Anda di halaman 1dari 37

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasul yang paling mulia, Nabi Muhammad, keluarga beliau dan seluruh
shahabat-shahabat beliau. Amma Ba’du…

Materi yang akan kita bahas pada buku ke-enam ini adalah tentang kedudukan takwa.
Masih termasuk rangkaian buku-buku bertema amalan hati yang –Allah mudahkan untuk- saya
sampaikan di berbagai daurah ilmiah. Di dalam pelaksanaannya, kami dibersamai oleh para
akademisi dari perusahaan Zaad Group. Dan saat ini, mereka berupaya menerbitkan karya ini
dalam bentuk kitab untuk disebarluaskan.

Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat. Allah L berfirman,
ۖ
ِ َ‫ون ٰيَُٓأوْ لِي ٱَأۡل ۡل ٰب‬
١٩٧ ‫ب‬ ِ ُ‫وا فَِإ َّن خ َۡي َر ٱل َّزا ِد ٱلتَّ ۡق َو ٰى َوٱتَّق‬
ْ ‫… َوتَزَ َّو ُد‬
“…Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan
bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS. Al-Baqarah [2]:
197)

Takwa adalah barometer untuk mengukur kemuliaan manusia. Allah berfirman,

ٞ ِ‫…ِإ َّن َأ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ۡتقَ ٰى ُكمۡۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ ب‬
١٣ ‫ير‬
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Takwa adalah sumber dari segala kebaikan dan gudang dari seluruh akhlak terpuji. Sifat
kasih sayang, menepati janji, jujur, adil, wara’, sungguh-sungguh, dan kedermawanan
merupakan buah darinya. Takwa menjadi teman dekat dalam kesunyian, dan penyelamat dari
kehancuran.

Karena kemuliaan dan keutamaan takwa, Allah memerintahkan orang-orang beriman


untuk saling tolong-menolong dalam mewujudkannya:

٢ …‫وا َعلَى ۡٱلبِ ِّر َوٱلتَّ ۡق َو ٰ ۖى‬


ْ ُ‫اون‬
َ ‫… َوتَ َع‬
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa...” (QS.
Al-Maidah [5]: 2) Karena takwa adalah pintu menuju keridhaan Allah.

Lalu apa definisi takwa? Bagaimana taqwa sampai ke hati kita? apa buah-buah yang
dapat dipetik darinya? apa tingkatan-tingkatannya? dan apa faktor-faktor yang membantu
meningkatkan takwa?

Jawabannya akan Anda temukan dalam buku kecil ini.


Kami memohon petunjuk kepada Allah dalam menjelaskan materi ini, sesungguhnya Dia
lah Maha Penolong lagi Maha Kuasa atas yang demikian.

Muhammad Shalih Al-Munajjid

DEFINISI TAKWA

Secara bahasa, takwa artinya sedikit bicara. Dikatakan (‫‘ )التقي ملجم‬At-Taqiyyu Muljam’
artinya orang yang bertakwa itu terkekang (dari banyak bicara).

Takwa yang dimaksud di sini adalah pecahan kata dari Al-Ittiqaa’ (‫ )االتقاء‬yang artinya
upaya memberi pembatas antara dirimu dengan apa yang engkau benci.

Takwa (‫ )التق{{وى‬adalah bentuk Isim (kata benda) dari kata kerja ‘Ittaqaa (‫ )اتقى‬dan
masdarnya ‘Al-Ittiqaa’ (‫)اتقى‬.

Adapun secara syar’i, takwa didefinisikan oleh para ulama dengan beberapa istilah, di
antaranya:

Ibnu Taimiyah T berkata, “Takwa adalah melakukan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya.”1

Ibnu Qayyim T berkata, “Hakikat takwa adalah taat kepada Allah, dalam perintah dan
larangan-Nya dengan iman dan mengharap pahala dari-Nya. Menjalankan perintah karena iman
dengan Yang memberi perintah dan membenarkan janji-Nya, dan meninggalkan larangan karena
iman dengan Yang memberi larangan dan takut terhadap ancaman-Nya.

Thalq bin Habib mengemukakan, “Apabila terjadi fitnah, maka hadapilah dengan takwa.”
Mereka bertanya, “Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Ia menjawab, “Takwa adalah engkau
mengamalkan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah dan mengharap
pahala dari-Nya. Dan engkau tinggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu)
dari Allah dan karena takut akan azab-Nya.”2 Inilah definisi terbaik tentang makna takwa.3

Ibnu Rajab T berkata, “Hakikat takwa adalah upaya seorang hamba untuk memberi
pembatas yang menghalangi dirinya dari perkara-perkara yang ia benci dan takuti.”4

1
Majmu’ Al-Fatawa, (3/120)
2
Az-Zuhdu, Ibnul Mubarak, no. 1343
3
Zâdu Al-Muhajir, hal. 10
4
Jami’u Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 158
Ibnu Katsir T berkata, “Takwa adalah satu kata yang mencakup seluruh amal ketaatan
dan upaya meninggalkan kemaksiatan.”5

Abu Su’ud T berkata, “Takwa adalah upaya maksimal dalam meninggalkan perkara-
perkara yang dapat menyengsarakan diri di akhirat.”6

Al-Mubarakfuri T berkata, “Orang yang bertakwa adalah orang yang meninggalkan


perkara mubah karena khawatir terjerumus pada perkara yang haram.”7

Takwa juga bermakna, ‘Takut kepada Allah Yang Maha Mulia, mengamalkan Al-Qur’an
yang telah diturunkan, ridha dengan rezeki yang sedikit, dan mempersiapkan bekal untuk hari
akhir.’

Suatu saat, Umar bin Al-Khatthab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang makna
takwa, Lalu Ubay menjawab, “Apakah kamu pernah melewati jalan yang banyak durinya? Umar
menjawab, “Iya, pernah.” Ubay melanjutkan, “Lalu apa yang kamu lakukan?”. Umar pun
menjawab, “Aku akan sangat teliti dan berhati-hati.” Ubay berkata, “Begitulah takwa.”8

Ibnu Al-Mu’taz berkata,

“Tinggalkanlah dosa kecil dan dosa besar, itulah takwa.

Jadilah seperti orang yang melewati jalan berduri

Sangat berhati-hati terhadap duri-duri yang ia awasi

Jangan kau remehkan dosa-dosa kecil

Sesungguhnya gunung berasal dari tumpukan batu kerikil.

Dan dikatakan pula, bahwa takwa adalah ‘Allah tidak melihatmu tatkala Dia
melarangmu, dan tidak kehilanganmu tatkala Dia memerintahkan kepadamu’.

Maksudnya, apabila Allah melarangmu untuk duduk di suatu tempat yang di dalamnya
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka Dia tidak akan mendapatimu di sana. Dan
apabila Allah memerintahkan kepadamu untuk beribadah di masjid, melazimi shalat lima waktu
dan jum’at, maka Dia tidak kehilanganmu di sana.

Kata takwa dalam Al-Qur’an diartikan dengan beberapa makna:

1. Takwa diartikan dengan rasa takut. Sebagaimana firman Allah,

5
Tafsir Ibnu Katsir, (1/284)
6
Tafsir Abi Su’ud, (1/27)
7
Tufatul-Ahwadzi, (6/201)
8
Tafsir Al-Qurthubi, (1/203)
ٰ
ِ ُ‫… َوِإيَّ َي فَٱتَّق‬
٤١ ‫ون‬
“…dan bertakwalah hanya kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 41) artinya
‘takutlah kepada-Ku.’
Dan seperti firman Allah,

ْ ُ‫َوٱتَّق‬
٢٨١ …ِ ۖ ‫وا يَ ۡو ٗما تُ ۡر َجعُونَ فِي ِه ِإلَى ٱهَّلل‬
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah...” (QS.
Al-Baqarah [2]: 281) artinya, ‘Takutlah pada hari itu dan azab yang ada di dalamnya.’

ٗ ‫… َويَ َخافُونَ يَ ۡو ٗما َكانَ َشرُّ ۥهُ ُم ۡست َِط‬


٧ ‫يرا‬
“…dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-
Insan [76]: 7).
Ibnu Rajab T berkata, “Terkadang takwa disandarkan dengan nama Allah, seperti
dalam firman-Nya,

ْ ُ‫… َوٱتَّق‬
ٓ ‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذ‬
٩٦ َ‫ي ِإلَ ۡي ِه تُ ۡح َشرُون‬
“…Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan
(kembali).” (QS. Al-Maidah [5]: 96)
Apabila kata takwa disandarkan kepada Allah, maka maknanya adalah “Takutlah
kepada kemurkaan dan kemarahan Allah.” Dan inilah perkara yang paling harus ditakuti,
karena hukuman di dunia dan akhirat disebabkan karenanya. Allah berfirman,

٢٨ …ُ‫… َويُ َح ِّذ ُر ُك ُم ٱهَّلل ُ ن َۡف َس ۥه‬


“…Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya...” (QS. Ali Imran [3]: 28).

٥٦ ‫…هُ َو َأ ۡه ُل ٱلتَّ ۡق َو ٰى َوَأ ۡه ُل ۡٱل َم ۡغفِ َر ِة‬


“…Dialah Rabb yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak
memberi ampunan.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 56)
Dia lah yang patut ditakuti, dimuliakan, dibesarkan, dan diagungkan oleh hamba-
hamba-Nya, sampai mereka menyembah dan mentaati-Nya, karena hanya Dia lah yang
Maha Agung lagi Mulia dan memiliki sifat kebesaran, keagungan, kekuatan, dan
kemampuan yang sangat dasyat.
Terkadang kata takwa disandarkan pada siksa Allah atau tempat-tempat siksaan
seperti neraka. Allah berfirman,

١٣١ َ‫ار ٱلَّتِ ٓي ُأ ِع َّد ۡت لِ ۡل ٰ َكفِ ِرين‬ ْ ُ‫َوٱتَّق‬


َ َّ‫وا ٱلن‬
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan bagi orang kafir.”
(QS. Ali-Imran [3]: 131)
Atau disandarkan pada waktu pembalasan, seperti firman Allah,

ْ ُ‫َوٱتَّق‬
٢٨١ …ِ ۖ ‫وا يَ ۡو ٗما تُ ۡر َجعُونَ فِي ِه ِإلَى ٱهَّلل‬
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah...” (QS. Al-
Baqarah [2]: 281).9

2. Takwa diartikan dengan ketaatan dan ibadah. Sebagaimana dalam firman Allah,

َّ ‫وا ٱهَّلل َ َح‬


١٠٢ …‫ق تُقَاتِِۦه‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya...” (QS. Ali Imran [3]: 102)
Yakni taatlah kepada Allah dengan sebenar-benar ketaatan, dan beribadahlah
kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah.
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Mas’ud A mengatakan, “Allah harus ditaati dan
tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”10
3. Takwa diartikan dengan penyucian jiwa dari dosa dan maksiat. Inilah makna takwa
menurut istilah. Allah berfirman,
ٓ
٥٢ َ‫ش ٱهَّلل َ َويَتَّ ۡق ِه فَُأوْ ٰلَِئكَ هُ ُم ۡٱلفَٓاِئ ُزون‬
َ ‫َو َمن يُ ِط ِع ٱهَّلل َ َو َرسُولَهۥُ َويَ ۡخ‬
“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan
bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS.
An-Nûr [24]: 52)

HUKUM TAKWA

Takwa merupakan perkara yang paling wajib dari perkara-perkara wajib lainnya.
Sebagaimana disebutkan di dalam nash-nash Al-Qur’an, hadits, dan atsar dari ulama-ulama salaf.
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertakwa dalam banyak ayat-Nya,

َ َ‫وا ۡٱل ِك ٰت‬


ْ ُ‫ب ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ َوِإيَّا ُكمۡ َأ ِن ٱتَّق‬
١٣١ …َ ۚ ‫وا ٱهَّلل‬ ْ ُ‫َولَقَ ۡد َوص َّۡينَا ٱلَّ ِذينَ ُأوت‬
“…dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci
sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah...” (QS. An-Nisa’ [4]: 131)

9
Jami’ul Ulum wal-Hikam, hal. 158-159
10
Tasir Ath-Thabari, (3/375)
Imam Al-Qurthubi T berkata, “Perintah untuk bertakwa berlaku umum untuk semua umat
manusia.”11

Ibnu Taimiyah T juga berkata, “Takwa adalah kewajiban setiap manusia, Allah telah
memerintahkan dan mewasiatkan mereka untuk bertakwa dalam banyak ayat-Nya, Dia juga
mencela dan memberi peringatan kepada mereka yang enggan untuk bertakwa kepada-Nya.”12

Sebagian ulama berkata, “Ayat ini adalah poros seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, karena
semua ayat-ayat Al-Qur’an berada dalam ruang lingkupnya.”

Imam As-Sa’di berkata tentang ayat ini, “Allah menunjukkan kekuasaan-Nya yang
agung, luas, dan meliputi segala sesuatu, yang mengandung makna bahwa Dialah yang mengatur
semua urusan dan menetapkan segala ketetapan baik qadari maupun syar’i. Ketetapan syar’inya
adalah Allah mewasiatkan kepada umat-umat dari ahlul kitab terdahulu dan umat-umat yang
datang kemudian untuk bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan. Demikian juga perintah untuk menjalankan hukum-hukum syariat, memberi pahala
bagi orang yang menjalankan wasiat ini, dan memberi hukuman bagi yang menyia-nyiakannya
dengan siksa yang pedih.”13

Nabi N juga memerintahkan kita untuk bertakwa. Dari Abu Dzar A ia berkata,
“Rasulullah N mengatakan kepadaku,

َ ‫اتَّ ِق اهلل َح ْيثُ َما ُك ْن‬


‫ت‬

“Bertakwalah kamu kepada Allah dimana pun kamu berada.”14

Dalam hal ini, Al-Qur’an dan Sunnah sama-sama menyebutkan dalil yang menunjukkan
kewajiban bertakwa dan memerintahkan dengannya.

KEDUDUKAN TAKWA

Tak diragukan lagi, bahwa takwa memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, para
nabi dan orang-orang shalih senantiasa mewasiatkan keluarga dan kaumnya dengan ketakwaan.

Al-‘Irbadh A berkata, “Suatu hari Rasulullah N pernah shalat bersama kami. Setelah itu
beliau menghadap kami, dan menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh sehingga mata kami
berlinang dan hati kami bergetar. Salah seorang shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-
akan ini adalah nasihat terakhir, maka apa yang kau wasiatkan kepada kami? Beliau berkata,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah….”

11
Tafsir Al-Qurthubi, (5/389)
12
Syarhu Al-‘Umdah, (3/627)
13
Tafsir As-Sa’d, hal. 207
14
HR. Tirmidzi, no. 1987, dan Ia berkata, “Hadits ini Hasan Shahih.”
Setiap Rasul pasti memberi wasiat kepada kaumnya dengan takwa.

١٠٦ َ‫ِإ ۡذ قَا َل لَهُمۡ َأ ُخوهُمۡ نُو ٌح َأاَل تَتَّقُون‬


“Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak
bertakwa?” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 106)

١٢٤ َ‫ِإ ۡذ قَا َل لَهُمۡ َأ ُخوهُمۡ هُو ٌد َأاَل تَتَّقُون‬


“Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa?”
(QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 124)

َ ٰ ۡ‫ِإ ۡذ قَا َل لَهُمۡ َأ ُخوهُم‬


١٤٢ َ‫صلِ ٌح َأاَل تَتَّقُون‬
“Ketika saudara mereka, Shaleh, berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak
bertakwa?” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 142)

١٦١ َ‫ِإ ۡذ قَا َل لَهُمۡ َأ ُخوهُمۡ لُوطٌ َأاَل تَتَّقُون‬


“Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka, “mengapa kamu tidak
bertakwa?” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 161)

Dan para salafusshalih, mereka senantiasa mengingatkan satu sama lain dengan
ketakwaan.

Dari Abdullah bin Ukaim berkata, “Abu Bakar A berkhutbah di hadapan kami, ia memuji
Allah dengan pujian yang pantas bagi-Nya, lalu ia berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk
bertakwa kepada Allah.”15

Dari Sa’id bin Al-Musayyib, bahwa Abu Bakar A pernah mengutus suatu pasukan
menuju Syam yang di dalamnya ada shahabat Yazid bin Abi Sufyan, Amru bin Al-Ash, dan
Syarahbil bin Hasanah. Para pasukan itu menaiki hewan tunggangan, sedangkan Abu Bakar
berjalan bersama para komandan pasukan hingga sampai di daerah Tsaniyatul Wada’. Mereka
berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, apakah engkau akan berjalan kaki sedangkan kami
berkendara? Abu Bakar menjawab, “Aku mengharap pahala dari Allah pada setiap langkah yang
aku langkahkan di jalan Allah! Kemudian ia memberi wasiat kepada mereka seraya berkata,
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah.”16

Ketika Ali bin Abi Thalib mengutus suatu pasukan untuk ekspedisi tertentu, ia selalu
berwasiat kepada pemimpin yang ia tunjuk, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada
Allah yang pasti kau akan menjumpai-Nya kelak.”17
15
HR. Al-Baihaqi dalam ‘Syu’abul Iman’ , no. 10593, dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim.
16
Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, no. 17904
17
As-Sunnah, Al-Khallal, hal. 59. Pentahqiq kitab tersebut berkata, “Sanadnya Shahih.”
Abu Ubaid Al-Qâsim berkata, “Saya pernah berangkat ke Bashrah untuk mendengarkan
hadits dari Hammad bin Zaid, ketika tiba, ternyata ia telah meninggal dunia. Lalu aku
menceritakan peristiwa itu kepada Abdurrahman bin Mahdi. Dia pun berkata, “Kau boleh
didahului dalam hal apapun, tapi jangan sampai kau didahului dalam hal takwa kepada Allah.”18

Ibnu Taimiyah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui wasiat yang lebih bermanfaat dari
pada wasiat takwa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan kepada orang-orang yang mau
memahami dan mengikutinya. Allah L berfirman,

َ َ‫وا ۡٱل ِك ٰت‬


ْ ُ‫ب ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ َوِإيَّا ُكمۡ َأ ِن ٱتَّق‬
١٣١ …َ ۚ ‫وا ٱهَّلل‬ ْ ُ‫… َولَقَ ۡد َوص َّۡينَا ٱلَّ ِذينَ ُأوت‬
“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab suci
sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’ [4]: 131)

Nabi N berwasiat kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman, beliau
berpesan,

“Wahai Mu’adz, bertakwalah kepada Allah dimana pun kamu berada, dan tutupilah
kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan
akhlak yang baik. ”19

Muadz adalah sahabat yang memiliki kedudukan mulia di sisi Nabi N, beliau pernah
berkata kepadanya, “Wahai Muadz, sesungguhnya aku mencintaimu.”20 Lalu Rasulullah N
berwasiat kepada beliau dengan wasiat ini. Dari sini dapat diketahui, bahwa wasiat takwa (yang
ada dalam hadits tersebut) adalah wasiat yang meliputi seluruh kebaikan bagi orang-orang yang
mau memahaminya, meskipun wasiat itu merupakan tafsiran dari wasiat yang ada dalam Al-
Qur’an.

Adapun sebab yang menjadikan bahwa wasiat takwa mencakup seluruh kebaikan adalah
karena seorang hamba wajib menunaikan dua hak; hak untuk Allah dan hak untuk hamba-
hamba-Nya.

Tapi sebagai manusia, seorang hamba terkadang lalai dalam menunaikan hak tersebut,
entah dengan meninggalkan perintah atau melakukan keharaman. Oleh karena itu Nabi N
berpesan, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun kamu berada.” Inilah kalimat yang mencakup
banyak kebaikan.

Adapun ungkapan Rasul ‘Dimana pun kamu berada’ adalah tanda bahwa ketakwaan
akan selalu dibutuhkan di setiap waktu, baik saat sendiri maupun bersama orang lain.

18
Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, hal. 179.
19
HR. Tirmidzi, no. 1987, dan beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
20
HR. Abu Dawud, no. 1522, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya.
Kemudian Rasulullah N bersabda, “Dan tutupilah kejelekan dengan perbuatan baik,
niscaya ia akan menghapusnya.”

Ibarat seorang dokter, jika ada pasien yang sakit tentu ia akan menyuruhnya untuk
meminum obat-obat yang bisa menyembuhkannya. Demikian pula dengan dosa yang dilakukan
seseorang. Dosa adalah perkara yang pasti terjadi, akan tetapi orang yang cerdas adalah orang
yang selalu melaksanakan amal-amal kebaikan untuk menghapus dosa-dosanya tersebut.”21

Demikianlah kedudukan takwa. Kita dapat mengetahui kemuliaannya melalui wasiat dan
peringatan yang disampaikan oleh para Rasul dan orang-orang shalih terdahulu kepada umatnya.

ORANG YANG BERTAKWA ADALAH WALI ALLAH

Wali-wali Allah adalah orang-orang yang bertakwa, bukan mereka yang mampu berjalan
di atas lautan atau terbang di udara. Allah berfirman,

ْ ُ‫وا َو َكان‬
٦٣ َ‫وا يَتَّقُون‬ ْ ُ‫ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬٦٢ َ‫ف َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل هُمۡ يَ ۡحزَ نُون‬
ٌ ‫َأٓاَل ِإ َّن َأ ۡولِيَٓا َء ٱهَّلل ِ اَل خ َۡو‬
“Ingatlah, wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (QS. Yunus [10]:
62-63)

Dan firman-Nya:

١٩ َ‫… َوٱهَّلل ُ َولِ ُّي ۡٱل ُمتَّقِين‬


“…sedangkan Allah pelindung bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 19)

Yang berhak menjadi wali Allah adalah orang-orang yang bertakwa, yang bersungguh-
sungguh dalam melaksanakan ketaatan dan hal-hal yang disunnahkan.

Dari Abu Hurairah A, Rasulullah N bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman,


‘Barangsiapa yang memusuhi waliku, sungguh Aku telah mengumumkan perang dengannya.
Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepadaku dengan suatu amal kebaikan yang lebih Aku
cintai dari pada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan ada hamba-Ku yang senantiasa
mendekat kepada-Ku dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah sehingga Aku pun
mencintainya.”22

21
Majmu’ Al-Fatawa, (10/653-655)
22
HR. Bukhari, no. 6502
Dari sini, nampaklah kedustaan orang-orang yang menyimpang dari kaum sufi yang
mengaku-ngaku sebagai wali-wali Allah. Padahal tradisi-tradisi mereka sangat menyelisihi
syariat Islam seperti beribadah dengan menari-nari, menabuh genderang saat bayi lahir, dan
berputar-putar dengan ritme yang kian bertambah kencang. Mereka juga senang bergaul dengan
orang-orang ‘Amrad’ (remaja imut yang tidak tumbuh jenggotnya) dan para wanita, sebagaimana
diungkapkan oleh para ulama. Dan yang paling parah, setelah itu mereka mengklaim sebagai
wali-wali Allah, dan menyeru umat Islam untuk beristighatsah (meminta bantuan) kepada
mereka dan meridhai kelakuan mereka.

Sesungguhnya Allah telah memberikan pembeda yang dapat kita gunakan untuk
membedakan siapa wali-wali Allah dan siapa wali-wali setan. Ia berfirman,

ْ ُ‫وا َو َكان‬
٦٣ َ‫وا يَتَّقُون‬ ْ ُ‫ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬٦٢ َ‫ف َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل هُمۡ يَ ۡحزَ نُون‬
ٌ ‫َأٓاَل ِإ َّن َأ ۡولِيَٓا َء ٱهَّلل ِ اَل خ َۡو‬
“Ingatlah, wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati.” (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (QS. Yunus [10]:
62-63)

٣٤ َ‫…ِإ ۡن َأ ۡولِيَٓاُؤ ٓۥهُ ِإاَّل ۡٱل ُمتَّقُونَ َو ٰلَ ِك َّن َأ ۡكثَ َرهُمۡ اَل يَ ۡعلَ ُمون‬
“Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 34)

Syekh As-Sa’di berkata, “Barangsiapa yang beriman dan tertakwa, maka ia berhak
menjadi wali bagi Allah L.”23

TINGKATAN-TINGKATAN TAKWA

Takwa memiliki tiga tingkatan:

Tingkatan Pertama: Meninggalkan perbuatan Syirik dan Kufur

Tingkatan pertama adalah meninggalkan perbuatan syirik dan kekafiran yang


menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka, dengan cara mengamalkan kalimat tauhid dan
menjalankan konsekuensi-konsekuensinya. Inilah makna yang dimaksud dalam firman Allah,

٢٦ …‫… َوَأ ۡل َز َمهُمۡ َكلِ َمةَ ٱلتَّ ۡق َو ٰى‬


“…Dan Allah mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa....” (QS.
Al-Fath [48]: 26)
23
Tafsir As-Sa’di, hal. 368
Sebagian orang memang sanggup menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka, bahkan hal itu menjadi prioritasnya. Namun Ia
belum sanggup mencegah diri dari dosa dan maksiat yang menyebabkan dia masuk neraka meski
tidak kekal selamanya.

Ia menjalankan tauhid dan membenarkan ajaran Rasul N, melaksanakan rukun iman dan
Islam, namun kurang memiliki tekad kuat untuk menghindari secara maksimal dosa-dosa yang
menyebabkannya masuk neraka, yang pada akhirnya ia meremehkan kewajiban dan mudah
terjerumus pada keharaman. Sampai di sini dia harusnya memahami, pada tingkat mana kualitas
ketakwaannya. Dikarenakan jika ia hanya mencukupkan diri dengan hal itu, secara mutlak,
belum bisa dianggap sebagai orang bertakwa, kenapa demikian? Karena dia masih terkena
ancaman siksa neraka, lantaran perbuatannya tersebut kecuali karena rahmat Allah. Meskipun
demikian, pelaku maksiat selama masih bertauhid, mereka berada dibawah kehendak Allah. Jika
Allah berkehendak maka Dia akan mengampuni mereka, dan jika tidak maka Dia akan mengazab
mereka sesuai dengan perbuatan dosa yang mereka lakukan, sampai mereka dikeluarkan dari
neraka.

Tingkatan Kedua: Meninggalkan dosa besar dan dosa kecil

Tingkatan takwa yang kedua yaitu menghindari setiap perbuatan dosa besar atau dosa
kecil yang dapat menyebabkan pelakunya masuk neraka meskipun hanya sementara.

Ibnu Rajab T berkata, “Termasuk ketakwaan yang sempurna adalah konsisten dalam
menjalankan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara-perkara yang syubhat. Demikian
pula mengerjakan amalan-amalan sunnah dan meninggalkan hal-hal yang hukumnya makruh.
Inilah derajat ketakwaan yang paling tinggi. Allah berfirman,

‫ٱلص{{لَ ٰوةَ َو ِم َّما‬


َّ َ‫ب َويُقِيمُون‬ ۡ ِ‫ ٱلَّ ِذينَ ي ُۡؤ ِمنُونَ ب‬٢ َ‫هُدى لِّ ۡل ُمتَّقِين‬
ِ ‫{{ٱلغ َۡي‬ ٗ ‫ب فِي{{ ۛ ِه‬ َ {{ِ‫ ٰ َذل‬١ ‫ا ٓل ٓم‬
َ ۛ ‫ك ۡٱل ِك ٰتَبُ اَل َر ۡي‬
٤ َ‫ك َوبِٱأۡل ٓ ِخ َر ِة هُمۡ يُوقِنُون‬ ‫ُأ‬ ‫ُأ‬ ٰۡ
َ ِ‫نز َل ِمن قَ ۡبل‬
ِ ‫ك َو َمٓا‬ ِ ‫ َوٱلَّ ِذينَ ي ُۡؤ ِمنُونَ بِ َمٓا‬٣ َ‫َرزَ قنَهُمۡ يُنفِقُون‬
َ ‫نز َل ِإلَ ۡي‬
“Alif laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada (Al-Quran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 1-4).

Di antara manusia ada yang mampu menjaga diri dari perbuatan kekafiran dan dosa-dosa
besar, serta senantiasa melazimi ketaatan dan melaksanakan perkara yang wajib. Namun belum
sanggup menghindari dosa-dosa kecil dan tidak banyak mengamalkan ibadah-ibadah sunnah.
Tingkat ketakwaan seperti ini hampir saja mencapai tingkat kesempurnaan takwa. Allah
berfirman,

٣١ ‫ُوا َكبَٓاِئ َر َما تُ ۡنهَ ۡونَ ع َۡنهُ نُ َكفِّ ۡر عَن ُكمۡ َس‍ئَِّاتِ ُكمۡ َونُ ۡد ِخ ۡل ُكم ُّم ۡد َخاٗل َك ِر ٗيما‬
ْ ‫ِإن ت َۡجتَنِب‬
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu
ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’ [4]: 31).

Dari Abu Hurairah A, Rasulullah N bersabda, “Shalat lima waktu, shalat jum’at ke
jum’at berikutnya, puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa antara
waktu-waktu tersebut selama ia tidak melakukan dosa-dosa besar.”24

Jangan remehkan dosa-dosa kecil

Ibnu Mas’ud A menuturkan,

ِِ ِ
ٍ ‫اجر يرى ذُنُوبهُ َك ُذب‬ ‫ِ ِإ‬ ِ ِ
ُ‫اب َمَّر َعلَى َأنْف ه َف َقالَه‬َ َْ ََ َ ‫ َو َّن ال َف‬،‫اف َأ ْن َي َق َع َعلَْيه‬ َ ْ‫ِإ َّن املُْؤ م َن َيَرى ذُنُ ْوبَهُ َكَأنَّهُ قَاع ٌد حَت‬
ُ َ‫ت َجبَ ٍل خَي‬
)‫ بِيَ ِد ِه َف ْو َق َأنِْف ِه‬:‫َأي‬
ْ )‫به َه َك َذا‬
ِِ

“Orang-orang beriman melihat dosa-dosanya seolah ia duduk di lereng gunung dan sangat takut
jika gunung tersebut menimpanya. Sedangkan orang yang fajir melihat dosa-dosanya seperti lalat
yang hinggap di batang hidungnya, lalu ia menghempasnya seperti ini.” Maksudnya
menghempas lalat itu dengan tangannya.25

Allah L berfirman,

١٠٢ َ‫ق تُقَاتِ ِهۦ َواَل تَ ُموتُ َّن ِإاَّل َوَأنتُم ُّم ۡسلِ ُمون‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
َّ ‫وا ٱهَّلل َ َح‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran [3]: 102)

Maksudnya jangan mencukupkan diri dengan menghindari perbuatan yang menyebabkan


kekal di neraka saja, juga jangan hanya menghindari dosa-dosa besar saja, namun juga harus
menjaga diri dari dosa-dosa kecil dan segala bentuk kemaksiatan yang dapat menjerumuskan diri
ke dalam siksa neraka. Hal ini bisa diwujudkan dengan melakukan amal-amal ketaatan yang
akan menjadi perisai kokoh dari api neraka.

Dosa-dosa kecil sangat berbahaya. Sebagaimana Nabi N memperingatkan kita akan hal
itu. Ibnu Mas’ud meriwayatkan, bahwa Rasulullah N bersabda, “Janganlah kalian anggap remeh
dosa-dosa kecil, karena jika dosa-dosa itu terkumpul pada diri seseorang niscaya akan
membinasakannya.” Rasulullah N memberi permisalahan dosa-dosa kecil seperti satu kafilah
musafir yang bermalam di suatu lembah, lalu para pekerja dari mereka datang, seorang lelaki
pergi dan kembali dengan membawa kayu bakar, yang lain juga pergi dan kembali membawa

24
HR. Muslim, no. 233.
25
HR. Bukhari, no. 6308
kayu bakar, demikian seterusnya sampai mereka dapat mengumpulkan tumpukan kayu. Lalu
mereka menyulutkan api tersebut dan mematangkan masakan mereka.”26

“Jangan kau remehkan dosa-dosa kecil

Jika terlalu banyak ia akan menjadi besar

Meskipun dosa kecil itu telah berlalu lama

Tapi di sisi Allah ia tercatat dengan jelas

Hempaskan hawa nafsumu dan jadilah pemberani

Jangan sulit menjadi orang yang taat dan bangkitkanlah semangatmu

Jika seseorang telah cinta kepada Rabb-nya

Hatinya akan lapang dan pikirannya akan terarah

Maka sungguh-sungguh lah dalam meminta petunjuk Rabb-mu

Cukuplah hanya Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan pertolongan

Tingkatan Ketiga: Meninggalkan perkara mubah yang melalaikan

Tingkatan takwa yang ketiga adalah menghindari perkara-perkara yang dapat melalaikan
diri dari Allah, meskipun itu perkara-perkara mubah yang dapat melalaikan diri dari mengingat
Allah atau menghambat kedekatan kepada-Nya. Tingkatan ketiga ini merupakan tingkatan yang
takwa yang paling tinggi dan sempurna.

Menyibukkan diri dengan perkara-perkara mubah dapat melalaikan hati dari mengingat
Allah, bahkan jika terlalu sering melalaikan bisa menyebabkan hati menjadi keras, dan
menjerumuskan kepada hal-hal yang makruh. Apabila sudah terjerumus kepada hal-hal yang
makruh, tidak menutup kemungkinan akan jatuh kepada hal-hal yang haram. Inilah rangkaian
tipu daya setan yang harus diketahui oleh setiap muslim untuk menjaga dirinya.

Dengan demikian, seseorang belum mencapai derajat orang-orang yang bertakwa


manakala ia belum meninggalkan perkara-perkara mubah karena khawatir terjerumus pada hal-
hal yang haram.

Abu Darda’ A berkata, “Tanda kesempurnaan takwa seseorang adalah manakala ia


bertakwa kepada Allah meskipun dalam perkara sekecil biji sawi, bahkan sampai dia
meninggalkan perkara yang menurutnya halal karena khawatir akan menjerumuskan kepada
keharaman.”27

26
HR. Ahmad, no. 22302. Imam Al-Haitsami berkata dalam ‘Majma’u Az-Zawaid, “Para perawinya shahih.”
27
Az-Zuhdu, Ibnul Mubarak (1/19)
Hal ini bukan berarti keharusan untuk meninggalkan semua hal yang halal. Akan tetapi
sifat kehatian-hatian tersebut menuntut agar meninggalkan suatu perkara yang mubah karena
khawatir terjerumus pada hal yang haram, dan inilah yang disebut wara’.

Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bahwa siapa saja yang mengerjakan keburukan
seberat biji sawi pun, niscaya dia akan melihat balasannya, dengan alasan inilah setiap muslim
harus menjaga diri dan menjauhi terhadap satu perkara kecil dari keburukan yang dianggap
remeh karena khawatir akan meluas. Ibarat penggembala yang menggembalakan hewan
ternaknya di sekitar kawasan terlarang, hampir-hampir dia akan memasukinya.

Dari Nu’man bin Basyir A, ia berkata, Rasulullah N bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap
Raja memiliki kawasan terlarang, dan ketahuilah bahwa kawasan terlarang milik Allah adalah
perkara-perkara yang Dia haramkan.”28

Dalam riwayat lain disebutkan, “Dan perbuatan-perbuatan maksiat adalah kawasan


terlarang Allah, barangsiapa yang menggembalakan hewan di sekitar kawasan terlarang
tersebut, dikhawatirkan ia akan memasukinya.”29

Al-Hasan berkata, “Ketakwaan akan senantiasa menghiasi orang-orang yang bertakwa


sampai mereka mau meninggalkan banyak perkara yang halal karena khawatir terjerumus pada
perkara yang diharamkan.”30

Sufyan Ats-Tsauri berkata “Dinamakan orang-orang bertakwa karena mereka berhati-hati


terhadap perkara yang kebanyakan orang tidak berhati-hati darinya.”31

ANTARA ILMU DAN TAKWA

Salah satu pembahasan yang cukup penting dalam bab ini adalah keterkaitan antara ilmu
dan takwa adalah hal yang wajib. Karena takwa tidak akan terwujud dengan benar tanpa adanya
ilmu.

Maka, pertama kali yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah perkara apa yang
harus ia hindari. Sehingga ia harus belajar hukum-hukum agama, belajar tentang halal dan
haram, sampai dia benar-benar mengerti tentang perkara-perkara yang diharamkan untuk dia
jauhi dan tinggalkan.

Dengan dalih takwa, banyak orang bodoh yang meninggalkan semua perkara mubah yang
sama sekali tidak ada unsur keharaman. Sikap seperti ini, tentu tidak proporsional, bahkan
menzhalimi diri sendiri, karena dia mengharamkan dirinya dari perbuatan yang hukumnya
28
HR. Bukhari, no. 52
29
HR. Bukhari, no. 2051
30
HR. Ibnu Abi Dunya dalam kitab ‘At-Taqwa’ sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Ad-Durr Al-Mantsur’ (1/61)
31
HR. Ibnu Abi Dunya dalam kitab ‘At-Taqwa’ sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Ad-Durr Al-Mantsur’ (1/61)
mubah dan meyakini bahwa perbuatannya tersebut adalah ibadah, padahal sedikitpun tidak ada
kaitannya dengan ibadah.

SIFAT-SIFAT ORANG BERTAKWA

Orang-orang yang bertakwa memiliki perangai-perangai yang dapat dikenali oleh orang-
orang di sekitarnya. Allah menyebutkan sebagian sifat-sifat mereka dalam firman-Nya,

1. Keimanan yang kuat kepada yang ghaib. Allah berfirman,

ِ ‫ ٱلَّ ِذينَ ي ُۡؤ ِمنُونَ بِ ۡٱلغ َۡي‬٢ َ‫…هُ ٗدى لِّ ۡل ُمتَّقِين‬
٣ …‫ب‬
“Al-Qur’an petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada
yang ghaib.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2-3)
2. Suka memberi maaf dan lapang dada pada orang lain. Allah berfirman,

٢٣٧ …‫… َوَأن ت َۡعفُ ٓو ْا َأ ۡق َربُ لِلتَّ ۡق َو ٰۚى‬


“Dan sikap pemaafanmu itu lebih dengan dengan takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 237)
3. Meninggalkan dosa-dosa besar, tidak mudah terjerumus dalam dosa-dosa kecil, dan
jika melakukan dosa maka akan segera bertaubat. Allah berfirman,

ْ ‫ف ِّمنَ ٱل َّش ۡي ٰطَ ِن تَ َذ َّكر‬ ٰٓ


٢٠١ ‫ُون‬ ِ ‫ُوا فَِإ َذا هُم ُّم ۡب‬
{َ ‫صر‬ ٞ ‫طَِئ‬ ۡ‫ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ ٱتَّقَ ۡو ْا ِإ َذا َم َّسهُم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi
pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’râf [7]: 201)
4. Jujur dalam ucapan dan perbuatan. Allah berfirman,
ٓ
٣٣ َ‫ق بِ ِٓۦه ُأوْ ٰلَِئكَ هُ ُم ۡٱل ُمتَّقُون‬
َ ‫ص َّد‬ ِّ ‫َوٱلَّ ِذي َجٓا َء بِٱل‬
ِ ‫ص ۡد‬
َ ‫ق َو‬
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar [39]:
33)
5. Mengagungkan syiar- syiar Allah dan peribadahan kepada-Nya. Allah berfirman,

ِ ‫ٰ َذلِ ۖكَ َو َمن يُ َعظِّمۡ َش ٰ َٓعِئ َر ٱهَّلل ِ فَِإنَّهَا ِمن ت َۡق َوى ۡٱلقُلُو‬
٣٢ ‫ب‬
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah,
maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Maksud dari mengagungkan syiar-syiar Allah adalah mengagungkan larangan Allah
dengan tidak melakukannya, dan mengagungkan perintah Allah dengan
melaksanakannya sesuai dengan cara yang diperintahkan.
6. Bersikap adil dan memutuskan suatu perkara dengan keadilan. Allah berfirman,

ْ ُ‫وا هُ َو َأ ۡق َربُ لِلتَّ ۡق َو ٰ ۖى َوٱتَّق‬


٨ …َ ۚ ‫وا ٱهَّلل‬ ْ ُ‫ٱع ِدل‬ ْ ۚ ُ‫ان قَ ۡو ٍم َعلَ ٰ ٓى َأاَّل ت َۡع ِدل‬
ۡ ‫وا‬ ُ ََٔ‫… َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكمۡ َش‍ن‬
“…Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah...” (QS. Al-Mâidah [5]: 8)
Yazid At-Taimi mengisahkan, “Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemukan baju
besinya yang telah hilang diambil oleh seorang Yahudi, lalu ia berkata kepadanya,
“Itu baju besiku yang jatuh dari unta abu-abu milikku.” Yahudi itu berkata, “Tidak,
ini baju besiku, buktinya ada di tanganku.” Yahudi itu pun mengatakan kembali,
“Baiklah, mari kita berdua menghadap hakim kaum muslimin.” Mereka berdua
menyerahkan urusan itu kepada hakim Syuraih.
Saat pengadilan, Syuraih bertanya, “Apa yang Anda kehendaki wahai Amirul
Mukminin? Ali menjawab, “Itu baju besiku, sudah lama hilang tapi ditemukan oleh
orang Yahudi ini.” Lalu Syuraih bertanya pada orang Yahudi itu, “Apa alasanmu
wahai Yahudi?” Ia menjawab, “Ini baju besiku, dan sekarang ada di tanganku.”
Kemudian Syuraih pun mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, memang benar ini
adalah baju besimu, tapi Anda harus menghadirkan dua orang saksi untuk
membenarkannya.”
Lalu Ali memanggil Qanbar budaknya dan Al-Hasan anaknya. Mereka berdua
memberi kesaksian bahwa baju besi itu adalah milik Ali bin Abi Thalib. Mendengar
kesaksian itu, Syuraih berkata, “Kami bisa menerima kesaksian budakmu, tapi kami
tidak bisa menerima kesaksian anakmu.” Kaget mendengar pernyataan tersebut, Ali
kemudian mengatakan, “Tsaqilatka Ummuka (Celakalah Ibumu), tidakkah kau
mendengar Umar A mengatakan bahwa Rasulullah N berkata, “Al-Hasan dan Al-
Husain adalah penghulu pemuda ahli surga.” Syuraih berkata, “Memang benar wahai
Amirul Mukminin.” Lantas Ali bertanya lagi, “Lalu kenapa kau tidak menerima
kesaksian penghulu pemuda ahli surga.” Syuraih menjawab, “Menurut hukum,
kesaksian anak untuk orang tuanya tidak bisa diterima.” Kemudian Ali bin Abi Thalib
pun menyadari dan ridha atas hal itu.
Karena terpesona melihatnya, Yahudi itu kemudian berkata, “Saya heran, seorang
Amirul Mukminin datang bersamaku untuk mengadukan masalah kepada hakim
kaum muslimin, lalu hakim memberikan keputusannya, dan ia pun ridha dengannya.
Wahai Amirul Mukminin sebenarnya Andalah yang benar. Sebenarnya baju besi ini
adalah milikmu, aku menemukannya setelah jatuh dari untamu. Sungguh Aku
bersaksi bahwa tiada illah yang berhak disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah.”32
7. Meneladani jalan para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang shalih,
serta selalu bersama mereka. Allah berfirman,

َّ ٰ ‫وا َم َع ٱل‬
١١٩ َ‫ص ِدقِين‬ ْ ُ‫وا ٱهَّلل َ َو ُكون‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu
dengan orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah [9]: 119)

JALAN MENUJU TAKWA

Takwa tidak hanya diperoleh dengan amal ibadah yang zhahir saja, namun juga diperoleh
dengan amalan-amalan hati seperti rasa takut kepada Allah, selalu merasa diawasi oleh-Nya dan
senantiasa mengagungkan-Nya. Barang siapa yang ingin memperoleh derajat orang-orang yang
bertakwa, hendaknya ia memperbaiki hatinya terlebih dahulu, bersamaan dengan itu ia juga
memperbaiki amal ibadah yang zhahir.

Di antara jalan untuk meraih kedudukan orang-orang yang bertakwa adalah:

1. Berdoa kepada Allah:

Abdullah A meriwayatkan, bahwa Rasulullah N senantiasa memanjatkan doa,

َ ُ‫اللَّهُ َّم ِإنِّي َأ ْسَأل‬


‫ك الُهدَى َوالتُّقَى َوال َعفَافَ َوال ِغنَى‬
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, terjaga dari segala
kemaksiatan dan kekayaan.”33

Dari Zaid bin Arqam A, bahwa Rasulullah N senantiasa berdoa,

{‫اللَّهُ َّم ِآت نَ ْف ِسي تَ ْق َواهَا َوزَ ِّكهَا{ َأ ْنتَ خ ْي ُر َم ْن زَ َّكاهَا َأ ْنتَ َولِيُّهَا َو َموْ اَل هَا‬
“Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada jiwaku, dan sucikanlah dia karena
Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya, dan Engkau lah penjaga dan
pelindungnya.”34

Ketika safar beliau N senantiasa berdoa,

َ ُ‫اللَّهُ َّم ِإنَّا نَ ْسَأل‬


‫ك فِي َسفَ ِرنَا هَ َذا البِ َّر َوالتَّ ْق َوى‬

32
Hilyatul Auliya, (4/140-141)
33
HR. Muslim, no. 2721
34
HR. Muslim, no. 2722
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan dan ketakwaan dalam safarku
ini.” 35

Abdullah bin Umar H menceritakan, bahwa dirinya selalu melazimi doa,

َ‫اللَّهُ َّم اجْ َع ْلنِي ِم ْن َأِئ َّم ِة ال ُمتَّقِ ْين‬


“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk di antara pemimpin orang yang bertakwa.”36

2. Selalu merasa diawasi oleh Allah L:

Sebagian penyair menyenandungkan syairnya,

“Tak ada kebaikan bagi orang yang tidak merasa diawasi oleh Rabbnya

Ketika menuruti hawa nafsunya, dan tidak takut akan Rabbnya

Sungguh ketakwaan akan menghalangi pintu hawa nafsu

Orang bertakwa takut ketika bertemu di hari kiamat

Sedangkan ia dalam keadaan hina37

3. Memperbaiki niat

Aun bin Abdillah berkata, “Pintu ketakwaan adalah niat yang lurus.”38

4. Iman kepada Allah dan Takdir-Nya, yang baik atau buruk

Atha’ bin Abi Rabbah mengisahkan, “Aku pernah bertanya kepada Al-Walid bin
Ubadah bin Ash-Shamit, ‘Apa wasiat ayahmu tatkala hendak meninggal?’ Ia menjawab,
“Sebelum meninggal ia memanggilku, lantas memberi wasiat kepadaku, “Wahai anakku,
aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah. Dan ketahuilah, bahwa kamu
tidak akan mencapai derajat takwa hingga kamu beriman kepada Allah, dan kamu tidak
akan beriman kepada Allah, tidak akan merasakan manisnya iman dan memperoleh ilmu
hingga kamu beriman kepada takdir Allah, yang baik atau yang buruk.”39

Dengan bersabar atas takdir Allah, manusia akan mencapai derajat takwa.
Abdullah bin Aun mengatakan, “Pilar dari ketakwaan adalah sabar.”40

35
HR. Muslim, no. 1342
36
Muwatha’ Malik, no. 510
37
Dzamûl Hawa, Ibnul Jauzi, hal. 236
38
Hilyatul Auliya, (4/250)
39
Asy-Syari’ah, Al-Ajurry, (1/215), dan Al-Qadar, Al-Faryabi, hal. 425. Pentahqiq kitab tersebut berkata, “Sanadnya
Hasan.”
40
Hilyatul Auliya, (4/245)
5. Introspeksi diri

Maimun bin Mihran berkata, “Sesorang tidak akan mencapai derajat takwa hingga
ia lebih banyak mengintrospeksi diri sendiri dari pada mengoreksi kesalahan orang lain,
hingga ia tahu dari mana makanan, minuman, dan pakaian yang ia peroleh. Apakah
diperoleh dari sumber yang halal atau haram.”41

Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi berkata, “Pokok ketakwaan adalah introspeksi


diri.” 42

6. Memiliki Ilmu

As-Sanadi berkata, “Buah dari ilmu adalah ketakwaan.”43

Di antara ilmu yang harus dimiliki adalah ilmu tentang akibat-akibat buruk jika
melakukan perbuatan haram. Karena jika seseorang menghayati akibat buruk yang
menimpa umat-umat terdahulu niscaya hatinya akan tergerak untuk takwa.

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga menuju dunia?
Dari tempat yang penuh dengan kenikmatan dan kesenangan menuju tempat yang penuh
dengan penderitaan dan kesedihan? Penyebabnya adalah kemaksiatan dan meninggalkan
ketakwaan.

Apa yang menyebabkan Iblis dikeluarkan dari singgasana langit? Ia dicampakkan,


dilaknat, dihapus fisik batin dan zhahirnya, serta dijadikan dalam bentuk yang paling
buruk. Allah menjauhkannya dari rahmat dan menggantinya dengan laknat, menjanjikan
bagi mereka neraka sebagai ganti dari surga. Mereka menempati derajat yang paling hina
di sisi Allah, dan menjadi makhluk yang selalu berbuat kefasikan, keburukan dan
menggiring manusia dalam segala bentuk kerusakan. Penyebab dari semua itu, tidak lain
adalah kemaksiatan dan hilangnya ketakwaan.

Apa yang menyebabkan Allah menurunkan hujan yang menenggelamkan


penduduk bumi, hingga genangan air mencapai puncak-puncak gunung di masa Nabi
Nuh Q?

Apa yang menyebabkan Allah mengirimkan angin yang membinasakan kaum ‘Ad
hingga mereka mati seakan-akan tunggul pohon kurma yang telah lapuk di atas
permukaan bumi?

Apa yang menyebabkan Allah mengirimkan azab berupa suara petir yang keras
menggelegar kepada kaum Tsamud hingga memekakkan telinga dan hati mereka?

41
Hilyatul Auliya, (4/89)
42
Hilyatul Auliya, (10/76)
43
Hasyiyatus Sundi ‘Ala An-Nasa’I, (8/336)
Apa yang menyebabkan Allah mengangkat desa Sodom (kaum Nabi Luth) ke
permukaan langit hingga para Malaikat dapat mendengar gonggongan anjing mereka, lalu
dibalikkan tanah yang berada di negeri itu, sehingga tanah yang berada paling bawah
terbalik menjadi berada di paling atas, lalu dilempari dengan batu, dan dijadikanlah
negeri yang berbau busuk tak ada kehidupan di dalamnya.

Apa yang menyebabkan kaum nabi Syuaib diadzab dengan awan yang ketika
berada di atas kepala mereka, seketika menjatuhkan api yang panas?

Dan apa yang menyebabkan Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan di dasar laut,
lalu ruh-ruh mereka digiring menuju neraka Jahannam, dan ditampakkan neraka sebagai
tempat mereka disiksa setiap pagi dan sore?

Penyebab semua itu adalah kemaksiatan dan hilangnya ketakwaan.

Jika seseorang menghayati akibat-akibat buruk dari perbuatan dosa seperti kisah-
kisah di atas, niscaya akan menggerakkan hatinya untuk bertakwa kepada Allah.

Mis’ar bin Kadam berkata,

“Kenikmatan berbuat maksiat akan sirna dari pelakunya

Namun dosa dan kehinaan akan tetap ada

Akibat buruk akan tetap mengiringinya

Tak ada kenikmatan jika berujung neraka44

Sangat menyedihkan, jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan,


lalu perempuan itu hamil, sehingga si laki-laki bingung dan gelisah, apa yang harus ia
perbuat, apakah ia harus menikahi perempuan itu dan menanggung rasa malu yang sangat
besar dalam keluarga, atau haruskah ia membunuh janin yang ada diperut si wanita,
padahal merupakan kejahatan yang besar? Atau haruskah ia meninggalkan perempuan
dan anaknya terkatung-katung dan hidup terlantar? Semua itu adalah akibat buruk dari
kemaksiatan yang ia lakukan, dan semua itu melahirkan kemaksiatan yang lebih besar
lagi.

Seandainya sejak awal dia sadar ada akibat buruk yang akan menimpanya
sebelum melakukan zina, tentu kesadaran tersebut akan mencegahnya dari dosa zina.

7. Malu

44
Hilyatul Auliya, (7/221)
Sufyan bin Uyainah berkata, “Malu adalah bagian kecil dari takwa. Seseorang
tidak akan mencapai kesempurnaan takwa hingga ia memiliki sifat malu. Apakah bisa
orang yang bertakwa mendapatkan kesempurnaan takwa selain dari rasa malunya?”45

Seorang penyair berkata,

“Tidaklah nafsu menggodaku berbuat keburukan

Kecuali kemuliaan dan sifat malu pasti menghalangiku

Tak kan ku arahkan tanganku berbuat keburukan

Tak kan ragu-ragu aku melangkahkan kaki”46

8. Sedekah saat lapang atau sempit

Atha’ T berkata, “Kalian tidak akan mencapai kemulian agama dan takwa hingga
kalian menginfakkan harta kalian dalam keadaan lapang ataupun sempit, padahal ketika
itu kalian mengharapkan penghidupan dan takut akan kefakiran.”47

9. Puasa

Imam Ath-Thahir bin ‘Asyur berkata, “Puasa adalah pokok utama dari ketakwaan.”48

Karena seseorang dapat leluasa mengekang hawa nafsunya saat ia sedang


berpuasa, dan itulah yang menyebabkan ia mudah untuk bertakwa kepada Allah L.

10. Makanan yang halal


Al-Mubarakfuri T berkata, “Mengkonsumsi makanan yang halal adalah pokok
dari seluruh ketakwaan.”49
Imam Al-Munawi T juga berkata, “Berpenghasilan yang halal adalah pokok dari
sifat wara’ dan pilar dari ketakwaan.”50

RUANG LINGKUP TAKWA

Takwa saat sendiri maupun bersama khalayak:

Abu Dzar A mengisahkan, bahwa selama enam hari berturut-turut Rasulullah N selalu
berkata kepadanya, “Wahai Abu Dzar, pahami baik-baik apa yang akan aku sampaikan
45
Faidhul Qadir, (1/487)
46
Al-Mustathraf, (2/351)
47
Tafsir Al-Qurthubi, (4/128)
48
At-Tahrir wa At-Tanwir, hal. 516
49
Tuhfatul Ahwadzi, (6/120)
50
Faidhul Qadir, (6/91)
kepadamu!” Saat tiba hari ke tujuh beliau N berkata, “Aku mewasiatkan kepadamu untuk
bertakwa kepada Allah saat sendiri atau bersama orang lain.”51

Perkara ini memang mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk diamalkan. Faktanya,
banyak orang yang lalai dan lupa bahwa Allah mengawasi tiap gerak-gerik yang ia lakukan saat
sendirian. Ia lupa terhadap sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar H.

Ibnu Umar mengisahkan, “Suatu saat Rasulullah N menarik tubuhku lalu berkata,
“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan Dia melihatmu, dan jadilah di dunia ini seperti orang
asing atau seorang musafir.”52

Abu Nawwas berkata,

“Tatkala kau sendiri, jangan katakan ‘Aku menyendiri’

Tapi katakanlah, ‘Ada Dzat yang mengawasi aku.’

Jangan kira, Allah lalai walau sesaat

Jangan kira, Allah lalai dengan yang tersembunyi”53

Takwa saat mukim maupun safar:

Dari Abu Hurairah A, ada seorang laki-laki berkata pada Rasulullah N, “Wahai
Rasulullah N, sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku wasiat!” Rasulullah N
bersabda, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan bertakbir atas kemuliaan yang kamu
dapatkan.” Ketika laki-laki itu telah berangkat, Rasulullah N kemudian berdoa, “Ya Allah
jadikanlah jarak yang jauh menjadi dekat baginya, dan mudahkanlah dia dalah perjalanan.”54

Takwa saat bepergian memiliki urgensi tersendiri, karena seorang musafir selalunya akan
berpindah-pindah tempat, dan tempat yang ia singgahi berbeda dengan tempat tinggalnya,
terkadang perbuatan yang takut ia lakukan di tempat tinggalnya tidak lagi ditakuti untuk dia
lakukan di tempat safar, di tempat tinggal ia khawatir terjerumus perbuatan keji namun di tempat
lain ia tidak begitu khawatir. Karena itu ketakwaan seorang musafir saat bersafar merupakah hal
yang sangat dibutuhkan.

FAEDAH KETAKWAAN

51
HR. Imam Ahmad, no. 21063, dan dihasankan oleh Al-Albani.
52
HR. Imam Ahmad, no. 6121, dan dihasankan oleh Al-Albani.
53
Tarikh Dimasyqa, (13/455)
54
HR. Tirmidzi, no. 3445, dan beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan.”
Takwa kepada Allah adalah modal yang paling menguntungkan bagi seorang hamba di
dunia dan akhirat. Takwa akan meninggikan derajatnya, menjadi wasilah untuk mencapai
kebaikan dunia akhirat, dan menjadi benteng dari kejahatan keduanya.

Dari Abu Sa’id A ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah N seraya
berkata, “Wahai Rasulullah N, berikanlah wasiat kepadaku! Rasulullah N menjawab,
“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah pilar dari semua kebaikan.”55

Dari Abu Sa’id Al-Khudri A, seorang lelaki pernah mendatanginya lalu berkata, “Berilah
aku wasiat!” Abu Sa’id menjawab, “Kau telah bertanya kepadaku sebuah pertanyaan yang penah
kutanyakan kepada Rasulullah N sebelumnya, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, karena
takwa adalah pokok dari segala sesuatu.”56

Ibnu Mas’ud A berkata, “Kebaikan akan selalu menyertai salah seorang dari kalian
selama ia bertakwa kepada Allah.”57

Salah seorang salaf pernah memberi tulisan berisi nasihat kepada sahabatnya, “Aku
wasiatkan kepada diri ini dan kepadamu untuk bertakwa, karena ia adalah sebaik-baik bekal di
dunia dan akhirat. Jadikanlah ketakwaan sebagai sarana untuk mendapatkan segala kebaikan dan
benteng dari segala keburukan. Sungguh Allah telah menjanjikan bagi tiap orang-orang yang
bertakwa dengan keberuntungan lantaran kehati-hatian mereka dalam bersikap, dan Allah juga
menjanjikan bagi mereka rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”58

Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada sebagian komandan
pasukan,

“Amma ba’du, Sesungguhnya aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada
Allah, taat kepada-Nya, berpegang teguh pada agama-Nya, dan berpegang teguh pada janji yang
Allah bebankan kepada kalian dalam menjaga agama dan kitab yang diturunkan-Nya. Karena
dengan takwa, wali-wali Allah selamat dari murka-Nya, dengan takwa mereka mendapatkan
cinta-Nya, dengan takwa mereka berjalan setapak dengan para nabi-Nya, dengan takwa wajah
mereka bercahaya, dan dengan takwa mereka menghadapkan wajah kepada-Nya. Takwa adalah
perisai dari segala fitnah dunia dan jalan keluar dari petaka di hari kiamat.”59

Maka renungkanlah buah manis dari ketakwaan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an,
sunnah, dan nasihat-nasihat ulama salaf. Betapa banyak kebaikan yang didapatkan karenanya,
betapa banyak pahala yang dijanjikan, dan betapa banyak kebahagiaan yang dirasakan. Jika hal
ini dipahami dengan baik, niscaya kita akan menemukan sebab yang menjadikan kita semangat
dalam ketakwaan, melaziminya, serta mengamalkannya.
55
HR. Thabrani dalam ‘Al-Mu’jam Ash-Shagir’, no. 949. Al-Albani berkata, “Hadits ini Shahih Li Ghairihi.”
56
HR. Ahmad, no. 11365, dan dishahihkan oleh Al-Albani.
57
HR. Bukhari, no. 2964
58
Jami’ul Ulum wa Al-Hikam, hal. 161
59
Hilyatul Auliya, (5/278) dan Ar-Radd ‘Ala Al-Jahmiyyah, hal. 202
Berikut ini beberapa faedah dan buah manis dari takwa, semoga Allah memberi kita
kemampuan untuk mengambil faedah-faedahnya.

Takwa adalah sebab mendapat rahmat Allah:

Dari Salman Al-Farisi A, bahwa Rasulullah N bersabda,

‫ َف َق َس َم ِم ْنه ا‬،‫ض‬ ِ َّ ‫ ُك ُّل رحم ٍة ملء م ا بين‬،‫ات واأَل رض ماَئةَ رحم ٍة‬
ِ ‫اَألر‬
ْ ‫الس َماء َو‬ َ َْ َ ُ ْ َ ْ َ َْ َ َ ْ َ ِ ‫الس َم َاو‬ َّ ‫ِإ َّن اهلل َخلَ َق َي ْو َم َخلَ َق‬
ِ ِ ‫ف‬ ِ ِ ‫ِئ‬
َ ‫ َوبِ َه ا َيت َر‬،‫اء‬
‫اح ُم‬ َ ‫ش َوالطَّْي َر‬
َ ‫الم‬ َ ‫ب ال َو ْح‬ ُ ‫ َوبِ َه ا يَ ْش َر‬،‫الوال َدةُ َعلَى َولَ د َها‬ َ ُ ‫ ب َها َت ْعط‬،‫َر ْح َم ةً َب ْي َن ال َخاَل ِق‬
َ ‫ َو َز‬،‫المت َِّقيَ َن‬
‫اد ُه ْم تِ ْس ًعا َوتِ ْس ِع ْي َن‬ ِ ِ ‫ِئ‬
َ َ‫ فَِإ ذَا َكا َن َي ْو ُم القيَ َامة ق‬،‫الَخاَل ُق‬
ُ ‫ص َر َها َعلَى‬
“Sesungguhnya Allah menciptakan seratus rahmat pada hari Dia menciptakan langit dan
bumi. Setiap satu rahmat mencukupi isi langit dan bumi. Kemudian Allah membagi satu
rahmatnya kepada seluruh makhluk-makhluk-Nya. Dengannya seorang ibu dapat berkasih
sayang terhadap anak-anaknya, dengannya binatang liar dan burung-burung meminum air satu
sama lain, dan dengannya seluruh makhluk saling berkasih sayang. Apabila tiba hari kiamat,
Allah mencukupkan rahmat tersebut kepada orang-orang yang bertakwa dan menambah
sembilan puluh sembilan rahmat lagi bagi mereka.”60

Takwa adalah sebab diterimanya amal:

Ini adalah buah takwa yang paling besar. Allah berfirman,

٢٧ َ‫…ِإنَّ َما يَتَقَبَّ ُل ٱهَّلل ُ ِمنَ ۡٱل ُمتَّقِين‬


“…Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Al-Maidah [5]: 27)

Suatu hari, seorang pengemis pernah mendatangi Ibnu Umar H. Lalu Ibnu Umar berkata
kepada anaknya (Uqail), “Berikanlah satu dinar kepada pengemis itu.” Ia pun memberikannya,
dan setelah pengemis itu pergi, ia berkata kepada ayahnya, “Semoga Allah menerima amalmu
wahai ayah.” Kemudian Ibnu Umar berkata, “Seandainya aku tahu bahwa Allah menerima satu
sujud saja dariku, atau sedekah satu dirham saja dariku, niscaya tidak ada yang lebih aku
inginkan kecuali agar disegerakan kematian untukku. Apakah kamu tahu amalan dari siapa yang
Allah terima? Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.”61

Umar bin Abdul Aziz pernah menulis wasiat kepada seseorang, “Aku wasiatkan engkau
untuk bertakwa kepada Allah yang tidak akan menerima suatu amalan kecuali dari orang yang
bertakwa, Yang tidak memberikan kasih sayangnya kecuali kepada mereka, dan tidak memberi
60
HR. Hakim, no. 7628. Ia berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim. Dan Imam Muslim
meriwayatkannya dari Salman tanpa lafal ‘Qashsharaha ‘alal Muttaqiin.”
61
Tarikh Dimasyqa, (31/146)
pahala kecuali pada amalan yang didasari dengan ketakwaan. Banyak orang yang sanggup
menasehati tentang ketakwaan, tapi hanya sedikit orang yang sanggup mengamalkannya.”62

Takwa adalah sebab keselamatan dari azab dunia:

Allah berfirman,

ْ ُ‫وا َو َكان‬
١٨ َ‫وا يَتَّقُون‬ ْ ُ‫َونَج َّۡينَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
“Dan kami selamatkan orang-orang yang beriman karena mereka adalah orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Fusshilat [41]: 18) Yakni dari azab dunia.

Takwa mengantarkan kepada ridha Allah, menjadi penghapus dosa, penyelamat dari siksa
neraka, dan pembuka pintu keberuntungan di surga:

Tentunya ini adalah tujuan yang paling tinggi, dan paling diinginkan oleh setiap muslim.
Yaitu dimasukkan oleh Allah ke dalam surga dan dijauhkan dari api neraka.

Allah menghapus dosa orang-orang yang bertakwa melalui firman-Nya,


ٰ
ِ َّ‫خَل ٰنَهُمۡ َجن‬
٦٥ ‫ت ٱلنَّ ِع ِيم‬ ۡ ‫وا َوٱتَّقَ ۡو ْا لَ َكفَّ ۡرنَا ع َۡنهُمۡ َس‍ئَِّاتِ ِهمۡ َوَأَل ۡد‬ ِ َ‫َولَ ۡو َأ َّن َأ ۡه َل ۡٱل ِك ٰت‬
ْ ُ‫ب َءا َمن‬
“Dan sekiranya Ahli Kitab itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami hapus kesalahan-
kesalahan mereka, dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh
kenikmatan.” (QS. Al-Maidah [5]: 65)

٥ ‫ق ٱهَّلل َ يُ َكفِّ ۡر ع َۡنهُ َس‍ئَِّاتِ ِهۦ َوي ُۡع ِظمۡ لَ ٓۥهُ َأ ۡجرًا‬
ِ َّ‫… َو َمن يَت‬
“…barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-
kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 5)

Orang-orang bertakwa tidak akan disusahkan dengan huru-hara kedahsyatan hari kiamat:
ٓ
١٠٣ َ‫ع ٱَأۡل ۡكبَ ُر َوتَتَلَقَّ ٰىهُ ُم ۡٱل َم ٰلَِئ َكةُ ٰهَ َذا يَ ۡو ُم ُك ُم ٱلَّ ِذي ُكنتُمۡ تُو َع ُدون‬
ُ َ‫اَل يَ ۡح ُزنُهُ ُم ۡٱلفَز‬
“Kejutan yang dahsyat tidak membuat mereka merasa sedih, dan para malaikat akan
menyambut mereka (dengan ucapan), “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. Al-
Anbiya’ [21]: 103)

Lalu Allah selamatkan mereka dari neraka,


ٰ
‫وا َّونَ َذ ُر ٱلظَّلِ ِمينَ فِيهَا ِجثِ ٗيّا‬
ْ َ‫ ثُ َّم نُنَجِّي ٱلَّ ِذينَ ٱتَّق‬٧١ ‫ض ٗيّا‬ َ ِّ‫ار ُده َۚا َكانَ َعلَ ٰى َرب‬
ِ ‫ك َح ۡت ٗما َّم ۡق‬ ِ ‫َوِإن ِّمن ُكمۡ ِإاَّل َو‬
٧٢
62
Hilyatul Auliya, (5/267)
“Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu
bagi Rabbmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di
dalam (neraka) dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam [19]: 71-72)

Kemudian Allah mewariskan kepada mereka surga,

١٣٣ َ‫ت َوٱَأۡل ۡرضُ ُأ ِع َّد ۡت لِ ۡل ُمتَّقِين‬


ُ ‫ضهَا ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
ُ ‫… َو َجنَّ ٍة ع َۡر‬
“…surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 133)

ۡ ۡ
٦٣ ‫ث ِم ۡن ِعبَا ِدنَا َمن َكانَ تَقِ ٗيّا‬ ِ ُ‫تِلكَ ٱل َجنَّةُ ٱلَّتِي ن‬
ُ ‫ور‬
“Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu
bertakwa.” (QS. Maryam [19]: 63)

٣١ ‫ت ۡٱل َجنَّةُ لِ ۡل ُمتَّقِينَ غ َۡي َر بَ ِعي ٍد‬


ِ َ‫َوُأ ۡزلِف‬
“Sedangkan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang
tidak jauh (dari mereka).” (QS. Qaaf [50]: 31)

٣١ ‫ِإ َّن لِ ۡل ُمتَّقِينَ َمفَا ًزا‬


“Sesungguh, orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan.” (QS. An-Naba’ [78]: 31)
ٰ
ٖ َّ‫ِإ َّن ۡٱل ُمتَّقِينَ فِي َجن‬
٥٤ ‫ت َونَهَ ٖر‬
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai.”
(QS. Al-Qamar [54]: 54)

Mereka masuk ke dalam surga dengan berkelompok-kelompok

٧٣ .…‫ق ٱلَّ ِذينَ ٱتَّقَ ۡو ْا َربَّهُمۡ ِإلَى ۡٱل َجنَّ ِة ُز َمر ًۖا‬
َ ‫َو ِسي‬
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabbnya diantar ke dalam surga secara
berombongan....” (QS. Az-Zumar [39]: 73)

Mereka masuk surga bukan dengan berjalan kaki, melainkan dengan menaiki tunggangan
dengan kedudukan yang terhormat.

٨٥ ‫يَ ۡو َم ن َۡح ُش ُر ۡٱل ُمتَّقِينَ ِإلَى ٱلر َّۡح ٰ َم ِن َو ۡف ٗدا‬


“(Ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada
Allah Yang Maha Pengasih, bagaikan kafilah yang terhormat.” (QS. Maryam [19]: 85)

Lalu mereka berkumpul dengan orang-orang yang mereka cintai,

٦٧ َ‫ض َع ُد ٌّو ِإاَّل ۡٱل ُمتَّقِين‬ ُ ‫ٱَأۡل ِخٓاَّل ُء يَ ۡو َمِئ ۢ ِذ بَ ۡع‬


ٍ ‫ضهُمۡ لِبَ ۡع‬
“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka
yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 67)

Mereka saling bertemu bersaudara dan duduk di atas dipan-dipan.

ُ ‫ َونَز َۡعنَ{{ا َم{{ا فِي‬٤٦ َ‫ ۡٱد ُخلُوهَ{{ا بِ َس { ٰلَ ٍم َءا ِمنِين‬٤٥ ‫ت َو ُعيُو ٍن‬ ٰ
ٍّ‫ور ِهم ِّم ۡن ِغ{ ل‬
ِ ‫ص { ُد‬ ٖ َّ‫ِإ َّن ۡٱل ُمتَّقِينَ فِي َجن‬
٤٧ َ‫ِإ ۡخ ٰ َونًا َعلَ ٰى ُسر ُٖر ُّمتَ ٰقَبِلِين‬
“Sesungguhnya orang yang bertakwa itu berada dalam surga-surga (taman-taman), dan
(di dekat) mata air (yang mengalir). (Allah berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera dan aman.” Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka;
mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr [15]:
45-47)

Mereka mendapatkan apa yang dikehendaki hawa nafsu mereka.

َ ِ‫ُونَ َك ٰ َذل‬
٣١ َ‫ك يَ ۡج ِزي ٱهَّلل ُ ۡٱل ُمتَّقِين‬ ُ َّ‫َج ٰن‬
ۚ ‫ت ع َۡد ٖن يَ ۡد ُخلُونَهَا ت َۡج ِري ِمن ت َۡحتِهَا ٱَأۡل ۡن ٰهَ ۖ ُر لَهُمۡ فِيهَا َما يَ َشٓاء‬
“(yaitu) surga-surga ‘Adn yang mereka masuki, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di
dalam (surga) itu mereka mendapat segala apa yang diinginkan. Demikianlah Allah memberi
balasan kepada orang yang bertakwa.” (QS. An-Nahl [16]: 31)

Mereka di tempatkan di tempat-tempat tinggi yang di atasnya dibangun pula tempat-


tempat yang tinggi.

ُ ِ‫َّة ت َۡج ِري ِمن ت َۡحتِهَا ٱَأۡل ۡن ٰهَ ۖ ُر َو ۡع َد ٱهَّلل ِ اَل ي ُۡخل‬ٞ ‫ف َّم ۡبنِي‬
‫ف‬ ٞ ‫ٰلَ ِك ِن ٱلَّ ِذينَ ٱتَّقَ ۡو ْا َربَّهُمۡ لَهُمۡ ُغ َر‬
ٞ ‫ف ِّمن فَ ۡوقِهَا ُغ َر‬
٢٠ ‫ٱهَّلل ُ ۡٱل ِمي َعا َد‬
“Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Rabbnya, mereka mendapat kamar-kamar
(di surga), di atasnya terdapat pula kamar-kamar yang dibangun (bertingkat-tingkat), yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan memungkiri janji(-
Nya).” (QS. Az-Zumar [39]: 20)

Mereka menikmati naungan surga dan mata airnya.

٤٣ َ‫ُوا هَنِ ۢٓ‍ئَا بِ َما ُكنتُمۡ ت َۡع َملُون‬ ۡ ‫وا َو‬


ْ ‫ٱش َرب‬ ْ ُ‫ ُكل‬٤٢ َ‫ َوفَ ٰ َو ِكهَ ِم َّما يَ ۡشتَهُون‬٤١ ‫ُون‬ ٰ ۡ
ٖ ‫ِإ َّن ٱل ُمتَّقِينَ فِي ِظلَ ٖل َو ُعي‬
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (pepohonan surga yang
teduh) dan (di sekitar) mata air, dan buah-buahan yang mereka sukai. (Katakan kepada
mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. Al-Mursalât [77]: 41-43)

Mereka mendapatkan kemuliaan, derajat yang tinggi, dan kehormatan di surga.

ْ ۘ ‫ُوا ۡٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ۡنيَا َويَ ۡس{ َخرُونَ ِمنَ ٱلَّ ِذينَ َءا َم‬
ُ ‫نُوا َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّقَ{ ۡ{و ْا فَ{ ۡ{وقَهُمۡ يَ{ ۡ{و َم ۡٱلقِ ٰيَ َم{ ۗ ِة َوٱهَّلل‬ ْ ‫ُزيِّنَ لِلَّ ِذينَ َكفَر‬
٢١٢ ‫اب‬ ٖ ‫ق َمن يَ َشٓا ُء بِغ َۡي ِر ِح َس‬ ُ ‫يَ ۡر ُز‬
“Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan
mereka menghina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada
di atas mereka pada hari Kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki
tanpa perhitungan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 212)

Abu Hurairah A meriwayatkan, bahwa Rasulullah N pernah ditanya tentang amalan


apakah yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga? Maka beliau
menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.”63

“Sungguh nikmat balasan surga bagi orang-orang yang bertakwa

Tempat idaman, penuh karunia dan pemberian”64

Takwa adalah sebab diampunkannya dosa pada diri orang yang bertakwa dan orang lain

Ibnu ‘Asyur T berkata, “Takwa menjadi sebab diampunkannya dosa bagi orang yang
bertakwa dan orang yang ada di sekitarnya. Hal itu karena salah satu konsekuensi dari takwa
adalah menjauhi perbuatan maksiat yang dilakukan orang sekitar, jika yang demikian dilakukan,
bisa jadi mereka akan berhenti dari kemaksiatan karena rasa putus asa atau malu. Dengan
demikian, sebagian kemaksiatan dapat dihentikan. Dan hal tersebut merupakan bentuk
pengampunan dari Allah.”65

Takwa adalah sebab mendapat kemuliaan di sisi Allah

Allah berfirman,

١٣ … ۚۡ‫…ِإ َّن َأ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ۡتقَ ٰى ُكم‬


“…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa...” (QS. Al-Hujurât [49]: 13)
63
HR. Tirmidzi, no. 2004, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
64
Syarhu Syudzûri Adz-Dzahab, hal. 27
65
At-Tahrir Wa At-Tanwir, no. 3403
Allah, para Malaikat-Nya, dan seluruh manusia mencintai orang yang bertakwa

Allah berfirman,

٧٦ َ‫بَلَ ٰۚى َم ۡن َأ ۡوفَ ٰى بِ َع ۡه ِد ِهۦ َوٱتَّقَ ٰى فَِإ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ۡٱل ُمتَّقِين‬
“Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 76)

Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberitahu Jibril supaya
mencintainya, dan demikian pula penduduk langit dan penduduk bumi juga akan ikut
mencintainya.

Ibnu Umar H berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Rabbnya dan memperoleh
rahmat-Nya, niscaya umurnya akan dipanjangkan, hartanya akan dilapangkan, dan dicintai oleh
keluarganya.”66

Zaid bin Aslam berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka ia akan dicintai
manusia (dalam hati mereka), meski dalam dunia nyata mereka (menampakkan rasa) tidak suka
dengannya.”67

Allah akan menolong orang yang bertakwa dan meneguhkan hati mereka

Allah berfirman,

١٩٤ َ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ َم َع ۡٱل ُمتَّقِين‬ ْ ُ‫… َوٱتَّق‬


ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬
“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 194)

Ma’iyyah (kebersamaan) Allah disini adalah pertolongan, kekuatan, dan peneguhan hati
sebagaimana yang telah Allah berikan kepada para Nabi-Nya yang bertakwa. Allah berfirman
kepada Musa dan Harun I,

٤٦ ‫ال اَل تَخَ افَ ۖٓا ِإنَّنِي َم َع ُك َمٓا َأ ۡس َم ُع َوَأ َر ٰى‬


َ َ‫ق‬
“Dia (Allah) berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama
kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaha [20]: 46)

66
HR. Al-Bukhari dalam ‘Al-Adab Al-Mufrad’, no. 58, dan dihasankan oleh Al-Albani.
67
Hilyatul Auliya, (3/222)
Seorang laki-laki berkata kepada Yunus bin Ubaid, “Berilah aku wasiat.” Ia menjawab,
“Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa dan berbuat kebaikan. Karena sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”68

Dan akhir yang baik selalunya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Allah
berfirman,

١٢٨ َ‫ُورثُهَا َمن يَ َشٓا ُء ِم ۡن ِعبَا ِد ۖ ِهۦ َو ۡٱل ٰ َعقِبَةُ لِ ۡل ُمتَّقِين‬ َ ‫…ِإ َّن ٱَأۡل ۡر‬
ِ ‫ض هَّلِل ِ ي‬
“…Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Al-A’râf [7]: 128)

Takwa adalah sebab berkahnya suatu amalan

Laits bin Abi Sulaim menulis surat kepada Sulaiman bin Tarkhan yang berisi,

“Semoga keselamatan selalu menyertaimu, aku memuji Allah yang tiada Illah selain Dia,
Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan dan
hamba-Nya. Amma ba’du. Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah, karena
orang yang bertakwa akan selalu bermanfaat amalan-amalan yang mereka kerjakan, baik sedikit
atau banyak. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang bertakwa
dengan keutamaan rahmat-Nya.”69

Mendapat kabar gembira

Orang yang bertakwa akan mendapat kabar gembira, baik berupa pujian dari manusia
atau kabar gembira dari para malaikat ketika ajal tiba. Allah berfirman,

‫ لَهُ ُم ۡٱلب ُۡش { َر ٰى‬٦٣ َ‫وا يَتَّقُون‬


ْ ُ‫وا َو َكان‬
ْ ُ‫ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬٦٢ َ‫ف َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل هُمۡ يَ ۡحزَ نُون‬ ٌ ‫َأٓاَل ِإ َّن َأ ۡولِيَٓا َء ٱهَّلل ِ اَل خ َۡو‬
٦٤ ‫ت ٱهَّلل ۚ ِ ٰ َذلِكَ هُ َو ۡٱلفَ ۡو ُز ۡٱل َع ِظي ُم‬
ِ ‫فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا َوفِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ۚ ِة اَل ت َۡب ِدي َل لِ َكلِ ٰ َم‬
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita
gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji
Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS. Yunus [10]: 62-64)

Takwa adalah sebab memperoleh hidayah Al-Qur’an

Allah berfirman,

َ ۛ ‫ٰ َذلِكَ ۡٱل ِك ٰتَبُ اَل َر ۡي‬


٢ َ‫ب فِي ۛ ِه هُ ٗدى لِّ ۡل ُمتَّقِين‬
68
Jami’ul Ulum Wa Al-Hikam, hal. 161
69
Dzammu Ad-Dunya, hal. 419
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2)

Takwa adalah sebab mendapat ilmu yang bermanfaat

Allah berfirman,

٢٨٢ ‫يم‬ٞ ِ‫وا ٱهَّلل ۖ َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ۗ ُ َوٱهَّلل ُ بِ ُك ِّل َش ۡي ٍء َعل‬
ْ ُ‫… َوٱتَّق‬
“…Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)

Karena itu, kemaksiatan adalah salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya suatu
ilmu, melemahnya hafalan, kesusahan dalam memahami suatu persoalan dan kurangnya
kesemangatan dalam menuntut ilmu. Perbuatan maksiat akan menghalangi pelakunya dari
mendapatkan barakah ilmu.

Sebab memperoleh bashirah

Orang yang bertakwa akan senantiasa dikaruniai bashirah dan furqan, yang dengannya ia
mampu membedakan antara yang haq dan batil. Ia akan mendapatkan cahaya dari Rabbnya yang
menyinari perjalanan hidupnya, dengannya ia akan semakin berhati-hati dari keburukan dan
selalu mengharap kebaikan sampai ia mendapat taufiq dari Allah L. Allah berfirman,

ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإن تَتَّق‬


ۡ َ‫وا ٱهَّلل َ يَ ۡج َع{{ل لَّ ُكمۡ فُ ۡرقَ ٗان{ ا َويُ َكفِّ ۡر عَن ُكمۡ َس{‍َٔيِّاتِ ُكمۡ َويَ ۡغفِ{ ۡ{ر لَ ُكمۡ ۗ َوٱهَّلل ُ ُذو ۡٱلف‬
‫ض{ ِل‬
٢٩ ‫ۡٱل َع ِظ ِيم‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan
menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Allah memiliki karunia yang
besar.” (QS. Al-Anfâl [8]: 29)

Takwa adalah jalan keluar dari setiap masalah, dan sumber datangnya rezeki dari arah
yang tak disangka-sangka

Karena Allah lah yang menjanjikan hal tersebut, dan Allah tidak akan menyelisihi janji-
Nya. Allah berfirman,

٣ … ُ‫ث اَل يَ ۡحت َِس ۚب‬


ُ ‫ َويَ ۡر ُز ۡقهُ ِم ۡن َح ۡي‬٢ ‫ق ٱهَّلل َ يَ ۡج َعل لَّ ۥهُ َم ۡخ َر ٗجا‬
ِ َّ‫… َو َمن يَت‬
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar
baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya…” (QS. Ath-
Thalaq [65]: 2-3)

Seorang pedagang menceritakan bahwa dirinya pernah bekerja sebagai pedagang


perabotan-perabotan rumah. Saat itu ia masih menjalankan praktek suap menyuap dalam banyak
tranksaksi yang ia lakukan. Ketika ia tahu bahwa itu adalah perbuatan haram dan dosa besar, ia
pun bersegera bertaubat dan bertakwa kepada Allah dalam setiap tranksaksi, ia berhenti dari
tranksaksi suap menyuap karena ketakutannya kepada Allah L. Selang beberapa waktu, ia
melanjutkan kisahnya, “Sejak hari itu ia kerap didatangi orang yang memesan barang-barang
dagangannya tanpa suap, Allah memenuhi tiap kebutuhannya, mengganti dengan balasan yang
baik, dan menyegerakan tujuan yang selama ini diinginkan, karena dia jujur kepada Allah
dengan ketakwaannya.

Takwa tidak hanya dituntut pada satu perkara tanpa mengindahkan perkara lainnya, tidak
hanya dituntut untuk menjalankan satu perintah tapi melalaikan perintah lainnya, dan tidak hanya
dituntut untuk meninggalkan satu larangan tapi melalaikan larangan yang lain. Karena itu, orang
yang tak kunjung menemukan jalan keluar dari masalahnya, hendaklah ia mengintrospeksi
dirinya terlebih dahulu; apakah dia sudah menjalankan ketakwaan dengan sebenar-benarnya.

Tidak diragukan, bahwa orang yang hanya mengindahkan satu perintah tapi
meninggalkan perintah yang lain, dan meninggalkan satu larangan tapi masih suka menerjang
larangan lainnya adalah orang yang tidak mewujudkan kesempurnaan takwa, sehingga ia tidak
berhak memperoleh kesempurnaan pahala yang dijanjikan oleh Allah L kepada orang-orang
yang bertakwa.

Takwa adalah sebab dipermudahkannya suatu urusan

Allah berfirman,

٤ ‫ق ٱهَّلل َ يَ ۡج َعل لَّ ۥهُ ِم ۡن َأمۡ ِرِۦه ي ُۡس ٗرا‬


ِ َّ‫… َو َمن يَت‬
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 4)

Orang bertakwa mendapat keberkahan dari langit dan bumi

Keberkahan artinya memperbanyak kuantitas yang sedikit. Allah L berfirman,

ٖ ‫وا َوٱتَّقَ ۡو ْا لَفَت َۡحنَا َعلَ ۡي ِهم بَ َر ٰ َك‬


ِ ‫ت ِّمنَ ٱل َّس َمٓا ِء َوٱَأۡل ۡر‬
٩٦ …‫ض‬ ٓ ٰ ‫َولَ ۡو َأ َّن َأ ۡه َل ۡٱلقُ َر‬
ْ ُ‫ى َءا َمن‬
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi...” (QS. Al-A’râf [7]: 96)
Artinya Allah meluaskan bagi mereka pintu-pintu rezeki dan memberi kemudahan bagi
mereka untuk mendapatkannya, karena ketakwaan yang mereka lakukan.

Sebaliknya, jika ketakwaan diabaikan maka yang akan terjadi adalah kerusakan di atas
bumi. Allah L berfirman,

ْ ُ‫ض ٱلَّ ِذي َع ِمل‬ ۡ ۡ ۡ


٤١ َ‫وا لَ َعلَّهُمۡ يَ ۡر ِجعُون‬ ِ َّ‫ظَهَ َر ٱلفَ َسا ُد فِي ٱلبَ ِّر َوٱلبَ ۡح ِر بِ َما َك َسبَ ۡت َأ ۡي ِدي ٱلن‬
َ ‫اس لِيُ ِذيقَهُم بَ ۡع‬
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum [30]: 41)

Pencemaran udara yang kotor, munculnya penyakit-penyakit ganas, seperti kanker dan
yang lainnya merupakan bentuk kerusakan yang timbul karena hilangnya ketakwaan dari diri
manusia.

Dahulu, ada seorang wanita Badui yang sangat paham akan hal ini (faedah ketaqwaan), ia
pun berwasiat kepada anaknya sebelum memulai perjalanan, “Aku wasiatkan kepadamu untuk
selalu bertakwa kepada Allah, karena sedikit ketakwaan yang kau miliki lebih bermanfaat dari
pada kecerdasan akalmu.”70

Orang yang bertakwa akan mendapat penjagaan dari Allah

Setiap orang tidak akan luput dari musuh yang membuat tipu daya dan dari orang-orang
yang dengki. Allah berfirman,

١٢٠ …‫وا اَل يَضُرُّ ُكمۡ َك ۡي ُدهُمۡ َشۡ‍ئً ۗا‬


ْ ُ‫ُوا َوتَتَّق‬
ْ ‫َصبِر‬
ۡ ‫… َوِإن ت‬
“…Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu
sedikit pun....” (QS. Ali Imran [3]: 120)

Maka dengan ketakwaan, Allah akan membentengi orang yang bertakwa dari kejahatan
orang-orang jahat dan tipu daya orang-orang fasik.

Suatu saat Aisyah X pernah menulis wasiat kepada Muawiyah A,

“Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah, karena jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Ia akan melindungimu dari kejahatan manusia, namun jika kamu
takut kepada manusia, maka mereka tidak akan dapat membelamu sedikitpun di hadapan Allah.
Maka hendaklah kamu bertakwa kepada Allah.”71

70
Shifatus Shafwah, (4/393)
71
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 35717
Dunia dipenuhi dengan banyak marabahaya dan realita yang menyakitkan. Oleh karena
itu, ketakwaan yang diamalkan oleh seseorang menjadi salah satu faktor bagi Allah L untuk
menjagannya dari keburukan-keburukan tersebut.

Al-Aghor Abu Malik berkata, “Ketika Abu Bakar A ingin mengangkat Umar bin Al-
Khatthab sebagai khalifah setelahnya, ia menyuruh orang untuk memanggilnya. Saat Umar
sudah berada di hadapannya, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya aku memanggilmu untuk
sebuah urusan yang akan melelahkan orang yang memikulnya. Maka bertakwalah kepada Allah
wahai Umar dengan menjalankan ketaatan, dan taatilah Allah dengan menjalankan ketakwaan.
Karena orang yang bertakwa akan selalu diberi keamanan dan penjagaan dari Allah.”72

Umar bin Al-Khatthab pernah menulis sebuah surat untuk anaknya Abdullah, “Amma
ba’du, Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah, karena barangsiapa yang
bertakwa, niscaya Allah akan menjaganya. Barangsiapa yang menginfakkan hartanya, niscaya
Allah akan memberi balasan yang lebih baik baginya, dan barangsiapa yang bersyukur kepada-
Nya niscaya akan ditambah rezekinya. Jadikanlah ketakwaan sebagai pengingat bagimu dan
penghapus kesedihanmu.”73

Sebelum Abdul Malik bin Marwan meninggal, ia mengumpulkan anak-anaknya seraya


berkata, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah
pelindung kokoh dari segala dosa, perisai yang akan selalu melindungi, tempat teraman untuk
bersembunyi dan perangai yang paling indah.”74

Mendapat penjagaan dalam keluarga, harta, dan memperoleh kebaikan-kebaikan

Allah berfirman,

ْ ُ‫وا ٱهَّلل َ َو ۡليَقُول‬


٩ ‫وا قَ ۡواٗل َس ِديدًا‬ ْ ُ‫وا َعلَ ۡي ِهمۡ فَ ۡليَتَّق‬ ِ ‫وا ِم ۡن خ َۡلفِ ِهمۡ ُذرِّ ي َّٗة‬
ْ ُ‫ض ٰ َعفًا خَاف‬ َ ‫َو ۡليَ ۡخ‬
ْ ‫ش ٱلَّ ِذينَ لَ ۡو تَ َر ُك‬
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 9)

Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada tiap orang tua yang khawatir
meninggalkan di belakang mereka keturunan-keturunan yang lemah agar selalu bertakwa dalam
setiap urusan, karena dengan ketakwaan itulah mereka bisa menjaga kualitas anak keturunan
mereka dan merawat mereka dengan petunjuk dari Allah L.

Sarana untuk menjadi orang yang mulia dan terhormat di mata manusia

72
Al-Mu’jam Al-Kabir, Ath-Thabrani, no. 37
73
Jami’ul Ulum wa Al-Hikam, hal. 161
74
Tarikh Dimasyqa, (63/171)
Yahya bin Mu’adz berkata,

َ ِ‫اآلخَر َة َف َعلَْي ِه ب‬
‫الت ْق َوى‬ ِ ‫الد ْنيا و‬
َ َ ُ َ‫ب َر ْف َعة‬
َّ ‫َأح‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa yang menghendaki keluhuran di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia bertakwa.”75

Abu ‘Atahiyah berkata,

“Ketahuilah, bahwa takwa adalah kemuliaan dan kehormatan

Sedangkan cintamu pada dunia, adalah kehinaan dan kepedihan

Tak kan ada kekurangan dalam diri orang yang bertakwa

Jika ia mewujudkan takwa dengan sungguh-sungguh

Meski ia hanya seorang pengrajin tenun atau tukang bekam.”76

As-Sarri bin Hayyan berkata,

“Kekurangan fisik tak akan mempengaruhi orang yang bertakwa

Ia akan tetap mulia dan terhormat

Ketakwaan akan senantiasa menambah kekayaan baginya

Selama itu adalah ketakwaan yang mulia nan menyejukkan.”77

Sebagian penyair berkata,

“Tak ada gunanya melakukan sesuatu tanpa ketakwaan

Karena kemuliaan hanya untuk orang-orang yang bertakwa.”78

Allah akan mengganti kebaikan yang lebih baik

Abu Qatadah dan Abu Duhama’ mengisahkan, “Kami pernah menjumpai seorang laki-
laki Badui, lantas ia berkata, “Rasulullah N pernah menggandeng tanganku lalu mengajariku
suatu perkara yang pernah diajarkan oleh Allah kepadanya, “Tidaklah kamu meninggalkan suatu
perkara karena takut kepada Allah, melainkan Allah akan menggantinya dengan yang lebih
baik.”79

Takwa adalah pengganti dari segala sesuatu


75
Shifatus Shafwah, (4/97)
76
Tarikh Baghdad, (6/259)
77
Hilyatul Auliya, (6/375)
78
Faidhul Qadir, (2/144)
79
HR. Ahmad, no. 20215. Al-Haitsami berkata, “Para perawinya adalah perawi yang shahih (11/207)
Ketika Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah, ia berkhutbah seraya memuji
Allah L lantas mengatakan, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah,
karena takwa adalah pengganti dari segala sesuatu, dan tidak sesuatu pun yang dapat
menggantikan takwa.”80 Artinya takwa dapat menggantikan segala sesuatu yang hilang, namun
jika takwa yang hilang, maka tidak akan satupun yang dapat menggantikannya.

Salah seorang penuntut ilmu pernah menulis surat kepada Siwar bin Abdullah yang pada
waktu itu tengah dilantik sebagai hakim, “Wahai Siwar, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu
bertakwa kepada Allah, yang telah menjadikan takwa sebagai pengganti dari seluruh perkara
dunia yang fana, dan tidak menjadikan satupun dari perkara dunia yang mampu menggantikan
ketakwaan. Karena takwa adalah pegangan bagi orang yang berakal, dengannya ia menenangkan
diri dan dengannya ia mencari petunjuk.”81

Takwa adalah sebab tenangnya hati

Imam Suyuthi berkata, “Takwa akan menambah rezeki dan menenangkan hati.”82

PENUTUP

Sungguh, takwa kepada Allah adalah bekal paling berharga yang dimiliki manusia di
dunia ini, karena ia menjadi sebab datangnya seluruh kebaikan dan keberuntungan, dan kunci
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Abu Darda’ menyenandungkan sebuah syair

Tiap orang menghendaki cita-cita besarnya

Namun Allah enggan memberikan, kecuali apa yang Ia kehendaki

Tiap orang mengatakan, ‘Ini harta dan kelebihanku.’

Padahal takwa pada Allah lebih utama dari semua yang ia dapat.83

Takwa ibarat pintu yang tak terhingga ujungnya. Maka hendaklah engkau selalu menjaga
ketakwaan, dan bertakwalah kepada Allah dalam segala perkara, dalam setiap detik dan jam
yang kau lewati. Meskipun kau akan dianggap asing oleh orang-orang di sekitarmu.

Pemegang kebenaran dan ketakwaan seperti orang asing di zaman ini

80
Shifatus Shafwah, (2/114), Tarikh Dimasyqa, (45/357)
81
Al-Qana’ah wa Al-‘Afaaf, hal. 133
82
Syarhu Sunan Ibni Majah, no. 311
83
Hilyatul Auliya, (1/225)
Tetaplah asing selama kau bertakwa kepada Allah

Dan Ikutilah jalan keselamatan84

Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah sebelum tiba saat perpisahan dari dunia dan
orang-orang yang kau cintai. Abu Al-‘Atâhiyah berkata,

“Hiduplah semaumu

Di bawah kemegahan naungan istana

Kau memang sanggup mendapat sesuatu yang kau senangi

Ketika pagi dan sore hari

Tapi jika jiwa sudah sekarat

karena sempitnya nafas dalam dada

Saat itulah engkau baru sadar dan yakin

Bahwa selama ini engkau berada dalam tipu daya

Ya Allah, wafatkanlah kami dengan kalimat takwa, dan hidupkanlah kami dengannya,
serta jadikanlah kami termasuk orang-orang terbaik yang menjalankannya.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad N, hamba yang
terpercaya, dan kepada keluarga dan segenap sahabat beliau. Akhir kata, Alhamdulillahi Rabbil
‘Aalamin.

Muhammad bin Shalih Al-Munajjid

84
NasyrThi At-Ta’rif fi Fadhli Hamalati al-‘Ilmi Asy-Syarif, Al-Khubaisyi , hal. 86

Anda mungkin juga menyukai