
harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 5

4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)


Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang murabahah sebagaimana
tercantum dalam fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 pertanggal 1 April 2000 sebagai
berikut:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahahyang bebas dari riba.
2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 2001, Bandung, h.75.

7
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kapada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam hal ini bank harus memberitahu secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah barikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalah gunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak
bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi
6
milik bank.

Murabahah dapat terlaksana dengan benar ketika sudah memenuhi rukun dan syarat
murabahah. Adapun rukun dari murabhah adalah adanya penjual, pembeli, sighat, dan
ma’qud ‘alaih (objek akad). Sedangkan syarat dari murabahah adalah mengetahui harga
asli, mengetahui margin, modal yang dikeluarkan hendaknya berupa barang yang
memiiki varian serupa, jual beli murabhah pada barang-barang ribawi tidak
menyebabkan terjadinya riba nasiah terhadap harga pertama, dan transaksi yang pertama
harus sah.

B. Akad Salam
Dalam PSAK 103, definisi salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih)
dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya
dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.

6
Bambang Rianto Rustam, Perbankan Syariah (Akuntansi Pendanaan dan Pembiayaan), 2008 Pekanbaru,
hlm. 49

8
Sedangkan menurut Sayyid Syabiq (2004:167) As-Salam dinamakan juga salaf
(pendahuluan), yaitu jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran
sekarangnamun diterima kemudian

Pengertian bai’ as-salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian


harisementara pembayarannya dimuka (cash in advance) dengan rukun dan syarat sesuai
syariatIslam yang harus dipenuhi. Contohnya: Pembayaran harga oleh bank, kepada
supplier harusdilakukan secara penuh pada saat akad disepakati atau selambat-lambatnya
tiga hari setelahakad disepakati pembayaran oleh nasabah kepada bank tidak boleh dalam
bentuk pembebasanhutang(offsetting). Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya
baik berupa uang ataumanfaat sesuai dengan kesepakatan.

Dasar Hukum bai’ as-salam terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadits. Berikut adalah
dalil -dalil yang menjadi dasar hukum bai’ as-salam:

1. Al-quran

Surat Al Baqarah, ayat 282:

ٰٓ
َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن ا ِٰلى ا َ َج ٍل ُّم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْو ۗه‬

Hai orang orang yang beriman, jika kamu bertransaksi atas dasar hutang dalam waktu“

”.yang ditentukan, tulislah

2. Hadits

Diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Majalidi. Ia berkata:

"Suatu saat Abdullah Ibn Syaddad Ibn al-Hadi berselisih tentang akad salaf
(salam)dengan Abu Burdah. Mereka meminta saya untuk menemui Ibn Abi Aufa
(untukmenanyakan tentang akad salam ini). Kemudian saya tanyakan hal tersebut kepada
Ibn Abi Aufa. Maka ia mengatakan: kami telah melakukan akad salaf (salam) pada biji
gandum, sya’ir, anggur kering, kurma di zaman Rasulallah SAW, zaman Abu Bakar dan

9
zaman Umar. Dan saya tanyakan (juga) hal tersebut kepada Ibn Abza, ia mengatakan
seperti yang dikataan Ibn Abi Aufa” (Ibnu Rusyd:1999)

Syarat terlaksanakannya salam yaitu

Pelaksanaan bai’ as -salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut:

1. Muslam (pembeli/pemesan)

2. Muslam ilaih (penjual/penerima pesanan)

3. Muslam fiih (barang yang dipesan)

4. Ra’s al -mal (harga pesanan/modal yang dibayarkan)

5. Shighat ijab qabul (ucapan serah terima)

Disamping rukun yang harus dipenuhi, persyaratan bai’ as-salam juga harus dipenuhi
pada masing-masing rukun. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

1. Syarat aqidain, yaitu syarat yang haru dipenuhi olehmuslam (pembeli/pemesan) dan
muslam ilaih (penjual/penerima pesanan).

a. Harus cakap hukum, yaitu mengerti hukum dan tata cara jual beli.

b. Sukarela, tanpa paksaan/di bawah tekanan.

2. Syarat Ra’s al -mal (dana yang dibayarkan).

a. Bentuk pembayaran adalah dalam bentuk uang tunai.

b. Dana harus diserahkan pada saat akad (di satu majelis).

Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (1999:133) dana yang diserahkan muslam


(pembeli/pemesan) tidak boleh dalam bentuk hutang. Demikian pula, pembayaran salam
tidak boleh berbentuk pembebasan hutang yang harus dibayarkan oleh muslamilai

10
(penjual/penerima pesanan). Hal ini adalah untuk mencegah praktek riba melalui
mekanisme salam.

3. Syarat muslam fih (barang yang dipesan)

a. Harus spesifik dengan ditentukan sifat-sifat, jenis, kualitas dan jumlahnya dan
dapatdiauki sebagai hutang.

b. Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat


kurangnyapengetahuan tentang jenis, kualitas dan jumlah barang tersebut.

c.Barang yang dipesan adalah barang yang sah diperjualbelikan.

d.Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.

e. Waktu penyerahan barang sesuai dengan kesepakatan pada saat transaksi.

f. Tempat penyerahan barang harus disepakati oleh pihak-pihak yang berakad.

g. Barang yang dipesan (muslam fih) tidak boleh digantikan dengan barang lain.

h. Barang yang dipesan (muslam fih) tidak boleh dijual sebelum diterima.

C. Akad Istisna
Berbagai ulama mengemukakan mengenia definisi dari istisna. Menurut Az-
Zuhaili, bai’ al- Istishna’ ialah kontrak jual beli antara pembeli (mustashni’) dengan
cara melakukan pemesanan pembuatan barang barang, dimana kedua belah pihak
sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka,
melalui cicilan ataupun ditangguhkan pada masa yang akan datang. (Muhammad
ayyub op cit, h. 412.)
Pada dasarnya, bai’ al-istishna’ merupakan suatu transaksi yang hampir sama
dengan bai’ as-Salam dan jual beli murabahah mua’jjal, namun sedikit terdapat
perbedaan diantara ketiganya, dimana dalam bai’ as-salam pembayaran dimuka dan
penyerahan barang nya dikemudian hari, sedangkan pada murabahah mua’jjal barang
diserahkan dimuka dan uangnya bias dibayar dengan cicilan, dan dalam bai’ al-

11
Istishna’, barang diserahkan dibelakang, sedangkan pembayarannya juga bisa
dilakukan dengan cicilan. (Muhammad Ayyub, loc. cit.)

Karena tidak mengandung pelarangan terhadap apapun, dan telah terjadi praktik
yang umum dimasyarakat karena kemudahan bagi umat manusia. Ba’I al-Istishna’
berevolusi ke ilmu hukum Islam secara histori karena kebutuhan tertentu dalam area
pekerjaan manual. Namun, ia telah berkembang dalam era modern sebagai salah satu
kontrak (akad) yang memungkinkan pemenuhan proyek dan industri. Oleh sebab itu,
keunggulan kontrak untuk menufaktur telah meningkat dengan cakupan proyek yang
dibiayai. Jual beli dengan tempo pembayaran dibolehkan secara syar’i. Sebagaimana
dibolehkannya jual beli dengan pembayaran kontan, jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan juga dibolehkan. Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang
berhutang dengan kurma, maka hutangnya tersebut harus jelas takarannya, jelas
timbangannya dan jelas tempo pembayarannya”. (Ahmad Asy-Syarbashi, 2006)

Bai’ al-Istishna’ merupakan akad yang sah dan praktik bisnis yang umum
dilakukan, sebagai salah satu cara atau model trasnsaksi yang telah disahkan yang
berdasarkan kepada istihsan (kepentingan masyarakat).

Hukum bai’ al-Istishna’ adalah boleh karena dapat memberikan keringanan,


kemudahan kepada setiap manusia dalam bermuamalah. Adapun dalil yang
membolehkan bai’ al-Istishna’ adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’anul karim

‫س ٰذ ِلكَ ِباَنَّ ُه ْم َقالُ ْْٓوا اِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع مِ ْث ُل‬ ِّۗ ِ ‫شي ْٰط ُن مِ نَ ا ْل َم‬ ُ َّ‫ِي يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَأ ْ ُكلُ ْون‬
ْ ‫الر ٰبوا ََل يَقُ ْو ُم ْونَ ا ََِّل َك َما يَقُ ْو ُم الَّذ‬
‫ّٰللا ِّۗ َو َم ْن عَا َد‬ِ ‫ف َواَ ْم ُرهٗ ْٓ اِلَى ه‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َّر ِب ٖه َفا ْنت َ ٰهى َفلَ ٗه َما‬
َ ِّۗ َ‫سل‬ َ ‫وا َف َم ْن ج َۤاءَهٗ َم ْو ِع‬ ِّۗ ‫الر ٰب‬
ِ ‫ّٰللاُ ا ْلبَ ْي َع َوح ََّر َم‬ ۘ ‫الر ٰب‬
‫وا َوا َ َح َّل ه‬ ِ
ۤ ٰ ُ ‫َفا‬
َ‫ب النَّ ِار ۚ هُ ْم ِف ْيهَا ٰخ ِلد ُْون‬ ُ ‫ول ِٕىكَ اَص ْٰح‬

Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena
mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya,

12
lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

2. As-Sunnah.

Dari Abu Hazim, ia berkata: Ada beberapa lelaki datang kepada Sahal bin Sa’ad
menanyakan tentang mimbar lalu ia menjawab: Rasululah saw mengutus seorang
perempuan yang telah diberi nama oleh Sahal ”Perintahkanlah budakmu yang tukang
kayu, untuk membuatkan aku mimbar dimana aku duduk di atasnya ketika saya
nasehat pada manusia.” Maka aku memerintahkan padanya untuk membuatkan dari
pohon kayu. Kemudian tukang kayu datang dengan membawa mimbar, kemudian ia
mengirimkannya pada Rasululah saw. Maka beliau perintahkan padanya untuk
meletakkannya, maka Nabi duduk di atasnya. (HR Bukhari, Kitab al- Buyu’)
Bai’ al-Istishna’ merupakan salah satu pengembangan bai’ as- salam, waktu
penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayarannya dapat
dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan20. Karena bai’ al-Istishna’ merupakan
akad khusus dari bai’ as-salam maka ketentuan dan landasan hukum Syariah bai’ al-
Istishna’ mengikuti ketentuan bai’ as-salam, adapun rukun bai’ al-Istishna’. (Sumarto
Zulkifli, 2003). Penjualan atau penerima pesanan (shani’), Pembeli atau pemesan
(mustshni’), Barang (mashnu’), Harga (tsaman), dan Ijab qabul (shighat)

Sedangkan rukun dari istisna adalah: Pihak yang berakal cakap hukum dan
mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli, Ridha atau kerelaan kedua belah
pihak dan tidak ingkar janji, Apabila isi akad disyaratkan shani’ (pembuat barang)
hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi Istishna’, tetapi menjadi akad ijarah
(sewa- menyewa), Pihak yang membuat menyatakan kesanggupan untuk
mengadakan atau membuat barang itu, Mashnu’ (barang atau objek pesanan)
mempunyai kriteria yang jelas, seperti jenis ukuran, mutu, jumlah, dll., dan Barang

13
tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara’ (najis, haram, samar,
atau tidak jelas) atau menimbulkan kemudhratan.7

D. Penerapan Akad Murabhah, Salam, dan Istisna dalam Pembiayaan


Pembiayaan merupakan bentuk pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan. Lembaga keuangan syariah melakukan
penyaluran pembiayaan terhadap masyarakat. Lembaga keuangan syariah dalam
memberikan pembiayaan melalui berbagai akad yang dikemas dengan berbagai jenis
transaksi. Beberapa bentuk transaksi pembiayaan oleh Lembaga keuangan syariah
adalah, transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi
sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah mumtahiyah
bit tamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istisna,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh, dan transaksi sewa menyewa jasa
dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.8

Akad Murabahah, salam, dan istishna mengambil peran dalam transaksi jual beli
piutang. Penggunaan akad murabahah, salam, dan istisna digunakan dalam transaksi
letter of credit, pembiayaan modal konsumeris, pembiayaan investasi perusahaan,
L/C ekspor dan impor, negosiasi wesel, dan utang usaha.9 Pembiayaan menggunakan
akad merubahah berupa transaksi jual beli sebesar harga perolehan barang ditambah
dengan margin keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Lembaga keuangan syariah dalam memanfaatkan akad murabahah dilakukan


secara maksimal. Mekanisme pembiayaan menggunakan akad murabahah secara
umum berupa:

a. Pengajuan permohonan pembiayaan oleh calon nasabah.

7
Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi Perbankan Syariah Edisi Revisi, (Jakarta:
LPFEusakti,2006), h. 182-183
8
Muhammad Lathief Ilhami Nasution, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, 2018, Sumatera Utara,
hlm. 59
9
Ibid, hlm. 60-83

14
b. Bank dan nasabah melakukan negosiasi terkait objek pembiayaan, margin,
persyaratan, dan tata cara pembayaran.
c. Bank dan nasabah bersepakat dengan nasabah untuk melakukan transaksi.
d. Bank membeli barang kepada supplier sesuai dengan kesepakatan di tahap
sebelumnya.
e. Bank dan nasabah melakukan akad jual beli piutang dengan menggunakan akad
murabahah atas barang yang dimaksud.
f. Supplier menyerahkan barang dan dokumen yang diminta nasabah.
g. Nasabah menerima barang dan dokumen.
h. Nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan harga pokok dan margin yang
sudah dietetapkan sebelumnya dengan cara mengangsur.10

Pembiayaan menggunakan akad salam yaitu pembiayaan dengan pemesanan


barang / komoditas dengan penyerahan dan pembayaran sesuai kesepakatan, yaitu
pembayaran diawal dan penyerahan dikemudian waktu. Pembiayaan akad salam
yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah biasanya dalam sektor hasi bumi.
Perbankan syariah dalam memberikan pembiayaan menggunakan akad salam
memberikan waktu yang relatif pendek. Jangka waktu pendek yang diberikan oleh
bank terjadi karena objek pembiayaan berupa hasil bumi. Hasil bumi seperti cabai,
padi, jagung, dll bukanlah sebuah asset yang cocok untuk disimpan dalam jangka
Panjang. Oleh karena itu, bank lebih memilih untuk langsung melanjutkan ke pihak
ketiga.

Pembiayaan menggunakan akad istisna berarti bank memberikan pembiayaan


kepada nasabah dalam bentuk pemesanan barang. Penggunaan akad istisna biasanya
berlaku ketika bank melakukan pembiayaan terhadap nasabah yang menjalankan
proses produksi. Nasabah akan memberikan pengajuan kepada bank terkait
penggunaan dana dalam produksi. Kemudia bank akan mengkombinasikan akad
istisna dengan akad murabahah. Akad murabahah berguna untuk memenuhi bahan

10
Ardiyanto dan M. Anang Firmansyah, Manajemen Bank Syariah (implementasi Teori dan Praktek),
2019, Surabaya, hlm. 338

15
mentah yang dibutuhkan nasabah untuk meakukan proses produksi. Kebutuhan
bahan baku yang tidak sedikit membuat akad murabahah menjadi opsi yang tepat
untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku. Adapun prosedur utama yang biasa
digunakan dalam pembiayaan menggunakan akad istisna yang dikombinasikan
dengan akad murabahah adalah sebagai berikut:

a. Nasabah mengajukan pengajuan terhadap bank terkait pembiayaan.


b. Bank dan nasabah bernegosiasi terkait prosedur pembiayaan dari pra produksi,
produksi, pasca produksi, penetapan harga, dan pembayaran.
c. Bank dan nasabah mencapai kesepakatan pembiayaan.
d. Bank memberikan pembiayaan murabahah guna pemenuhan barang baku.
e. Istisna diberikan kepada nasabah untuk membuat barang-barang yang dipesan
oleh nasabah bank. Dana yang diperoleh selain untuk proses produksi juga dapat
digunakan untuk kebutuhan umum yang lain.
f. Barang yang telah diproduksi menjadi milik bank sebagai penyedia fasilitas
istisna.
g. Nasabah dapat ditunjuk oleh pihak bank sebagai pihak yang memiliki kuasa
terhadapt barang yang telah diproduksi atas nama bank. Hasil dari penjualan
produk akan dikirim kepada bank dan biaya untuk memperoleh barang tersebut
akan dikurangkan dari hasi penjualan dan keuntungan.
h. Nasabah membayar biaya murabahah kepada bank sesuai selama periode yang
telah disepakati di awal.11

11
Op.cit, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 70-71

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menjadi suatu bentuk pendanaan dalam
menyediakan uang atau tagihan dengan jangka waktu tertentu terhadap masyrakat.
Konsep pembiayaan dalam lembaga keuangan syariah tidak menggunakan transaksi yang
berupa utang piutang dengan konsekuensi bunga, akan tetapi menggunakan transaksi
yang berupa jual beli dengan margin keuntungan dan sewa serta fee untuk transaksi yang
bersifat jasa.
Pelaksanaan pembiayaan, lembaga keuangan syariah harus memenuhi dua aspek yang
sangat penting. Pertama, aspek syar’i, di mana dalam setiap realisasi pembiayaan kepada
para nasabah, bank syari’ah harus tetap berpedoman pada syari’at Islam (anatara lain
tidak mengandung unsur maysir, garar, riba, serta bidang usahanya harus halal). Kedua,
aspek ekonomi, yaitu dengan tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan. Ada tiga
prinsip dalam melakukan akad pada lembaga keuangan syariah, yaitu: pertama, prinsip
bagi hasil; kedua, prinsip jual beli; ketiga, prinsip sewa.

Saran
Dalam kehidupan sehari-hari, pasti tidak terlepas dari kegiatan jual-beli. Dengan itu
berbagai permasalahan yang ada pada pembiayaan syariah, maka kami sebagi penulis
mempunyai saran bagi beberapa pihak, yaitu :
a. Masyarakat
Kami mempunyai saran agar masyarakat lebih pro aktif dan perduli terhadap pembiayaan
syariah dengan melakukan aktivitas penanaman dananya (menabung) dan juga
penggunaan akad syariah karena sudah jelas kehalalannya dan mempunyai nilai lebih

17
untuk pengembangan dan pemberdayaan umat dibandingkan dengan perbankan
konvensional.
b. Mahasiswa dan Akademisi
Kami mempunyai saran agar para mahasiswa dan akademisi lebih kritis lagi dengan pola
pembiayaan syariah yang kini telah ada sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap
pengembangan dan lahirnya produk-produk pembiayaan syariah yang sesuai dengan
tuntutatn jaman dan masyarakat saat ini.

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat menambah wawasan kita
mengenai gambaran umum akuntansi dan kegiatan perusahaan.

18
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Hermanto, Lembaga Keuangan Syari’ah, (Pekanbaru: Suska Press, 2008), hlm. 63.

Bambang Rianto Rustam, Perbankan Syariah (Akuntansi Pendanaan dan Pembiayaan),


(Pekanbaru: Mumtaz Cendikia Adhitama, 2008), hlm. 49.

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-
2, hlm. 108.

Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.136.

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.75.

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), Ed. 1, Cet. 1, hlm. 145.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyei al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet. Ke-1, Jilid 5, hlm. 358.

Ahmad Asy-Syarbashi, yas alunka Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan,
(Jakarta: Lentera,2006), Cet. Ke-2, h.187.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 253.

Imam Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, Abu suhaib karmi,
(Saudi Arabia, Baitul afkar dauliyah linnasri, 1419 H/ 1998 M), hadis ke 2094, h.395

Muhammad Ayyub, Keuangan Syariah, (Jakarta: PT Raja Gramedia Pustaka Utama,2009), h.


408.

Prof. Dr. Syamsul Anwar M.A, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 68

Sofyan S. Harahap, Wiroso, Muhammad Yusuf, Akuntansi Perbankan Syariah Edisi Revisi,
(Jakarta: LPFEusakti,2006), h. 182-183.

Sumarto Zulkifli, panduan praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim,2003),
h.41-42

19

Anda mungkin juga menyukai