Anda di halaman 1dari 21

“BERBISNIS DENGAN ALLAH “

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teologi Ekonomi


( Dosen Pengampu : Bapak Agus salim, M.Pd )

Disusun Oleh:
Kelompok 4

1. Ayu Permata Sari (0502192064)


2. Irma Dwi Madhani (0502192100)
3. Bakti Kurniawan (0502192082)
4. Uci Roito Anggina (0502193266)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta;ala karena memberi Penulis
kenyamanan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat waktu.
Tanpa bantuan-Nya, tentu saja, Penulis tidak akan dapat menyelesaikan Makalah
ini dengan baik. Shalawat dan salam Penulis limpahkan kepada Raja kita tercinta,
Nabi Muhammad SAW, yang kita nanti akan beralih ke syariahnya di akhirat.
        Penulis bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kelimpahan
nikmat sehat-Nya, baik dalam bentuk kesehatan fisik dan Rohani, sehingga
Penulis dapat menyelesaikan pembuatan Makalah ini.
       Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih ada banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk alasan ini,
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk Makalah ini, sehingga
Makalah ini nantinya bisa menjadi Makalah yang lebih baik. Kemudian jika ada
banyak kesalahan dalam Makalah ini Penulis meminta maaf sebesar-besarnya.
Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Medan, 05 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Berbisnis Dengan Allah.................................................................... 3


B. Terma-terma Bisnis dalam Al-Qur’an................................................................ 3
C. Syarat-syarat Berbisnis dengan Allah................................................................. 9
D. Implikasi Berbisnis dengan Allah....................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................................17
B. Saran...................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bisnis dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti mendapatkan motivasi
dan spirit dari diri Kita sendiri berdasarkan Rukun-rukun yang disyari’atkan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala demi mencapai Kesuksesan dan Keberhasilan di bidang
bisnis. Jika ada cara, ada jalan, ada teknik, ada trik atau ada kiat dalam bisnis yang
akan selalu menguntungkan para pelakunya, maka tiada lain kecuali berbisnis
dengan Allah SWT.
Apa yang dimaksud Berbisnis dengan Allah. Tentu saja maknanya tidak
sama dengan pengertian bisnis yang kita pahami pada umumnya. Berbisnis
dengan Allah secara sederhana bahwa amal saleh yang kita laksanakan dengan
penuh Ikhlas dapat Kita pertukarkan kepada Allah, apakah dengan surge, pahala
atau apapun yang dijanjikan Allah. Dalam berbagai literature inilah bentuk Ibadah
seorang Pedagang. Fokusnya mencari Keuntungan lewat Ibadahnya. Tentu tidak
salah jika ada orang yang beribadah seperti ini. Sama dengan tidak salah jika ada
orang yang beribadah seperti seorang budak yang takut dengan tuannya. Sejatinya
Kita dapat beribadah tak ubahnya seperti seorang Pecinta sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Sufi Wanita, Rabi’ah Al-Adawiyyah.
Tema-tema inilah yang akan dibahas dalam Makalah ini. Setidaknya lewat
Makalah ini Kita akan menemukan ternyata Al-Qur’an mengandung terminology
bisnis yang cukup banyak dan beragam. Tidak saja dalam Konteks antara sesame
manusia tetapi juga antara manausia dengan Allah.
Adapun topic-topik Pembahasan dalam Makalah ini adalah mengenai, Terma-
terma bisnis dalam Al-Qur’an . selanjutnya Arti dan signifikansi Berbisnis dengan
Allah. Dan Pembahasan berikutnya Berkenaan dengan Dampak Berbisnis dengan
Allah.
Selanjutnya yang menjadi tujuan Pembahasan dalam Makalah ini adalah
agar Pembaca memahami Terminologi Bisnis dalam Al-Qur’an. Selanjutnya,
memahami makna berbisnis antara manusia dengan manusia (habl min al-nas) dan
berbisnis dengan Allah (habl min Allah). Pada gilirannya, diharapkan Pembaca

1
dapat mengerti dampak dan Pengaruh Berbisnis dengan membawa Tuhan
kedalamnya. Bukan saja pada upaya untuk memperoleh keberkahan tetapi lebih
dari itu juga menyangkut Karakter Bisnis Syari’ah itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah dari Makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Berbisnis dengan Allah ?
2. Bagaimana Terma-terma Bisnis dalam Al-Qur’an ?
3. Apa Syarat-syarat Berbisnis dengan Allah ?
4. Bagaimana Implikasi Berbisnis dengan Allah ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan dari Makalah ini Adalah :
1. Untuk Mengetahui Pengertian Berbisnis dengan Allah
2. Untuk Mengetahui Terma-terma Bisnis dalam Al-Qur’an
3. Untuk Mengetahui Syarat-syarat Berbisnis dengan Allah
4. Untuk Mengetahui Implikasi Berbisnis dengan Allah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Berbisnis Dengan Allah


Apa yang dimaksud Berbisnis dengan Allah. Tentu saja maknanya tidak
sama dengan pengertian bisnis yang kita pahami pada umumnya. Berbisnis
dengan Allah secara sederhana bahwa amal saleh yang kita laksanakan dengan
penuh Ikhlas dapat Kita pertukarkan kepada Allah, apakah dengan surga, pahala
atau apapun yang dijanjikan Allah. Dalam berbagai literatur inilah bentuk Ibadah
seorang Pedagang. Fokusnya mencari Keuntungan lewat Ibadahnya. Tentu tidak
salah jika ada orang yang beribadah seperti ini. Sama dengan tidak salah jika ada
orang yang beribadah seperti seorang budak yang takut dengan tuannya. Sejatinya
Kita dapat beribadah tak ubahnya seperti seorang Pecinta sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Sufi Wanita, Rabi’ah Al-Adawiyyah. 1
Muhammad Muhyidin dalam Bukunya yang berjudul “ 17 Rukun
Berbisnis Dengan Allah” menjelaskan apa yang dimaksud dengan Berbisnis
dengan Tuhan. Menurutnya Bisnis dengan Allah SWT, berarti mendapatkan
Motivasi dan spirit dari diri Kita sendiri berdasarkan Rukun-rukun yang
disyari’atkan Allah demi mencapai Kesuksesan dan Keberhasilan di bidang
Bisnis. Jika ada cara, ada jalan, ada teknik, ada trik atau ada kiat dalam Bisnis
yang akan selalu Menguntungkan para Pelakunya, maka tiada lain kecuali
Berbisnis dengan Allah SWT. 2

B. Terma-terma Bisnis dalam Al-Qur’an


Jika merujuk Kepada karya Syekh Abdul Wahab Khallaf, Iim Ushul Fiqh,
Khususnya tentang Pembahasan Al-Qur’an, Kita akan menemukan bahwa ayat-
ayat yang berbicara tentang hukum termasuk didalamnya mu’amalah tidak lebih
dari 250 ayat. Khusus ayat-ayat Mua’malah yang selalu diidentikkan dengan

1 Azhari Akmal Tarigan, Teologi Ekonomi : Upaya Internalisasi Nilai-nilai Tauhid dalam Aktivitas Ekonomi
dan Bisnis Islam, Jakarta: RajawaliPress, 2014,hlm. 70
2 Muhammad Muhyidin, 17 Rukun Berbisnis dengan Allah, Jakarta: Diva Press, 2009.,hlm. 7

3
ekonomi, bisnis dan hukum bisnis (ahkam al-Iqtishadiyyah) tidak lebih dari 10
Ayat .
Kita bisa berkata, Jika Al-Qur’an tidak banyak memuat persoalan bisnis
mengingat tema ini sangat dinamis. Artinya, Al-Qur’an hanya memuat Prinsip-
prinsip Bisnis. Selanjutnya bagaimana menterjemahkan bisnis dalam perilaku
Kesehariannya, terpulang pada pelakunya. Oleh sebab itu, di dalam Kaedah dasar
Mu’malat dikenal adagium, al-asl fi mu’amalat al-ibahah (asal dari mu’amalat itu
adalah al-ibahah atau kebolehan). Berbeda dengan kaedah yang berlaku di dalam
Ibadah, al-asl fi al-‘ibadah al-tahrim (asal di dalam Ibadah adalah al-tahrim atau
haram)
Yang dimaksud dengan kaedah al-asl fi al-mu’amalat al-ibahah adalah di
dalam persoalan mu’amalat segala sesuatunya dibolehkan sampai ada dalil yang
megharamkan. Substansi dari kaedah ini adalah syari’at hadir dalam memberikan
keleluasaan, fleksibilitas dan elastisitas manusia dalam bermu’amalah . Yusuf Al-
Qaradhawi menjelaskan bahwa ,sedangkan dalam Muamalat adalah urusan
sesama manusia. Apabila ada sekelompok manusia disuatu tempat, haruslah
mereka saling berinteraksi satu sama lain, berjual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, Utang-piutang, baik konsisten maupun tidak konsisten , baik komit
maupun tidak komit, baik secara sederhana maupun berlebihan. Di sinilah sang
pembuat Syari’at hadir untuk memperbaiki, membina dan meluruskan,
menetapkan kaidah-kaidah, menerangkan maksud-maksud, menjelaskan Syarat-
syarat, menetapkan metode, melestarikan yang benar dan sesuai dengan maksud-
maksudnya, dan menghapuskan yang bertentangan dengannya. 3
Dalam Bahasa yang lain, memiliki peluang yang besar untuk
mengembangkan kreatifitas dan Inovasi dalam bisnis. Apa yang tertera di dalam
Kitab-kitab fikih Mu’amalat dapat saja dikembangkan bahkan di Rubah.
Kuncinya adalah tidak melanggar Prinsip Bisnis yang digariskan oleh Al-Qur’an.
Sebut saja misalnya maisir (Judi), Gharar (Tipuan), Riba atau batil. Sesungguhnya
bisnis yang di dalamnya ada unsur judi, penipuan dalam berbagai macam
bentuknya bahkan mengandung unsur Riba, maka bisnis yang seperti ini

3 Yusuf Qaradhawi , 7 Kaidah Utama Fikih Mu’amalat (Al-Qawa’id Al-Hakimah li Fiqh Al-Mu’amalat),
terj. Fedrian Hasmad, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2014,hlm. 12

4
diharamkan. Tidaklah mengherankan jika sekarang ini khususnya dalam lembaga
Keuangan Bank dan non Bank, banyak dikembangkan desain-desain akad baru
yang dahulunya tidak dikenal di dalam Kitab-kitab fikih. Tidak itu saja beberapa
kaedah baru juga dimunculkan sebagai basis pengembangan produk Keuangan
Syari’ah .
Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan disebabkan oleh keluasan kaidah
Mu’amalat ini, maka seyogyanya tidaklah boleh seorang Ulama ditanya.
“Manakah dalil bahwa transaksi atau Muamalat ini diperbolehkan (Mubah) ?
pasalnya dalil yang dicari bukanlah dalil yang membolehkan. Sebab, dalil pada
dasarnya memang membolehkan. Dalil yang dicari semestinya adalah dalil yang
mengharamkan. Dan dalil yang mengharamkan itu haruslah berupa nash Al-
Qur’an atau Sunnah yang tidak mengandung kesamaran (Syubhat), sebagaimana
disyari’atkan para salaf, yakni orang-orang yang dikutip Syaikh Al-Islam Ibnu
Taimiyah, bahwa mereka hanya memvonis haram hal yang Pengharamnya sudah
diketahui secara pasti.
Berbeda dengan Ibadah yang kaedah dasarnya adalah al-asl fi al -’ibadah
al-tahrim. Maknanya di dalam Ibadah tidak ada ruang untuk pengembangan
kreativitas ataupun inovasi. Ada kesan, Allah SWT memainkan peran yang
berbeda pada saat membincangkan masalah Ibadah atau Mu’amalat di dalam Al-
Qur’an. Dengan mengutip Syaikh Muhammad Al-Madani yang oleh Yusuf Al-
Qaradhawi disebut sebagai “Syaikh Kami,” dalam Ibadah, Allah SWT berperan
sebagai pembuat dan peletak dasar. Sementara dalam Muamalat. Dia berperan
sebagai pembetul dan Pembagus.”
Tentu saja Ibadah yang dimaksud disini adalah Ibadah Mahdah. Semua
ketentuan Ibadah haruslah telah ditetapkan di dalam nash baik itu Al-Qur’an
ataupun Hadis. Ibadah mahdah yang tidak memiliki landasan nash menjadi
tertolak. Dengan demikian Ibadah di dalam Islam sesungguhnya tidak
membutuhkan pembaharuan dan juga Pengembangan. Tidak termasuk sarananya.
Jika yang dimaksud dengan sarana Ibadah, tentu tidak ada Persoalan sama sekali.
Sebut saja misalnya Perkembangan sarana Ibadah ditanah suci beberapa
tahun terakhir ini. Tempat Sa’i yang semakin diperluas. Demikian juga dengan
tempat thawaf. Namun thawafnya sendiri tetap saja seperti yang dititahkan Allah

5
di dalam Al-Qur’an dan apa yang dituntunkan Rasulullah SAW di dalam
Hadisnya (Manasiknya). Dengan demikian, Kita bisa mengatakan, di dalam
Ibadah yang dituntut adalah kepatuhan dan ketundukkan. Sedangkan di dalam
Mu’amalat yang diharapkan adalah Inovasi dan Kreatifitas berpayungkan Nilai-
nilai Syari’ah.
Bisa dipahami mengapa Ayat-ayat yang berhubungan dengan Mu’amalat
tidak terlalu banyak di daalam Al-Qur’an . lewat Ayat-ayat Mu’amalat inilah
dengan tetap memperhatikan Nilainya, desain akad buat Produk Keuangan
Syari’ah bisa dikembangkan sedemikian rupa.
Berbeda halnya jika yang dirujuk adalah terma-terma bisnis di dalam Al-
Qur’an yang cukup banyak dan beragam. Dalam catatan Quraish Shihab,
setidaknya di dalam Al-Qur’an ditemukan terminologi bisnis seperti al-tijarah
(Perniagaan) ditemukan 9 kali, kata yasytary (membeli) dalam berbagai bentuk
dan konteknya sebanyak 22 kali, kata ba’i (Jual beli) sebanyak 7 kali, selain
bentuk-bentuknya yang lain. Berikutnya kata Qardh dalam arti kredit atau utang
dan Yuqridh (memberi hutang atau kredit) ditemukan sebanyak 12 kali. 4
Disamping lafaz-lafaz yang secara langsung merujuk kepada aktifitas
bisnis sebagaimana yang telah disebut diatas, banyak Ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis Nabi yang seakan tidak berkaitan dengan bisnis, namun sesungguhnya
pesan atau Nilainya sangat bertautan erat dengan aktivitas bisnis. Setidaknya
Ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut dapat menjadi Inspirasi bagi Pengembangan
Bisnis baik dalam tataran teoritik lebih-lebih praktik. Mengutip contoh yang telah
disebut M. Quraish Shihab di dalam bukunya tersebut. Pada QS Al-Baqarah ayat
1 Allah Subhanahu W Ta’ala berfirman. Alif Lam Mim, dia adalah Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa.”
Jelas Bahwa Ayat Pertama QS. Al-Baqarah di atas yang bisa jadi selama
ini dipahami tidak memiliki kedekatan makna dengan apa yang berlaku di dalam
Dunia Bisnis. Bukankah sebuah Promosi itu penting untuk meyakinkan
Konsumen atau Pelanggan akan sebuah Produk yang ditawarkan. Bukankah setiap

4 M. Quraish Shihab, Berbisnis dengan Allah: Tips jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia-Akhirat, Jakarta: Lentera
Hati, 2008,hlm. 50

6
Perusahaan harus merogoh koceknya dalam jumlah besar hanya untuk sebuah
Promosi. Sebuah aktivitas untuk meyakinkan Pembeli akan sebuah Produk.
Masih menurut M.Quraish Shihab , jika pebisnis harus memperhatikan
tempat dan waktu yang tepat untuk mempromosikan produknya, bukankah Agama
juga demikian. Bukankah didalam bisinis ada bulan-bulan tertentu dimana
penjualan akan meningkat seiring dengan permintaan yang juga semakin tinggi.
Dalam Beberapa Ayat Jelas Bahwa Allah SWT menggunakan terminologi
Bisnis dalam merajut hubungan manusia dengan Allah (habl min Allah). Sebut
saja misalnya QS Al-Ashr : 1-3, QS. Al-Baqarah : 245, QS-Shaf dan lain-lain.
Di dalam Ayat QS. Al-Ashr : 1-3 Allah SWT Berfirman

١:‫ر ﴿العصر‬Nِ ْ‫َو ْال َعص‬


٢:‫ْر ﴿العصر‬ ٍ ‫نسنَ لَفِى ُخس‬ ٰ ‫ِإ َّن اِإْل‬
َّ ‫ا بِال‬Nْ۟‫اصو‬
٣:‫صب ِْر ﴿العصر‬ ِّ ‫صوْ ۟ا بِ ْال َح‬
َ ‫ق َوت ََو‬ ِ ‫صلِ ٰح‬
َ ‫ت َوتَ َوا‬ ۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
ّ ٰ ‫وا ال‬ ۟ ُ‫ِإاَّل الَّ ِذ ْينَ َءامن‬
َ
Artinya : “ Demi masa, sesungguhnya manusia sungguh berada di dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Saling
menasehati (taushiah) dalam kebenaran, dan saling bertaushiah di dalam
kesabaran.”
Berikut Terjemahan yang diberikan M.Quraish Shibab terhadap ayat 2
tersebut.
“Sesungguhnya (Semua manusia (yang mukallaf) benar-benar dalam (wadah)
kerugian (dan kebinasan besar).”
Dalam Tafsirnya, Shihab menjelaskan:
Demikian juga yang dimaksud oleh ayat di atas, “manusia berada di dalam
kerugian”. Kerugian seakan-akan menjadi tempat wadah tersebut. Keterangan di
atas mengandung arti bahwa manusia berada dalam keadaan kerugian total, tidak
ada satu sisi dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu
amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian….. waktu adalah modal
utama manusia. Apabila waktu tidak diisi dengan kegiatan Positif, maka ia akan
berlalu begitunsaja, ia akan hilang. Dan ketika itu, jangankan keuntungan
diperoleh, modalpun telah hilang. Sayyidina Ali pernah berkata, Rezeki yang tidak

7
di peroleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetapi
waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok.5
Didalam Ayat diatas Allah menggunakan terminologi ekonomi, rugi
(Khusrin). Sebenarnya arti lain dari kata Khusrin “sesat”, “celaka”, “lemah”, dan
“tipuan” dan sebagainya yang kesemuanya mengarah kepada makna-makna
negative, atau tidak disenangi oleh siapapun. Namun umumnya kata Khusrin
diterjemahkan dengan rugi.
Untuk terhindar dari dari kerugian total itu, bukan saja dalam konteks
bisnis tetapi juga dalam konteks spiritual dan sosial manusia harus selalu dalam
keadaan beriman yang dibuktikan dengan amal-amal Sholeh, saling bertuasiah
dalam kebenaran dan kesadaran. Rugi sesungguhnya satu kondisi yang sangat
tidak disukai oleh manusia. Jika ia tidak mau rugi dalam bisnisnya, maka tentulah
ia juga tidak mau merugi pada saat berhubungan dengan Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT seperti yang terdapat pada QS.
Al-Saf:10-11.
‫ب َألِ ٍيم‬
ٍ ‫ار ٍة تُ ْن ِجي ُك ْم ِم ْن َع َذا‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا هَلْ َأ ُدلُّ ُك ْم َعلَ ٰى تِ َج‬
‫م ۚ ٰ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن‬Nْ ‫ُون فِي َسبِي ِل هَّللا ِ بَِأ ْم َوالِ ُك ْم َوَأ ْنفُ ِس ُك‬ Nَ ‫تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوتُ َجا ِهد‬
َ‫ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, apakah engkau mau aku
tunjukkan satu bentuk perdagangan yang akan membebaskanmu atau
melepaskamu dari api neraka. Engkau beriman kepada Allah dan rasulnya dan
berjihad dengan diri dan hartamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahunya.
Ayat ini menunjukkan sisi lain relasi hubungan manusia dengan Tuhan .
Bukan hanya antara khalik dengan makhluk,'abid dengan ma'bud tetapi juga
antara penjual dan pembeli. Dalam relasi tijarah ini manusia mengambil posisi
sebagai penjual dan Allah SWT sebagai pembeli.
Meminjam persepektif Ibn Sina, orang yang beribadah itu dapat
digolongkan kepada tiga kelompok, pertama, ibadahnya para budak, artinya

5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997,hlm. 476

8
Ibadah yang didasari rasa takut kepada Allah, takut akan azab dan siksa Allah
serta takut akan nerakanya. Motivasi Ibadahnya untuk melepaskan diri dari azab
tersebut. Sesungguhnya Ibadah model yang pertama ini kerap dibentuk sejak kita
masih anak-anak. Kedua, Ibadah model pedagang, apa sesungguhnya yang khas
dari cara berpikir pedagang? Jawabnya adalah keuntungan. Tidak ada hal yang
dicari pedagang kecuali keuntungan, orang yang beribadah ala pedagang ini
dimotivasi untuk memperoleh keuntungan. Apakah keuntungan itu bersifat
ukhrawi ataupun duniawi. Jika ia shalat , apa untungnya? Jika melaksanakan
puasa, haji juga zakat apa imbalannya, tidaklah mengherankan jika banyak ayat
Al-Quran dan hadis Nabi yang berisi rangsangan atau motivasi bagi orang yang
melakukan amal saleh.
Contoh yang hemat saya tidak kalah menariknya adalah dalam kaitannya
dengan qard. Allah janjikan orang yang meminjamkan hartanya kepada Allah
SWT. Seakan-akan Allah meminjam hartanya untuk diberikan kepada orang lain.
Bisa dibayangkan, jika kita tidak keberatan meminjakan harta kita kepada orang
lain tanpa bunga dan margin , apakah lagi kita pinjamkan harta kita kepada Allah.
Ketiga , Ibadahnya para pecinta , Ibadah yang dilakukan tidak lagi didasarkan
pada keuntungan atau rangsangan-rangsangan pahala atau surga , Ibadah jenis ini
adalah perwujudan cinta seorang hamba kepada khaliknya. Ibadah yang ingin
mempersembahkan pengabdiannya hanya untuk Allah SWT.
Tidak ada Perbuatan yang sia-sia dilakukan manusia sepanjang
dimaksudkannya atau diniatkannya untuk Allah SWT. Terlepas apakah ia lakukan
karena rasa takutnya kepada Allah ataukah karena ingin mendapatkan keuntungan
ataupun karena cintanya kepada Allah. Berbisnis dengan Allah adalah bisnis yang
pasti menguntungkan. Terpulang kepada manusia apakah Keuntungan yang Kita
inginkan adalah Keuntungan yang terbatas seperti yang Kita harapkan, ataukah
Keuntungan yang tidak lagi berbatas.

C. Syarat-syarat Berbisnis Dengan Allah.


Berbisnis dengan Allah SWT tentu saja memiliki syarat-syarat tertentu.
Namun satu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam bisnis antara sesama
manusia terjalin hubungan timbal balik. Saling membutuhkan antara satu dengan

9
yang lainnya. Hubungan timbal balik yang meniscayakan kesetaraan ini membuat
kerjasama menjadi mungkin dilakukan. Ketika menyebut berbisnis dengan Allah,
tidaklah pantas hubungan yang saling membutuhkan ini berlaku, sungguh Allah
tidak membutuhkan manusia untuk " berbisnis denganNYa.
Tidak juga dikatakan bahwa posisi kita dengan Allah setara/sejajar,
tetaplah Allah yang Maha Tinggi, Maha berkuasa dan menentukan. Manusia tetap
saja sebagai hamba atau makhluk yang menjual diri "harta" dan ibadahnya kepada
Allah. Harapannya agar Allah SWT membeli apa yang dijual dan
dipersembahkan manusia dengan “harga” yang mahal. Bukan sebatas Surga dan
pahala yang berlipat. Melainkan Keridhaan Allah kepada hamba.
Tentu saja agar transaksi bisnis dengan Allah dapat berlangsung dengan
baik, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan yang
sifatnya Mutlak. Di dalam Bukunya , Berbisnis dengan Allah, Prof. Quraish
Shihab dengan sangat baik menguraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Sebagai Berikut : 6
Pertama, percaya kepada Allah SWT, kata lain dari percaya adalah
beriman kepada Allah SWT, pertanyaan sederhananya adalah, mungkin kah kita
membangun kerjasama bisnis dengan orang yang sama sekali kita tidak percayai.
Perampok dan pencuri sekalipun tetap saja mencari orang yang amanah lagi jujur
untuk menyimpan hartahya. Kepercayaan sesungguhnya satu hal yang mutlak ada
dalam bisnis. Tentu saja bukan sebatas keyakinan akan memperoleh keuntungan
dan terhindar dari kerugian saja ketika kita berbisnis dengan Allah, melainkan kita
juga mendapakan ragam kebaikan yang tak berbatas . Kita akan memperoleh
perlindungan dan penjagaan dari Allah, rasa aman, nyaman, dan damai yang
bersemayam didalam Qalbu, bahkan kita juga memiliki optimisme akan
kehidupan yang lebih baik.
Menariknya, berbisnis dengan Allah yang dilakukan penuh keikhlasan
berimplikasi tidak saja kepada bisnisnya tetapi juga akan tampak dalam pergaulan
kemanusiaannya. Tegasnya, Habi min Allah yang baik akan berdampak pada habi

6 Azhari Akmal Tarigan, Teologi Ekonomi : Upaya Internalisasi Nilai-nilai Tauhid dalam Aktivitas Ekonomi
dan Bisnis Islam, Jakarta: RajawaliPress, 2014,hlm. 80

10
min al- nas yang baik pula. Di dalam satu riwayat Rasul bersabda, sayangilah
orang yang dibumi, pasti engkau akan disayangi oleh pemilik langit.
Kedua, Tidak merasa terpaksa, Allah tidak akan memaksa hambanya
untuk beriman kepada Allah. Di dalam Al Qur’an Allah menyebutkan, faman
syaa fal yu’min wa man syaa fal yakfur ( siapa yang ingin beriman, silakan
beriman dan barang siapa yang ingin kufur, silakan kufur ). Berimannya seluruh
manusia di alam ini tidak akan mengkayakan Allah. Kufurnya seluruh manusia
tidak juga membuat Allah menjadi miskin. Allah tidak memiliki hajat sedikitpun
kepada manusia.
Sama juga informasi Al-Quran yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan
bagi orang yang ingin memeluk Islam. Redaksinya dalam Alquran adalah,la
ikraha fi al-din ( tidak ada paksaan dalam Agama). Siapa pun tidak boleh
memaksakan satu Agama kepada orang . Beragama pada titik ini adalah hak asasi
manusia yang harus dihormati. Bahkan orang yang tidak beragama sekalipun tetap
berhak untuk mendapatkan pengakuan. Problemnya bagi negara yang
mensyaratkan Agama dan secara administratif memang dibutuhkan, maka ada
keharusan setiap warga negara untuk memilih satu Agama. Akibatnya tidaklah
mengherankan ada orang beragama secara administratif saja namun hakikatnya
sama sekali ia tidak beragama.
Berbisnis dengan Allah tidak boleh dalam keadaan terpaksa. Oleh sebab
itu, makna Islam sendiri adalah al-inqiyad dan al-khudu’ (tunduk dan pasrah)
kepada Allah. Orang yang memeluk Islam sama maknanya ia telah memasrahkan
dirinya tentu saja secara sukarela kepada Allah dan kepada semua ketentuan-
ketentuannya. Sangat tepatlah jika Prof. Quraish Shihab menjadikan QS. Al-
Ahzab: 72 sebagai dasar bagi syarat tidak adanya paksaan dalam bisnis. Allah
SWT berfirman:
‫ض َو ْال ِجبَا ِل فََأبَ ْينَ َأ ْن يَحْ ِم ْلنَهَا َوَأ ْشفَ ْقنَ ِم ْنهَا‬
ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ِ ‫اوا‬ َ ‫ِإنَّا َع َرضْ نَا اَأْل َمانَةَ َعلَى ال َّس َم‬
‫ َجهُواًل‬N‫َو َح َملَهَا اِإْل ْن َسانُ ۖ ِإنَّهُ َكانَ ظَلُو ًما‬
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat (tugas keagamaan)
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya,
( jangan sampai mereka menerimanya mereka menghianatinya ), dan mereka
takut (dari pertanggungjawabannya, lalu kami menawarkannya kepada manusia)

11
maka diterima dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (yakni)
manusia amat zalim (jika tidak menunaikan amanat) dan amat bodoh (jika
menerima amanat itu lalu menghianatinya).
Berkaitan dengan ayat ini, Quraish Shihab menjelaskan:
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa siapapun termasuk
manusia, menerima amanah yang ditawarkannya. Allah yang menawarkan nya
tidak “menjualnya” dengan paksa kepada siapa atau apapun. Ketika menawarkan
itu dia tidak murka jika tawarannya ditolak. Buktinya langit, bumi, dan gunung-
gunung enggan menerimanya, namun Allah tidak mengutuk mereka. Yang
menerimanya adalah manusia. 7

Penafsiran yang diberikan Quraish Shihab di atas amatlah tepat. Sekali


lagi Allah tidak memaksa manusia untuk berbisnis dengannya. Allah memang
tidak butuh untuk diterima tawarannya, tidak pula memperoleh keuntungan dari “
bisnis” ini, maka hingga kini, yang maha kuasa itu masih mempersilahkan
siapapun untuk menerima atau membatalkan perjanjian yang telah terjalin itu.
Sekali lagi tentu dengan segala konsekuensinya. Bukankah ketika melakukan
perjanjian bisnis lalu membuat kesepakatan dan pada saat melakukan pembatalan
lebih-lebih sepihak, ada konsekuensi yang harus diterima ?
Ketiga, Ikhlas dalam melakukan bisnis dengan Allah. Kelanjutan dari
syarat yang kedua, tentu saja keikhlasan. Dalam bahasa bisnis ini berarti apa yang
“Dijual” itu benar-benar kepadanya semata, tidak kepada selainnya atau
mengikutkan selainnya dalam ke pemilikan komoditi yang dijual. Demikian
penjelasan Quraish Shihab berkenaan dengan ikhlas.
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman di dalam QS.
Al-Bayyinah/98:5.
ۚ َ‫ ال َّز َكاة‬N‫صاَل ةَ َويُْؤ تُوا‬ ِ ِ‫ هَّللا َ ُم ْخل‬N‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِيَ ْعبُدُوا‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
َ ِ‫َو ٰ َذل‬
‫ك ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬
Artinya : “ Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah
dengan Ikhlas (memurnikan ketaatan kepadanya dalam menjalankan) Agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan solat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah Agama yang lurus.”

7 Ibid.,

12
Makna ayat ini dalam diperkaya melalui hadits Qudsi di bawah ini yang
artinya:
“Aku adalah sekaya kaya para sekutu dari persekutuan, siapa yang melakukan
suatu pekerjaan yang dimaksudkan olehnya untukku bersama selain ku, maka aku
tinggalkan (berikan) pekerjaan itu untuknya bersama siapa yang di
persekutukannya dengan aku” ( HR. Muslim dan Ibn Majah melalui Abu
Hurairah).
Pada saat Allah SWT melimpahkan segala rezekinya buat manusia, Allah
hanya menginginkan kebaikan kepada hamba-hambanya. Sungguh Allah pada
hakekatnya tidak pernah menginginkan keburukan kepada hambaNya. Andaipun
hambanya merasakan kepedihan, kesusahan bahkan penderitaan, itu juga dalam
rangka kasih sayang Allah. Setidaknya ada dua hal Nilai dari azab yang diberikan
Allah; adapun keburukan yang menimpa manusia semuanya itu bersumber pada
diri manusia. Selanjutnya, apa yang diterimanya itu berupa kepedihan adalah cara
Allah untuk menyadarkannya dan mengembalikannya kepada khittah kebenaran
dan ketundukan kepada Allah SWT.
Manusia tidak perlu berprasangka negative kepada Allah. Sebaliknya,
sikap yang perlu dikembangkan adalah sikap pasrah dan tunduk dengan penuh
Keikhlasan dalam melakukan aktivitas apapun di muka Bumi ini. Ketulusan itulah
yang mendapatkan tempat di sisi Allah. Akhirnya, Pebisnis yang Ikhlas akan
dimudahkan Allah segala usahanya untuk mencari Karunia Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.

D. Implikasi berbisnis dengan Allah


Sudah lama urusan perdagangan atau bisnis lepas dari Agama. Bisnis
dipahami sebagai urusan dunia semata. Tidak bersangkut paut dengan urusan
Agama. Satu-satunya motif bisnis adalah mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Kendatipun Teori ini menjadi tidak
mungkin lagi untuk saat ini, namun semangat yang dikandung oleh teori ini masih
saja merasuki pebisnis saat ini. Keuntungan adalah “Tuhan” (dengan “t” kecil) di
dalam bisnis. Ada keuntungan ada bisnis. Tidak ada keuntungan tidak ada bisnis.

13
Pada saat bisnis dilepaskan dari norma-norma etika, bisnis akan
kehilangan ruhnya. Bukankah bisnis pada mulanya dalam kerangka kebersamaan
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bisnis dengan model barter adalah cermin
kebersamaan itu. Apa yang kita butuhkan tidak selamanya bisa kita penuhi.
Demikian juga dengan orang lain, apa yang dibutuhkannya bisa jadi ada pada kita.
Kebutuhan itulah yang kita pertukarkan. Secara bersama-sama kita pun bisa
bertahan hidup. Tidak ada motif untuk menguasai bahkan rasa ingin memiliki,
kalaupun ada itu hanya sebatas yang dapat kita nikmati. Tidak lebih dari itu.
Dalam bahasa ekonomi, belum ada keinginan saat itu melakukan stock. Dalam
bahasa mu’amalah disebut dengan ihtikar (menimbun barang).
Fenomena ini dalam masa yang panjang berjalan normal saja. Agaknya
orientasi manusia bergeser pada saat mereka sudah mengenal alat tukar. Konsep
“barter” atau “tukar” bergeser menjadi konsep membeli, memiliki akhirnya
menguasai. Pada gilirannya siapa yang paling banyak membeli tentu saja dengan
alat tukar yang ia punya sama artinya ia akan memiliki lebih banyak dan juga
menguasai lebih banyak pula. Keserakahan sesungguhnya bermula dari sini.
Adalah menarik mencermati komentar yang agak panjang ditulis Fritjop
Capra dalam bukunya. Sistem Nilai yang berkembang selama abad ke tujuh belas
dan delapan belas secara bertahap menggantikan suatu perangkat nilai dan sikap
abad pertengahan yang koheren-kepercayaannya pada kesucian alam, larangan
moral meminjamkan uang untuk memperoleh bunga, persyaratan bahwa harga
harus “adil”, keyakinan bahwa keuntungan dan penimbunan pribadi harus
dihindari, bahwa kerja adalah untuk nilai pakai kelompok dan kesejahteraan jiwa,
bahwa perdagangan dibenarkan hanya untuk memperbaiki kecakapan kelompok
dan bahwa imbalan yang sejati adalah di alam akhirat. Sampai abad keenam
belastidak ada pemisahan fenomena yang semata-mata ekonomi dari susunan
kehidupan. Sepanjang sebagian besar sejarah makanan, pakaian, tempat berteduh,
dan sumber daya sumber daya lainnya, diproduksi untuk nilai pakai dan dibagikan
di dalam suku dan kelompok atas dasar timbal balik.8

8 Fritjop Capra. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (The Turning Point
Science, Society and The Rising Culture, terj M. Thoyibi, Yogyakarta. Bentang, 2000, hlm. 261-262

14
Capra dengan sangat meyakinkan dengan menjelaskan betapa masyarakat
pada abad ke enam belas sampai ketujuh belas sangat menjunjung Nilai-nilai
luhur dan dipraktikkan dalam berbagai aktivitas kehidupannya, terkhusus lagi
dalam bidang ekonomi. Sebagaimana yang telah penulis kutip diatas, mereka
tidak melakukan praktik riba, penimbunan barang, dan tindakan yang
mencerminkan kerakusan dan ketamakan. Kebersamaan menjadi komitmen
bersama diantara sesama masyarakat. Capra malah menyatakan bahwa aktivitas
yang mereka lakukan identik dengan aktivitas kesucian dan aktivitas yang
bernuansa kekeluargaan.
Setelah masyarakat mengenal apa yang disebut dengan “Pasar nasional”
atau “Pasar Global” Nilai-nilai luhur itu mulai tergerus cepat atau lambat, Nilai-
nilai kebersamaan, saling tolong-menolong saling memudahkan dan melapangkan
terkikis oleh motivasi ingin memiliki dan menguasai. Aturan-aturan luhur
dilanggar. Nilai-nilai Budi terabaikan. Yang terpenting pada saat itu adalah
bagaimana cara untuk mendapatkan keuntungan lebih tanpa mempertimbangkan
cara.
Dengan cara seperti ini, memang apa yang ingin diperoleh manusia dapat
terwujud. Ia memperoleh keuntungan material yang banyak. Perusahaannya
berkembang dengan pesat. Iapun muncul menjadi konglomerat baru. Sayangnya
apa yang diperolehnya harus dibayar dengan mahal. Ia kehilangan sesuatu yang
berharga dalam hidupnya. Ia mengalami apa yang disebut dengan kehampaan
spiritual. Ia kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dengan orang lain.
Kehilangan peluang untuk menggunakan hartanya demi kemanfaatan yang lebih
luas.
Ternyata pada saat manusia melepaskan aktivitas bisnisnya dari Tuhan,
maka ia kehilangan lebih besar dari apa yang telah ia dapatkan. Harganya tentu
tak sebanding. Ia kehilangan makna kehidupan itu sendiri. Sampai di sini
paradigma bisnis yang sekuler ini ini sejatinya harus sudah dirubah. Kita harus
kembali kepada bisnis sebagai media untuk melahirkan kebaikan-kebaikan.
Sehingga tanpa ada keraguan kita bisa berkata, bisnis adalah kebaikan.
Bisnis sebagai kebaikan hanya bisa diwujudkan jika Tuhan dilibatkan
dalam aktivitas bisnis. Maksudnya, bukan saja orang yang berbisnis harus mampu

15
merasakan kehadiran Tuhan. Ia harus merasakan selalu berada di dalam
pengawasan Allah SWT. Tetapi lebih dari itu ia juga secara konsisten mengikuti
aturan-aturan Allah dalam bisnis.
Aturan bisnis yang dimaksud tidak saja dalam bentuk perintah atau
larangan Allah SWT yang bersifat normatif. Akan tetapi aturan bisnis itu juga
mewujud dalam perilaku, pelayanan prima, menyenangkan pelanggan, jujur dan
bertanggung jawab. Pebisnis yang melibatkan Tuhan dalam bisnisnya juga akan
menghindarkan aktivitas bisnis yang diliputi “MAGHRIB”; Maisir (judi), gharar
(tipuan), riba , dan batil (menyalahi ketentuan syari’at). Praktik “Maghrib”
dihindari karena tidak saja melanggar norma-norma dasar bisnis yang telah
ditetapkan Allah SWT tetapi aktivitas maghrib dapat merugikan orang lain. Bukan
saja rugi tetapi dapat menimbulkan penderitaan pada orang lain.
Jika aturan aturan bisnis ini diikuti, Insya Allah pelakunya tidak saja
sukses di dunia tetapi juga sukses di akhirat. Dalam bahasa Al Qur’an, merekalah
yang disebut dengan al-muflihun (orang-orang falah), memperoleh kebahagiaan
yang sempurna bukan hanya berlimpahan harta benda, hidup berkecukupan, tetapi
mereka juga dapat membantu dan memberdayakan orang lain. Pada saat yang
sama, secara batiniyyah mereka juga memperoleh kehidupan yang salam, damai
dan sejahtera.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbisnis dengan Allah secara sederhana bahwa amal saleh yang kita
laksanakan dengan penuh Ikhlas dapat Kita pertukarkan kepada Allah, apakah
dengan surga, pahala atau apapun yang dijanjikan Allah. Terma-terma bisnis di
dalam Al-Qur’an yang cukup banyak dan beragam. Dalam catatan Quraish
Shihab, setidaknya di dalam Al-Qur’an ditemukan terminologi bisnis seperti al-
tijarah (Perniagaan) ditemukan 9 kali, kata yasytary (membeli) dalam berbagai
bentuk dan konteknya sebanyak 22 kali, kata ba’i (Jual beli) sebanyak 7 kali,
selain bentuk-bentuknya yang lain. Berikutnya kata Qardh dalam arti kredit atau
utang dan Yuqridh (memberi hutang atau kredit) ditemukan sebanyak 12 kali.
Tidak juga dikatakan bahwa posisi kita dengan Allah setara/sejajar,
tetaplah Allah yang Maha Tinggi, Maha berkuasa dan menentukan. Manusia tetap
saja sebagai hamba atau makhluk yang menjual diri "harta" dan Ibadahnya kepada
Allah. Tentu saja agar transaksi bisnis dengan Allah dapat berlangsung dengan
baik, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, percaya
kepada Allah SWT, Kedua, Tidak merasa terpaksa, Allah tidak akan memaksa
hambanya untuk beriman kepada Allah, Ketiga, Ikhlas dalam melakukan bisnis
dengan Allah. Bisnis sebagai kebaikan hanya bisa diwujudkan jika Tuhan
dilibatkan dalam aktivitas bisnis. Maksudnya, bukan saja orang yang berbisnis
harus mampu merasakan kehadiran Tuhan. Ia harus merasakan selalu berada di
dalam pengawasan Allah SWT. Tetapi lebih dari itu ia juga secara konsisten
mengikuti aturan-aturan Allah dalam bisnis.

B.Saran
Penulis menyadari, dalam penulisan Makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami sebagai penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari
semua pihak terutama dosen. Penulis hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan,
itu datangnya dari penulis sendiri dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah
SWT.

17
DAFTAR PUSTAKA

Azhari Akmal Tarigan, Teologi Ekonomi : Upaya Internalisasi Nilai-nilai Tauhid


dalam Aktivitas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jakarta: RajawaliPress, 2014.
Fritjop Capra. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan (The Turning Point Science, Society and The Rising Culture, terj M.
Thoyibi, Yogyakarta. Bentang, 2000.
Muhammad Muhyidin, 17 Rukun Berbisnis dengan Allah, Jakarta: Diva Press,
2009.
M. Quraish Shihab, Berbisnis dengan Allah: Tips jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia-
Akhirat, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997
Yusuf Qaradhawi , 7 Kaidah Utama Fikih Mu’amalat (Al-Qawa’id Al-Hakimah li
Fiqh Al-Mu’amalat), terj. Fedrian Hasmad, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai