Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH TEKHNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN POST


OPERATIF APENDIKTOMI DI RUMAH SAKIT HERMINA
SUKABUMI

PROPOSAL SKRIPSI

REGISTA RANDI

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................


KATA PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................................
DAFTAR TABEL ....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah ......................................................................5
1.3 Rumusan Masalah .........................................................................6
1.4 Tujuan Penelitian ..........................................................................7
1.5 Hipotesis ........................................................................................7
1.6 Manfaat Penelitian ........................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Nyeri ..............................................................................................9
2.2 Apendiktomi.................................................................................11
2.3 Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam .................................................14
2.4 Keranga Teori ..............................................................................21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian ..................................................................28
3.2 Kerangka penelitian ....................................................................29
3.3 Variabel penelitian ......................................................................29
3.4 Definisi operasional ....................................................................30
3.5 Populasi dan sampel penelitian ...................................................31
3.6 Tehnik pengumpulan data ...........................................................33
3.7 Pengolahan data dan analisis data ...............................................35
3.8 Tempat dan waktu penelitian ......................................................36

iii
3.9 Etika penelitian ............................................................................37

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

iv
DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman


Tabel 3.1 Definisi Operasional ......................................................................30

v
DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman


Gambar 2.1 Skla Nyeri ......................................................................................21
Gambar 2.2 ........................................................................................................27
Gambar 3.1 ........................................................................................................28
Gambar 3.2 Kerangka Konsep ..........................................................................29

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum).
Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(Nanda, 2013). Gejala klinis apendiksitis ialah nyeri samar-samar tumpul
yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah, nafsu makan menurun dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney
(Sjamsuhidayat, 2011).
Appendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering
terjadi, walaupun apendiksitis dapat terjadi setiap usia, namun paling sering
pada orang dewasa muda, sebelum era antibiotik, angka mortalitas penyakit
ini tinggi (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Appendiksitis ini dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insiden pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada
wanita (Santacroce, 2009).
Menurut WHO memperkirakan insidens apendiksitis di dunia tahun
2007 mencapai 7% dari keseluruhan jumlah penduduk di dunia (Juliansyah,
2008). Usia 20-30 tahun adalah usia yang paling sering mengalami
apendiksitis. Sementara itu untuk di Indonesia sendiri apendiksitis merupakan
penyakit urutan ke empat terbanyak dari pada tahun 2006. Data yang dirilis
oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008 jumlah
penderita apendiksitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat
pada tahun 2009 sebesar596.132 orang.
Appendiksitis biasanya di lakukan tindakan operasi (appendiktomi)
merupakan suatu ancaman potensial atau actual kepada integritas seseorang

1
2

baik biopsiko-sosial yang dapat menimbulkan respons berupa nyeri. Rasa


nyeri tersebut biasanya timbul setelah operasi. Nyeri merupakan sensasi
objektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan
jaringan actual dan potensia
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, pada umur
20-30 tahun dan insidens laki-laki lebih tinggi. Berbagai hal sebagai
pencetusnya. Selain hiperplasia jaringan limfa, sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain dapat menimbulkan apendiksitis ialah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti Enterobacter histolytica (Sjamsuhidayat, 2011). Bahaya
apendiksitis jika tidak segera ditangani maka akan mengakibatkan komplikasi
seperti infeksi luka, infeksi intra abdomen, fistula fekal, obstruksi usus, hernia
insisional, peritonitis (paling sering) dan kematian (Kimberly, 2012).
Penatalaksanaan apendiksitis adalah apendiktomi. Apendiktomi adalah
tindakan operasi untuk mengangkat apendiksitis yang dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Jitowiyono, 2010).
Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan
bedah ablatif atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami
masalah atau mempunyai penyakit (Muttaqin, 2009). Prosedur apendiktomi
adalah pembedahan ditunda sampai terapi antibiotik dimulai bila dicurigai
abses, puasa sampai setelah menjalani pembedahan, kemudian secara
bertahap kembali ke diet normal, ambulasi pasca bedah dan spirometri
insentif (Kimberly, 2012). Efek tindakan apendiktomi bisa menimbulkan
nyeri daerah operasi.
Nyeri menurut beberapa ahli, sebagai suatu fenomena misterius yang
tidak dapat didefinisikan secara khusus. Nyeri adalah salah satu alasan paling
umum bagi pasien untuk mencari bantuan medis dan merupakan salah satu
keluhan yang paling umum di Amerika Serikat, 9 dari 10 orang amerika
berusia 18 tahun atau lebih, menderita nyeri minimal sekali dalam sebulan,
dan 42% merasakan setiap hari (Chandra, 2009). Nyeri adalah suatu
3

pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari


kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensori yang dinyatakan
sebagai pegal, linu, ngilu, keju, kemeng dan seterusnya dapat dianggap
sebagai modalitas nyeri (Muttaqin, 2009).
Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan pengaruhnya
pada aktivitas sehari-hari. Efek fisik, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat
mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yaitu dapat
mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin
dan imunologik Efek perilaku, dapat di amati dari respon vokal (menangis),
ekspresi wajah (meringis), gerakan tubuh (perasaan gelisah) dan interaksi
sosial (menghindari percakapan). Pengaruh pada aktivitas sehari-hari, yaitu
kesulitan dalam melakukan hygiene dan menggangu dalam mempertahankan
hubungan seksual (Andarmoyo, 2013).
Salah satu tindakan keperawatan untuk mengurangi rasa nyeri adalah
teknik relaksasi nafas dalam. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
metode yang efektif untuk menghilangkan rasa nyeri terutama pada klien
yang nafas mengalami nyeri yang sifatnya kronis. Rileks sempurna yang
dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga
mencegah menghebatkannya stimulasi nyeri (Kusyati, 2006). Prosedur nafas
dalam yaitu anjurkan pasien untuk duduk rileks, anjurkan klien untuk tarik
nafas dalam dengan pelan, tahan beberapa detik, kemudian lepaskan (tiupkan
lewat bibir) dan saat menghembuskan udara anjurkan klien untuk merasakan
relaksasi (Prasetyo, 2010).
Berdasarkan Hasil penelitian didapatkan bahwa 17 orang sebelum
dilakukan relaksasi nafas dalam skala nyeri 5.00 dan sesudah diberikan
relaksasi nafas dalam skala nyeri3.00 berdasarkan hasil uji wilcoxon bahwa
ada pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post
opetarif appendectomy dengan nilai p=0.000, ada pengaruh relaksasi nafas
dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operatif
appendictomy.Mengingat relaksasi nafasdalam dapat menurunkan nyeri post
4

operatif appendectomy perawat ruangan dapat diterapkan kepada pasien post


operatif appendectomy sebagai terapi non farmakologi,(Nuraeni,2017 ).
Hasil ratarata skala nyeri pasien frakur sebelum dilakukan teknik
relaksasi nafas dalam adalah skala 4 (nyeri sedang) dan untuk skor tingkat
skala nyeri tertinggi dan terendah yaitu 2 (nyeri ringan) dan 6 (nyeri sedang).
Sedangkan rata-rata skala nyeri setelah dilakukan teknik relaksasi nafas
dalam adalah 2,80 atau dengan skala 3 (nyeri ringan) dan untuk skor tertinggi
dan terendah yaitu 1 (nyeri ringan) dan 5 (nyeri sedang). Hasil uji statistik
didapatkan nilai p-value=0,001, maka dapat disimpulkan ada pengaruh yang
signifikan tingkat skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi
nafas dalam pada pasien fraktur ( Reskita, 2018 ).
Hasil pengkajian yang dilakukan penulis terhadap pasien post operasi
apendiktomi hari ke-0 di ruang rawat inap rumah sakit hermina sukabumi
didapatkan hasil pasien mengeluh nyeri didukung data subjektif “pasien
mengatakan nyeri timbul saat bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-
tusuk (Q), nyeri dirasakan pada perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 6
(S), nyeri timbul terus- menerus (T)” dan data objektif “pasien tampak
meringis sakit, pasien tampak berhati-hati saat bergerak dan TD : 130/80, N :
84x/menit, RR : 24x/menit, S : 36,9̊C dan terdapat luka post operasi
apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah dengan balutan kurang lebih 10
cm dengan garis horizontal dan balutan dalam bersih”.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik mengambil judul
Pengaruh tekhnik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien
post operatif apendiktomi di Rumah Sakit Hermina Sukabumi”.

1.2 Identifikasi Masalah


Adapun hasil identifikasi masalah dalam penelitian ini peneliti
melakukan pengkajian terhadap pasien post operasi apendiktomi hari ke-0 di
ruang rawat inap rumah sakit hermina sukabumi didapatkan hasil pasien
mengeluh nyeri didukung data subjektif “pasien mengatakan nyeri timbul saat
bergerak (P), nyeri terasa panas dan tertusuk-tusuk (Q), nyeri dirasakan pada
5

perut sebelah kanan bawah (R), skala nyeri 6 (S), nyeri timbul terus- menerus
(T)” dan data objektif “pasien tampak meringis sakit, pasien tampak berhati-
hati saat bergerak dan TD : 130/80, N : 84x/menit, RR : 24x/menit, S : 36,9̊C
dan terdapat luka post operasi apendiktomi pada perut sebelah kanan bawah
dengan balutan kurang lebih 10 cm dengan garis horizontal dan balutan dalam
bersih,
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Pengaruh tekhnik
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien post operatif
apendiktomi di Rumah Sakit Hermina Sukabumi.
6

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui
Pengaruh tekhnik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada
pasien post operatif apendiktomi di Rumah Sakit Hermina Sukabumi
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh sebelum dilakukan tekhnik relaksasi dalam
penurunan nyeri pada pasien post operatif apendiktomi di Rumah Sakit
Hermina Sukabumi
2. Mengetahui pengaruh sesudah dilakukan tekhnik relaksasi dalam
penurunan nyeri pada pasien post operatif apendiktomoi di Rumah
Sakit Hermina Sukabumi.
3. Mengetahui Pengaruh sebelum dan sesudah tekhnik relaksasi nafas
dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien post operatif apendiktomi
di Rumah Sakit Hermina Sukabumi.
1.5 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “ Ada Pengaruh tekhnik
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien post operatif
apendiktomi di Rumah Sakit Hermina Sukabumi.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Guna Teoritis (Keilmuan)
1. Bagi Peneliti
Dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan atau wawasan
mengenai Pengaruh tekhnik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan
nyeri pada pasien post operatif apendiktomi di Rumah Sakit Hermina
Sukabumi
7

2. Bagi Instituti Pendidikan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan dan masukan untuk memperluas wawasan dan untuk
menambah bahan bacaan serta referensi bagi perpustakaan di institusi
pendidikan kebidanan sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca,
serta dapat dikembangkan melalui penelitian selanjutnya

1.6.2 Guna Praktisi


1. Bagi Responden
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang tekhnik
relaksasi napas pada pasien post oprative apendiktomi
2. Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan
pelayanan dengan lebih maksimal dan komprehensif sehingga dalam
menjalankan tugas lebih meningkat hasil kerja dan kinerja.
3. Bagi Profesi
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan
masukan bagi tenaga kesehatan untuk memberiksan tekhnik relaksasi
napas, untuk pasien post operative apendiktomi, dengan menggunakan
non farmakologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri
2.1.1 Pengertian
Nyeri merupaakan kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang
berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya (Tetty, 2015). Menurut Smeltzer & Bare (2002), definisi
keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang
dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakkannya.
Nyeri sering sekali dijelaskan dan istilah destruktif jaringan seperti
ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, pada perasaan takut,
mual dan mabuk. Terlebih, setiap perasaan nyeri dengan intensitas sedang
sampai kuat disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan
diri dari atau meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan mekanisme
pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan
menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri
(Guyton & Hall, 1997).
2.1.2 Teori Nyeri
1. Teori Intensitas (The Intensity Theory)
Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada receptor. Setiap
rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika
intensitasnya cukup kuat (Saifullah, 2015).
2. Teori Kontrol Pintu (The Gate Control Theory)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa
impuls nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme pertahanan
disepanjang system saraf pusat, dimana impuls nyeri dihantarkan saat

8
9

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan


ditutup (Andarmoyo, 2013)
3. Teori Pola (Pattern theory)
Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989), teori ini
menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori
yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat
dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari impuls saraf
(Saifullah, 2015). Teori pola adalah rangsangan nyeri masuk melalui
akar ganglion dorsal medulla spinalis dan rangsangan aktifitas sel T.
Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang bagian yang
lebih tinggi yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu otot
berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh
modalitas respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).
4. Endogenous Opiat Theory
Teori ini dikembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan
bahwa terdapat subtansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam
tubuh, subtansi ini disebut endorphine yang mempengaruhi transmisi
impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine mempengaruhi
transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine
kemungkinan bertindak sebagai neurotransmitter maupun
neuromodulator yang menghambat transmisi dari pesan nyeri (Hidayat,
2014).
2.1.3 Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana
reseptor nyeri memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan.
Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin,
prostaglandin dan macam-macam asam yang terlepas apabila terdapat
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain
dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri
10

dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi serabut saraf


perifer aferen yaitu serabut A-delta dan serabut C.
Serabut Adelta memiliki myelin, mengimpulskan nyeri dengan
cepat, sensasi yang tajam, jelas melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut C tidak memiliki myelin, berukuran sangat kecil,
menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-
menerus (Potter & Perry, 2005). Ketika serabut C dan A-delta
menyampaikan rangsang dari serabut saraf perifer maka akan melepaskan
mediator biokimia yang aktif terhadap respon nyeri, seperti : kalium dan
prostaglandin yang keluar jika ada jaringan yang rusak. Transmisi stimulus
nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai berakhir di bagian
kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam kornu dorsalis, neurotransmitter
seperti subtansi P dilepaskan sehingga menyebabkan suatu transmisi
sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinolatamus. Selanjutnya
informasi di sampaikan dengan cepat ke pusat thalamus (Potter & Perry,
2005).
2.1.4 Jenis Jenis Nyeri
Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik
hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama
terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun
sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi
kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu
nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala &
Suryamiharja, 2007).
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
11

penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan


dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati
karena biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Strong, Unruh, Wright
& Baxter, 2002). Nyeri kronik ini juga sering di definisikan sebagai
nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam
bulan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membedakan
nyeri akut dan nyeri kronis (Potter & Perry, 2005).
Berdasarkan lokasinya Sulistyo (2013) dibedakan nyeri menjadi,
1. Nyeri Frifer
Nyeri ini ada tiga macam yaitu:
a. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
kulit dan mukosa
b. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
c. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh
dari penyebab nyeri.
2. Nyeri sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak
dan talamus.
3. Nyeri psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini
timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.
2.1.5 Mengkaji Intensitas Nyeri
1. Skala Deskriptif Verbar ( VDS )
Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak
yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari
“tidak nyeri” sampai “nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan
12

klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan (Potter & Perry, 2006).
Gambar 2.1 Skala Deskriptif Verbal (Potter & Perry, 2006)

Deskriptif

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Yang


Nyeri Ringan Sedang Berat Tidak Tertahankan

2. Skala Penilaian Numerik ( NRS )


Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Klien menilai
nyeri dengan menggunakan skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja,
2007).
Gambar 2.2 Numerical Rating Scale (Potter & Perry, 2006)

3. Skala Analog Visual


VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri (Potter & Perry, 2006).
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (Potter & Perry, 2006)

4. Skala Nyeri Wajah


Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri),
13

kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia,


wajah yang sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan (nyeri
yang sangat) (Potter & Perry, 2006).

Gambar 2.4 Skala Nyeri Wajah (Potter&Perry, 2006)

2.1.6 Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri


1. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh
anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami
kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan
rasa nyarinya, sementara lansia mungkin tidak akan melaporkan
nyerinya dengan alasan nyeri merupakan sesuatu yang harus mereka
terima (Potter & Perry, 2006).
2. Jenis Kelamin
Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan
mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada yang menganggap bahwa
seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015)
3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima
oleh kebudayaan mereka (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
4. Perhatian
14

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat


mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini
merupakan salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi
untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi
terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, misalnya
pengalihan pada distraksi (Fatmawati, 2011).
5. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga
dapat menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian
system limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang
khususnya ansietas (Wijarnoko, 2012).
6. Kelemahan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping (Fatmawati, 2011).
7. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu sejak
lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika
individu mengalami jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri
tersebut dengan berhasil dihilangkan akan lebih mudah individu
tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri (Rahadhanie dalam Andari,
2015).
8. Gaya Koping
Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Sumber
koping individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau
melakukan latihan atau menyanyi (Ekowati, 2012).
9. Dukungan Keluarga dan Social
15

Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk


dapat memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan
meminimalkan ketakutan akibat nyeri yang dirasakan, contohnya
dukungan keluarga (suami) dapat menurunkan nyeri kala I, hal ini
dikarenakan ibu merasa tidak sendiri, diperhatikan dan mempunyai
semangat yang tinggi (Widjanarko, 2012).
10. Makna Nyeri
Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan
tantangan. Misalnya seorang wanita yang bersalin akan
mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan wanita yang mengalami
nyeri cidera kepala akibat dipukul pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri
(Potter & Perry, 2006).
2.1.7 Manajemen Nyeri
1. Pendekatan Farmakologi
Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri
terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama
berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode yang paling umum
digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic (Strong, Unruh,
Wright & Baxter, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada tiga
jenis analgesik yakni:
a) Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID):
menghilangkan nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat
berguna bagi pasien yang rentan terhadap efek pendepresi
pernafasan.
b) Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan
untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi.
Efek samping dari opiad ini dapat menyebabkan depresi
pernafasan, sedasi, konstipasi, mual muntah.
16

c) Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti


sedative, anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri
atau menghilangkan gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi
dan mual (Potter & Perry, 2006).
2. Intervensi Keperawatan Mandiri non Farmakologi
Intervensi keperawatan mandiri menurut Bangun & Nur’aeni (2013),
merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara
mandiri tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam
pelaksanaanya perawat dengan pertimbangan dan keputusannya
sendiri. Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk
memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan
nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang
dapat membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri
nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun
tidakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan (Smeltzer &
Bare, 2002).
a. Masase dan Stimulasi Kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum. Sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat
pasien lebih nyaman (Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan
stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan selama 3-
10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara
melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri
(Potter & Perry, 2006). Salah satu teknik memberikan masase
adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan
(Slow stroke back massage). Stimulasi kulit menyebabkan
pelepasan endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri.
Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan
transmisi serabut saraf sensori A Beta yang lebih besar dan lebih
cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan
delta-A yang berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps menutup
transmisi implus nyeri (Potter & Perry, 2006). Penelitian yang
17

dilakukan oleh lestari (2015), tentang tentang pemanfaatan


stimulasi kutaneus (Slow Stroke Back Massage) menunjukan ada
pengaruh stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) terhadap
intensitas nyeri haid pada siswi kelas XI SMA Muhammadiyah 7
Yogyakarta.
b. Effleurage Masase
Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan telapak
tangan yang memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh
dengan arah sirkular secara berulang (Reeder dalam Parulian,
2014). Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah kedua
telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan
dengan pola gerakan melingkari abdomen, dimulai dari abdomen
bagian bawah di atas simphisis pubis, arahkan ke samping perut,
terus ke fundus uteri kemudian turun ke umbilicus dan
kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis pubis, bentuk
pola gerakannya seperti “kupu-kupu”. Masase ini dilakukan selama
3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika
dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009). Effleurage
merupakan teknik masase yang aman, mudah untuk dilakukan,
tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya, tidak
memiliki efek samping dan dapat dilakukan sendiri atau dengan
bantuan orang lain (Ekowati, 2011).
c. Ditraksi
Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain
pada nyeri dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan
mungkin merupakan mekanisme terhadap teknik kognitif efektif
lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Smeltzer and
Bare, 2002).
18

Beberapa sumber-sumber penelitian terkait tentang teknik distraksi


yang ditemukan peneliti sejauh ini efektif diterapkan pada pasien
anak-anak terutama usia prasekolah sebagaimana dalam penelitian
Pangabean pada tahun (2014), menurut Pangabean salah satu
teknik distraksi adalah dengan bercerita dimana teknik distraksi
bercerita merupakan salah satu strategi non farmakologi yang dapat
menurunkan nyeri. Hal ini terbukti pada penelitiannya dimana
teknik distraksi dengan bercerita efektif dalam menurunkan nyeri
anak usia prasekolah pada pemasangan infus yakni dari nyeri skala
3 ke nyeri skala 2. Sartika, Yanti, Winda (2015), menambahkan
salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan dalam
penatalaksanaan nyeri lainnya adalah dengan menonton film cartun
animasi, dimana ini terbukti dalam penelitiannya bahwa dengan
diberikan distraksi berupa menonton film cartun animasi efektif
dalam menurunkan nyeri anak usia prasekolah saat pemasangan
infus.
d. Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental
dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni,
bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta
musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental (Eka,
2011). Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik, pasien umumnya lebih menyukai
melakukan suatu kegiatan memainkan alat musik, menyanyikan
lagu atau mendengarkan musik. Musik yang sejak awal sesuai
dengan suasana hati individu, merupakan pilihan yang paling
baik (Elsevier dalam Karendehi, 2015). Musik menghasilkan
perubahan status kesadaran melalui bunyi, kesunyian, ruang dan
waktu. Musik harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat
memberikan efek terapiutik. Dalam keadaan perawatan akut,
19

mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif


dalam upaya mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2005).
e. GIM (Guided Imagery Music)
GIM (Guided Imagery Music) merupakan intervensi yang
digunakan untuk mengurangi nyeri. GIM mengombinasikan
intervensi bimbingan imajinasi dan terapi musik. GIM dilakukan
dengan memfokuskan imajinasi pasien. Musik digunakan untuk
memperkuat relaksasi. Keadaan relaksasi membuat tubuh lebih
berespons terhadap bayangan dan sugesti yang diberikan sehingga
pasien tidak berfokus pada nyeri (Suarilah, 2014).
3. Terapi Musik Mozart
Pada dewasa ini banyak jenis musik yang dapat diperdengarkan namun
musik yang menempatkan kelasnya sebagai musik bermakna medis
adalah musik klasik karena musik ini maknitude yang luar biasa pada
perkembangan ilmu kesehatan, diantaranya memiki nada yang lembut,
nadanya memberikan stimulasi gelombang alfa, ketenangan dan
membuat pendengarnya lebih rileks (Dofi dalam Liandari, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Liandari, Hendra dan Parjo tentang
pemberian terapi musik mozart terhadap intensitas nyeri haid pada
remaja putri di SMA Negeri 1 Pontianak pada tahun 2015 skala nyeri
yang dialami remaja putri sebelum pemberian terapi musik klasik
(mozart) yaitu skala nyeri sedang (68,4%). Sedangkan skala nyeri
yang dialami remaja putri setelah pemberian terapi musik klasik
(mozart) terbanyak pada nyeri ringan (47,4%). Maka terdapat
pengaruh terapi musik klasik (mozart) terhadap penurunan
intensitas nyeri haid (dismenore) pada remaja putri di SMA Negeri 1
Pontianak tahun 2015.
4. Hidrotherapi Rendam Kaki dengan Air Hangat
Salah satu terapi nonfarmakologi adalah hidroterapi rendam kaki air
hangat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti pada tahun
2015 tentang pengaruh hidroterapi rendam kaki air hangat terhadap 17
20

pasien post operasi di RS Islam Sultan Agung Semarang terdapat


penurunan intensitas nyeri dari sebelum diberikan 4,06 dan setelah
diberikan intensitas nyeri menjadi 2,71 dan terdapat pengaruh
hodroterapi rendam kaki air hangat terhadap penurunan nyeri pasien
post operasi dengan nilai p value 0,003 (p value <0,05).
5. Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi bernafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat
mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam
system saraf otonom (Fitriani, 2013). Pasien dapat memejamkan
matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan
lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus)
(Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Huges dkk dalam Fatmawati (2011), teknik relaksasi melalui
olah nafas merupakan salah satu keadaan yang mampu merangsang
tubuh untuk membentuk sistem penekan nyeri yang akhirnya
menyebabkan penurunan nyeri, disamping itu juga bermanfaat untuk
pengobatan penyakit dari dalam tubuh meningkatkan kemampuan fisik
dan keseimbangan tubuh dan pikiran, karena olah nafas dianggap
membuat tubuh menjadi rileks sehingga berdampak pada
keseimbangan tubuh dan pengontrolan tekanan darah.

2.1.8 Peran Perawat dalam Mengatasi Nyeri


1. Mencari faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya nyeri yang
dialami pasien
21

2. Mengevaluasi riwayat nyeri pasien dan keluarga dalam menghadapi


nyeri
3. Mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian nyeri yang telah di
lakukan pada masa lalu
4. Membantu memberi dukungan pada pasien dan keluarga
5. Menentukan berapa sering melakukan penilaian dan pemantauan
kenyamanan pasien
6. Memberi informasi kepada pasien tentang nyeri pasien seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berlangsung dan prosedur
yang akan dilakukan
7. Mengurangi dan menghilangkan faktor-faktor yang memicu atau
menyebabkan nyeri (misalnya ketakutan, kelelahan, kurangnya
pengetahuan)
8. Kaji penggunaaan metode farmakologi nyeri pasien
9. Berkolaborasi dengan pasien dan profesionalisme kesehatan lainnya
untuk memilih dan menerapkan farmakologi yang sesuai
10. Mengevaluasi efektifitas langkah-langkah control;
menyeryang digunakan melalui penilaian yang berkelanjutan
11. Menyarankan pasien untuk istirahat dalam mengurangi nyeri
12. Mendorong pasien untuk mendiskusikan rasa nyeri yang dialaminya
13. Memberikan informasi kepada perawat lainnya serta anggota keluarga
mengenai strategi managemen nyeri non farmakologi
14. Menggunakan pendekatan multidisiplin untuk managemen nyeri
15. Pertimbangkan kesediaan pasien untuk berpartisipasi, kemampuan
pasien berpartisipasi untuk memilih strategi nyeri
16. Mengajarkan prinsip-prinsip managemen nyeri
17. Mengajarkan penggunaan teknik non farmakologi (misalnya relaksasi
napas dalam, terapi musik, distraksi,terapi aktifitas, akupresur, terapi
es dan panas, masase dll).
2.2 Apendiktis
2.2.1 Pengertian Apendiktis
22

Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau


umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila
infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan
saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus
besar atau cekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan
dan terletak di perut kanan bawah (Jitowiyono, 2010).
Apendiksitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu
(apendiks). Infeksi ini bisa mengkibatkan peradangan akut sehingga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya (Nanda, 2013).
2.2.2 Klasifikasi Apendiktis
Klasifikasi apendiksitis terbagi atas 3 yakni :

a. Apendiksitis akut radang mendadak umbai cacing yang memberikan


tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritonium
local.
b. Apendiksitis rekrens yaitu adalah riwayat nyeri berulang diperut kanan
bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini
terjadi bila serangan apendiksitis tidak pernah kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fibrosis jaringan parut.
c. Apendiksitis kronis mermiliki riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik (fibrosis menyeluruh didinding apendiks, sumbatan
parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang
setelah apendiktomi (Nanda, 2013).

2.2.3 Apendiktis
Apendikitis akut umumya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
23

obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen


apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras
(fekalit), hipeplasaia jaringan limfoid, penykit cacing, parasit, benda asing
dalam tubuh, dan cancer primer. Namun yang paling sering menyebabkan
obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid
(Irga, 2007). Penyebab apendiksitis yang lain diantaranya :
Leaflet adalah alat promosi yang terbuat dari kertas yang di
dalamnya terdapat sejumlah informasi dan penawaran mengenai jasa atau
produk. Leaflet/Brosur/Liptan adalah media berbentuk selembar kertas
yang diberi gambar dan tulisan (biasanya lebih banyak tulisan) pada kedua
sisi kertas serta dilipat sehingga berukuran kecil dan praktis dibawa.
Biasanya ukuran A4 dilipat tiga.
a. Inflamasi akut pada apendik dan edema
b. Ulserasi pada mukosa
c. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)
d. Pemberian barium
e. Berbagai macam penyakit cacing
f. Tumor atau benda asing
g. Struktur karena fibrosis pada dinding usus (Dermawan, 2010).

2.2.4 Manifestasi Klinik


Apendiksitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari:
mual, muntah dan nyeri yang hebat diperut kanan bagian bawah. Nyeri
bisa secara mendadak dimulai dari perut sebelah atas atau disekitar pusar,
lalu timbul mual dan muntah. Rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke
perut bagian kanan bawah setelah beberapa jam. Apabila menekan daerah
ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan
nyeri bisa bertambah tajam (Jitowiyono, 2010).
Timbulnya gejala ini tergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut ini gejala yang timbul apabila apendiks meradang.
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
24

jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih
kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan
seperti berjalan, bernafas dalam, batuk dan mengedan. Nyeri ini timbul
karena adanya kontraksi mayor yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).
c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan
dindingnya (Huda, 2013).

2.2.5 Patofisologi
Penyebab dari apendiksitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikeal
oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material
garam kalsium, debris fekal), atau parasit (Kart, 2009).
Studi epidemologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timulnya apendiksitis. Konstipasi
akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa (Sjamsuhidayat, 2005).
Kondisi obstruksi akan meningkatakan tekanan intralumial dan
peningkatan perkembangan bakteri. Hal ini akan terjadi peningkatan
kongestif dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut
pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini pasien akan
mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan berlanjutnya proses
inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan serosa
apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan perietal peritoneum,
maka intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009).
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan
meningkatakan tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa
25

dinding apendiks yang disebut apendiksitis mukosa, dengan manifestasi


pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks
yang disebut apendiksitis supuratif. Sebenarnya tubuh juga melakukan
usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini dengan cara
menutup apendiks dengan omentum dan usus halus sehingga terbentuk
massa periapendikular yang dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Dalam usus halus dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendiksitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat (Muttaqin, 2011).
Kondisi apendiksitis berlanjut akan meningkatkan resiko terjadinya
perforasi dan pembentukan massa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respon
inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi
apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan
manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akam
memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi
apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan
bawah (Tzanakis, 2005).
2.2.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi apendiksitis di antaranya:
a. Perforasi apendiks
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot
dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis atau abses
yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin
jelas.

b. Peritonitis atau abses


Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasif untuk menutup asal perforasi. Bila terbentuk abses apendiks
26

akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung


menggelembung ke arah rektum atau vagina.
c. Dehidrasi
d. Sepsis
e. Elektrolit darah tidak seimbang (Dermawan, 2010).
2.2.7 Penetalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang paling baik adalah apendiktomi (Sjamsuhidayat,
2005). Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai
tujuan bedah ablatif atau melakukan pengangkatan bagian tubuh yang
mengalami masalah atau mempunyai penyakit (Muttaqin, 2009).
Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks di lakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Jitowiyono, 2009).
Terapi umum pada pasien apendiksitis yaitu:
a. Pembedahan di tunda sampai terapi antibiotik di mulai, bila dicurigai
abses.
b. Puasa sampai setelah menjalani pembedahan, kemudian secara
bertahap kembali ke diet normal.
c. Ambulasi pasca bedah dini.
d. Spirometri insentif (Kimberly, 2011 )

2.3 Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam


2.3.1 Pengertian Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi merupakan salah satu terapi nonfarmakologis
yang digunakan dalam penatalaksanaan nyeri (Tamsuri, 2007). Relaksasi
merupakan suatu tindakan untuk membebaskan mental maupun fisik dari
27

ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap


nyeri (Andarmoyo, 2013).
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen
dengan frekuensi yang lambat dan berirama (Smeltzer & Bare, 2002).
Latihan napas dalam yaitu bentuk latihan napas yang terdiri dari
pernapasan abdominal (diafragma) dan pursed lip breathing (Lusianah,
Indaryani, & Suratun, 2012).
2.3.2 Tujuan Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam
Tujuan dari teknik relaksasi napas dalam yaitu untuk meningkatkan
ventilasi alveoli, meningkatkan efisiensi batuk, memelihara pertukaran
gas, mencegah atelektasi paru, dan mengurangi tingkat stres baik itu stres
fisik maupun emosional sehingga dapat menurunkan intesitas nyeri yang
dirasakan oleh individu (Smeltzer & Bare, 2002).
Selain tujuan tersebut, terdapat beberapa tujuan dari teknik napas
dalam menurut Lusianah, Indaryani and Suratun (2012), yaitu antara lain
untuk mengatur frekuensi pola napas, memperbaiki fungsi diafragma,
menurunkan kecemasan, meningkatkan relaksasi otot, mengurangi udara
yang terperangkap, meningkatkan inflasi alveolar, memperbaiki kekuatan
otot-otot pernapasan, dan memperbaiki mobilitas dada dan vertebra
thorakalis.
2.3.3 Efek Tekhni Relaksasi Nafas Dalam
Menurut Potter and Perry (2006) teknik relaksasi napas dalam yang
baik dan benar akan memberikan efek yang penting bagi tubuh, efek
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan
b. Penurunan konsumsi oksigen
c. Penurunan ketegangan otot
d. Penurunan kecepatan metabolisme e. Peningkatan kesadaran global
e. Kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan
f. Tidak ada perubahan posisi yang volunter
g. Perasaan damai dan sejahtera
28

h. Periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam


2.3.4 Prosedur Tekhnik Relaksasi Nafas Dalam
Berikut ini adalah langkah-langkah tindakan dalam melakukan
teknik relaksasi napas dalam menurut Lusianah, Indaryani and Suratun
(2012):
a. Mengecek program terapi medik klien.
b. Mengucapkan salam terapeutik pada klien.
c. Melakukan evaluasi atau validasi.
d. Melakukan kontrak (waktu, tempat, dan topik) dengan klien
e. Menjelaskan langkah-langkah tindakan atau prosedur pada klien.
f. Mempersiapkan alat : satu bantal
g. Memasang sampiran.
h. Mencuci tangan
i. Mengatur posisi yang nyaman bagi klien dengan posisi setengah duduk
di tempat tidur atau di kursi atau dengan posisi lying position (posisi
berbaring) di tempat tidur atau di kursi dengan satu bantal.
j. Memfleksikan (membengkokkan) lutut klien untuk merilekskan otot
abdomen.
k. Menempatkan satu atau dua tangan klien pada abdomen yaitu tepat
dibawah tulang iga
l. Meminta klien untuk menarik napas dalam melalui hidung, menjaga
mulut tetap tertutup. Hitunglah sampai 3 selama inspirasi.
m. Meminta klien untuk berkonsentrasi dan merasakan gerakan naiknya
abdomen sejauh mungkin, tetap dalam kondisi rileks dan cegah
lengkung pada punggung. Jika ada kesulitan menaikkan abdomen, tarik
napas dengan cepat, lalu napas kuat melalui hidung.
n. Meminta klien untuk menghembuskan udara melalui bibir, seperti
meniup dan ekspirasikan secara perlahan dan kuat sehingga terbentuk
suara hembusan tanpa mengembungkan pipi, teknik pursed lip
breathing ini menyebabkan resistensi pada pengeluaran udara paru,
29

meningkatkan tekanan di bronkus (jalan napas utama) dan


meminimalkan kolapsnya jalan napas yang sempit.
o. Meminta klien untuk berkonsentrasi dan merasakan turunnya abdomen
ketika ekspirasi. Hitunglah sampai 7 selama ekspirasi.
p. Menganjurkan klien untuk menggunakan latihan ini dan
meningkatkannya secara bertahap 5-10 menit. Latihan ini dapat
dilakukan dalam posisi tegap, berdiri, dan berjalan.
q. Merapikan lingkungan dan kembalikan klien pada posisi semula
r. Membereskan alat.
s. Mencuci tangan.
t. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan dan memantau
respon klien.

2.4 Kerangka Teori

Farmakologi

Post op apendiktomo

Nonfarmakologi
Tekhnik relaksasi nafas dalam

Gambar 2.2 Kerangka Teori Lawrence Green


30

Sumber : Green, LW, Kreuter, MW, Akta, SG, Patridge, KB dalam buku
Notoatmodjo ( 2009 )
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Rancangan Penelitian


Desain penelitian pada esesiensinya merupakan wadah untuk menjawab
pertanyaan penelitian atau untuk menguji kesahihan hipotesis (Sudigdo
2014).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
eksperimental, sering pula disebut studi intervensional adalah salah satu
rancangan penelitian yang dipergunakan untuk mencari hubungan sebab
akibat (cause-effect relationship). (Sastoasmoro 2011). Rancangan penelitian
yang digunakan dalam penelitian iniadalah penelitian quasi eksperimental
dengan rancangan The one group pretest-posttest design. Penelitian quasi
eksperiment adalah penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada
sekelompok subjek dengan atai tanpa kelompok pembanding namun tidak
dilakukan randomisasi untuk memasukan subjek kedalam kelompok
perlakukan atau control. Desain The one group pretest-posttest design without
control, peneliti hanya memerlukan intervensi pada satu kelompok tanpa
pembanding. Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandungkan nilai
post test dengan pretest (Dharma, 2011) rancangan desain pre and post test
without control.

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian


Sumber Dharma, 2011:95
Keterangan :
R : Responden penelitian semua mendapat perlakuan/intervensi
O1 : Pre test Sebelum Perlakuan
O2 : Post test sesudah perlakuan
X1 : uji coba/ intervensi pada kelompok perlakuan sesuai produksi

31
32

1.2 Kerangka Konsep/ Penelitian


Kerangka konsep dibuat dalam bentuk diagram yang menunjukanjenis
serta hubungan antar- variable yang diteliti dan variable lainnya yang terkait.
(Sudigdo Sastroasmo, Edisi Ke 4, 2011 ). Karena tidak semua variable akan
diukur dalam penelitian yang direncanakan, pada diagram perlu digambarkan
pula batas batas lingkup penelitian. Diagram kerangka konsep harus
menunjukan keterkaitan antar variable kerangka konsep disusun dengan baik
dapat memberikan informasi yang jelas dan akan memepermudah pemilihan
desain penelitian.
Perlakuan

Penurunan Nyeri

Nyeri Sesudah diberikan


Nyeri Sebelum diberikan terapi relaksasi nafas dal
terapi relaksasi nafas dalam

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Keterangan :
: Variable yang diteliti
: Perlakuan
: Pengaruh variable

1.3 Variabel Penelitian


Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakan menjadi dua,
yakni bersifat kuantitatif dan kualitatif (Hidayat, 2011), sedangkan menurut
Sudigdo Sastroasmoro mengemukakan bahwa variabel merupakan
karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu subjek ke subjek
lainnya.
33

1.3.1 Variabel bebas (Independent variabel)


Variabel bebas itu sendiri mempunyai makna variabel yang menjadi
sebab perubahan (hidayat, 2011). Variabel bebas Variabel independen
adalah variabel yang berhubungan atau yang menjadi sebab perubahannya
atau timbulnya variabel dependen (variabel terikat. Variabel independen
sebelum diberikan terapi relaksasi nafas dalam
1.3.2 Variabel terikat (dependen variabel)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat efek dari variabel bebas. Variabel dependen adalah merupakan
variabel yang menghubungkan atau yang menjadi akibat karena adanya
variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah sesedah
diberikan terapi relaksasi nafas dalam.

1.4 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter
yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran
merupakan cara di mana variabel dapat diukur dan ditentukan
karakteristiknya (Hidayat, 2011).
Table 3.1
Definisi Operasional
No Variable Definisi oprasional Cara ukur Alat ukur Kategori Skala
1 Nyeri Sebelum Sebelum diberikan Observasi Lembar 1-10 skala nyeri ordinal
relaksasi napas tekhnik relaksasi observasi NRS
dalam terhadap Tidak nyeri (0)
penurunan nyeri Ringan (1-3)
pada pasien post Sedang (4-6)
oprasi apendiktomi Berat (7-10 )
di rumah sakit
34

Hermina
2 Yeri Sesudah Sesudah diberikan Observasi Lembar 1-10 skala nyeri Ordinal
relaksasi napas tekhnik relaksasi observasi NRS
dalam napas dalam pada Tidak nyeri (0)
pasien post Ringan (1-3)
operativ Sedang (4-6)
apendiktomi di Berat (7-10 )
rumah sakit
hermina

1.5 Populasi dan Sampel Penelitian


1.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah subjek yang memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi terbagi dua yaitu
populasi target dan populasi terjangkau (Accible Population). Populasi
adalah Wilayah generalisasi yang: Obyek/Subyek yang mempunyai
kualitasa dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di
pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut populasi adalah
semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung atau mengukur,
kualitatif atau kuantitatif mengenai karakteristik tertentu. Dalam penelitian
ini peneliti menentukan populasi penlitian pasien pre oprasi di bulan
januari dengan jumlah 37 pasien post oprasi apendiktomi di rumah sakit
Hermina Sukabumi
1.5.2 Sampel
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,2003).Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi
tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari
semua yang ada pada populasi ,misalnya karena keterbatasan dana, tenaga
dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasinya. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan
dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang dambil dari
35

populasi haarusbetul-betul repersentatif. (Sugiyono. Metode Penelitian


kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta : 2009), sampel pada
penelitian ini adalah total sampling sebanyak 32 pasien post oprasi
apendiktomi di Rumah Sakit Hermina Sukabumi
1. Kriteria inklusi
Yaitu karakteristik umum subjek penelitian untuk mengurangi
bias hasil penelitian, khususnya jika terhadap variabel-variabel kontrol
yang ternyata mempunyai pengaruh terhadap variabel yang kita teliti
(Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Bisa membaca dan menulis
b. Tanda tanda vital stabil dalam rentan normal yaitu suhu 36-38
derajat celciusl nadi 60 -100 per menit, pernapasan 12-20 kali per
menit, tekanan darah rerata<120/80 mmHg, (untuk lansia 120-
139/80-89 mmHg, kesadaran compesmentis (perry & potter, 2009).
c. Pasien post operative apendiktomi dewasa
2. Kriteria eklusi
Adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,
2008)
a. Pasien apendiktomi
b. Pasien post operative apendiktomi usia anak anak dari 5-15 Tahun.
1.5.3 Sampling
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang
digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah
sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada ( Hidayat, 2011).
Tekhnik pengambilan sampling menggunakan accidital sampling
adalah tekhnik penentuan sampel berdasarkan kebetulan , yaitu konsumen
yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok
dengan sumber data, yang dimana pasien post oprasi apendiktomi di
rumah sakit Hermina
36

1.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian


1.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer
yaitu dengan menggunakan data yang diperoleh dari responden pasien pra
oprasi di rumah sakit Hermina Sukabumi
Data ini dikumpulkan dan digunakan oleh peneliti Pengumpulan
data dalam penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Prosedur perizinan yang dilakukan oleh peneliti adalah :
a. Peneliti meminta surat izin penelitian dari Prodi Keperawatan STIKes
Rajawali Bandung untuk Rumah Sakit Hermina
b. Peneliti datang ke Rumah Sakit Hermina dan responden untuk
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
c. Peneliti melakukan penelitian dengan pedoman dan langkah-langkah
yang sudah direncanakan.
Lalu dilanjutkan dengan:
a. Melakukan informed consent dengan memberikan penjelasan maksud
dan tujuan penelitian serta meminta kesediaan mengisi lembar
observasi yang telah disediakan.
b. Meminta responden untuk mengisi lembar persetujuan
c. Meminta responden untuk mengisi lembar observasi skala nyeri di
dampingi peneliti agar dapat memberikan penjelasan terhadap hal yang
kurang jelas dan dimengerti.
d. Mengambil lembar observasi diambil setelah responden mengisi
lembar observasi, setelah itu peneliti memeriksa kembali jawaban yang
telah diisi oleh responden.
e. Peneliti mengakhiri pertemuan.
1.6.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik
semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Rahayu, 2010). Dalam
37

penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari kuesioner
dan observasi, dimana dalam koesioner tersebut sudah terdapat
pertanyaan-pertanyaan tertutup dan sudah terdapat acuan lembar
observasi.
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga lebih mudah diolah. (Sugiyono. Metode Penelitian kuantitatif
Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta : 2009).Alat ukur atau instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan SOP Tekhnik
Relaksasi napas dalam, setelah itu pasien mengisi lembar kuesiner tentang
nyeri post operasi apendiktomi

1.6.3 Prosedur penelitian


1.6.3.1 Tahap persiapan :
Melakukan studi pendahuluan dengan membagikan kuisoner data
pribadi dan data Riwayat penyakit ,sebagai data awal untuk mengetahui
angka kejadian di tempat tersebut, merumuskan masalah, menyusun
proposal penelitian dan seminar proposal penelitian.
38

1.6.3.2 Tahap pelaksanaan :


a. Peneliti membagikan data interview kepada responden untuk
mengetahui identitas pasien yang akan melakukan Posr oprasi
apendiktomi
b. Memberikan tekhnik relaksasi napas dalam pada pasien post operasi
apendiktomi
c. Setelah terkumpul sampel yang diinginkan dengan
mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi.
1.6.3.3 Tahap akhir :
Peneliti melakukan penyusunan laporan penelitian, penyajian
hasil penelitian, sidang hasil laporan penelitian dan melakukan
penggandaan hasil penelitian.

1.7 Pengolahan dan Analisis Data


1.7.1 Pengolahan data
1.7.1.1 Mengedit (editing)
Editing merupakan usaha untuk memeriksa kembali kebenaran
data yang didapat. Editing dapat dilakukan saat tahap pengumpulan data
atau setelah data terkumpul. Setelah kuisoner diisi dan diambil kembali
oleh peneliti kemudian peneliti melakukan editing yaitu memeriksa
kembali kebenaran data yang didapat.
1.7.1.2 Pengkodean data (coding)
Peneliti melakukan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Kemudian peneliti
memberikan kode angka terhadap data dimana data tersebut
mengklasifikasikan jawaban responden. Pengkodean dilakukan pada
kedua variabel, pada variabel independen Pengkodean dilakukan supaya
menjelaskan hasil distribusi pada saat uji statistik.
1.7.1.3 Entry data
39

Merupakan kegiatan memasukkan data yang telah terkumpul ke


dalam database computer, yang kemudian membuat distribusi frekuensi
sederhana atau dengan membuat tabel kotigensi.

1.7.1.4 Melakukan teknik analisis


Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian
akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan
tujuan yang hendak dianalisis (Hidayat Alimul AA, 2011).

1.7.2 Analisa data


1.7.2.1 Analisis Univariat
Menurut Budiharto (2008),analisis univariat diperlukan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan distribusi data pada variabel
independent dan variabel dependen. Analisis univariat adalah analisis
satu variabel.yaitu variable tekhnik relaksasi nafas dalam penurunan
nyeri pada pasien post operative apendiktomi. Untuk mengetahui
tingkat nyeri alat ukur yang digunakan adalah dengan skala NRS.

1.7.2.2 Analisis Bivariat


Analisa bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmojo 2012). Analisis bivariate
yang di gunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Uji Marginal
Homogeneity termasuk uji statistik nonparametrik. Uji ini dilakukan
untuk tesdua sampel yang saling berhubungan dan merupakan
perluasan dari uji McNemar. Penggunaan uji ini untuk melihat apakah
terdapat perbedaan atau perubahan antara dua peristiwa sebelum dan
sesudahnya. Kategori data yaitu data kategori multinominal lebih dari
2x2.
40

1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian


1.8.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Hermina Sukabumi.
1.8.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukanbulan Januari 2020
41

1.9 Etika Penelitian


1.9.1 Informed Consent (Persetujuan)
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan informed consent
tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent
adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui
dampaknya.
1.9.2 Anonymity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberika
jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur
dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil
penelitian yang akan disajikan.
1.9.3 Confidentialy (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil riset (Hidayat, 2011).
42

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai