TAWADHU
Disusun Oleh :
Dicky Aditia
M. Iza Ikrammuallah
Wisba En Wari
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tawadhu’ beserta dalil yang berdasarkan al-qur’an dan hadits?
2. Apa macam-macam tawadhu’ dan tanda-tandanya?
3. Apa keutamaan sifat tawadhu’?
4. Bagaimana Cara Menghilangakan Kesombongan dan Mengupayakan Ketawadlu’an?
C. Tujuan Penulisan
A. Pengertian Tawadhu’
Secara Etimologi Arab kata, tawadhu’ berasal dari kata ( يتواضع- )تواضعyang mempunyai arti (merendahkan
diri, rendah hati). Selain itu ada kata lain ( )وضعyang artinya “tempat, letaknya”. (Mahmud Yunus, 1992: 105).
Tawadhu’ secara Terminologi Menurut Al-Ghozali (1995:350). Tawadhu’ adalah mengeluarkan kedudukanmu
atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Pada hakekatnya tawadhu’ itu adalah “sesuatu
yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.” (Ahmad Athoillah, 2006: 448).
Tawadhu adalah kerendahan hati yang tidak menilai dirinya lebih baik dari orang lain dan tuntutannya adalah
perilaku dan ucapan hormat kepada orang lain. (Mulla Ahmad Naraqi, Mi’rajus Saadah, halaman 300).
Sebagaimana akhlak-akhlak yang lain, ketawadhu’an juga mempunyai dua ujung dan pertengahannya. Salah
satu ujungnya adalah yang cenderung kepada sikap berlebihan, dan ini dinamakan kesombongan. Sedangkan
ujung yang lain adalah yang cenderung kepada sikap mengurang-ngurangkan, dan ini dinamakan menghinakan
dan merendahkan diri. Dan pertengahan antara kedua sikap inilah yang dinamakan tawadhu’. Dan tawadhu’
yang terpuji adalah yang tidak sampai menghinakan diri. Masing-masing dari dua ujung ini tercela. Dan
sebaik-baik perkara yang disukai Allah adalah pertengahannya.
Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada
kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka
kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar);
kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali.
Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima
kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
وقيل هو تعظيم من فوقه لفضله, والمراد بالتواضع إظهار ال تنزل عن المرتبة لمن يراد تعظيمه, مشتق من الضعة بكسر أوله وهي الهوان.
Arti kata Tawadhu’ dari segi bahasa sama dengan makna kata al-hawaan yang artinya, malu atau merasa
rendah hati. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan kerendahan martabat diri pada orang yang
dianggap lebih mulia. Ada juga yang mengartikan Tawadhu’ adalah memuliakan seseorang yang lebih utama
darinya.
Artinya: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan
dapat menembus bumi, dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung. (Al-Isra: 37)
Thabaathabaa’i memahami ayat 37 di atas dalam arti kiasan, yakni kesombongan yang engkau lakukan untuk
menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu pada hakikatnya adalah hanya waham dan ilusi, sebab sebenarnya
ada yang lebih kuat dari engkau yakni bumi, terbukti kakimu tidak dapat menembus bumi, dan ada juga yang
lebih tinggi darimu yakni gunung, buktinya engkau tidak setinggi gunung. Maka akuilah bahwa engkau
sebenarnya rendah lagi hina. Tidak ada sesuatu yang dikehendaki dan diperebutkan manusia dalam hidup ini
seperti kerajaan, kekuasaan, kemuliaan, harta benda dan lain-lain kecuali hal-hal yang bersifat waham yang
tidak mempunyai hakikat di luar batas pengetahuan manusia.. Itu semua diciptakan dan ditundukkan Allah
untuk diandalkan manusia guna memakmurkan bumi dan penyempurnaan kalimat (ketetapan) Allah. Tanpa hal
yang tidak memiliki hakikat itu, manusia tidak hidup di dunia, dan kalimat Allah yang menyatakan: “Bagi
kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan matha (Kesenangan hidup) sampai waktu yang ditentukan”
(QS. Al-Baqarah [2] : 36). Demikian lebih kurang Thabaathabaa’i.
سلَّ َم قَا َل ََل يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ َم ْن كَانَ فِي قَ ْل ِب ِه مِثْقَا ُل ذَ َّرةٍ مِ ْن ِكبْر
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ ُ َّللا َ ِ ع ْن النَّ ِبي
َ
Artinya: Dari Nabi SAW berkata: “tidak akan masuk surga siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan
walaupun hanya sebesar zarrah.” (HR. Muslim, no. 33 juz 1)
علَى أَ َحد
َ ٌعلَى أَ َح ٍد َو ََل يَبْغِ أَ َحد
َ ٌضعُوا َحتَّى ََل يَ ْفخ ََر أَ َحد
َ أَ ْو َحى ِإلَ َّي أَ ْن ت ََوا
Artinya: “Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang
berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR.Muslim no.
2865)
Selama hidupnya, Rasulullah saw selau bersikap rendah hati, kasih sayang, lemah lembut dan penuh toleransi.
Sekalipun terhadap anak- anak kecil. Sifat kenabian dan kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya
berbuat baik dan berakhlak mulia yang khusus diberikan Allah. Beliau selalu memberi salam kepada anak-
anak, bermuka manis kepada mereka, dan meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.
Anas bin Malik mengatakan bahwa ketika melewati kerumunan anak- anak beliau mengucapkan salam kepada
mereka. (HR Muttafaq alaih).
Telah dibahas oleh para ulama sifat Tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk
penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang
membagi Tawadhu’ menjadi dua, jika dilihat dari baik buruknya:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-Tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di
hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu Tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan
dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).
Sikap Tawadhu’ di bagi menjadi empat macam dilihat dari objeknya:
Tawadhu’ kepada Alloh SWT artinya merendahkan diri di hadapan-Nya. Tanda-tanda orang Tawadhu’ kepada
Alloh SWT diantaranya:
a. Merasa kecil/sedikit dalam ta’at kepada-Nya. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada alloh SWT itu merasa
bahwa dalam ketaatan dan ibadahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan dosa-dosa yang telah
dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada Alloh SWT, merasa bahwa
dosa/maksiat yang telah dilakukan sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. memperbanyak pujian kepada Alloh SWT. Dan tidak pada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Alloh, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
ُ َّللا ِ َّ ِ ٌض َع أَ َحد
َّ ُّلِل إِ ََّل َرفَعَه َّ َصدَقَةٌ مِ ْن َما ٍل َو َما زَ اد
َ َّللاُ عَ ْبدًا بِعَ ْف ٍو إِ ََّل ِع ًّزا َو َما ت ََوا َ ْصت
َ ََما نَق
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan
Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan
Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,
َّ ص ََلة ُ َخ َر َج ِإلَى ال
ص ََل ِة َ كَانَ يَكُونُ فِي مِ ْهنَ ِة أَ ْهلِ ِه تَ ْعنِي خِ ْد َمةَ أَ ْهلِ ِه فَإِذَا َح
َّ ض َرتْ ال
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk
melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)
Penjelasan ringkas:
Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-
Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia
di dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada
kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan
bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang Tawadhu’ kepada-Nya. Serta akan dihormati, disukai,
disegani –walaupun dia tidak menginginkan itu semua- oleh orang-orang sekelilingnya.
Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan
suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah
kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa Tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari
seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur
bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat Tawadhu’. Kedudukan
beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai
kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan
pekerjaan keluarganya di rumah.
Perlu diketahui, bahwa kesombongan termasuk perkara-perkara yang membinasakan dan membinasakanya
fardlu’ain. Tentu kesombongan tidak akan hilang dengan angan-angan belaka, melainkan harus diupayakan
pelenyapanya dengan sungguh-sungguh.
Dari segi ilmu, hendaklah seseorang mengenal diri sendiri dan tuhanya, dan bagaimana kedudukan dirinya
dihadapan tuhanya. Dengan hal ini saja, sesungguhnya sudah sangat memadai untuk menghilangan
kesombongan. Sebab jika seseorang benar-benar mengetahui dirinya sendiri, tentu ia juga mengetahuai bahwa
hanya tawadlu’lah sikap yang pantas dan sesuai dengan dirinya. Dan jika ia mengenal tuhanya, tentu ia akan
mengetahui bahwa keagungan, dan kesombongan hanyalah hak Allah semata.
Sedangkan dalam segi amaliyah, maka dengan membiasakan diri bersikap tawadlu’ terhadap orang lain karena
Allah semata, dan menetapi akhlak oprang-orang yang bertawadlu’ sebagaimana akhlak-akhlak yang telah
dicontohkan oleh beliau Rasulullah dan para shalihin.
Tawadlu’ tidak akan diperoleh hanya dengan mengetahui ilmunya saja, akan tetapi pengamalan dalam
kehidpan sehari-hari dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya orang-orang Arab yang menyombongkan diri
kepada Allah dan Rasulullah diperintahkan untuk beriman dan mengerjakan shalat berjama’ah.
BAB III
PENUTUP
Secara Etimologi Arab, kata tawadhu’ berasal dari kata ( يتواضع- )تواضعyang mempunyai arti (merendahkan
diri, rendah hati). Selain itu ada kata lain ( )وضعyang artinya “tempat, letaknya”. Tawadhu’ secara Terminologi
Menurut Al-Ghozali (1995:350). Tawadhu’ adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap
orang lain lebih utama dari pada kita. Pada hakekatnya tawadhu’ itu adalah “sesuatu yang timbul karena
melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.” (Ahmad Athoillah, 2006: 448). Tawadhu adalah
kerendahan hati yang tidak menilai dirinya lebih baik dari orang lain dan tuntutannya adalah perilaku dan
ucapan hormat kepada orang lain.
Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-Tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan
hamba-hamba Allah. Tawadhu’ yang dibenci yaitu Tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena
menginginkan dunia yang ada di sisinya.
Dari sifat tawadhu’ ini banyak keutamaannya seperti, akan diangkat derajatnya, masuk surga- karena tidak
akan masuk surga bila dihatinya masih ada kesombongan, disukai, dihormati- walaupun tidak ingin dihormati-
oleh orang-orang sekelilingnya.
DAFTAR PUSTAKA