Anda di halaman 1dari 64

HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERSEPSI TERHADAP SINETRON RELIGIUS BERNUANSA


MISTIS DENGAN RELIGIUSITAS WANITA DEWASA AWAL

(Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Psikologi)

Oleh:
Nur Alfi Inayah
NIM: 101070023035

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERSEPSI TERHADAP SINETRON RELIGIUS BERNUANSA
MISTIS DENGAN RELIGIUSITAS WANITA DEWASA AWAL

(Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Psikologi)

Oleh:
Nur Alfi Inayah
NIM: 101070023035

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI
TERHADAP SINETRON RELIGIUS BERNUANSA MISTIS
DENGAN RELIGIUSITAS WANITA DEWASA AWAL

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Syarat-syarat Memeroleh
Gelar Sarjana Psikologi

Disusun oleh:
Nur Alfi Inayah
101070023035

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Choliluddin AS, M.A. Gazi Saloom, M. Si


NIP. 03 0308 3501 NIP. 19711214 200701 1 014

Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2010

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi


terhadap Sinetron Religius Bernuansa Mistis dengan Religiusitas Wanita
Dewasa Awal ini telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada: Selasa, 28 September
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Psikologi.
Jakarta, 28 September 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si


NIP. 13 0885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota :

Prof. Dr. Abdul Mudjib, M.Ag Drs. Choliluddin A.S., M.A.


NIP. 19680614 199704 1 001 NIP. 03 0308 3501

Gazi Saloom, M.Si


NIP. 19711214 200701 1 014

iii
ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi


(B) Agustus 2010
(C) Nur Alfi Inayah
(D) Hubungan Persepsi terhadap Sinetron Religius Bernuansa Mistis dengan
Religiusitas Wanita Dewasa Awal
(E) x + 71
(F) Penelitiaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap sinetron religius
bernuansa mistis dengan religiusitas wanita dewasa awal. Populasi dalam
penelitian adalah wanita dewasa awal berusia 25 – 39 tahun yang
berdomisili di Kelurahan Pejuang Kecamatan Medan Satria Kotamadya
Bekasi yang berjumlah 8574 orang. Sampel yang digunakan berjumlah 60
orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
pengambilan data menggunakan skala faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi dan skala religiusitas Glock & Stark.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


kuantitatif sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif
korelasional.

Penghitungan statistik dilakukan menggunakan program SPSS versi 11.5


yang akan di interpretasikan dengan mengacu pada tabel korelasi
Pearson’s product moment. Dihasilkan nilai rhitung sebesar 0.109.
Sementara nilai rtabel pada taraf signifikansi 5% dengan N = 60 adalah
sebesar 0.254. Karena nilai rhitung yang didapat < rtabel, maka hipotesis nihil
(H0) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara faktor-faktor
yang menentukan persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis
dengan religiusita wanita dewasa awal diterima. Hal ini berarti bahwa
religiusitas seseorang tidak terpengaruh oleh persepsi mereka terhadap
sinetron religius bernuansa mistis.

Saran teoritis yang peneliti ajukan adalah untuk menggali lebih jauh efek
media televisi atau media lain terhadap sikap atau persepsi pemirsanya
dengan menggunakan Teori Kultivasi-nya Gerbner, atau dengan
menggunakan Teori Diffusion of Innovation-nya Roger atau Social
Learning-nya Bandura. Selain itu, untuk meneliti suatu fenomena
sebaiknya dilakukan anaqlisa dengan segera. Jika tidak ingin kesulitan
melacak kembali sumber-sumber yang berhubungan dengan tema tersebut.
(G) Daftar Pustaka: 26 (1980 – 2007)

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan


petunjuk serta hidayahNya sehingga karya ini pada akhirnya dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw., teladan
bagi seluruh umatnya.

Peneliti menyadari bahwa banyak sekali pihak yang terlibat dan berjasa
dalam penyusunan skripsi ini. Kepada mereka peneliti ingin menyampaikan
penghormatan dan rasa terima kasih yang mendalam.
1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak dan Ibu Pembantu Dekan,serta seluruh
Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pengajaran selama masa belajar peneliti.
2. Bapak Choliluddin AS, M.A. dan Bapak Gozi Saloom, M.Si., pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Mudjib, M.Ag., penguji I pada munaqasyah-ku.
4. Keluarga besarku; Maaf, saya tau kalian mulai bosan menunggu.
5. Teman-temanku yang selalu setia mendukung dan memahamiku: Sri “Buci”
Rahayu, Eer Arumi, Neneng Humairoh dan Dara Amalia.
6. Manusia-manusia deadline yang juga teman-teman seperjuanganku di F. Psi
angkatan 2001: Nenden Wulansari, Iman Firmansyah, Nana, Ahmad
Muzambiq, Abdul Kholiq dan ‘Gele. “Selalu ada hikmah di setiap kejadian,
bukan?”
7. Para operator rental komputer yang dengan murah hati mau diganggu kapan
pun dibutuhkan selama masa suram notebook peneliti: Mbah Orion, Mas
Hamdan dan Mas Komar.
8. Manusia paling baik hati yang selalu dengan senang hati berbagi
pemahamannya yang luas tentang segala hal: Agus Nurbani.
9. My sweetest Om, Ahmad Makki. Wish we’ll have a lot more to celebrate.

v
Pihak lain yang tidak dapat diucap satu per satu, semoga Allah membalas
kebaikan kalian.

Jakarta, 28 September 2010

Peneliti

vi
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ………………………………………………….. I
Lembar Persetujuan …………………………….................................. ii
Lembar Pengesahan ………………………………………………….. iii
Abstrak ………………………………………………………….. iv
Kata Pengantar ………………………………………………….. v
Daftar Isi ………………………………………………………….. vii
Daftar Tabel ………………………………………………………..… x
Daftar Lampiran ………………………………………..………… xi

Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah ……………………………….. 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………..... 6
1.2.1.Pembatasan Masalah … ………………………….. 6
1.2.2. Perumusan Masalah …………………………….. 7
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………..... 8
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………….. 8
1.4.1. Manfaat Praktis ………………………………….. 8
1.4.2. Manfaat Teoritis ..……………………………….. 8
1.5. Sistematika Penulisan ………………………………….. 9

Bab 2 Kajian Pustaka


2.1. Religiusitas ………………………………………….. 10
2.1.1. Definisi Agama ………………………………….. 10
2.1.2. Definisi Religiusitas ………………………….. 10
2.1.3. Faktor-faktor yang Dapat Menimbulkan
Religiusitas …………………………………........ 12
2.1.4. Dimensi-dimensi Religiusitas ………………….. 13
2.1.5. Religiusitas Wanita Dewasa Awal ………….. 15
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ………….. 19
2.2.1. Definisi Persepsi ………………………….. 19
2.2.2. Peran Atensi pada Persepsi ............................. 20
2.2.3. Pengaruh Lingkungan terhadap Persepsi 21
Penglihatan ..............................................
2.2.5. Faktor-faktor yang Menentukan Persepsi …. 22
2.7. Kerangka Berpikir ………………………………...... 24
2.8. Pengajuan Hipotesa ………………………………….. 26
2.8.1. Hipotesa Nol ………………………………….. 26
2.8.2. Hipotesa Alternatif ………………………….. 26

Bab 3 Metode Penelitian


3.1. Jenis Penelitian ………………………………….. 27
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ………….. 27
3.1.2. Variabel Penelitian ………………………….. 28

vii
3.2. Populasi dan Sampel …………………………….......... 29
3.2.1. Populasi ………………………………...... 29
3.2.2. Sampel ………………………………………….. 30
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ………………….. 30
3.3. Teknik Pengumpulan ………………………………….. 32
3.3.1. Metode dan Instrumen Penelitian ………….. 32
3.3.2. Teknik Uji Instrumen Penelitian ………….. 35
3.4. Teknik Analisis Data ………………………………….. 37
3.5. Prosedur Penelitian ………………………………….. 38
3.5.1. Tahap Persiapan ………………………….. 38
3.5.2. Uji Coba Instrumen ………………………….. 38
3.5.3. Pelaksanaan Penelitian ………………………….. 39

Bab 4 Hasil Penelitian


4.1. Gambaran Umum Subjek ………………………….. 40
4.1.1. Berdasarkan Usia ………………………….. 40
4.1.2. Berdasarkan Lama Menonton Televisi dalam
Sehari ………………………………………….. 41
4.1.3. Berdasarkan Frekuensi Menonton Sinetron
Religius Bernuansa Mistis ………………...... 42
4.2. Hasil Penelitian ………………………………...... 42
4.3. Uji Hipotesis ………………………………………...... 44
4.4. Pembahasan Hasil Penelitian ………………………...... 45

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran


5.1. Kesimpulan ………………………………………...... 46
5.2. Diskusi ………………………………………….. 46
5.3. Saran ………………………………………………….. 49

Daftar Pustaka ………………………………………………………….. 51


Lampiran ………………………………………………………….. 53

viii
DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Halaman

Tabel 3.1. Blue-print penyebaran item skala persepsi ....................... 33

Tabel 3.2. Blue-print penyebaran item skala religiusitas ....................... 33

Tabel 3.3. Nilai pilihan jawaban pada skala ……………………... 34

Tabel 3.4. Data item valid skala persepsi............................................... 35

Tabel 3.5. Data item valid skala religiusitas ................................... 36

Tabel 4.1 Gambaran umum subjek bedasarkan usia ……………... 40

Tabel 4.2 Gambaran umum subjek bedasarkan lama menonton tv

dalam sehari ……………………………………………... 41

Tabel 4.3 Gambaran umum subjek bedasarkan frekuensi menonton

SRBM dalam seminggu ……………………………... 42

Tabel 4.4 Kategori skor skala persepsi terhadap SRBM ……... 43

Tabel 4.5. Uji hipotesis ……………………………………………... 44

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Skala persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis … 54

Lampiran 2. Skala religiusitas ……………………………………………. 56

Lampiran 3. Uji validitas dan reliabilitas skala persepsi terhadap SRBM .. 58

Lampiran 4. Uji validitas dan reliabilitas skala religiusitas ……………… 64

Lampiran 5. Analisis korelasi product moment Pearson ………………… 68

Lampiran 6. Tabel nilai kritis r-product moment ………………………… 69

Lampiran 7. Data uji coba skala persepsi terhadap SRBM …………….. 70

Lampiran 8. Data uji coba skala religiusitas ………………………….... 71

Lampiran 9. Data skor penelitian ....……………………………………… 72

x
BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang permasalahan, masalah

penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa dewasa awal disebut sebagai masa bermasalah. Pada masa ini

individu dihadapkan oleh berbagai tekanan dan permasalahan yang belum pernah

dihadapi sebelumnya. Permasalahan yang muncul pada fase ini kerap disebabkan

oleh perkembangan peran, dari remaja menjadi dewasa dan tuntutan-tuntutan

lingkungan sebagai konsekuensi dari peran barunya itu. Karenanya perkembangan

kepribadian yang terjadi pada masa ini adalah perkembangan yang menjembatani

jarak antara tuntutan-tuntutan dalam masyarakat dan proses penyesuaian diri

individu terhadap tuntutan-tuntutan tersebut (Hurlock, 1980).

Namun fase dewasa awal menjadi sangat penting dalam perjalanan hidup

individu, karena pada masa ini sekali seseorang menemukan pola hidup yang

diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola

perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama

sisa hidupnya. Karenanya masa dewasa awal ini juga dikenal sebagai masa

pengaturan atau settling down (Hurlock, 1980).

1
2

Untuk menemukan pola hidup yang sesuai dan memenuhi tuntutan

masyarakat, individu dewasa awal harus melakukan pencarian jawaban atas segala

permasalahan yang dihadapinya. Proses ini memungkinkan terjadinya perubahan

nilai-nilai dalam dirinya. Jadi masa dewasa awal juga disebut sebagai masa

perubahan nilai (Hurlock, 1980).

Salah satu hal yang paling mungkin mengalami perubahan nilai pada

individu di fase dewasa awal ini adalah religiusitas atau keberagamaannya.

Religiusitas adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian kita

sebagai manusia beragama. Idealnya terutama pada individu dewasa awal, karena

tujuan dari agama adalah juga mengatur pengikutnya.

Mangunwijaya (Anggarasari, 1997) membuat perbedaan penting antara

istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Istilah agama atau religi

merujuk pada aspek legal-formal yang terkait aturan-aturan dan kewajiban-

kewajiban. Ini terkait dengan ritual-ritual yang diajarkan dalam tiap-tiap agama,

terlepas dari soal penghayatan. Sementara istilah religiusitas merujuk pada aspek

keagamaan yang dihayati oleh individu. Menurut Djamaluddin (1995),

penghayatan ini ditandai oleh pengamalan nilai-nilai agama yang dianutnya dalam

kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.

Terkait dengan aspek religusitas individual, secara psikologis fase usia

dewasa awal merupakan kelompok umur yang menarik untuk diperhatikan.


3

Menurut Hurlock (1980), pada fase dewasa awal inilah mulai dibangunnya

pandangan pribadi yang relatif menetap tentang perilaku keberagamaan dalam diri

seseorang. Ia menambahkan, pada usia ini seseorang akan mengatasi keragu-

raguan terhadap kepercayaan keagamaan, sebagaimana dialami pada masa remaja.

Berdasar seks, Hurlock (1980) menerangkan bahwa wanita cenderung

lebih berminat terhadap agama ketimbang pria. Hal ini mungkin terkait dengan

kecenderungan wanita yang lebih mudah menerima dan mengaplikasikan ajaran

agama yang diterimanya.

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa wanita yang tengah berada di usia

dewasa awal sebetulnya berada pada fase krusial. Jika pada fase remaja

pandangan keberagamaan seseorang sekadar mengikuti perilaku keberagamaan

orang-orang di sekitarnya, maka di masa dewasa awal ia mulai membangun

pandangan pribadinya yang khas tentang religiusitas. Pandangan ini juga

berhubungan dengan peran dan tuntutan sosial kepada dirinya, serta

perkembangan psikologis, yang turut berubah sejalan dengan pertambahan usia.

Jika ia telah menemukan prinsip-prinsip dasar yang memuaskan bagi dirinya,

maka pandangan inilah yang akan diamalkannya dalam sisa hidupnya.

Dalam pencarian nilai-nilai religiusitas ini, ketersediaan rujukan menjadi

sangat penting. Berbagai informasi yang didapatkan dari luar merupakan sarana

seorang individu dalam menentukan corak pandangan keagamaannya. Karenanya


4

banyak sekali diterbitkan buku-buku tentang agama, diselenggarakan pengajian-

pengajian, bahkan pihak rumah produksi pun tak mau ketinggalan membuat

sinetron-sinetron agama.

Sinetron agama yang sempat menjadi fenomena adalah sinetron-sinetron

religius bernuansa mistis. Sejak kemunculannya pertama kali di layar kaca TPI

(saat ini MNC TV) pada medio 2005, Sinetron Rahasia Illahi menjadi primadona

sebagian besar penonton Indonesia, termasuk penonton wanita berusia dewasa

awal. Sinetron tersebut pun mampu mendongkrak posisi TPI di antara stasiun-

stasiun televisi lainnya. Hal inilah yang mendorong stasiun televisi lain

menayangkan sinetron serupa. Menurut sebuah survey rating, sinetron-sinetron

religius-mistis mampu mengalahkan tayangan-tayangan lain (Syaikhu, 2006).

Di tengah popularitas sinetron-sinetron bertema religius-mistis yang

menanjak, banyak kecaman dilontarkan oleh berbagai pihak. Pakar komunikasi

dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali (dalam Syaikhu, 2006), mengatakan

bahwa tayangan mistik bukan saja menumpulkan logika, tetapi juga bertolak

belakang dengan nalar. Pendapat senada juga dikemukakan pengamat media dan

anggota Komisi Penyiaran Indonesia Ade Armando. Bagi Ade tayangan mistis

sangat bertentangan dengan dakwah Islam dan bisa dipahami secara salah

terhadap agama yang dianutnya. (dalam Syaikhu, 2006).


5

Keberatan lain dikemukakan oleh Ghazali (2005) karena sinetron-sinetron

itu telah berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang penuh aura magis dan

agama yang tidak rasional. Padahal, kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda

bahwa al-dîn `aqlun lâ dîna liman la `aqla lah. Agama itu rasional; bukanlah

orang beragama yang tidak bisa memungsikan akalnya secara optimal.

Tetapi protes-protes itu seakan hanya muncul dan menguap begitu saja,

karena pada masanya masyarakat terus menggandrungi tayangan-tayangan

tersebut. Pada akhirnya justru rasa jenuh masyarakatlah yang membuat tayangan-

tayangan sinetron sejenis ini tak lagi mendapat sambutan ramai dari penonton.

Pertanyaannya, benarkah sinetron religius bernuansa mistis tersebut

dipersepsikan oleh para wanita dewasa awal sebagai salah satu alternatif sumber

informasi tentang religiusitas, dalam menemukan pola religiusitas yang sesuai

dengan kebutuhannya?

Dua penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, yaitu

penelitian Ani Andriani tentang Hubungan antara Sikap terhadap Sinetron

Religius di TV dengan Tingkat Religiusitas Dewasa Madya dan penelitian Israwati

tentang Hubungan Intensitas Menonton Tayangan Mistis dengan Rasa Takut

terhadap Makhluk Halus, pun tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang

signifikan. Namun kedua peneliti sama-sama menyarankan penelitian yang sama

dilakukan pada tingkatan usia yang lebih muda.


6

Karena kesenjangan antara fakta-fakta di ataslah peneliti tergelitik untuk

mengetahui jawabannya secara lebih jauh lagi, bagaimana hubungan antara

faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap sinetron religius bernuansa

mistis dengan religiusitas wanita dewasa awal.

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1. Pembatasan Masalah

Mengingat kompleksnya permasalahan ini, perlu dilakukan pembatasan

terhadap masalah yang akan diteliti. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian

berjalan di jalur yang sesuai dengan apa yang ingin diungkap oleh peneliti.

Persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis dapat diartikan

sebagai proses pengorganisasian serta pemberian makna terhadap pola stimulus

yang diindera dari sinetron religius bernuansa mistis, sehingga pemirsa dapat

memahami serta memberi arti terhadap sinetron tersebut.

Keberagamaan yang diukur dalam penelitian ini adalah lima dimensi

keberagamaan yang disebutkan oleh Glock & Stark dalam buku Jalaluddin

Rakhmat Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (2004). Kelima dimensi tersebut

adalah dimensi ideologis, dimensi ritualistik, dimensi pengalaman, dimensi

intelektual dan dimensi konsekuensial.


7

Subyek yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah para wanita

yang masuk dalam masa perkembangan dewasa awal yang berdomisili di

Kelurahan Pejuang Kecamatan Medan Satria Kotamadya Bekasi. Alasan

pemilihan wanita dewasa awal sebagai subyek penelitian, di antaranya; pertama,

menurut Hurlock (1980), wanita cenderung lebih mudah menerima serta

mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya. Ia juga

menerangkan, bahwa, kedua, karena pelbagai tuntutan, wanita pada fase dewasa

awal akan mengalami perubahan-perubahan sosial dan psikologis. Pada fase inilah

mereka mulai mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang

cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya. Hal ini juga berlaku

pada aspek religiusitasnya.

Batasan usia dewasa awal yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah usia

25-39 tahun, disesuaikan dengan data sensus kecamatan yang menghitung jumlah

populasi dengan mengelompokkannya per lima tahun. Dalam usia ini juga,

sebagaimana diacu dari teori Levinson, dalam buku Psikologi Perkembangan:

Pengantar dalam berbagai Bagiannya yang ditulis oleh Siti Rahayu Haditono

(1999), dinyatakan bahwa individu sudah melewati masa peralihan dari remaja

menjadi dewasa.

1.2.2. Perumusan Masalah

Dari batasan-batasan masalah yang telah ditentukan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut:
8

Apakah ada hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persepsi terhadap

sinetron-sinetron religius bernuansa mistis yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun

televisi dengan religiusitas wanita dewasa awal?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji hubungan antara faktor-faktor yang

menentukan persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis dengan

religiusitas wanita dewasa awal.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat

secara umum mengenai gambaran bagaimana media elektronik, khususnya

televisi, mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap kehidupan,

termasuk di dalamnya kehidupan beragama mereka.

1.4.2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih berupa masukan

tentang bagaimana keberagamaan seseorang, wanita dewasa awal khususnya,

terpengaruh oleh tontonan yang sedang marak di televisi saat ini, yaitu sinetron

religius bernuansa mistis.


9

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab 1: Pendahuluan, menjelaskan latar belakang permasalahan, masalah

penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

Bab 2: Landasan teori, mengemukakan kajian teori mengenai persepsi, sinetron

religius bernuansa mistis, religiusitas, wanita dewasa awal, kerangka berpikir serta

pengajuan hipotesa.

Bab 3: Metode penelitian, memberikan pendekatan dan metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini, populasi dan subjek penelitian, teknik

pengambilan sampel, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisis

data, serta prosedur penelitian.

Bab 4: Analisis hasil penelitian, menjabarkan gambaran umum subjek penelitian,

hasil analisis dan interpretasi data.

Bab 5: Simpulan, diskusi dan saran, mengemukakan kesimpulan yang diperoleh

dari analisis data penelitian, pembahasan hasil penelitian dan saran-saran yang

perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya.


BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Dalam Bab 2 ini akan diterangkan beberapa landasan teori, di antaranya

mengenai religiusitas, persepsi dan faktor- faktor yang mempengaruhinya, serta

kerangka berpikir dan hipotesa yang akan dijadikan sebagai acuan penelitian ini.

2.1. Religiusitas

2.1.2. Definisi Religiusitas

Mangunwijaya (Anggarasari, 1997) membedakan antara istilah religi atau

agama dengan istilah religiusitas. Agama atau religi menunjuk pada aspek formal

yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan

religiusitas menunjuk pada aspek yang dihayati oleh individu.

Berkaitan dengan religiusitas, Shihab (1996) memberikan definisinya

sebagai pengenalan dan pengalaman manusia untuk mengetahui siapa atau apa

Yang Maha Suci, yang kemudian diaplikasikan dengan berhubungan dengan-Nya

dan meneladani sifat-sifat-Nya atau dengan kata lain terpatrinya rasa kesucian

dalam jiwa seseorang.

Adapun menurut Ancok (2001), religiusitas berarti pembicaraan mengenai

pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antara agama dan

10
11

penganutnya, atau sesuatu keadaan yang ada dalam diri seorang penganut agama

yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.

Djamaluddin (1995) mendefinisikan religiusitas sebagai manifestasi

seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati dan

mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua

aspek kehidupan.

Dalam pandangan Maslow (dalam Ancok, 2001) tentang religiusitas,

semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir

untuk mengaktualisasikan diri. Orang yang mengaktualisasikan diri didorong oleh

metamotivasi.

Teori metamotivasi, atau disebut juga Being atau B-motivation, dari

Maslow secara paradoks berarti suatu keadaan dimana dorongan sama sekali tidak

berperan, karena kata awalan meta secara harfiah berarti sesudah atau melampaui,

dan metamotivation berarti bergerak melampaui ide tradisional tentang dorongan.

Dengan kata lain, orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak berjuang,

mereka berkembang. Maslow menyebutkan bahwa dorongan dari metamotivasi

ini adalah dorongan yang berbeda dengan dorongan dari orang-orang lain, yang

oleh Maslow disebut sebagai Deficiency atau D-motivation (dorongan karena

kekurangan). Deficiency motivation ialah dorongan untuk membereskan suatu

kekurangan dalam organisme (Schultz, 1993).


12

Lebih lanjut Maslow (dalam Ancok, 2001) mengemukakan konsep

metamotivasi di luar kelima hirarki kebutuhan. Pengalaman mistis atau

pengalaman puncak (peak experience) adalah bagian dari metamotivasi yang

menggambarkan pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. Di mata

Maslow, level ini adalah bagian dari kesempurnaan manusia”.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti mengartikan religiusitas

dalam penelitian ini sebagai keyakinan dan pemahaman yang dapat dihayati oleh

individu untuk mengetahui siapa atau apa Yang Maha Suci sehingga mendorong

individu untuk bertingkah laku sesuai dengan agamanya dalam semua aspek

kehidupan.

2.1.3. Faktor-faktor yang Dapat Menimbulkan Religiusitas

Berdasarkan penelitiannya, Thouless (1995) mengemukakan secara khusus

beberapa faktor yang dapat menimbulkan religiusitas: Pertama, pengaruh

pendidikan dan berbagai tekanan sosial. Faktor ini mencakup semua pengaruh

sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua,

tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. Kedua,

faktor pengalaman. Berbagai pengalaman yang membantu sikap religiusitas

terutama pengalaman tentang keindahan, konflik moral dan pengalaman

emosional keagamaan. Ketiga, faktor kebutuhan. Kebutuhan ini secara garis besar

dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (a). Kebutuhan akan keamanan atau
13

keselamatan, (b). Kebutuhan akan cinta kasih, (c). Kebutuhan untuk memperoleh

harga diri dan (d). Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

Keempat, faktor intelektual. Berkaitan dengan berbagai proses pemikiran verbal

atau rasionalisasi.

2.1.4. Dimensi-dimensi Religiusitas

Menurut Glock dan Stark sebagaimana dikutip oleh Rakhmat (2003),

dimensi religiusitas dibagi menjadi lima, yaitu:

2.1.4.1. Dimensi ideologis, bagian dari religiusitas yang berkaitan dengan apa

yang harus dipercayai. Dimensi ini adalah dimensi yang paling dasar yang

membedakan satu agama dengan agama lainnya. Rakhmat menyebutkan tiga

kategori kepercayaan; pertama kepercayaan yang menjadi dasar esensial suatu

agama (seperti kepercayaan kepada Nabi Muhammad), kedua kepercayaan yang

berkaitan dengan tujuan Ilahi dalam penciptaan manusia (seperti kepercayaan

orang Yahudi bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan yang mempunyai misi

untuk menciptakan dunia yang lebih baik secara moral dan spiritual), ketiga

kepercayaan yang berkaitan dengan cara terbaik untuk melaksanakan tujuan Ilahi

yang di atas.

2.1.4.2. Dimensi ritualistik, dimensi religiusitas yang berkaitan dengan sejumlah

perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama, seperti tata cara ibadah,

pembaptisan, dan lain sebagainya. Semakin terorganisasi sebuah agama, semakin

banyak aturan yang dikenakan kepada pengikutnya.


14

Dalam Ancok (2001), Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua garis

besar, pertama ritual (berupa tindakan-tindakan keagamaan yang sifatnya formal

dan suci), dan kedua ketaatan (berupa tindakan-tindakan persembahan dan

kontemplasi personal yang relatif spontan dan pribadi).

2.1.4.3. Dimensi eksperensial (pengalaman), dimensi ini berkaitan dengan

pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang

dialami seseorang dan didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan yang

melihat komunikasi –walaupun kecil– dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan

Tuhan, kenyataan terakhir dengan otoritas transedental (Ancok, 2001).

Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al Anam ayat 76 – 79

tentang pengalaman Nabi Ibrahim as. dalam mencari Tuhannya.


☺ ⌧ ⌧ ⌧

⌧ ☺

☺ ☺
⌧ ⌧ ⌧

☺ ⌦



76. Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka
kepada yang tenggelam."
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
15

2.1.4.4. Dimensi intelektual, disebutkan dalam Ancok (2001) dimensi ini

mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki

sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan

tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena

pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya.

2.1.4.5. Dimensi konsekuensial, dimensi ini menunjukkan akibat ajaran agama

dalam perilaku umum, yang tidak secara langsung dan secara khusus ditetapkan

agama (seperti dalam dimensi ritualistik). Akibat ini boleh jadi positif atau

negatif.

2.1.5. Religiusitas Wanita Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan (settle down). Pada masa

ini Sekali seseorang menemukan pola hidup yang diyakininya dapat memenuhi

kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai

yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya.

Havighurst dalam Haditono (2002) mengemukakan bahwa perjalanan

hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi.

Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang.

Havighurst menyebutnya tugas perkembangan (developmental task), yaitu tugas

yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan

norma masyarakat dan norma kebudayaan. Ia membagi tugas-tugas perkembangan

pada masa dewasa awal ini sebagai masa untuk memilih jodoh, belajar hidup
16

dengan suami/isteri mulai membentuk keluarga, mengasuh anak, mengemudikan

rumah tangga, menemukan kelompok sosial, mulai bekerja dan menerima

tanggung jawab sebagai warga negara.

Menurut Hurlock (1980) selama masa dewasa awal yang panjang ini,

perubahan-perubahan fisik dan psikologis terjadi pada waktu-waktu yang dapat

diramalkan seperti masa kanak-kanak dan masa remaja, yang juga mencakup

periode yang cukup lama.

M. Alisuf Sabri (2001) menambahkan bahwa masa dewasa awal ini

merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan

harapan-harapan sosial baru. Mereka diharapkan memainkan peranan baru, seperti

peran suami/istri, orang tua dan pencari nafkah, dan mengembangkan sifat-sifat

baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

Permasalahan seringkali muncul, terutama dalam upaya menyesuaikan diri dengan

peran barunya, baik dalam karier, rumah tangga maupun harapan-harapan yang

timbul dalam masyarakat terhadapnya.

Selain masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, perubahan juga

terjadi pada nilai-nilai yang dipegangnya. Banyak nilai masa kanak-kanak dan

remaja berubah karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan

orang-orang yang berbeda usia dan karena nilai-nilai itu kini terlihat dari kaca

mata orang dewasa. Orang dewasa yang tadinya menganggap sekolah itu suatu
17

kewajiban yang tidak berguna, kini sadar akan nilai pendidikan sebagai batu

loncatan untuk meraih keberhasilan sosial, karier dan kepuasan pribadi (Hurlock,

1980).

Perubahan-perubahan ini berpengaruh juga pada pola religiusitas wanita

dewasa awal, terutama pada aspek psikologisnya. Menurut Hurlock (1980), jika

pada remaja akhir aktivitas dan pandangan keberagamaannya sekadar mengikuti

perilaku keberagamaan orang-orang di sekitarnya, maka pada fase dewasa awal

perilaku ini diikuti oleh terbangunnya pandangan pribadi yang relatif menetap

tentang perilaku keberagamaan.

Biasanya, sesudah orang menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi keragu-

raguan di bidang kepercayaan atau agamanya, yang mengganggunya pada waktu

ia masih remaja. Setelah menjadi dewasa ia biasanya sudah mempunyai suatu

pandangan hidup, yang didasarkan pada agama, yang memberi kepuasan baginya.

Atau dapat terjadi bahwa orang meninggalkan agama yang dianut keluarga karena

agama itu tidak memberi kepuasan baginya (Hurlock, 1980).

Banyak hal yang mempengaruhi minat keberagamaan orang pada tahap

dewasa awal. Menurut Hurlock (1980) setidaknya ada delapan faktor yang

berpengaruh terhadap minat keagamaan orang dewasa awal. Faktor pertama

adalah seks, wanita cenderung lebih berminat pada agama daripada pria. Kedua
18

kelas sosial, golongan kelas menengah sebagai kelompok lebih tertarik agama

dibandingkan dengan kelas yang lebih tinggi atau yang lebih rendah.

Faktor ketiga adalah lokasi tempat tinggal, orang-orang dewasa yang

tinggal di pedesaan atau di pinggir kota menunjukkan minat yang lebih besar pada

agama daripada orang yang tinggal di kota. Lalu yang keempat latar belakang

keluarga, orang-orang dewasa yang dibesarkan dalam keluarga yang erat

beragama cenderung lebih tertarik pada agama daripada orang-orang yang

dibesarkan dalam keluarga yang kurang peduli pada agama.

Selanjutnya adalah minat religius teman-teman, orang-orang dewasa awal

lebih memperhatikan hal-hal keagamaan jika tetangga-tetangga dan teman-

temannya aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan daripada apabila teman-

temannya yang kurang peduli. Kemudian pasangan dari iman yang berbeda,

pasangan yang berbeda agama cenderung kurang aktif dalam urusan agama

daripada suami-istri yang menganut agama yang sama.

Ketujuh kecemasan akan kematian, orang-orang dewasa yang cemas akan

kematian atau mereka yang sangat memikirkan hal kematian cenderung lebih

memperhatikan agama daripada orang yang bersifat lebih realistik. Dan yang

terakhir adalah pola kepribadian, semakin otoriter pola kepribadian seseorang,

semakin banyak perhatiannya pada agama sendiri, dan semakin kaku si`kapnya

terhadap agama-agama lainnya. Sebaliknya orang yang memiliki kepribadian


19

seimbang lebih luwes terhadap agama-agama lain dan biasanya lebih aktif dalam

kegiatan agamannya.

2. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

2.2.1. Definisi Persepsi

Persepsi merupakan salah satu fungsi psikis yang ada dalam setiap

individu yang terbentuk karena adanya stimulus dari lingkungan. Persepsi bisa

berbeda pada setiap individu, ini sebagai akibat dari berbedanya proses yang

terjadi. Sarwono (2000) mendefinisikan persepsi sebagai kemampuan untuk

mengorganisasikan pengamatan. Sedang Desideranto, dalam Rakhmat (2005),

mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan.

Persepsi juga diartikan oleh Davidoff (1981) sebagai suatu proses yang

didahului oleh stimulus yang diterima oleh alat indera yang kemudian

diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa

yang diinderanya itu. Lebih lanjut Davidoff (1981) menjelaskan bahwa persepsi

bukanlah cermin realitas karena (1) indera manusia tidak memberikan respons

terhadap aspek-aspek yang ada di dalam lingkungan; (2) manusia sering kali

melakukan persepsi rangsang-rangsang yang pada kenyataannya tidak ada; dan (3)

persepsi manusia tergantung pada apa yang ia harapkan, pengalaman, motivasi.


20

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi

bukanlah cermin realitas, tetapi adalah proses pengorganisasian serta pemberian

makna terhadap pola stimulus yang diindera oleh individu dari lingkungan,

sehingga individu dapat memahami serta memberi arti terhadap apa yang

diinderanya itu.

Proses persepsi ini dapat dipahami melalui teori kultivasi yang

disampaikan oleh Gerbner (McDonnel, 2006) bahwa Television makes specifik

and measurable contributions to viewer’s conception of reality. Dalam penjelasan

lanjutannya Gerbner (McDonnel, 2006) mengatakan What people view on tv has a

small but considerable impact on their attitudes, perceptions and behaviors.

Menurut Gerbner (dalam Astuti, 2004) orang yang menonton televisi

minimal empat jam dalam sehari tergolong heavy viewers atau pecandu berat

televisi. Dengan demikian, kecenderungan untuk belajar dari televisi semakin

besar.

2.2.2. Peran Atensi pada Persepsi

Dengan mengutip beberapa psikolog, Davidoff (1981) mendefinisikan

atensi sebagai alat saring (filter) yang menyaring semua informasi pada titik-titik

yang berbeda pada proses persepsi.


21

Davidoff (1981) lalu menjelaskan, selama manusia tidak dalam keadaan

tidur, maka sejumlah rangsang yang besar sekali saling berlomba menuntut

perhatiannya. Biasanya manusia dan hewan hanya akan memilih mana dari

rangsang tersebut yang paling mengesankan. Rangsang yang ada di luar perhatian,

akan menjadi semacam latar belakangnya. Keterbukaan untuk memilih inilah

yang disebut sebagai atensi.

2.2.3. Pengaruh Lingkungan terhadap Persepsi Penglihatan

Davidoff (1981) menyebutkan ada empat faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap persepsi penglihatan seseorang:

2.2.3.1. Pengalaman sensomotorik biasa dan tak dapat dihindarkan selama

masa bayi

Selama masa bayi, tidak bisa dihindari, manusia akan mengamati pengaruh

cahaya, pengalaman penglihatan berdasarkan pola dan gerakan yang aktif.

2.2.3.2. Faktor deprivasi sensorik setelah bayi

Lingkungan indera yang terlalu monoton dapat mengubah dan

memengaruhi perilaku, jasmani dan persepsi. Bahkan, di bawah kondisi monoton

tanpa perangsangan indera, maka tidak hanya penglihatan yang terganggu, tetapi

juga pendengaran dan perabaan.

2.2.3.3. Keadaan mental

Apa yang seseorang persepsikan sangat tergantung pada motivasi pribadi,

emosi, nilai, tujuan hidup, minat, pengharapan dan keadaan mental lainnya.
22

Individu akan segera tertarik bila hal tersebut menarik minatnya. Bahkan

seringkali apa yang terlihat sesuai dengan apa yang sebenarnya ingin dilihat.

2.2.3.4. Lingkungan budaya

Pengalaman-pengalaman pada berbagai kebudayaan yang berbeda dapat

memengaruhi bagaimana informasi penglihatan itu diproses.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

2.2.4.1. Faktor-faktor fungsional

Rakhmat (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor fungsional (atau yang

lazim disebut frame of reference/kerangka rujukan) ini berasal dari kebutuhan,

pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai

faktor-faktor personal. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk

stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu.

Faktor-faktor personal yang menentukan persepsi antara lain; Perhatian, set

(harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul), kebutuhan, sistem nilai, ciri

kepribadian, dan gangguan kejiwaan (Sarwono, 2000).

Dalam penjelasannya, Rakhmat (2005) memasukkan satu dari empat dalil

yang diajukan oleh Krech dan Crutchfield yang berkenaan dengan persepsi (ketiga

dalil yang lain masuk ke dalam faktor struktural), yakni persepsi bersifat selektif

secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa obyek-obyek yang mendapat tekanan

dalam persepsi seseorang biasanya obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu

yang melakukan persepsi. Orang yang pergi ke pusat perbelanjaan karena lapar
23

akan mempersepsikan pusat perbelanjaan tersebut penuh dengan restoran atau

kios-kios makanan.

2.2.4.2. Faktor-faktor struktural

Rakhmat (2005) menjelaskan, bahwa faktor-faktor struktural ini berasal

semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada

sistem saraf individu. Faktor-faktor ini bergerak menggunakan prinsip Gestalt,

bila mempersepsikan sesuatu, individu memersepsikannya sebagai suatu

keseluruhan. Mereka tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya.

Lebih lanjut dalam penjelasannya, Rakhmat (2005) menyebutkan tiga dalil

Krech dan Crutchfield yang terakhir: Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu

diorganisasikan dan diberi arti, maksudnya individu mengorganisasikan stimuli

dengan melihat konteksnya. Ketiga, sifat-sifat perseptual dan kognitif dari

substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan.

Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat

individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh

keanggotaan kelompoknya. Keempat, obyek atau peristiwa yang berdekatan

dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi

sebagai bagian dari struktur yang sama.

Berdasarkan pemaparan teoretik tentang persepsi di atas, maka faktor-

faktor yang menentukan persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis dapat
24

diartikan sebagai faktor-faktor yang menentukan proses pengorganisasian serta

pemberian makna terhadap pola stimulus yang diindera dari sinetron religius

bernuansa mistis, sehingga pemirsa dapat memahami serta memberi arti terhadap

sinetron tersebut.

2.3. Kerangka Berpikir

Religiusitas adalah hal substansial yang relevan diperbincangkan di

sepanjang rentang kehidupan manusia, terutama dalam praktik menjadi Warga

Negara Indonesia, yang merupakan negara berketuhanan ini.

Thouless (1955) mengemukakan bahwa ada empat faktor yang memicu

religiusitas dalam diri manusia, yaitu pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan

sosial, faktor pengalamaan, faktor kebutuhaan serta faktor intelektual.

Menurut Hurlock (1980), dalam diri wanita dewasa awal akan terjadi

perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disebabkan oleh tuntutan sosial

dan psikologis. Pada fase inilah mereka mulai mengembangkan pola-pola

perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama

sisa hidupnya.

Perubahan tersebut juga terjadi pada aspek religiusitas mereka, di mana

biasanya sesudah orang menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi keragu-raguan di


25

bidang kepercayaan atau agamanya yang mengganggunya pada waktu ia masih

remaja (Hurlock 1980). Jika pada remaja akhir aktivitas dan pandangan

keberagamaannya sekadar mengikuti perilaku keberagamaan orang-orang di

sekitarnya, maka pada fase dewasa awal perilaku ini diikuti oleh terbangunnya

pandangan pribadi yang relatif menetap tentang perilaku keberagamaan.

Publikasi cerita-cerita bernuansa religius-mistik secara berkala dimulai

oleh Majalah Hidayah yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Melihat

peluang ini, stasiun-stasiun televisi kemudian berlomba untuk mengangkat kisah-

kisah religius-mistik ke televisi. Medio 2005-2007 sinetron semacam ini menjadi

tontonan yang sangat digemari oleh masyarakat. Indikasi hal ini dapat dilihat dari

kebijakan hampir semua stasiun televisi yang memilih untuk menayangkan

sinetron bertema religius-mistik.

Berdasar Hurlock (1980), wanita cenderung lebih mudah menerima serta

mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya. Dikaitkan

dengan dinamika kepribadian wanita dewasa awal yang mulai mengembangkan

pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi

kekhasannya selama sisa hidupnya, maka fase ini bisa dianggap periode krusial

dalam menentukan pola religiusitasnya.

Sinetron religius bernuansa mistis sebagai tontonan populer dapat

dianggap sebagai bahan informasi yang tersedia bagi wanita dewasa awal untuk
26

menemukan referensi tentang kebutuhan religiusitasnya. Jargon dan simbol-

simbol Islam yang ada dalam sinetron-sinetron religius bernuansa mistis

memungkinkan wanita dewasa awal untuk mempersepsikan sinetron tersebut

mewakili Islam secara keseluruhan.

Asumsinya, wanita dewasa awal yang mempersepsikan sinetron-sinetron

tersebut sesuai dengan dirinya, bahwa mereka menemukan apa yang mereka

butuhkan dalam sinetron tersebut dan benar mereka menganggap sinetron tersebut

mewakili Islam secara utuh, maka akan berpengaruh terhadap religiusitasnya.

Jika demikian, dikaitkan dengan pendapat Thouless (1995) tentang faktor-

faktor yang dapat memicu religiusitas, maka dapat dikatakan bahwa persepsi

wanita dewasa awal terhadap sinetron-sinetron religius bernuansa mistis

merupakan faktor intelektual yang ikut memicu munculnya religiusitas pada diri

mereka.

2.4. Pengajuan Hipotesis

Dalam penelitian ini, hipotesa yang diajukan oleh peneliti adalah berupa:

2.4.1. Hipotesis Nol (Ho), yang berbunyi: tidak ada hubungan yang signifikan

antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap sinetron religius

bernuansa mistis dengan religiusitas wanita dewasa awal.


27

2.4.2. Hipotesis Alternatif (Ha), yang berbunyi: ada hubungan yang signifikan

antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap sinetron religius

bernuansa mistis dengan religiusitas wanita dewasa awal.


BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini. Bab ini juga akan menguraikan cara pengambilan populasi dan

sampel penelitian dan teknik yang digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh.

3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian

kuantitatif adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk

angka-angka.

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif. Penelitian deskriptif secara sederhana berarti penelitian yang berusaha

memaparkan suatu fenomena berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian

yang dilakukan. Suryabrata (1998) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan mengenai situasi-situasi atau

kejadian-kejadian tertentu.

27
28

Sevilla et al. (1993), menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan

menggambarkan sifat suatu keadaan yang ditemukan pada saat penelitian

dilaksanakan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Hanya saja

penelitian deskriptif ini tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap hal-hal yang terjadi

tersebut, dan hanya dapat mengukur apa yang ada.

Jenis penelitian deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian korelasi. Fox dalam Sevilla et.al (1993) mengartikannya sebagai penelitian

yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda

dalam suatu populasi.

3.1.2. Variabel Penelitian

3.1.2.1. Variabel Pertama (V1)

Variabel pertama dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang menentukan

persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis.

3.1.2.1.1. Batasan konseptual: faktor-faktor yang menentukan proses

pengorganisasian serta pemberian makna terhadap pola stimulus yang

diindera dari sinetron religius bernuansa mistis, sehingga pemirsa dapat

memahami serta memberi arti terhadap sinetron tersebut.


29

3.1.2.1.2. Batasan operasional: adalah skor yang didapat sebagai respon

dari skala tentang persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis

yang meliputi faktor fungsional dan struktural.

3.1.2.2.Variabel Kedua (V2)

Variabel kedua dalam penelitian ini adalah religiusitas.

3.1.2.2.1. Batasan konseptual: keyakinan dan pemahaman yang dapat

dihayati oleh individu untuk mengetahui siapa atau apa YMS sehingga

mendorong individu untuk bertingkah laku sesuai dengan agamanya

dalam semua aspek kehidupan.

3.1.2.2.2. Batasan operasional: skor yang didapat sebagai respon dari

skala religiusitas yang yang meliputi lima aspek dari Glock & Stark, yaitu

dimensi ideologis, ritualistik, intelektual, eksperiensial dan konsekuensial.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah wanita dewasa awal yang berdomisili di

Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria Kotamadya Bekasi. Berdasarkan data

statistik yang didapat dari Kantor Kecamatan Medan Satria, banyaknya wanita

dewasa awal berusia 25-39 tahun yang berdomisili di Kelurahan Pejuang adalah

sebanyak 8574 orang.


30

3.2.1. Sampel

Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 wanita dewasa

awal berusia 25-39 tahun yang tinggal di Kelurahan Pejuang Kecamatan Medan

Satria Kotamadya Bekasi. Jumlah subyek tersebut melebihi ukuran minimum yang

diberikan oleh Gay dalam Sevilla et.al. (1993) untuk penelitian korelasi, yaitu

sebanyak 30 subyek.

Pemilihan wanita di daerah ini dengan pertimbangan bahwa mereka termasuk

kategori wanita yang kerap menonton sinetron religius bernuansa mistis.

3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel, menurut Sevilla et.al (1993), adalah kelompok kecil yang diamati dan

populasi adalah kelompok besar yang merupakan sasaran generalisasi. Sedangkan

sampling atau pengambilan sampel merupakan proses yang meliputi pengambilan

sebagian dari populasi, melakukan pengamatan pada populasi secara keseluruhan.

Dalam penelitian ini, jenis pengambilan sampel yang digunakan oleh peneliti

adalah metode nonprobability sampling, dengan teknik pengambilan sampel secara

purposive (bertujuan).

Nonprobability sampling menurut Kerlinger (2004) adalah suatu jenis

sampling yang tidak menggunakan sampling acak. Pengambilan sampel secara


31

purposif disebut Kerlinger (2004) memiliki ciri penilaian dan upaya cermat untuk

memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah atau

kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya.

Subyek yang valid sebagai responden adalah yang memenuhi kriteria-kriteria

sebagai berikut:

1. Wanita.

Wanita cenderung lebih berminat pada agama daripada pria (Hurlock,

1980).

2. Usia berkisar 25-39 tahun (dewasa awal).

Pada kisaran usia ini diharapkan mereka sudah bisa beradaptasi dengan

harapan-harapan dan juga tugas-tugas yang diembannya, dan yang

terpenting mereka telah melewati masa peralihan dari remaja menjadi

dewasa (Levinson dalam Haditono, 1999).

3. Beragama Islam.

Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam sinetron-sinetron

religi bernuana mistis adalah nilai-nilai yang ada dalam agama Islam

(www.nupakistan.or.id, 2005).

4. Menonton televisi minimal 4 jam dalam sehari.

Menurut Gerbner (dalam Astuti, 2004) orang yang menonton televisi

minimal empat jam dalam sehari tergolong heavy viewers atau pecandu
32

berat televisi. Dengan demikian, kecenderungan untuk belajar dari televisi

semakin besar.

5. Menonton Sinetron Religi bernuana mistis minimal tiga kali dalam

seminggu.

Diharapkan frekuensi tiga kali dalam seminggu ini cukup bagi sampel

untuk menyerap informasi dan membentuk persepsi tentang sinetron religi

bernuansa mistis.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

3.3.1. Metode dan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah skala

yang memuat sejumlah pernyataan yang harus dijawab oleh responden. Menurut

Azwar (1999) skala adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur aspek atau

atribut afektif. Sementara menurut Kerlinger (2004), skala; digunakan untuk mengacu

pada dua hal: instrumen pengukuran dan angka-angka sistematis pada instrumen

pengukuran itu.

Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara menyebar angket yang berisi

kuesioner. Skala yang digunakan dalam pengumpulan data adalah skala yang

mengukur faktor-faktor yang menentukan persepsi subyek terhadap penayangan

sinetron religius bernuansa mistis yang didasarkan pada teori persepsi dari Krech &

Crutchfield.
33

Tabel 3.1.
Blue-Print Penyebaran Aitem Skala Faktor-faktor yang Menentukan Persepsi terhadap
SRBM
Aitem
Faktor Aspek ∑ %
F UF
a. Kebutuhan 1, 32*,25*,59* 9*, 41*,16, 57* 8 12,7
b. Kondisi Mental 15*, 34*,10,38,62* 2, 48,61*,22,60,63* 11 17,46
1. Fungsional
c. Suasana Emosional 17*, 45*,3,51* 24*, 30,11, 42* 8 12,7
d. Latar Belakang Budaya 18*, 56*,12*,36* 26,44*,4,50* 8 12,7
a. Konteks 23, 49*,13,52* 19*, 35,5, 39* 8 12,7
2. Struktural b. Asimilasi & Kontras 27,40,58*,6,29,43* 14*,31*,53*,20,46*,55 12 19,04
c. Kedekatan 8*, 54*, 21*,47* 7*, 37*, 28*,33* 8 12,7
Total Jumlah 31 32 63 100
Keterangan: * Aitem valid

Selain itu, berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh

Glock & Stark, dibuat pula skala religiusitas.

Tabel 3.2.
Blue-Print Penyebaran Aitem Skala Religiusitas
Aitem
Indikator Aspek ∑ %
F UF
a. Kepercayaan dasar 1, 2, 65* 7*, 8 5 6,94
b. Kepercayaan berkaitan dengan tujuan
3, 4* 9, 10, 66* 5 6,94
1. Ideologis penciptaan manusia
c. Kepercayaan berkaitan dengan cara
5*, 6* 11*, 12* 4 5,56
terbaik melakukan tujuan Ilahi
a. Ritual 13, 14, 15* 19, 20, 21* 6 8,33
2. Ritualistik
b. Ketaatan 16,17,18,67* 22,23,24,72* 8 11,1
a. Perasaan 25, 26, 69* 31, 32* 5 6,94
3.Eksperiensial b. Persepsi 27*, 28 33, 34* 4 5,56
c. Sensasi 29*, 30 35, 36* 4 5,56
34

a. Pengetahuan akan dasar-dasar


37, 38* 45*, 46* 4 5,56
keyakinan
4. Intelektual b. Pengetahuan akan ritus-ritus 39, 40, 70* 47*, 48 5 6,94
c. Pengetahuan akan kitab suci 41*, 42* 49*, 50 4 5,56
d. Pengetahuan akan tradisi 43, 44, 71* 51, 52, 68* 6 8,33
a. Hubungan manusia dengan manusia
53*, 54* 59*, 60* 4 5,56
lain
5.Konsekuen-
b. Hubungan manusia dengan
sial 55, 56* 61*, 62* 4 5,56
lingkungannya
c. Hubungan manusia dengan Tuhannya 57*, 58 63*, 64* 4 5,56
Total Jumlah 37 35 72 100
Keterangan: * Aitem valid

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala model Likert. Pada

masing-masing skala tersebut ada pernyataan yang mendukung (favourable) dan

pernyataan yang tidak mendukung (unfavourable) dengan empat alternatif jawaban,

yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).

Penghitungan skor dari tiap-tiap alternatif jawaban dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.3.
Nilai pilihan jawaban pada skala
Pernyataan SS S TS STS

Favourable (F) 4 3 2 1

Unfavourable (UF) 1 2 3 4
35

3.3.2. Teknik Uji Instrumen Penelitian

Skala faktor-faktor yang menentukan persepsi terhadap penayangan sinetron

religius bernuasa mistis dan skala religiusitas telah disusun terlebih dahulu lalu

diujicobakan guna mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Validitas diperlukan

untuk mengetahui butir-butir pernyataan yang mampu mengukur objek yang sama

dengan apa yang diukur oleh skala secara keseluruhan.

Penghitungan uji validitas item dilakukan dengan menggunakan formula

Pearson’s product moment, sedang uji reliabilitas instrumen diperggunakan formula

alpha Cronbach. Kedua pengujian instrumen di atas dalam penghitungannya dibantu

dengan menggunakan SPSS 11.5.

Setelah diuji validitas, 40 aitem dari skala faktor-faktor yang menentukan

persepsi dan 38 aitem dari skala religiusitas dinyatakan valid.

Tabel 3.4.
Data Aitem Valid Skala Faktor-faktor yang Menentukan Persepsi terhadap SRBM
Aitem
Faktor Indikator ∑
F UF
a. Kebutuhan 32, 25,59 9, 41, 57 6
b. Kondisi Mental 15,34, 62 61, 63 5
1. Fungsional
c. Suasana Emosional 17,45, 51 24, 42 5
d. Latar Belakang Budaya 18,56, 12,36 44, 50 6
a. Konteks 49, 52 19, 39 4
2. Struktural b. Asimilasi & Kontras 58, 43 14,31,53, 46 6
c. Kedekatan 8, 54, 21,47 7,37, 28,33 8
36

Total Jumlah 21 19 40

Nilai reliabilitas instrumen skala faktor-faktor yang menentukan persepsi

terhadap SRBM yang didapat adalah sebesar 0.9251.

Tabel 3.5.
Data Aitem Valid Skala Religiusitas
Aitem
Dimensi Indikator ∑
F UF
a. Kepercayaan dasar 65 7 2
b. Kepercayaan berkaitan dengan tujuan
4 66 2
1. Ideologis penciptaan manusia
c. Kepercayaan berkaitan dengan cara terbaik
5, 6 11,12 4
melakukan tujuan Ilahi
a. Ritual 15 21 2
2. Ritualistik
b. Ketaatan 67 72 2
a. Perasaan 69 32 2
3. Eksperiensial b. Persepsi 27 34 2
c. Sensasi 29 36 2
a. Pengetahuan akan dasar-dasar keyakinan 38 45,46 3
b. Pengetahuan akan ritus-ritus 70 47 2
4. Intelektual
c. Pengetahuan akan kitab suci 41,42 49 3
d. Pengetahuan akan tradisi 71 68 2
a. Hubungan manusia dengan manusia lain 53,54 59,60 4
5. Konsekuensial b. Hubungan manusia dengan lingkungannya 56 61,62 3
c. Hubungan manusia dengan Tuhannya 57 63,64 3
Total Jumlah 18 20 38
Nilai reliabilitas instrumen skala religiusitas yang didapat adalah sebesar

0.9310.
37

Nilai reliabilitas yang didapat oleh kedua instrumen di atas bermakna bahwa

instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat keajegan

yang sangat tinggi.

3.4. Teknik Analisis Data

Setelah data dalam penelitian ini terkumpul, maka dilakukan pengujian

hipotesis dengan menggunakan formula product-moment Pearson.

Azwar (2003) mengartikan koefisien korelasi sebagai statistik yang

menunjukkan kuat dan arah saling hubungan antara variasi dua distribusi skor. Lebih

lanjut dijelaskan tentang arah serta kuat-lemahnya hubungan antar variabel. Koefisien

korelasi yang menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi adalah searah, yaitu besar

(kecil)-nya skor pada satu variabel terjadi bersamaan dengan besar (kecil)-nya skor

pada variabel yang lain. Begitupun sebaliknya, koefisien korelasi yang negatif

menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi adalah berlawanan. Sedangkan kuat-

lemahnya saling hubungan yang ada di antara dua variabel ditunjukkan oleh besar-

kecilnya angka koefisien korelasi itu. Semakin mendekati angka 1,0 hubungan antar

dua variabel semakin kuat,dan semakin mendekati angka 0 hubungan yang terjadi

semakin lemah.
38

3.5. Prosedur Penelitian

3.5.1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan ini peneliti melakukan penelusuran kepustakaan untuk

menemukan berbagai konsep dan teori ilmiah yang berkenaan dengan masalah yang

diteliti untuk membuat instrumen penelitian. Penelusuran ini dilakukan melalui buku-

buku serta artikel-artikel yang terdapat di situs-situs internet yang menyajikan

bahasan-bahasan yang sesuai dengan masalah ini. Hal ini dilakukan untuk

menemukan teori dan kelengkapan aspek yang akan diukur dalam penelitian ini.

Selanjutnya peneliti membuat instrumen penelitian berdasarkan teori-teori

yang terkumpul. Setelah instrumen penelitian ini selesai, dilakukan observasi

lapangan guna mengumpulkan data subjek penelitian, serta meminta izin untuk

melaksanakan penelitian kepada pihak-pihak yang terkait.

3.5.2. Uji Coba Instrumen Penelitian

Uji coba terhadap instrumen penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26

Nopember 2007 sampai dengan tanggal 2 Desember 2007 di Kecamatan Pondok

Gede Kotamadya Bekasi.


39

3.5.3. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 Desember 2007

sampai dengan 16 Desember 2007 di Kelurahan Pejuang Kecamatan Medan Satria

Kotamadya Bekasi.
BAB 4

HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

Hasil penelitian ini mencakup pengujian hipotesis.

4.1. Gambaran Umum Subyek

Subyek kelompok sampel ini adalah para wanita yang beragama Islam

dengan kisaran usia antara 25-39 tahun dan bertempat tinggal dalam Kelurahan

Pejuang Kecamatan Medan Satria Kotamadya Bekasi. Jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah 60 orang dari total populasi 8574 orang.

4.1.1. Berdasarkan Usia

Tabel 4.1.
Penyebaran Responden berdasarkan Usia
Nomor Usia (tahun) Jumlah

1. 25 – 29 8

2. 30 – 34 15

3. 35 – 39 37

Total Jumlah 60

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, yang mendominasi penelitian ini

adalah responden dengan kisaran usia 35-39 tahun. Menurut Levinson (dalam

Haditono, 1999), kisaran usia ini disebut dengan fase kemantapan, di mana orang

40
41

dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan

berusaha untuk memajukan karir sebaik-baiknya. Berada di peringkat kedua yaitu

responden dengan kisaran usia 30-34 tahun. Pada usia tersebut (Levinson dalam

Haditono, 1999) pilihan struktur kehidupan seseorang menjadi lebih tetap dan

stabil.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hampir 90% responden dalam

penelitian ini adalah wanita yang telah menemukan struktur kehidupan yang

mantap, bahkan cenderung telah menemukan posisinya dalam masyarakat.

4.1.2. Berdasarkan Lama Menonton Televisi dalam Sehari

Tabel 4.2.
Penyebaran Responden Berdasarkan Lamanya Menonton Televisi
Nomor Lama Menonton Jumlah

1. 4 jam 43

2. 5 jam 8

3. > 5 jam 9

Total Jumlah 60

Dari tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh responden

penelitian ini tergolong dalam kelompok heavy viewers (pecandu berat televisi).

Gerbner (dalam Astuti, 2004) mengindikasikan bahwa yang terjadi pada heavy

viewers ini adalah efek kultivasi, dimana mereka akan merasa bahwa realitas

televisi tak berbeda dengan realitas dunia nyata.


42

4.1.3. Berdasarkan Frekuensi Menonton Sinetron Religi bernuansa Mistis

dalam Seminggu

Tabel 4.3.
Penyebaran Responden berdasarkan Frekuensi Menonton Sinetron Religi Bernuansa
Mistis (SRBM)
Nomor Frekuensi Menonton SRBM Jumlah

1. 3 kali seminggu 45

2. 4 kali seminggu 11

3. > 4 kali seminggu 4

Total Jumlah 60

Data di atas menunjukkan bahwa responden yang setiap harinya menonton

televisi minimal selama 4 jam, menyempatkan untuk menonton sinetron religius

bernuansa mistis kesayangannya setidaknya tiga kali dalam seminggu. Frekuensi

ini diharapkan cukup bagi responden untuk mempersepsikan baik/buruknya

sinetron tersebut.

4.2. Hasil Penelitian

Skor dari skala persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis dibagi

menjadi dua kelompok menggunakan harga mean (rata-rata) sebagai nilai batas

dengan nilai fluktuasinya (tiga angka lebih besar dan tiga angka lebih kecil). Agar

tidak terjadi tumpang tindih interpretasi antara subyek-subyek yang nilainya

berdekatan dengan mean, maka subyek-subyek yang nilainya berada pada kisaran

fluktuasi tidak akan dikategorikan ke dalam kelas rendah atau pun tinggi (Azwar,

1999).
43

Berikut adalah data yang diperoleh dari skala faktor-faktor yang

menentukan persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis:

Nilai terendah : 73
Nilai tertinggi : 134
Total skor skala : 6583
Responden : 60
Mean (6583 : 60) : 109.72 = 110
Fluktuasi (110 ± 3) : 107 – 113
Kategori tinggi : 114 – 134
Kategori rendah : 73 – 106

Skor yang didapat dari masing-masing skala dikategorikan menjadi:

Tabel 4.4.
Kategori Skor Skala Faktor-faktor yang menentukan Persepsi terhadap Sinetron Religi
bernuansa Mistis
Nomor Skor Kategori ∑ Subyek Persentase

1. 73 – 106 Rendah 27 45

2. 107 – 113 Tidak terkategori 12 20

3. 114 – 134 Tinggi 21 35

∑ 60 100

Artinya, jika seseorang mendapat skor 75, maka persepsi responden

terhadap sinetron religius bernuansa mistis adalah tidak sesuai. Jika skor yang

didapat 130, maka persepsi responden tersebut terhadap sinetron religius

bernuansa mistis adalah sesuai. Tetapi jika responden mendapat nilai 90, maka

responden tersebut tidak diinterpretasikan ke dalam kategori rendah ataupun

tinggi.
44

4.3. Uji Hipotesis

Hasil penghitungan uji korelasi dengan menggunakan teknik Pearson’s

product moment, dihasilkan nilai r hitung sebesar 0.109. Sementara nilai r tabel

pada taraf signifikansi 5% dengan N 60 adalah sebesar 0.254. Keputusan: H0

diterima jika r hitung < r tabel.

Tabel 4.5.
Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


Persepsi 109.7167 14.35517 60
Religiusitas 124.5667 14.48596 60

Correlations

Persepsi Religiusitas
Persepsi Pearson Correlation 1 .109
Sig. (2-tailed) . .409
N 60 60
Religiusitas Pearson Correlation .109 1
Sig. (2-tailed) .409 .
N 60 60

Karena nilai r hitung yang didapat (0.109) < r tabel (sig. 5% ; N 60 =

0.364) maka hipotesis nihil (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara persepsi terhadap sinetron religius mistis dengan

religiusitas diterima.
45

4.4. Pembahasan Hasil Penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan antara persepsi terhadap sinetron

religius bernuansa mistis dengan religiusitas pada wanita dewasa awal, peneliti

membandingkan angka besaran r-hitung dengan r-tabel.

Diketahui r-tabel untuk N = 60 adalah 0.254, dan dengan menggunakan

rumus statistik Pearson didapatkan r-hitung sebesar 0.109. Dengan demikian,

karena r-tabel lebih besar dari pada r-hitung, maka kesimpulan statistiknya adalah

menerima hipotesis nol dan menolak hipotesis alternatif, yang berarti tidak ada

hubungan antara persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis dengan

religiusitas wanita dewasa awal. Hasil penelitian yang didapat ini berbanding

terbalik dengan hipotesis penelitian.


BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan penelitian mengenai hubungan antara

faktor-faktor yang menentukan persepsi terhadap sinetron religius bernuansa mistis

dengan religiusitas wanita dewasa awal. Selanjutnya akan disambung dengan diskusi

yang membahas hasil penelitian, dan ditutup dengan saran-saran yang berkaitan

dengan penelitian ini.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan

bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persepsi

terhadap sinetron religius bernuansa mistis dengan religiusitas pada wanita dewasa

awal. Artinya persepsi seseorang terhadap sinetron religius bernuansa mistis ternyata

tidak berbanding lurus dengan religiusitas orang tersebut.

5.2. Diskusi

Hipotesis penelitian ini adalah persepsi responden (dalam hal ini wanita

dewasa awal) terhadap sinetron religius bernuansa mistis berpengaruh terhadap

religiusitasnya. Artinya, wanita dewasa awal yang memersepsikan sinetron-sinetron

tersebut sesuai dengan dirinya, bahwa mereka menemukan apa yang mereka

46
47

butuhkan dalam sinetron tersebut (faktor fungsional) dan benar mereka menganggap

sinetron tersebut mewakili Islam secara utuh (faktor struktural), maka akan

berpengaruh terhadap religiusitasnya.

Dasar dari hipotesis ini adalah, wanita dewasa awal yang mendapat tuntutan

dari lingkungannya atas peran barunya sebagai orang dewasa membutuhkan referensi

tentang berbagai hal, dalam hal ini religiusitas, sebagai upaya memenuhi tuntutan

tersebut. Kehadiran sinetron religius bernuansa mistis sebagai tontonan populer dapat

dianggap sebagai bahan informasi yang tersedia bagi wanita dewasa awal untuk

menemukan referensi tentang kebutuhan religiusitasnya. Jargon dan simbol-simbol

Islam yang ada dalam sinetron-sinetron religius bernuansa mistis memungkinkan

wanita dewasa awal untuk memersepsikan sinetron tersebut mewakili Islam secara

keseluruhan.

Hasil yang didapat ternyata tidak membuktikan hipotesis di atas. Persepsi

responden terhadap sinetron religius bernuansa mistis tidak berhubungan dengan

religiusitasnya. Beberapa hal bisa saja menjadi pemicunya. Pertama, preferensi

responden menonton sinetron religius bernuansa mistis mungkin sekadar mencari

hiburan dan tidak perlu direferensikan pada kenyataan.

Kemudian persepsi itu sendiri ditentukan, salah satunya, oleh faktor-faktor

fungsional yang berasal dari kebutuhan (Rakhmat, 2002). Hal ini berarti orang
48

cenderung akan melihat segala hal berdasar kebutuhannya, apa yang dipilihnya

sebagai tontonan akan dipersepsikan penuh dengan hal yang ia inginkan. Rangsang

yang ada di luar atensi, akan menjadi semacam latar belakangnya (Davidoff, 1981).

Data AC Nielson (http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=166791)

menyebutkan bahwa mayoritas penonton TV Indonesia suka sinetron mistik, penuh

kekejaman, kekerasan, kemustahilan dll. Masuk ke dalam salah satu primadona

pemirsa adalah tayangan sinetron religius bernuansa mistis.

Sinetron religius bernuansa mistis sejak masa awal penayangannya sudah

menuai banyak protes. Meski mengklaim memiliki dua komponen dalam setiap

tayangannya, yaitu nilai-nilai agama (dalam hal ini Islam) dan nuansa mistis, dalam

kenyataannya nuansa mistislah yang kerap mendominasi.

Pemirsa sinetron religius bernuansa mistis gemar, bahkan butuh tayangan-

tayangan yang bernuansa mistis, cenderung akan melihat sinetron tersebut penuh

dengan adegan-adegan mistis karena atensi mereka tertuju pada hal itu. Sementara

nilai-nilai agama yang, sebagaimana diklaim, juga terkandung di dalamnya akan

menjadi latar belakangnya saja.

Pada akhirnya, harus kita akui bahwa keberagamaan merupakan suatu hal

yang kompleks dengan tujuan akhir yang kompleks pula; mencapai kebahagiaan di
49

dunia dan akhirat (Daradjat, 2002). Wajar jika kompleksitas tersebut tidak dengan

mudah dapat diganggu gugat hanya dengan mengultivasi nilai-nilai agama melalui

sinetron yang–notabene religius tetapi–penuh dengan adegan-adegan mistis, dalam

durasi yang hanya berkisar antara 30 sampai 60 menit.

5. 3. Saran

Dengan hasil penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, ada beberapa

saran yang bisa diajukan di sini:

5. 3. 1. Saran Teoretis

Di saat-saat akhir penelitian, peneliti merasa tertarik untuk menggali lebih

jauh efek media televisi atau media lain terhadap sikap atau persepsi pemirsanya

dengan Teori Kultivasi dari Gerbner, atau dengan menggunakan Teori Diffusion of

Innovation-nya Roger atau Social Learning-nya Bandura. Namun peneliti sadar,

untuk mengukur efek media ini diperlukan waktu yang tidak sebentar. Jadi, mungkin

peneliti hanya bisa menyarankan preferensi untuk bahan penelitian-penelitian yang

berkaitan selanjutnya.

5. 3. 2. Saran Praktis

Karena satu dan lain hal, penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2007 ini

baru dianilisis tahun 2010. Rentang waktu yang cukup panjang ini membuat kondisi

kesiapan kognisi peneliti telah berubah cukup jauh. Hal-hal yang dahulu barangkali
50

menjadi perhatian peneliti sekarang mungkin sudah terlupakan sama sekali.

Karenanya peneliti merasakan kesulitan ketika mesti menyegarkan memori untu

menyelesaikan karya tulis ini.

Oleh karena itu peneliti menganjurkan agar setiap penelitian yang dilakukan

mesti diselesaikan secepatnya. Waktu dan kondisi akan mengubah perhatian dan

konsentrasi kita, karenanya akan terasa lebih sulit untuk mengolah hasil penelitian

yang dilakukan dalam kondisi dan perhatian yang berbeda.

Penelitian ini dilakukan ketika sinetron mistis bernuansa religius tengah

menjadi primadona di kalangan masyarakat. Tren itu kini telah bergeser cukup

signifikan, hal ini terindikasi dari tak satu pun stasiun televisi yang menayangkan

tontonan semacam ini lagi. Peneliti kesulitan menemukan kembali fenomena yang

beberapa tahun lalu dijadikan referensi data dalam penelitian ini. Hal ini tentu juga

akan menyulitkan penelitian-penelitian selanjutnya yang hendak meneliti tema yang

berdekatan.

Oleh sebab itu, hendaknya penelitian-penelitian yang akan dilakukan

selanjutnya meneliti fenomena yang lebih panjang umur keberadaannya, atau yang

lebih permanen pengaruhnya bagi masyarakat. Kesulitan eksternal seperti sulitnya

melacak kembali sumber-sumber yang berhubungan dengan tema tersebut, akan

menjadi tugas yang cukup merepotkan peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Jamaluddin. (2001). Psikologi islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anggarasari, R.E. (1997). Hubungan tingkat religiusitas dengan sikap konsumtif


pada ibu rumah tangga. Indonesian psychologycal journal. Psikologika.
Halaman 15-20 Nomor 4 Tahun II.

Astuti, Santi Indra. (2004). Kekerasan kriminalitas di televisi. Diakses pada 20


Nopember 2007 dari Pikiran Rakyat.

Azwar, Saifuddin. (1999). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davidoff, L.L., (1981). Psikologi: suatu pengantar (terj). Jakarta: Erlangga.

Daradjat, Zakiah. (2002). Psikoterapi islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Djamaluddin, M. (1995). Religiusitas dan stress kerja pada polisi. Yogyakarta:


Gajah Mada University Press.

Ghazali, Abd Moqsith. (2005). Sinetron religius. Diakses pada 25 Juni 2010 dari
http://islamlib.com/id/artikel/sinetron-religius/

Hurlock, E.B., (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang


rentang kehidupan (terj). Jakarta: Erlangga.

Kafegaul.com. (2007). Lembaga rating acara tv dalam negeri. Diakses pada 25


Juni 2010 dari http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=166791

Kerlinger, F.N., (2004). Asas-asas penelitian behavioral (terj). Jakarta: Gadjah


Mada University Press.

McDonnel, Jocelyn. (2006). George gerbner’s cultivation theory application


Paper. Diakses pada 20 Agustus 2010 dari
http://www.colorado.edu/communication/meta-
discourses/Papers/App_Papers/McDonnell.htm

Monks, F.J.; Knoers, A.M.P.; Haditono, S.R. (2002). Psikologi perkembangan:


pengantar dalam berbagai bagiannya. Jakarta: Gadjah Mada University
Press.

51
52

Nurgiantoro, B. et al., (2002). Statistik terapan untuk penelitian ilmu-ilmu sosial.


Yogyakarta ; Gadjah Mada University Press

PCI-NU. Sinetron islam. (2005, Desember 23). Rais Syuriah Pengurus Cabang
Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Republik Islam Pakistan. Diakses
pada 19 April 2006 dari www.nupakistan.or.id

Rakhmat, Jalaluddin. (2003). Psikologi agama: sebuah pengantar. Bandung:


Mizan.

Rakhmat, Jalaluddin. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Sabri, Alisuf M. (2001). Pengantar psikologi umum dan perkembangan. Jakarta:


Pedoman Ilmu Jaya.

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2000). Pengantar umum psikologi. Jakarta: Bulan


Bintang.

Schultz, D., (1993). Psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat


(terj). Yogyakarta: Kanisius.

Sevilla, C. G., et.al. (1993). Pengantar metode penelitian (terj). Jakarta: UI Press.

Shihab, Quraisy. (1996). Wawasan alquran. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Syaikhu, Nanang. (2006). Gulita mistik di layar kaca. Tabloid Dzikir. Halaman
11 - 12 Edisi 05 Tahun I.

Suryabrata, Sumadi. (1998). Metodologi penelitian. Jakarta ; Rajawali Press

Thouless, R. H.. (1995). Pengantar psikologi agama (terj). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai