Anda di halaman 1dari 29

DISKUSI KASUS

RESTORASI RESIN KOMPOSIT KAVITAS KELAS I

Oleh :
Nadiva Damara
2241412004

Pembimbing :

Dr. drg. DeliMona, Sp.KG

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN..................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................3
BAB I TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
1.1 Definisi Karies...........................................................................................3
1.2 Etiologi Karies...........................................................................................3
1.3 Patofisiologi Karies...................................................................................5
1.4 Klasifikasi Karies......................................................................................6
1.5 Klasifikasi Penyakit Pulpa dan Periapikal................................................8
1.6 Resin Komposit.......................................................................................12
1.7 Bonding Agent........................................................................................18
1.8 Preparasi Kavitas.....................................................................................22
BAB II DISKUSI KASUS....................................................................................26
BAB III TAHAPAN PEKERJAAN....................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
DAFTAR HADIR.................................................................................................35
DOKUMENTASI KEGIATAN..........................................................................36
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Karies


Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin
dan cementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya adalah adanya demineralisasi
jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya.
Akibatnya, terjadi invasibakteri dan kemampuan pulpa serta penyebaran
infeksinya kejaringan periapeks yang dapat menyebabkan nyeri. Walaupun
demikian, mengingat mungkinnya remineralisasi terjadi, pada stadium yang
sangat dini penyakit ini dapat dihentikan. (Kidd, 2013).
Karies merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi antara
mikroba acidogenik (penghasil asam) dengan mikroba asidurik (tahan asam) pada
permukaan gigi yang rentan serta dipengaruhi oleh seringnya asupan karbohidrat
yang dapat difermentasi. Lesi karies dapat berkembang dikarenakan
demineralisasi email, sementum, dan dentin oleh asam yang dihasilkan bakteri
plak pada saat melakukan metabolisme karbohidrat. Penyakit ini awalnya bersifat
reversibel dan dapat dihentikan apabila faktor penyebab plak atau biofilm tersebut
dihilangkan. Karies yang tidak diobati dapat berkembang menjadi inflamasi
pulpa, nekrosis dan infeksi (Seltzer dan Bender, 2012).

1.2 Etiologi Karies


Karies merupakan suatu penyakit multifaktorial karena mencakup empat
faktor yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor penyebab karies gigi adalah host,
agen atau mikroorganisme dalam plak gigi, substrat atau diet, dan waktu. Selain
faktor-faktor tersebut, penyebab timbulnya kerusakan gigi yang lain adalah
pengalaman karies gigi, kurangnya penggunaan fluor, oral hygiene yang buruk,
jumlah bakteri, saliva, pola makan dan jenis makanan juga sangat berpengaruh
pada kerusakan gigi.
Gambar Empat lingkaran yang menggambarkan faktor-faktor penyebab karies
yang saling berikatan
a) Mikroorganisme
Mikroorganisme sangat berperan dalam menyebabkan karies.
Streptococcus mutans dan Lactobacillus merupakan 2 dari 500 bakteri
yang terdapat pada plak gigi dan merupakan bakteri utama penyebab
terjadinya karies. Plak adalah suatu massa padat yang merupakan
kumpulan bakteri yang tidak terkalsifikasi, melekat erat pada permukaan
gigi, tahan terhadap pelepasan dengan berkumur atau gerakan fisiologis
jaringan lunak. Plak akan terbentuk pada semua permukaan gigi dan
tambalan, perkembangannya paling baik pada daerah tepi gingival, pada
permukaan proksimal, dan di dalam fisur. Bakteri yang kariogenik tersebut
akan memfermentasi sukrosa menjadi asam laktat yang sangat kuat
sehingga mampu menyebabkan demineralisasi.
b) Substrat atau makanan
Makanan yang mempengaruhi karies gigi dapat dilihat dari :
bentuk fisik, jenis hidrat arang, dan kekerapan konsumsi (Beck, 2011).
Pengaruh pola makan dalam proses karies biasanya lebih bersifat lokal
dari pada sistemik, terutama dalam hal frekuensi mengonsumsi makanan.
Sondang dan Hamada (2008) menjelaskan bahwa setiap kali seseorang
mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat
(tinggi sukrosa) maka beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut
akan memulai memproduksi asam sehingga terjadi demineralisasi yang
berlangsung selama 20-30 menit setelah makan.
c) Host (Gigi)
Morfologi setiap gigi manusia berbeda-beda, permukaan oklusal
gigi memiliki lekuk fisur yang bermacam-macam dengan kedalaman yang
berbeda pula. Gigi dengan lekukan yang dalam merupakan daerah yang
sulit dibersihkan dari sisa- sisa makanan yang melekat sehingga plak akan
mudah berkembang dan dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Karies
gigi sering terjadi pada permukaan gigi yang spesifik baik pada gigi susu
maupun gigi permanen. Gigi susu akan mudah mengalami karies pada
permukaan yang halus sedangkan karies pada gigi permanen ditemukan di
permukaan pit dan fisur.
d) Waktu
Karies merupakan penyakit yang berkembangnya lambat dan
keaktifannya berjalan bertahap serta merupakan proses dinamis yang
ditandai oleh periode demineralisasi dan remineralisasi. Kecepatan karies
anak-anak lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan kerusakan gigi
orang dewasa.

1.3 Patofisiologi karies


Mekanisme proses penyakit karies sama pada semua jenis karies. Proses
ini dimulai dari pembentukan plak biofilm. Bakteri asidogenik dalam plak biofilm
memfermentasi karbohidrat dalam makanan dan menghasilkan asam organik
seperti laktat, formic, asetat, dan propionat. Asam tersebut berdifusi melalui
biofilm plak ke dalam email, dentin, atau sementum dan diuraikan untuk
menghasilkan ion hidrogen. Ion hidrogen tersebut akan mempercepat pelarutan
mineral gigi dan menghasilkan pelepasan kalsium dan fosfat serta menurunkan pH
(<5,5) di dalam plak. Demineralisasi ini dapat dikembalikan oleh kalsium, fosfat,
dan fluoride yang berdifusi ke dalam gigi sehingga menyebabkan remineralisasi
kembali. Proses remineralisasi dan demineralisasi ini akan berlangsung secara
terus menerus dan menyebabkan pembentukan kavitas. Kecepatan pembentukan
kavitas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya komposisi bakteri plak
biofilm, diet, konsentrasi fluoride, dan komponen saliva (Seltzer dan Bender,
2012).
1.4 Klasifikasi Karies
a. Klasifikasi Karies menurut WHO
Klasifikasi tingkat keparahan karies gigi menurut WHO,
dikategorikan menjadi lima kategori yaitu:
a.Tingkat keparahan sangat rendah dengan nilai DMF-T sebesar 0,0-
1,0.
b. Tingkat keparahan rendah dengan nilai DMF-T sebesar 1,2-2,6.
c. Tingkat keparahan sedang dengan nilai DMF-T sebesar 2,7-4,4.
d. Tingkat keparahan tinggi dengan nilai DMF-T sebesar 4,5-6,5.
e. Tingkat keparahan sangat tinggi dengan nilai DMF-T sebesar >6,6
(Ghani dan Tjahja, 2015).

b. Klasifikasi Karies Menurut G. V. Black

Kelas I.
Karies yang terjadi pada bagian oklusal (pits dan fissure) dari gigi
premolar dan molar (gigi posterior, gigi 4-8).Dapat juga terdapat
pada gigi anterior di foramencaecum.
Kelas II.
Karies yang terdapat pada bagian approximal (mesial dan distal) dari
gigi-gigi molar atau premolar (gigi posterior, gigi 4-8), yang
umumnya meluas sampai bagian oklusal.
Kelas III.
Karies yang terdapat pada bagian approximal dari gigi depan, tetapi
belum mencapai margo incisalis. Lubang di permukaan gigi yang
menghadap ke langit-langit.
Kelas IV.
Kelanjutan Kelas III. Karies telah meluas dari approximal dari gigi-
gigi depan dan sudah mencapai margo incisalis.
Kelas V.
Karies yang terdapat pada bagian 1/3 leher gigi-gigi depan atau
permukaan halus dan fasial maupun gigi belakang pada permukaan
labial, lingual, palatal ataupun bukal dari gigi.Lebih dominan timbul
dipermukaan yang menghadap kebibir dan pipi dari pada lidah.
Kelas VI.
Karies yang terdapat pada incisal edge dan cusp oklosal pada gigi
belakang yang disebabkan oleh abrasi, atrisi atau erosi.

c. Klasifikasi Karies Menurut G. J. Mount and Hume


Berdasarkan site (lokasi)
a. Site 1 : karies terletak pada pit dan fissure di permukaan oklusal
gigi anterior maupun posterior.
b. Site 2 :karies terletak di area kontak gigi (proksimal), baik anterior
maupun posterior.
c. Site 3 :karies terletak di daerah servikal atau pada 1/3 mahkota,
termasuk enamel/permukaan akar yang terbuka.
Berdasarkan size (ukuran).
a. Size 0 : lesi dini berupa white spot.
b. Size 1 : kavitas minimal, belum melibatkan dentin.
c. Size 2 : Adanya keterlibatan dentin. Perawatan dengan preparasi
kavitas dimana gigi tersebut masih kuat untuk mendukung.
d. Size 3 : kavitas yang berukuran lebih besar, sehingga preparasi
kavitas di perluas agar restorasi dapat digunakan untuk melindungi
struktur gigi yang tersisa dari retak/patah.
e. Size 4 : sudah terjadi kehilangan sebagian besar struktur gigi
seperti cups/sudut insisal (Graham, 2009).
d. Klasifikasi Karies Menurut ICDAS (International Caries Detection
and Assessment System)

ICDAS mengkalisifikasikan karies berdasarkan tingkat kedalaman


karies :
a. D0 : gigi yang sehat.
b. D1 : Perubahan awal pada email yang tampak secara visual.
Biasa dilihat dengan cara mengeringkan permukaan gigi, dan
tampak adanya lesi putih di gigi.
c. D2 : Perubahan pada email yang jelas tampak secara visual.
Terlihat lesi putih pada gigi, walau gigi masih dalam keadaan
basah.
d. D3 : Kerusakan email, tanpa keterlibatan dentin.
e. D4 : Terdapat bayangan dentin (tidak kavitas pada dentin).
Karies pada tahap ini sudah menuju dentin, berada pada
perbatasan dentin dan email (Dentino Enamel Junction).
f. D5 : Kavitas karies yang tampak jelas dan juga terlihatnya
dentin (Karies sudah mencapai dentin).
g. D6 : Karies dentin yang sudah sangat meluas (melibatkan
pulpa) (Sebastian dan Johnson, 2015)

1.5 Klasifikasi Penyakit Pulpa dan Periapikal


Karies yang dibiarkan tidak dirawat, akan terus berlanjut hingga akhirnya
menyebabkan terjadinya penyakit pulpa. Penyakit pulpa dapat terjadi karena
disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti kondisi mekanis, termal, elektrik dan
iritasi kimia, trauma dan masalah periodontal. Berdasarkan klasifikasi American
Association of Endodontics (AAE) pada tahun 2013, diagnosa yang tepat untuk
penyakit pulpa dan periapikal didasarkan pada bukti histologis yang dilengkapi
dengan temuan radiografi dan klinis.
Penyakit pulpa diklasifikasikan menjadi:
a. Pulpa normal
Kondisi klinis yang ditandai dengan pulpa tanpa adanya gejala dan
memberikan respon normal terhadap pemeriksaan pulpa. Meskipun,
kondisi pulpa tidak normal secara histologi, secara klinis pulpa normal
menunjukkan respon yang ringan dan bersiafat sementara ketika diberikan
stimulus panas dan dingin, berakhir tidak lebih dari satu atau dua detik
setelah stimulus dihilangkan. Sebelum melakukan diagnosis, perlu
dilakukan pengujian pada gigi yang berdekatan atau kontralateral terlebih
dahulu agar tidak terjadi bias saat pasien merespon uji panas dan dingin.
b. Pulpitis reversibel
Diagnosis dapat ditegakkan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan
objektif yang menunjukkan kondisi inflamasi yang masih dapat
dihilangkan dan pulpa kembali normal jika etiologi dihilangkan. Rasa
tidak nyaman dapat terjadi ketika stimulus seperti dingin atau manis
diberikan dan hilang dalam beberapa detik bersamaan dengan stimulus
yang dihilangkan. Rasa sakitnya pendek dan tajam tetapi tidak spontan.
Terjadi peningkatan ambang tekanan intrapulpa lokal, dan menurunkan
stimulasi ambang batas untuk serabut saraf A-delta. Secara histologis,
ditandai dengan gangguan sel radang pada lapisan odontoblastik dengan
adanya pembuluh darah yang melebar. Etiologi khusus yang dapat terjadi
seperti dentin yang telah terbuka (sensitifitas dentin), karies atau restorasi
yang besar. Tak 18 ada perubahan radiografi yang signifikan pada daerah
periapikal gigi yang disuspek serta rasa sakit yang juga tidak bersifat
spontan. Perlu dilakukan evaluasi yang lebih jauh untuk memastikan
apakah kondisi pulpitis reversibel telah kembali ke kondisi normal.
c. Pulpitis ireversibel simtomatik
Diagnosisnya memerlukan pemeriksaan subjektif dan objektif ditandai
dengan inflamasi pulpa yang tidak mampu mengalami penyembuhan dan
perlu dilakukan perawatan saluaran akar. Karakteristiknya seperti rasa
sakit yang tajam ketika diberikan stimulus panas, rasa sakit yang terus
menerus ada biasanya 30 detik atau lebih setelah stimulus dihilangkan.
Rasa sakit spontan (tanpa adanya stimulus). Terkadang rasa sakit dapat
dipengaruhi perubahan postur tubuh seperti berbaring atau kondisi
membungkuk. Etiologinya seperti karies dalam, restorasi yang lebar, atau
kondisi fraktur yang menyebabkan terbukanya jaringan pulpa. Pada
beberapa kasus, anamnesis dan uji termal menjadi cara utama untuk
mengevaluasi kondisi pulpa.
d. Pulpitis ireversibel asitomtomatik
Dapat didiagnosis secara klinis dengan pemeriksaan subjektif dan objektif
yang ditandai dengan pulpa yang mengalami peradangan dan tidak mampu
mengalami penyembuhan serta diindikasikan untuk dilakukan perawatan
saluran akar. Kasus dengan kondisi ini tidak memiliki tandatanda klinis
dan biasanya merespon secara normal terhadap uji termal.
e. Nekrosis pulpa
Kondisi klinis yang ditandai dengan kematian jaringan pulpa dan perlu
dilakukan perawatan saluran akar. Pulpa tidak merespon saat dilakukan
pemeriksaan dan bersifat asimtomatik. Nekrosis pulpa sendiri tidak
menyebabkan periodontitis apikal (rasa sakit saat dilakukan perkusi atau
hasil radiografi disebabkan karena kerusakan tulang) kecuali jika
salurannya telah terinfeksi. Beberapa gigi mungkin tidak memberikan
respon terhadap hasil pemeriksaan karena adanya kalsifikasi, riwayat
trauma, atau gigi benar-benar tidak merespon. Hal ini perlu diperhatikan
untuk memastikan apakah gigi benar-benar telah nekrosis.
f. Jaringan apikal normal
Ditandai dengan kondisi tidak sensitif saat diperkusi atau dipalpasi dan
juga secara radiografi, lamina dura disekeliling gigi dalam kondisi baik
dan ruang ligamen periodontal teratur. Seperti pemeriksaan pulpa,
pengujian 19 komparatif untuk perkusi dan palpasi harus selalu dimulai
dengan gigi normal sebagai dasar untuk pasien agar tidak terjadi bias.
g. Periodontitis apikal simtomatik
Ditandai dengan kondisi peradangan. Biasanya daerah apikal jaringan
periodonsium menunjukkan gejala klinis yang melibatkan rasa sakit
sebagai respon saat mengunyah atau ketika diperkusi dan dipalpasi. Hal ini
mungkin saja tidak disertai dengan adanya perubahan pada hasil
radiografi, tergantung pada keparahan penyakitnya, mungkin dijumpai
ligamen periodontal yang normal atau mungkin juga dapat dijumpai
daerah radiolusen pada periapikal. Rasa sakit yang parah saat diperkusi
atau dipalpasi mengindikasikan diperlukannya perawatan saluran akar.
h. Periodontitis apikal asimtomatik
Periodontitis apikal asimtomatik merupakan kondisi inflamasi dan
destruksi jaringan periodonsium bagian apikal yang berasal dari pulpa.
Kondisi ini menunjukkan adanya radiolusen pada daerah apikal dan tidak
menunjukkan tanda tanda klinis (tak ada rasa sakit saat diperkusi dan
palpasi).
i. Abses apikal kronis
Abses apikal kronis merupakan reaksi inflamasi terhadap infeksi dan
nekrosis pulpa yang ditandai dengan onset bertahap, sedikit atau tanpa
adanya rasa tak nyaman dan kadang-kadang disertai adanya pus melalui
sinus tract. Hasil radiografi secara khusus menunjukkan tanda-tanda
kerusakan tulang. Untuk mengidentifikasi sumber sinus tract, gutta-percha
secara hati-hati ditempatkan melalui stoma. Insersi gutta-percha dilakukan
sampai tertahan dan selanjutnya baru lakukan radiografi untuk
memastikannya.
j. Abses apikal akut
Abses apikal akut merupakan reaksi inflamasi terhadap infeksi dan
nekrosis pulpa yang ditandai dengan onset cepat, rasa sakit spontan, rasa
sakit saat diberikan tekanan yang sangat pelan pada gigi, terbentuknya pus
dan pembengkakan pada jaringan disekitarnya, bisa saja tak ada tanda-
tanda radiografi adanya kerusakan dan biasanya disertai rasa tidak
nyaman, demam, dan limfadenopati.
k. Kondensing osteitis
Kondensing osteitis ialah kondisi yang ditandai dengan lesi radiopak difus
yang menunjukkan adanya reaksi pada tulang secara terlokalisasi terhadap
stimulus inflamasi yang ringan dan biasanya terlihat pada daerah apeks
gigi.

1.6 Resin Komposit


Resin komposit menurut ilmu kedokteran gigi secara umum adalah
penambahan polimer yang digunakan untuk memperbaiki enamel dan dentin.
Resin komposit merupakan tumpatan sewarna gigi yang merupakan gabungan
atau kombinasi dua atau lebih bahan kimia berbeda dengan sifat- sifat unggul.
Resin komposit dapat pula didefinisikan sebagai material yang tersusun dari
matriks organik dan partikel bahan pengisi anorganik yang dihubungkan oleh
coupling agent. Resin komposit digunakan untuk mengganti struktur gigi dan
memodifikasi bentuk dan warna gigi sehingga akhirnya diharapkan dapat
mengembalikan fungsinya. Resin komposit memiliki tiga komponen atau bahan
utama yaitu resin matriks sebagai komponen organik, partikel bahan pengisi atau
filler sebagai bahan anorgnik, dan bahan coupling agent yang menyatukan kedua
bahan organic dan anorganik Selain mengandung tiga komponen utama tersebut,
resin komposit juga mengandung pigmen warna agar resin komposit dapat
menyerupai warna struktur gigi dan inisiator serta aktivator untuk mengaktifkan
mekanisme pengerasan ( Noort, 2013; Wataha, 2017).
1.6.1 Komponen Resin
 Resin matriks
Bahan komposit kedokteran gigi menggunakan monomer yang
merupakan diakrilat aromatik atau alipatik. Bis-GMA, urethan
dimetakrilat (UEDMA) dan trietilen glikol dimetakrilat (TEGDMA)
adalah dimetakrilat yang umum digunakan dalam komposit gigi
(Anusavice, 2004).
 Partikel bahan pengisi (filler)
(filler) dimasukkan kedalam matriks resin untuk mengurangi kontraksi
polimerisasi, mengurangi koefisien muai termis komposit, meningkatkan
sifat mekanis komposit. Untuk memastikan estetik dari restorasi
komposit, ketransparanan bahan pengisi harus serupa dengan struktur
gigi (Annusavice, 2003).
 Bahan pengikat (coupling agents)
(coupling agents) pada umumnya merupakan bahan yang dapat
meningkatkan sifat mekanis, fisik, dan memberikan kestabilan hidrolitik
dengan mencegah air menembus sepanjang antar bahan pengisi dan resin
(Annusavice, 2003).
 Sistem aktivator-inisiator
Monomer metil metakrilat dan dimetil metakrilat berpolimerisasi dengan
mekanisme polimerisasi tambahan yang diawali oleh radikal bebas.
Radikal bebas dapat berasa; dari aktivasi kimia atau pengaktifan energi
eksternal (Annusavice, 2003).
 Bahan penghambat
Bahan penghambat digunakan untuk meminimalkan atau mencegah
polimerisasi spontan dari monomer bahan penghambat ditambahkan pada
sistem resin. Bahan tersebut mempunyai potensi yang kuat dengan
radikal bebas (Susanto, 2005).
 Modifier optik
Warna visual dan translusensi diperlukan untuk menyerupai struktur dan
warna gigi yang didapatkan dengan menambahkan pigmen yang berbeda,
seringkali terdiri dari oksidasi logam berbeda yang ditambahkan dalam
jumlah sedikit (Annusavice, 2003).
1.6.2 Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dan Kontraindikasi penggunaan resin komposit menurut ADA
Indikasi
 Resin preventive pada pit dan fisur
 Restorasi pada tempat-tempat yang memerlukan estetika
 Restorasi pada pasien yang alergi atau sensitivitas terhadap logam
 Sebagai bahan base lining atau core builtup
 Semen untuk restorasi indirect resin
 Splinting
Kontraindikasi
 Tekanan oklusal yang besar
 Pasien dengan alergi atau sensitivitas terhadap material komposit.
Keunggulan
 Memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dibandingkan dengan
amalgam, dan penggunaan jangka panjang tidak akan menghasilkan toksik
maupun merkuri yang berbahaya
 Memiliki nilai estetik yang baik karena menyerupai warna gigi asli
 Warna yang menyerupai struktur gigi
 Pengaplikasiannya yang mudah dan efisien ke dalam kavitas
 Memiliki kompresif streght yang tinggi
Kelemahan
 Menyerap cairan sehingga mudah terjadi diskolorasi setelah pemakaian
jangka panjang
 Isolasi daerah kerja harus bebas dari saliva agar mengurangi terjadi
kebocoran bahan tumpatan
 Tidak memiliki kemampuan melepaskan flour
 Terjadinya mickroleage atau kebocoran tepi restorasi
 Polymerization shrinkage
 Sensitivitas pasca penambalan
 Marginal Leakage
1.6.3 Klasifikasi Resin Komposit
A. Berdasarkan bahan pengisi utamanya
a. Resin Komposit Konvensional (Makrofil)
Mempunyai ukuran bahan partikel pengisi yang relatif besar yaitu
rata- rata 8-12um dan banyaknya pengisi umumnya 70- 80% berat
atau 60-65% volume. Resin komposit konvensional ini terbuat dari
quartz yang digiling Ukuran bahan pengisi resin komposit yang
relative besar ini menjadikan permukaan resin komposit jenis
konvensional atau makrofil kasar dan tahan terhadap abrasi,
sehingga sering digunakan sebagai bahan restorasi pada bagian
posterior. Permukaan yang kasar pada resin komposit konvensional
ini juga menjadi kekuranganya yaitu mudah menyerap cairan
sehingga rentan terjadi diskolorasi (Anusavice, 2013, Manaphallil,
2007)
b. Resin Komposit Berbahan pengisi Kecil (Mikrofil)
Resin komposit konvensional dianggap memiliki struktur yang
terlalu besar dan kasar sehingga resin komposit mikrofil
dikembangkan untuk mengatsi masalah tersebut dengam bahan
utama yaitu menggunakan silika kolonial. Resin komposit mikrofil
memiliki ukuran partikel kurang lebih 0,04-0,4 µm, ukuran
partikelnya yang kecil menjadikan bahan restorasi ini kekuatan
terhadap fraktur yang rendah tetapi memiliki permukaan yang halus
sehingga etetiknya cukup baik (Anusavice, 2013)
c. Resin Komposit Hybrid
Resin komposit hybrid merupakan resin komposit kombinasi antara
resin komposit konvensional (makrofil) dan resin komposit berbahan
partikel kecil (mikrofil) yang mempunyai ukuran partikel filler rata-
rata sebesar 0,6-1,0 um.
 Resin Komposit Mikrohibrid : merupakan gabungan antara
resin komposit makrofil dan mikrofil. Komposit ini
dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan
restorasi yang kuat namun tetap estetik, sehingga resin
komposit mikrohibrid lebih unggul dibandingkan dengan
resin komposit mikrofil (Anusavice, 2013; Wataha, 2017).
 Resin Komposit Nanohibrid : merupakan gabungan antara
komposit mikrofil dan komposit nanofil. Komposit
nanohibrid memiliki kekuatan yang baik serta permukaan
yang baik ketia dipoles (Anusavice, 2003 ; St, Paul. 2010)
d. Resin Komposit Nanofil
Komposit nanofil mempunyai ukuran partikel yang sangat kecil
yaitu rata- rata sekitar 0,005-0,01 um sehingga memiliki kekuatan
dan permukaan yang sangat kuat dan estetik. Partikel nano yang
kecil menjadikan resin komposit nanofil dapat mengurangi
polymryzation shrinkage dan mengurangi adanya microfissure pada
tepi email yang berperan pada marginal leakage, dan perubahan
warna (Cabe and Walls, 2012).
B. Berdasarkan viskositasnya
a. Resin Komposit Packable
Packable merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut
resin komposit pasta yang memiliki viskositas tinggi (Powers &
Sakaguchi, 2006). Resin komposit packable mengandung muatan
filler sebanyak 60-70% volume. Peningkatan viskositas resin
komposit terjadi karena komposisi filler yang tinggi, sehingga resin
komposit packable menjadi kental dan sulit mengisi celah pada
kavitas yang kecil. Semakin besar komposisi filler, semkakin
mengurangi pengerutan selama polimerisasi. Viskositas yang tinggi
ini akan memudahkan saat diaplikasikan pada gigi. Viskositas yang
tinggi membuat resin jenis ini sulit untuk mencapai adaptasi
marginal yang optimal, untuk mengatasi ini, klinisi dapat
mengaplikasikan flowable resin komposit terlebih dahulu
sepanjang marginal bagian proximal untuk memperbesar adaptasi
(Heymann et al., 2006)
b. Resin Komposit Flowable
Resin komposit flowable mempunyai muatan filler sekitar 42-53%
volume. Komposit flowable umumnya memiliki kandungan filler
yang lebih sedikit dan memiliki sifat fisik serta mekanis yang lebih
rendah dibandingkan dengan resin komposit jenis lain yang
mengandung filler lebih banyak. Resin jenis ini juga memiliki
resiko polimerisasi shrinkage yang lebih tinggi (Heymann et al.,
2006). Resin komposit aktivasi sinar ini memiliki viskositas yang
rendah sehingga dapat dengan mudah mengisi kavitas kecil.
Material ini cocok digunakan untuk restorasi pada daerah cercival,
restorasi pada anak-anak dan restorasi pada bagian yang tidak
mendapatkan tekanan yang tinggi (Powers & Sakaguchi, 2006).
1.6.4 Sifat Komposit
Ada beberapa aspek untuk melihat sifat komposit yaitu koefisien muai
thermal, menyerap air, ketahanan aus, tekstur permukaan, modulus elastisitas,
pengerutan polimerisasi, dan mikroleakage. Koefisien muai thermal komposit tiga
kali lebih tinggi dari pada gigi, sehingga saat terjadi perubahan suhu, ekspansi
komposit lebih banyak terjadi. Hal ini menyebabkan restorasi menjadi longgar.
Masalah ini dapat diatasi dengan filler lebih banyak. Komposit dapat menyerap
air, sehingga menyebabkan restorasi gagal. Hal ini dapat dicegah dengan filler
yang banyak. Komposit rentan terhadap aus. Ketahan aus komposit dipengaruhi
oleh tempat restorasi, hubungan kontak oklusi, ukuran, bentuk, dan isi filler.
Ukuran dan komposisi filler komposit dapat menentukan kehalusan permukaan.
Contohnya yaitu komposit mikrofill dapat memberikan permukaan yang halus.
Modulus elastisitas memengaruhi kekakuan bahan. Komposit mikrofill memiliki
modulus elastisitas lebih rendah dari komposit hybrid, sehingga menyebabkan
mikrofil lebih fleksibel. Pengerutan polimerisasi dapat menyebabkan adanya
ruang kosong terbentuk. Mikroleakage dapat menyebabkan masuknya bakteri.
1.6.5 Derajat Konversi
Ada beberapa hal yang memengaruhi derajat konversi yaitu waktu
penyinaran, warna komposit, jarak dan sudut antara cahaya dan resin, suhu
komposit, ketebalan resin, intensitas cahaya, dan jenis filler. Waktu penyinaran
dipengaruhi oleh shade komposit, intensitas cahaya yang digunakan, kedalaman
preparasi, dan ketebalan resin. Shade komposit yang lebih gelap memiliki waktu
polimerisasi lebih lambat dibandingkan shade yang terang. Jarak yang disarankan
yaitu 1 mm dan harus pada sudut 90 derajat terhadap resin. Jika kavitasnya lebih
dalam, maka dapat digunakan lampu dengan densitas daya tinggi sekitar 600
mW//cm2 agar lapisan yang lebih dalam dapat terpolimerisasi. Sebaiknya
komposit dibiarkan di suhu ruangan satu jam sebelum digunakan. Ketebalan resin
untuk mendapatkan polimerisasi optimal yaitu 0,5-1 mm. Intensitas cahaya yang
optimal yaitu gelombang cahaya 400-500 nm. Komposit microfine lebih sulit
disinar daripada komposit heavily loaded.
1.7 Bonding Agent
Adhesi merupakan proses atraksi antara molekul yang berbeda, seperti
bahan bonding dengan substrat gigi yang terjadi pada permukaan interfasial.
Menurut annusavice (2003) terdapat beberapa teori dalam fenomena adesif :
1. Teori mekanis : adesif terjadi karena adanya interlock
(penguncian) secara mekanis yang erat hubungannya dengan
kekasaran dan ketidakteraturan dari permukaan bahan aderen.
2. Teori adsorpsi : adesi terjadi karena ikatan kimia di antara bahan
adesif dengan aderen.
3. Teori difusi : adesi terjadi karena hasil perlekatan antara molekul
yang bergerak.
4. Teori elektrostatis : adesi membentuk lapisan ganda elektrik pada
daerah antarmuka antara logam dengan polimer, kemudian akan
menyatukan substansi tersebut.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi adhesi yaitu :
 Wetting : Gaya tarik menarik antara molekul perekat dan perekat yang
tergantung pada dua faktor yaitu kebersihan permukaan dan energi
permukaan yang baik.
 Contact angle : Sudut yang terbentuk antara permukaan tetesan cairan
dengan permukaan yang menempel. Semakin kuat daya tarik menarik
antar adhesive dan adherent maka semakin kecil contact anglenya.
 Surface Energy : Permukaan yang keras memiliki energi permukaan
yang tinggi dan adhesiv yang tinggi.
 Surface Contamination : Permukaan yang bersih memiliki adhesi yang
lebih baik.
Klasifikasi adhesive terdiri dari :
 Adhesive generasi 1
Generasi ini dikembangkan pada tahun 1960-an. Mekanismenya adalah
penetrasi yang dalam dari resin tag ke dalam tubulus dentin yang terbuka
setelah etsa dan komponen yang dapat berikatan dengan kalsium dari
komponen dentin. Generasi ini terdiri dari 2 tahap pengerjaan yaitu etsa
enamel dan aplikasi adhesive. Kekurangannya adalah memiliki kekuatan
ikatan yang rendah (2-3 MPa), tidak direkomendasikan untuk etsa dentin,
dan hilangnya kekuatan ikatan dari waktu ke waktu.
 Adhesive generasi 2
Generasi ini dikembangkan pada tahun 1970-an dan terdiri dari 2 tahap
kerja yaitu etsa enamel dan aplikasi adhesive. Bonding ini memiliki ikatan
yang rendah (4–6MPa), kurang stabil di antara permukaan bonding dan
resin, dan tidak direkomendasikan untuk etsa dentin.
 Adhesive generasi 3
Generasi ini terdiri dari tiga tahap pengerjaan yaitu etsa enamel,
aplikasi primer, dan agen adhesive. Keuntungannya yaitu memiliki ikatan
yang lebih tinggi (8-15 MPa) dan mengurangi kebocoran mikro.
Kerugiannya adalah menurunnya kekuatan ikatan seiring waktu dan
meningkatnya kebocoran mikro seiring waktu.
 Adhesive generasi 4
Generasi ini terdiri dari tiga tahap kerja yaitu total etching, aplikasi
primer, dan aplikasi adhesive. Generasi ini menggunakan teknik etsa total
dan konsep ikatan lembap. Keuntungannya yaitu ikatan yang kuat dengan
email dan dentin, kekuatan ikatan tinggi (17-25 MPa), dan dapat digunakan
pada bahan porselen dan alloy. Kekurangannya adalah waktu dan jumlah
langkah lebih banyak serta teknik sensitif.
 Adhesive generasi 5
Generasi ini menggunakan dua tahap kerja yaitu total etching dan
aplikasi primer serta bonding agent. Generasi ini dikenal juga dengan nama
“one bottle”. Keuntungannya yaitu memiliki kekuatan ikatan yang tinggi,
mudah digunakan, sensitivitas teknik kecil, jumlah langkah sedikit, dan
bonding agent dapat diaplikasikan langsung ke permukaan yang
dipreparasi. Kekurangannya yaitu kekuatan ikatan lebih rendah dari pada
generasi ke-4.
 Adhesive generasi 6
Generasi ini terdiri dari etsa, primer, dan bonding yang tersedia dalam
satu botol. Generasi ini menggunakan self etch primer. Bonding ini
memiliki kekuatan ikatan lebih rendah dari generasi ke4 dan 5. Generasi ini
dapat mengurangi sensitivitas pasca operasi.
 Adhesive generasi 7
Generasi ini menggunakan satu konsep yaitu komponen tersedia
sebagai komponen tunggal, yang mana menghindari kesalahan saat
pencampuran. Generasi ini memiliki kekuatan ikan yang baik dan sedikit
atau tidak ada sensitivitas pasca operasi. Kekurangannya adalah rentan
terhadap fase pemisahan.

Gambar 1. 10 Klasifikasi adhesive

Dalam perkembangannya, bahan adhesif di Kedokteran Gigi dikenal


sebagai bahan bonding karena kemampuannya tidak hanya sekedar melekatkan,
tetapi juga dapat saling mengikat, mengait dan mengunci secara erat . Sistem
adhesif terdiri atas tiga tahapan apikasi yaitu: a) kondisioner, digunakan untuk
membersihkan dinding kavitas sehingga siap menerima bahan bonding dentin; b)
Primer, berfungsi untuk meningkatkan adhesi bahan bonding dentin pada dinding
kavitas; c) Bahan bonding dentin, yang dapat menembus ke dalam tubuli
dentinalis dan mengikat bahan tumpatan resin komposit (Combe, 1992).
Resin komposit merupakan material restorasi adhesif sewarna gigi yang
terdiri atas polimer matriks resin, bahan pengisi (filler) inorganik dan silane
coupling agent. Material ini dapat berikatan dengan struktur gigi secara
mikromekanis serta mudah diperbaiki apabila terjadi kerusakan (Heymann dkk,
2012). Resin komposit berikatan dengan struktur gigi secara mikromekanis
melalui penggunaan etsa asam dan bahan adhesif. Ikatan dengan email melalui
pembentukan resin tag, sedangkan dengan dentin melalui pembentukan hybrid
layer antara kolagen fibril dan bahan adhesif. Hybrid layer merupakan suatu
lapisan yang terbentuk oleh monomer resin yang berinfiltasi diantara kolagen
fibril dan hidroksiapatit (Singh dkk, 2015). Gabungan polimer-kolagen akan
menghasilkan ikatan yang kuat dan saling menyambung antara bahan adhesif dan
dentin, terutama di dentin intertubular (Perdigão dkk, 2012).
a. Adhesi email
Resin komposit berikatan dengan jaringan gigi melalui bahan
adhesif. Secara umum, perbaikan struktur gigi dengan restorasi resin
terdiri atas 3 tahap, yaitu: etsa asam, priming dan bonding, meskipun
saat ini tersedia pula self-adhesive resins. Asam fosfat (pH = 1)
merupakan etsa yang paling banyak digunakan (Bertasson dkk,
2012). Etsa asam pada email membuat permukaan email yang halus
menjadi permukaan yang tidak teratur dan meningkatkan energi
bebas pada permukaannya. Saat bahan resin komposit di aplikasikan
pada permukaan email yang kasar, bahan resin akan berpenetrasi
kedalam permukaan, monomer akan terpolimerisasi dan
menghasilkan kekuatan interlock pada permukaan email (Roberson,
2006). Ketika bahan adhesif yang mengandung resin diaplikasikan,
resin berpenetrasi melalui aksi kapiler. Monomer resin
berpolimerisasi dan berikatan dengan permukaan email. Mekanisme
utama adhesi resin-email melalui pembentukan resin microtags di
permukaan email (Perdigão dkk, 2012). Lamanya waktu perendaman
etsa asam pada email akan sangat mempengaruhi bentuk dan kualitas
email. Umumnya etsa asam menggunakan asam fosfat selama 15
detik sudah cukup untuk menghasilkan mikrotag ada permukaan
email (Powers dan Sakaguchi, 2006).
b. Adhesi dentin
Dentin terdiri dari tubulus dentin yang berisi cairan dentin yang
menyebabkan dentin menjadi suatu substrat yang dinamik sehingga
sangat sulit untuk melekat pada bahan adhesif. dentin terdiri dari
50% mineral kalsium fosfat (hidroksiapatit), 30% bahan organik
(terutama kolagen tipe I), dan sejumlah besar air. Adhesi di dentin
memiliki tantangan tersendiri. Bahan adhesif berikatan dengan
dentin secara mekanis dan kimiawi (Yoshida dkk, 2000 ; Perdigão
dkk, 2012). Prinsip utama adhesi dentin adalah penetrasi monomer
adhesif di antara kolagen fibril yang terbuka oleh etsa asam (Singh
dkk, 2008 ; Perdigão dkk, 2012). Syarat suatu bahan adhesif/
bonding dentin yang ideal, yaitu: dapat berikatan dengan dentin dan
mencapai kekuatan yang setara atau lebih dari kekuatan ikat terhadap
email, mencapai kekuatan ikat yang maksimal dalam waktu singkat,
biokompatibel, tidak mengiritasi jaringan pulpa, mencegah
kebocoran mikro, stabil dalam jangka waktu lama di lingkungan
mulut, mudah diaplikasikan (Jensen M, 2015).
Setelah pemberian etsa asam, bahan adhesif diaplikasikan di atas
permukaan dentin yang lembab. Bila dentin terlalu kering, kolagen
akan kolaps dan ikatan yang terbentuk inadekuat. Dentin gigi non
vital juga tidak boleh dikeringkan berlebihan dalam prosedur adhesif
dan harus dikondisikan seperti dentin gigi vital (wet bonding), jika
tidak maka hasil ikatan yang terbentuk tidak kuat. Kelebihan air
pasca pembilasan etsa asam dapat dihilangkan menggunakan sponge
kecil atau tip aplikator sehingga diperoleh dentin yang lembab.
Bahan adhesif/ bonding dentin (primer dan bonding) diaplikasikan di
permukaan dentin selama 15-20 detik, menggunakan brush atau tip
aplikator. Gerakan agitasi atau mengusap ringan dapat digunakan
selama aplikasi untuk memfasilitasi infiltrasi bahan ke permukaan
dentin yang telah dietsa. Semprotan udara ringan selama 5-10 detik
setelah aplikasi bahan adhesif berguna untuk menguapkan pelarut
bahan adhesif, baik yang menggunakan aseton maupun etanol
(Jensen M, 2015).

1.8 Preparasi Kavitas


Prinsip preparasi kavitas oleh GV Black yang menekankan “perluasan
untuk pencegahan” telah dipraktekkan oleh para dokter gigi selama lebih dari
100 tahun. Seiring dengan berkembangnya klasifikasi GV Black, radiografi masih
belum berkembang sehingga menyebabkan karies semakin meluas tanpa bisa
terdeteksi. Hal ini menyebabkan kavitas harus dipreparasi dan pembuatan retensi
berdasarkan dari prinsip Carpenter, menjadikan struktur gigi yang tersisa tidak
menjadi perhatian penting.
Namun fakta yang muncul bahwa struktur dan jaringan gigi yang sehat
yang tersisa akibat pengambilan yang banyak tersebut membuat struktur gigi
menjadi rapuh dan tidak kuat menahan beban kunyah dan ikatan bahan restorasi,
akibatnya resiko fraktur gigi menjadi lebih besar. Pemeliharaan struktur gigi yang
sehat harus mejadi tujuan utama pada setiap perawatan gigi karena proses
terjadinya karies gigi dan mekanisme kerja fluorida sebagai agen pencegah karies
semakin dipahami. Oleh karena itu muncul pendekatan baru penanganan karies
gigi berupa Minimum Intervention Dentistry (MID).
MID adalah sebuah konsep untuk memastikan gigi dapat terus berfungsi
seumur hidup. MID merupakan pendekatan modern penanganan karies gigi yang
diawali dengan proses identifikasi, perawatan pencegahan dan upaya restorasi
yang seminimal mungkin (Leman, 2009). Manajemen dalam MID diantaranya
mengidentifikasi semua faktor risiko perkembangan penyakit, mendeteksi karies
sedini mungkin, meminimalkan pengangkatan jaringan karies, lebih
mengutamakan memperbaiki dibandingkan mengganti restorasi yang rusak
(Frencken, 2017).
Beberapa prinsip MID yang relevan dalam perawatan karies diantaraya,
atraumatic restorative technique (ART) yang digunakan untuk sealant dan
restorasi, silver diamine fluoride untuk pencegahan karies, dan teknik hall untuk
karies pada gigi geraham sulung. Keuntungan MID adalah biaya lebih murah,
trauma minimal dan menggunakan pendekatan biologik bukan mekanis (Bernabe,
2020).
The World Dental Federation (FDI) membuat lima prinsip MID dalam
menangani, yaitu:
1. Mengurangi bakteri kariogenik. Karies gigi adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, maka fokus utama adalah
mengontrol infeksi, kontrol plak, dan mengurangi makanan
berkarbohidrat
2. Pendidikan kepada pasien, memberitahukan penyebab karies dan
cara menjaga kebersihan rongga mulut. Sehingga ada tindakan
pencegahan yang lebih dini dari pasien.
3. Remineralisasi dari lesi non-cavited pada enamel dan dentin.
Saliva berperan penting dalam proses demineralisasi dan
remineralisasi, sehingga perlu pemeriksaan terhadap kuantitas dan
kualitas saliva. Lesi karies berupa white spot merupakan lesi non-
cavited yang dapat di rawat menggunakan metode remineralisasi.
4. Minimal operative intervention pada lesi cavited. Tindakan operatif
dilakukan bila perlu, misalnya lesi karies tidak dapat dipertahankan
untuk fungsi dan estetik Operative intervention harus berfokus
pada struktur alami gigi dan terbatas pada pembuangan jaringan
enamel atau dentin yang terinfeksi. Bahan restorasi pada preparasi
kavitas yang minimum dapat berupa glass ionomer cement dan
atau resin komposit.
5. Memperbaiki restorasi yang rusak berfungsi untuk mencegah
perluasan karies, memperbaiki fungsi dan estetik.

Prinsip preparasi-restorasi pada MID:


 Hanya mengambil jaringan karies atau terdemineralisasi saja,
email yang tidak didukung dentin sehat dan pemeliharaan struktur
gigi yang sehat sebanyak mungkin (konsep minimally invasive
yaitu prevention of extension)
 Hanya mengeliminasi caries-infected dengan mempertahankan
caries-affceted (diharapkan remineralisasi dan pulpa terlindungi)
dan jaringan sehat
 Bentuk kavitas yang dibuat sesuai dengan bentuk karies
 Dasar enamel didukung oleh bahan adhesif restoratif
 Berubah dari retensi makromekanis ke retensi mikromekanis
(adhesif resin) dan retensi kimia (resin modified ionomer
adhesive)
 Extension for preventive to prevention of extension
 Prinsip black convenience form dan toilet of cavity tetap
digunakan.

MID dengan menggunakan resin komposit telah merevolusi teknik


restorasi di bidang kedokteran gigi. Persyaratan yang menjadi dasar penggunaan
MID resin dalam kedokteran gigi adalah adhesi yang efektif ke email dan dentin
(Meyer et al., 2013). Penggunaan bahan resin komposit sesuai dengan MID
karena restorasi resin komposit hanya menghilangkan defek (karies, fraktur, atau
material restorasi yang rusak) dan struktur gigi yang rapuh untuk preparasi gigi,
tidak perlu membuang semua unsupported email kecuali jaringan lemah dan
rapuh karena bonded restorasi menguatkan gigi. Tidak diperlukan kedalaman
uniform, desain dinding, bentuk retentif atau bentuk marginal spesifik.
Penyederhanaan prosedur menghasilkan preparasi dimodifikasi (modified
preparation) dimungkinkan karena sifat fisik material dan ikatan kuat yang
didapatkan antara resin komposit dan struktur gigi.
BAB II
DISKUSI KASUS

Data pasien
Nama : Pasien (DBP)
No. RM : 018957
Tempat/Tanggal Lahir: Padang/19 Maret 2000
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Alai
Golongan Darah :O
Status Pernikahan : Belum
Menikah Agama : Islam
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Swasta
No. Hp 081268122682

Pemeriksaan Subjektif
Chief Complain
Pasien datang ke RSGM Unand dengan keluhan gigi belakang bawah terasa
ngilu saat makan dan minum yang dingin.

Riwayat perjalanan penyakit


Pasien sudah mengeluhkan hal tersebut sejak 3 bulan yang lalu dan belum
pernah melakukan perawatan apapun pada gigi tersebut. Pasien merasakan gigi
terkadang sakit saat ada makanan yang menyangkut, ngilu saat makan dan minum
yang dingin.
Riwayat Kesehatan Oral
Pasien pernah ke dokter gigi 6 bulan yang lalu untuk membersihkan
karang gigi. Pasien menyikat gigi 2x sehari, pagi saat mandi dan malam sebelum
tidur. Pasien kadang menggunakan obat kumur dan tidak pernah menggunakan
dental floss.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat keluarga pasien yaitu ayah dan ibu dicurigai tidak memiliki penyakit sistemik.
Riwayat Kehidupan Pribadi/Sosial
Pasien merupakan seorang pegawai swasta yang memiliki waktu istirahat
6-8 jam per hari, mengonsumsi air putih yang cukup, sering mengonsumsi
makanan manis dan lengket, dan jarang mengonsumsi buah dan sayur.
Riwayat Kesehatan Utama
Pasien dicurigai tidak memiliki penyakit sistemik. Pasien tidak
mengonsumsi obat rutin dan tidak memiliki alergi obat atau makanan. Pasien
belum pernah dirawat di rumah sakit.

Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan Ekstra Oral
a) Mata : TAK
b) Bibir : TAK
c) TMJ : Clicking
d) Kelenjar
Submandibular : TAK (tidak teraba dan tidak sakit)
Submental : TAK (tidak teraba dan tidak sakit)
Servikal : TAK (tidak teraba dan tidak sakit)
Pemeriksaan Intra Oral
Jaringan Lunak
Mukosa bibir : TAK
Mukosa pipi : Linea
Alba Dasar mulut :
TAK
Lidah : scalloped tounge
Gingiva : TAK
Keterangan Medik Dental Lainnya

Odontogram

Keterangan
17 : O car sup 
28 : O car sup 
27 : O car sup 
26 : O car med
36 : O car sup
47 : O car sup
46 : VO car med
Kasus
Terdapat kavitas pada gigi 46, karies kelas I, site 1 size 2
S/Gigi berlubang
O/VO car med (1,2)

Sondasi (+)
Perkusi (-)
Palpasi (-)
Thermal (+)
A/Pulpitis Reversible
Pro/Restorasi resin komposit Kavitas Klas 1
Foto Klinis Gigi Sebelum Perawatan

Anda mungkin juga menyukai