Anda di halaman 1dari 37

POLA KUMAN DAN UJI SENSITIVITAS ANTIBIOkTIK PADA SAMPEL

PUS PASIEN BEDAH ORTOPEDI DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

KARYA STASE MIKROBIOLOGI


JENJANG II: TAHAP IV: LABORATORIUM KLINIK LANJUTAN

Oleh:
Fachitah Meslavi Andriani
S971902002

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

POLA KUMAN DAN UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA SAMPEL PUS


PASIEN ORTOPEDI DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

KARYA STASE MIKROBIOLOGI


JENJANG II: TAHAP IV: LABORATORIUM KLINIK LANJUTAN

Oleh
Fachitah Meslavi Andriani

Dipresentasikan pada tanggal

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

Pembimbing

B. Rina A. Sidharta, dr., SpPK-K


NIP. 19630422 198812 2001

Mengetahui

Kepala Bagian Patologi Klinik Ketua Program Studi Patologi Klinik


Fakultas Kedokteran UNS Fakultas Kedokteran UNS

Dian Ariningrum, dr., M.Kes, SpPK B. Rina A. Sidharta, dr., SpPK-K


NIP. 19710720 200604 2 001 NIP. 19630422 198812 2001

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ………………………………………………………….......... i
Lembar Pengesahan …………………………………………………….......... ii
Daftar Isi ………………………………………………………………........... iii
Daftar Gambar ………………………………………………………….......... iv
Daftar Tabel................................................................................................... v
Daftar Diagram.................................................................................................. vi
A. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
B. PERUMUSAN MASALAH ...................................................................... 12
C. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................ 12
D. MANFAAT PENELITIAN ……………………………………………… 12
E. KERANGKA PIKIR...................……………………………………….... 13
F. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ……………………………….. 14
G. SKEMA ALUR PENELITIAN................................................................... 16
H. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ………………………….. 17
I. KETERBATASAN PENELITIAN………………………………………. 24
J. SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………. 24
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... 26
LAMPIRAN....................................................................................................... 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Fraktur terbuka……………………………………......................... 4
Gambar 2. Jenis hemolisis pada agar darah......................................................... 6
Gambar 3. Agar MacConkey………………………………………………….. 8
Gambar 4. Tes sensitivitas antibiotik………………………………………….. 10
Gambar 5. Kerangka pikir…………………………………………………….. 13
Gambar 6. Alur penelitian…………………………………………………….. 16

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Karakteristik sampel…………………………………………………. 17

v
DAFTAR DIAGRAM

Halaman
Diagram 1. Jumlah sampel berdasarkan ruangan……………........................... 18
Diagram 2. Kuman penyebab infeksi infeksi fraktur tertutup………………… 18
Diagram 3. Kuman penyebab infeksi infeksi fraktur terbuka………………… 19
Diagram 4. Kuman penyebab infeksi non fraktur…...………………………… 19
Diagram 5. Jumlah kuman…………………………………………………….. 20
Diagram 6. Sensitivitas antibiotik……………………………………………... 20

vi
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Penyakit muskuloskeletal atau musculoskeletal disorders (MSDs)
merupakan masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan
kesehatan di seluruh dunia, bahkan World Health Organization (WHO)
telah menetapkan dekade (2000-2010) menjadi dekade tulang dan
persendian (Sekaaram dan Ani, 2017).
Salah satu masalah yang paling sering terjadi pada tulang adalah
fraktur. Menurut WHO, terdapat 1,3 juta orang yang menderita fraktur pada
tahun 2011-2012. Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar
ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan tuberkulosis. Kasus fraktur di
Indonesia mencapai prevalensi sebesar 5,5%. Fraktur pada ekstremitas
bawah akibat dari kecelakaan lalu lintas memiliki prevalensi paling tinggi
diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2% dari 45.987 orang dengan kasus
fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan lalu lintas (Kemenkes RI,
2018).
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak disekitarnya juga seringkali
terganggu. Penyebab terjadinya fraktur biasanya disebabkan oleh tekanan
berlebihan atau trauma langsung pada tulang yang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema dan
hematom (Apley, 2010).
Dalam kondisi normal, tulang merupakan organ yang steril, serta
tidak mudah untuk terjadinya infeksi, namun akibat terjadinya fraktur,
tulang dapat dengan mudah terkena infeksi. Penyakit infeksi masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting,
khususnya di negara berkembang. Salah satu terapi andalan untuk mengatasi
masalah tersebut adalah dengan pemberian antibiotik. Pasien bedah ortopedi
merupakan populasi yang rentan terkena infeksi, khususnya pada pasien
yang mengalami fraktur terbuka. Fraktur terbuka memiliki persentase

1
terjadinya infeksi sebesar 40-70%. Infeksi terkait fraktur adalah komplikasi
utama dalam operasi trauma muskuloskeletal. Infeksi tidak hanya dapat
terjadi akibat trauma, melainkan juga dapat disebabkan dari tindakan
operasi bedah tulang itu sendiri. Infeksi luka operasi merupakan
kontaminasi yang terjadi pada luka operasi dalam 30 hari hingga 1 tahun
pasca operasi. Infeksi luka operasi menjadi salah satu infeksi nosokomial
tersering selain pneumonia dan menempati urutan kedua sebagai infeksi
tersering yang dialami oleh pasien bedah dengan persentase sebesar 17%
dari semua infeksi terkait perawatan kesehatan. Banyaknya kasus infeksi
luka operasi menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, lama waktu
rawat inap di rumah sakit dan beban ekonomi terhadap sumber daya rumah
sakit. Tingkat infeksi setelah fiksasi internal berkisar antara 1-2% untuk
fraktur tertutup hingga 30% untuk fraktur terbuka (Gomes, 2017; Valya et
al., 2017).
Insiden infeksi luka operasi pada pasien kasus bedah ortopedi lebih
banyak dibandingkan dengan kasus bedah lain. Tingkat insiden infeksi luka
operasi yang terjadi dalam kasus bedah ortopedi mencapai 71%. Pasien
bedah ortopedi dengan infeksi luka operasi mengalami peningkatan lama
waktu menginap di rumah sakit mulai dari 12 hingga 20 hari. Hal ini
menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan dan penurunan kualitas
hidup setelah operasi. Dalam mencegah terjadinya infeksi, maka pasien
ortopedi rutin diberikan antibiotik profilaksis yang dilanjutkan dengan
prosedur pembedahan. Terapi antibiotik profilaksis diberikan sebelum,
sesaat hingga 24 jam paska pembedahan untuk mencegah terjadinya infeksi.
Pasien yang tidak mendapatkan terapi antibiotik profilaksis sebelum
pembedahan memiliki risiko 2,572 kali lebih besar terkena infeksi daerah
operasi dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi antibiotik
profilaksis sebelum pembedahan (Harartasyahrani, 2021).
Penggunaan dan pemilihan antibiotik profilaksis menjadi titik kritis
yang harus diperhatikan. Penggunaan dan pemilihan antibiotik profilaksis
yang tidak tepat dapat berisiko terjadinya resistensi. Kejadian resistensi

2
merupakan hal yang mutlak dihindari untuk menjaga efek terapi antibiotik
(Kloping, 2020).
Terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai penggunaan
antibiotik tidak rasional, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di
rumah sakit dr. Kariadi yang menyatakan bahwa 53,3% dari 150 peresepan
ditemukan penggunaan antibiotik tidak rasional dan 45,3% penggunaan
antibiotik rasional pada kasus bedah ortopedi. Penelitian pada tahun 2019 di
rumah sakit dr. Soebandi, Jawa Timur mendapatkan tingkat sensitivitas
antibiotik untuk bakteri Gram negatif dari yang tertinggi sampai yang
terendah adalah meropenem (93%), kloramfenikol (71%), dan aztreonam
(11%). Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-
Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Eschericia coli
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin, (73%),
kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan
gentamisin (18%) (Kemenkes RI, 2011).
Perubahan resistensi antibiotik sangat dipengaruhi oleh intensitas
paparan antibiotik di suatu wilayah. Hingga saat ini, penelitian mengenai
resistensi antibiotik di Indonesia masih sangat minim. Pemetaan pola
resistensi antibotik sangatlah penting bagi rumah sakit untuk mengetahui
kondisi perkembangan resistensi antibiotik dari waktu ke waktu, dapat
berguna sebagai peringatan dini terjadinya resistensi antibiotik, sebagai
paduan pemilihan antibiotik empirik, dan sebagai bahan penyusunan
antibiotic guideline berdasar data lokal. Luaran dari pemetaan ini antara lain
untuk mengetahui antibiotik yang potensial, aman dan efektif, terutama
dalam lingkup operasi (Waridiarto et al., 2015 ; Saffanah, et al., 2020).
Gambaran pola kuman memberikan kita gambaran pemetaan
organisme penyebab suatu penyakit. Sebagai contoh, jenis kuman yang
menyebabkan infeksi pada pasien fraktur terbuka di rumah sakit Dr.
Soetomo Surabaya pada bulan Oktober 2018 sampai September 2019 adalah
Acinetobacter baumannii, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
Proteus mirabilis (Wibisono et al., 2021).

3
2. Kajian teori
a. Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
dan/atau tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun sebagian.
Kejadian fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan usia di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
kecelakaan, olahraga, atau pekerjaan, sedangkan pada usia lanjut
kejadian fraktur lebih banyak terjadi pada perempuan berhubungan
dengan adanya kejadian osteoporosis dimana terdapat perubahan hormon
pada fase menopause (Wibisono et al., 2021)
Klasifikasi fraktur dapat dibagi berdasarkan etiologi, klinis, dan
radiologis. Berdasarkan etiologi, fraktur dibagi menjadi fraktur traumatik
yang disebabkan oleh trauma yang mendadak, fraktur patologis yang
disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya atau kelainan patologis
di dalam tulang dan fraktur stres yang disebabkan oleh trauma yang terus
menerus pada suatu lokasi tulang tertentu. Klasifikasi fraktur secara
klinis antara lain fraktur tertutup, fraktur terbuka dan fraktur dengan
komplikasi (Rasjad, 2012).
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada
otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen
juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu, periosteum dan pembuluh

4
darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu
sehingga dapat menyebabkan cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma
dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang (Black and Hawks, 2014).

Gambar 1. Fraktur terbuka (Dunbar et al., 2021)

5
b. Pemeriksaan mikrobiologi
Kultur bakteri pada biopsi jaringan yang masih hidup dan atau
aspirasi cairan sekresi merupakan standar baku emas untuk
mendiagnosis skin and soft tissue infections (SSTI). Kultur sangat
penting untuk infeksi berat, toksisitas sistemik, atau kegagalan terapi
antibiotik initial. Kultur swab yang benar sangat relevan dalam
mendeteksi multi drug resistance organism atau methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) (Drinka et al., 2012).
i. Pewarnaan Gram
Sebelum dilakukan kultur, pengecatan Gram harus dilakukan
pada setiap spesimen. Ambil bagian paling purulen dari spesimen
menggunakan ose yang telah dibakar, lalu ratakan pada slide yang
bersih. Sebelumnya, untuk menghilangkan minyak, slide harus
dilewatkan diatas Bunsen burner, swab kapas berisi spesimen
dioleskan secara lembut ke permukaan glass object, lalu keringkan
di suhu ruangan. Fiksasi dengan menggunakan panas, cat dan baca
apusan dibawah mikroskop perbesaran 100x. Hal-hal yang perlu
dinilai dalam pembacaan apusan Gram antara lain leukosit, sel
epitel, bakteri baik Gram positif maupun negatif dan ragi (World
Health Organisation, 2013).
ii. Kultur pus
Jika bakteri ditemukan pada apusan Gram, maka bakteri harus
di inokulasi pada media kultur yang tepat. Pembiakan umum
sebagian besar bakteri membutuhkan medium yang kaya akan zat
gizi metabolik. Medium ini umumnya terdiri atas agar, sumber
karbon, dan asam hidrolisat atau sumber materi biologis yang terurai
dengan enzim (misalnya, kasein). Sampel klinis dari lokasi yang
normalnya non-steril (contohnya, tenggorokan atau kolon)
mengandung banyak spesies organisme, termasuk patogen potensial
dan flora mikroba residen. Medium dapat bersifat non-selektif atau
selektif. Medium selektif digunakan untuk membedakan berbagai
5
bakteri di dalam sampel klinis yang mengandung banyak organisme
yang berbeda. Contoh medium non-selektif adalah agar darah dan
contoh media selektif adalah agar MacConkey (Jawetz, 2008)
a) Agar darah
Agar darah adalah media yang diperkaya dengan nutrisi
tambahan yang kaya untuk pertumbuhan mikroba. Agar darah
merupakan media pertumbuhan bakteri yang bersifat selektif
diferensial, karena mendukung pertumbuhan berbagai
organisme namun dapat memberi ciri yang khas untuk bakteri
golongan tertentu (Wanger, 2017).

Gambar 2. Jenis hemolisis pada agar darah (Tankeshwar, 2021).

Media agar darah dapat membedakan bakteri hemolitik dan


nonhemolitik yaitu berdasarkan kemampuan bakteri untuk
melisiskan sel-sel darah merah. Ada tiga jenis hemolisis yaitu
beta hemolisis, alfa hemolisis, dan gamma hemolisis. Alfa
hemolisis mengacu pada lisis parsial/lisis sebagian dari sel darah
merah dan hemoglobin. Hal ini menghasilkan perubahan warna
disekitar menjadi abu-abu kehijauan. Contoh bakteri alfa
hemolisis adalah Streptococcus pneumoniae. Beta hemolisis
merupakan lisis lengkap sel darah merah dan hemoglobin
sehingga menyebabkan terbentuknya zona jernih atau
transparan di sekitar pertumbuhan koloni. Contoh bakteri beta
hemolisis adalah Streptococcus pyogenes. Gamma hemolisis
yaitu tidak terjadi hemolisis dimana tidak ada perubahan warna
dalam media. Contoh bakteri gamma hemolisis adalah
6
Enterococcus faecalis. Komposisi media agar darah yaitu
mengandung trypton 15 gram, soy peptone 5 gram, sodium
klorida 5 gram, litium klorida 10 gram, magnesium sulphate 3,8
gram, dan agar 15 gram (Wanger, 2017).
b) Agar MacConkey
Agar MacConkey dikembangkan pada abad ke-20 oleh
Alfred Theodore MacConkey. Agar MacConkey adalah media
kultur selektif dan diferensial yang biasa digunakan untuk
mengisolasi bakteri batang Gram negatif berdasarkan
kemampuan bakteri memfermentasi laktosa atau tidak. Agar
MacConkey biasanya digunakan terutama untuk famili
Enterobacteriaceae dan genus Pseudomonas. Pada bakteri yang
dapat memfermentasi laktosa (contoh : Escherichia coli, dan
Klebsiella sp.) koloni dan media akan berwarna merah atau
merah muda, karena adanya produksi asam dari hasil fermentasi
laktosa, dengan adanya indikator neutral red media akan
berwarna merah atau merah muda. Pada bakteri yang tidak dapat
memfermentasi laktosa (contoh : Salmonella sp., Shigella sp.)
koloni dan media akan berwarna transparan atau tidak berwarna
karena bakteri tidak memfermentasi laktosa menjadi asam.
Kristal violet dan garam empedu dalam agar MacConkey adalah
untuk mencegah pertumbuhan bakteri Gram-positif. Bakteri
enterik gram negatif dapat mentolerir garam empedu karena
membran luarnya yang tahan empedu (Wanger, 2017).

7
Gambar 3. Agar MacConkey (Atmojo, 2021)

iii. Identifikasi kuman


Setelah dilakukan kultur dan terdapat pertumbuhan kemudian
isolat kuman diidentifikasi dan dilakukan pengecekan kepekaan
kuman. Identifikasi kuman dapat dilakukan baik secara
konvensional maupun otomatis. Identifikasi konvensional dilakukan
dengan cara isolasi kuman penyebab dari spesimen dan setelah
diperoleh koloni murni kuman dilakukan pewarnaan Gram,
morfologi koloni pada agar darah dan MacConkey, reaksi biokimia
dan tes aglutinasi. Metode konvensional membutuhkan waktu yang
cukup lama sehingga untuk identifikasi kuman sekarang lebih
banyak secara otomatis. Salah satu alat yang digunakan adalah Vitek
2 Compact (Tsang, 2020).
Vitek 2 Compact adalah alat pemeriksaan mikrobiologik
otomatis tertentu untuk identifikasi bakteri dan uji kepekaan
antibiotik. Alat tersebut menggunakan colorimetric reagent cards
(Gram Negatif, Gram Positif dan ragi/Yeast) yang diinkubasi dan
ditafsirkan secara otomatis (Pincus, 2006).
Koloni bakteri Gram negatif diambil dari agar MacConkey dan
bakteri Gram positif dari agar darah. Koloni kemudian dilarutkan
dalam 3 mL larutan NaCl 0,45% pH 4,5, dihomogenkan hingga
terbentuk suspensi sesuai bakuan McFarland 0,5–0,63 yang diukur
8
dengan Vitek 2 DensiCHEK™ Plus. Larutan kemudian di teteskan
ke dalam Gram negative (GN) card atau Gram positive (GP) card,
kemudian dimasukkan ke dalam VITEK 2 Compact. Hasil
identifikasi bakteri Gram negatif diperoleh setelah diinkubasi selama
3–10 jam dan Gram positif selama 2–8 jam (Pincus, 2006).
iv. Tes kepekaan antibiotik
Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah
penentuan terhadap bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan
menunjukkan resistensi terhadap suatu antimikroba atau
kemampuan suatu antimikroba untuk menghambat pertumbuhan
bakteri yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih sebagai
antimikroba yang berpotensi untuk pengobatan. Media Mueller
Hinton Agar adalah media terbaik untuk pemeriksaan tes sensitivitas
antibiotik (dengan metode Kirby-Bauer) pada bakteri non-fastidious
(baik aerob dan anaerob fakultatif). Media ini ditemukan
oleh Mueller dan Hinton pada tahun 1941 (NCCLS, 2005; Jawetz,
2008).
Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diukur
dengan menggunakan beberapa metode, antara lain:
a) Metode dilusi
Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan, yaitu teknik
dilusi perbenihan cair dan teknik dilusi agar yang bertujuan untuk
menentukan aktivitas antimikroba secara kuantitatif.
Antimikroba dilarutkan ke dalam media agar atau kaldu, yang
kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah diinkubasi
semalam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (minimal inhibitory
concentration). Nilai MIC dapat dibandingkan dengan
konsentrasi obat yang didapat di serum dan cairan tubuh lainnya
untuk menilai respon klinik (Jawetz, 2008; Al-ani, 2015).

9
Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah MIC dan
MBC (minimum bactericidal concentration). Minimal inhibitory
concentration merupakan konsentrasi terendah bakteri yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan hasil yang dilihat
dari pertumbuhan koloni pada agar atau kekeruhan pada
pembiakan cair. Sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah
antimikroba yang dapat membunuh 99,9% pada biakan selama
waktu yang ditentukan. Absorpsi obat dan distribusi antimikroba
akan mempengaruhi dosis, rute dan frekuensi pemberian
antimikroba untuk mendapatkan dosis efektif di tempat terjadinya
infeksi (Konewan, 2006; Onggioni 2015).
b) Metode difusi
Pada metode difusi kita menggunakan cakram kertas yang
telah dibubuhi sejumlah tertentu antimikroba, ditempatkan pada
media yang telah ditanami organisme yang akan diuji secara
merata. Tingginya konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh
difusi dari cakram dan pertumbuhan organisme uji dihambat
penyebarannya sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona
jernih disekitar cakram), sehingga bakteri tersebut merupakan
bakteri yang sensitif terhadap antimikroba. Ada hubungan
persamaan yang hampir linear (berbanding lurus) antara log MIC,
seperti yang diukur oleh metode dilusi dan diameter zona daya
hambat pada metode difusi (Koneman, 2006; Jawetz, 2008).

Gambar 4. Tes sensitivitas antibiotik metode difusi (Sager, 2021)

10
Hasil dari tes sensitivitas antibiotik diklasifikasikan ke
dalam dua atau lebih kategori, yang biasa digunakan adalah
dibagi tiga kategori, yakni sensitif, intermediet dan resisten.
Alur pemeriksaan sampel pus di Laboratorium Mikrobiologi
Klinik RSUD dr. Moewardi Surakarta yaitu setelah sampel
diterima (dalam botol/tabung steril), dilakukan registrasi dengan
mencatat identifikasi sampel pemeriksaan (nama, nomor rekam
medik, usia dan jenis kelamin), kemudian dilanjutkan
pemeriksaan kultur selama 24 jam pada suhu 37°C dengan
menggunakan media selektif. Media yang digunakan adalah agar
Mac Conkey dan agar darah. Selain itu juga dilakukan pengecatan
Gram, dimana mikroorganisme yang bersifat anaerob yang tidak
tumbuh pada media agar, dapat terlihat setelah proses pengecatan
ini. Setelah media agar tersebut diinkubasi maka mikroorganisme
akan tumbuh, yang dapat dilihat dari adanya koloni yang bersifat
patogen dan menghemolisis eritrosit. Selanjutnya dilakukan
identifikasi dan uji sensitivitas antibiotika. Identifikasi
mikroorganisme dilakukan secara otomatis menggunakan Vitek 2.
Setelah diidentifikasi sampel kemudian dilakukan tes sensitivitas
antibiotik secara manual menggunakan agar Mueller Hinton dan
cakram antimikroba.

11
B. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana pola kuman dan uji sensitivitas antibiotik pada hasil kultur pus
pasien ortopedi di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta.
C. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui serta mengidentifikasi pola kuman dan uji sensitivitas antibiotik
pada hasil kultur pus pasien ortopedi di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Memberikan informasi serta gambaran pola kuman dan uji sensitivitas pada
kultur pus sehingga menjadi pertimbangan klinisi untuk penegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan infeksi bakteri yang tepat pada pasien ortopedi yang
mendapatkan perawatan di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta.

12
E. KERANGKA PIKIR

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen


tulang

Kerusakan jaringan tulang Perubahan jaringan sekitar

Pergeseran fragmen tulang Laserasi kulit Spasme otot

Kerusakan integritas kulit

Suspect Infeksi

Sampel Pus

Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta

Pengecatan gram dan Kultur

Pertumbuhan mikroorganisme

Identifikasi dan uji sensitivitas

Hasil

Gambar 5. Kerangka pikir

13
F. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dan
retrospektif.
2. Tempat dan waktu penelitian
Data didapatkan dari rekam medik serta hasil kultur pus di laboratorium
Mikrobiologi Klinik rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian
dilakukan selama periode Januari 2021 sampai dengan Juni 2021.
3. Populasi penelitian
Populasi target penelitian ini adalah semua pasien ortopedi dengan sampel
pus yang melakukan pemeriksaan gram dan kultur di Laboratorium
Mikrobiologi Klinik di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta antara bulan
Januari 2021 sampai dengan Juni 2021.
4. Cara pengambilan subjek penelitian
Pengambilan subjek penelitian secara total sampling antara bulan Januari
2021 sampai dengan Juni 2021.
Kriteria inklusi adalah semua pasien ortopedi dengan sampel pus yang
melakukan pemeriksaan Gram, identifikasi (menggunakan alat VITEK 2)
dan sensitivitas antibiotik (manual) didapatkan pertumbuhan bakteri pada
hasil kultur di laboratorium Mikrobiologi rumah sakit Dr. Moewardi
Surakarta sejumla 146 pasien. Setelah dilakukan inklusi, didapatkan subjek
penelitian sejumlah 144 pasien.
Kriteria eksklusi adalah data pemeriksaan pasien tidak lengkap
5. Data pasien dan pemeriksaan laboratorium
Data pasien penelitian secara retrospektif didapatkan dari rekam medis,
buku register, buku hasil identifikasi dan hasil uji sensitivitas antibiotik
Laboratorium Mikrobiologi Klinik rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta.
6. Definisi Operasional
a. Pola kuman

14
Pola kuman merupakan gambaran bakteri penyebab infeksi yang
umumnya terjadi pada suatu penyakit, baik berupa bakteri gram positif
ataupun bakteri Gram negatif.
b. Sensitivitas antibiotik
Sensitivitas atau kepekaan antibiotik adalah kemampuan antibiotik
untuk melawan infeksi yang disebabkan bakteri tertentu.
c. Pengecatan Gram
Metode pemeriksaan laboratorium untuk mengkategorikan bakteri ke
dalam dua kelompok besar, yaitu bakteri gram-positif dan bakteri gram-
negatif. Kedua kelompok bakteri tersebut dikategorikan berdasarkan
sifat kimia dan sifat fisik dinding sel mereka.
d. Vitek 2

Kuman ATCC yang ditumbuhkan pada media agar darah dan Mac
Conkey kemudian dilakukan uji sensitivitas bakteri dengan alat Vitek 2
sesuai prosedur pengoperasian alat.

7. Analisis
a. Pola Kuman dan Sensitivitas antibiotik
Data karakteristik subjek penelitian disajikan secara deskriptif. Analisis
data dilakukan untuk melihat gambaran pola kuman dari hasil kultur
dengan identifikasi alat Vitek 2 serta uji sensitivitas antibiotik secara
manual.

15
F. SKEMA ALUR PENELITIAN

Sampel Pus
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel Penelitian

Pengecatan Gram Media Agar darah

dan MacConkey

Inkubasi 24 jam, 37˚C

Koloni mikroorganisme patogen

Identifikasi Vitek 2 dan uji sensitivitas


antibiotik manual

Hasil

Analisis

Gambar 6. Alur penelitian

16
H. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
Penelitian ini melibatkan 146 sampel pus pasien bedah ortopedi yang
melakukan pemeriksaan kultur pus serta uji sensitivitas antibiotik di
laboratorium mikrobiologi RSDM Surakarta periode 1 Januari sampai 30
Juni 2021. Kriteria inklusi sebanyak 144 sampel dan kriteria eksklusi
sebanyak 2 sampel.
Tabel 1 menunjukkan karakteristik sampel penelitian yang merupakan
pasien bedah ortopedi, diantaranya jenis kelamin, usia dan jenis penyakit
yang diderita.
Tabel 1. Karakteristik sampel

Jenis Kelamin Jumlah sampel


Laki-laki 104
Perempuan 40
Usia
0-5 tahun 1
6 -17 tahun 11
>17-65 tahun 122
>65 tahun 10
Jenis fraktur
Fraktur Terbuka 52
Fraktur tertutup 40
Non fraktur 52

Dari data tersebut didapatkan sampel dari pasien laki-laki sebesar 72,2%
dan sampel perempuan 27,8%. Rentang usia paling banyak didapatkan
antara umur 18 sampai 65 tahun sebesar 84,72 % dan jenis fraktur yang
paling banyak diderita adalah fraktur terbuka sebanyak 52 kasus. Sampel
non fraktur terdapat 52 sampel, terdiri dari pasien scoliosis, spondylitis
tuberculosis, hernia nucleus purposus, dan keganasan tulang.

17
Sampel pus terbanyak berasal dari rawat inap seperti yang tercantum pada
diagram dibawah ini:

Jumlah sampel

86
57
1

IGD RAWAT RAWAT INAP


JALAN
Diagram 1. Jumlah sampel berdasarkan ruangan.

Berdasarkan hasil identifikasi Vitek 2, kuman yang paling banyak


menyebabkan infeksi pada fraktur tertutup adalah Eschericia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, Proteus mirabilis dan
Staphylococcus hominis.

Eschericia coli

Pseudomonas
aeruginosa 15%
Acinetobacter baumannii
47% 13%
Proteus mirabilis
9%

Staphylococcus hominis 7% 9%

Lain-lain

Diagram 2. Kuman penyebab infeksi fraktur tertutup

18
Pada fraktur terbuka, kuman yang paling banyak menyebabkan infeksi
adalah Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
baumannii, Eschericia coli, dan Acinetobacter xyloxidans.

14% Proteus mirabilis


Pseudomonas aeruginosa
14% Acinetobacter baumannii
50%
Eschericia coli
10% Acinetobacter xyloxidans
4% 8% Lain-lain

Diagram 3. Kuman penyebab infeksi fraktur terbuka.

Diagram 4 memperlihatkan kuman penyebab infeksi pada pasien non


fraktur paling banyak disebabkan oleh Acinetobacter baumannii,
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus hominis, Pseudomonas sutzeri
dan Escherichia coli.

Acinetobacter baumannii

Pseudomonas
15% aeroginosa
Staphylococcus hominis
41% 14%
Pseudomonas stutzeri
12%
Eschericia coli
8% 10%
Lain-lain

Diagram 4. Kuman penyebab infeksi non fraktur.

19
Secara keseluruhan, dari 144 sampel, bakteri gram negatif lebih banyak
menyebabkan infeksi daripada bakteri gram positif. Hal ini dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.

126
Jumlah Kuman

18

Gram Negatif Gram Positif


Jenis Kuman

Diagram 5. Jumlah kuman

Kepekan antibiotik pada kuman-kuman penyebab infeksi tersebut tercantum


pada tabel di bawah ini:

Erythromycin
Meropenenm

Ceftriaxone
Fosfomycin

Gentamicin
Ampicillin
Netilmicin

Imipenem
Amikacin

Cefixime
Jumlah
Jenis Kuman
Sampel

Pseudomonas
20 81 75 100 100 67 10 11 47
aeruginosa
Acinetobacter
16 33 43 44 44 56 25 19 47 6 9
baumannii
Eschericia coli 16 87 73 100 100 100 8 14 42 8
Proteus
14 77 67 93 85 100 31 64 58 42 23
mirabilis
Staphylococcus
11 100 91 91 90 80 63 27
hominis
Pseudomonas
7 100 100 100 100 100 83 80 100 50
stutzeri

>70% Sensitif 40-70% sensitif <40% sensitif

Diagram 6. Sensitivitas antibiotik

20
2. Pembahasan
Hasil dari 144 sampel penelitian ini didapatkan distribusi jenis
kelamin lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan,
dikarenakan laki-laki lebih rentan cedera akibat paparan aktivitas yang
berbahaya pada saat bekerja ataupun pada waktu luang mereka, sedangkan
distribusi usia yang paling banyak adalah kelompok usia 18 – 65 tahun,
karena pada kelompok usia tersebut lebih rawan terkena cedera
dibandingkan kelompok usia yang lain. Hasil ini sesuai dengan penelitian
oleh Saffanah di Jember dimana didapatkan sampel laki-laki sebesar 75,7%
dan terjadi pada rentang usia pasien 26-65 tahun. Sampel pada penelitian ini
sebagian besar didapatkan dari rawat inap sedangkan sampel pada penelitian
di rumah sakit ortopedi di Surabaya pada tahun 2016-2018 didominasi
pasien dari instalasi bedah sentral dengan sampel yang tidak hanya berupa
pus.
Hasil sebaran kuman yang menyebabkan infeksi fraktur terbuka
pada penelitian ini sebagian besar disebabkan oleh Proteus mirabilis (50%),
Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter baumannii (14%). Hasil yang
sama dilaporkan dalam sebuah penelitian oleh Wibisono et al. (2021) dan
Kale et al (2017). Disebutkan pada kedua jurnal tersebut kuman yang sering
ditemukan pada fraktur terbuka adalah Acinetobacter baumannii, yaitu
15,84 % dan 14,06%. Hal ini disebabkan karena kuman tersebut
menunjukkan sensitivitas yang rendah terhadap dua jenis antibiotik yang
diuji (Wibisono et al., 2021).
Proteus mirabilis adalah bakteri gram negatif yang dapat hidup baik
dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini merupakan flora normal dari saluran
cerna manusia dan dapat juga ditemukan bebas di air atau tanah. Jika bakteri
ini memasuki saluran kencing, luka terbuka, atau paru-paru akan menjadi
bersifat patogen. Kebanyakan kasus infeksi Proteus mirabilis terjadi pada
pasien di rumah sakit dan biasanya terjadi karena peralatan medis yang tidak
steril, seperti kateter, nebulizer (untuk inhalasi), dan sarung tangan untuk
pemeriksaan luka (Jawetz, 2008).
21
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif, aerob
obligat yang tersebar luas di alam dan biasanya ditemukan di lingkungan
lembap dalam rumah sakit sehingga dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Bakteri ini dapat berkoloni pada manusia normal dan bersifat
saprofit. Pseudomonas aeruginosa bersifat patogen hanya ketika
dipaparkan pada daerah yang tidak memiliki pertahanan normal, misalnya
saat membran mukosa dan kulit yang terganggu oleh kerusakan jaringan
langsung. Bakteri kemudian akan menempel dan membentuk koloni pada
membran mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal, serta menyebabkan
penyakit sistemik (Jawetz, 2008).
Acinetobacter baumannii merupakan kuman yang secara klinis
dapat menyebabkan infeksi nosokomial karena kuman ini dapat bertahan
pada keadaan dehidrasi sehingga dapat mempertahankan hidupnya selama
berbulan-bulan dalam benda mati sehingga dapat mempermudah
penyebarannya di rumah sakit. (Wibisono et al., 2021).
Infeksi pada fraktur tertutup biasanya jarang terjadi dan biasanya
terjadi setelah dilakukan tindakan penatalaksanaan fraktur seperti open
reduction internal fixation (ORIF). Tujuan dari tindakan ORIF adalah untuk
mengembalikan fungsi pergerakan tulang dan stabilisasi sehingga pasien
diharapkan untuk mobilisasi lebih awal setelah operasi. Infeksi ini secara
umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi, yang merupakan komplikasi
pembedahan yang paling umum terjadi di seluruh dunia. Penelitian oleh
Depypere, et al di Switzerland tahun 2019 menemukan kuman yang
berhubungan dengan fraktur adalah Staphylococcus aureus sebanyak 30-
42%. Pada penelitian ini pada pasien fraktur tertutup yang mengalami
infeksi disebabkan oleh Eschericia coli (47%), Pseudomonas aeruginosa
(15%) dan Acinetobacter baumannii (9%), yang mana sesuai dengan
penelitian dari sejumlah negara berkembang menunjukkan species
Klebsiella, Eschericia colli dan Pseudomonas aeruginosa sebagai patogen
yang signifikan menyebabkan infeksi daerah operasi, termasuk pada
pembedahan bersih (Asia Pasific Society of Infection Control, 2018).
22
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif , bersifat motil
dengan flagela yang bersifat merata dan menyebabkan hemolisis pada agar
darah. Bakteri ini merupakan flora normal usus dan hanya menjadi patogen
jika berada di jaringan di luar usus tempat biasanya bakteri ini berada atau
tempat lain yang jarang ditempati oleh bakteri ini. Escherichia coli dapat
menyebabkan infeksi nosokomial (Jawetz, 2008).
Bakteri gram negatif merupakan kuman yang dominan menjadi
penyebab infeksi pada penelitian ini, dimana ditemukan sebesar 87,5%. Hal
ini serupa dengan penelitian oleh Saffanah tahun 2019 dimana kuman yang
menyebabkan infeksi terkait fraktur adalah kuman gram negatif sebesar
88% dan sisanya kuman gram positif sebesar 12%. Bakteri gram negatif
sering menyebabkan infeksi karena dinding sel bakteri gram negatif
mempunyai membran luar yang memiliki kemampuan dalam mencegah
molekul hidrofobik untuk masuk dan berperan untuk melindungi sel dari
substansi yang merusak, misalnya garam empedu. Walaupun demikian,
membran luar bakteri tersebut memiliki kanal-kanal khusus (terdiri atas
molekul protein yang disebut porin) yang mengizinkan terjadinya difusi
pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, seperti gula, asam
amino dan ion-ion tertentu. Molekul antibiotik yang besar menembus
membran luar dengan relatif lambat sehingga menimbulkan tingginya
resistensi antibiotik pada bakteri gram negatif (Jawetz, 2008).
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan sebelum
tindakan bedah dan sebelum hasil pemeriksaan mikrobiologi keluar.
Pedoman profilaksis pembedahan saat ini menyarankan penggunaan
antibiotik berspektrum sempit, seperti cefazolin untuk mayoritas prosedur
pembedahan. Dalam situasi dimana kejadian infeksi daerah operasi yang
berhubungan dengan MRSA terbilang tinggi atau dalam kasus adanya alergi
terhadap penisilin, maka vankomisin atau fluoroquinolone dapat digunakan
sebagai alternatif (Asia Pasific Society of Infection Control, 2018). Di
bagian ortopedi rumah sakit Dr. Moewardi, biasanya menggunakan
cefazolin untuk pasien fraktur tertutup dan netilmicin untuk fraktur terbuka.
23
Hasil pemetaan antibiotik di rumah sakit di Surabaya dalam kurun
waktu 2016 – 2018 ditemukan tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik
dari golongan fluoroquinolone seperti norfloxcacin dan moxifloxcacin
memiliki pola yang tidak konsisten tiap tahunnya terhadap kuman gram
negatif, dimana sensitivitas terhadap kuman gram negatif 100% (2016),
50% (2017) dan 77, 78% (2018). Pada penelitian ini sensitivitas antibiotik
pada kuman Gram negatif (Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
baumanni, Eschericia coli, Proteus mirabilis, Staphylococcus hominis dan
Pseudomonas stutzeri) ditemukan masih sensitif terhadap antibiotik
amikasin, netilmisin, imipenem, meropenem dan fosfamisin, sedangkan
dengan antibiotik ampisilin, ceftriakson, gentamisin, cefiksim dan
eritromisin kurang sensitif dan ada juga yang resisten (Kloping,2020).

I. KETERBATASAN PENELITIAN
Pada penelitian ini, menggunakan desain retrospektif dimana data merupakan
data sekunder yang didapatkan dari rekam medis, buku register, buku hasil
identifikasi dan hasil uji sensitivitas antibiotik serta tidak ditemukan data
penggunaan antibiotik sebelum perawatan sehingga tidak dapat mengetahui dan
mengendalikan kemungkinan terjadi hasil kultur negatif.

J. SIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini disimpulkan bahwa kuman Gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa, Acinetobacter baumanni, Eschericia coli, Proteus mirabilis,
Staphylococcus hominis dan Pseudomonas stutzeri adalah kuman yang paling
banyak menyebabkan infeksi pada pasien fraktur bedah ortopedi. Kuman-
kuman tersebut masih memiliki sensitivitas yang cukup baik terhadap antibiotik
amikasin, netilmisin, imipenem, meropenem dan fosfomisin tetapi memiliki
sensitivitas yang rendah terhadap ampisilin, seftriakson, gentamisin, sefiksim,
dan eritromisin.
Disarankan keempat obat antibiotik tersebut (ampisilin, seftriakson, gentamisin,
sefiksim, dan eritromisin) sebaiknya dihindari untuk diberikan pada pasien
24
fraktur maupun non fraktur di bedah ortopedi baik dalam bentuk oral maupun
perenteral.

25
Daftar Pustaka

Al-ani, Zimmerman S, Reichling J, Wink M. 2015. Pharmacological synergism of bee and


plant secondary metabolites against multi-drugs resistants microbial pathogens.
International journal of phytotherapy and phytopharmacology. 22(2):pp 245-55.
Apley G, Solomon L. Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. 9th ed. London.
Asia Pasific Society of Infection Control (APSIC), 2018. Pedoman APSIC untuk
pencegahan infeksi daerah operasi, https://apsic-apac.org/guidelines-and-
resources/apsic-guidelines/, diunduh tanggal 20 Desember 2020.
Atmojo AD. 2021. Media MacConkey Agar. https://medlab.id/media-macconkey-agar/.
(diunduh 5 Januari 2022).
Black, J.M., & Hawks, J.H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.
Drinka, P., Bonham, P., Crnich, C.J. 2012. Swab Culture of Purulent Skin Infection to
Detect Infection or Colonization With Antibiotic-Resistant Bacteria. Jamda No 3,
p: 7
Gomes D, Pareira M. 2013. Osteomielitis an overview of anti microbial therapi. Brazilian
Journal of Pharmaceutical Sciences vol. 49.
Harartasyahrani, R. A. & Simamora, S. 2021. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Pada Pasien Bedah Kategori Highly Recommended Di Rumah Sakit “X” Kota
Prabumulih. J. Muara Sains, Teknol. Kedokt. dan Ilmu Kesehat. 5, 121.
Jawetz, Melnick, Adelbergs. 2008. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Kloping, N. A., Nugraha, D., Witarto, A. P. & Irianto, K. A. 2020. Antibiotic Sensitivity
Pattern of Bacterial Isolate in Musculoskeletal Cases at Surabaya Orthopedic and
Traumatology Hospital. Damianus J. Med. 19, pp 47–62.
Koneman EW. 2006. Koneman’s color atlas and tyextbook of diagnostic microbiology.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Hasil Riskesdas 2018.
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-
riskesdas-2018_1274.pdf. (diunduh tanggal 22 September 2021).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. https://persi.or.id /wp-content/uploads/2020/11/pmk24062011.pdf.
(diunduh tanggal 22 September 2021).
National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS). 2005. Performance
standards for antimicrobial disk susceptibility testing. Penssylvania.
Saffanah, N. I. 2020. Antibiogram Kasus Infeksi Luka Operasi Pasca Bedah orthopedi RSD
Dr Soebandi Kabupaten Jember Periode januari-Desember 2019. pp 1–52.
Salter RB. 2008. Textbook of Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System: an
Introduction to Orthopaedics, Reumatology, Metabolic Bone Disease,
Rehablitation and Fractures. Third Edition. Michigan : William & Wilkins.
Sekaaram V. & Ani L. S. 2017. Prevalensi Musculoskeletal Disorders (MDSs) pada
Pengemudi Angkutan Umum di Terminal Mengwi, Kabupaten Badung-Bali.
Intisari Sains Medika, Vol 8, No 2. Pp118-124.
Tankeshwar A. 2021. Blood Agar and Types of Hemolysis.
https://microbeonline.com/blood-agar-composition-preparation-uses-and-types-of-
hemolysis/#Alpha_hemolysis (diunduh tanggal 15 Januari 2022)
Tsang Jenifer, 2020, Identifying Bacteria Through Look, Growth, Stain and Strain,
https://asm.org/Articles/2020/February/Identifying-Bacteria-Through-Look,-
Growth,-Stain (diunduh tanggal 20 Januari 2022).

26
Valya B., et al. 2017. Antibiotic sensitivity and resistance pattern in orthopedic infectiou
cases of a tertiary care teaching hospital. International journal of life science &
pharma research 7. pp 24-29
Wanger, Chavez, Huang, Wahed, Actor. Dasgupta. 2017. Microbiology and Molecular
Diagnosis in Pathology.
Waridiarto, D., Priambodo, A. & Lestari, E. 2015. Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada
Kasus Bedah Orthopedi Di Bangsal Bedah Rsup Dr. Kariadi. J. Kedokt. Diponegoro
4. Pp 618–625.
World Health Organisation (WHO), 2013, Basic Laboratory Procedures in clinical
Bacteriology, Genewa. http://helid.digicollection.org/en/d/Jwho01e/4.8.1.html.
(diunduh tanggal 1 Juni 2021).
Wibisono RTM., Utomo DN., Widodo ADW. 2021. Antibiotic Susceptibility of Bacteria
Isolated from Open Fracture Grade III Presenting to Dr. Soetomo General
Hospital Surabaya. Journal Orthopaedi and Traumatology Surabaya; 10(1). Pp 1-
10.

27
Lampiran

1. Kuman penyebab infeksi pada fraktur tertutup

Species Jumlah Persentase


Eschericia coli 7 15,6
Pseudomonas aeruginosa 6 13,3
Acinetobacter baumannii 4 8,9
Proteus mirabilis 4 8,9
Staphylococcus hominis 3 6,7
Acinetobacter iwofii 2 4,4
Enterobacter cloacae 2 4,4
Klebsiella pneumoniae 2 4,4
Staphylococcus caprae 2 4,4
Staphylococcus epidermidis 2 4,4
Staphylococcus saprophyticus 2 4,4
Acinetobacter haemolyticus 1 2,2
Corynebacterium striatum 1 2,2
Enterobacter aerogenes 1 2,2
Enterobacter asburiae 1 2,2
Enterococcus faecalis 1 2,2
Pseudomonas stutzeri 1 2,2
Serratia marcescens 1 2,2
Staphylococcus haemolyticus 1 2,2
Staphylococcuc sciuri 1 2,2

28
2. Kuman penyebab infeksi pada fraktur terbuka

Species Jumlah Persentase


Proteus mirabilis 7 14
Pseudomonas aeruginosa 7 14
Acinetobacter baumannii 5 10
Eschericia coli 4 8
Acinetobacter xyloxidans 2 4
Burkholderia cepacia 2 4
Enterobacter cloacae 2 4
Klebsiella pneumonia 2 4
Serratia marcescens 2 4
Staphylococcus epidermidis 2 4
Staphylococcus hominis 2 4
Acinetobacter iwofii 1 2
Aeromonas caviae 1 2
Enterobacter aerogenes 1 2
Enterococcus faecalis 1 2
Flavimona oryzihabitans 1 2
Klebsiella oxytoca 1 2
Pseudomonas alcaligenes 1 2
Pseudomonas putida 1 2
Pseudomonas stutzeri 1 2
Staphylococcus aureus 1 2
Staphylococcus cohnii 1 2
Staphylococcus sciuri 1 2
Stenotrophonas maltophilia 1 2

29
3. Kuman penyebab infeksi pada non fraktur

Species Jumlah Persentase


Acinetobacter baumannii 7 14,3
Pseudomonas aeroginosa 7 14,3
Staphylococcus hominis 6 12,2
Pseudomonas stutzeri 5 10,2
Eschericia coli 4 8,2
Proteus mirabilis 3 6,1
Klebsiella pneumonia 2 4,1
Micrococcus luteus 2 4,1
Serratia marcescens 2 4,1
Acinetobacter junii 1 2,0
Aeromonas hydrophila 1 2,0
Aeromonas salmonicida 1 2,0
Kocuria kristinae 1 2,0
Pantoea sp 1 2,0
Pseudomonas putida 1 2,0
Staphylococcus epidermidis 1 2,0
Staphylococcus haemolyticus 1 2,0
Staphylococcus saprophyticus 1 2,0
Staphylococcus warneri 1 2,0
Stenotrophomonas maltophilia 1 2,0

30

Anda mungkin juga menyukai