JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Bahwa artikel Jumal tersebut dibuat sebagai persy aratan ujian skripsi yang dipertahankan di
depan Dewan Penguji pada tanggal 14 Mei 2019.
ABSTRAK
Penelitian ini di latar belakangi adanya revolusi digital yang menghasilkan inovasi-inovasi di bidang
teknologi. Salah satu bentuk inovasi digital tersebut adalah fintech syariah peer to peer (P2P) lending
yang memberikan pembiayaan terhadap UMKM. UMKM sebagai salah satu bidang yang memiliki
potensi terhadap ekonomi nasional memiliki permasalahan keterbatasan modal serta akses
terhadap perbankan (unbankable), sehingga kehadiran fintech dinilai dapat mengatasi masalah
tersebut. Sedangkan di sisi lain pemberian pembiayaan yang dilakukan perusahaan fintech syariah
juga memiliki potensi akan timbulnya suatu risiko. Oleh karena itu pemberian pembiayaan yang
dilakukan harus melalui berbagai penilaian dan pertimbangan sebelum dilakukanya realisasi
pembiayaan sebagai bentuk identifikasi risiko serta melakukan berbagai langkah strategi untuk
meminimalisasi terjadiya suatu risiko yang mungkin terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui penerapan mitigasi risiko yang dilakukan oleh perusahaan fintech syariah
khususnya Ammana Fintek Syariah dalam pemberian pembiayaan terhadap UMKM di Indonesia.
Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam mengatasi risiko wanprestasi dan kredit macet Ammana
melakukan review data usaha UMKM dan memberikan credit scoring sebagai tahapan awal
mitigasi. Selain itu dalam prosedur penyaluran pembiayaan Ammana tidak sepenuhnya berbasis
online melainkan bekerja sama dengan LKMS sebagai mitra lapangan. Langkah yang diambil oleh
Ammana dalam meminimalisasi risiko kredit macet setelah pembiayaan disalurkan yaitu dengan
melakukan risk sharing, merekondisi pola pembayaran, menggunakan asuransi serta mewajibkan
jaminan kepada UMKM, dan melakukan buyback usaha UMKM jika LKMS mengalami
wanprestasi. Serta dalam penelitian ini ditemukan adanya sebuah model yang digunakan oleh
Ammana dalam memitigasi risiko yaitu two step risk mitigation model.
Kata kunci: Fintech, Peer to Peer (P2P) Lending, Mitigasi risiko, Credit scoring, Risk Sharing
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan data penyaluran jumlah kredit perbankan terhadap UMKM mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2013 sebesar 639,471.5 miliar meningkat menjadi 990,377.6 miliar
di tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbankan telah melakukan penambahan jumlah
penyaluran kredit terhadap UMKM, dimana dari adanya penambahan tersebut diharapkan dapat
mengurangi pemasalah UMKM yaitu dalam keterbatasan modal (Bank Indonesia, 2018). Namun
kenyataannya masih banyak UMKM yang mengalami kesulitan dan tidak bisa berkembang karena
adanya keterbatasan modal serta keterbatasan akses kredit di perbankan. Menurut Anggraeni et al
(2013) UMKM mengalami kesulitan dalam permodalan, dikarenakan UMKM tidak mampu untuk
memenuhi persyaratan yang diberikan oleh perbankan.
Masalah finansial yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah; biaya transaksi yang
tinggi, hal tersebut disebabkan oleh prosedur kredit yang rumit sehingga menyita banyak waktu
sementara jumlah kredit yang diberikan terbilang kecil, kemudian kurangnya akses ke sumber dana
yang formal, baik disebabkan oleh tidak adanya bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi
yang memadai serta bunga kredit yang cukup tinggi, dan banyak dari UMKM yang masih
unbankable atau belum memiliki manajerial keuangan yang baik. Kini di era modern gelombang
revolusi dalam teknologi digital terus berlangsung, kemajuan teknologi digital tersebut menjadi
inovasi bagi perkembangan zaman salah satunya terjadi pada layanan jasa keuangan. Munculnya
Fintech menjadi peluang alternatif bagi UMKM untuk bisa mengajukan pembiayaan dengan cara
yang lebih mudah, efektif, dan modern.
Kehadiran Fintech ditengah masyarakat memberikan dampak positif, dimana keberadaan
Fintech membuka peluang yang lebih besar bagi konsumen rumah tangga dan kalangan dunia usaha,
termasuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk mengakses jasa keuangan (Nizar, 2018).
Fintech juga menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah finansial masyarakat yang tinggal
jauh dari pusat kota (Abyan, 2018). Maka dengan adanya Fintech masyarakat yang belum memiliki
akses keuangan di perbankan, khususnya bagi UMKM yang belum memenuhi persyaratan bank
(unbankable) dalam pengajuan pinjaman dapat mengajukan kredit melalui fintech (Widyaningsih,
2018). Menurut Bhima Yudhistira selaku peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (Indef), menyatakan pada saat ini ada sebanyak 11 juta UMKM yang dinilai sudah
bankable, namun ada sebanyak 49 juta UMKM lainnya dinilai masih unbankable. Kemudian Bhima
Yudhistira menjelaskan total kebutuhan nasional untuk UMKM adalah sebesar Rp. 1,649 triliun,
sedangkan kapasitas perbankan di Indonesia hanya sebesar Rp. 660 triliun. Dengan demikian adanya
selisih Rp. 989 triliun tersebut menjadi peluang bagi Fintech untuk memberikan pelayanan dalam
pembiayaan kepada UMKM yang ada di Indonesia (Ayyubi, 2017).
Menurut Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida
menyatakan bahwa untuk melindungi kepentingan konsumen termasuk data nasabah maka
perusahaan Fintech harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik seperti penerapan
manajemen risiko yang baik sehingga hal tersebut akan mendorong adanya transparansi,
akuntabilitas, serta tanggung jawab dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Selain itu
tranparansi informasi menjadi penting terkait hak dan kewajiban bagi pihak investor, peminjam,
maupun platform yang menyangkut pendapatan, potensi risiko, biaya-biaya, bagi hasil, dan
manajemen risiko serta mitigasi risiko jika terjadi kegagalan dalam pembayaran kredit oleh debitur
(Arief, 2018).
Dari permasalahan diatas sebaiknya perusahaan Fintech sebelum melalukan penyaluran
kredit juga perlu untuk memperhatikan berbagai risiko dan juga memiliki cara dalam memitigasi
risiko yang mungkin akan terjadi. Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat adanya unsur
ketidakpastian yang mungkin dapat terjadi di masa depan dengan adanya risiko yang tidak bisa
dipastikan. Sehingga perlu adanya langka-langkah atau cara dalam meminimalisir risiko yang
mungkin akan terjadi, sehingga para investor dapat mengetahui apa saja risiko yang akan didapatkan
jika berinvestasi pada suatu unit usaha (UMKM) tertentu.
Dengan demikian, dari adanya fenomena tersebut penelitian ini berjudul “Analisis Mitigasi
Risiko Financial Technology Syariah Peer to Peer (P2P) Lending Dalam Penyaluran
Pembiayaan Terhadap UMKM di Indonesia (Studi Kasus PT. Ammana Fintek Syariah)”
B. KAJIAN PUSTAKA
• Prinsip-prinsip 5C
a. Character (Watak/Kepribadian)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur melihat dari watak dan kepribadian
sangatlah penting dalam memutuskan pemberian kredit. Hal ini karena calon debitur harus
memiliki sifat yang baik dan komitmen yang tinggi agar dapat mengembalikan atau bersedia
melunasi kreditnya pada waktu yang telah disepakati.
b. Capacity (Kemampuan/Kapasitas)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur melihat dari kemampuan dalam mengelola
bisnis yang berhubungan dengan pembayaran kredit. Dimana bank harus mengetahui sampai
dimana debitur menjalankan usahanya. Untuk itu pihak bank harus mengetahui bagaimana
kemampuan calon debiturnya yang berkaitan dengan pengalaman usha, manajemen bisnis,
serta pengaturan keuangan yang baik.
c. Capital (Modal)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur yang dilihat dari struktur modal yang
dimiliki. Analisis modal ini sangat penting karena bertujuan untuk mengetahui kemampuan
debitur untuk dapat menentukan jangka waktu pembayaran kembali kredit yang akan
diterima.
e. Collateral (Jaminan)
Merupakan suatu analisis penilaian calon debitur dilihat dari jaminan yang diberikan oleh
calon debitur baik secara fisik maupun non-fisik. Penilaian jaminan atau agunan untuk
melihat tingkat kemudahan objek jaminan untuk dijual apabila debitur tidak mampu
membayar. Kemudian penilaian ini juga menentukan berapa jumlah kredit yang dapat
diberikan.
• Prinsip-prinsip 3R
a. Return (Hasil yang dicapai)
Return dalam hal ini dimaksudkan penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh debitur setelah
dibantu dengan kredit yang telah dislurkan oleh bank. Yang dimaksudkan pada hasil tersebut
apakah dapat menutup untuk pengembalian pinjamannya serta bersamaan dengan itu
memungkinkan pula usahanya untuk dapat terus berkembang atau tidak.
b. Repayment (Pembayaran Kembali)
Repayment dalam hal ini adalah terkait penilaian berapa lama debitur dapat membayar
kembali pinjamannya sesuai dengan kemampuan membayar kembali (repayment capacity),
seta bagaimana cara debitur dalam melunasi kreditnya apakah melalui cicilan atau dilunasi
sekaligus diakhir periode.
c. Risk Bearing Ability (Kemampuan Untuk Menanggung Risiko)
Risk bearing ability merupakan sebuah cara yang harus dilakukan oleh kreditur dalam
mengetahui dan menilai sampai sejauh mana perusahaan pemohon kredit mampu
menanggung risiko kegagalan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
Karakteristik Kredit UMKM
Karakteristik kredit yang diberikan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
memiliki perbedaan dengan kredit atau pembiayaan yang diberikan pada usaha besar dan korporasi.
Kredit kepada UMKM juga hanya ada di beberapa bank yang memiliki pengalaman dan komitmen
dalam hal ini. Berikut adalah karakteristik kredit yang dimiliki UMKM:
a. Memerlukan Persyaratan Penyerahan Jaminan yang Lebih Lunak
Dalam hal ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) biasanya
mengalami kesulitan untuk bisa memberikan jaminan tambahan yang mencerminkan
keseriusan untuk menjamin kredit bisa dibayarkan. Hal yang paling mungkin dilakukan
oleh pelaku UMKM adalah menggunakan jaminan utama, jaminan utama yang dimaksud
adalah suatu objek yang dibiayai dengan hasil fasilitas kredit yang telah diberikan.
b. Memerlukan Metode Monitoring Kredit yang Khusus
Dalam hal ini para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada umumnya
memiliki keterbatasan dalam kemampuan mengelola administrasi, pencatatan dan
perencanaan usaha. Salah satunya ketika ada pencatatan laporan keuangan, hal ini
merupakan sesuatu yang jarang dilakukan oleh para pelaku UMKM.
c. Cenderung Menimbulkan Biaya Kredit Yang Relatif Lebih Tinggi
Biaya kredit yang lebih tinggi ini muncul ketika banyaknya karakteristik yang perlu
dipenuhi oleh debitur. Hal tersebut menyebabkan kenaikan biaya kredit yang akan
dibayarkan oleh debitur. Sehingga implikasi langsung yang terjadi adalah dapat
menyebabkan kenaikan bunga atau imbal jasa lain yang harus dibayarkan oleh debitur
kepada pihak kreditur.
d. Memerlukan Persyaratan Persetujuan Kredit Yang lebih Sederhana
Dalam hal ini biasanya terjadi karena kurangnya informasi dan tingkat pendidikan calon
debitur sehingga menimbulkan keinginan para pelaku UMKM agar proses pengajuan dan
persetujuan kredit bisa dilakukan dengan cepat dan lebih sederhana. Kurangnya informasi
menjadi masalah yang seringkali muncul sehingga menyebabkan calon debitur kurang
dapat menerima proses persetujuan kredit yang terlalu rumit.
Mitigasi Risiko
Mitigasi adalah eliminasi atau mengurangi frekuensi dari sebuah risiko, atau sebuah cara
untuk meminimalisasi dampak potensial dari sebuah ancaman. Adapun tujuan dilakukannya mitigasi
risiko adalah mengeksplorasi strategi respon risiko atas sesuatu yang berisiko, yang kemudian
diidentifikasi menggunakan analisis risiko kualitatif dan kuantitatif. Setelah mitigasi dilakukan
semua risiko perlu didokumentasikan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu masuk dalam
dokumentasi tersebut antara lain: penyebab terjadinya risiko, bentuk dari risiko, dampak yang
ditimbulkan dari risiko, dan lesson learned yang dapat diambil. Setelah semua didokumentasikan
maka hasil dokumentasi harus disirkulasikan ke bagian lain yang terkait dan diarsip agar
menghindari risiko yang mungkin terjadi di masa depan (Wahyudi, et al., 2013).
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Wrench et al dalam buku
yang ditulis oleh Manzilati menjelaskan bahwa qualitative research adalah istilah kualitatif yang
banyak dirujuk untuk menggambarkan paradigma yang digunakan oleh peneliti untuk memahami
suatu masalah dalam realitas (2017: 23).
Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini tidak menggunakan random sampling melainkan sampel dipilih
menggunakan metode purposive sampling. Penggunaan purposive sampling bertujuan untuk
mengambil sampel dengan pertimbangan dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemilihan
sampel dilakukan dengan cara mengambil objek berdasarkan pada tujuan tertentu dan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
Dengan demikian objek penelitian yang dapat memenuhi serta sesuai dengan kriteria tersebut
adalah PT Amanna Fintek Syariah (Ammana.id) yang akan dijadikan sebagai objek dalam
penelitian.
Bagian ini akan menjelaskan pemaparan mengenai hasil serta pembahasan dari penelitian
yang sudah dilakukan mengenai penerapan mitigasi risiko di Ammana Fintek Syariah terhadap
penyaluran pembiayaan kepada UMKM mulai dari tahapan identifikasi risiko, pengukuran dan
penilaian calon debitur, serta langkah dalam meminimalisasi risiko kredit macet yang diterapkan oleh
perusahaan untuk menjaga keamanan pembiayaan yang berlangsung.
b. Kredit Macet
Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak
mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya. Kredit macet lebih dikenal dengan Non-
Performing Loan (NPL) di dunia perbankan. Sama halnya dengan perbankan dalam fintech juga ada
Non-Performing Loan (NPL).
Kredit macet ini bisa terjadi di perusahaan fintech peer to peer lending dikarenakan masih
kurang pahamnya masyarakat tentang aplikasi dari platform penyedia akses peer to peer lending.
Contohnya seperti apabila masyarakat tidak membaca dan memahami terlebih dahulu bagaimana
cara kerja serta syarat dan ketentuan yang diterapkan pada peer to peer lending, meminjam di
beberapa aplikasi sekaligus, dan tidak mengukur kemampuan membayarnya sendiri sehinngga
berdampak buruk kemudian terjadi kredit macet.
B Low Risk
C Moderat Risk
D High Risk
Berikut adalah kebelihan dan kekurangan dari model tersebut yang dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
KELEBIHAN KEKURANGAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan dari
rumusan masalah yang telah dibuat adalah sebagai berikut:
1. Dalam prosedur penyaluran pembiayaan, Ammana melakukan beberapa tahapan mulai dari
proses pengajuan pendanaan hingga proses pencairan dana dan pembayaran kembali.
Mekanisme pembiayaan yang dilakukan oleh Ammana tidak sepenuhnya berbasis online,
tahapan offline dilakukan oleh LKMS sebagai mitra Ammana untuk memastikan validnya
data yang diperoleh dari UMKM. Tidak hanya itu sebelum melakukan pengajuan
pembiayaan di Ammana, UMKM disyaratkan untuk menjadi anggota dari LKMS yang
menjadi mitra dari Ammana, serta harus melewati seleksi penilaian terlebih dahulu sebelum
bisa dibina dan diberikan pembiayaan.
2. Penerapan mitigasi risiko Ammana, dilakukan dengan beberapa cara melalui analisis
penilaian pembiayaan. Proses analisis dilakukan untuk menyeleksi calon debitur agar sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Ammana Bersama dengan LKMS melakukan penilaian
terhadap UMKM melalui credit scoring, salah satu kriteria khusus penilaian pembiayaan di
Ammana adalah syariah compliance. Selain itu Ammana juga melakukan review terhadap
usaha yang akan dijalankan oleh UMKM melalui tim risk management untuk melihat
kelayakan usaha serta melakukan pendataan jaminan dari UMKM. Kemudian dalam
meminimalisasi risiko gagal bayar, Ammana memiliki beberapa cara dalam mengatasi hal
tersebut yaitu dengan melakukan risk sharing, merekondisi pola pembayaran UMKM,
penggunaan asuransi pada UMKM serta penggunaan jaminan (collateral based), dan
melakukan buyback usaha UMKM apabila LKMS melakukan kegagalan dalam pembinaan
dan kesalahan operasional.
3. Dalam melakukan mitigasi risiko Ammana memiliki sistem tersendiri yaitu melalui two step
mitigation model yang dilakukan baik sebelum ataupun sesudah pembiayaan berlangsung.
Selain itu Ammana juga menerapkan transparansi informasi serta fairness kepada investor
sebagai bentuk edukasi dan jaminan atas dana investor digunakan untuk kepentingan apa saja
oleh UMKM pada usaha yang dijalankan.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat memberikan
sararan sebagai berikut:
1. Diharapkan Ammana dapat konsisten dalam menerapkan mekanisme mitigasi risiko yang
sudah ditetapkan, karena dari mitigasi tersebut bisa memberikan banyak pertimbangan dan
analisa sebelum pembiayaan bisa direalisasikan. Serta menjaga kaidah-kaidah muamalah
dalam kegiatan pembiayaan, dengan menjaga setiap akad yang digunakan dalam transaksi
pembiayaan. Sehingga dengan menjaga kaidah-kaidah tersebut Ammana sebagai Fintech
syariah dapat terhindar dari riba, gharar, maysir, dan dzulm. Oleh karena itu perlu adanya
sinergi antara para akademisi, pakar fiqh, regulator, praktisi keuangan dan pelaku startup
untuk bisa melakukan kajian serta pengembangan dan pengawasan terhadap Fintech syariah
yang ada di Indonesia.
2. Diperlukannya sistem pengawasan atau kontrol yang memadai terhadap para mitra Ammana
yaitu LKMS agar dapat melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku serta
diperlukannya sebuah tindakan nyata dalam menghentikan kegagalan operasional yang tidak
sesuai dengan prosedur atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Hal tersebut guna
mengurangi terjadinya risiko operasional atau moral hazard yang mungkin akan terjadi.
3. Dalam menghadapi persaingan di industri keuangan, Ammana sebagai perusahaan Fintech
berbasis syariah harus bisa memberikan layanan yang tepat sasaran melalui sosialisasi
Fintech syariah kepada masyarakat baik secara online maupun offline. Hal tersebut dilakukan
guna menambah literasi keuangan syariah masyarakat dengan tujuan agar Ammana bisa
mendapatkan investor yang lebih banyak. Sehingga tercipta inklusi keuangan dan UMKM
bisa mendapatkan pembiayaan secara lebih cepat dan mudah.
4. Bagi para investor (lender), diharapkan sebelum melakukan investasi dapat lebih teliti dalam
memilih penyedia layanan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending dengan melakukan
pengecekan daftar perusahaan Fintech pinjam pemimjam yang terdaftar dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu investor dapat menilai data peminjam (borrowers)
melalui hasil uji kelayakan usaha yang telah disajikan oleh perusahaan Fintech dalam aplikasi
atau website yang telah disediakan, hal ini dilakukan guna mengetahui fakta dilapangan dan
risiko apa yang akan dihadapi oleh investor. Sehingga investor dapat menentukan pilihannya
melalui pertimbangan dan analisa terhadap perusahaan Fintech yang dipilihnya.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, R., & Ariyanti, M. (2011). Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung: Alfabeta.
Majelis Ulama Indonesia. (2018, 12 7). Ini Fatwa Terbaru DSN-MUI tentang Uang Elektronik dan
Layanan Pembiayaan Berbasis IT. https://mui.or.id Diakses pada 20 November 2018 Pukul
19.30 WIB
Manzilati, A. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode, dan Aplikasi. Malang: UB
Press.
Nizar, M. A. (2018, Maret 8). Teknologi Keuangan (Fintech): Konsep dan Implementasinya Di
Indonesia. Warta Fiskal, pp. 5-13.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wahyudi, I., Dewi, M. K., Rosmanita, F., Prasetyo, M. B., Putri, N. I., & Haidir, B. M. (2013).
Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Salemba Empat.
Widyaningsih, N. (2018). Analisis Mitigasi Resiko Financial Technology Peer to Peer Lending
Dalam Penyaluran Kredit Terhadap UMKM di Indonesia (Studi Kasus Pada PT. Amartha
Mikro Fintek). Artikel Jurnal.