Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS MITIGASI RISIKO FINANCIAL

TECHNOLOGY SYARIAH PEER TO PEER (P2P)


LENDING DALAM PENYALURAN PEMBIAYAAN
TERHADAP UMKM DI INDONESIA
(Studi Kasus PT. Ammana Fintek Syariah)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Muhammad Gema Fitriyadi


155020501111044

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LEMBAR PENGESAEAN PEIYULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jumal dengan judul :

ANALISIS MITIGASI RISIKO FINANCAL TECHNOLOGY SYARIAH PEER TO


PEER (P2P) LENDING DALAM PENYALURAN PEMBIAYAAI{ TEREADAP
UMKM DI INDONESIA (STIIDI KASUS PT. AMMANA FINTE,K SYARIAII)

Yang disusun oleh :

Nama : Muhammad Gema Fitriyadi


NIM : 155020501111044
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Sl Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jumal tersebut dibuat sebagai persy aratan ujian skripsi yang dipertahankan di
depan Dewan Penguji pada tanggal 14 Mei 2019.

Malang 14 Mei 2019


Dosen Pembimbing

Anas Budiharjo, SE.I., M.A.


NIP. 201607850509100r
ANALISIS MITIGASI RISIKO FINANCIAL TECHNOLOGY SYARIAH
PEER TO PEER (P2P) LENDING DALAM PENYALURAN
PEMBIAYAAN TERHADAP UMKM DI INDONESIA
(Studi Kasus PT. Ammana Fintek Syariah)

Muhammad Gema Fitriyadi


Fakultas Ekonomi dan Bisnisn Universitas Brawijaya
Email: gemafitriyadi@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini di latar belakangi adanya revolusi digital yang menghasilkan inovasi-inovasi di bidang
teknologi. Salah satu bentuk inovasi digital tersebut adalah fintech syariah peer to peer (P2P) lending
yang memberikan pembiayaan terhadap UMKM. UMKM sebagai salah satu bidang yang memiliki
potensi terhadap ekonomi nasional memiliki permasalahan keterbatasan modal serta akses
terhadap perbankan (unbankable), sehingga kehadiran fintech dinilai dapat mengatasi masalah
tersebut. Sedangkan di sisi lain pemberian pembiayaan yang dilakukan perusahaan fintech syariah
juga memiliki potensi akan timbulnya suatu risiko. Oleh karena itu pemberian pembiayaan yang
dilakukan harus melalui berbagai penilaian dan pertimbangan sebelum dilakukanya realisasi
pembiayaan sebagai bentuk identifikasi risiko serta melakukan berbagai langkah strategi untuk
meminimalisasi terjadiya suatu risiko yang mungkin terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui penerapan mitigasi risiko yang dilakukan oleh perusahaan fintech syariah
khususnya Ammana Fintek Syariah dalam pemberian pembiayaan terhadap UMKM di Indonesia.
Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam mengatasi risiko wanprestasi dan kredit macet Ammana
melakukan review data usaha UMKM dan memberikan credit scoring sebagai tahapan awal
mitigasi. Selain itu dalam prosedur penyaluran pembiayaan Ammana tidak sepenuhnya berbasis
online melainkan bekerja sama dengan LKMS sebagai mitra lapangan. Langkah yang diambil oleh
Ammana dalam meminimalisasi risiko kredit macet setelah pembiayaan disalurkan yaitu dengan
melakukan risk sharing, merekondisi pola pembayaran, menggunakan asuransi serta mewajibkan
jaminan kepada UMKM, dan melakukan buyback usaha UMKM jika LKMS mengalami
wanprestasi. Serta dalam penelitian ini ditemukan adanya sebuah model yang digunakan oleh
Ammana dalam memitigasi risiko yaitu two step risk mitigation model.

Kata kunci: Fintech, Peer to Peer (P2P) Lending, Mitigasi risiko, Credit scoring, Risk Sharing

A. PENDAHULUAN
Berdasarkan data penyaluran jumlah kredit perbankan terhadap UMKM mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2013 sebesar 639,471.5 miliar meningkat menjadi 990,377.6 miliar
di tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbankan telah melakukan penambahan jumlah
penyaluran kredit terhadap UMKM, dimana dari adanya penambahan tersebut diharapkan dapat
mengurangi pemasalah UMKM yaitu dalam keterbatasan modal (Bank Indonesia, 2018). Namun
kenyataannya masih banyak UMKM yang mengalami kesulitan dan tidak bisa berkembang karena
adanya keterbatasan modal serta keterbatasan akses kredit di perbankan. Menurut Anggraeni et al
(2013) UMKM mengalami kesulitan dalam permodalan, dikarenakan UMKM tidak mampu untuk
memenuhi persyaratan yang diberikan oleh perbankan.
Masalah finansial yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah; biaya transaksi yang
tinggi, hal tersebut disebabkan oleh prosedur kredit yang rumit sehingga menyita banyak waktu
sementara jumlah kredit yang diberikan terbilang kecil, kemudian kurangnya akses ke sumber dana
yang formal, baik disebabkan oleh tidak adanya bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi
yang memadai serta bunga kredit yang cukup tinggi, dan banyak dari UMKM yang masih
unbankable atau belum memiliki manajerial keuangan yang baik. Kini di era modern gelombang
revolusi dalam teknologi digital terus berlangsung, kemajuan teknologi digital tersebut menjadi
inovasi bagi perkembangan zaman salah satunya terjadi pada layanan jasa keuangan. Munculnya
Fintech menjadi peluang alternatif bagi UMKM untuk bisa mengajukan pembiayaan dengan cara
yang lebih mudah, efektif, dan modern.
Kehadiran Fintech ditengah masyarakat memberikan dampak positif, dimana keberadaan
Fintech membuka peluang yang lebih besar bagi konsumen rumah tangga dan kalangan dunia usaha,
termasuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk mengakses jasa keuangan (Nizar, 2018).
Fintech juga menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah finansial masyarakat yang tinggal
jauh dari pusat kota (Abyan, 2018). Maka dengan adanya Fintech masyarakat yang belum memiliki
akses keuangan di perbankan, khususnya bagi UMKM yang belum memenuhi persyaratan bank
(unbankable) dalam pengajuan pinjaman dapat mengajukan kredit melalui fintech (Widyaningsih,
2018). Menurut Bhima Yudhistira selaku peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (Indef), menyatakan pada saat ini ada sebanyak 11 juta UMKM yang dinilai sudah
bankable, namun ada sebanyak 49 juta UMKM lainnya dinilai masih unbankable. Kemudian Bhima
Yudhistira menjelaskan total kebutuhan nasional untuk UMKM adalah sebesar Rp. 1,649 triliun,
sedangkan kapasitas perbankan di Indonesia hanya sebesar Rp. 660 triliun. Dengan demikian adanya
selisih Rp. 989 triliun tersebut menjadi peluang bagi Fintech untuk memberikan pelayanan dalam
pembiayaan kepada UMKM yang ada di Indonesia (Ayyubi, 2017).
Menurut Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida
menyatakan bahwa untuk melindungi kepentingan konsumen termasuk data nasabah maka
perusahaan Fintech harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik seperti penerapan
manajemen risiko yang baik sehingga hal tersebut akan mendorong adanya transparansi,
akuntabilitas, serta tanggung jawab dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Selain itu
tranparansi informasi menjadi penting terkait hak dan kewajiban bagi pihak investor, peminjam,
maupun platform yang menyangkut pendapatan, potensi risiko, biaya-biaya, bagi hasil, dan
manajemen risiko serta mitigasi risiko jika terjadi kegagalan dalam pembayaran kredit oleh debitur
(Arief, 2018).
Dari permasalahan diatas sebaiknya perusahaan Fintech sebelum melalukan penyaluran
kredit juga perlu untuk memperhatikan berbagai risiko dan juga memiliki cara dalam memitigasi
risiko yang mungkin akan terjadi. Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat adanya unsur
ketidakpastian yang mungkin dapat terjadi di masa depan dengan adanya risiko yang tidak bisa
dipastikan. Sehingga perlu adanya langka-langkah atau cara dalam meminimalisir risiko yang
mungkin akan terjadi, sehingga para investor dapat mengetahui apa saja risiko yang akan didapatkan
jika berinvestasi pada suatu unit usaha (UMKM) tertentu.
Dengan demikian, dari adanya fenomena tersebut penelitian ini berjudul “Analisis Mitigasi
Risiko Financial Technology Syariah Peer to Peer (P2P) Lending Dalam Penyaluran
Pembiayaan Terhadap UMKM di Indonesia (Studi Kasus PT. Ammana Fintek Syariah)”

B. KAJIAN PUSTAKA

Financial Technology (Fintech)


Fintech berasal dari kata “Financial” dan “Technology” yang mengacu pada inovasi di
bidang jasa keuangan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi modern saat ini (Chismastianto,
2017). Hingga saat ini belum ada definisi baku mengenai fintech, namun The National Digital
Research Center (NDRC), Dublin, Irlandia mendefinisikan fintech sebagai suatu inovasi dibidang
jasa finansial “innovation in financial sevices”, atau suatu perpaduan inovasi finansial dengan
teknologi modern. Dalam pengertian yang lebih luas, fintech didefinisikan oleh World Bank sebagai
industri yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan teknologi agar sistem keuangan
dan penyampaian layanan keuangan lebih efisien (Nizar, 2018)

Financial Technology Syariah


Fintech menurut Fintech weekly merupakan salah satu bisnis berbasis software dan
teknologi modern yang menyediakan jasa keuangan. Perusahaan fintech pada umumnya adalah
perusahaan start-up yang memberikan layanan dan solusi keuangan kepada pelanggan seperti
pembayaran mobile, transfer uang, pinjaman, penggalangan dana dan bahkan manajemen aset.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa financial technology (Fintech) syariah diartikan sebagai layanan
dan solusi keuangan yang diberikan oleh perusahaan teknologi atau start-up fintech, dengan
berlandaskan hukum-hukum Islam (Syariah) (Digital Sevice, 2017). Sehingga dalam
pelaksanaannya Fintech syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam ajaran agama
Islam yang juga diatur dalam fatwa DSN-MUI yaitu pada fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang
Uang Elektronik Syariah dan fatwa No: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah (Majelis Ulama Indonesia, 2018).
Dengan demikian Fintech syariah dapat menjamin masyarakat akan halalnya produk yang
ditawarkan.

Pengertian Kredit dan Pembiayaan


Menurut asal mulanya, kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere yang berarti
kepercayaan, atau credo yang berarti saya percaya. Jadi maksud dari kata tersebut adalah apabila
seseorang memperroleh kredit, itu artinya seseorang tersebut telah dapat dipercaya (trust). Rollin G.
Thomas menjelaskan dalam pengertian umum kredit didasarkan pada kepercayaan atas kemampuan
si peminjam untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang. Adapun menurut
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 (pasal 21 ayat 11), kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Adapun pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut Undang-undang Nomor
10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil (Firdaus & Ariyanti, 2011).

Penilaian Pemberian Kredit (Pembiayaan)


Dalam pemberian kredit (pembiayaan) mengharuskan lembaga perbankan atau pemberi
pinjaman dapat memenuhi prinsip-prinsip penilaian terhadap penyaluran kredit (pembiayaan)
dengan konsep 5C dan 3R. Konsep tersebut dijelaskan dalam buku yang berjudul “Manajemen
Perkreditan Bank Umum” yang ditulis oleh Firdaus dan Arianti (2011), sebagai berikut:

• Prinsip-prinsip 5C
a. Character (Watak/Kepribadian)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur melihat dari watak dan kepribadian
sangatlah penting dalam memutuskan pemberian kredit. Hal ini karena calon debitur harus
memiliki sifat yang baik dan komitmen yang tinggi agar dapat mengembalikan atau bersedia
melunasi kreditnya pada waktu yang telah disepakati.
b. Capacity (Kemampuan/Kapasitas)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur melihat dari kemampuan dalam mengelola
bisnis yang berhubungan dengan pembayaran kredit. Dimana bank harus mengetahui sampai
dimana debitur menjalankan usahanya. Untuk itu pihak bank harus mengetahui bagaimana
kemampuan calon debiturnya yang berkaitan dengan pengalaman usha, manajemen bisnis,
serta pengaturan keuangan yang baik.
c. Capital (Modal)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur yang dilihat dari struktur modal yang
dimiliki. Analisis modal ini sangat penting karena bertujuan untuk mengetahui kemampuan
debitur untuk dapat menentukan jangka waktu pembayaran kembali kredit yang akan
diterima.

d. Condition of Economy (Kondisi Perekonomian)


Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur yang dilihat dari kondisi atau situasi
ekonomi baik secara makro maupun mikro. Situasi ekonomi perlu diketahui dan diperhatikan
oleh pihak bank sebagai pertimbangan pemberian kredit karena dapat berpengaruh dan
berkaitan langsung dengan usaha calon debitur serta prospeknya dimasa yang akan datang.

e. Collateral (Jaminan)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur dilihat dari jaminan yang diberikan oleh
calon debitur baik secara fisik maupun non-fisik. Penilaian jaminan atau agunan untuk
melihat tingkat kemudahan objek jaminan untuk dijual apabila debitur tidak mampu
membayar. Kemudian penilaian ini juga menentukan berapa jumlah kredit yang dapat
diberikan.

• Prinsip-prinsip 3R
a. Return (Hasil yang dicapai)
Return dalam hal ini dimaksudkan penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh debitur setelah
dibantu dengan kredit yang telah dislurkan oleh bank. Yang dimaksudkan pada hasil tersebut
apakah dapat menutup untuk pengembalian pinjamannya serta bersamaan dengan itu
memungkinkan pula usahanya untuk dapat terus berkembang atau tidak.
b. Repayment (Pembayaran Kembali)
Repayment dalam hal ini adalah terkait penilaian berapa lama debitur dapat membayar
kembali pinjamannya sesuai dengan kemampuan membayar kembali (repayment capacity),
seta bagaimana cara debitur dalam melunasi kreditnya apakah melalui cicilan atau dilunasi
sekaligus diakhir periode.
c. Risk Bearing Ability (Kemampuan Untuk Menanggung Risiko)
Risk bearing ability merupakan sebuah cara yang harus dilakukan oleh kreditur dalam
mengetahui dan menilai sampai sejauh mana perusahaan pemohon kredit mampu
menanggung risiko kegagalan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
Karakteristik Kredit UMKM
Karakteristik kredit yang diberikan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
memiliki perbedaan dengan kredit atau pembiayaan yang diberikan pada usaha besar dan korporasi.
Kredit kepada UMKM juga hanya ada di beberapa bank yang memiliki pengalaman dan komitmen
dalam hal ini. Berikut adalah karakteristik kredit yang dimiliki UMKM:
a. Memerlukan Persyaratan Penyerahan Jaminan yang Lebih Lunak
Dalam hal ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) biasanya
mengalami kesulitan untuk bisa memberikan jaminan tambahan yang mencerminkan
keseriusan untuk menjamin kredit bisa dibayarkan. Hal yang paling mungkin dilakukan
oleh pelaku UMKM adalah menggunakan jaminan utama, jaminan utama yang dimaksud
adalah suatu objek yang dibiayai dengan hasil fasilitas kredit yang telah diberikan.
b. Memerlukan Metode Monitoring Kredit yang Khusus
Dalam hal ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada umumnya
memiliki keterbatasan dalam kemampuan mengelola administrasi, pencatatan dan
perencanaan usaha. Salah satunya ketika ada pencatatan laporan keuangan, hal ini
merupakan sesuatu yang jarang dilakukan oleh para pelaku UMKM.
c. Cenderung Menimbulkan Biaya Kredit Yang Relatif Lebih Tinggi
Biaya kredit yang lebih tinggi ini muncul ketika banyaknya karakteristik yang perlu
dipenuhi oleh debitur. Hal tersebut menyebabkan kenaikan biaya kredit yang akan
dibayarkan oleh debitur. Sehingga implikasi langsung yang terjadi adalah dapat
menyebabkan kenaikan bunga atau imbal jasa lain yang harus dibayarkan oleh debitur
kepada pihak kreditur.
d. Memerlukan Persyaratan Persetujuan Kredit Yang lebih Sederhana
Dalam hal ini biasanya terjadi karena kurangnya informasi dan tingkat pendidikan calon
debitur sehingga menimbulkan keinginan para pelaku UMKM agar proses pengajuan dan
persetujuan kredit bisa dilakukan dengan cepat dan lebih sederhana. Kurangnya informasi
menjadi masalah yang seringkali muncul sehingga menyebabkan calon debitur kurang
dapat menerima proses persetujuan kredit yang terlalu rumit.

Risk Management Framework


Setiap perusahaan pasti memiliki kerangka kerja manajemen risiko untuk bisa mengatasi
permasalahan yang mungkin akan terjadi. Dengan proses yang konsisten kerangka kerja tersebut
dapat membantu perusahaan dalam mengelola risiko secara efektif dan efisien. Berikut adalah
tahapan dari risk management framework:
a. Identification
Pada tahap identifikasi risiko, semua peristiwa potensial yang dapat mempengarusi
pencapaian tujuan bisnis harus di identifikasikan dan dikategorikan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya mengatasi masalah yang dapat berdampak buruk pada tujuan bisnis
perusahaan.
b. Measurement
Pengukuran yang dimaksud terdiri dari assessment, evaluasi, dan ranking. Tujuan dari
assessment yaitu untuk memahami dengan lebih baik contoh risiko tertentu. Evaluasi
dilakukan untuk memastikan kombinasi antara skor kemungkinan risiko dan dampak yang
akan ditimbulkan. Ranking adalah proses penggabungan antara skor kemungkinan risiko
dan dampak yang akan ditimbulkan ke dalam skor tunggal
c. Management
Begitu risiko telah dinilai, dievaluasi, dan diperingkat, maka risiko perlu dikelola dengan
tepat untuk membuat sebuah rancangan terkait kontrol preventif, proses mitigasi, dan
rencana darurat jika risiko terwujud.
d. Monitoring
Monitoring dapat dilakukan oleh perusahaan secara berkelanjutan dan dilakukan secara
berkala, bergantung dari kebutuhan perusahaan terhadap risiko yang ada.
e. Reporting
Reporting merupakan langkah yang dilakukan untuk menyajikan informasi terkait
pengelolaan risiko kepada pemangku kepentingan. Dalam laporan tersebut harus
memberikan informasi yang sesuai, terkini, lengkap, dan tepat waktu yang mencerminkan
berbagai jenis risiko serta masalah yang muncul.

Mitigasi Risiko
Mitigasi adalah eliminasi atau mengurangi frekuensi dari sebuah risiko, atau sebuah cara
untuk meminimalisasi dampak potensial dari sebuah ancaman. Adapun tujuan dilakukannya mitigasi
risiko adalah mengeksplorasi strategi respon risiko atas sesuatu yang berisiko, yang kemudian
diidentifikasi menggunakan analisis risiko kualitatif dan kuantitatif. Setelah mitigasi dilakukan
semua risiko perlu didokumentasikan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu masuk dalam
dokumentasi tersebut antara lain: penyebab terjadinya risiko, bentuk dari risiko, dampak yang
ditimbulkan dari risiko, dan lesson learned yang dapat diambil. Setelah semua didokumentasikan
maka hasil dokumentasi harus disirkulasikan ke bagian lain yang terkait dan diarsip agar
menghindari risiko yang mungkin terjadi di masa depan (Wahyudi, et al., 2013).

C. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Wrench et al dalam buku
yang ditulis oleh Manzilati menjelaskan bahwa qualitative research adalah istilah kualitatif yang
banyak dirujuk untuk menggambarkan paradigma yang digunakan oleh peneliti untuk memahami
suatu masalah dalam realitas (2017: 23).

Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini tidak menggunakan random sampling melainkan sampel dipilih
menggunakan metode purposive sampling. Penggunaan purposive sampling bertujuan untuk
mengambil sampel dengan pertimbangan dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemilihan
sampel dilakukan dengan cara mengambil objek berdasarkan pada tujuan tertentu dan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
Dengan demikian objek penelitian yang dapat memenuhi serta sesuai dengan kriteria tersebut
adalah PT Amanna Fintek Syariah (Ammana.id) yang akan dijadikan sebagai objek dalam
penelitian.

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua jenis bentuk data yaitu data primer
dan data sekunder. Adapun data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada narasumber
yang telah ditentukan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber penelitian
dokumenter dan penelitian kepustakaan mengenai tema yang diangkat.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunkan metode kualitatif deskriptif. Dimana
pemilihan teknik analisis tersebut dilakukan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Analisis data
kualitatif menurut Miles dan Hubermen adalah sebuah analisis yang dilakukan dengan cara terus
menerus hingga tuntas dalam bentuk suatu laporan penelitian sampai data mengalami kejenuhan.
Apabila data empiris yang diperoleh berwujud kata-kata dan bukan dalam rangkaian angka, maka
hal tersebut dinamakan dengan analisis data kualitatif (Sugiyono, 2008). Tahapan yang diperlukan
yaitu: (a) Pengumpulan data, (b) Reduksi data, (c) Penyajian data, dan (d) Penarikan kesimpulan.

Teknik Keabsahan Data


Agar menjamin keabsahan data atau validnya data yang sudah peneliti amati, maka dilakukan
penecekan data yang didapat dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Sehingga
dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber untuk memperkuat argument
terhadap informasi yang diperoleh dari informan dengan melakukan crosscheck kepada informan
lainnya yang sudah ditentukan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini akan menjelaskan pemaparan mengenai hasil serta pembahasan dari penelitian
yang sudah dilakukan mengenai penerapan mitigasi risiko di Ammana Fintek Syariah terhadap
penyaluran pembiayaan kepada UMKM mulai dari tahapan identifikasi risiko, pengukuran dan
penilaian calon debitur, serta langkah dalam meminimalisasi risiko kredit macet yang diterapkan oleh
perusahaan untuk menjaga keamanan pembiayaan yang berlangsung.

Identifikasi Risiko Peer to peer (P2P) Lending Ammana


Tahapan awal ini berkaitan dengan cara Ammana untuk mengidentifikasi risiko pembiayaan
yang mungkin akan terjadi dan bagaimana cara memitigasinya. Sebagai perusahaan financial
technology yang bergerak di bidang pembiayaan Ammana tidak bisa lepas dari adanya risiko. Risiko
dalam Peer to Peer Lending secara umum disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Wanprestasi
Menurut pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang dimaksud dengan
wanprestasi adalah debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Salah satu contoh dari wanpestasi adalah gagal bayar, gagal bayar bisa terjadi disebabkan oleh
kurangnya kepastian hukum atau regulasi terhadap fintech yang bergerak dibidang layanan pinjam
meminjam uang secara elektronik. Sebagai contoh yaitu perusahaan fintech tidak memiliki kepastian
siapa saja yang dapat menjadi debiturnya dan tidak ada objek jaminan dalam perjanjian kesepakatan
di awal. Hal tersebut dibuktikan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang
tidak menjelaskan secara detail atau spesifik mengenai persyaratan pihak yang akan menjadi debitur.
Kemudian dalam pasal 20 ayat 2, tidak dinyatakan kewajiban terhadap jaminan kredit.

b. Kredit Macet
Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak
mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya. Kredit macet lebih dikenal dengan Non-
Performing Loan (NPL) di dunia perbankan. Sama halnya dengan perbankan dalam fintech juga ada
Non-Performing Loan (NPL).
Kredit macet ini bisa terjadi di perusahaan fintech peer to peer lending dikarenakan masih
kurang pahamnya masyarakat tentang aplikasi dari platform penyedia akses peer to peer lending.
Contohnya seperti apabila masyarakat tidak membaca dan memahami terlebih dahulu bagaimana
cara kerja serta syarat dan ketentuan yang diterapkan pada peer to peer lending, meminjam di
beberapa aplikasi sekaligus, dan tidak mengukur kemampuan membayarnya sendiri sehinngga
berdampak buruk kemudian terjadi kredit macet.

Pengukuran dan Penilaian Calon Debitur


Measurement yang di lakukan oleh Ammana untuk mencegah risiko kredit macet dan
wanprestasi terhadap pembiayaan yang diberikan kepada UMKM adalah sebagai berikut:
1. Diawali melalui proses assessment yang dilakukan oleh petugas lapangan Ammana secara
objektif, independent, dan professional dalam menilai kelayakan usaha dari calon debitur
dan mengukur seberapa layak debitur tersebut untuk bisa mendapatkan pembiayaan.
2. Kemudian pihak Ammana kembali melakukan crosscheck internal terhadap penilaian
UMKM tersebut dengan tujuan menghasilkan UMKM yang bonafit, berkualitas, dan
amanah. Adapun, kedua tahapan ini disebut two step atau two level risk assessment dalam
menilai kelayakan usaha calon debitur.
Tahapan dalam measurement tersebut di implementasikan oleh Ammana melalui review data
usaha UMKM melalui proses assessment dan penentuan credit scoring sebagai hasil akhir dari
penilaian tersebut. Berikut adalah penjelasan mengenai proses pemilihan debitur dan analisis
penilaian pembiayaan yang dilakukan oleh Ammana:
a. Review Data Usaha UMKM
Salah satu, penilaian yang dilakukan oleh Ammana adalah melalui syariah compliance.
Penilaian tersebut sangat penting untuk menjaga prinsip pembiayaan Syairah tetap pada kaidahnya.
Dalam hal ini tidak semua usaha bisa diterima oleh Ammana, karena Ammana akan melakukan
penilaian secara detail terhadap usaha yang akan dijalankan oleh UMKM melalui syariah
compliance. Usaha yang masuk dalam kategori haram atau syubhat bukan sasaran dari Ammana,
seperti industri rokok, minuman keras, obat terlarang, perternakan babi, kegiatan perjudian,
prostitusi, hotel yang belum syariah, dan kegiatan yang mengandung spekuasi atau usaha lainnya
yang tidak memenuhi syariah compliance dari Ammana.
Selanjutnya tim risk management Ammana mereview data pribadi dari pemilik usaha dengan
mengecek hasil scoring dan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan meminimalisasi kesalahan dalam proses penginputan nomor KTP dari UMKM yang akan
dibiayai. Tahapan berikutnya yaitu tim risk management Ammana melakukan pengecekan terhadap
barang yang dijadikan jaminan oleh UMKM, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
mengecek Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang menjadi jaminan oleh pihak UMKM masih
akif atau tidak. Sehingga dengan adanya proses pengecekan terhadap jaminan tersebut pihak
Ammana bisa mengetahui apakah UMKM yang akan diberikan pembiayaan mampu
mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya.

b. Penilaian Calon Debitur Melalui Credit Scoring


Dalam proses mencari calon debitur Ammana tidak melakukan segala bentuk kegiatannya
secara online tetapi juga secara offline. Hal tersebut dilakukan pihak Ammana sebagai salah satu
cara untuk meminimalisasi risiko yang mungkin akan muncul. Data yang dikumpulkan secara offline
tersebut sebagai bentuk crosscheck yang dilakukan pihak Ammana dalam menilai calon debiturnya
dan memastikan bahwa data-data yang dikumpulkan merupakan data yang valid.
Dari informasi yang didapatkan tersebut akan masuk kepada data scoring dari Ammana,
dimana dalam data scoring tersebut mengandung 5C dan 3R. Adapun data atau informasi yang
didapatkan oleh LKMS terhadap UMKM menjadi dasar scoring yang ditetapkan untuk menilai
kelayakan di lapangan. Dari data scoring akan menghasilkan sebuah rating yang menentukan
kelayakan usaha UMKM, rating tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Rating Keterangan

A Very Low Risk

B Low Risk

C Moderat Risk

D High Risk

E Very High Risk

Tahap Penyaluran Pembiayaan oleh Ammana


Sebagai perusahaan Fintech yang bergerak pada layanan pembiayaan dengan sistem Peer to
Peer (P2P) Lending, Ammana tidak melakukan seluruh kegiatan bisnisnya secara online. Untuk
mencegah adanya risiko Ammana juga melakukan pengecekan secara offline kepada mitra dan
UMKM. Berikut adalah penjelasan megenai prosedur penyaluran pembiayaan yang dilakukan oleh
Ammana:
a. Proses Pengajuan Pembiayaan
Dalam proses pengajuan pembiayaan di Ammana, terdapat beberapa instrumen yang harus
dilakukan sebelum pembiayaan bisa di realisasikan. Berikut adalah langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh UMKM apabila ingin melakukan pengajuan pembiayaan di Ammana Fintek Syariah:
1. UMKM Menjadi Anggota LKMS Mitra dari Ammana
Sebelum mendapatkan pembiayaan dari Ammana UMKM harus menjadi anggota dari
Baitul Maat wat Tamwil (BMT) atau Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
(KSPPS) yang sudah menjadi mitra dari Ammana. Proses tersebut menjadi tahapan awal
sebelum pembiayaan bisa di realisasikan oleh Ammana kepada UMKM.
2. Persetujuan Pembiayaan
Setelah menjadi anggota dari Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) mitra dari
Ammana dan melakukan proses pengajuan pembiayaan ke Ammana. Proses yang
dilakukan selanjutnya adalah scoring rating, hal tersebut dilakukan oleh pihak Ammana
sebagai salah satu cara meminimalisasi risiko wanprestasi dari nasabah.
b. Proses Pencairan Dana dan Pembayaran Kembali
Setelah melalui proses review terhadap scoring dan syariah compliance maka UMKM yang
dinilai layak untuk dibiayai akan muncul pada aplikasi atau website dari Ammana. Kemudian setelah
dana terkumpul penyaluran pembiayaan dilakukan oleh pihak Ammana melalui LKMS yang
bertujuan untuk mempermudah dalam menjangkau UMKM yang berada di desa-desa.
Dalam proses pembayaran kembali UMKM memenuhinya dengan angsuran sesuai dengan
kesepakatan atau akad awal yang digunakan antara UMKM, LKMS (Lembaga Keuangan Mikro
Syariah), dan Ammana. Dimana dalam prosesnya pihak UMKM akan membayarkan angsuran
mereka kepada pihak LKMS dengan sistem bagi hasil yang kemudian pihak LKMS akan
menyetorkan keuntungan bagi hasil kepada Ammana, kemudian Ammana akan mengembalikan
modal usaha beserta bagi hasil untuk para investor.

Penerapan Mitigasi Risiko Dalam Analisis Penilaian Pembiayaan


Sebagai perusahaan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending yang memberikan jasa pembiayaan
kepada masayarakat khususnya UMKM dan menghubungkan antara investor dengan para peminjam
dana, Ammana tentu memiliki cara dalam memitigasi risiko yang mungkin akan terjadi. Dalam
prosesnya pihak Ammana tentu memiliki strategi dan berbagai analisis yang perlu dilakukan
sebelum terjadinya realisasi pembiayaan kepada debitur. Hal tersebut dilakukan oleh pihak Ammana
sebagai salah satu cara untuk meminimalisasi sekecil mungkin adanya risiko yang akan terjadi.
Proses pengelolaan risiko yang dilakukan oleh Ammana melalui mitigasi bertujuan untuk
mencegah kemungkinan risiko wanprestasi dan kredit macet yang akan muncul. Proses ini berkaitan
dengan tahapan management, monitoring, dan reporting pada risk management framework. Tahapan
management yaitu meliputi proses membuat sebuah rancangan terkait kontrol preventif, proses
mitigasi, dan rencana darurat jika risiko terwujud. Pada proses management Ammana membuat
sebuah rancangan dalam mencegah dan mengatasi risiko gagal bayar yang mungkin akan muncul.
Sedangkan pada proses monitoring Ammana melakukan beberapa cara untuk mengatasi risiko
tersebut yaitu melalui:
a. Melakukan Risk Sharing
Pada Praktiknya Ammana bekerja sama dengan 50 LKMS yang ada di seluruh Indonesia untuk
bisa memberikan pelayanan pembiayaan kepada masyarakat. Risk sharing memiliki
keunggulan diantaranya, berkumpulnya sumber daya yang kompeten sehingga mitra dapat
meningkatkan jumlah modal yang mereka miliki dan memungkinkan mereka memulai sebuah
usaha yang lebih besar. Kemudian mitra dapat memberikan saran satu sama lain tentang cara
yang efektif dalam mengurangi risiko yang dihadapi. Sehingga dengan semakin besar jumlah
mitra berbagi risiko, maka semakin randah risiko yang dihadapi oleh masing-masing mitra.
b. Melakukan Rekondisi Pola Pembayaran dan Penggunaan Asuransi
Rekondisi pola pembayaran dilakukan apabila UMKM mengalami kesulitan untuk
meningkatkan penjualan usahanya sehingga mengalami keterlambatan pembayaran atau
pemilik dari UMKM mengalami sakit dan penyebab lainnya yang berdampak pada
keterlambatan pembayaran maka dilakukan rekondisi pola pembayaran untuk meringankan
UMKM tersebut. Kemudian untuk asuransi yang digunakan bisa bekerjasama dengan LKMS
menjadi nasabah tabungan takaful atau lewat asuransi pihak ketiga.
c. Penggunaan Jaminan (collateral based)
Penggunaan jaminan (collateral based) terjadi apabila UMKM mengalami force majeure atau
meninggalkan kewajibannya.
d. Buyback Usaha UMKM
Buyback usaha UMKM terjadi apabila LKMS melakukan kesalahan dalam pembinaan
sehingga UMKM tidak bisa melakukan usahanya dengan baik atau pihak LKMS tidak
bertanggung jawab melakukan penipuan dan membawa uang keuntungan dari UMKM yang
tidak diproses ke Ammana.

Pola Mitigasi Risiko Ammana


Dalam pelaksanaan peer to peer (P2P) lending, risiko merupakan suatu hal yang tidak dapat
di hindari. Salah satu risiko yang bisa terjadi adalah wanprestasi dan gagal bayar atau kredit macet.
Model yang Ammana gunakan merupakan sebuah temuan yang menyimpulkan tahapan-tahapan
mitigasi risiko pembiayaan yang dilakukan oleh Ammana. Pada dasarnya model atau konsep yang
digunakan oleh Ammana dalam memitigasi risiko tersebut memiliki beberapa kesamaan dengan
mitigasi risiko yang digunakan oleh perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending lainnya.
Pada dasarnya setiap perusahaan pasti memiliki standar prosedur dalam mengatasi sebuah
risiko. Begitu juga dengan Ammana sebagai perusahaan Fintech memiliki prosedur atau sistem
tersendiri untuk mengatasi risiko yang akan terjadi. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab
sebelumnya Ammana memiliki beberapa cara dalam memitigasi sebuah risiko. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa Ammana menggunakan two steps risk mitigation model dalam
mengatasi risiko pembiayaan dintarannya dalam mengatasi wanprestasi dan gagal bayar. Berikut
adalah kesimpulan dari cara yang digunakan oleh Ammana dalam memitigasi sebuah risiko:

Berikut adalah kebelihan dan kekurangan dari model tersebut yang dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:

KELEBIHAN KEKURANGAN

a. Menggunakan metode mitigasi risiko a. Melibatkan banyak pihak dalam proses


dengan dua tahapan yaitu sebelum dan mitigasi risiko
sesudah pembiayaan diberikan b. Proses analisis terhadap usaha calon debitur
b. Dapat memilih dan memilah calon sangat kompleks, sehingga membutuhkan
debitur yang sesuai dengan kriteria waktu yang cukup lama
perusahaan secara mudah melalui c. Tidak semua perusahaan Fintech Peer to Peer
tahapan kompleks dan berurutan (P2P) Lending dapat menggunakan model
c. Menghasilkan sistem yang memenuhi tersebut
kebutuhan langsung dari investor
dalam menjaga risiko gagal bayar
Transparansi dan Fairness
Ammana dalam mengatasi keamanan dana dan data dari investor, pertama melakukan
transparansi terhadap kejelasan dana investor. Hal ini dilakukan oleh pihak Ammana sebagai salah
satu fasilitas yang diberikan kepada para investor di aplikasi Fintech tersebut. Karena dengan adanya
transparansi atau kejelasan dana nasabah tersebut akan berdampak positif bagi investasi yang akan
berjalan, dimana para investor sebelum melakukan investasi sudah mengetahui profil lengkap dari
calon debiturnya yaitu UMKM melalui credit scoring dan data lainnya seperti foto usaha, jaminan
yang diberikan, dan video dari usaha yang akan dijalankan. Dari hal tersebut pihak Ammana
berharap para investor dapat menentukan sendiri risiko yang akan dihadapi kedepannya, karena
sudah mengetahui data lengkap dari calon debiturnya.
Kemudian yang kedua, Ammana menerapkan fairness sebagai bentuk edukasi kepada
masyarakat bahwa dalam kegiatan pembiayaan syariah tidak hanya sekedar berbagi hasil tetapi juga
berbagi risiko. Dari hal tersebut investor dapat menghitung tingkat risiko yang akan muncul apabila
telah menentukan usaha mana yang akan dibiayai, sehingga menjadikan para investor tersebut lebih
dewasa dan bijak dalam menghadapi risiko yang akan terjadi. Inilah yang menjadi kelebihan dari
industri Fintech syariah karena investor tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga bisa melakukan
sesuatu secara fair, sehingga dalam mengambil tindakan bisa diperhitungkan terlebih dahulu.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan dari
rumusan masalah yang telah dibuat adalah sebagai berikut:
1. Dalam prosedur penyaluran pembiayaan, Ammana melakukan beberapa tahapan mulai dari
proses pengajuan pendanaan hingga proses pencairan dana dan pembayaran kembali.
Mekanisme pembiayaan yang dilakukan oleh Ammana tidak sepenuhnya berbasis online,
tahapan offline dilakukan oleh LKMS sebagai mitra Ammana untuk memastikan validnya
data yang diperoleh dari UMKM. Tidak hanya itu sebelum melakukan pengajuan
pembiayaan di Ammana, UMKM disyaratkan untuk menjadi anggota dari LKMS yang
menjadi mitra dari Ammana, serta harus melewati seleksi penilaian terlebih dahulu sebelum
bisa dibina dan diberikan pembiayaan.
2. Penerapan mitigasi risiko Ammana, dilakukan dengan beberapa cara melalui analisis
penilaian pembiayaan. Proses analisis dilakukan untuk menyeleksi calon debitur agar sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Ammana Bersama dengan LKMS melakukan penilaian
terhadap UMKM melalui credit scoring, salah satu kriteria khusus penilaian pembiayaan di
Ammana adalah syariah compliance. Selain itu Ammana juga melakukan review terhadap
usaha yang akan dijalankan oleh UMKM melalui tim risk management untuk melihat
kelayakan usaha serta melakukan pendataan jaminan dari UMKM. Kemudian dalam
meminimalisasi risiko gagal bayar, Ammana memiliki beberapa cara dalam mengatasi hal
tersebut yaitu dengan melakukan risk sharing, merekondisi pola pembayaran UMKM,
penggunaan asuransi pada UMKM serta penggunaan jaminan (collateral based), dan
melakukan buyback usaha UMKM apabila LKMS melakukan kegagalan dalam pembinaan
dan kesalahan operasional.
3. Dalam melakukan mitigasi risiko Ammana memiliki sistem tersendiri yaitu melalui two step
mitigation model yang dilakukan baik sebelum ataupun sesudah pembiayaan berlangsung.
Selain itu Ammana juga menerapkan transparansi informasi serta fairness kepada investor
sebagai bentuk edukasi dan jaminan atas dana investor digunakan untuk kepentingan apa saja
oleh UMKM pada usaha yang dijalankan.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat memberikan
sararan sebagai berikut:
1. Diharapkan Ammana dapat konsisten dalam menerapkan mekanisme mitigasi risiko yang
sudah ditetapkan, karena dari mitigasi tersebut bisa memberikan banyak pertimbangan dan
analisa sebelum pembiayaan bisa direalisasikan. Serta menjaga kaidah-kaidah muamalah
dalam kegiatan pembiayaan, dengan menjaga setiap akad yang digunakan dalam transaksi
pembiayaan. Sehingga dengan menjaga kaidah-kaidah tersebut Ammana sebagai Fintech
syariah dapat terhindar dari riba, gharar, maysir, dan dzulm. Oleh karena itu perlu adanya
sinergi antara para akademisi, pakar fiqh, regulator, praktisi keuangan dan pelaku startup
untuk bisa melakukan kajian serta pengembangan dan pengawasan terhadap Fintech syariah
yang ada di Indonesia.
2. Diperlukannya sistem pengawasan atau kontrol yang memadai terhadap para mitra Ammana
yaitu LKMS agar dapat melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku serta
diperlukannya sebuah tindakan nyata dalam menghentikan kegagalan operasional yang tidak
sesuai dengan prosedur atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Hal tersebut guna
mengurangi terjadinya risiko operasional atau moral hazard yang mungkin akan terjadi.
3. Dalam menghadapi persaingan di industri keuangan, Ammana sebagai perusahaan Fintech
berbasis syariah harus bisa memberikan layanan yang tepat sasaran melalui sosialisasi
Fintech syariah kepada masyarakat baik secara online maupun offline. Hal tersebut dilakukan
guna menambah literasi keuangan syariah masyarakat dengan tujuan agar Ammana bisa
mendapatkan investor yang lebih banyak. Sehingga tercipta inklusi keuangan dan UMKM
bisa mendapatkan pembiayaan secara lebih cepat dan mudah.
4. Bagi para investor (lender), diharapkan sebelum melakukan investasi dapat lebih teliti dalam
memilih penyedia layanan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending dengan melakukan
pengecekan daftar perusahaan Fintech pinjam pemimjam yang terdaftar dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu investor dapat menilai data peminjam (borrowers)
melalui hasil uji kelayakan usaha yang telah disajikan oleh perusahaan Fintech dalam aplikasi
atau website yang telah disediakan, hal ini dilakukan guna mengetahui fakta dilapangan dan
risiko apa yang akan dihadapi oleh investor. Sehingga investor dapat menentukan pilihannya
melalui pertimbangan dan analisa terhadap perusahaan Fintech yang dipilihnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abyan, M. A. (2018). Konsep Penggunaan Financiall Technology dalam Membantu Masyarakat


Urban di Indonesia dalam Melakukan Transaksi Finansial.

Arief, T. (2018). Regulasi Fintech: Perlindungan Konsumen Jadi Fokus OJK.


http://finansial.bisnis.com Diakses pada 10 November 2018 Pukul 09.00 WIB

Ayyubi, S. A. (2017). Fintech Dorong Sektor UMKM yang Masih Unbankable.


http://industri.bisnis.com Diakses pada 19 Oktober 2018 Pukul 09.30 WIB

Chismastianto, I. A. (2017). Analisis SWOT Implementasi Teknologi finansial Terhadap Kualitas


Layanan Perbankan Di Indonesia. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita Harapan
Tangerang, ISSN 1979-6471, Vol. 20 No. 1.

Digital Sevice. (2017). Kajian Bisnis Fintech Syariah.

Firdaus, R., & Ariyanti, M. (2011). Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung: Alfabeta.

Majelis Ulama Indonesia. (2018, 12 7). Ini Fatwa Terbaru DSN-MUI tentang Uang Elektronik dan
Layanan Pembiayaan Berbasis IT. https://mui.or.id Diakses pada 20 November 2018 Pukul
19.30 WIB

Manzilati, A. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode, dan Aplikasi. Malang: UB
Press.

Nizar, M. A. (2018, Maret 8). Teknologi Keuangan (Fintech): Konsep dan Implementasinya Di
Indonesia. Warta Fiskal, pp. 5-13.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wahyudi, I., Dewi, M. K., Rosmanita, F., Prasetyo, M. B., Putri, N. I., & Haidir, B. M. (2013).
Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Salemba Empat.

Widyaningsih, N. (2018). Analisis Mitigasi Resiko Financial Technology Peer to Peer Lending
Dalam Penyaluran Kredit Terhadap UMKM di Indonesia (Studi Kasus Pada PT. Amartha
Mikro Fintek). Artikel Jurnal.

Anda mungkin juga menyukai