Anda di halaman 1dari 34

IKHLAS

PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat beriring salam semoga terlim
pahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia yaitu Nabi kita Muhammad, juga ke
pada keluarganya dan seluruh shahabatnya. Amma ba’du
Allah memudahkanku menyampaikan dauroh ilmiyah tentang “A’malul Qulub”
(amalan-amalan hati) yang berisi dua belas materi. Dalam mempersiapkan daurah
ilmiyah ini saya dibantu oleh tim ilmiyah dari Zaad Group, dan hari ini diusahakan un
tuk diterbitkan dalam bentuk materi yang diedarkan.
Amalan yang pertama dari amalan-amalan hati adalah ikhlas. Amalan ini merupa
kan inti dan ruh ibadah, dasar diterima dan ditolaknya amal, amal hati yang paling pen
ting, paling tinggi dan paling pokok. Ikhlas juga merupakan kunci dakwah para Rasul
R, sebagaimana firman Allah K:
ْ ‫َو َمٓا ُأ ِمر ُٓو ْا ِإاَّل لِيَ ۡعبُ ُد‬
ِ ِ‫وا ٱهَّلل َ ُم ۡخل‬
٥ …‫صينَ لَهُ ٱل ِّدينَ ُحنَفَٓا َء‬
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama...” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dan firman-Nya:
ۚ ِ‫ِّين ۡٱل َخال‬
… ُ‫ص‬ ُ ‫َأاَل هَّلِل ِ ٱلد‬
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik)…” (QS. Az-Zumar
[39]: 3)
Kami memohon kepada Allah agar menerima amalan-amalan kita, memurnikan n
iat kita, dan memperbaiki hati kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengabulkan doa-doa.

Muhammad Shalih Al-Munajjid.

PENGERTIAN IKHLAS
Ikhlas secara bahasa
Ikhlas secara bahasa diambil dari fi’il ‫ص‬ َ َ‫َأخل‬, yang fi’il mudhari’nya ُ‫ يُخلِص‬dan mas
darnya ً ‫ِإخاَل صا‬, yang artinya: memurnikan sesuatu, menjadikannya murni dan tidak me
ncampurnya dengan apapun. Contohnya kalimat “seseorang dalam beragama ikhlas u
ntuk Allah” maksudnya: menjadikannya murni untuk Allah dan tidak dicampuri deng
an selain-Nya.
Allah K berfirman:

ِ َ‫ِإاَّل ِعبَادَكَ ِم ۡنهُ ُم ۡٱل ُم ۡخل‬


٤٠ َ‫صين‬
“Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Al-Hijr
[15]: 40).
Dalam membaca ayat tersebut ada juga yang membaca huruf “lam” dengan harak
at kasrah (‫)المخلِصين‬. Tsa’lab T berkata, “Dibaca dengan ‫ المخلِصين‬maknanya adalah ora
ِ َ‫ ْال ُم ْخل‬mak
ng-orang yang mengikhlaskan ibadah untuk Allah K. Dan dibaca dengan َ‫صين‬
nanya adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah K.”
Az Zujaj T berkata,
“mengenai firman Allah K:

ٗ َ‫ب ُمو َس ٰۚ ٓى ِإنَّهۥُ َكانَ ُم ۡخل‬


٥١ ‫صا َو َكانَ َر ُسواٗل نَّبِ ٗيّا‬ ِ َ‫َو ۡٱذ ُك ۡر فِي ۡٱل ِك ٰت‬
“Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Musa di dalam Kitab (Al-Qur'an). Dia benar-
benar orang yang terpilih, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19]: 51). Ayat ters
ebut juga dibaca ‫مخلِصا‬. Adapun kata ‫ مخلَصا‬bermakna: Orang yang dipilih oleh Allah
K, dan menjadikannya sebagai orang yang terpilih dan dibersihkan dari kotoran. Seda
ngkan kata ‫ مخلِصا‬bermakna: Orang yang tulus ikhlas mentauhidkan Allah K. Oleh kar
ena itu pula lah surat “‫ ”قُلْ هُ َو هَّللا ُ َأ َح ٌد‬disebut dengan surat Al-Ikhlas.”
Ibnul Atsir T berkata, “Disebut dengan sebutan itu (surat Al-Ikhlas) karena surat i
tu tulus dan suci dalam menyifati Allah K atau karena yang melafalkannya telah mem
urnikan tauhid untuk Allah K.”
Kata Al-Ikhlas adalah merupakan kata tauhid.
Dan sesuatu yang murni adalah sesuatu yang bersih dan tidak ada lagi campuran a
papun di dalamnya.1
Al-Fairuz Abadi T berkata, “Ikhlas untuk Allah artinya meninggalkan riya’”2
Al-Jurjani T berkata, “Ikhlas secara bahasa artinya adalah meninggalkan riya’ dal
am amal-amal ketaatan.”3
1
Lisanul Arab, (7/26) dan Tajul ‘Arus, no. 4437.
2
Al-Qamus Al-Muhith, hal. 797
3
At-Ta’rifat, hal. 28
Ikhlas secara istilah
Para ulama menyebutkan beberapa pengertian dalam mendefinisikan kata ikhlas.
Berikut ini beberapa pengertian terpentingnya :
Ibnul Qayyim T berkata, “Ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tu
juan dalam melakukan amal ketaatan.”4
Al-Jurjani T berkata, “Ikhlas adalah membersihkan hati dari kotoran-kotoran yan
g mengeruhkan kejernihannya. Dikarenakan segala sesuatu dapat dikotori oleh sesuat
u yang lain. Jika hati sudah jernih dan bersih dari kotorannya maka disebut dengan
hati yang murni atau tulus, dan perbuatan orang yang membersihkan hati itu disebut d
engan “Ikhlas”. Allah K berfirman:

٦٦ َ‫صا َسٓاِئ ٗغا لِّل ٰ َّش ِربِين‬


ٗ ِ‫ث َود َٖم لَّبَنًا خَال‬
ٖ ‫… ِم ۢن بَ ۡي ِن فَ ۡر‬
“(berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang
yang meminumnya.” (QS. An Nahl [16]: 66). Kemurnian susu adalah dengan tidak ter
campuri oleh kotoran dan darah.”5
Dikatakan juga bahwa ikhlas adalah pembersihan amal dari hal-hal yang
mengotorinya.6
Khudzaifah Al-Mur’isyi T berkata, “Ikhlas adalah kesesuaian perbuatan hamba a
ntara yang zhahir dan batin.”7
Sebagian mengatakan, “Ikhlas adalah engkau tidak berharap ada yang melihat da
n membalas amalmu kecuali hanya Allah saja, tidak ada yang lain.”8
Para salafusshalih telah menyebutkan banyak makna dalam mendefinisikan kata i
khlas, di antaranya adalah:
 Hendaklah suatu amal hanya dipersembahkan untuk Allah K, tidak ada bagia
n untuk selain Allah di dalam amal tersebut.
 Membersihkan amal dari perhatian seluruh makhluk.
 Membersihkan amal dari segala hal yang mengotorinya.9
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak peduli walaupun di hati manusia mun
cul berbagai tuduhan buruk kepadanya, karena kebaikan hatinya ada bersama Allah K,
sehingga ia tidak suka menampakkan ketinggian amalnya pada manusia.

4
Madarijus Salikin, (2/91)
5
At-Ta’rifat, hal. 28
6
At-Ta’rifat, hal. 28
7
At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 13
8
Madarijus Salikin, (2/92)
9
Madarijus Salikin, (2/91-92)
Secara definisi syar’i dan menurut perkataan orang-orang, sering kali
menggunakan lafal niat untuk menyebutkan maksud dari ikhlas.
Padahal menurut pendapat para ahli fikih, niat adalah pembeda antara ibadah dan
kebiasaan, juga pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain.10
Sebagai pembeda antara ibadah dan kebiasaan, contohnya adalah niat yang memb
edakan antara mandi sekedar untuk membersihkan badan dan mandi junub.
Sebagai pembeda antara satu ibadah dan ibadah lainnya contohnya adalah niat
yang membedakan antara shalat zhuhur dan shalat ashar.
Kalau kita menggunakan pengertian ini, maka niat tidak masuk pada pembahasan
kita, tapi jika niat diartikan secara mutlak dan maksudnya adalah pembeda tujuan ama
l; apakah amal itu hanya untuk Allah semata ataukah amal itu untuk Allah dan selainn
ya juga? Maka niat yang seperti inilah yang masuk dalam makna ikhlas.
Ikhlas dan jujur dalam ibadah memiliki makna yang berdekatan tetapi juga memil
iki perbedaan di antara keduanya. Perbedaan yang pertama: Jujur adalah pokok dan
yang pertama, sedangkan ikhlas adalah cabang dan yang mengikuti setelahnya. Perbe
daan yang kedua: Ikhlas tidak terjadi kecuali setelah masuk di dalam sebuah amal, sed
angkan jujur terjadi sebelum masuk ke dalam sebuah amal.11

PERINTAH UNTUK IKHLAS


Perintah Ikhlas di Dalam Al-Qur’an Al-Karim
Allah K di beberapa tempat dalam Al-Qur’an telah memerintahkan hamba-hamb
a-Nya untuk ikhlas. Allah K berfirman:
ْ ‫َو َمٓا ُأ ِمر ُٓو ْا ِإاَّل لِيَ ۡعبُ ُد‬
ِ ِ‫وا ٱهَّلل َ ُم ۡخل‬
٥ …‫صينَ لَهُ ٱل ِّدينَ ُحنَفَٓا َء‬
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama…” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Allah K juga memerintahkan Nabi-Nya Muhammad N agar menyifati dirinya den
gan ikhlas beribadah untuk Allah K. Allah K berfirman:

ٗ ِ‫قُ ِل ٱهَّلل َ َأ ۡعبُ ُد ُم ۡخل‬


١٤ ‫صا لَّهۥُ ِدينِي‬
“Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14)
Allah K juga berfirman:

10
Jamiul Ulum wal Hikam, (1/11)
11
At-Ta’rifat, hal. 28
َ‫ اَل َش— ِريكَ لَ ۖۥهُ َوبِ— ٰ َذلِك‬١٦٢ َ‫—اي َو َم َم——اتِي هَّلِل ِ َربِّ ۡٱل ٰ َعلَ ِمين‬
َ —َ‫ص—اَل تِي َونُ ُس— ِكي َو َم ۡحي‬ َ ‫قُ— ۡ—ل ِإ َّن‬
١٦٣ َ‫ت َوَأن َ۠ا َأ َّو ُل ۡٱل ُم ۡسلِ ِمين‬
ُ ‫ُأ ِم ۡر‬
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
berserah diri (muslim).” (QS. Al-An’am [6]: 162 - 163)
Allah K juga menyifati diri-Nya bahwa Ia tidak menciptakan kematian dan kehid
upan kecuali hanya untuk menguji siapa di antara manusia yang paling baik amalnya.
Allah K berfirman:

٢ ‫ق ۡٱل َم ۡوتَ َو ۡٱل َحيَ ٰوةَ لِيَ ۡبلُ َو ُكمۡ َأيُّ ُكمۡ َأ ۡح َس ُن َع َماٗل ۚ َوهُ َو ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َغفُو ُر‬
َ َ‫ٱلَّ ِذي خَ ل‬
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]:
2)
Al-Fudhail bin Iyadh T berkata tentang amal yang baik, “Amal yang baik adalah
amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Orang-orang berkata: “Wahai Abu Ali,
apa amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Ses
ungguhnya sebuah amal jika dikerjakan dengan ikhlas tapi amal itu tidak benar maka
amal itu tidak diterima, begitu pula jika sebuah amal itu benar tapi tidak dikerjakan de
ngan ikhlas maka amal itu juga tidak diterima. Amal hanya akan diterima jika ikhlas d
an benar, ikhlas adalah jika dikerjakan untuk Allah semata, benar adalah jika sesuai d
engan sunnah.”
Ibnu Taimiyah T berkata terkait perkataan Al-Fudhail bin Iyadh tersebut, “Itu ada
lah pewujudan dari firman Allah K:

َ ٰ ‫ُوا لِقَٓا َء َربِّ ِهۦ فَ ۡليَ ۡع َم ۡل َع َماٗل‬


١١٠ ‫صلِ ٗحا َواَل ي ُۡش ِر ۡك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِٓۦه َأ َح ۢ َدا‬ ْ ‫…فَ َمن َكانَ يَ ۡرج‬
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya maka hendaklah dia
mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun
dalam beribadah kepada Rabbnya". (QS. Al Kahfi [18]: 110).”12
Al-Amir As-Shan’ani T berkata:
Engkau menghabiskan waktu lama dalam ketidaktaatan
Kecuali amal yang kau suka padahal itu hanya fatamorgana
Jika amal itu kau kerjakan tidak ikhlas karena Allah

12
Majmu’ Fatawa, (1/333)
Maka setiap bangunan yang telah kau buat akan roboh
Syarat amal adalah dikerjakan dengan ikhlas
Dan sesuai dengan Sunnah dan Kitab
Allah menyifati orang yang paling baik agamanya adalah orang yang ikhlas meny
erahkan dirinya kepada Allah dan berbuat kebajikan. Allah K berfirman:

١٢٥ …‫ن‬ٞ ‫َو َم ۡن َأ ۡح َس ُن ِد ٗينا ِّم َّم ۡن َأ ۡسلَ َم َو ۡجهَ ۥهُ هَّلِل ِ َوهُ َو ُم ۡح ِس‬
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas
berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan...” (QS. An-Nisa’ [4]:
125).
Menyerahkan diri kepada Allah adalah Ikhlas, sedangkan mengerjakan kebaikan
adalah mengikuti sunnah.
Allah K telah berwasiat kepada Nabi Muhammad N dan umatnya agar menjadi ah
lul ikhlas. Allah K berfirman:

٢٨ …ُ‫ٱصبِ ۡر ن َۡف َسكَ َم َع ٱلَّ ِذينَ يَ ۡد ُعونَ َربَّهُم بِ ۡٱل َغد َٰو ِة َو ۡٱل َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َو ۡجهَ ۖۥه‬
ۡ ‫َو‬
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Rabbnya pada
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya...” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)
Dan Allah menyifati orang-orang yang mengharap keridhaan Allah sebagai oran
g-orang yang beruntung. Allah K berfirman:
ٓ
َ ‫ر لِّلَّ ِذينَ ي ُِري — ُدونَ َو ۡج— هَ ٱهَّلل ۖ ِ َوُأوْ ٰلَِئ‬ٞ —‫خَي‬
‫ك‬ ۡ َ‫ت َذا ۡٱلقُ ۡربَ ٰى َحقَّهۥُ َو ۡٱل ِم ۡس ِكينَ َو ۡٱبنَ ٱل َّسبِي ۚ ِل ٰ َذلِ——ك‬
ِ ‫‍فََٔا‬
٣٨ َ‫هُ ُم ۡٱل ُم ۡفلِحُون‬
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-
Ruum [30]: 38)
Allah K juga menjanjikan kepada orang yang ikhlas, akan selamat dari neraka da
n mendapatkan keridhaan-Nya pada hari kiamat. Allah K berfirman:
ٓ ٰ ‫ َو َما َأِل َح ٍد ِعن َدهۥُ ِمن نِّ ۡع َم ٖة تُ ۡجز‬١٨ ‫ ٱلَّ ِذي ي ُۡؤتِي َمالَهۥُ يَتَزَ َّك ٰى‬١٧ ‫َو َسيُ َجنَّبُهَا ٱَأۡل ۡتقَى‬
١٩ ‫َى‬
َ ‫ َولَ َس ۡوفَ يَ ۡر‬٢٠ ‫ِإاَّل ۡٱبتِغَٓا َء َو ۡج ِه َربِّ ِه ٱَأۡل ۡعلَ ٰى‬
٢١ ‫ض ٰى‬
“Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, (17) yang m
enginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), (18) dan tidak a
da seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, (19) tet
api (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Rabbnya Yang Maha
Tinggi. (20) Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).” (2
1). (QS. Al-Lail [92]: 17-21)
Disebutkan juga bahwa di antara ciri-ciri penghuni surga adalah ikhlas di dunia,
Allah K berfirman,

٩ ‫ِإنَّ َما نُ ۡط ِع ُم ُكمۡ لِ َو ۡج ِه ٱهَّلل ِ اَل نُ ِري ُد ِمن ُكمۡ َج َزٓاءٗ َواَل ُش ُكورًا‬
“(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah
karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima
kasih dari kamu.” (QS. Al-Insân [76]: 9)
Allah K juga menjanjikan ganjaran yang besar bagi orang-orang yang ikhlas di ak
hirat kelak, Allah K berfirman,
ٰ ۡ ‫ُوف َأ ۡو‬
ِ ۚ َّ‫ح بَ ۡينَ ٱلن‬
‫اس‬ ِ ۢ َ‫ص—ل‬ ‫ص— َدقَ ٍة َأ ۡو َم ۡع— ر ٍ ِإ‬
َ ِ‫ير ِّمن نَّ ۡج َو ٰىهُمۡ ِإاَّل َم ۡن َأ َم— َر ب‬
ٖ ِ‫خَي َر فِي َكث‬ ۡ ‫۞اَّل‬
ِ ‫ت ٱهَّلل ِ فَ َس ۡوفَ نُ ۡؤتِي ِه َأ ۡجرًا ع‬
١١٤ ‫َظ ٗيما‬ ِ ‫ضا‬ َ ‫َو َمن يَ ۡف َع ۡل ٰ َذلِكَ ۡٱبتِغَٓا َء َم ۡر‬
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan
rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena
mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS.
An-Nisa’ [4]: 114)
Juga firman-Nya:
َ ‫ث ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ن َِز ۡد لَهۥُ فِي َح ۡرثِ ِۖۦه َو َمن َكانَ ي ُِري ُد َح ۡر‬
‫ث ٱل ُّد ۡنيَا نُ ۡؤتِ ِهۦ ِم ۡنهَا َو َما‬ َ ‫َمن َكانَ ي ُِري ُد َح ۡر‬
٢٠ ‫ب‬ ٍ ‫صي‬ ِ َّ‫لَهۥُ فِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ِمن ن‬
“Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan
keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami
berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan
mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20)

Perintah Ikhlas di Dalam Sunnah Nabi


Nabi N telah menjelaskan pentingnya ikhlas dan jujur dalam niat dan menjadikan
keduanya sebagai poros amal.
Dari Umar bin Al-Khatthab A berkata, Rasulullah N bersabda :
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang ak
an mendapatkan sesuai niatnya.”13

13
HR. Al-Bukhari, no. 1, dan Muslim, no. 1907
Hadits ini termasuk hadits Nabi yang paling penting karena hadits ini memuat kai
dah syar’i dalam semua ibadah tanpa terkecuali. Shalat, puasa, jihad, haji, sedekah da
n ibadah-ibadah yang lain membutuhkan niat yang benar dan keikhlasan dalam beram
al.
Nabi N tidak henti-hentinya menjelaskan kaidah ini kepada semua orang, bahwa
poros amal adalah niat. Bahkan karena pentingnya niat, beliau juga menyebutkan beb
erapa amal dan menganjurkan untuk membetulkan niat dalam amal tersebut. Di antara
amal-amal tersebut adalah:
- Tauhid:
Rasulullah N bersabda, “Tidaklah seorang hamba berkata: lâ ilâha illa Allâh (Ti
dak ada illah kecuali Allah), dengan keadaan ikhlas, kecuali pasti Allah akan membu
kakan untuknya pintu-pintu langit hingga mencapai ‘Arsy, selama dia tidak mengerja
kan dosa-dosa besar.”14
- Pergi ke masjid:
Rasulullah N bersabda :
“Shalatnya seseorang secara berjama’ah dilipatgandakan (pahalanya) melebihi s
halatnya di rumah dan di pasar sebanyak dua puluh lima kali lipat, dan yang demikia
n itu ia dapatkan karena ia berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian ia kelu
ar menuju masjid, tidak ada yang menyebabkan ia keluar kecuali shalat, maka tidakla
h ia mengayunkan satu langkah kecuali dengan itu diangkat baginya satu derajat dan
dihapuskan satu kesalahan, lalu apabila ia melakukan shalat maka para malaikat tida
k henti-hentinya mendoakannya selama ia masih di tempat shalatnya, mereka berkata:
“Ya Allah curahkanlah shalawat untuknya, ya Allah curahkanlah kasih sayang untuk
nya.” Dan setiap kalian akan senantiasa dalam keadaan shalat selama ia menunggu s
halat.”15
- Puasa:
Rasulullah N bersabda :
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap
ridha Allah maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”16
“Barang siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan
menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh musim.”17

14
HR. At-Tirmidzi, no. 3590, dan dihasankan oleh Al-Albani
15
HR. Al-Bukhari, no. 620
16
HR. Al-Bukhari, no. 38, dan Muslim, no. 760
17
HR. Al-Bukhari, no. 2685, dan Muslim, no. 1153
- Qiyamul Lail:
Rasulullah N bersabda:
“Barang siapa yang melakukan qiyamul lail pada bulan Ramadhan dengan
keimanan dan mengharap ridha Allah maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.”18
- Sedekah dan Dzikir:
Dari Abu Hurairah A dari Nabi N bersabda, “Tujuh golongan yang akan
mendapatkan naungan Allah K pada hari yang tidak ada naungan kecuali hanya
naungan-Nya: Imam yang adil. Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah K.
Seorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Dua orang yang saling
mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah juga.
Seorang yang diajak oleh wanita yang terpandang dan cantik untuk berbuat tidak
baik, lalu dia berkata ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’. Seorang yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa
yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan seorang yang berdzikir mengingat
Allah dalam sendirian sehingga bercucuran air matanya.”19
- Jihad:
Rasulullah N bersabda:
“Barang siapa yang berangkat berperang di jalan Allah, ia tidak meniatkan
kecuali hanya untuk mendapatkan tali kekang (harta), maka baginya apa yang ia
niatkan.”20
- Mengikuti Jenazah:
Dari Nabi N beliau bersabda:
“Barang siapa yang mengikuti jenazah seorang muslim karena iman dan
mengharap pahala, ia bersamanya sampai jenazah dishalatkan dan selesai
pemakamannya, maka sesungguhnya ia pulang dengan membawa pahala sebesar dua
qirath, tiap qirath seperti gunung uhud. Siapa yang menyalatkan kemudian pulang
sebelum dimakamkan maka sesungguhnya ia pulang dengan pahala satu qirath.”21

Perintah Ikhlas di Dalam Perkataan Salaf

18
HR. Al-Bukhari, no. 37, dan Muslim, no. 759
19
HR. Al-Bukhari, no. 1357, dan Muslim, no. 1031.
20
HR. An-Nasa’I, no. 3138, Ahmad, no. 22744, dan dishahihkan oleh Al-Albani.
21
HR. Al-Bukhari, no. 47
Para salafusshalih telah memperingatkan pentingnya ikhlas setelah mereka
membaca ayat-ayat dan hadits-hadits ini. Mereka memberikan perhatian yang besar
dan menemukan pentingnya perkara ikhlas.
Para salaf memulai karya-karya mereka dengan hadits tentang niat, sebagaimana
ِ ‫ال بِالنِي‬
Al-Bukhari T juga memulai karyanya dengan hadits ‫ات‬َ ُ ‫األع َم‬ْ َ‫“ ِإمَّن ا‬Sesungguhnya selu
ruh amal itu tergantung kepada niatnya”22
Abdurrahman bin Mahdi T berkata, “Sekiranya aku menulis kitab yang memiliki
banyak bab, tentu aku akan menaruh hadits Umar bin Al-Khatthab A tentang niat
dalam setiap bab di kitab tersebut.”23
Sebagaimana mereka juga menjelaskan bahwa niat lebih penting daripada amal
itu sendiri. Yahya bin Abi Katsir T berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih utama
dari amal.”24
Para ulama mengukuhkannya dengan cara menaruh perhatian yang besar dalam
pengajaran ikhlas kepada manusia. Ibnu Abi Jamrah T berkata, “Aku senang
sekiranya ada dari kalangan ahli fiqih yang tidak memiliki kesibukan selain mengajari
manusia tentang tujuan-tujuan mereka dalam beramal dan duduk hanya untuk
mengajarkan tentang amalan niat. Tidak ada kesibukan lain selain itu.” 25 Demikian
karena manusia banyak yang meremehkan hal itu.
Di sisi lain, Allah mencela para pelaku riya’ dan orang yang beramal karena
menginginkan dunia. Allah juga telah menjelaskan akibat melakukan perbuatan
tersebut.
Allah K berfirman:

َ —ُ‫َمن َكانَ ي ُِري ُد ۡٱل َحيَ ٰوةَ ٱل ُّد ۡنيَا َو ِزينَتَهَا ن‬


َ‫—وفِّ ِإلَ ۡي ِهمۡ َأ ۡع ٰ َملَهُمۡ فِيهَ——ا َوهُمۡ فِيهَ——ا اَل ي ُۡبخَ ُس—ون‬
ٓ
ْ ُ‫ل َّما َك——ان‬ٞ —‫ُوا فِيهَ——ا َو ٰبَ ِط‬
‫وا‬ َ ‫س لَهُمۡ فِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ِإاَّل ٱلنَّا ۖ ُر َو َحبِطَ َم——ا‬
ْ ‫ص—نَع‬ َ ‫ ُأوْ ٰلَِئكَ ٱلَّ ِذينَ لَ ۡي‬١٥
١٦ َ‫يَ ۡع َملُون‬
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami
berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
(sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka

22
HR. Al-Bukhari, no. 1, dan Muslim, no. 1907
23
Jami’ul Ulum wal Hikam, (1/8)
24
Hilyatul Auliya’, (3/70) dan Jami’ul Ulum wal Hikam , hal. 13
25
Al-Madkhal, (1/1)
usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hûd
[11]: 15 - 16)
Allah K juga berfirman:
ۡ َ‫اجلَ—ةَ َعج َّۡلنَ——ا لَهۥُ فِيهَ——ا َم——ا ن ََش—ٓا ُء لِ َمن نُّ ِري— ُد ثُ َّم َج َع ۡلنَ——ا لَهۥُ َجهَنَّ َم ي‬
‫ص—لَ ٰىهَا‬ ِ ‫َّمن َك——انَ ي ُِري— ُد ۡٱل َع‬
١٨ ‫ُورا‬ ٗ ‫وما َّم ۡدح‬ ٗ ‫َم ۡذ ُم‬
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami
kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 18)
Allah K juga berfirman:
َ ‫ث ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ن َِز ۡد لَهۥُ فِي َح ۡرثِ ِۖۦه َو َمن َكانَ ي ُِري ُد َح ۡر‬
‫ث ٱل ُّد ۡنيَا نُ ۡؤتِ ِهۦ ِم ۡنهَا َو َما‬ َ ‫َمن َكانَ ي ُِري ُد َح ۡر‬
٢٠ ‫ب‬ ٍ ‫صي‬ ِ َّ‫لَهۥُ فِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ِمن ن‬
“Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan
keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami
berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan
mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura [42]: 20)
Nabi N bersabda, “Sesungguhnya apa yang paling aku takuti atas kalian adalah
syirik kecil.” Para shahabat bertanya, “Apa syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Nabi
berkata, “Riya”, pada hari kiamat Allah K berkata kepada mereka (ketika manusia
diberikan ganjaran atas amal mereka), ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian
riya’ pada mereka di dunia, lihatlah apakah mereka bisa memberi ganjaran pada
kalian.”26
Wahai seorang muslim, pilihlah satu jalan dari dua jalan ini: Jalan ikhlas untuk
Allah dan mengharap ridha-Nya dengan beramal ketaatan. Atau jalan riya’ dan
keinginan dunia. Ketahuilah bahwa manusia dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.
Nabi N bersabda, ‫َّاس َعلَى نِيَّاهِتِ ْم‬ ُ ‫“ ِإمَّنَ ا يُْب َع‬Sesungguhnya manusia dibangkitkan sesuai
ُ ‫ث الن‬
dengan niat mereka,”27 kemudian setelah itu janganlah kalian mencela kecuali pada
diri kalian sendiri, jika kalian binasa bersama para pelaku riya’ yang celaka itu.

BUAH KEIKHLASAN

26
HR. Ahmad, no. 23681, dan dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth
27
HR. Ibnu Majah, no. 4224, dan dishahihkan oleh Al-Albani
Sesungguhnya ikhlas memiliki manfaat dan buah yang banyak, selama ada di
dalam hati seorang hamba yang beriman dan shalih. Di antaranya adalah:
Diterimanya Amal:
“Dari Abu Umamah Al-Bahili A berkata: Nabi N bersabda,
ُ‫إن هَّللا َ اَل يَ ْقبَ ُل ِمنَ ال َع َم ِل إاَّل َما َكانَ خَالِصًا َوا ْبتُ ِغ َي بِ ِه َوجْ هُه‬
َّ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas
dan mengharap wajah-Nya”28
Mendapatkan Ganjaran :
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash A berkata: Rasulullah N bersabda,
‫ق نَفَقَةً تَ ْبتَ ِغي بِهَا َوجْ هَ هَّللا ِ ِإاَّل ُأ ِجرْ تَ َعلَ ْيهَا‬
َ ِ‫ِإنَّكَ لَ ْن تُ ْنف‬
“Tidaklah engkau menafkahkan sesuatu pun demi mencari wajah Allah
melainkan pasti diberi pahala karenanya.”29
Membesarkan Amal yang Kecil hingga Menjadi Besar:
Ibnul Mubarak T berkata,
ُ‫ص ِّغ ُرهُ النّيَّة‬
َ ُ‫ص ِغي ٍْر تُ ْكثِ ُرهُ النَّيَّةُ َو رُبَّ َع َم ٍل َكبِي ٍْر ت‬
َ ‫رُبَّ َع َم ٍل‬
“Betapa amal yang sedikit menjadi banyak karena niat, dan amal yang besar
menjadi kecil juga karena niat.”30
Diampuni Dosa-Dosanya:
Ikhlas termasuk faktor terbesar diampuninya dosa. Ibnu Taimiyah T berkata,
“Ada satu jenis amal yang dilakukan manusia dengan menyempurnakan keikhlasan
dan peribadatannya untuk Allah K, maka Allah mengampuni dosa-dosa besarnya.
Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash A, dari Nabi N beliau
bersabda:
“Ada seseorang dari umat-Ku yang terpilih pada hari kiamat di antara
kebanyakan orang ketika itu, lalu dibentangkan baginya catatan amalnya yang
berjumlah sembilan puluh sembilan kartu. Setiap kartu jika dibentangkan sejauh
mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya,” Apakah engkau
mengingkari sedikitpun dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “Tidak sama sekali wahai
Rabbku” Allah berkata lagi: “Maka tidak ada yang berbuat zhalim kepadamu” lalu
dikeluarkanlah satu kartu seukuran daun timbangan yang bertulis syahadat ‘Lâ ilâha
illallâh’, lalu ia berkata: “Apakah kartu ini diletakkan bersama dengan catatan-

28
HR. An-Nasa’I, no. 3140, dan dishahihkan oleh Al-Albani
29
HR. Al-Bukhari, no. 56, dan Muslim, no. 1628
30
Jami’ul Ulum wal Hikam, (1/13)
catatan dosaku?” maka kartu itu diletakkan di daun timbangan dan catatan dosa
diletakkan di daun timbangan yang lain, ternyata kartu itu lebih berat daripada
catatan dosanya.”31 Ini adalah kondisi orang yang mengatakannya dengan ikhlas dan
jujur sebagimana yang dikatakan oleh orang ini. Jika tidak, tentu para pelaku dosa
besar yang dimasukkan ke dalam neraka semuanya mengatakan: “Lâ ilâha illallâh,”
tapi perkataan mereka ini tidak bisa mengalahkan keburukan-keburukan mereka
sebagaimana yang terjadi pada pemilik kartu dalam hadits tersebut.
Dalam sebuah hadits juga diceritakan :
“Ada seorang wanita pelacur yang melihat seekor anjing pada hari yang panas,
anjing itu mengitari sumur dalam keadaan menjulurkan lidahnya karena kehausan.
Maka ia melepas sepatunya, kemudian mengambil air dengan sepatu tersebut untuk
diminumkan kepada si anjing. Maka Allah mengampuninya dengan sebab
perbuatannya itu.”32 Wanita ini memberi minum anjing dengan keimanan yang tulus,
maka Allah mengampuninya. Jika tidak sepeti ini tentu setiap pelacur yang memberi
minum anjing akan diampuni dosanya.33
Mendapat Pahala Amal Meskipun Tidak Sanggup Mengerjakan Amal Tersebut:
Dengan ikhlas, seseorang akan mendapatkan pahala atas sebuah amal meskipun
tidak mampu mengerjakannya, bahkan dengan ikhlas seseorang bisa menempati posisi
syuhada’ dan mujahidin meskipun mati di atas tempat tidurnya. Allah K berfirman
menyifati orang yang tidak mampu ikut bersama Nabi dalam berjihad:
ْ َّ‫ك لِت َۡح ِملَهُمۡ قُ ۡلتَ ٓاَل َأ ِج ُد َم——ٓا َأ ۡح ِملُ ُكمۡ َعلَ ۡي— ِه تَ َول‬
ُ‫وا َّوَأ ۡعيُنُهُمۡ تَفِيض‬ َ ‫َواَل َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِإ َذا َمٓا َأت َۡو‬
٩٢ َ‫وا َما يُنفِقُون‬ ْ ‫ِمنَ ٱل َّدمۡ ِع َحزَ نًا َأاَّل يَ ِج ُد‬
“Dan tidak ada (pula dosa) atas orang-orang yang datang kepadamu
(Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata,
“Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,” lalu mereka kembali,
sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang).” (QS. At-
Taubah [9]: 92)
Dari Anas bin Malik A berkata, Rasulullah N bersabda, “Sesungguhnya ada
beberapa orang tertinggal di Madinah, tidaklah kita melewati satu jalanan dan tidak

31
HR. At Tirmidzi, no. 2639, Ibnu Majah, no. 4300, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi mengatakan
ini sesuai dengan syarat Muslim.
32
HR. Muslim, no. 2245
33
Fatawa Ibnu Taimiyah, (6/218-221)
pula lembah kecuali mereka bersama kita, mereka tertahan oleh udzur.”34 Dalam
riwayat lain disebutkan, “Kecuali mereka bersama kalian dalam pahala.”35
Dari Anas bin Malik A berkata,

ِ ‫ق بَلَّ َغهُ َمن‬


ِ ‫َاز َل ال ُّشهَدَا ِء َوِإ ْن َماتَ َعلَى فِ َر‬
 ‫اش ِه‬ ِ ِ‫َم ْن َسَأ َل هَّللا َ تَ َعالَى ال َّشهَا َدةَ ب‬
—ٍ ‫ص ْد‬
“Barang siapa yang memohon kesyahidan dengan jujur maka Allah akan
menyampaikannya pada posisi syuhada’ meskipun ia mati di atas tempat tidurnya.”36
Begitu juga, orang miskin bisa mendapatkan pahala orang kaya yang bersedekah
dengan hartanya jika ia memperbaiki niat. Dari Abu Kabsyah Al-Anmari A berkata:
Rasulullah N bersabda, “Permisalan umat ini seperti empat orang: Seorang yang
diberi harta dan ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan pada hartanya ia
menginfakkannya kepada yang berhak. Dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah
tetapi ia tidak diberi harta, lalu ia berkata: “Seandainya aku memiliki harta seperti
ini niscaya aku akan memanfaatkannya seperti yang dilakukan oleh orang itu.” Nabi
N bersabda: “Keduanya menerima pahala yang sama.”37
Di sini ada permasalahan penting yang harus dijelaskan: Yaitu seorang lelaki
yang sudah mampu untuk mengerjakan sebuah amal, dia hanya berangan-angan untuk
mengerjakannya dan dia mengira bahwa ia diberi ganjaran atas angan-angannya, ia
juga menganggapnya sebagai niat yang tulus, padahal pada hakekatnya itu hanyalah
angan-angan palsu dan rencana setan.
Kita dapati juga ada seorang laki-laki yang duduk-duduk di rumahnya, tidur di
tempat tidurnya, tidak pergi mengerjakan shalat di masjid dan berkata, “Aku ingin
pergi shalat” dia kira dengan perkataannya ini dia akan medapatkan ganjaran shalat
berjamaah di masjid. Dan yang seperti ini tidak masuk dalam apa yang kami sebutkan
tadi, juga tidak termasuk dalam hadits-hadits Nabi N. Oleh karena itu berhati-hatilah
terhadap perbuatan semacam ini.
Mengubah Perkara Mubah dan Kebiasaan menjadi Ibadah yang Bisa Mengangk
at Derajat:
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash A berkata: Rasulullah N bersabda, “Sesungguhnya
tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah,

34
HR. Al-Bukhari, no. 2684
35
HR. Muslim, no. 1911
36
HR. Muslim, no. 1909
37
HR. Ibnu Majah, no. 4228, Ahmad, no. 18053, dan dishahihkan oleh Al-Albani
melainkan engkau diberi pahala karenanya, sampai apa yang engkau berikan ke
mulut isterimu juga begitu (diberi pahala).”38
Ini termasuk pintu kebaikan yang besar, kapan seorang hamba muslim masuk ke
dalamnya ia akan mendapatkan kebaikan yang besar dan ganjaran yang banyak.
Sekiranya kita meniatkan kebiasaan dan perkara-perkara mubah yang kita lakukan
dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, tentu kita akan mendapatkan ganjaran
yang besar dan pahala yang banyak.
Zubaid Al-Yami T berkata, “Sesungguhnya aku suka berniat dalam segala hal,
sampai dalam hal makan dan minum.”39
Berikut ini terdapat contoh-contoh nyata yang terjadi dalam kehidupan, semoga
kamu bisa mengambil manfaat untuk kehidupan sehari-harimu:
- Banyak orang yang suka memakai wewangian, sekiranya ketika ia memakai
wewangian sebelum pergi ke masjid dia meniatkannya untuk memuliakan rumah
Allah dan menghindari mengganggu orang lain dan malaikat, tentu ia akan
mendapatkan ganjaran atas hal itu.
- Kita semua butuh makan dan minum, tapi orang yang meniatkan makan dan
minumnya untuk menguatkan diri dalam beribadah maka ia diberi ganjaran.
- Mayoritas manusia butuh menikah, jika ia menikah dengan niat untuk menjaga
diri dan istrinya, juga untuk memiliki anak keturunan yang menyembah Allah, ia akan
diberi pahala.
- Para pelajar dan mahasiswa hendaklah memperbaiki niat belajar mereka.
Mahasiswa calon dokter yang bersekolah hendaknya mempunyai niat akan mengobati
orang-orang Islam di masa mendatang, begitu pula insinyur dan lainnya. Semua
hendaknya meniatkan memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin sesuai
spesialisasinya di masa mendatang.
Selain yang disebutkan di atas, kita semua pasti butuh bekerja dan memberi
nafkah untuk keluarga kita, butuh tidur dan yang lainnya, maka jangan menganggap
remeh berbagai pekerjaan mubah tersebut dan keikhlasan di dalamnya, karena bisa
jadi pekerjaan-pekerjaan inilah yang akan menyelamatkanmu di hari akhir kelak.
Penjagaan Diri dari Setan:
Setan telah bersumpah pada dirinya untuk menggoda hamba Allah kecuali
ِ َ‫ك ِم ْنهُ ُم ْال ُم ْخل‬
hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Allah K berfirman: َ‫صين‬ َ ‫ِإال ِعبَا َد‬
38
HR Al-Bukhari, no. 56, dan Muslim, no. 1628
39
Al-Ikhlas wa An-Niyyah, hal. 62
“kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (QS. Al-Hijr [15]: 40).
Setan tidak akan mampu menggoda orang yang sudah dibentengi dengan ikhlas.
Ma’ruf Al-Kurkhi T berkata ketika mengingatkan dirinya, “Wahai diri, ikhlaslah
maka engkau akan selamat.”40
Terputusnya Rasa Was-was dan Dijauhkan dari Riya’:
Abu Sulaiman Ad-Darani T berkata,
‫الريَا ُء‬
ِ ‫س َو‬
—ِ ‫او‬ َ ُ‫ت َع ْنهُ َك ْث َرة‬
ِ ‫الو َس‬ ْ ‫ص ال َع ْب ُد ا ْنقَطَ َع‬ ْ ‫ِإ َذا‬
َ َ‫أخل‬
“Jika seorang hamba telah ikhlas maka akan terputuslah banyak was-was dan
riya’ dari dirinya.”41
Selamat dari Fitnah:
Dengan ikhlas, seseorang bisa selamat dari berbagai macam fitnah, dijaga dari
terjatuh di lubang syahwat, dan dari terjatuh pada cengkeraman orang-orang fasik dan
jahat. Dengan ikhlas lah Allah menyelamatkan Yusuf Q dari fitnah istri Al-Aziz,
sehingga tidak terjatuh pada lembah kefasikan dan dosa:

ُ‫َص ِرفَ ع َۡنهُ ٱلس ُّٓو َء َو ۡٱلفَ ۡح َشٓا ۚ َء ِإنَّ ۥه‬ َ ِ‫َولَقَ ۡد هَ َّم ۡت بِ ِۖۦه َوهَ َّم بِهَا لَ ۡوٓاَل َأن َّر َءا ب ُۡر ٰهَنَ َربِّ ِۚۦه َك ٰ َذل‬
ۡ ‫ك لِن‬
٢٤ َ‫صين‬ ِ َ‫ِم ۡن ِعبَا ِدنَا ۡٱل ُم ۡخل‬
“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf
pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.
Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf)
termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)
Hilangnya Kekhawatiran dan Dikaruniai Rezeki Melimpah:
Dari Anas bin Malik A berkata: Rasulullah N bersabda, “Barang siapa yang
akhirat menjadi tujuan hidupnya maka Allah akan menjadikan kekayaannya dalam
hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadan
dunia butuh kepadanya. Namun Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan
hidupnya maka Allah akan jadikan kemiskinan di depan matanya, lalu mencerai-
beraikan urusannya dan tidak akan mendapatkan dunia kecuali apa yang telah
ditakdirkan baginya.”42
Diberi Jalan Keluar dari Setiap Kesulitan:
Dari Ibnu Umar H, dari Nabi N bersabda, “Ada tiga orang yang sedang berjalan
kemudian turun hujan lalu ketiganya masuk ke dalam gua di sebuah gunung namun
40
Ihya’ Ulumud Din, (3/465)
41
Madarijus Salikin, (2/92)
42
HR. At-Tirmidzi, no. 2465, dan dishahihkan oleh Al-Albani
kemudian mereka tertutup oleh batu.” Beliau melanjutkan: “Kemudian di antara
mereka berkata kepada yang lainnya: “Mintalah kepada Allah dengan perantaraan
amal yang paling utama yang pernah kalian lakukan.”
Orang pertama di antara mereka berkata: “Ya Allah, aku memiliki kedua orang
tua yang sudah renta, suatu hari aku keluar untuk mengembala agar mendapatkan
susu, kemudian aku datang membawa susu lalu aku berikan kepada kedua orang
tuaku lalu keduanya meminum baru kemudian aku berikan minum untuk bayiku,
keluargaku dan isteriku. Pada suatu malam aku mencari susu, setelah aku kembali
dan aku datangi mereka ternyata keduanya sudah tertidur. Dia berkata: “Aku enggan
untuk membangunkan keduanya untuk meminum susu sedangkan anakku menangis di
bawah kakiku karena lapar, begitulah kebiasaanku dan kebiasaan kedua orang tuaku
hingga fajar. Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu
semata mencari ridha-Mu maka bukakanlah celah untuk kami agar kami dapat
melihat langit darinya.” Beliau berkata: “Maka terbukalah sedikit celah untuk
mereka.”
Orang kedua berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku sangat
mencintai seorang wanita putri pamanku seperti kebanyakan laki-laki sangat
mencintai wanita. Suatu hari dia berkata, bahwa aku tidak akan bisa
mendapatkannya kecuali aku dapat memberi uang sebanyak seratus dinar. Maka aku
bekerja dan berhasil mengumpulkan uang tersebut. Ketika aku sudah berhadapan
dengannya dan aku hendak menyetubuhinya, dia berkata: “Bertaqwalah kepada
Allah dan janganlah kamu renggut keperawanan kecuali dengan cara yang benar.”
Maka aku berdiri lalu pergi meninggalkan wanita tersebut. Ya Allah, seandainya
Engkau mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridha-Mu maka
bukakanlah celah untuk kami.” Beliau N bersabda: “Maka terbukalah dua pertiga
dari batu yang menutup pintu gua.”
Kemudian orang yang ketiga berkata: “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui
bahwa aku pernah memperkerjakan seseorang untuk mengurusi satu benih tumbuhan
lalu aku beri upah namun dia enggan mengambilnya. Lalu aku sengaja
mengembangkan benih tersebut hingga darinya aku bisa membeli seekor sapi dan
seorang pengembalanya. Kemudian di suatu hari orang itu datang kepadaku seraya
berkata: “Wahai Abdullah, berikanlah upahku yang dulu!” lalu aku katakan:
“Kemarilah liat kepada seekor sapi dan pengembalanya itu semua milikmu.” dia
berkata: “Apakah engkau mengolok-olokku?” aku katakan: “Aku tidak mengolok-
olok kamu, tetapi itu semua benar milikmu.” “Ya Allah seandainya engkau
mengetahui apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridha-Mu maka bukakanlah
celah untuk kami.” Akhirnya mereka terbebas dari gua tersebut.”43
Allah akan Mencukupi Apa yang Ada di Antara Dia dan Manusia:
Umar bin Al-Khatthab A berkata, “Barangsiapa yang mampu mengikhlaskan
niatnya ketika melakukan kebenaran meskipun terhadap dirinya sendiri niscaya Allah
akan mencukupkan apa yang ada di antara dirinya dan manusia.”44
Pelaku Ikhlas Disifati dengan Hikmah:
Makhul T berkata, “Tidaklah seorang hamba berbuat ikhlas selama empat puluh
hari kecuali pasti akan tampak pancaran hikmah dari hatiya melalui lisannya.”45
Karena Ikhlas Orang Salah pun Dapat Pahala:
Seperti seorang mujtahid, ahli ilmu dan faqih (ahli fiqih), jika dalam berijtihad
meniatkan untuk mencurahkan kemampuan dalam mencari kebenaran karena Allah
maka sekiranya ijtihadnya belum tepat ia tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya
tersebut.
Semua Kebaikan Ada Dalam Ikhlas:
Dawud Ath-Thâ’i T berkata, “Aku melihat kebaikan seluruhnya ada pada baiknya
niat, cukup bagimu niat yang baik sebagai sebuah kebaikan meskipun dirimu tidak
mengerjakannya.”46
Maka sudah seharusnya kita menjadi orang yang ikhlas, apalagi semua manfaat
ini diberikan kepada orang-orang yang ikhlas.

KERUGIAN KETIDAK IKHLASAN


Sebagaimana ikhlas yang memberikan banyak manfaat kepada seorang muslim
karena keikhlasannya. Maka begitu pula ketidak ikhlasan memberikan kerugian yang
akan menimpa pelakunya. Di antara kerugian-kerugian itu adalah:
Tidak Masuk Surga:
Dari Abu Hurairah A, Rasulullah N bersabda, “Barangsiapa mempelajari suatu
ilmu yang seharusnya karena Allah K, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan
sebagian dari dunia maka ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.”47
43
HR. Al-Bukhari, no. 2102, dan Muslim, no. 2743
44
Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro (10/250)
45
Madarijus Salikin, (2/92)
46
Al-Ikhlas wa An Niyyah, hal. 64, Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 13.
47
HR. Abu Dawud, no. 3664, dan Ibnu Majah, no. 252, dan dishahihkan oleh Al-Albani
Masuk Neraka pada Hari Kiamat:
Dari Abu Hurairah A berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah N bersabda:
“Sesungguhnya manusia pertama yang diputusi pada hari kiamat adalah seorang
yang mati syahid, maka ia dihadapkan kepada Allah dan diingatkan kepadanya akan
nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian
ditanya oleh Allah, ‘Lalu, apakah amalanmu dalam nikmat itu?’ lelaki itu menjawab;
‘Aku telah berperang untuk-Mu hingga mati syahid.’ Allah berfirman; ‘Dusta kamu,
tetapi kamu berperang untuk dikenal sebagai orang yang gagah berani.’ ia lalu
diseret oleh malaikat dan diperintahkan untuk dilempar ke dalam neraka.
Lalu seorang lelaki yang belajar ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Al
Qur’an, maka diberitakan nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya.
Lalu ia ditanya; ‘Lalu apakah amalanmu di dalamnya?’ ia menjawab; ‘Aku telah
belajar ilmu dan mengajarkannya, aku juga telah membaca Al-Qur’an untuk-Mu.’
Allah berfirman; ‘Dusta kamu, tetapi kamu belajar ilmu agar mendapat sebutan Alim,
membaca Al-Qur’an agar mendapat gelar Qori’. kemudian diperintahkan kepada
malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.
Dan seorang lelaki yang Allah luaskan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai
kekayaan. Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat yang telah diberikan Allah
kepadanya, dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya; ‘Lantas apa amalanmu di
dalamnya?’ ia menjawab; ‘Tiada satu jalan pun yang engkau perintahkan untuk
mengifakkan harta di dalamnya, kecuali pasti telah aku infakkan harta di dalamnya
untuk-Mu’. Lalu Allah menjawab; ‘Dusta kamu, tapi kamu menginfakkan harta itu
agar engkau disebut dermawan.’ Maka Allah kemudian memerintahkan malaikat
untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka.”48
Adalah Abu Hurairah A, setiap kali ingin meriwayatkan hadits ini, ia jatuh
pingsan karena saking takutnya. Dari Syufayya Al-Ashbahi, bahwa ia masuk ke
Madinah, ternyata ada seseorang yang dikerumuni orang-orang. Syufayya bertanya:
‘Siapa dia?’ mereka menjawab; ‘Abu Hurairah’ Aku mendekatinya hingga aku duduk
di hadapannya sementara ia tengah menceritakan kepada orang-orang. Saat diam dan
selesai aku bertanya padanya; ‘Aku menyumpahmu dengan kebenaran dan dengan
kebenaran, ceritakanlah suatu hadits padaku yang kau dengar dari Rasulullah N yang
kau pahami dan kau ketahui. Abu Hurairah berkata; “Baik, aku akan menceritakan
suatu hadits kepadamu yang diceritakan oleh Rasulullah N kepadaku, yang aku
48
HR. Muslim, no. 1905
pahami dan aku ketahui. Abu Hurairah terisak-isak, setelah itu ia terdiam sejenak,
setelah sadar ia berkata; ‘Aku akan menceritakan kepadamu hadits yang diceritakan
Rasulullah N kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain bersamaku. Setelah itu Abu
Hurairah terisak-isak lagi, setelah mereda ia membasuh wajahnya dan berkata; ‘Aku
akan menceritakan padamu hadits yang diceritakan Rasulullah N padaku, aku dan
beliau di rumah ini, tidak ada seorang pun selain kami di rumah ini. Setelah itu Abu
Hurairah terisak-isak lagi, setelah mereda ia membasauh wajahnya lalu berkata;
‘Baik, aku akan menceritakan padamu hadits yang diceritakan oleh Rasulullah N
kepadaku, aku bersama beliau di rumah ini, tidak ada orang lain bersama beliau selain
aku. Setelah itu Abu Hurairah terisak-isak dengan keras, setelah itu ia miring
tersungkur di atas wajahnya lalu aku menyandarannya di badanku selang berapa lama.
Setelah sadar ia berkata : “Rasulullah N telah menceritakan padaku …… (seperti
hadits sebelumya). Di akhirnya, lalu Rasulullah N memukul lututku dan bersabda,
“Wahai Abu Hurairah, dengan ketiga orang makhluk Allah itulah neraka dinyalakan
petama kali pada hari kiamat.”49
Neraka, pertama dinyalakan bukan dengan pembunuh, pezina, pencuri dan
peminum khamr, tapi dinyalakan dengan pembaca Al-Qur’an, orang yang bersedekah
dan orang yang berjihad, dan itu semua disebabkan oleh riya’.
Dari Ka’ab bin Malik A berkata, Rasulullah N bersabda, “Barangsiapa yang
mencari ilmu dengan tujuan untuk bisa mendebat ulama’ (untuk menampakkan
keilmuannya di hadapan lainnya), atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau
agar menarik perhatian yang lainnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam
neraka.”50
Amalan Tidak Diterima:
Dari Abu Hurairah A berkata, Rasulullah N bersabda, “Allah K berfirman: Aku
sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang
menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (tidak
menerima amalannya) dan perbuatan syiriknya.”51
Dari Abu Umamah Al-Bahili A berkata, “Datang seorang lelaki kepada
Rasulullah N. Lelaki beliau bertanya: “Bagaimana menurut engkau jika ada seorang
yang berperang untuk mengharapkan pahala dan sekaligus ingin disebut namanya
(sebagai pahlawan), apa yang ia dapatkan? Rasulullah N bersabda: ‘ia tidak
49
HR. At Tirmidzi, no. 2382, dan dishahihkan oleh Al-Hakim
50
HR. At Tirmidzi, no. 2654, dan dihasankan oleh Al-Albani
51
HR. Musim, no. 2985.
mendapatkan apa-apa‘. Lelaki tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali.
Rasulullah N tetap bersabda: ‘ia tidak mendapatkan apa-apa‘. Lalu beliau bersabda:
‘Sesungguhnya Allah K tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas dan
mengharapkan wajah-Nya’.”52
Dari Abu Hurairah A bahwa ada seorang lelaki yang berkata: “Wahai Rasulullah,
ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta
dunia?” Rasulullah N bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, orang-orang pun
merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah N, mungkin saja,
kamu belum memberikan penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai
Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan
harta dunia?” Rasulullah N bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”, sampai-
sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau tetap
bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.”53
Hilangnya Pahala dan Ganjaran Amal:
Allah K berfirman:

٢٣ ‫وا ِم ۡن َع َم ٖل فَ َج َع ۡل ٰنَهُ هَبَٓاءٗ َّمنثُورًا‬


ْ ُ‫َوقَ ِدمۡ نَٓا ِإلَ ٰى َما َع ِمل‬
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Dalam sebuah hadits Qudsi bahwa Allah K berkata kepada orang-orang yang
melakukan riya’:

 ً‫الد ْنيَا فَانْظُُروا َه ْل جَتِ ُدو َن ِعْن َد ُه ْم َجَزاء‬


ُّ ‫ين ُكْنتُ ْم تَُراءُو َن يِف‬ ِ َّ ‫ِإ‬
َ ‫ا ْذ َهبُوا ىَل الذ‬
“Pergilah kalian kepada sesuatu yang dahulu ketika di dunia kalian melakukan
amal agar dilihat oleh mereka, lalu lihatlah oleh kalian apakah kalian mendapati
balasannya pada sisi mereka”54

PERHATIAN PARA SALAF TERHADAP IKHLAS


Para salaf dalam memperlakukan ikhlas tidak sebatas seperti perlakukan terhadap
ayat-ayat yang biasa dibaca dan hadits-hadits yang disebarkan saja. Tapi mereka
memiliki perhatian yang berbeda dari yang lainnya dalam hal ikhlas. Bahkan kisah
mereka bersama ikhlas layak menjadi panutan, karena mereka mengetahui pentingnya
ikhlas.
52
HR. An-Nasa’I, no. 3140, dan dishahihkan oleh Al-Albani
53
HR. Abu Dawud, no. 2516, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi
54
HR. Ahmad, no. 23681, dan dishahihkan oleh Al-Albani
Al-Fudhail T berkata:
“Sesungguhnya yang Allah inginkan darimu adalah niat dan kemauanmu.”55
Sesungguhnya para salaf T juga merasa kesusahan dalam mengamalkan ikhlas,
mereka lalu menjelaskan susahnya ikhlas itu kepada manusia. Suatu ketika Sahal bin
Abdillah At-Tusturi ditanya, “Apa yang paling berat untuk diri kita?” Ia menjawab :
“Ikhlas, karena di dalam ikhlas pelakunya tidak dapat bagian.”56
Yusuf bin Asbath T berkata, “Membersihkan niat dari perusaknya lebih berat
bagi orang yang senantiasa beramal dibanding dengan ketekunan beramal”57
Berikut ini contoh-contoh perhatian salaf terhadap ikhlas. Semoga engkau bisa
mengambil pelajaran dan mengikuti mereka dalam menempuh jalan ini:
Tidak Menyifati Dirinya Sebagai Orang yang Ikhlas:
Ketika para salaf sudah mengetahui bahwa ikhlas termasuk perkara yang paling
sulit untuk dihadapi oleh seseorang dalam kehidupannya, dan tahu bahwa ikhlas juga
membutuhkan kesungguhan yang hakiki dari seorang muslim, maka mereka pun
menghapus cap ikhlas dan tidak menyematkannya pada diri mereka.
Hisyam Ad Dustiwa’i T berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa mengatakan:
‘Sesungguhnya suatu hari aku pergi mencari hadits demi mengharap wajah Allah
K.”58
Tahukah kalian siapa Hisyam Ad Dustiwa’i yang memfokuskan dirinya untuk
belajar itu?
Syu’bah bin Al-Hajaj T berkata, “Tidaklah aku mengatakan ada seorang yang
mencari hadits demi mengharap wajah Allah kecuali itu adalah Hisyam Ad-
Dustiwa’i.”
Syadz bin Fayadh juga membicarakannya, “Hisyam menangis sampai matanya
rusak”
Hisyam berbicara tentang dirinya: “Jika aku kehilangan lampu maka aku ingat
gelapnya kubur.”
Ia juga berkata, “Aku heran kepada seorang alim, bagaimana cara dia tertawa.”59
Sufyan T berkata, “Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih
berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik.”60

55
Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal. 13
56
Madarijus Salikin, (2/92) dan Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal. 17
57
Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal. 13
58
Tarikh Islam, (3/175), Siyaru A’lamin Nubala’, (7/152)
59
Tarikh Islam, (3/176)
60
Al-Ikhlas wa An-Niyyah, hal. 65
Yusuf bin Al-Husain berkata, “Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas,
betapa sering aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, akan
tetapi seakan-akan riya’ itu muncul lagi dalam bentuk yang lain.”61
Di antara doanya Mutharrif bin Abdillah T adalah:
ِ ‫ك‬ ِ ‫ِ مِم‬ ِ ِ ‫ك ِمْن ه مُثَّ ع ْد‬ ‫ِ مِم‬
‫ َو‬،‫بِه‬ َ َ‫ك َعلَى َن ْف ِس ْي مُثَّ مَلْ ُْأوف ل‬
َ َ‫َأس َت ْغف ُر َك َّا َج َع ْلتَ هُ ل‬ ُ ُ ُ َ ‫ت ِإلَْي‬
ْ ‫ َو‬،‫ت فْي ه‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم ِإيِّن‬
ُ ‫َأس َت ْغف ُر َك َّا تُْب‬
ِ ِِ ‫ِ مِم‬
‫ت‬ َ ‫ت بِِه َو ْج َه‬
َ ‫ك فَ َخالَ َط َقْليِب ْ فْيه َما قَ ْد َعل ْم‬ ُ ‫ت َأنَّيِن ََأر ْد‬
ُ ‫َأسَت ْغف ُر َك َّا َز َع ْم‬
ْ
“Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang telah aku sesali
kemudian aku mengulanginya, aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang telah
Engkau tetapkan namun aku tidak melakukannya, dan aku memohon ampun kepada-
Mu atas dugaanku bahwa aku mengharap wajah-Mu lalu hatiku terkotori sebagaimana
yang Engkau tahu.62”
Mereka menjadi para Imam yang diteladani, meskipun begitu mereka tetap
menjadi orang yang paling khawatir terhadap diri mereka.
Menyembunyikan Amal:
Al-Hasan Al-Basri berkata membicarakan tentang kesungguhan salaf dalam
menyembunyikan amal-amal mereka, “Jika ada seorang yang telah mengumpulkan
Al-Qur’an dan tetangganya tidak tahu, jika ada orang yang paham banyak sekali
tentang fikih dan tidak ada orang yang tahu, jika ada orang yang shalat malam di
rumah begitu panjang padahal ia memiliki tamu dan tamu itu tidak tahu. Sungguh aku
dapati mereka adalah kaum di muka bumi ini yang jika mereka mampu mengerjakan
sebuah amal dengan sembunyi-sembunyi maka selamanya mereka tidak akan
mengerjakannya terang-terangan.”
Orang-orang Islam juga bersungguh-sungguh dalam berdoa dan tidak ada suara
yang terdengar kecuali suara yang pelan di antara mereka, hal itu karena Allah K
berfirman:

٥٥ َ‫َضرُّ ٗعا َو ُخ ۡفيَ ۚةً ِإنَّهۥُ اَل ي ُِحبُّ ۡٱل ُم ۡعتَ ِدين‬ ْ ‫ۡٱد ُع‬
َ ‫وا َربَّ ُكمۡ ت‬
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.
Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf [7]
: 55)63
Menyembunyikan Amalan-amalan dari Keluarga dan Istri-istrinya:

61
Madarijus Salikin, (2/92)
62
Hilyatul Auliya, (2/207), dan Syu’abul Iman, no. 7167-7168
63
Az-Zuhdu, Ibnu Mubarak, hal. 45-46
Istri Hassan bin Abu Sinan berkata tentang suaminya, “Suamiku biasa masuk ke
kamar bersamaku, kemudian dia mencandaiku sebagaimana seorang suami mencandai
istrinya tersayang. Manakala dia tahu bahwa aku sudah tertidur, ia mulai menjauhkan
dirinya kemudian keluar dari kamar kemudian shalat. Aku pernah menggerutu seraya
berkata, ‘kasihanilah badanmu, sudah sering kau menyiksa dirimu sendiri’! Hasan
menjawab, ‘Diamlah, celaka kamu! Aku khawatir ketika aku tidur yang hanya sekejab
itu, ternyata aku tidak mampu bangun lagi selamanya.”64
Dawud bin Abu Hindi berpuasa empat puluh tahun dan keluarganya tidak tahu
sama sekali, keluarganya membawakan makanan untuknya tapi makanan itu
disedekahkan di jalan, dan beliau kembali ke rumah ketika malam lalu berbuka
bersama keluarganya.65
Menyamar ketika Berjihad:
Sesungguhnya jihad adalah salah satu dari sekian amal yang sangat rentan
tercampuri riya’ dan ketidakikhlasan. Karena tidak setiap orang yang menenteng
senjata dan bertempur bersama kaum muslimin adalah orang yang ikhlas. Ada
beberapa hadits yang menekankan pentingnya niat dan keikhlasan dalam berjihad. Di
antara gambaran keikhlasan dalam berjihad yang dilakukan oleh salafusshalih adalah
mereka menyamar ketika berjihad, sehingga orang-orang tidak mengenali mereka.
Simak dua kisah berikut ini :
Kisah Pertama:
‘Abdah bin Sulaiman T berkata, “Kami bersama Abdullah bin Al-Mubarak dalam
sebuah sariyah (detasemen) di negeri Romawi, kami pun bertemu dengan musuh.
Ketika dua pasukan sudah berhadap-hadapan, muncullah seorang lelaki dari barisan
musuh dan mengajak untuk duel satu lawan satu, melihat hal itu muncullah seorang
lelaki muslim, ia maju menghadapinya, menikam dan membunuhnya. Lalu muncul
lagi lelaki dari barisan musuh mengajak duel, lelaki muslim tadi pun mendatanginya
dan membunuhnya, lalu muncul lagi yang ketiga, lelaki muslim tadi pun
mendatanginya, menikamnya dan membunuhnya. Orang-orang pun mengerumuninya
karena mereka penasaran siapa gerangan lelaki muslim itu karena dia menutupi
wajahnya.”
Abdah berkata, “Aku termasuk yang mengerumuninya karena aku ingin tahu
siapa sebenarnya dia, aku pun memegang ujung lengan bajunya dan menariknya,

64
Hilyatul Auliya, (3/117), dan Sifatus Shafwah, (3/339)
65
Hilyatul Auliya, (3/94)
ternyata dia adalah Abdullah bin Al-Mubarak, dia berkata padaku karena aku menarik
dan menyingkap wajahnya: “Engkau telah berbuat buruk padaku wahai Abu Amru!”66
Kisah Kedua (kisah pembuat terowongan):
Suatu hari pasukan muslimin mengepung salah satu benteng musuh, mereka
kesusahan karena lemparan senjata musuh, lalu berdirilah salah seorang lelaki dari
kaum muslimin dan menggali sebuah terowongan, melalui terowongan itu ia bisa
memasuki benteng dan membunuh penjaganya lalu membuka pintu benteng hingga
akhirnya pasukan muslimin bisa masuk benteng dan memperoleh kemenangan.
Sementara tidak ada orang yang tahu siapa lelaki yang menggali terowongan dan
membuka benteng itu.
Maslamah sebagai pemimpin pasukan ingin tahu siapa lelaki tersebut, karena dia
tidak juga mendapatinya, ia pun bersumpah dan meminta lelaki tersebut
mendatanginya. Pada malam hari, Thariq mendatanginya dan meminta sebuah syarat,
yaitu jika dia sudah diberitahu maka setelah itu tidak akan mencarinya lagi
selamanya. Maslamah pun menyanggupinya, dan ia pun diberitahu siapa lelaki itu.
Maslamah kemudian berkata: ‘Ya Allah, kumpulkanlah kami bersama si pembuat
terowongan’.”67
Orang badui dan ghanimah:
Dari Syaddad bin Al-Had, bahwa ada seorang laki-laki Arab Badui datang kepada
Nabi N kemudian beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi dan mengikuti beliau.
Badui tersebut berkata kepada Nabi: “Aku akan berhijrah bersamamu,” maka Nabi N
dan para shahabat pun memberikan nasihat agama kepadanya. Ketika perang, Nabi N
mendapatkan ghanimah dan tawanan, maka Nabi N membagikan ghanimah kepada
para shahabat dan juga kepada orang Badui tadi. Ketika para shahabat mendapatkan
bagian ghanimah mereka bergembira, akan tetapi ketika pembagian sampai kepada si
Badui, tiba-tiba dia menolaknya sembari berkata, “Apa ini?” Para shahabat
menjawab, “Ini adalah bagian ghanimah untukmu yang berasal dari Nabi N.”
Mendapatkan jawaban para shahabat, si Badui terpaksa mengambil bagian
ghanimah itu tetapi kemudian dia menghadap Nabi N. Sesampai di hadapan Nabi N,
si Badui bertanya, “Harta apakah ini?” “Ini adalah bagian ghanimah yang aku bagi
untukmu.” jawab Nabi N. Kembali orang Badui itu berkata, “Bukan karena perkara ini
aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu karena aku ingin agar suatu saat nanti

66
Tarikh Baghdad, (10/167)
67
Bustanul Khatib, hal. 24
aku terkena lemparan panah di sini –sambil menunjuk ke lehernya– sehingga aku
terbunuh dan masuk jannah karenanya.” Rasulullah N bersabda, “Jika engkau jujur
kepada Allah, maka Allah akan membenarkanmu.”
Setelah itu, kaum muslimin beristirahat sebentar, mereka kemudian melanjutkan
lagi penyerbuan terhadap musuh. Di tengah berkecamuknya peperangan, si Badui
dibawa menghadap Nabi N dalam keadaan terkena panah di tempat yang sesuai
dengan yang dia tunjukkan sebelumnya. Melihat itu, Nabi N bertanya, “Apakah dia
orang yang kemarin?” Para shahabat menjawab, “Benar,” Nabi bersabda, “Dia telah
berbuat shiddiq kepada Allah , maka Allah berbuat shiddiq kepadanya.” Selanjutnya
Nabi N mengkafaninya dengan baju besi milik Nabi N dan beliau mendoakannya dan
di antara doa beliau adalah:

َ ِ‫ َأنَا َش ِهي ٌد َعلَى َذل‬،ً‫ َف ُقتِ َل َش ِهيدا‬،‫ك‬


‫ك‬ َ ِ‫ فِي َسبيِل‬$ً‫اجرا‬
ِ ‫ َخرج م َه‬،‫اللُّ ُه َّم َه َذا َع ْب ُد َك‬
َُ َ
“Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, dia keluar untuk behijrah di jalan-Mu dan
terbunuh sebagai syahid. Dan aku bersaksi atas perkara itu.”68
Takut dari Berpura-pura Baik dan Pencitraan:
Ali bin Bakkar Al-Bashri Az-Zahid T berkata, “Sungguh menjatuhkan setan lebih
aku sukai daripada menjatuhkan seseorang, aku takut berpura-pura baik padanya lalu
aku jatuh dari pandangan Allah.”69 Para salaf takut melakukan pencitraan dan
berpura-pura baik.
Tidak Menampakkan Ilmu:
Ibnu Faris menyebutkan dari Abi Al-Hasan Al-Qatthan T, ia berkata, “Aku sakit
mata, aku kira sakit ini merupakan hukuman untukku karena aku banyak bicara ketika
rihlah.” Beliau mengira penyakitnya adalah hukuman yang disebabkan karena beliau
menampakkan ilmunya.
Adz-Dzahabi T berkata, “Benar demi Allah, sesungguhnya kebanyakan mereka
yang memiliki tujuan yang baik dan niat yang benar, mereka takut untuk berbicara
dan menampakkan keilmuan serta keutamaan mereka. Hari ini orang-orang banyak
bicara padahal kurang ilmu dan memiliki tujuan buruk. Allah pun membuka
keburukan mereka, menunjukkan kebodohan, nafsu dan kebingungan dalam keilmuan
mereka.”70

68
HR. An Nasa’I, no. 1953, dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi mengatakan sesuai syarat Muslim.
69
Hilyatul Auliya, (8/270)
70
Siyaru A’lam An-Nubala’, (15/464-465)
Menyembunyikan Tangisan:
Hamad bin Zaid T berkata, “Ayyub ketika menyampaikan hadits ia menangis
berlinang air mata, air matanya menetes, ia pun menyeka air matanya dan membuang
ingusnya lalu berkata, “Alangkah parahnya pilek ini!!” Ia menampakkan pilek untuk
menyembunyikan tangisnya.”71
Al-Hasan Al-Bashri T berkata, “Seorang lelaki duduk di majelis lalu berlinanglah
air matanya dan disekanya. Ketika ia takut tidak bisa menahannya maka ia berdiri.”72
Muhammad bin Wasi’ T berkata, “Ada seorang lelaki menangis selama dua puluh
tahun sedangkan istri yang bersamanya tidak mengetahuinya.”73
Ia juga berkata, “Aku pernah mendapati beberapa orang; ada seorang lelaki
bersama istrinya, kepala mereka berdua satu bantal, pipi lelaki itu basah karena air
matanya sedangkan si istri tidak mengetahuinya. Ada juga orang-orang yang salah
seorang dari mereka berdiri lalu mengalir air matanya membasahi pipinya sedangkan
orang di sampingnya tidak mengetahui hal tersebut.”74
Imam Al-Mawardi dan Karya-karya Tulisnya:
Imam Al-Mawardi T memiliki kisah yang menakjubkan tentang ikhlas dalam
penulisan karya-karyanya. Beliau telah menulis banyak karya tulis di bidang tafsir,
fikih dan lainnya, tapi semasa hidupnya tidak pernah menampakkan karya apapun.
Ketika mendekati hari wafatnya, ia berkata kepada seseorang yang dipercayainya,
“Kitab-kitab yang ada di tempat fulan adalah karya-karyaku, aku belum
mempublikasikannya karena aku belum mendapati niat ikhlas dalam hatiku. Aku
berpesan kepadamu, ketika menjelang kematianku nanti dekatkanlah tanganmu ke
arah tanganku, jika aku menyambut uluran tanganmu dan menekannya maka artinya
aku tidak memperbolehkan buku-buku itu untuk dipublikasikan atas namaku dan
buanglah buku itu di sungai Tigris pada malam hari. Namun jika aku menjauhkan
tanganku dari tanganmu, maka artinya aku memperbolehkan buku-bukuku untuk
dipublikasikan atas namaku, dan aku telah siap dengan menjadikan tujuanku
menuliskannya karena mengharap ridha Allah.”
Lelaki itu berkata, “Ketika kematian sudah mendekati Imam Al-Mawardi, aku
mengulurkan tanganku ke tangannya tapi ia tidak menerimanya. Maka aku tahu
bahwa itu adalah tanda bahwa beliau menerima jika aku mempublikasikan karya-

71
Musnad Ibnu Al-Ja’di, no. 1246, dan Siyaru A’lam An-Nubala’, (6/20)
72
Az-Zuhdu, Ahmad, hal. 262
73
Hilyatul Auliya, (2/347)
74
Hilyatul Auliya, (2/347)
karyanya atas namanya. Aku pun mempublikasikan buku-buku karyanya setelah
itu.”75
Ali bin Al-Husain T dan Sedekah Malam:
Zainal Abidin Ali bin Al Husain T memikul roti di punggungnya dan membuntuti
orang-orang miskin di kegelapan malam, ia berkata, “Sedekah yang dilakukan dalam
gelapnya malam akan memadamkan murka Allah.” Penduduk kota yang mendapatkan
sedekah itu tidak tahu dari mana datangnya sedekah tersebut. Ketika Ali bin Al-
Husain wafat orang-orang itu tidak lagi mendapatkan sedekah malam, mereka juga
melihat di punggung Ali bin Al-Husain ada tanda bekas memikul tepung pada malam
hari, dan beliau adalah orang yang telah memberikan nafkah kepada seratus rumah.76
Peristiwa dan kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pelaku kisah berusaha untuk
menyembunyikannya, hanya saja Allah menampakkannya agar pelakunya menjadi
pemimpin yang diteladani:

٧٤ ‫ٱج َع ۡلنَا لِ ۡل ُمتَّقِينَ ِإ َما ًما‬


ۡ ‫… َو‬
“…dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-
Furqân [25]: 74)

٧٣ …‫َو َج َع ۡل ٰنَهُمۡ َأِئ َّم ٗة يَ ۡه ُدونَ بَِأمۡ ِرنَا‬


“Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami…” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 73)

TANDA-TANDA KEIKHLASAN
Para ulama telah menyebutkan bahwa ikhlas memiliki tanda-tanda yang tampak
pada seorang hamba, di antaranya adalah:
Tidak suka popularitas, tidak suka pujian dan sanjungan, semangat beramal untuk
agama, bersegera dalam beramal dan mengharap ganjaran, sabar tahan banting dan
tidak gampang mengadu, semangat dalam menyembunyikan amal, sempurna dalam
beramal ketika sendirian (tidak ada yang menyaksikan), banyak beramal dalam
kesendirian, amal sendiriannya lebih besar daripada amal ketika banyak orang.
Semua ini adalah tanda-tanda ikhlas, tapi waspadalah wahai saudara muslimku,
karena barangsiapa yang melihat di dalam keikhlasannya sebuah keikhlasan - merasa
sudah ikhlas - maka sesungguhnya keikhlasannya membutuhkan ikhlas.

75
Tarikh Al-Islam, (7/169), dan Siyaru A’lam An Nubala’, (18/66)
76
Tahdzib Al-Kamal, (20/392), Tarikh Damaskus, (41/383-384)
Kami memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk dari orang-
orang yang ikhlas, dan menyucikan hati kita dan amal-amal kita dari riya’ dan
kemunafikan.

BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR IKHLAS

Kapan Menampakkan Amal Disyariatkan?


Kami telah menyebutkan keadaan salaf bagaimana mereka bersemangat untuk
menyembunyikan amal mereka. Kami juga menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda
ikhlas adalah menyembunyikan amal. Tapi terkadang menampakkan amal bisa
menjadi disyariatkan dan lebih utama daripada menyembunyikannya.
Ibnu Qudamah T berkata, “Pasal yang menjelaskan tentang rukhsah atau
keringanan seputar berniat menampakkan amal-amal ketaatan.”
Beliau berkata, “Dalam menampakkan amal ada manfaat yang ingin diraih yaitu
agar menjadi contoh dan teladan, serta memotivasi manusia agar suka kepada
kebaikan. Dikarenakan ada amal-amal yang tidak mungkin untuk disembunyikan
seperti haji dan jihad. Maka orang yang menampakkan amalannya harus selalu
mengawasi hatinya supaya tidak ada rasa suka terhadap riya’ yang tersembunyi,
bahkan harus benar-benar berniat agar amalnya menjadi teladan bagi orang lain.
Beliau juga mengatakan, “Adapun orang yang lemah tidak seharusnya menipu
dirinya sendiri dengan hal itu, perumpamaan orang yang menampakkan amal padahal
dia lemah seperti orang yang tidak pandai berenang melihat sekelompok orang yang
tenggelam, karena kasihan ia segera mendatangi mereka lalu orang-orang yang
tenggelam itu berebut dan bergantungan padanya sehingga semuanya tenggelam.”77
Untuk memperjelas persoalan ini maka kami berpendapat: bahwa menampakkan
amal dan menyembunyikan amal memiliki beberapa keadaan:
Keadaan pertama: Amal yang sunnahnya disembunyikan hendaknya
disembunyikan, seperti; qiyamul lail dan khusyuk.
Keadaan kedua: Amal yang sunnahnya ditampakkan maka hendaknya
ditampakkan, seperti; shalat jum’at, shalat jamaah, dan menjelaskan kebenaran.
Keadaan ketiga: Amal yang berada ditengah-tengah (tidak disunnahkan untuk
disembunyikan atau pun ditampakkan) maka disunnahkan untuk
menyembunyikannya bagi orang yang takut dirinya terkena riya’, dan disunnahkan
77
Mukhtashor Minhajul Qashidin, hal. 223-224
untuk menampakkannya bagi orang yang punya tujuan agar orang-orang mengikuti
amalnya. Seperti sedekah sunnah, apabila seseorang memperkirakan riya’ bisa masuk
ke dalam hatinya ketika orang lain melihatnya bersedekah, maka hendaknya dia
menyembunyikan amalnya. Namun apabila ia menyangka orang-orang akan
mengikutinya bersedekah dan dia bisa berjuang untuk tidak riya’ maka disunnahkan
untuk menampakkan sedekahnya.
Juga seperti orang alim yang mengerjakan shalat nafilah di masjid di hadapan
orang-orang untuk menjelaskan apa shalat nafilah itu, berapa jumlah rakaatnya, dan
semisalnya.
Telah diriwayatkan bahwa sebagian salaf menampakkan amal mereka yang mulia
agar orang-orang mengikutinya. Seperti sebagian salaf yang berkata kepada
keluarganya ketika menunggu ajal, “Kalian jangan menangisiku karena aku tidak
pernah mengucapkan keburukan sejak aku masuk Islam.”
Abu Bakar bin ‘Iyyasy berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah
engkau bermaksiat kepada Allah di ruangan ini, karena di ruangan ini aku sudah
mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak dua belas ribu kali khatam.”78
Dalam hal ini ada perkara yang harus menjadi perhatian, yaitu: siapa yang
menyerukan untuk menyembunyikan seluruh amal shalih dari orang-orang, maka dia
adalah orang yang buruk dan bertujuan memadamkan cahaya Islam. Orang-orang
munafik ketika melihat orang yang bersedekah dengan sedekah yang banyak mereka
akan berkata, “Dia adalah orang yang riya’,” dan jika mereka melihat orang yang
bersedekah dengan sedekah yang sedikit mereka berkata, “Sesungguhnya Allah tidak
memerlukan ini.” Tujuan mereka adalah agar amal shalih tidak nampak di masyarakat
sehingga orang shalih tidak lagi dijadikan teladan oleh manusia.
Oleh karena itulah, jika ada orang baik yang menampakkan amal-amal shalih
kemudian mendapatkan perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang munafik,
hendaklah dia bersabar atas gangguan tersebut, tidak usah memperhatikan mereka.
Kemudian dia harus tahu, bahwa dia di atas kebaikan yang besar insyâAllah.

Meninggalkan Beramal karena Takut Riya’:

78
Minhajul Qashidin, hal. 224
Al-Fudhail bin Iyadh T berkata, “Meninggalkan amal karena orang lain adalah
riya’, dan beramal karena orang lain adalah kesyirikan, sedangkan ikhlas adalah
ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”79
An Nawawi T berkata, “Barangsiapa yang sudah bertekad untuk beribadah
kemudian meninggalkannya karena takut dilihat orang maka dia adalah orang yang
riya’”
Ini terjadi ketika orang tersebut meninggalkan amal secara keseluruhan, tapi jika
dia meninggalkan amal di depan orang kemudian mengerjakannya di tempat sepi
maka tidak apa-apa.”
Termasuk dalam pembahasan bab ini adalah apa yang dikerjakan oleh sebagian
orang bodoh, yang memendekkan dan mencukur habis jenggot mereka dengan alasan
agar tidak riya’. Mereka mengatakan bahwa ‘jenggot menunjukkan pemiliknya
mengklaim dirinya sebagai seorang yang beriman dan shalih’. Lalu apa pendapat
mereka tentang nash-nash yang jelas dan banyak dari Nabi N yang memerintahkan
untuk memanjangkan dan merapikan jenggot bukan mencukurnya? Kami memohon
kepada Allah agar diberikan ketajaman berpikir dalam agama.

Perbedaan antara Riya’ dan Menggabungkan Dua Niat dalam Beramal:


Riya’ adalah seseorang beramal dengan amalan syar’i yang ditujukan bukan
untuk mendapatkan ridha Allah.
Menggabungkan dua niat dalam beramal adalah seseorang melakukan amalan
syar’i dengan niat mengharap ridha Allah di samping itu juga berniat yang lain.
Setelah mengamati dan mempertimbangkan kedua perkara tersebut, maka kami
berpendapat, bahwa amal syar’i dibagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama: seorang yang beramal karena Allah dan tidak mencampurinya
dengan sesuatu yang lain. Ini adalah bagian yang paling tinggi dan paling utama.
Bagian kedua: seseorang beramal karena Allah dan mencampurinya dengan
perkara lain yang diperbolehkan. Contohnya, orang yang berpuasa karena Allah dan
berniat puasa untuk menjaga kesehatannya. Atau seorang bersafar untuk haji karena
Allah dan berniat juga sekalian berdagang. Atau seorang yang berjihad karena Allah
dan berniat juga mendapatkan ghanimah untuk memberi makan keluarga dan anak-
anaknya. Atau seorang yang berjalan ke masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan berniat juga untuk olahraga jalan kaki.
79
Syu’abul Iman, no. 6879
Perkara dalam kelompok kedua ini tidak membatalkan amal, tetapi mengurangi
pahalanya. Adapun yang lebih utama adalah tidak meniatkan dalam amalan kecuali
hanya niat mendekatkan diri kepada Allah.
Bagian ketiga: seorang beramal karena Allah dan mencampurinya dengan
perkara yang tidak boleh untuk dicampurkan, seperti mengharap pujian dari orang
lain, atau berniat agar mendapatkan harta karena shalatnya. Bagian ketiga ini dibagi
menjadi beberapa keadaan:
 Jika tujuan ini telah terlintas di benaknya sebelum memulai amal, bahkan
menjadi dasar dan sebab beramal, maka ini merusak amalnya.
Contohnya, seorang hendak mengerjakan shalat nafilah dengan tujuan
agar dilihat oleh orang lain.
 Jika tujuan ini muncul di tengah-tengah amal kemudian ia berusaha
untuk menolak dan menghilangkannya. Contohnya, seorang yang
memulai shalat dengan niat mengharap wajah Allah kemudian di tengah
shalat melihat ada orang yang melihatnya, sehingga muncul keinginan
untuk dipuji dan disanjung, tapi kemudian dia berusaha dengan sungguh-
sungguh menentang keinginannya sampai shalatnya selesai, maka
shalatnya sah dan dia juga mendapatkan pahala atas kesungguhannya.
 Jika tujuan lain dan riya’ muncul di tengah-tengah amal, tapi dia tidak
berusaha untuk menolaknya. Inilah yang membatalkan amal.
Bagian keempat: meniatkan amalnya dengan sesuatu yang boleh diminta tanpa
adanya tujuan untuk mendapatkan pahala. Contohnya, orang yang berpuasa karena
ingin diet saja, atau orang yang berjihad hanya demi mendapatkan ghanimah saja,
atau orang yang berzakat hanya demi bertambahnya harta saja. Jika seperti itu maka
amalnya batal. Allah K berfirman:
ۡ َ‫اجلَ—ةَ َعج َّۡلنَ——ا لَهۥُ فِيهَ——ا َم——ا ن ََش—ٓا ُء لِ َمن نُّ ِري— ُد ثُ َّم َج َع ۡلنَ——ا لَهۥُ َجهَنَّ َم ي‬
‫ص—لَ ٰىهَا‬ ِ ‫َّمن َك——انَ ي ُِري— ُد ۡٱل َع‬
١٨ ‫ُورا‬ ٗ ‫وما َّم ۡدح‬ ٗ ‫َم ۡذ ُم‬
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami
kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 18)
Bagian kelima : beramal dengan tujuan yang tidak diperbolehkan oleh syar’i dan
sama sekali tidak ada tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Contohnya, orang
yang shalat hanya ingin dilihat orang saja. Orang yang seperti ini amalnya batal dan
juga mendapatkan dosa.

Berbohong untuk Menjauhkan Diri dari Riya’:


Sebagian kaum muslimin membolehkan untuk berbohong dengan anggapan tidak
apa-apa jika dilakukan demi menjauhi riya’. Maka ini adalah kesalahan yang fatal dan
perbuatan yang buruk, karena berbohong bukan akhlak seorang muslim.
Contohnya, orang yang membangun masjid atau sekolah karena mengharap
wajah Allah, kemudian ia ditanya tentang pembangunan itu dan dia berkata,
“Bangunan ini dibangun oleh fulan (menyebutkan orang lain).” Ia berbohong dalam
perkataannya. Seharusnya jika ada yang betanya dia cukup menjawab dengan tauriyah
(perkataan yang multi tafsir), misalkan dia menjawab, ”masjid ini dibangun dengan
harta salah seorang dari kaum muslimin,” maksud salah seorang dari kaum muslimin
adalah dirinya.

Hal-Hal Yang Dianggap Riya’ padahal Bukan:


 Jika kamu dipuji oleh orang lain karena kebaikanmu tanpa kamu mengharap
pujian itu, maka ini adalah kabar gembira bagi orang-orang beriman.
 Mendapatkan popularitas tanpa memintanya, seperti orang alim dan penuntut
ilmu yang mengajarkan ilmunya kepada manusia, mengajari mereka urusan
agama, dan memberikan fatwa pada permasalahan mereka, kemudian karena
semua itu, ia mendapatkan popularitas. Jika seperti ini hendaknya dia tidak
menghentikan kebaikan yang sudah dilakukannya tersebut dengan alasan
menjauhi riya’, namun yang harus ia lakukan adalah memperjuangkan niatnya
dan meneruskan jalannya.
 Sebagian orang ketika melihat ada orang yang ahli ibadah dan rajin dalam
beribadah kemudian ikut semangat beribadah seperti orang yang dilihatnya. Ini
bukanlah riya’, jika ia meniatkan ibadahnya untuk mendapatkan ridha Allah maka
dia akan mendapatkan pahala.
 Memperbagus dan memperindah pakaian, sandal dan memakai wewangian,
semua ini bukanlah riya’.
 Menyembunyikan dosa dan tidak membicarakannya bukanlah perbuatan riya’,
bahkan kita dituntut oleh syar’i untuk menutupinya atas diri kita dan selain kita.
Sebagian orang mengira bahwa dosa harus dikabarkan agar menjadi orang yang
ikhlas. Maka ini merupakan persangkaan yang tidak pada tempatnya, juga
merupakan tipudaya iblis terhadap orang ini, karena mengabarkan dosa termasuk
dari bab menyebarkan kekejian di antara orang-orang beriman.

PENUTUP
Saudara muslimku, sesungguhnya kita sedang berada dalam keadaan susah dan
kondisi umat Islam sedang dipertaruhkan. Kita sangat membutuhkan keikhlasan
untuk memperbaiki keadaan umat dan untuk keluar dari keadaan sulit ini.
Ada proyek-proyek dakwah dan program amal kebaikan besar yang telah
berdiri, kemudian bubar disebabkan ketidakikhlasan. Sebagian
penanggungjawabnya melakukan riya’, sum’ah dan menginginkan dunia serta
menjauh dari keikhlasan, sehingga mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
menyebabkan kehancuran proyek-proyek ini.
Padahal amal yang sifatnya individu saja harus dikerjakan dengan ikhlas. Andai
saja aku tahu bagaimana cara memperbaiki niat orang yang tidak tahu hakekat niat?
Dan bagaimana membuat ikhlas orang yang tidak tahu hakekat ikhlas?!
Ya Allah, berikanlah kepada kami rezeki ikhlas dan kokohkanlah ia di hati
kami, berikanlah berkah dan keselamatan yang banyak kepada Nabi kami Muhamm
ad, kepada keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
Muhammad Shalih Al Munajjid

Anda mungkin juga menyukai