Anda di halaman 1dari 28

PAPUA, KONFLIK DI NDUGA: 'KORBAN TERUS BERJATUHAN',

DEMONSTRASI TUNTUT KEADILAN WARGA YANG DITEMBAK,


PEMERINTAH DIMINTA UBAH 'POLA' KEBIJAKAN

TRIBUNSUMSEL.COM - Konflik di Nduga, Papua, sejak 2 Desember 2018 hingga


18 Juli 2020 mengakibatkan sebanyak 263 warga sipil tewas.
Total warga yang tewas tersebut termasuk 20 orang pekerja PT Istaka Karya yang
dibunuh oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya.
Hal tersebut disampaikan melalui dua jilid laporan yang dibuat oleh Yayasan Keadilan
dan Keutuhan Manusia Papua yang telah diserahkan ke Komnas HAM Papua.
"Jilid pertama itu 184 orang, itu dari 2 Desember 2018 sampai 2019, lalu jilid kedua
dari 2019 ke 2020 itu 59 orang. Jadi total 243 orang ditambah 20 pekerja Istaka Karya," ujar
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, melalui
sambungan telepon, Selasa (1/9/2020).
Para korban meninggal karena beberapa penyebab, seperti tertembak senjata api,
kelaparan, dan sakit.
"Sebagian besar yang meninggal karena kelaparan ketika mengungsi ke hutan," kata
dia.
Theo menjelaskan, sejak kasus pembantaian pekerja PT Istaka Karya, pemerintah
membuat operasi militer untuk mengejar KKB.
Akibatnya, ribuan masyarakat Nduga ketakutan dan memilih mengungsi ke berbagai
lokasi.
Mulai ke kabupaten di sekitar Nduga hingga ke dalam hutan.
Masyarakat Nduga trauma dengan keberadaan OPM dan aparat keamanan yang datang
membawa senjata api.

Penyebab terjadinya konflik :


1) Sengketa historis terkait integrasi Irian Barat ke Indonesia,
2) Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan,
3) Meningkatnya marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua

Upaya penyelesaian konflik :


1) Pemerintah pusat perlu memulai dialog dengan tokoh separatis Papua di bawah
mediasi pihak ketiga yang netral.
2) Pemerintah membuat operasi militer untuk mengejar KKB.
KONFLIK KERICUH DI MANDALA

MEDANHEADLINES.COM, Medan -Kericuhan yang terjadi antara warga Jalan


Rajawali dengan Jalan Belibis, Perumnas Mandala, pada Jumat (24/1) malam disebabkan
oleh masalah sosial bukan agama
Hal itu ditegaskan Kapolrestabes Medan Kombes Pol Johnny Eddizon Isir saat
diwawancarai awak media lewat sambungan telpon
Johnny juga mengatakan Saat ini situasi di lokasi kejadian sudah aman dan kondusif.
Namun, kata Johnny, personel Brimob, Koramil dan Polrestabes Medan gabung sama Polsek
masih disiagakan untuk mencegah adanya keributan susulan
Berdasarkan keterangan dari warga sekitar, Tambah Johny, Ada warga Rajawali yang
membuka warung tuak di pinggiran rel kereta api. Kemudian, menurut warga Belibis warung
tuak itu cukup meresahkan.
Kemudian pihak pemerintah menindaklanjuti dan menertibkan warung tuak tersebut.
Hal itu dilakukan karena upaya-upaya mediasi untuk membongkar sendiri sudah
disampaikan, tapi tak diindahkan.
“Jadi ini residu mungkin sama pihak yang ditertibkan. Kemudian mereka menganggap
ada warga di sekitar situ (Jalan Belibis) yang melaporakan agar warung itu ditertipkan. Dan
terjadilah keributan berujung saling lempar batu antara kedua kelompok,” Kata Johnny, Sabtu
(25/1) siang.
Saat saling lempar, Kebetulan di sekitar Jalan Belibis ada rumah ibadah (Masjid).
Akibatnya ada batu yang menyasar dan akhirnya mengenai kaca jendela Masjid. Hal itulah
yang kemudian membuat suasana semakin tidak terkendali karena sebagian warga menyebut
Masjid yang diserang.
“Jadi, bukan Masjid yang menjadi sasarannya. Ini ada dua kelompok yang saling
lempar sehingga ada batu nyasar ke jendela Masjid,” ucap Johnny.
Johnny kembali menegaskan, pihaknya akan melakukan proses hukum terkait laporan
pengerusakan dari BKM Masjid dan warga yang terkena lemparan batu. Langkah-langkah
penegakan hukum secara transparan dan akuntable akan mereka lakukan untuk
menindaklanjuti kasus ini. Cara persuasif dengan menjelaskan permasalahan kepada
masyarakat sekitar untuk menyerahkan terduga pelaku ke polisi juga sudah dilakukan.
“Karena ini permasalahan sosial, bukan berkaitan dengan masalah agama atau lainnya,”
Pungkasnya
Ia juga mengimbau, agar masyarakat bisa lebih bijak menerima, menalar dan men-sharing
setiap informasi, apakah itu berupa video maupun gambar. Tujuannya supaya tidak
menambah informasi semakin simpang siur.
“Bijaklah bersosial media, karena kasihan masyarakat lain yang tidak tau apa-apa kemudian
tergerak dan menjadi korban,” imbaunya. (afd)

Penyebab terjadinya konflik :


Bentrok terjadi bermula dari warga Jalan Rajawali yang membuka warung tuak di
pinggiran rel. Warga Belibis keberatan dan merasa terganggu dengan warung ini.
Upaya penyelesaian konflik :
1) Upaya mediasi untuk membongkar sendiri warung sudah disampaikan oleh warga
sekitar.
2)
3) Pemerintah Kota menurunkan petugas Satpol PP untuk menggusur warung.
4) Petugas sampai beberapa kali memberikan tembakan peringatan ke udara.
5) Kepolisian meminta agar masyarakat bisa lebih bijak menerima, menalar dan men-
sharing setiap informasi, apakah itu berupa video maupun gambar. Tujuannya supaya
tidak menambah informasi semakin simpang siur.
MELANGGAR IZIN, OBJEK WISATA KAMPOENG RAWA AMBARAWA
DITUTUP

Semarang - Satuan Polisi Pamong Pradja (Satpol PP) Provinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Semarang, menutup operasional Objek Wisata Kampoeng Rawa di Ambarawa.
Penutupan tersebut dilakukan karena keberadaannya melanggar izin dan Perda.
Kepala Satpol PP dan Pemadam Kebakaran Kabupaten Semarang, Tajudin mengatakan,
sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku Kampoeng Rawa harus mengantongi izin
prinsip dan izin lokasi.
"Kemudian sesuai dengan Perda RTRW karena keberadaannya di bantaran rawa yang
merupakan sawah lestari nggak boleh untuk seperti ini, direklamasi seperti ini. Maka nanti
kalau mau berizin harus dibongkar semua yang ini, dibikin kolam atau apa," kata Tajudin di
sela-sela melakukan penutupan di Kampoeng Rawa, tepatnya di Jalan Lingkar Ambarawa,
Kabupaten Semarang, Senin (16/4/2018).
Selain tidak ada izin prinsip, izin lokasi, juga belum ada izin mendirikan bangunan
maupun izin gangguan. Penutupan yang dilakukan Satpol PP tersebut menindaklanjuti
rekomendasi Pansus Perizinan DPRD yang memerintahkan Bupati Semarang untuk
melakukan penutupan.
"Sesui dengan Perda RTRW Provinsi yang dilanggar karena wilayah Kampoeng Rawa ini
hampir 100 persen berada di sempadan rawa. Dulu pernah ditutup juga, tapi karena tidak ada
koordinasi yang komprehensif sehingga buka lagi. Kemarin Pansus Perizinan DPRD
mengamanahkan akan semua perizinan yang tertib dan lebih oke," ujarnya.
Adapun untuk melakukan penutupan Kampoeng Rawa ini, Satpol PP memasang garis
pembatas bertuliskan belum berizin di sekitar lokasi parkir. Selain itu, juga dipasang spanduk
berisi pelanggaran di loket masuk menuju obyek wisata. Pelanggaran tersebut yakni
melanggar 9 Perda Provinsi Jawa Tengah maupun Perda Kabupaten Semarang.
Untuk pelanggaran tersebut antara lain Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029. Kemudian,
Perda Provinsi Jawa Tengah No 9 tahun 2013 tentang perubahan Perda Provinsi Jawa Tengah
No 11 tahun 2009 tentang garis sempadan. Selain itu, Perda Kabupaten Semarang No 14
tahun 2003 tentag pembangunan tanah pertanian ke nonpertanian. Pelanggaran lain yakni
melanggar Perda Kabupaten Semarang No 6 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Semarang tahun 2011-2031.
Selain memasang spandung berisikan 9 Perda yang dilanggar, Satpol PP juga
memasang spanduk di gapura masuk menuju Kampoeng Rawa. Adapun spanduk ini
bertuliskan Belum Berizin, lokasi Kampoeng Rawa Ditutup.
Menanggapi penutupan tersebut, General Manajer Kampoeng Rawa, Ahmad Wiranto
mengatakan, tempat ini untuk menghidupi sekitar 800 orang. Pengelolaan Kampoeng Rawa
dilakukan secara profesional.
"Di sini ada 9 stakeholder yakni manajemen, investor, ada desa, paguyuban petani
nelayan, 20 UKM, ada PKL, ada Linmas, kemudian RT/RW semua mengantungkan hidup
dari sini. Kemudian, jalan keluar masuk petani dari sini, kalau depannya ditutup berarti
menutup akses petani dan nelayan yang akan masuk sini," katanya.
Atas penutupan tersebut, pihaknya berharap agar diberikan kesempatan melakukan
pengurusan izin karena bukan lagi aset Kabupaten Semarang, namun menjadi aset nasional.
"Kita ingin ada izin. Kami ini dipingpong sana sini," tuturnya. (bgs/bgs)
Penyebab terjadinya konflik :
1) Pengelolaan obyek wisata Kampoeng Rawa yang melanggar perda tentang tata
ruang.
2) Pemerintah kabupaten tidak tegas menindak adanya pelanggaran aturan.
3) Klaim pihak tertentu bahwa keberadaan Kampoeng Rawa untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dan nelayan ternyata tidak terbukti.
4) Kejengkelan warga terhadap Agus Sumarno yang tidak transparan dalam pengelolaan
Kampoeng Rawa Ambarawa.
Upaya penyelesaian konflik :
1) Harus adanya peranan pemerinatha kabupaten dalam hal ketegasan atas pelanggaran
aturan yang ada.
2) Pemerintah mengeluarkan isntrumen kebijakan dalam pelanggaran aturan yang ada.
3) Adanya konfirmasi transparansi dalam pengelolaan Kampoeng Rawa Ambarawa
kepada warga sekitar.
KONFLIK BERSENJATA DIPAPUA

Dewan Gereja Papua menyebut sekitar 60 ribu penduduk Papua mengungsi akibat
konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPNPB) yang masih terjadi di enam kabupaten.
Anggota Dewan Gereja Papua, Pendeta Benny Giay mengatakan pihaknya mencatat,
memasuki pertengahan November 2021 pemerintah semakin gencar melakukan politik
rasisme, kriminalisasi, marjinalisasi, dan militerisme dalam menangani konflik Papua.
"Sekitar 60 ribu orang lebih umat Tuhan telah mengungsi," kata Benny dan tiga
pendeta lainnya sebagaimana dikutip dari keterangan resmi yang diterima
CNNIndonesia.com, Jumat (26/11).Benny mengatakan pada 21 November, konflik antara
TNI-Polri dengan TPNPB masih terjadi di enam kabupaten, yakni Intan Jaya, Pegunungan
Bintang, Nduga, Yahukimo, Maybrat, dan Puncak Papua.
Menurut Benny, aparat gabungan TNI-Polri masih menyisir permukiman warga sipil
dengan alasan mencari anggota TPNPB. Akibatnya, banyak warga Papua memilih mengungsi
di hutan maupun kabupaten tetangga.
"Banyak anak-anak dan ibu menjadi korban dan meninggal dunia saat pengungsian,"
tutur Benny.
Lebih lanjut, Benny dan tiga pendeta lainnya, yakni, Andrikus Mofu, Dorman
Wandikbo, dan Socratez S. Yosman menjelaskan lebih rinci kondisi di setiap kabupaten
tersebut.
Benny membeberkan, di Intan Jaya konflik bersenjata telah terjadi sejak 25 Oktober
2019 lalu. Sebanyak 28 peristiwa terjadi dalam dua tahun terakhir dan menelan 47 korban
meninggal dan luka-luka.
Sebanyak 31 warga sipil orang Papua dan non Papua terdampak dengan rincian 16
meninggal, 12 orang luka-luka, dan 3 warga Intan Jaya menjadi korban penculikan.
Sementara, sebanyak 7 anggota TNI-Polri meninggal sementara 7 orang lainnya
mengalami luka tembak. Selain itu, 2 anggota TPNPB dinyatakan meninggal.
"Lebih dari 3.000 orang mengungsi di Gereja dan di wilayah terdekat. Jumlah aparat
gabungan TNI dan Polri terus diperbanyak di Kabupaten Intan Jaya," tutur Benny.
Konflik juga terjadi di pegunungan Bintang atau Kiwirok yang mengakibatkan tenaga
kesehatan meninggal.
Penyebab terjadinya konflik :
1) KKB papua yang merasa tidak puas dan keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI
2) Konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPNPB) yang masih terjadi di enam kabupaten.
Upaya penyelesaian konflik :
1) Aparat gabungan TNI-Polri masih menyisir permukiman warga sipil dengan alasan
mencari anggota TPNPB.
2) Pemerintah semakin gencar melakukan politik rasisme, kriminalisasi, marjinalisasi,
dan militerisme dalam menangani konflik Papua.
KONFLIK LAHAN DI MALUKU BARAT DAYA

CNN Indonesia
Selasa, 16 Nov 2021 22:11 WIB

Konflik lahan adat pecah di Kabupaten Maluku Barat Daya. Warga Dusun Nyabota
Desa Upupun Kecamatan Wetang dan warga Desa Imroing Kecamatan Pulau Babar, terlibat
bentrok pada Senin, (15/11).
Empat rumah di Kilometer 8 milik warga adat Nyabota dibakar massa asal Desa
Imroing.
Menurut Kapolsek Tepa Ipda Bonara, insiden itu bermula ketika masyarakat dusun Nyabota
Desa Upupun memasang sasi atau pelarangan aktivitas di salah satu kebun milik warga
Imroing.
Mereka sempat merusak tanaman milik warga Imroing yang diklaim masuk di lahan
petuanan dusun Nyabota.
Kepolisian sektor Tepa yang menerima informasi langsung bergegas menuju lokasi
perbatasan di kilometer enam untuk mencegat massa yang berjumlah sekitar 40 orang
tersebut.
Puluhan orang dengan peralatan perang itu terpaksa dibubarkan aparat kepolisian dari
lokasi sengketa. Mereka diminta kembali ke rumah masing-masing di kilometer 4-8 pukul
11.00 WIT.
Lima jam kemudian atau sekitar pukul 15.00 WIT ada konsentrasi massa di wilayah
perbatasan. Warga Imroing berjumlah sekitar 70 orang melakukan penyerangan
menggunakan tombak dan parang. Mereka sempat membakar permukiman penduduk
Nyabota di kilometer delapan.
"Sekitar 4 buah rumah warga Nyabona dibakar," ujarnya melalui pernyataan resmi,
Selasa (16/11) malam.
Massa pun kembali menyerang permukiman warga Nyabota di kilometer enam. Namun
aparat kepolisian dan TNI dari Kodim Tepa bersenjata lengkap mengadang.
Aparat meminta massa mundur namun massa tetap bertahan di tengah jalan lantaran
kesal warga Nyabota membabat habis tanaman mereka.
Mereka lantas meminta anggota TNI-Polri segera mengevakuasi warga Imroing yang
sempat tertahan akibat aksi penutupan jalan oleh warga Nyabota.
TNI-Polri lalu mengevakuasi warga Imroing dari Desa Tepa melalui jalur darat
melewati pemukiman penduduk Nyabota.
Untuk mencegah konflik susulan, TNI-Polri membangun pos penjagaan di wilayah
perbatasan antarkedua desa.
Saat ini, TNI-Polri masih melakukan upaya mediasi dengan melibatkan tokoh
masyarakat dari kedua desa untuk menempuh jalur perdamaian.
Bentrok antarwarga Dusun Nyabota dan warga Desa Imroing itu dipicu saat kepala
Kecamatan Pulau Baba Brusly Agoha mengeluarkan surat pemanfaatan lahan adat
bersengketa milik warga Nyabota setelah hasil rapat koordinasi dengan forkopincam.
Dalam isi surat tersebut menerangkan bahwa status warga Nyabota asli penduduk yang
bermukim di Pulau Wetang Desa Upupun sementara warga Desa Imroing asli penduduk
mendiami Pulau Babar.
Sebidang tanah itu menjadi pemicu konflik antar warga. warga Nyabota klaim lahan
tersebut milik petuanan Desa Tepa, sedangkan warga Imroing bersikeras lahan itu masuk
wilayah petuanan Desa Imroing.
Penyebab terjadinya konflik :
1) Konflik lahan adat antara warga Nyobota yang merusak tanaman milik warga Imroing
yang diklaim masuk di lahan petuanan dusun Nyabota.
2) Warga Imroing berjumlah sekitar 70 orang melakukan penyerangan menggunakan
tombak dan parang. Mereka sempat membakar permukiman penduduk Nyabota di
kilometer delapan.
3) Sebidang tanah itu menjadi pemicu konflik antar warga. warga Nyabota klaim lahan
tersebut milik petuanan Desa Tepa, sedangkan warga Imroing bersikeras lahan itu
masuk wilayah petuanan Desa Imroing.
Upaya penyelesaian konflik :
1) TNI-Polri membangun pos penjagaan di wilayah perbatasan antarkedua desa.
2) TNI-Polri masih melakukan upaya mediasi dengan melibatkan tokoh masyarakat dari
kedua desa untuk menempuh jalur perdamaian.
jateng.suara.com
CERITA JALAN TERJAL KONFLIK WADAS PURWOREJO

Bendungan Bener mencakup Kabupaten Purworejo dan Wonosobo yang wilayahnya


beririsan.
SuaraJawaTengah.id - Tahun 2013, rencana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten
Purworejo baru sebatas desas-desus. Sekadar kabar angin yang tidak jelas wujudnya.
Seperti lazimnya kabar angin, isu pembangunan bendungan hilang begitu saja seiring
berjalannya waktu. Proyek ambisius yang konon untuk pengairan kawasan Purworejo dan
sekitarnya tak lagi terdengar.
Dua tahun setelahnya, 13 Oktober 2015, salah satu perusahaan swasta rekanan Balai Besar
Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSO) melakukan pengeboran di Desa Wadas, Kecamatan
Bener, Kabupaten Purworejo.
Warga mulai curiga, mengapa pengeboran dilakukan di Desa Wadas yang berjarak sekitar 10
kilometer dari proyek Bendungan Bener?
Kabar mengejutkan muncul. Pengeboran ditujukan untuk mengambil sampel batu andesit
yang akan digunakan sebagai material pembangun bendungan.
Sampel batuan kemudian dibawa ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSO)
untuk diteliti. Desa Wadas masuk dalam daftar desa terdampak pembangunan bendungan.
Bendungan Bener mencakup Kabupaten Purworejo dan Wonosobo yang wilayahnya
beririsan. Sebanyak 12 desa masuk dalam kawasan terdampak.
Sebanyak 7 desa berada di Kecamatan Bener yaitu Desa Bener, Karangsari, Kedungloteng,
Nglaris, Limbangan, Gutur, dan Wadas. Sedangkan Desa Kemiri dan Redin masuk wilayah
Kecamatan Gebang, Purworejo.
Wilayah terdampak di Kabupaten Wonosobo berada di Kecamatan Kepil yang terdiri dari
Desa Gadingrejo, Bener, dan Burat.
SuaraJawaTengah.id tidak menemukan catatan kejadian mencolok pasca pengeboran
sampel batu di Desa Wadas itu. Yang pasti pada tanggal 4 September 2017, BBWSO
memasang spanduk dan banner permohonan izin lingkungan dari seluruh desa terdampak.
Penyebab terjadinya konflik :
1) Warga Desa Wadas menolak adanya proyek tambang batu andesit untuk kebutuhan
proyek strategis nasional bendungan bener.
2) Desa Wadas mendadak muncul sebagai salah satu desa terdampak lingkungan dan
menjadi lokasi pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan bendungan.

Upaya penyelesaian konflik :


1) Warga menggugat SK perpanjangan izin pengadaan tanah ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Semarang. Pengadilan menolak gugatan warga yang ditindaklanjuti
dengan pengajuan kasasi pada 14 September 2021.
2) Sekitar tanggal 6-7 Februari 2022, terlihat konsentrasi polisi dalam jumlah besar di
Lapangan Kecamatan Bener. Sejumlah tenda didirikan menandakan personel akan
berada di lokasi untuk waktu cukup lama.
detik.com
KONFLIK WADAS TOLAK TAMBANG, DINILAI JADI KONFLIK
WARGA VS NEGARA

Anggota DPR RI Fraksi PPP, Muslich Zainal Abidin menyoroti soal polemik yang
terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Ia pun meminta agar pemerintah dapat
menghentikan tindakan represif yang dilakukan kepolisian terhadap warga Desa Wadas
menolak adanya penambangan batu andesit.
Menurutnya, penolakan tersebut merupakan hal wajar. Sebab, mereka khawatir
aktivitas tambang dapat merusak sumber mata air, yang menjadi kebutuhan penting warga,
baik sekarang dan ke depannya.
"Wajar lah mereka menolak dan melawan agar di desanya tidak terjadi penambangan
galian C, mereka khawatir sumber mata air dan sawah mereka rusak sehingga menyebabkan
kehilangan mata pencaharian. Di mana keberpihakan pemerintah kepada masyarakat?," ujar
Muslich dalam keterangannya, Jumat (11/2/2022).
Lebih lanjut, Muslich menyampaikan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan
kembali penambangan atau galian C di desa tersebut. Terlebih lahan yang dipertahankan oleh
warga Desa Wadas bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat.
Muslich menilai tindakan kepolisian sangat berlebihan. Ia mengatakan tindakan yang
dilakukan aparat seakan memposisikan warga sebagai kriminal dan teroris. Apalagi selama
ini Purworejo terkenal damai dan tentram.
"Tindakan represif semacam ini adalah tindakan konyol dan bodoh, itu seharusnya
tidak dilakukan. Selama ini Purworejo, khususnya Desa Wadas aman-aman saja, jangan
dibikin ricuh seperti itu," jelasnya.
Muslich juga menyebutkan, tindakan tersebut juga tidak mencerminkan sikap
mengayomi masyarakat. Bahkan, ia menyesalkan tindakan penangkapan puluhan warga.
"Mereka ini bukan teroris, apakah tidak ada cara lain yang lebih baik?," pungkasnya.
(akn/ega)

Penyebab terjadinya konflik :


1. Kericuhan terjadi saat proses pengukuran lahan warga yang digunakan untuk tambang
batuan andesit untuk material Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Jawa
Tengah.

2. Pengerahan apaarat bersenjata ke desa wadas untuk pengamanan pengukuran lahan


dan penyerahan ganti untung kepada masyarakat yang pro pembebasan lahan terhadap
ancaman masyarakat yang kontra

3. Puluhan warga dan beberapa anggota LBH Yogyakarta ditangkap aparat.

Upaya penyelesaian konflik :

1. Gubernur Jawa Tengah datang ke lokasi konflik dan meminta maaf kepada seluruh
warga desa Wadas.

2. Sesuai permntaan gubernur, 66 warga desa wadas yang tangkap aparat dibebaskan.

3. Gubernur siap buka lebar dialog bersama masyarakat dan komnas HAM.
siwalimanews.com
Perkuat Keamanan, Polda Tambah Personel ke Polsek Haruku - Siwalima
2 minutes

AMBON, Siwalimanews – Guna memperkuat keamanan di wilayah Pulau Haruku, maka


Polda Maluku menambah personel di Polsek tersebut.
.Penambahan pasukan di wilayah hukum Polsek Pulau Haruku ini disampaikan Kapolda
Maluku Irjen Lotharia Latif dalam rapat bersama DPRD provinsi merespon permintaan
anggota DPRD .
“Jadi merespon kondisi di Kecamatan Pulau Haruku, maka kami telah menambah sebanyak
30 personel untuk memperkuat keamanan disana,,” ujar Kapolda.
Pasca konflik sosial antara dua negeri bertetangga Kariu dan Ori kata Kapolda, pihaknya
langsung mengkroscek kekuatan anggota di Polsek Pulau Haruku, dan ternyata sangat minim
dari yang diharapkan sesuai dengan SOP Polri.
“Untuk jumlah personel di Polsek Pulau Haruku ternyata hanya 20 orang, dan itu sangat jauh
dari standar operasional prosedur, sehingga saya tambah 30 lagi menjadi 50,”  ungkap
Kapolda.
Menurutnya, penambahan anggota di Polsek Pulau Haruku bertujuan untuk memberikan
pelayanan dan pengamanan yang maksimal kepada masyarakat, walaupun penambahan
personel tidak menjamin masyarakat tidak akan bertikai.
Artinya, seberapapun besar pasukan atau personel yang ditempatkan di Polsek, tetapi jika
tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk tidak lagi bertikai, maka hal ini akan sia-sia, dan
tidak ada gunanya, sehingga membutuhkan kesadaran hukum dari masyarakat setempat.
Terkait dengan adanya dugaan pembiaran oleh pejabat kepolisian yang berakibat terjadinya
konflik, Kapolda menegaskan, pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap seluruh pejabat
kepolisian yang berkaitan langsung dengan permasalahan itu. (S-20)
Penyebab terjadinya konflik :
1. Sengketa lahan tapal batas yang menjadi pemicu utama bentrokan yang terjadi antara Desa
Kariu dan Dusun Ori Desa Pelauw, di Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
2. Bentrokan melibatkan penggunaan senjata api.
3. Terjadi pengungsian

Upaya penyelesaian konflik :

1. Aparat melakukan dialog interaktif antar lembaga dan pihak yang bertikai.

2. Aparat menggelar operasi Aman nusa 1untuk mengatasi peredaran senjata api yang
digunakan masyarakat dalam peristiwa konflik

3. Tokoh masyarakat meminta untuk dibuatnya pos polisi secara permanen

4. Penyebab konflik dituntaskan lewat jalur hukum.

5. Perhatian tokoh agama dan masyarakat akan nasib pengungsi agar bias kembali ke
rumah masingmasing dengan selamat.
DAMPAK KONFLIK SAMPIT HALAMAN ALL - KOMPAS.COM

Kompas Cyber Media


3 minutes

KOMPAS.com - Konflik Sampit terjadi pada 2001 di Kalimantan Tengah. 


Konflik ini terjadi pada antaretnis yang berawal dari bentrokan warga Suku Dayak dan
Madura pada 18 Februari 2001. 
Konflik ini bahkan menyebar ke seluruh Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk ibu
kota Palangkaraya. 
Konflik Sampit sendiri terjadi karena persaingan di bidang ekonomi.
Akibatnya, konflik Sampit ini memberikan dampak yang cukup signifikan.
Tidak hanya berkenaan dengan kondisi perekonomian saja, melainkan juga merenggut
banyak korban jiwa. 
Pemenggalan Kepala
Akibat dari Konflik Sampit ini setidaknya terdapat 100 warga Madura yang kepalanya
dipenggal oleh kepala Suku Dayak. 
Selain itu, tercatat ada sekitar 469 orang tewas dalam peristiwa tragis ini. 
Oleh sebab itu, konflik antar etnis ini juga menghentikan aktivitas sekolah untuk
beberapa waktu.
Bahkan kantor-kantor milik pemerintah maupun swasta juga dihentikan secara
sementara sampai situasi kembali kondusif.
Lumpuhnya Ekonomi di Sampit
Selain itu, konflik Sampit ini juga berimbas pada lumpuhnya kegiatan perekonomian di
Sampit sendiri.
Banyak kios, pasar, dan ruko yang terpaksa harus tutup selama kerusuhan berlangsung.
Penutupan ini dilakukan untuk menghindari adanya penjarahan dan tindakan sejenis
lainnya. 
Kendati demikian, penjarahan tetaplah terjadi terutama terhadap harta benda atau aset
milik etnis Madura.
Tidak hanya itu, krisis bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari juga turut dirasakan.
Bahkan kapal-kapal pengangkut barang juga tidak berani merapat di Pelabuhan Sampit.
Apabila terdapat kapal barang yang berani merapat, maka kegiatan pembongkaran juga
akan terbatas karena buruh yang biasa melakukan kegiatan itu adalah warga Madura.

Pengungsian
Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur juga mengungsikan warga etnis Madura ke
luar Kalimantan Tengah. 
Sebagian besar dari mereka dikirim ke Jawa Timur untuk menghindari penyebarluasan
konflik.
Pengungsian ini dilakukan hanya untuk sementara waktu sampai kondisi sudah mulai
kondusif.
Diketahui bahwa terdapat 108.000 orang yang harus mengungsi akibat konflik Sampit
ini. 
Penyebab terjadinya konflik :
1. Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan kebiasaan
dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya.
2. Seperti adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun, membuat
orang Dayak berpikiran bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi. 
3. Konflik Sampit sendiri diawali dengan perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir
2000. 
4. Pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di
Desa Kereng Pangi, membuat hubungan keduanya menjadi bersitegang. 
5. Ketegangan semakin memuncak setelah terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan
di desa pertambangan emas Ampalit. 
6. Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat. 
7. Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat
marah. 
8. Dua hari setelah peristiwa tersebut, 300 warga Dayak mendatangi lokasi tewasnya
Sandong untuk mencari sang pelaku. 
9. Tak berhasil menemukan pelakunya, kelompok warga Dayak melampiaskan
kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua mobil, lima motor, dan dua
tempat karaoke, milik warga Madura.
10. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura mengungsi. 

Upaya penyelesaian konflik :


1. Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit. 
2. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik
serangan ini. 
3. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi
kerusuhan di Sampit. 
4. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sembari
meminta pembebasan para tahanan. 
5. Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil
membubarkan massa Dayak dari jalanan. 
6. Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku
Dayak.
7. Konflik Sampit sendiri mulai mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan,
mengevakuasi warga, dan menangkap provokator. 
8. Untuk memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak
dan Madura. 
9. Guna memperingati perjanjian damai tersebut, maka dibentuk sebuah tugu
perdamaian di Sampit. 

PERCEPAT PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA, GUBERNUR BENGKULU


SURATI BUPATI MUKOMUKO

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah akan segera menyurati Bupati Mukomuko agar segera
membentuk Tim Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk menyelesaikan Polemik
Konflik Agraria di Kec. Malin Deman Kab. Mukomuko, antara Masyarakat Petani Malin
Deman dengan salah satu Perusahaan di Kabupaten Mukomuko.
Dijelaskan Gubernur Rohidin usai menerima audiensi Akkar Foundation untuk membahas
Penyelesaian Konflik Agraria di Kec. Malin Deman Kab. Mukomuko, Rabu (27/10/2021).
Bahwa persoalan tersebut terkait dengan tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah cukup
lama terbengkalai seluas kurang lebih 678 Hektar, yang kemudian digunakan oleh
masyarakat untuk berkebun dilahan tersebut, sehingga kemudian menimbulkan konflik.
Sesuai dengan kebijakan Presiden RI Joko Widodo melalui Kementerian ATR/BPN untuk
dimasukan ke dalam Reforma Agraria, di mana mempertemukan pelaku usaha dengan
masyarakat setempat melalui Tim Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), namun ternyata di
Mukomuko tim TORA-nya belum ada.
“Saya katakan bentuk dulu, saya akan surati Bupati Mukomuko untuk membentuk tim
TORA, sehingga sengketa persoalan konflik ini menjadi salah satu objek yang mereka
usulkan untuk diselesaikan,” tegas Gubernur Rohidin.
Gubernur sendiri menekankan agar sebisa mungkin polemik ini dapat di selesaikan secara
musyawarah antara masyarakat Malin Deman dan Perusahaan.
“Sebenarnya pihak perusahaan kalau memang lahannya sudah terbengkalai dan sudah tidak
terkuasai dan ini akan memberikan ruang kesempatan berusaha masyarakat setempat,” kata
Rohidin.
“Saya minta keikhlasannya untuk dilepas. Untuk lahan yang masih dikuasai oleh perusahaan
tentu bisa dilanjutkan sehingga bisa leluasa melakukan kegiatan investasi, mudah – mudahan
dengan titik temu seperti ini sengketanya bisa selesai,” minta Gubernur Rohidin.
Dijelaskan Direktur Akkar Foundation Erwin Basrin bahwa sudah dua kali surat teguran dari
kementerian menyatakan bahwa ada indikasi lahan dari PT. DDP sebagian terlantar dan itu
harus diberikan kepada masyarakat.
“Kami berharap permasalahan ini bisa selesai, karena ini menyangkut hak ruang hidup
masyarakat dalam konteks ini tanah, ada kebijakan yang membolehkan masyarakat
mendapatkan hak untuk tanah melalui reforma agraria, karena salah satu objeknya adalah
tanah lahan – lahan yang terlantar oleh pemilik HGU,” harap Erwin.

Penyebab terjadinya konflik :


1. konflik agraria dan HGU dari warga yang tersebar di tiga wilayah, yakni Desa Air Berau,
Desa Air Rami, dan Desa Air Buluh dengan PT Daria Darma Pratama (DDP), perusahaan
perkebunan kelapa sawit terkait dengan kepemilikan lahan perkebunan milik perusahaan
tersebut.

Upaya penyelesaian konflik :


1. membentuk tim terpadu untuk menyelesaikan konflik agraria antara warga setempat dengan
perusahaan perkebunan kelapa sawit.
2. Tim terpadu yang terdirri dari BPN dan pemenrintah setempat yang mengukur HGU milik
perusahaan untuk memastikan lahan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan berada di
dalam atau di luar HGU.
3. Tim akan memberikan edukasi, jangan langsung penindakan agar masyarakat memahami
tentang permasalahan ini.
Regional
USAI MEDIASI KEMENDAGRI, KONFLIK LAHAN PLASMA DI BENGKALIS
BERAKHIR
11.22, 29/01/2022

SIAPGRAK.COM, JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)


melakukan mediasi atas konflik pertanahan atau lahan plasma di Kecamatan Bukit Batu,
Kabupaten Bengkalis, Riau.
Pihak yang terlibat konflik yakni PT Surya Dumai Agrindo (SDA) dan Koperasi Bukit
Batu Darul Makmur (BBDM).
Ketua Koperasi BBDM Suwitno Pranolo mengatakan, salah satu polemik yang
diselesaikan adalah penyerahan kebun plasma kepada Koperasi BBDM di Kecamatan Bukit
Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau.
"Salah satu poin yang disepakati adalah penyerahan lahan perkebunan sebanyak 25
persen kepada koperasi, dalam hal ini warga yang berada dilahan tersebut," kata Suwitno
dalam keterangannya, Sabtu (29/1/2022).
"Sesuai dengan hasil rapat yang kami dapati, pihak Adwil memandang dalam persoalan
ini juga disepakati tidak ada pengurusan lain yang sah selain kami," imbuhnya.
Ia mengatakan yang menjadi tuntutan pihak koperasi adalah meminta perusahaan
memenuhi kewajiban, yaitu menyerahkan lahan plasma untuk masyarakat melalui Koperasi
BBDM. 
Namun yang terjadi di lapangan, perusahaan justru bermitra dengan pihak atau dengan
pengurus koperasi BBDM yang tak sah.
"Dasar mereka membuat itu adalah surat penunjukan dari Dinas Koperasi Kabupaten
Bengkalis yaitu menunjuk salah satu pengurus, surat itu sudah jadi objek sengketa," ucap dia.
Adapun dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak Koperasi
BBDM memenangkan gugatan.
Hal ini sesuai keputusan PTUN Nomor 217/B/2020/PT.TUN.MDN yang membatalkan
Surat Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Kabupaten Bengkalis Nomor
518/DISKOPUKM/2020/18, tanggal 20 Januari 2020.
"Sesuai keputusan PTUN, Dinas KUKM Bengkalis mencabut surat tersebut. Artinya
pengurus yang bermitra dengan PT SDA itu adalah ilegal dan kami pemenangnya," terang
Suwitno.
Sementara itu kuasa hukum Koperasi BBDM, Alvon Kurnia Palma menjelaskan bahwa
berdasarkan hasil pertemuan yang di mediasi Kemendagri, SDA juga diwajibkan
menyerahkan lahan sebesar 25 persen kepada masyarakat, atau 1.600 dari 6.800 hektare.
"Sesuai kesepakatan, kami berharap perusahaan memenuhi kewajiban. Pertama,
pencabutan surat dari Dinas KUKM Bengkalis, lalu perusahaan menyerahkan lahan kepada
masyarakat seluas 1.600 hektar dari 6.800 hektar," kata Alvon.
Dalam pertemuan yang digelar Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan, Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) dengan mengundang pihak PT SDA dan Koperasi BBDM,
disepakati beberapa poin. Antara lain:
1. Peserta Rapat sepakat untuk menghomati putusan Pengadian Tinggi Tata Usaha
Negara Nomor 217/B/2020/PT.TUN.MDN yang membatalkan Surat Kepala Dinas Koperasi,
Usaha Kecil, dan Menengah Kabupaten Bengkalis Nomor 518/DISKOPUKM/2020/18,
tanggal 20 Januari 2020.
2 Pemerintah Provinsi Riau memfasilitasi keabsahan terhadap Surat Keputusan Calon
Petani dan Calon Lahan Nomor 358KPTS/2020 (SK CPCL) yang diterbitkan oleh Pelaksana
Harian (Plh) Bupati Bengkalis.
3. Mengingat perjanjian antara Koperasi BBOM dengan PT. Riau Makmur Sentosa
(sekarang dilanjutkan oleh PT. SDA) adalah perjanjian antara dua badan hukum, maka
pemenuhan kewajiban PT. SDA sebagaimana perjanjian dimaksud ditunaikan kepada
Koperasi BBDM untuk penetapan penerima kebun plasma sepenuhnya menjadi kewenangan
Koperasi BBDM.
4. Pemerintah Kabupaten Bengkalis memfasilitasi proses penyerahan kebun plasma
kepada Koperasi BBOM dalam rangka pelaksanaan penanganan sengketa pertanahan
sebagaimana amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
5. Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau akan membina dan mengawasi Kantor
Pertanahan Kabupaten Bengkalis agar memedomani hasil fasilitasi tindak lanjut rapat ini
sebelum penetapan penerbitan sertifikat plasma, dan,
6. Pemerintah Provinsi Riau sebagai wakil Pemerintah Pusat menindaklanjuti fasilitasi
sebagaimana angka 2 di atas pada Minggu ke-2 bulan Februari 2022 dan melakukan
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyelesaian sengketa pertanahan oleh Pemerintah
Kabupaten Bengkalis sebagaimana amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tetang Pemerintah
Daerah dan PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, baik di bidang pembinaan umum maupun pembinaan teknis.

Penyebab terjadinya konflik :


1. Konflik pertanahan atau lahan plasma di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau antara PT Surya Dumai Agrindo (SDA) dengan Koperasi
Bukit Batu Darul Makmur (BBDM).

2. Namun yang terjadi di lapangan, perusahaan justru bermitra dengan pihak atau
dengan pengurus koperasi BBDM yang tak sah.

Upaya penyelesaian konflik :


1. Melayang kan gugatan secara hukum dan sudah mendapat keputusan tetap melalui
pengadilan.

2. penyerahan lahan perkebunan sebanyak 25 persen kepada koperasi, dalam hal ini
warga yang berada dilahan tersebut.

3. Pembatalan bebebrapa surat dinas berdasarkan keputusan PTUN.

Mengurai Poso: Konflik Islam-Kristen, Santoso dan Tibo


Kompas Cyber Media
8-10 minutes

Poso kembali bergejolak. Konflik yang dialami masyarakat tak kunjung usai. Peristiwa
berdarah itu terkadang tak mengenal lagi humanisme dan kemanusiaan.
Bom Poso yang meledak akhir-akhir ini tidak bisa dilihat secara sederhana atau murni
gerakan teroris semata. Termasuk bom yang meledak di Pos Polisi Lalu Lintas Kabupaten
Poso, yang melukai beberapa korban tak berdosa.
Ledakan yang dialamatkan ke pihak keamanan dapat juga diterjemahkan sebagai protes
terhadap kelompok tertentu yang tidak nyaman dan puas terhadap pembangunan
infrastruktur. Atau, bisa juga, rekonsiliasi yang berdasarkan perbedaan pandangan ideologis
dan strata sosial ekonomi ternyata belum tuntas hingga ke akar rumput. Untuk itulah perlu
kita memahami secara komprehensif dan simultan dari aspek pesan politiknya.
Protes sosial
Tindakan teror yang dialamatkan kepada pihak kepolisian jadi pertanda pesan
komunikasi politik bernuansa protes sosial. Kejadian ledakan bom bukan lagi pertikaian
antarwarga yang bermotif suku, agama, suku, dan antargolongan (SARA) seperti saat muncul
konflik poso 1998.
Teror bom yang dianggap sebagai ”perlawanan” terhadap aparat keamanan dan
penguasa, mengindikasikan ada pihak tertentu yang ingin tetap eksis. Mereka ingin
menunjukkan jati dirinya dan ingin mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Pengamatan ini cukup beralasan, terutama bila bertolak dari perspektif Perjanjian
Malino. Perjanjian yang ditandatangani 20 Desember 2001 itu merupakan wujud keinginan
kelompok yang bertikai—Muslim dan Nasrani—untuk mengakhiri konflik dengan
konsensus.
Lahirnya konsensus Deklarasi Malino untuk Poso telah memiliki ikatan politik,
ekonomi, dan sosial untuk mengakhiri segala bentuk perselisihan.
Testimoni perdamaian yang mengikat antarelite dan masyarakat: konflik itu merugikan
masyarakat Poso sendiri. Komunikasi politik yang ditangkap dari konflik itu bahwa
kesepakatan politik berupa power sharing merupakan jalan abadi untuk mencegah konflik.
Hanya saja, selama satu dekade terakhir, rentetan peristiwa—di antaranya penculikan dan
peledakan bom—masih tetap. Berdasarkan hasil kajian penulis, konflik berkepanjangan di
Poso bukanlah persoalan agama, melainkan perebutan kepentingan politik dan ekonomi
pribumi-pendatang.
Protes sosial jangan hanya dimaknai bahwa bom Poso itu adalah teror sesama warga.
Sebenarnya, pesan politik yang ingin disampaikan adalah apakah dinamika masyarakat yang
pernah mengalami trauma konflik murni karena dendam pihak tertentu ataukah karena
persoalan ketimpangan sosial.
Selayaknya pemerintah introspeksi diri apakah kesepakatan damai yang telah dicapai
sudah terimplementasi baik di lapangan atau belum. Sebab, jika pemerintah kurang
memberikan perhatian, protes sosial ini harus dimaknai bahwa pemerintah perlu lebih intens
dan optimal dalam membangun daerah konflik, baik berupa pelayanan publik maupun
infrastruktur, termasuk pemberdayaan masyarakat pribumi dan pendatang. Sederhananya,
Poso sebagai daerah bekas konflik yang terabaikan membutuhkan perhatian khusus.
Ketidakadilan yang mereka rasakan telah menimbulkan kekecewaan.
Pesan politik yang perlu juga disimak adalah seperti yang diungkapkan seorang tokoh
deklarasi Malino, Prof Dr Sulaiman Mamar (2007). Bahwa untuk memperbaiki hubungan
kedua kelompok yang bertikai adalah memperbaiki kehidupan ekonomi dengan segala
konsekuensi akibat dari konflik. Bahkan, menurut Guru Besar Universitas Tadulako ini,
faktor ekonomi akan menjadi perekat perdamaian dan penentu kesepakatan damai. Kuncinya
ada pada perbaikan ekonomi kerakyatan.

Penyebab terjadinya konflik :


Konflik ini terjadi sejak 25 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001. Peristiwa
Konflik Poso dimulai dari sebuah bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum akhirnya
menjalar menjadi kerusuhan bernuansa agama. Dari peristiwa ini, dirinci bahwa terdapat 577
korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. Kerusuhan
ini kemudian berakhir pada 20 Desember 2001 dengan ditandangani Deklarasi Malino antara
kedua belah pihak. 

Upaya penyelesaian konflik :


1. Setelah kerusuhan mulai mereda, Mabes Polri di Jakarta mendirikan Komando Lapangan
Operasi. 
2. Melalui kebijakan ini, operasi militer di Poso dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi. 
3. Pada tahun 2000 digelar Operasi Sadar Maleo. 
4. Pada pertengahan April 2004 terdapat Operasi Sintuwu Maroso. 
5. Satuan TNI dan Polri yang dimasukkan ke dalam operasi ini termasuk Brimob Polda Papua,
Brimob Polda Kalimantan Timur, Brimob Kelapa Dua Bogor, dan lain-lain. 
6. Konflik Poso ini diakhiri dengan penandatangan Deklarasi Malino, 20 Desember 2001. 
7. Deklarasi Malino adalah perjanjian damai antara pihak Kristen dan Islam. 
8. Sebelum penandatanganan, dirinci bahwa terdapat 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932
rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar. 
9. Kemudian pada Mei 2000 diklaim bahwa terdapat 840 mayat warga muslim ditemukan. 

KISAH PILU KERUSUHAN MEI 1998 DI JAKARTA, WARGA JARAH TOKO


HINGGA APARAT TEMBAKI PENJARAH
Ferry Budi Saputra - Sabtu, 22 Mei 2021 | 17:29 WIB

HAI-Online.com - Peristiwa Mei 1998 merupakan salah satu momen kelam bangsa
Indonesia. Sekaligus menjadi tragedi yang menewaskan banyak orang. Banyak toko yang
dijarah hingga kerusuhan yang membuat aparat menembaki penjarah.
Saat itu, kerusuhan terjadi bertepatan dengan gencarnya tuntutan dari masyarakat agar
Presiden Soeharto mundur dari jabatan yang sudah ia pegang selama lebih dari 32 tahun.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), peristiwa kerusuhan Mei 1998
mencatat lebih dari 1.000 orang tewas sepanjang bulan itu di Ibukota. Peristiwa ini juga
membuat empat orang mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta Barat tewas tertembak oleh
aparat pada 12 Mei 1998.
Terkait peristiwa kerusuhan Mei 1998, TGPF mengungkapkan peristiwa penembakan
mahasiswa itu menjadi faktor pemicu (trigerring factor) kasus kerusuhan yang lebih besar.
Salah satunya menimbulkan penjarahan di berbagai lokasi di Jakarta.
Salah satu saksi mata dalam kerusuhan tersebut, Wawan (bukan nama sebenarnya),
mengatakan, semua toko di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat, hancur dijarah massa,
"Saya masuk ke sebuah toko di daerah Jembatan Lima. Biasanya toko ini penuh barang
elektronik. Hari itu ludes, kosong melompong. Pemiliknya bersembunyi mengunci diri
beserta keluarganya di lantai dua," ujar Wawan.
Saat kejadian, dia masih duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah atas. Sekolahnya
diliburkan karena kerusuhan, “Sekolah diliburkan karena marak demonstrasi mahasiswa.
Lupa saya sampai kapan, kayaknya sampai Soeharto lengser masih diliburkan,” ujar Wawan,
dilansir dari Historia.
Bukan hanya itu, aparat keamanan juga mencoba mengendalikan keamanan dengan cara
keras. Para perusuh dihalau dengan rentetan tembakan, "Pas di Jembatan Lima lagi banyak
penjarah, ada helikopter mendekat. Nah, lalu keluar tuh orang-orang berseragam hitam
(aparat keamanan) dengan menenteng senapan, meluncur pakai tali dari helikopter ke bawah.
Massa langsung bubar,” ujar Wawan.
“Kalau di Glodok, ada tank dari arah Harmoni. Orang-orang berbaju hitam menembaki
orang-orang yang sedang menjarah Glodok,” imbuhnya.
Respon dari peristiwa tersebut, pemerintah kemudian membentuk TGPF pada 23 Juli 1998.
TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia
(Komnas HAM), LSM, serta organisasi kemasyarakatan.
Tugasnya adalah menemukan dan mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang kerusuhan
yang berlangsung selama tiga hari, dari tanggal 13-15 Mei 1998.
Dalam laporannya, TGPF menjelaskan bahwa pelaku kerusuhan terdiri dari tiga golongan,
yaitu:
 Massa aktif atau massa pendatang yang bergerak dengan terorgarnisasi
 Massa pasif atau massa lokal yang semula menonton lalu ikut
 Provokator yang menggerakkan atau memancing massa
Kerusuhan juga memakan banyak korban jiwa. Di wilayah Jakarta, TGPF menemukan
jumlah korban sebanyak 1.190 orang meninggal akibat terbakar, 27 orang meninggal akibat
senjata, dan 91 orang luka-luka. Seperti diketahui salah satunya korban meninggal terbanyak
terjadi di Mall Klender, saat itu orang-orang yang menjarah terjebak di dalam ketika gedung
terbakar.
Data lain dikumpulkan oleh Polda Metro (451 meninggal, korban luka-luka tidak tercatat);
Kodam Jaya (463 meninggal dunia termasuk aparat keamanan dan 69 orang terluka); dan
Pemprov DKI (288 orang meninggal dunia dan 101 luka-luka).
Hal yang memprihatinkan adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan massal,
penyerangan seksual, dan pelecehan seksual. TGPF mengumpulkan dan memverifikasi 52
korban pemerkosaan; 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan; 10 korban penyerangan
seksual; dan 9 korban pelecehan seksual. Sebagian besar kasus
kekerasan seksual menimpa perempuan Tionghoa.
Bagi yang pernah merasakan kerusuhan Mei 1998, tentu berharap kejadian seperti itu tidak
terulang lagi di Indonesia.

Penyebab terjadinya konflik :


1. Penyebab terjadinya kerusuhan Mei 1998 diawali oleh krisis finansial Asia pada tahun
1997.
2. Kerusuhan semakin memanas setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas
ditembak aparat di dalam kampus pada 12 Mei 1998.
3. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 kemudian mengakibatkan turunnya Soeharto dari
jabatannya sebagai Presiden Indonesia.

Upaya penyelesaian konflik :


1. Membangun kekuatan korban sebagai salah satu upaya perjuagan dalam penghapusan
impunitas
2. Pembentukan KPP HAM Kerusuhan Mei 1998
3. Meningkatkan sense of human rights dalam diri aparat penagak hukum khususnya
Kejaksaan Agung dan Kehakiman dan upaya penghapusan praktek-praktek Impunitas
4. Mencabut hak DPR dalam penentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam
kasus Pelanggaran HAM Berat
5. Mempertegas kedudukan Komnas HAM dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.
6. Pembuatan Undang-Undang Pengapusan Diskriminasi Rasial
7. Meratifikasi secara penuh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
oleh pemerintah Indonesia

Merdeka > Khas


MENGURAI KONFLIK PAPUA DAN SOLUSINYA
Selasa, 14 September 2021 06:06 Reporter : Merdeka

Merdeka.com - Konflik bersenjata sudah terjadi lebih dari 50 tahun di ujung timur
Indonesia. Antara sekelompok warga yang kini dicap sebagai teroris, dengan militer.
Berbagai pendekatan sudah coba dilakukan. Meredam gejolak di Papua.
Kebanyakan menggunakan pendekatan keamanan untuk mendukung kebijakan. Periode
kepemimpinan Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) pernah mencoba pendekatan damai. Namun tidak terwujud. Sebelumnya, periode
Presiden Soekarno memulai pendekatan militer. Periode Presiden Jokowi, selain pendekatan
pembangunan, juga masih mengandalkan pendekatan militer.
Kelompok yang paling merasakan ketakutan adalah kaum perempuan dan anak-anak. Jumlah
mereka di kantong pengungsian pun mendominasi. Semua pihak harus berpikir menghentikan
jatuhnya korban.
Penggunaan kekuatan militer untuk mengatasi konflik di Papua sudah terbukti bukan jalan
keluar. Penyelesaian dengan kekuatan senjata hanya menambah panjang daftar korban. Baik
dari pihak TNI, Polri, kelompok separatis, bahkan warga yang tidak bersalah. Pendekatan
politik yang saat ini diperlukan. Seperti ketika pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah
separatisme di Aceh.
"Itu dulu pernah dilakukan dengan Aceh dan hasilnya seperti yang kita lihat sekarang. Aceh
sudah damai dan pembangunan makin pesat," kata Komisioner Komnas HAM Ahmad
Taufan Damanik.
Kedua, pendekatan dengan fokus pada kesejahteraan warga Papua. Jika mereka
diikutsertakan dalam pembangunan, maka keinginan untuk merdeka diyakini bakal terkikis.
Warga Papua perlu diberikan bukti nyata, mereka bukan anak tiri Indonesia.
Tak kalah penting pendekatan kepastian hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang jadi PR besar di Papua. Penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia supaya
menjadi rujukan penghargaan terhadap kemanusiaan. [noe]

Penyebab terjadinya konflik :


1. Sejarah integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui referendum Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 terindikasi adanya kecurangan yang
dilakukan pemerintah Indonesia karena tidak sesuai dengan isi dari Perjanjian New
York, yaitu “one man one vote”;[22]
2. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan negara yang
berlangsung hingga saat ini;
3. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua yang terus meningkat; serta
4. Kegagalan pembangunan infrastruktur sosial yang terjadi di Papua, seperti fasilitas
kesehatan, pendidikan, serta ekonomi rakyat.
Upaya penyelesaian konflik :
1. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menuturkan, pendekatan dialog
dapat dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dialami
masyarakat Papua, seperti diskriminasi dan ketidakadilan. "Dialog damai sebagai
strategi penyelesaian siklus kekerasan dan membuka jalan untuk isu-isu lain,
ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya," kata Beka dalam diskusi
virtual bertajuk Menanti Perdamaian di Papua: Urgensi Penghentian Kekerasan,
Kamis (6/5/2021). B
2. Pemerintah harus memastikan penegakan hukum berjalan adil dan transparan.
Menurutnya, penegakan hukum ini tidak hanya berlaku bagi KKB, melainkan juga
kepada aparat TNI-Polri yang terbukti bersalah.
3. Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo memberikan saran
agar penyelesaian konflik di Papua diselesaikan dengan cara pendekatan kolaboratif.
Pemerintah, kata dia, perlu melakukan upaya pendekatan tersebut karena masalah di
Papua yang begitu kompleks. "Penyelesaian konflik di Papua diperlukan pendekatan
secara kolaboratif dan holistik. Persoalan Papua yang complicated dan multidimensi
ini perlu dipahami dalam spektrum yang lebih luas," kata Karyono dalam diskusi
bertajuk Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik,
Kamis (6/5/2021). Menurutnya, pendekatan kolaboratif dalam penyelesaian konflik di
Papua harus mensyaratkan kerja sama, interaksi dan kesepakatan bersama. Oleh
karenanya, dia beranggapan bahwa model pendekatan kolaboratif memungkinkan
untuk menjadi jalan keluar atas konflik di Papua. "
4. Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi meminta pemerintah bertindak tegas
terhadap tindakan diskriminatif berdasarkan ras atau rasialisme terhadap masyarakat
Papua. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan untuk mengakhiri siklus kekerasan yang
terjadi di Bumi Cendrawasih. Ia pun mengingatkan bagaimana pada 2019, aksi unjuk
rasa yang berujung kerusuhan terjadi di Manokwari. Peristiwa itu dipicu oleh kasus
persekusi dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur. "Ini tidak
boleh ada tindakan rasialisme itu. Semua rakyat Papua di seluruh Indonesia, itu tidak
boleh ada kejadian seperti di Yogyakarta, di Surabaya," kata Bobby, dalam diskusi
virtual bertajuk Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan
Holistik, Kamis (6/5/2021). Politikus Partai Golkar itu menegaskan, tindakan
rasialisme terhadap masyarakat Papua harus dihilangkan. Dia meminta, pemerintah
menindak tegas semua pihak yang masih melakukan praktik rasialisme. "Harus
ditindak sampai aktor-aktor intelektualnya, termasuk organisasi-organisasi yang
masih melakukan aksi-aksi rasialisme seperti itu," tegasnya.
5. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah Indonesia akan menempuh
pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah keamanan di Papua, yaitu
mengedepankan "operasi teritorial" dan bukan "operasi tempur". Hal ini disampaikan
Mahfud MD usai bertemu Panglima TNI yang baru, Jenderal Andika Perkasa, Kamis
(25/11) di Jakarta. "Intinya itu pendekatan [baru di] Papua itu adalah pembangunan
kesejahteraan yang komprehensif dan sinergis... Artinya pendekatan di Papua itu
bukan senjata, tapi kesejahteraan. "Pendekatan teknisnya, tentu, adalah operasi
teritorial, bukan operasi tempur," kata Mahfud MD dalam jumpa pers bersama
Panglima TNI, usai pertemuan tersebut, di kantornya.

Anda mungkin juga menyukai