Disusun Oleh:
NPM:
207052703
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
2022
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas metodologi penelitian berupa pembuatan proposal penelitian tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari pembuatan proposal penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen ibu
Widya Mulya, S.T., M.Si. pada mata kuliah metodologi penelitian.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Widya Mulya, S.T., M.Si. selaku dosen mata kuliah
Metodologi Penelitian yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya serta yang telah membantu saya, sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian
ini tepat pada waktunya.
Serta tidak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman terkhusus dari
kelompok saya yang bertema “Manajemen Kebakaran” yang telah membantu pada saat melaksanakan
pengumpulan literatur maupun pada saat penyusunan proposal penelitian ini sehingga tugas yang
diberikan dapat selesai tepat pada waktunya.
Saya menyadari, proposal penelitian yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun khususnya dari ibu selaku dosen pengampu selalu saya
nantikan demi kesempurnaan proposal penelitian ini.
Balikpapan, 29-Mei-2022
I
Daftar Pustaka
BAB I ........................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................................... 7
II
3.6 Pengumpulan Data ........................................................................................................................ 22
Lampiran ................................................................................................................................................. 28
III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan satu upaya perlindungan yang diajukan
kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya. Hal tersebut bertujuan agar tenaga kerja dan
orang lain yang ada ditempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat serta semua sumber produksi
dapat digunakan secara aman dan efisien (Suma’mur, 2006). Tujuan penerapan K3 adalah untuk
mengurangi dan mencegah terjadinya kebakaran, kecelakaan akibat kerja (KAK) serta meningkatkan
produktivitas karyawan. Manfaat yang bisa didapatkan dari penerapan K3 adalah dapat memberikan
perlindungan kepada pekerja, menjadi sebuah itikad baik bagi perusahaan dalam mematuhi peraturan
perundang-undangan khususnya tentang K3 dan dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit
akibat kerja, serta kerusakan sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan
apabila terjadi kecelakaan kerja atau kebakaran.
Indonesia merupakan negara yang memiliki frekuensi kasus kebakaran yang tinggi, dengan
frekuensi kasus kebakaran berjumlah 20.000-100.000 kasus menyebabkan Indonesia menduduki
peringkat ketiga di dunia bersama dengan negara Jepang, Turki, Kanada, Afrika Selatan, Malaysia, dan
lainnya. Hal ini sesuai dengan data statistik CTIF International Association of Fire and Rescue Services
pada rentang tahun 2010-2014 (Brushlinsky et al., 2016:20). Data Informasi Bencana Indonesia BNPB
antara tahun 2007-2017 menyebutkan bahwa kebakaran industri di Indonesia merupakan kebakaran yang
mengakibatkan kerugian yang sangat besar dengan mengakibatkan jumlah kerugian rata-rata mencapai
Rp 1.000.000.000,00 (BNPB, 2017). Kebakaran di kota Balikpapan sendiri telah tercatat dari rekap
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) data bencana 6 tahun terakhir yaitu dari tahun 2017
hingga 2022 tercatat kebakaran yang terjadi di Balikpapan sebanyak 290 kasus, Sedangkan dalam rekap
tahun 2022 sendiri hingga tanggal 1 Juni 2022 tercatat sebanyak 13 kasus.
Manajemen kebakaran adalah upaya yang dilakukan untuk menanggulangi risiko kebakaran
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan tindak lanjutnya. Ada beberapa aspek atau
elemen kunci yang harus dijalankan dalam mengelola bahaya kebakaran yaitu pra kebakaran
(prevention) adalah suatu langkah-langkah yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran atau
disebut pencegahan kebakaran, saat kebakaran (firefighting) adalah langkah untuk menanggulangi dan
1
memadamkan kebakaran secepat mungkin sehingga korban dan kerugian dapat dicegah, pasca kebakaran
adalah langkah yang dilakukan setelah kebakaran terjadi yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi (Ramli,
2012:140). Sebuah upaya tanggap darurat sangat penting dilakukan, karena apabila terjadi sebuah
bencana seperti kebakaran dapat mengganggu kegiatan produksi, bahkan dapat membuat kelangsungan
usaha perusahaan tersebut hancur (Ramli, 2010:140). Upaya yang sangat baik adalah sebuah upaya
preventif atau upaya pencegahan terjadinya kebakaran melalui manajemen tanggap darurat di sebuah
perusahaan. Manajemen tanggap darurat merupakan sebuah tahapan untuk mencegah terjadinya
kebakaran dan menanggulangi dampak atau akibat dari terjadinya suatu kebakaran. Manajemen tanggap
darurat terdiri dari berbagai aspek antara lain identifikasi bahaya, perencanaan tanggap darurat,
organisasi tanggap darurat, sarana penyelamatan jiwa, sistem proteksi kebakaran, pelatihan, serta
pemeriksaan dan pengawasan (Ramli, 2010:140).
Sarana penyelamatan diri adalah sebuah sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan sebagai
akses menyelamatkan diri oleh penghuni maupun sebagai jalur yang dapat digunakan oleh petugas
pemadam kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa manusia dan harta-benda apabila terjadi kebakaran
pada suatu bangunan gedung dan lingkungan (Permen PU,2008). Sistem proteksi pasif kebakaran adalah
suatu teknik desain yang sudah dirancang pada saat pembangunan gedung atau tempat kerja untuk
membatasi atau menghambat penyebaran api dan panas. Sistem proteksi pasif meliputi pengaturan jarak
antara bangunan (kompartemenisasi), pemasangan dinding pembatas yang tahan api, pemasangan
penutup setiap bukaan dengan media yang tahan api dan dengan mekanisme lainnya.
. Berbagai macam ancaman kecelakaan kerja pada unit produksi yang dapat berdampak pada
pekerja meliputi kecelakaan kerja, kebakaran dan pencemaran lingkungan dapat terjadi pada situasi yang
tidak terduga dan pada tempat yang tidak dapat ditentukan, hal ini dikarenakan kurangnya proteksi
khusus pada area tersebut. Ancaman yang sering terjadi pada unit produksi pada industri kayu adalah
ancaman bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan sebuah peristiwa menyalanya api yang tidak
diinginkan yang dapat menyebabkan kerugian pada properti dan manusia yang besar. Kebakaran pada
awalnya bermula dari api yang kecil dan dapat membesar apabila terdapat bahan bakar disekitarnya
sehingga diperlukan tindakan pencegahan agar tidak menimbulkan kerugian banyak pihak (Ramli
2010:140).
Industri kayu memiliki potensi bahaya kebakaran yang tinggi, hal ini disebabkan karena industri
kayu menggunakan bahan baku yang mudah terbakar seperti kayu dan lem. Dalam rentang waktu lima
tahun yaitu pada tahun 2008- 2012 disebutkan bahwa kebakaran besar yang terjadi di industri terjadi
2
sebanyak 13 kasus, sedangkan pada rentang waktu tahun 2002-2007 terjadi sebanyak 5 kasus kebakaran
besar di industri. Kasus kebakaran banyak terjadi di Indonesia yang menimpa pabrik industri pengelolaan
kayu dan menimbulkan kerugian serta korban yang tidak sedikit, seperti kejadian kebakaran di pabrik
pengelolahan kayu PT. Rakabu Sejahtera yang berlokasi di Sragen, Jawa Tengah. Kebakaran terjadi pada
tahun 2016 yang mengakibatkan kerugian yang ditaksir hingga 1,5 miliar. Kasus kebakaran juga pernah
terjadi di pabrik produksi pengolahan kayu lapis di Balikpapan. Kebakaran terjadi di gudang produksi
pabrik PT. Balikpapan Forest Industry (BFI) atau PT. Korindo selama 11 jam lamanya, dampak
terjadinya kebakaran ini tentunya mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, diperkirakan kerugian
yang dialami mencapai Rp 7 miliar (Fadhil, 2019).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kenaikan yang signifikan terhadap kasus
kebakaran. Kenaikan bencana kebakaran secara signifikan inilah yang menyebabkan perlunya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang manajemen tanggap darurat kebakaran di tempat industri
untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya kebakaran dan menciptakan lingkungan yang aman bagi
pekerja (ILO, 2018:3).
Industri mempunyai bahaya kebakaran yang sangat berbeda dengan pemukiman terlebih pada
industri yang menggunakan bahan baku mudah terbakar yang tentunya dapat menimbulkan kerugian
yang besar karena menyangkut aset yang bernilai tinggi, proses produksi, serta peluang kerja yang ikut
terancam. Dampak dari kebakaran yang terjadi pada sektor industri dapat menimbulkan kerugian yang
besar bagi perusahaan, pekerja, dan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan upaya
penanggulangan bahaya kebakaran yang diterapkan pada lingkungan kerja dan sektor industri
(Kemenaker, 1999).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 tahun 2000 bahwa syarat bangunan
dengan kapasitas penghuni tinggi dinyatakan sebagai gedung yang aman adalah tersedianya sarana
penyelamatan jiwa pada gedung tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wicaksono dan
Ernawati pada tahun (2013) di industri karung Sidoarjo tentang evaluasi sarana evakuasi kebakaran dapat
diketahui bahwa sarana penyelamatan jiwa diperlukan untuk menekan nilai risiko dari sebuah bahaya
yang dapat menimpa gedung tersebut khususnya bahaya kebakaran, sebuah sarana penyelamatan jiwa
yang tidak tertata dengan baik atau digunakan untuk hal lain akan membahayakan penghuni gedung
tersebut (Sumardjito, 2010:24). Menurut Kepmenaker No. 186 tahun 1999 industri kayu termasuk ke
dalam tingkat risiko bahaya kebakaran sedang tingkat II dimana apabila terjadi kebakaran api akan
menjalar dengan cepat dengan ketinggian api setinggi empat meter.
3
PT. Korindo yang beralamat di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur merupakan
sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan dan pemasaran produk-produk berbahan
dasar kayu, pada tahun 2019 pernah terjadi kebakaran yang membuat PT. Korindo mengalami kerugian
sebesar Rp. 7 milliar. Berdasarkan hasil tinjauan awal yang dilakukan dengan observasi secara langsung
pada PT. Korindo ditemukan bahwa PT. Korindo telah melakukan upaya untuk menurunkan tingkat
risiko bahaya kebakaran seperti memasang sistem proteksi kebakaran aktif yang terdiri dari APAR,
sprinkler, detector asap dan panas serta alarm kebakaran. Sedangkan untuk sistem proteksi pasif yang
ada seperti kompartemensasi atau jarak antar gedung, material gedung yang tahan api juga telah
diterapkan pada PT. Korindo. Akan tetapi pada tinjauan awal yang telah dilakukan ditemukan bahwa
tidak dilakukannya inspeksi rutin pada sarana penyelamatan jiwa yang ada di gedung tersebut sehingga
dapat membahayakan seluruh penghuni gedung yang beraktivitas di dalamnya. Kesesuaian pemenuhan
sarana penyelamatan jiwa tersebut masih harus selalu dikaji dan dievaluasi untuk meminimalisir potensi
dan dampak kerugian jiwa dan materi yang terjadi akibat kebakaran dengan tingkat risiko sedang II yang
relatif cepat penyebaran apinya. Evaluasi sarana penyelamatan diri yang dilakukan mengacu pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 26/PRT/M/2008, SNI 03-1746- 2000, SNI 03-6574-2000, dan
NFPA 101.
Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka perlu dilakukan sebuah penelitian
yang berjudul Analisis Sarana Penyelamatan Diri Dalam Sistem Manajemen Tanggap Darurat Pada PT.
Korindo. Dengan adanya penelitian dan kajian sarana penyelamatan diri ini maka dapat diketahui kondisi
sesungguhnya dari sarana penyelamatan diri yang ada dan kesesuaiannya dengan standar yang ada dan
berlaku sehingga dapat melakukan upaya tanggap darurat untuk mengurangi risiko berupa materi dan
jiwa dari bahaya kebakaran.
Tujuan umum dari proposal penelitian ini adalah untuk menganalisis sarana penyelamatan diri
dalam sistem manajemen tanggap darurat pada PT. Korindo.
4
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis penerapan sarana penyelamatan diri berupa sarana jalan keluar di unit
produksi PT. Korindo berdasarkan standar yang berlaku dalam SNI 03-1746-2000.
b. Untuk menganalisis penerapan sarana penyelamatan diri berupa pintu darurat di unit produksi PT.
Korindo berdasarkan standar yang berlaku dalam SNI 03-1746-2000.
c. Untuk menganalisis penerapan sarana penyelamatan diri berupa penunjuk arah di unit produksi
PT. Korindo berdasarkan standar yang berlaku dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
26/PRT/M Tahun 2008.
d. Untuk menganalisis penerapan sarana penyelamatan diri berupa lampu darurat di unit produksi
PT. Korindo berdasarkan standar yang berlaku dalam SNI 03-6574-2000.
e. Untuk menganalisis penerapan sarana penyelamatan diri berupa titik kumpul di unit produksi PT.
Korindo berdasarkan standar yang berlaku dalam NFPA 101.
5
b. Bagi Fakultas Vokasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Memberikan tambahan referensi bacaan bagi civitas akademika yang ada di Universitas
Balikpapan yang dapat menambah wawasan terkait penerapan sarana penyelamatan diri dalam sistem
manajemen tanggap darurat.
c. Bagi Peneliti
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat menambah pengalaman penulis serta
menjadi sebuah kesempatan untuk menerapkan disiplin ilmu yang telah diperoleh pada saat mengikuti
proses perkuliahan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Empiris
Landasan empiris adalah sebuah penelitian terdahulu yang telah dilakukan dengan metode yang
relevan, adapun beberapa studi empiris yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah:
2.1.1 Penelitian yang dilakukan oleh Mahrus Aldiansyah (2019) di PT. Kutai Timber Indonesia di
Probolinggo yang dilakukan dengan metode evaluatif dan pendekatan kuantitatif mengenai
sarana penyelamatan diri di gedung unit produksi. Penelitian evaluatif bertujuan untuk
melakukan evaluasi terhadap suatu objek tertentu untuk menentukan kualitasnya. Hasil dari
penelitian ini rata-rata penerapan sarana penyelamatan diri di seluruh gedung unit produksi PT
Kutai Timber Indonesia mendapatkan nilai 64,56 % dan berkategori cukup.
2.1.2 Penelitian yang dilakukan oleh Angel Rumiris S T (2018) di salah satu pusat perbelanjaan yang
ada di Semarang yang dilakukan dengan metode observasi dan wawancara dan pendekatan
kuantitatif mengenai implementasi penerapan prosedur penanganan dan sarana penyelamatan
dalam keadaan darurat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan organisasi tanggap
darurat hampir memenuhi kriteria diperoleh lima kriteria yang terpenuhi dan satu komponen
belum terpenuhi, penerapan prosedur penanganan keadaan darurat sudah memenuhi kriteria,
pelatihan kebakaran sudah optimal dilakukan secara berkala dan disosialisasikan, dan
komponen sarana penyelamatan pada bagian penandaan arah menuju akses exit, exit sampai
pada pelepasan exit belum memenuhi kriteria karena belum dipasang disetiap lantai di dalam
area mall, pada bagian pencahayaan darurat belum memenuhi kriteria, karena tidak terinstalasi
lampu emergency dilorong exit atau tangga darurat.
7
Sedangkan syarat dalam keselamatan dan kesehatan kerja dalam peraturan perundangan No.
1 tahun 1970 Pasal 3 sebagai berikut:
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
b. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran
c. Memberi kesempatan atau jalan penyelamatan diri pada waktu kebakaran atau kejadian - kejadian
lain yang membahayakan
d. Memberi pertolongan pada kecelakaan
e. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja
f. Mencegah dan mengendalikan timbulnya atau menyebar luasnya suhu, kelembapan, debu,
kotoran, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran.
g. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,
peracunan, infeksi dan penularan
h. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
i. Menyelenggarakan suhu dan kelembapan udara yang baik
j. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
k. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
l. Menerapkan ergonomi di tempat kerja
m. Mengamankan dan mengamankan pengangkutan orang dan barang
n. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan
o. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpananan
barang
p. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
q. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya
menjadi bertambah tinggi
2) Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja (Occupational Health) sebagai suatu aspek atau unsur kesehatan yang erat
berkaitan dengan lingkungan kerja dan pekerjaan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Tarwaka, 2014). Menurut Lidya dalam Sayuti
(2013) pengertian kesehatan kerja adalah hal yang menyangkut kemungkinan ancaman terhadap
kesehatan seseorang yang bekerja pada sesuatu tempat atau perusahaan selama waktu kerja yang
normal. Sedangkan menurut Santoso dalam Sayuti (2013) pengertian kesehatan kerja adalah
kesehatan jasmani dan rohani.
8
3) Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Secara filosofi K3 didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohani diri manusia pada umumnya dari tenaga kerja pada
khususnya beserta hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Secara keilmuan K3 didefinisikan sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk
melakukan pencegahan terhadap munculnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dari setiap
pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan dari sudut ilmu hukum, K3 didefinisikan sebagai salah satu
upaya perlindungan agar setiap tenaga kerja dan orang lain memasuki tempat kerja senantiasa dalam
keadaan yang sehat dan selamatn serta sumber-sumber proses produkasi dapat dijalankan secara
aman, efisien dan produktif (Tarwaka, 2014).
2.2.2 Kebakaran
a. Definisi kebakaran
Kebakaran merupakan peristiwa berlangsungnya nyala baik kecil maupun besar pada
situasi dan kondisi yang tidak dikehendaki dan bersifat sulit dikendalikan serta menimbulkan
kerugian atau kerusakan (Paimin, 2015). Sedangkan menurut National Fire Protection
Association (NFPA) kebakaran didefinisikan sebagai kejadian yang melibatkan tiga unsur yaitu
bahan bakar, oksigen, energi atau sumber panas yang berakibat menimbulkan kerugian
Klasifikasi kebakaran menurut NFPA:
1. Kebakaran golongan A merupakan jenis kebakaran bahan padat kecuali logam
2. Kebakaran golongan B merupakan kebakaran jenis bahan cair dan gas
3. Kebakaran golongan C merupakan jenis kebakaran instalasi listrik
4. Kebakaran golongan D merupakan kebakaran bahan logam
5. Kebakaran golongan K merupakan jenis kebakaran akibat peralatan dan aktivitas
memasak.
b. Penyebab kebakaran
Kebakaran dapat disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia (Paimin, 2015).
Sedangkan menurut Anizar (2012:24) kebakaran dapat disebabkan dua hal yaitu unsafe condition
dan unsafe action. Unsafe condition merupakan sebuah kondisi dari lingkungan pekerja atau
objek yang dikerjakan yang memang tidak aman atau peralatan kerja yang tidak standar.
Sedangkan unsafe action atau human error merupakan bentuk kelalaian atau kurang profesional
pekerja yang mengakibatkan terjadinya bencana kebakaran.
c. Teori segitiga api
9
Suatu massa zat yang sedang berpijar yang dihasilkan dalam proses pembakaran kimia
yang berlangsung dengan cepat dan disertai pelepasan energi atau panas merupakan definisi dari
api menurut National Fire Protection Association (NFPA). Api juga dapat dikatakan titik awal
timbulnya cahaya dan panas dari suatu bahan yang sedang terbakar, gejala lain dari api adalah
adannya perubahan pada bahan (material) baik bentuk fisik maupun sifat kimia, apabila bahan
tersebut telah terbakar (Paimin, 2015:32). Teori segitiga api merupakan suatu konsep yang
menjelaskan mengenai 3 faktor penting penyebab terjadinya kebakaran (Schroll, 2002). Faktor
tersebut antara lain:
a. Bahan bakar (Fuel), yaitu unsur bahan bakar yang berwujud padat, cair atau gas yang dapat
terbakar bereaksi dengan oksigen dari udara.
b. Sumber panas (Heat), yaitu sumber pemicu kebakaran dengan energi yang cukup untuk
menyalakan reaksi antara bahan bakar dan oksigen dari udara.
c. Oksigen, terkandung dalam udara. Proses kebakaran tidak dapat terjadi tanpa adanya reaksi
oksigen dengan udara.
10
2.2.4 Bangunan Gedung
Menurut keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.10/KPTS/2000 klasifikasi bangunan gedung
menurut jenis peruntukan atau penggunaan gedung terbagi menjadi 12 kelas. Gedung unit produksi
industri merupakan jenis bangunan kelas 8 yaitu antara lain, bangunan industri atau pabrik adalah
bangunan yang digunakan untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, pengepakan, finishing
dalam rangka perdagangan dan penjualan.
11
guna mengorganisasikan tindakan-tindakan yang harus diambil atau dilakukan ketika terjadi
kondisi atau keadaan darurat. Ketidaksiapan rencana tanggap darurat akan mengakibatkan proses
evakuasi akan terhambat dan tidak teratur.
c. Organisasi
Upaya tanggap darurat penanggulangan kebakaran harus dikelola dengan baik karena
melibatkan berbagai elemen yang ada di suatu perusahaan, oleh karena itu diperlukan sebuah
organsisai. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.186/MEN/1999 organisasi yang
dimaksud adalah unit penanggulangan kebakaran. Unit penanggulangan kebakaran dibentuk
untuk menangani masalah penanggulangan kebakaran di tempat kerja.
d. Sarana Penyelamatan Jiwa
Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 setiap bangunan
yang memiliki potensi bahaya kebakaran harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat
digunakan penghuni gedung untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa hambatan dalam
waktu yang terbatas.
e. Sistem Proteksi Kebakaran
Penerapan sistem proteksi kebakaran bertujuan untuk mendeteksi dan memadamkan
kebakaran sedini mungkin dengan peralatan yang dioperasikan baik secara manual maupun
otomatis (Ramli, 2010:79). Sistem proteksi kebakaran dibedakan menjadi dua, antara lain sistem
proteksi aktif dan sistem proteksi kebakaran pasif.
f. Pelatihan
Pelatihan merupakan uji coba yang harus dilakukan untuk mengetahui rencana tanggap
darurat penanggulangan kebakaran yang telah disusun apakah Digital Repository Universitas
Jember 16 dapat diterapkan oleh seluruh penghuni bangunan dengan perkiraan waktu yang
disesuaikan dengan kebutuhan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
No.11/KPTS/2000, pelatihan tanggap darurat penanggulangan kebakaran harus dilaksanakan
minimal sekali dalam 6 bulan yang harus diikuti oleh seluruh penghuni bangunan.
g. Pemeriksaan dan Pengawasan
Inspeksi atau pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi dan mengetahui secara dini
bagaimana kesiapan, kelengkapan, pematuhan dan kondisi sarana, serta prosedur yang berkaitan
dengan tanggap darurat penanggulangan kebakaran, elemen yang diperiksa dan diawasi antara
lain sarana proteksi kebakaran dan sarana evakuasi (Rijanto, 2011:59). Elemen-elemen ini
merupakan syarat utama yang harus dilaksanakan oleh sebuah perusahaan guna mengoptimalkan
12
sistem manajemen tanggap darurat dalam menanggulangi adanya potensi dan dampak kebakaran
yang sangat merugikan (Rijanto, 2011:59).
13
NFPA 101 merupakan landasan tertulis yang mengatur tentang syarat atau ketentuan
teknis tempat berhimpun yang harus disediakan di area bangunan gedung yang memiliki potensi
kebakaran.
14
Gambar 3. Sarana Jalan Keluar
Sumber (PERMEN PU RI, 2008)
b. Pintu Darurat
Berdasarkan SNI-03-1746 tahun 2000 penempatan pintu darurat diterapkan dengan 7
parameter penilaian:
1. Lebar pintu darurat yaitu minimal 90 cm dan maksimal 120 cm
2. Tinggi pintu darurat minimal 120 cm
3. Pintu darurat dalam keadaan yang tidak terkunci
4. Pintu darurat dapat menutup otomatis
5. Dilengkapi push bar system
6. Jumlah pintu darurat untuk satu lantai dengan > 60 penghuni yaitu 2 buah
7. Exit pintu darurat berakhir di ruang terbuka
c. Tangga Darurat
Tangga darurat digunakan khusus untuk sarana penyelamatan bagi penghuni gedung
ketika terdapat kondisi darurat seperti kebakaran (SNI 03- 1735-2000). Tangga ini terbuat dari
lepengan besi yang dilengkapi dengan pengangan, permukaannya tidak licin, dan tidak ada
barang-barang sebagai penghalang. Syarat tangga darurat menurut SNI 03- 1746 tahun 2000
adalah:
1. Bentuk tangga tidak spiral
2. Tangga darurat memiliki lebar minimal 110 cm dengan < 45 penghuni
3. Tangga darurat memiliki lebar injakan min 30 cm.
4. Tinggi pegangan tangga darurat dari lantai 110 cm.
5. Tinggi maksimal injakan tangga darurat yaitu 17,5 cm.
6. Jumlah anak tangga minimal 8 buah dan maksimal 18 buah.
7. Permukaan tangga tidak licin dan tidak terdapat penghalang.
15
8. Ada ventilasi berupa pengendali asap.
e. Lampu Darurat
Dalam keadaan atau kondisi darurat seperti halnya kejadian kebakaran, lampu darurat
menjadi sumber energi yang harus disediakan sebagai cadangan pencahayaan ruangan.
Emergency light ini sangat berguna jika terjadi kebakaran yang besar sehingga pencahayaan
seluruh ruangan sangat terbatas akibat tertutup asap. Pengoptimalan fungsi pencahayaan darurat
sangat diperlukan, sehingga penerapan lampu darurat ini wajib dimiliki oleh semua tempat kerja
yang memiliki potensi bahaya kebakaran yang tinggi. Menurut SNI 03-6574-2001 menjelaskan
tentang persyaratan sistem pencahayaan darurat diantaranya adalah:
1. Sumber listrik berasal dari genset dan baterai
2. Kemampuan baterai minimal 60 menit
3. Waktu peralihan 10 detik
4. Warna lampu kuning
5. Kemampuan bertahan 60 menit
6. Penerangan darurat minimal 2 sumber listrik
16
f. Titik Kumpul
Titik kumpul atau tempat berhimpun merupakan tempat di sekitar lokasi yang digunakan
sebagai tempat berhimpun setelah proses evakuasi dan proses penghitungan jumlah personel saat
terjadi peristiwa kebakaran. Tempat yang dijadikan sebagai titik kumpul harus aman dari bahaya
kebakaran dan lainnya. Syarat–syarat atau ketentuan teknis tempat berhimpun menurut NFPA
101 adalah sebagai berikut:
1. Terdapat petunjuk tempat berkumpul.
2. Kondisi tempat berhimpun harus aman, luas untuk menampung seluruh orang (min 0,3 m/
orang), mudah dijangkau.
3. Terdapat tempat berhimpun setelah evakuasi.
17
2.3 Kerangka Teori
Penyebab Kebakaran Industri:
1. Faktor Manusia
2. Faktor Alam
3. Faktor Produksi
Sistem Tanggap Darurat
Potensi Kebakaran Industri
Kebakaran Industri
Segitiga Api:
1. Sumber Panas
2. Bahan Bakar
3. Oksigen
Penanggulangan kebakaran
Gambar 1.
Kerangka Teori Berdasarkan Modifikasi Rijanto (2011), Kepmenaker No. 186 thun 1999, Permen PU RI Tahun 2008
18
2.4 Kerangka Konsep
Sarana Penyelamatan
diri: Analisis
1. Jalan keluar Penerapan
Sistem 2. Pintu darurat Sistem
Tanggap 3. Petunjuk arah jalan Tanggap
keluar Monitoring dan evaluasi
Darurat Darurat
4. Titik kumpul
Kebakaran 5. Lampu darurat Kebakaran
Industri Industri
6. Tangga darurat
Sistem Proteksi
Monitoring dan evaluasi
Kebakaran
Keterangan:
: diteliti
: Tidak diteliti
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian evaluatif harus mempunyai tolak ukur, standar dan kriteria yang digunakan untuk
membandingkan kondisi aktual dari objek tersebut dari data yang diperoleh dengan kriteria dan standar dari
peraturan yang ada agar dapat diketahui kondisi nyata dari objek tersebut. Data akan dibandingkan dengan
standar dari peraturan Permen PU No. 26/PRT/M/2008, NFPA 101, SNI 03-1746-2000, dan SNI 03-6574-
2000.
20
Tahun 2022
No Kegiatan
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengambilan
Mata Kuliah
Metopen
2 Pengajuan
Judul
3 Bimbingan
4 Penyusunan
Proposal
5 Seminar
Proposal
6 Pengumpulan
Data
7 Sidang Akhir
Tugas
21
3.5 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang menjelaskan variabel-variabel yang menjadi unsur
penting dalam penelitian.
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur
1 Sarana Penyelamatan diri Sarana yang dipersiapkan bagi Checklist dan Observasi
seluruh penghuni gedung serta pedoman dan
petugas pemadam guna pertanyaan Dokumentasi
penyelamatan diri ketika terjadi
kebakaran.
2 Sistem Manajemen Sistem manajemen tanggap Checklist dan Observasi
Tanggap Darurat darurat kebakaran adalah segala pedoman dan
upaya yang saling berhubungan pertanyaan Dokumentasi
dilakukan guna mencegah dan
menanggulangi munculnya
potensi kebakaran, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan pengambilan
tindak selanjutnya.
22
3.7 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menganalisis data temuan hasil survey dengan peraturan yang
dirujuk terkait sarana penyelamatan diri. Apakah unit produksi PT Korindo sudah menerapkan sarana
penyelamatan diri dengan baik atau belum. Analisis data menggunakan metode kualitatif akan
berdasarkan pada Miler dan Huberman dalam (Sugiyono, 2014). Pada mengelola data dari wawancara
dan dokumentasi terdapat beberapa aktivitas pada analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penggambaran kesimpulan.
3.7.1 Reduksi Data
Pada sumber data yang didapatkan dari data primer dan sekunder akan menghasilkan cukup
banyak data yang ada. Proses reduksi data merupakan proses pengubahan data kasara yang didapatkan
dimana peneliti akan melakukan reduksi data yang dibutuhkan di dalam penelitian. Kegiatan reduksi data
berupa seleksi data, membuat ringkasan, menggolongkan ke pola-pola dengan membuat transkip
penelitian yang bertujuan untuk memfokuskan data yang penting dan membuang yang tidak penting.
3.7.2 Penyajian Data
Penyajian data dapat berupa membandingkan antara kondisi riil di lapangan dengan standar acuan
yang berisi tentang presentase tingkat kesesuaian. Untuk menghitung tingkat kesesuaian berdasarkan
𝑓(1,2,3)
perhitungan distribusi frekuensi relatif yaitu: P(100%)= 𝑥 100%
𝑁
Distribusi frekuensi merupakan penataan data dalam bentuk proporsi atau persentase. Dengan
distribusi frekuensi relatif kita dapat mengetahui persentase suatu kelompok terhadap seluruh pengamatan
(Budiarto, 2002).
Untuk menghitung tingkat kesesuaian penerapan sarana penyelamatan diri dapat dihitung dengan
poin yang sesuai dibagai dengan total seluruh poin dikalikan dengan seratus. Maka didapatkan hasil
𝑓(1,2,3)
tingkat kesesuaian dalam bentuk persen atau menggunakan rumus: P(100%)= 𝑁
𝑥 100%
23
kesimpulan semakin mendalam. Proses ini dapat membatalkan kesimpulan yang diambil pada tahap awal
atau memperkuatnya karena ada dukungan yang semakin kuat.
Kesimpulan akhir diambil dalam penelitian kualitatif melalui penyaringan yang panjang dari
kesimpulan-kesimpulan dalam proses penelitian, kesimpulan akhir dilakukan setelah proses pengambilan
data diakhiri karena informasi sudah jenuh. Kesimpulan yang ditarik perlu dievaluasi kembali sambil
meninjau secara sepintas pada catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang tepat. Evaluasi dapat
dilakukan dengan mendiskusikan dengan jawaban ahli.
Mulai
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Pengumpulan data
Pengumpulan Data
Pengolahan dan penyajian Data berdasarkan Permen PU No. 26/PRT/M/2008, NFPA 101, SNI 03- 1746-2000,
dan SNI 03-6574-2000.
24
Selesai
Daftar Pustaka
Angel Rumiris S T, B. K. (2018). Analisis Implementasi Prosedur Penanganan dan Sarana Penyelamatan
dalam Menghadapi Keadaan Darurat Kebakaran di Mall X SEMARANG. JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT, 462-468.
Anizar. (2012). Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah. (2022, Juni 1). Grafik Kejadian Bencana Kota Balikpapan.
Retrieved from Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Balikpapan:
http://bpbd.balikpapan.go.id/
Badan Standarisas Nasional. (2000). SNI-03-1745-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sistem Pipa Tegak dan Slang untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung.
Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI 03-1735-2000 tentang Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan
dan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung.
Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI 03-1746-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan.
Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI-03-1745-2000 tentang Tata cara perencanaan dan pemasangan
sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI-03-3985-2000 tentang Tata cara Perencanaan, Pemasangan dan
Pengujian Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran untuk Pencegahan Bahaya kebakaran pada
Bangunan Gedung.
Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI-03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan
Sistem Springkler Otomatik untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung.
Badan Standarisasi Nasional. (2001). SNI 03-6574-2001 tentang Tata Cara Perancangan Pencahayaan
Darurat, Tanda arah dan. Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung.
Bigda, K. (2019). Protecting Escapes rooms and Other Special Amusement Buildings. NFPA Journal.
25
Brushlinky, A. S. (2016). “World Fire Statistics 2016,” International Association of Fire and Rescue
Services, 2016.
Departemen Pekerja Umum. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Jakarta:
Dinas Pekerjaan Umum.
Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hylton, J. (2015). Jurnal National FIre Protection Association Fire Analysis and Research Division, 9(1):2-
5.
Lukman Handoko, S. W. (2011). Evaluasi Sarana Menyelamatkan Diri Keadaan Darurat pada Bangunan
Gedung Perkantoran sebagai Upaya Implementasi Sistem Manajemen Kebakaran. Prosiding.
Menteri Pekerjaan Umum. (2000). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000 tentang
Tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
Menteri Pekerjaan Umum. (2000). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.11/KPTS/2000 tentang
Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan.
Menteri Pekerjaan Umum. (2009). Peraturan No. 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen
Proteksi Kebakaran di Perkotaan.
Menteri Tenaga Kerja. (1999). Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: Kep.186/Men/1999 tentang Unit
Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja.
26
National Fire Protection Association. (2017). NFPA 101: Life Safety Code 2018. National Fire Protection
Association.
Pemerintah Republik Indonesia. (2008). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
tentang Penyelenggaran Penanggulangan Bencana. Jakarta: Dinas Pemerintah Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (1970). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.
Presiden Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Rijanto, B. (2011). Pedoman Pencegahan Kecelakaan di Industri. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Schroll, C. (2002). Industrial Fire Safety Guidebook. New Jersey: CRC Publications 2 edition.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sumardjito. (2010). Emergency Exit sebagai Sarana Penyelamatan Penghuni pada Bangunan-Bangunan
Skala Besar. Jurnal Inersia, 6: 24-32.
Tarwaka. (2014). Keselamatan dan Kesehatan Kerja : Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja.
Surakarta: Harapan Press.
Wicaksono, D. (2013). Evaluasi Sarana Evakuasi Kebakaran di Industri Karung Sidoarjo. Indonesian
Jurnal Public of Health, 10 44-45.
27
Lampiran
Lembar Checklist
Analisis penerapan sarana penyelamatan diri
1) Jalan keluar
No SNI 03-1746-2000 Teknik Sesuai Tidak Sesuai
pengumpulan
data
1 Pada jalan keluar terdapat Observasi dan
koridor yang digunakan dokumentasi
sebagai akses keluar
2 Pemeliharaan Observasi dan
dilaksanakan secara terus dokumentasi
menerus dan bebas
hambatan
3 Perabot dan dekorasi Observasi dan
tidak diletakan disekitar dokumentasi
jalan keluar sehingga
mengganggu
pemandangan
4 Tidak terdapat cermin di Observasi dan
dalam atau di dekat akses dokumentasi
keluar
5 Lebar EXIT lebih dari 71 Observasi dan
cm dokumentasi
6 Jumlah sarana jalan Observasi dan
keluar lebih dari dua dokumentasi
7 EXIT berakhir di Observasi dan
pelepasan dokumentasi
Persentase
2) Pintu darurat
No SNI-03-1746-2000 Teknik Sesuai Tidak sesuai
pengumpulan
data
1 Lebar pintu darurat Observasi
minimal 90 cm dan dan
maksimal 120 cm dokumentasi
2 Tinggi pintu darurat 210 Observasi
cm dan
dokumentasi
3 Pintu darurat dalam Observasi
keadaan tidak terkunci dan
dokumentasi
28
4 Pintu darurat dapat Observasi
menutup secara otomatis dan
dokumentasi
5 Dilengkapi push bar Observasi
system dan
dokumentasi
6 Jumlah pintu darurat Observasi
untuk penghuni > 60 dan
maka harus terdapat 2 dokumentasi
buah
7 Dilengkapi petunjuk Observasi
EXIT dan pintu terbuka dan
ke arah luar dokumentasi
Persentase
4) Lampu darurat
No SNI 03-6574-2000 Teknik Sesuai Tidak sesuai
pengumpulan
data
29
1 Sumber listrik berasal wawancara
dari genset dan beterai
2 Kemampuan baterai wawancara
minimal 60 menit
3 Waktu peralihan minimal wawancara
10 detik
4 Warna lampu kuning wawancara
5 Kemampuan bertahan wawancara
minimal 60 menit
6 Penerangan darurat terdiri wawancara
minimal dari dua sumber
listrik
Persentase
5) Titik kumpul
No NFPA 101 Teknik Sesuai Tidak sesuai
pengumpulan
data
1 Adanya tanda petunjuk observasi
tempat berkumpul
2 Titik kumpul harus aman, Observasi
mudah dijangkau dan
dapat menampung
seluruh penghuni yaitu
minimal 0,3 m/orang
3 Terdapat tempat Observasi
berkumpul setelah proses
evakuasi
Persentase
30
Lembar Wawancara
No Pertanyaan Jawaban
1. Inspeksi sarana penyelamatan diri
a. Berapa jumlah tiap aspek sarana penyelamatan diri yang
ada di unit produksi PT. Korindo?
b. Apakah pernah dilakukan inspeksi internal terhadap
sarana penyelamatan diri? Jika pernah, berapa kali
dilakukan?
2 Prosedur operasional dan pelaksanaan tanggap darurat
a. Apakah terdapat peta evakuasi pada gedung produksi
PT. Korindo?
b. Apakah terdapat prosedur mengenai proses evakuasi
terhadap penghuni gedung? Jika ada, apakah sudah
disosialisasikan kepada penghuni gedung?
c. Apakah pernah dilakukan pelatihan berupa simulasi
evakuasi?
d. Jika pernah, berapa waktu yang diperlukan untuk
melaksanakan evakuasi?
e. Bagaimana mekanisme penyelamatan diri jika sewaktu-
waktu terjadi kebakaran?
3 Petunjuk arah jalan keluar?
a. Apakah petunjuk arah jalan keluar dapat terlihat dari
jarak tertentu?
b. Apakah petunjuk arah dapat terlihat dalam keadaan
minim cahaya/gelap?
4 Lampu darurat
a. Apakah terdapat pencahayaan darurat?
b. Jika iya, apakah dapat berfungsi dalam keadaan darurat
seperti kebakaran?
c. Berasal darimana sistem pencahayaan darurat tersebut?
d. Apakah dilaksanakan inspeksi secara rutin terhadap
sistem pencahayaan darurat?
e. Sumber energi apa yang digunakan untuk lampu
darurat?
f. Berapa waktu peralihan yang diperlukan lampu darurat
tersebut?
5 Titik kumpul
a. Terdapat berapa titik kumpul yang disediakan?
b. Apa alasan penempatan titik kumpul yang disediakan?
c. Dimana lokasi titik berhimpun setelah dilakukan
evakuasi apabila terjadi kebakaran?
31