Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Hormon prolaktin adalah hormon yang dibentuk di lobus anterior kelenjar


hipofisis. Hormon ini merangsang pertumbuhan, differensiasi dan produksi kelenjar
mammae; selain itu prolaktin menghambat pelepasan lutenizing hormone (LH) dan
follicle-stimulating hormone (FSH). Hormon ini juga menghambat intake glukosa
di dalam sel dan sistem imun seluler (Silbernagl & Lang, 2017).
Peningkatan kadar prolaktin (hiperprolaktinemia) dapat bersifat fisiologis,
patologis atau diinduksi obat. Pasien dengan hiperprolaktinemia dapat tetap
asimtomatik atau dapat muncul dengan tanda dan gejala hipogonadisme dan
galaktorea (Pagana et al., 2017).
Hiperprolaktinemia di Amerika serikat terjadi pada kurang dari 1% populasi
umum dan 5% hingga 14% pasien dengan amenore sekunder. Hiperprolaktinemia
merupakan salah satu gangguan endokrin yang mempengaruh fungsi reproduksi.
Prevalensinya mencapai 9-17% pada wanita dengan gangguan reproduksi
Peningkatan kadar prolaktin juga dapat ditemui pada penyakit ginjal kronis dan
inflamasi hati kronis (Shenenberger, 2022).
Infertilitas adalah masalah kesehatan global yang mempengaruhi 12-14% dari
pasangan di seluruh dunia dan tetap stabil dalam beberapa tahun terakhir. Estimasi
kadar prolaktin serum juga dianjurkan pada wanita dengan infertilitas yang tidak
dapat dijelaskan, setiap ketidakteraturan menstruasi dengan atau tanpa hirsutisme,
galaktore dengan atau tanpa amenorrea, cacat fase luteal, anovulasi, anovulasi
perdarahan, dan pubertas tertunda. Prolaktin pada pria diperiksakan apabila
ditemukan libido yang menurun atau impotensi, produksi sperma yang tidak efisien,
disfungsi ereksi, infertilitas, ginekomasti dan galaktore (Lau & Aw, 2019).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelenjar hipofisis
Kelenjar pituitari, yang disebut juga hipofisis, merupakan kelenjar kecil
dengan diameter kira-kira 1 sentimeter dan berat 0,5 sampai 1 gram. Kelenjar
ini terletak di sela tursika, yakni rongga tulang pada dasar tengkorak dan
dihubungkan dengan hipotalamus oleh tangkai hipofisis. Kelenjar hipofisis
terbagi atas dua lobus yang sangat berbeda dalam hal asal embriologikal,
struktur maupun fungsinya, yaitu hipofisis anterior, disebut juga adenohipofisis
dan hipofisis posterior, disebut juga neurohipofisis. Diantara kedua bagian ini
terdapat daerah kecil, yang relatif avaskuler yang disebut pars intermedia yang
pada manusia tidak terlalu berkembang (Hall, 2016).

Gambar 1. Kelenjar hipofisis (Rifai et al., 2019)

Kelenjar hipofisis memiliki dua asal embriologikal, yaitu:


1. Bagian infundibulum dari diensefalon yang berkembang secara inferior.
Disusun oleh neuroektoderm dan membentuk neurohipofisis.
Neurohipofisis akan berhubungan langsung dengan hipotalamus. Akson
dari sel-sel neurosekretorik di hipotalamus akan berkembang secara
perlahan menjadi batang hipofisis dan berakhir di kelenjar hipofisis
posterior.

2
2. Merupakan pertumbuhan lanjutan dari rongga mulut primitif yang dikenal
sebagai kantung Rathke, yang akan berkembang secara superior. Tersusun
atas lapisan ektoderm dan akan membentuk adenohipofisis. Hipofisis
anterior tidak berhubungan langsung dengan hipotalamus (Appleton,
2019).
Kantung Rathke mulai tampak pada usia kehamilan tiga minggu dan
pada akhirnya pada minggu gestasi kedelapan akan terpisah dari rongga
mulut dan pembuluh darah yang ada padanya; suplai darah untuk hipofisis
anterior kemudian digantikan oleh pembuluh darah portal hipotalamus
(Appleton, 2019).

Tabel 1. Berbagai sel dan hormon kelenjar hipofisis anterior dan fungsi fisiologisnya
(Sherwood, 2016)
Hormon Sel sasaran Fungsi fisiologis
Growth hormone Tulang; jaringan Merangsang pertumbuhan tulang
(GH) lunak; hati dan jaringan lunak, sekresi IGF-1,
lipolisis, menghambat kerja insulin
pada metabolisme karbohidrat dan
lemak.
Adenocorticotrophic Zona fasikulata dan Merangsang produksi
hormone (ACTH) zone retikularis glukokortikoid dan androgen oleh
korteks adrenal korteks adrenal; mempertahankan
ukuran zona fasikulata dan zona
retikularis pada korteks.
Thyroid-stimulating Sel folikel tiroid Merangsang produksi hormon tiroid
hormone (TSH) oleh sel folikuler tiroid;
mempertahankan ukuran sel
folikuler.
Follicle-stimulating Wanita: folikel Merangsang perkembangan folikel
hormone (FSH) ovarium ovarium; mengatur spermatogenesis
Laki-laki: tubulus dalam testis.
seminiferous di
testis
Luteinizing Wanita: folikel Menyebabkan ovulasi dan
hormone (LH) ovarium dan korpus pembentukan korpus luteum dalam
luteum ovarium; merangsang produksi
Laki-laki: sel estrogen dan progesterone oleh
interstitium Leydig ovarium; merangsang produksi
di testis testosteron oleh testis.
Prolactin (PRL) Kelenjar mammae Merangsang produksi dan sekresi air
susu.

3
Kelenjar hipofisis anterior mulai mensekresi gonadotropin (LH dan
FSH) dalam jumlah yang hampir sama dengan kadar dewasa sesaat setelah
proses kelahiran. Sekresi akan menurun secara cepat hingga kadar yang
sangat rendah dalam waktu 2 tahun dan akan dipertahankan hingga
pubertas, maturasi seksual dimulai pada masa ini (Appleton, 2019).
Kelenjar hipofisis anterior mengandung beberapa jenis sel berbeda
yang mensintesis dan mensekresi hormon. Terdapat satu jenis sel untuk
setiap hormon utama yang dibentuk dalam kelenjar hipofisis anterior.
Hormon-hormon tersebut seperti tercantum pada Tabel 1 (Sherwood, 2016).
Hampir semua sekresi oleh hipofisis diatur baik oleh hormon maupun
sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus. Sekresi kelenjar hipofisis
anterior diatur oleh hormon-hormon yang disebut hormon pelepas
hipotalamus dan hormon penghambat hipotalamus yang disekresi dalam
hipotalamus dan selanjutnya disalurkan ke hipofisis anterior melalui
pembuluh-pembuluh darah kecil yang disebut pembuluh darah portal
hipotalamus-hipofisis (Gruber & Farag, 2021).

Tabel 2. Hormon-hormon yang disekresi hipotalamus dan efeknya terhadap sekresi


dari hormon hipofisis anterior (Sherwood, 2016)
Hormon Sel target pada Efek pada kelenjar
kelenjar hipofisis hipofisis anterior
anterior
Growth hormone releasing Somatotropik ↑ Pelepasan GH
hormone (GHRH)
Growth hormone inhibiting Somatotropik dan ↓ Pelepasan GH dan TSH
hormone (GHIH) tirotropik
Corticothropin releasing Kortikotropik ↑ Pelepasan ACTH
hormone (CRH)
Gonadothropin releasing Gonadotropik ↑ Pelepasan LH dan FSH
hormone (GnRH)
Thyrotrophin releasing Tirotropik dan ↑ Pelepasan LH dan
hormone (TRH) laktotropik prolactin
Prolactin releasing hormone Laktotropik ↑ Pelepasan prolaktin
Dopamine Laktotropik ↓ Pelepasan prolaktin

4
Gambar 2. Struktur prolaktin (Saleem et al., 2018)

B. Hormon prolaktin
Hormon prolaktin adalah salah satu hormon hipofisis anterior yang
terdiri dari 199 polipeptida asam amino yang mengandung tiga disulfida
intramolekuler. Gen prolaktin terletak di kromosom 6. Faktor yang
mempengaruhi ekspresi gen prolaktin antara lain: estrogen, dopamin, TRH dan
hormon tiroid. Prolaktin disintesis dalam laktoprop, yang merupakan sekitar
10-30% dari sel-sel hipofisis anterior. Prolaktin beredar dalam darah dalam
berbagai ukuran, yakni monomer, dimerik dan polimer. Bentuk monomer
adalah bentuk yang paling aktif. Struktur prolaktin dapat dilihat pada Gambar
2 (Barret et al., 2016).
Reseptor prolaktin merupakan bagian dari reseptor sitokin dan terletak di
kromosom 5p13. Reseptor ini diekspresikan di jaringan payudara, hipofisis,
hati, korteks adrenal, ginjal, prostat, ovarium, testis, usus, epidermis, sel
pankreas, paru, miokardium, otak dan limfosit. Pengikatan prolaktin ke
reseptor prolaktin akan mengaktifkan janus kinase2 (JAK2) yang nantinya
akan memfosforilasi beberapa tyroside residues di prolaktin. Hal ini
menyebabkan pengikatan dan fosforilasi signal transducer and activator of
transcription-5 (STAT5) yang kemudian berdisosiasi dari reseptor. Dua
molekul STAT5 yang telah terfosforilasi kemudian masuk ke dalam nukleus
dan menyebabkan perubahan ekspresi gen dengan cara mengikat promotor gen
target. Prolaktin akan mengaktifkan arus tegangan rendah dan tinggi untuk

5
menginduksi perubahan aktivitas listrik. Tegangan rendah tergantung dari
transient receptor potential (TRP) channel. Tegangan tinggi membutuhkan
BK-type K+ channel dan L-type Ca2+ channel yang bergantung dari aktivasi
phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K), namun mekanisme tepatnya tidak
diketahui. Jalur pensinyalan yang diinduksi oleh prolaktin ini terlihat pada
Gambar 3 berikut ini (Kaiser & Ho, 2016; Georgescu et al., 2021).

Gambar 3. Jalur pensinyalan yang diinduksi prolaktin di neuron (Georgescu et


al., 2021)

Prolaktin terutama disintesis dan disekresikan oleh sel laktotrop di


hipofisis anterior; sel desidua uterus dan sel stroma juga mensekresi prolaktin,
tetapi kedua metode sekretori dan penyimpanannya berbeda. Prolaktin yang
disintesis oleh sel laktotrop hipofisis membentuk agregat besar ketika melewati
kompleks Golgi, dan disimpan dalam bentuk butiran sekretori yang terikat
dengan protein penyimpanan. Prolaktin yang disekresikan oleh jaringan
hipofisis tidak membentuk granula sekretori. Ada dua cara utama untuk

6
mensekresi prolaktin yakni sekresi langsung dan sekresi granula
sekretori. Sekresi prolaktin terutama di bawah rangsangan penghambatan
melalui neuron tubero infundibular dopamine (TIDA). Prolaktin merangsang
neuron TIDA di nukleus arkuarta hipotalamus yang akan meningkatkan
pelepasan dopamin yang selanjutnya akan menghambat pelepasan prolaktin
oleh hipofisis anterior (Biagetti & Simo, 2021; Georgescu et al., 2021).

Gambar 4. Prolaktin dan reseptor dopamin di sel laktotrop (Biagetti & Simo, 2021)

Reseptor dopamin adalah bagian dari the superfamily of G protein-


coupled receptors dan terdiri dari lima tipe, mulai dari D1 sampai D5. Di sel
laktotrop, reseptor D2 melalui G0 mengaktifkan jalur phosphatidylinositol 3-
kinase (PI3K), dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) untuk mencegah
proliferasi laktotrop. Autocrine released prolactin berikatan dengan reseptor
prolaktin dan, melalui the Janus kinase2-signal transducer and activator of
transcription-5 (JAK2-STAT5), (PI3K-Akt-mTOR) atau jalur MAPK,
memediasi perubahan transkripsi, diferensiasi, dan proliferasi. Ketika dopamin
berikatan dengan D2R, sekresi prolaktin dan proliferasi laktotrop terhambat.
Dalam beberapa detik setelah mengikat, dopamin mengaktifkan K+ channels
yang mengarah ke hiperpolarisasi membran dan inaktivasi voltage-gated
calcium channels. Secara berurutan, terjadi pengurangan kalsium bebas

7
intraseluler, sehingga mengakibatkan penghambatan pelepasan prolaktin dari
butiran sekretori. Dalam beberapa menit hingga jam, dopamin menekan
aktivitas adenylyl cyclase dan menurunkan metabolisme inositol fosfat,
menghasilkan penekanan ekspresi gen prolaktin, seperti yang digambarkan
pada Gambar 4 (Biagetti & Simo, 2021).
Sekresi prolaktin juga dirangsang oleh prolactin releasing factor seperti
TRH, oksitosin, neuropeptida, kehamilan, rangsangan mammae, stress dan
obat-obatan. Prolaktin memfasilitasi pelepasan dopamin dari eminensia
mediana dan kemudian memberikan feedback negatif untuk menghambat
sekresinya sendiri. Prolaktin juga mengontrol sekresinya melalui autocrine
loop. Prolaktin yang dihasilkan akan merangsang produksi dan perkembangan
kelenjar mammae, selain itu juga membantu fungsi metabolisme, kekebalan
tubuh dan proliferatif. Sekresi dan regulasi tersebut dapat dilihat pada Gambar
5 (Biagetti & Simo, 2021).

Gambar 5. Sekresi dan regulasi prolaktin (Biagetti & Simo, 2021)

Prolaktin menghambat gonadotropin di ovarium. Mekanisme ini


mencegah ovulasi pada wanita yang menyusui atau pada wanita dengan tumor
yang mensekresi prolaktin. Peranan prolaktin pada pria masih belum diketahui
secara pasti, namun dalam jumlah berlebih dapat menimbulkan impotensi.

8
Hormon estrogen dan progesteron penting untuk perkembangan fisik mammae
selama kehamilan, tetapi pengaruh khusus dari kedua hormon ini adalah
menghambat sekresi mammae yang sesungguhnya. Sebaliknya, hormon
prolaktin mempunyai efek yang berlawanan dan merangsang sekresi mammae.
Prolaktin disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior ibu, dan konsentrasinya
dalam darah ibu meningkat secara tetap dari minggu kelima kehamilan sampai
kelahiran bayi, meningkat menjadi 10 sampai 20 kali dari kadar normal saat
tidak hamil. Plasenta juga mensekresikan sejumlah besar chorionic human
somatomammotropin (human placental lactogen), yang bersifat laktogenik,
sehingga menyokong fungsi prolaktin selama kehamilan. Meskipun demikian,
karena efek supresi estrogen dan progesteron, hanya beberapa mililiter cairan
yang disekresi setiap hari sampai bayi dilahirkan. Cairan yang disekresi selama
beberapa hari terakhir sebelum dan beberapa hari pertama setelah persalinan
disebut kolostrum; kolostrum terutama mengandung protein dan laktosa dalam
konsentrasi yang sama seperti air susu, tetapi hampir tidak mengandung lemak,
dan laju maksimum produksinya adalah sekitar 1/100 laju produksi air susu
berikutnya (Hall., 2016; Kaiser & Ho. 2016; Marshall et al., 2017; Rifai et al.,
2019).
Kadar basal sekresi prolaktin kembali ke kadar sewaktu tidak hamil
setelah bayi dilahirkan. Sinyal saraf dari mammae ke hipotalamus
menyebabkan lonjakan sekresi prolaktin sebesar 10 sampai 20 kali lipat yang
berlangsung kira kira 1 jam setiap kali ibu menyusui bayinya. Prolaktin ini
bekerja pada mammae ibu untuk mempertahankan kelenjar mammae agar
mensekresi air susu ke dalam alveoli untuk periode laktasi berikutnya.
Mammae akan kehilangan kemampuannya untuk memproduksi air susu dalam
waktu sekitar 1 minggu apabila terjadi kerusakan hipotalamus atau hipofisis,
atau apabila laktasi tidak berlanjut. Produksi mammae dapat berlangsung
selama beberapa tahun bila anak terus mengisap, walaupun laju pembentukan
air susu biasanya jauh berkurang setelah 7 sampai 9 bulan. Sekresi dan regulasi
prolaktin ini bisa dilihat di Gambar 5 di bawah ini (Hall, 2016).

9
Hipotalamus berperan penting dalam mengatur sekresi prolaktin, seperti
pada hampir semua hormon-hormon hipofisis anterior lain, akan tetapi,
pengaturan ini berbeda dalam satu aspek. Hipotalamus terutama merangsang
pembentukan semua hormon yang lain, tetapi terutama menghambat
pembentukan prolaktin. Kerusakan hipotalamus atau penghambatan sistem
portal hipotalamus-hipofisis sering meningkatkan pembentukan prolaktin
tetapi menekan sekresi hormon-hormon hipofisis anterior lain (Hall., 2016).
Prolaktin dimetabolisasi di ginjal dan hati. Produksi prolaktin berkisar
antara 200-536 g/hari/m2 dan metabolic clearance berkisar 40-71
mL/menit/m2. Prolaktin dibersihkan secara cepat, dengan waktu paruh mulai
dari 26 hingga 47 menit. Sekresi prolaktin terjadi secara episodik dalam 4-14
secretory pulse selama 24 jam dan masing-masing berlangsung hingga 26
menit dengan kadar tertinggi dicapai saat tidur dan terendah antara pukul 10
pagi sampai siang. Tingkat prolaktin pada wanita maupun pria menurun seiring
usia (Kaiser & Ho, 2016).
Siklus ovarium dan ovulasi pada sebagian besar ibu yang menyusui tidak
kembali seperti semula sampai beberapa minggu setelah penyapihan.
Penyebabnya adalah sinyal-sinyal saraf yang sama dari mammae ke
hipotalamus yang menyebabkan sekresi prolaktin selama pengisapan-baik
karena sinyal-sinyal saraf tersebut atau karena efek peningkatan prolaktin
menghambat sekresi hormon-hormon pelepas gonadotropin oleh hipotalamus.
Inhibisi ini menekan pembentukan hormon-hormon gonadotropik hipofisis-
hormon luteinisasi, dan hormon perangsang folikel. Hipofisis mulai
mensekresi hormon-hormon gonadotropik untuk mengembalikan siklus seks
bulanan pada ibu yang menyusui bayinya untuk jangka waktu yang tidak lama,
walaupun menyusui dilanjutkan (Barrett et al., 2016).

10
C. Hiperprolaktinemia
1. Etiologi dan patogenesis
Hiperprolaktinemia adalah salah satu gangguan endokrin paling
umum, dari sumbu ovarium hipotalamus-hipofisis yang mempengaruhi
fungsi reproduksi yang dapat bersifat fisiologis, patologis atau dapat terjadi
secara sekunder akibat penggunaan beberapa obat. Kadar prolaktin yang
tinggi secara fisiologis dapat ditemukan pada saat kehamilan, menyusui,
stress, pada saat tidur, coitus dan latihan. Penyebab hiperprolaktinemia
dapat dilihat pada Gambar 5 (Kaiser & Ho, 2016).
Ukuran kelenjar hipofisis akan membesar dua kali lipat atau lebih
selama kehamilan, akibatnya terjadi peningkatan sel yang memproduksi
prolaktin dan penurunan relatif sel penghasil hormon yang lain.
Konsentrasi hormon prolaktin meningkat sampai 10 kali selama kehamilan
dan kadar prolaktin di cairan amnion 100 kali lebih banyak daripada ibu
ataupun darah fetus, pada saat menyusui, kadar prolaktin meningkat 8,5
kali normal (Kaiser & Ho, 2016).
Penyebab patologis hiperprolaktinemia disebabkan oleh adenoma
yang memproduksi prolaktin, kelainan di hipotalamus-hipofisis, penyakit
ginjal kronis, kegagalan hepar, dan hipotiroid. Peningkatan kadar prolaktin
telah dilaporkan pada 30% pasien dengan hipotiroidisme primer.
Hipotiroidisme umumnya terkait dengan hiperprolaktinemia dan pasien
tersebut menunjukkan kegagalan ovulasi. Oleh karena itu, penilaian dari
TSH dan serum prolaktin wajib dalam pemeriksaan pada semua wanita
infertil (Lau & Aw, 2019).
Beberapa obat dapat meningkatkan produksi prolaktin. Obat yang
menekan dopamin merupakan penyebab yang paling sering meningkatkan
prolaktin pada individu yang sehat, ketika terjadi peningkatan kadar
prolaktin, riwayat pemakaian obat-obatan harus segera dikonfirmasi.
Penghambat reseptor dopamin seperti fenotiazin dan antagonis dopamin
seperti metoklopramid dan domperidon serta estrogen dapat menyebabkan
peningkatan prolaktin yang signifikan. Obat psikiatri tertentu seperti

11
haloperidol, risperidon, selective serotonin reuptake inhibitors, dan
monoamine oxidase inhibitors dapat menyebabkan meningkatnya kadar
prolaktin. Obat antihipertensi seperti beta blockers dan calcium channel
blockers serta antihistamin juga terkait dengan sedikit peningkatan
prolaktin (Rifai et al., 2022).

Gambar 6. Etiologi hiperprolaktinemia (Serri et al., 2003)

2. Gambaran klinis
Hiperprolaktinemia menyebabkan hipogonadisme pada wanita dan
pria. Hiperprolaktinemia pada wanita menyebabkan ketidakteraturan siklus
menstruasi (amenore dan oligomenore), kesulitan terjadinya kehamilan
pada wanita dengan siklus menstruasi teratur dan galaktorea. Penurunan

12
kadar estrogen akibat hiperprolaktinemia juga menyebabkan osteoporosis
dengan cara menghambat pembentukan tulang dan meningkatkan resorpsi
tulang. Hipoestrogen ini juga menyebabkan gangguan fungsi seksual
wanita seperti hasrat dan gairah seksual, lubrikasi, kepuasan seksual dan
dispareunia. Hiperandrogenemia dapat terjadi pada 25% wanita
hiperprolaktinemia, karena terjadinya peningkatan DHEA adrenal,
akibatnya adalah hirsutisme ringan. Hiperprolaktemia pada pria tidak
hanya menjadi tanda pertama dari libido yang menurun atau impotensi,
namun juga menyebabkan produksi sperma yang tidak efisien, disfungsi
ereksi, infertilitas, ginekomasti dan galaktore (Law & Aw, 2019; Kutlesic
et al, 2020).
Prolaktinoma adalah salah satu adenoma hipofisis yang paling
umum menjadi penyebab hiperprolaktinemia dan merupakan suatu
neoplasma jinak pada kelenjar hipofisis yang mensekresi prolaktin. Kadar
prolaktin pada darah umumnya pararel dengan ukuran tumor. Gangguan
neurologis pada prolaktinoma didapatkan apabila diameter adenoma lebih
dari 10 mm, berupa sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat
terjadinya penekanan kiasma optikum (Kutlesic et al, 2020).
3. Hiperprolaktinemia dan infertilitas pada wanita
Hiperprolaktinemia menyebabkan anovulasi dan infertilitas. Kadar
prolaktin yang tinggi menekan GnRH melalui pengurangan kisspeptins dan
menurunkan LH, estrogen ovarium dan progesteron, hal tersebut
mengakibatkan ketidakteraturan menstruasi (amenore atau oligomenore),
infertilitas, penurunan libido dan galaktore. Sebuah hipotesis baru
menyatakan bahwa kisspeptin bisa menjadi sangat penting untuk
menjelaskan tentang terjadinya anovulasi dan infertilitas pada keadaan
hiperpolaktinaemia. Kisspeptins, merupakan suatu neuropeptida yang
dikodekan oleh gen KISS1, adalah stimulator neuron gonadothropin
releasing hormone (GnRH) dan penting untuk pematangan pubertas serta
regulasi reproduksi. Kisspeptin diekspresikan dalam arkuata hipotalamus
dan inti periventrikular anteroventral (Kutlesic et al, 2020).

13
Polycystic ovarian syndrome (PCOS) dan hiperprolaktinemia
adalah dua etiologi paling umum dari anovulasi pada wanita. Prevalensi
PCOS berdasarkan kriteria Rotterdam diperkirakan 4-21%.
Hiperprolaktinemia pada ovarium menghambat perkembangan korpus
luteum, luteinisasi sel granulosa, dan steroidogenesis. Kadar serum
prolaktin yang lebih tinggi dari 2000 mIU/l (sekitar 100 ng/ml)
menghambat sekresi progesteron. Wanita dengan PCOS mengalami
peningkatan kadar serum prolaktin pada 30% kasus, dianggap sebagai
konsekuensi dari peningkatan kadar estrogen dan pengurangan tonus
dopamin (Delcour et al, 2019).
Pasien dengan endometriosis memiliki sekresi prolaktin nokturnal
yang berlebihan. Desidua manusia menghasilkan prolaktin dan reseptor
prolaktin ditemukan di jaringan endometriotik, oleh karena itu,
dipostulasikan bahwa pasien dengan endometriosis memiliki setidaknya
hiperprolaktinemia occult akibat adanya stimulasi TRH (thyrotropin-
releasing hormone) (Kutlesic et al, 2020).
4. Disfungsi ereksi pada hiperprolaktinemia
Ereksi penis adalah suatu keadaan neurovaskular yang dimodulasi
oleh faktor psikologis dan status hormonal. Disfungsi ereksi adalah
keadaan ketidakmampuan berulang atau konsisten untuk mencapai dan
mempertahankan ereksi yang cukup untuk mencapai hubungan seksual
yang memuaskan. Disfungsi ereksi biasa mempengaruhi kualitas hidup
seseorang, seperti yang dijelaskan oleh World Health Organization (WHO)
bahwa kesejahteraan seksual sangat penting untuk kesehatan fisik dan
emosional individu, pasangan dan keluarga serta peningkatan sosial dan
ekonomi suatu negara (WHO, 2000).
Sekresi prolaktin berada dibawah kendali penghambatan dopamin
hipotalamus, dan sekresi dopamin dipengaruhi oleh pelepasan prolaktin.
Prolaktin dapat mempengaruhi fungsi ereksi dengan memodulasi fungsi
dopaminergik di lokasi otak tertentu. Interaksi timbal balik antara prolaktin
dan dopamin, bersama dengan efek prolaktin pada sumbu hipotalamus-

14
hipofisis-gonad, mendukung peran prolaktin sebagai hormon yang
mengatur fungsi seksual. Di sistem saraf pusat, hiperprolaktinemia
menghambat pusat yang mengontrol hasrat seksual dan ereksi (Xu et al.,
2019).
Prolaktin yang berlebihan dapat menghambat pelepasan FSH dan
LH melalui sistem saraf pusat, sehingga mengurangi sintesis dan sekresi
hormon seks yang mempengaruhi pematangan sperma. Prolaktin yang
berlebihan juga merusak efek sinergis gonadotropin, yang secara langsung
mempengaruhi gonadotropin, serta responsivitas gonad aksesori terhadap
gonadotropin. Prolaktin juga mempengaruhi metabolisme, gerak, dan
kapasitas sperma, yang dapat mengurangi fungsi gonad pria. Peningkatan
prolaktin mengubah keseimbangan antara neurotransmiter, neuropeptida,
dan hormon yang terlibat dalam libido dan ereksi, mempengaruhi tonus
dopaminergik. Ketidakseimbangan dihasilkan antara dopamin yang
merangsang fungsi seksual, dan serotonin yang menghambat fungsi
seksual. Peningkatan prolaktin pada tingkat neuroendokrin menurunkan
ekspresi GnRH, mengganggu aksi GnRH, menghambat sekresi
gonadotropin, mengurangi konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron,
dan menurunkan aksi dopamin sentral. Prolaktin memiliki efek yang lebih
besar pada pangkal penis daripada ujung penis (Xu et al., 2019).
5. Hiperprolaktinemia pada penyakit ginjal kronis dan penyakit hati kronis
Prolaktin dimetabolisasi di ginjal dan hati. Hiperprolaktinemia
didapatkan pada 92,6% pria dan 78,6% wanita dengan penyakit ginjal
kronis. Akumulasi prolaktin di dalam darah pada kasus penyakit ginjal
kronis terjadi akibat penurunan bersihan ginjal (Al-Zuhairi et al, 2019).
Hiperprolaktinemia adalah kelainan endokrin yang umum terjadi
yang berhubungan dengan hipogonadisme, infertilitas dan hilangnya massa
tulang. Semua gejala klinik ini juga umum terdapat pada sirosis hati. Sirosis
hati juga diduga menyebabkan hiperprolaktinemia berdasarkan penelitian
sebelumnya tetapi mekanismenya belum dapat diidentifikasi. Suatu
postulat menyatakan bahwa hiperprolaktinemia juga dapat terjadi akibat

15
pengurangan sekresi dopamin pada pasien dengan hepatic encephalopaty
(Ress et al, 2014; Gaur & Mudgal, 2019).
D. Makroprolaktinemia
Prolaktin dalam aliran darah sebagian besar adalah dalam bentuk
monomer tetapi bentuk dimer dan polimer (mengikat imunoglobulin G) juga
dapat ditemukan. Bentuk prolaktin ini tidak dapat berikatan dengan reseptor
prolaktin dan tidak menunjukkan respon sistemik. Makroprolaktinemia adalah
kondisi yang terjadi ketika bentuk massa molekul tinggi (big-prolactin, big-
big-prolactin) dominan. Prevalensi makroprolaktin diperkirakan antara 10-
45% pada populasi hiperprolaktinemia. Makroprolaktinemia dapat
menyebabkan peningkatan nilai prolaktin serum secara artifisial terkait dengan
kurangnya gejala hiperprolaktinemia dan setiap kit uji prolaktin memiliki
sensitivitas yang berbeda untuk mendeteksi makroprolaktin. Evaluasi
hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh monoprolaktin atau makroprolaktin
bisa dilihat pada Gambar 6 (Pinet et al., 2015; Overgaard & Pedersen, 2017).
Gel filtration chromatography adalah pemeriksaan gold standart untuk
mendiagnosis makroprolaktin karena dapat membedakan berbagai macam
berat molekul prolaktin, tetapi karena metode ini mahal dan memakan waktu,
maka digunakanlah polyethylene glycol (PEG) serum precipitation secara luas
sebagai skrining makroprolaktin. Tes ini mampu mendiagnosis sedikitnya 80%
dari kasus makroprolaktinemia. Makroprolaktin dipresipitasi dan prolaktin
monomer tertinggal di supernatan pada saat tes PEG. Makroprolaktinemia
biasanya dicurigai apabila prolaktin yang terpresipitasi oleh PEG mencapai
60% dari total keseluruhan prolaktin atau ketika prolaktin monomer di
supernatan jumlahnya kurang dari 40% dari total prolaktin keseluruhan (Villar
et al., 2019; Payares et al, 2021).
E. Defisiensi prolaktin
Defisiensi prolaktin didapatkan pada keadaan dimana terdapat penurunan
hormon hipofisis anterior yang lain. Prolaktin sangat penting pada masa
postpartum karena diperlukan untuk laktasi sehingga apabila tidak terjadi
sekresi mammae maka bisa menyebabkan gangguan nutrisi pada bayi.

16
Defisiensi prolaktin juga dikaitkan dengan gangguan ovulasi pada wanita dan
dapat terjadi pada wanita dengan Sheehan syndrome, suatu keadaan dimana
terjadinya infark di hipofisis akibat syok hemoragik yang berasal dari
komplikasi perdarahan postpartum. Keadaan hipoprolaktinemia akhir-akhir ini
berhubungan dengan kondisi yang signifikan, terutama pada laki-laki. Kadar
prolaktin yang rendah berhubungan dengan disfungsi ereksi, ejakulasi dini, dan
gejala cemas atau depresi (Saleem et al., 2018; Rifai et al., 2022).

Gambar 7. Evaluasi hiperprolaktinemia (Villar et al., 2019)

F. Pemeriksaan hormon prolaktin


Pemeriksaan hormon prolaktin dianjurkan pada wanita dengan
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, setiap ketidakteraturan menstruasi
dengan atau tanpa hirsutisme, galaktore dengan atau tanpa amenorrea, cacat
fase luteal, anovulasi, anovulasi perdarahan, dan pubertas tertunda.
Pemeriksaan prolaktin pada pria dilakukan apabila memiliki gejala atau
impotensi, namun juga menyebabkan produksi sperma yang tidak efisien,
disfungsi ereksi, infertilitas, ginekomasti dan galaktore (Lau & Aw, 2019).

17
Riwayat medis (gejala, penggunaan zat-zat yang meningkatkan hormon
prolaktin, stimulasi mammae yang berlebihan), gejala klinik (galaktorea,
ginekomasti, lesi dinding dada, tindik putting), serta gambaran sella tursika
harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan hormon
prolaktin. Pemeriksaan TSH, dan T4 bebas juga diperlukan untuk mengetahui
penyebab sekunder hiperprolaktinemia (Vilar et al., 2019).

Tabel 3. Kadar prolaktin pada berbagai keadaan (Vilar et al., 2019).


Penyebab Kadar Prolaktin Keterangan
(ng/mL)
Mikroprolaktinoma 100-250 PRL <100ng/mL terdapat pada
25% kasus; PRL >250 ng/mL
pada 10% kasus.
Makroprolaktinoma 200-1000 PRL <100ng/mL hanya pada
(MAC) MAC sistik atau akibat hook
effect; PRL >1000 ng/mL
biasanya sering ditemukan pada
giant prolactinomas (>4 cm).
Non-functioning pituitary 25-100 PRL antara 100 dan 250 ng/mL
adenomas (NFPAs) pada 20% kasus.
Obat-obatan 25-100 PRL antara 100 dan 250 ng/mL
pada 30% kasus; PRL >250
ng/mL pada 5% kasus (biasanya
pasien dengan obat antipsikotik)
Hipotiroid primer 25-100 PRL antara 100 dan 250 ng/mL
pada 15% kasus; PRL antara 250
hingga 300 ng/mL pada 1-2%
kasus.
Makroprolaktinemia 25-100 PRl >250 ng/mL pada 5% kasus;
PRL >500 ng/mL sangatlah
jarang didapat dan biasanya
hanya dapat terjadi pada
concomitant monomeric
hyperprolactinemia.

Pemeriksaan prolaktin akan memberikan fluktuasi hasil yang berbeda


pada masing-masing individu. Prolaktin mempunyai waktu paruh mulai dari
26 hingga 47 menit. Kadar tertinggi dicapai saat tidur dan terendah antara pukul
10 pagi sampai siang sehingga pengambilan sampel sebaiknya dilakukan 3-4
jam setelah pasien bangun tidur. Nilai rujukan prolaktin pada laki-laki dewasa
3-13 ng/mL, wanita dewasa 3-27 ng/mL dan wanita hamil 20-400 ng/mL
(Pagana et al, 2017).

18
Faktor interferensi yang mempengaruhi pemeriksaan prolaktin, antara
lain: (Pagana et al, 2017)
1. Peningkatan prolaktin disebabkan oleh stres, trauma, operasi, rasa takut,
dan obat-obatan seperti antikejang, antihistamin, antimuntah, antipsikotik,
antituberkulosis, derivat ergot, estrogen, progesteron, opiat, reserpin dan
beberapa antihipertensi. Setelah kejang biasanya kadar prolaktin akan
meningkat sementara.
2. Penurunan prolaktin akibat penggunaan obat dopamin, klonidin, derivat
alkaloid ergot dan levodopa.
Pemeriksaan prolaktin juga dapat menimbulkan hasil yang false low
akibat adanya hook effect. Hook effect ini bisa diakibatkan oleh giant pituitary
adenomas. Pasien dengan giant pituitary adenomas, kadar molekul prolaktin
yang tinggi secara signifikan menjenuhkan antibodi dari uji sandwich, dengan
antibodi pensinyalan yang mengikat secara langsung ke prolaktin yang berlebih
tanpa captured antibody, yang menyebabkan hasil yang lebih rendah dari yang
diharapkan. Kadar prolaktin yang sebenarnya dapat mencapai 1000-100000
ug/mL sampai dengan 20-200 ug/mL. Hook effect dapat diatasi dengan
pengenceran serial spesimen serum (Law & Au, 2019).

Gambar 8. Hook effect (Payares et al, 2021)

Hasil false low juga dapat ditemukan pada pemeriksaan prolaktin. Biotin
adalah salah satu pengganggu lain yang dapat mempengaruhi hasil

19
prolaktin. Biotin serum yang tinggi mencegah pembentukan kompleks
biotin-antigen-antibodi, menghasilkan sinyal dan pembacaan yang false
low. Namun, hasil prolaktin yang menyimpang seperti itu tergantung pada
jumlah asupan biotin. Biotin juga diekskresikan oleh ginjal, dan kadarnya
dapat meningkat pada pasien dengan disfungsi ginjal (Law & Au, 2019).
Metode yang dianjurkan untuk pemeriksaan prolaktin sama dengan
metode pemeriksaan hormon yang lain, yaitu dengan metode enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA), radio immunoassay (RIA),
electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA), enzyme-linked fluorescent
immunoassay (ELFA) dan chemiluminescent microparticle immunoassay
(CMIA)
1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Enzyme linked immunosorbent assay adalah suatu plate-based assay
technique yang digunakan untuk mendeteksi dan mengukur peptida,
protein, antibodi dan hormon. Antigen harus diimobilisasi ke permukaan
padat (solid surface) pada metode ELISA kemudian ditambahkan antibodi
yang berikatan dengan enzim menjadi suatu kompleks. Deteksi dilakukan
dengan cara menilai aktivitas enzim terkonjugasi melalui proses inkubasi
dengan substrat untuk menghasilkan produk yang terukur. Bagian
terpenting dari strategi deteksi menggunakan metode ini adalah melihat
interaksi antibodi-antigen spesifik (Boster, 2010).
Teknik ELISA dilakukan dengan prinsip direk, indirek, sandwich atau
kompetitif. Prosedur ELISA dengan melakukan imobilisasi dari antigen
yang dituju, dapat dilakukan direk dengan proses absorpsi ke tempat uji
atau indirek melalui capture antibody yang telah melekat pada lempeng.
Antigen kemudian terdeteksi baik secara langsung (enzyme-labeled
primary antibody) atau tidak langsung (enzyme-labeled secondary
antibody). Antibodi yang terdeteksi diberi label dengan alkaline
phosphatase (AP) atau horseradish peroxidase (HRP). Pilihan substrat
bergantung pada sensitivitas sesuai jenis pemeriksaan yang akan dilakukan

20
dan instrumentasi untuk mendeteksi signal yang akan digunakan
(spektrofotometer, fluorometer atau luminometer) (Boster, 2010).
2. Radio immunoassay (RIA)
Metode radioimmunoasssay mempunyai dua jenis prinsip yaitu
kompetitif dan non kompetitif. Prinsip non kompetitif yang paling banyak
digunakan adalah sandwich. Teknik ini dilakukan dengan cara melekatkan
antigen atau antibodi pada suatu partikel kemudian mereaksikannya dengan
sampel yang diuji. Apabila yang diuji adalah antigen (Ag), maka partikel
dilapisi antibodi (Ab) spesifik, kemudian direaksikan dengan sampel.
125
Setelah itu ditambahkan antibodi berlabel I (Ab*), kemudian kompleks
Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya. Banyaknya Ab* yang
terikat merupakan kadar Ag dalam sampel. Prinsip kompetitif terjadi bila
bahan yang mengandung antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat
di dalam sampel akan diberi label radio isotop sehingga terjadi kompetisi
antara antigen yang akan ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label
dalam proses pengikatan antibodi spesifik tersebut sampai terjadi
keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan
antibodi dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan
penambahan konjugat, sehingga terjadi pembentukan kompleks imun
dengan konjugat. Jumlah antigen berlabel yang terikat, antibodi pada fase
padat, dan konjugat dapat ditentukan dengan suatu radiation counter atau
gamma counter (Kresno, 2013).
3. Electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA)
Chemiluminescence adalah emisi atau pancaran cahaya oleh produk
yang distimulus oleh suatu reaksi kimia atau suatu kompleks cahaya.
Electrochemiluminescence immunoassay adalah suatu metode untuk
mendeteksi keberadaan antigen atau antibodi dengan memanfaatkan reaksi
antara antigen dengan antibodi yang menghasilkan cahaya (Naully &
Khairinisa, 2018).
Beberapa substrat digunakan sebagai chemiluminescence seperti
luminol, akridinium ester, turunan ruthenium, dan nitrofenol oksalat.

21
Substrat dioksidasi oleh hidrogen peroksidase dan enzim sebagai
katalisator, sehingga akan terbentuk substrat yang mempunyai level energi
yang lebih tinggi. Substrat ini akan kembali ke level energi awal dan
melepaskan kelebihan energi dalam bentuk pancaran atau cahaya.
Electrochemiluminescence immunoassay menggunakan kompleks
ruthenium sebagai label dan tripropylamine (TPA) sebagai pendonor
elektron pada ruthenium. Reaksi chemiluminescence untuk mendeteksi
kompleks reaksi diinisiasi dengan memberikan arus listrik ke larutan
sampel. Cahaya hasil reaksi akan diukur pada panjang gelombang 620 nm
(Chen et al., 2012, Stevens & Miller, 2016).
Chemiluminescence immunoassay dapat digunakan untuk mendeteksi
protein, virus, dan oligonukleotida, ada 2 jenis chemiluminescence
immunoassay, yaitu competitive dan sandwich immunoassay. Prinsip
competitive immunoassay adalah sejumlah antigen berlabel dan antigen
tidak berlabel dari spesimen pasien berkompetisi untuk menempati
sejumlah antibody binding sites. Jumlah cahaya yang dipancarkan
berbanding terbalik dengan jumlah analit (antigen) yang diukur (Turgeon,
2014).
Prinsip sandwich immunoassay adalah antigen sampel berikatan
dengan antibodi spesifik biotinylated pada media solid. Antibodi kedua
yang sudah dilabel dengan chemiluminescence akan berikatan dengan
kompleks antigen antibodi pada media solid tersebut, sehingga jumlah
cahaya yang dipancarkan sebanding dengan jumlah analit (antigen) yang
diukur (Turgeon, 2014).

22
Gambar 9. Competitive dan sandwich immunoassay (Turgeon, 2014)

Tahapan berikutnya akan menambahkan mikropartikel yang telah


dilapisi streptavidin, kemudian akan terjadi ikatan kompleks melalui
interaksi streptavidin dan biotin. Gabungan reaksi diatas dimasukkan ke
dalam sel pengukur elektrokimia (measuring flowcell) yang memiliki
medan magnet. Kompleks imun yang terbentuk (antigen-antibodi-biotin-
streptavidin) di dalam measuring flowcell ditangkap secara magnetis
sedangkan substansi yang tidak terikat akan dicuci dan kemudian
dipindahkan oleh buffer ProCell (Roche, 2016).
Tahap pengukuran sinyal dalam measuring flowcell dilakukan dengan
penambahan TPA dan proses transfer elektron terjadi. Pertama TPA
melepas ion H+ lalu mendonorkan elektron pada rhutenium. Hal tersebut
menyebabkan terjadi perubahan bilangan oksidasi pada rhutenium (Ru3+
menjadi Ru2+). Kondisi tersebut bukanlah kondisi yang stabil bagi
rhutenium. Oleh sebab itu, rhutenium melepas elektron untuk mencapai
2+
bilangan oksidasi . Peristiwa pelepasan elektron tersebut yang
menyebabkan terlepasnya photon. Aplikasi tegangan ke elektroda akan
menstimulasi emisi cahaya, dan intensitas cahaya yang dipancarkan akan
diukur oleh photomultiplier (Roche 2016).
4. Enzyme-linked fluorescent immunoassay (ELFA)
Prinsip pengujian menggabungkan metode sandwich immunoassay
enzim satu langkah dengan deteksi fluoresen akhir. Semua langkah

23
pengujian dilakukan secara otomatis oleh instrumen. Media reaksi
disikluskan masuk dan keluar dari Solid Phase Receptacle (SPR) beberapa
kali, SPR berfungsi sebagai fase padat serta perangkat pemipetan untuk
pengujian. Sampel dipindahkan ke dalam well yang berisi antibodi anti-
prolaktin berlabel alkaline phosphatase sebagai konjugat. Campuran
sampel atau konjugasi didaur ulang masuk dan keluar dari SPR. Antigen
mengikat antibodi yang dilapisi pada SPR dan konjugat membentuk
"sandwich". Komponen yang tidak terikat dihilangkan selama proses
pencucian. Selama langkah deteksi, substrat (4-Methyl-umbelliferyl
phosphate) disirkulasikan masuk dan keluar dari SPR. Enzim konjugat
mengkatalisis hidrolisis substrat ini menjadi produk fluoresen (4-Methyl-
umbelliferone) yang fluoresensinya diukur pada 450 nm. Intensitas
fluoresensi sebanding dengan konsentrasi antigen yang ada dalam sampel.
Hasil secara otomatis dihitung oleh instrumen di akhir pengujian, dalam
kaitannya dengan kurva kalibrasi yang disimpan dalam memori, dan
kemudian dicetak (Biomerieux, 2014).
5. Chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA)
Pengujian ini merupakan immunoassay dua langkah. Langkah
pertama, sampel dan antibodi anti-prolaktin, yang dilapisi mikropartikel
paramagnetik digabungkan kemudian diinkubasi. Hormon prolaktin yang
ada dalam sampel berikatan dengan antibodi anti-prolaktin, yang dilapisi
mikropartikel kemudian campuran dicuci. Konjugat berlabel anti-prolaktin
acridinium ditambahkan untuk membuat campuran reaksi dan diinkubasi.
Pre-trigger dan trigger solutions ditambahkan setelah siklus pencucian.
Reaksi chemiluminescent yang dihasilkan diukur sebagai relative light
units (RLU), terdapat hubungan langsung antara jumlah TSH dalam sampel
dan RLU yang dideteksi oleh sistem optik (Abbot, 2018).

24
BAB III
SIMPULAN

Hormon prolaktin adalah hormon yang dibuat di kelenjar hipofisis anterior.


Fungsi utama hormon ini untuk merangsang sekresi susu setelah melahirkan
sehingga kadarnya ditemukan tinggi pada saat kehamilan dan melahirkan.
Hiperprolaktinemia adalah suatu kondisi peningkatan serum prolaktin dan
merupakan salah satu gangguan endokrin paling umum yang mempengaruhi fungsi
reproduksi yang dapat bersifat fisiologis, patologis atau dapat terjadi secara
sekunder akibat penggunaan beberapa obat. Hiperprolaktinemia adalah salah satu
faktor penting dalam patogenesis anovulasi, sindrom amenore galaktore dan
gangguan menstruasi lainnya.
Keadaan hipoprolaktinemia berhubungan dengan kondisi yang signifikan
pada laki-laki. Kadar prolaktin yang rendah berhubungan dengan disfungsi ereksi,
ejakulasi dini, dan gejala cemas atau depresi. Sebelum melakukan pemeriksaan
hormon prolaktin sebaiknya hal-hal berikut harus diperhatikan, antara lain: riwayat
medis, gejala klinik, gambaran sella tursika, makroprolaktin, hook effect, dan
penggunaan biotin. Pemeriksaan TSH dan T4 bebas juga diperlukan untuk
mengetahui penyebab sekunder hiperprolaktinemia.
Pemeriksaan hormon prolaktin bisa menggunakan berbagai macam metode,
antara lain metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), radio
immunoassay (RIA), electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA), enzyme-
linked fluorescent immunoassay (ELFA) dan chemiluminescent microparticle
immunoassay (CMIA). Dalam melakukan pemeriksaan ini kita harus
memperhatikan faktor interferensi yang mempengaruhi hasil pemeriksaan atara lain
adanya makroprolaktin, hook effect, biotin dan penggunaan obat-obatan.

25
Daftar Pustaka

Al-Zuhairi W. & Abdulmajeed A. 2019. Evaluation of Serum Prolactin level in Chronic


Kidney Disease in Iraqi Patients. Biochemical Cell. Arch. 19(1): 489-493
Appleton A., Vanbergen O., O’Neill R., Murphy R. 2019. Crash Course Endocrinology.
4th ed. Singapore: Elsevier, pp: 19-36
Barret K. E., Barman S. M., Boitano S., Brooks H. L. 2016. Endocrine and Reproductive
Physiology in : Ganong’s Review of Medical Physiology. 25th ed. United States: The
McGraw-Hill, pp: 299-334
Biagetti B. & Simo R. 2021. Molecular Pathways in Prolactinoma: Translational
Therapeutic Implications. International Journal of Molecular Sciences: 1-15
Boster. 2010. ELISA Handbook principle, troubleshooting, sample preparation and assay
protocol. https://www.bosterbio.com/media/pdf/ELISA_Handbook.pdf. (diunduh 20
Mei 2022).
Chen, W., J, W., Chen, W., Jie, X., Xian, J. H. 2012. Chemiluminescent Immunoassay and
Its Applications. Chinese Journal of Analytical Chemistry 40(1): 3-10.
Delcour C., Robin G., Young J., Dewailly D. 2019. PCOS and hyperprolactinemia: what
do we now in 2019. Clinical Medicine Insights: Reproductive Health
Gaur L. & Mudgal S. 2019. Sheehan’s Syndrome: New Perspective into Old, Preventable
but Life-threatening Disease. Innovational Journal of Nursing and Healthcare 2(2):
20-22
Georgescu T., Swart J. M., Gratta D. R., Brown R. S. 2021. The Prolactin Family of
Hormones as Regulators of Maternal Mood and Behavior. Frontiers in Global
Women’s Health, (2): 1-16.
Guber H. A. & Farag A. F. 2021. Evaluation of Endocrine Function. In: McPherson R. A.
and Pincus M. R. (eds). Henry’s Clinical Diagnosis and Management. Missouri:
Elsevier, pp: 362-365
Halimah E., Rositawati W., Pratiwi I. 2016 N-MID Osteocalcin (N-MID Oc) dan β-
Crosslaps (β-CTx) sebagai Penanda Biokimia Bone Turn Over pada wanita
menoopause. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, (1): 67–74
Hall John E. 2016. Endocrinology and Reproduction. In: Guyton and Hall Textbook of
Medical Physiology. 13th ed. Philadelphia: Elsevier, pp: 925-1025
Jameson J. L. 2010. Harrison’s Endocrinology. 2nd ed. United States: The McGraw-Hill,
pp: 29-34
Kaiser U. & Ho Ken K. Y. 2016. Pitutary Physiology and Diagnostic Evaluation. In:
Melmed S., Polonsky K. S., Larsen P. R., Kronenberg H. M. (eds). William Textboof
of Endocrinology. 13th ed. Philadelphia: Elsevier, pp: 176-187
Kresno S. B. 2013. Teknik laboratorium yang umum digunakan dalam imunologi. Dalam:
Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 509-510
Kutlesic R., Popovic J., Stefanovic N., et al. 2020. Prolactin and hyperprolactinaemia in
Female Reproductive Endocrinology- An Update. Medicine and Biology 22(2): 39-48
Lau C. S. & Aw T. C. 2019. A Current Approach to Hyperprolactinemia. International
Archives of Endocrinology Clinical Research 5: 1-8
Marshall W. J., Lapsley M., Day A., Shipman K. 2017. The Hypothalamus and the
Pituitary Gland in Clinical Chemistry. 9th ed. Missouri: Elsevier, pp: 155-170
Naully PG, & Khairinisa G. 2018. Metode pemeriksaan imunoserologi. Dalam: Panduan
Analisis Laboratorium Imunoserologi untuk D3 Teknologi Laboratorium Medis.
Cimahi: Stikes Jenderal Achmad Yani. pp: 32-6.

26
Overgaard M. & Pedersen SM. 2017. Serum prolactin revisited: parametric reference
intervals and cross platform evaluation of polyethylene glycol precipitation-based
methods for discrimination between hyperprolactinemia and
macroprolactinemia. Clin Chem Lab Med. 55(11):1744-1753
Pagana K. D., Pagana T. J., Pagana Theresa N. 2017. Mosby’s Diagnostic and Laboratory
Test Reference.13th ed. Misouri: Elsevier, pp:720-721
Payares J., Simanca J., Ariata E., et al. 2021. Common pitfalls in the Interpretation of
Endocrine Tests. Frontiers in Endocrinology. 12, pp:1-14.
Pinet L., Harthe C., Roucher F., et al. 2015. Macroprolactinaemia: a biological diagnostic
strategy from the study of 222 patients. European Journal of Endocronology. 172:
687-695.
Ress C., Maesner P., Tschoner A., et al. 2014. Serum Prolactin in Advanced Chronic Liver
Disease. Hormonal Metabolic Res 46: 800-803
Rifai N., Horvath A. R., Wittwer C. T. 2019. Disorders of the Pituitary Gland in Tietz
Fundamentals of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. 8th ed. Missouri:
Elsevier, pp: 779-780.
Rifai N., Chiu R. W. K., Young I., Burnham C. D., Wittwer C. T. 2022. Pituitary Function
and Pathophysiology in Tietz Textbook of Laboratory Medicine. 7th ed. Missouri:
Elsevier, pp: 784-787
Roche. 2016. Elecsys Prolactin II.
Saleem M., Martin H., Coates P. 2018. Prolactin Biology and Laboratory Measurement:
An Update on Physiology and Current Analytical Issues. Clinical Biochemistry Rev
39 (1): 3-16
Serri O., L. Chick C., Ur E., Ezzat S. 2003 Diagnosis and management of
hyperprolactinemia. Canadian Medical Association Journal 169 (6): 575-581.
Sherwood L. 2016. Principles of Endocrinology; The Central Endocrine Glands in Human
Physiology From Cells to Systems. 9th ed. Boston: Cengange Learning, pp: 646-664
Silbernagl S., lang F. 2017. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgard: EGC, pp: 260-262.
Stevens C. D., Miller L. E. 2016. Clinical Immunology and Serology: A Laboratory
Perspective. Third ed. Philadelphia: 153-161.
Turgeon M.L. 2014. Immunology and Serology in Laboratory Medicine. Fifth ed. Missouri,
pp : 160-168.
Vilar L., Vilar C., Lyra R., Freitas M. 2019. Pitfalls in the Diagnostic Evaluation of
Hiperprolactinemia. Neuroendocrinonlogy.109: 7-19
World Health Organization. 2000. Promotion of sexual health: recommendation for action.
Antigua Guatemala: World Association for Sexology.
Xu Z., Pan Dong, Liu T., et al. 2019. Effect of prolactin on penile erection: a cross-sectional
study. Asian Journal of Andrology 21: 587-581

27

Anda mungkin juga menyukai