Anda di halaman 1dari 71

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DAN AKTIVITAS FISIK

DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI


JOMPO TRESNA WERDA BHAKTI YUSWA NATAR
LAMPUNG SELATAN

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:
AJENG FEBIYOLA
17310016

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 20220
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Hubungan kualitas tidur dan aktivitas fisik dengan


fungsi kognitif pada lansia di Panti Jompo Tresna
Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

Nama Mahasiswa : AJENG FEBIYOLA


NPM : 17310016
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Kedokteran Umum

MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

dr. Ringgo Alfarisi, M.kes dr. Ika Artini, M. Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Dr. Toni Prasetia, Sp.PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis mendapatkan kesempatan skripsi dengan judul
“ Hubungan Kualitas Tidur dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif pada
Lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan”.
Proses Penulisan ini dapat terselesaikan atas pertolongan Allah SWT melalui
bimbingan dari para pembimbing yang penuh kesabaran dan dukungan dari
banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Achmad Farich, M. Kes, selaku Rektor Universitas Malahayati


Bandar Lampung.
2. dr. Toni Prasetia, Sp.PD, FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati.
3. dr. Sri Maria P.L.,M. Pd. Ked, selaku Ka. Prodi Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati.
4. dr. Ringgo Alfarisi, M. Kes, yang juga selaku Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberi bimbingan dan
saran dalam pembuatan skripsi.
5. dr. Ika Artini, M. Kes selaku Pembimbing II yang telah meluangkan
waktunya untuk memberi bimbingan dan saran dalam pembuatan skripsi.
6. Orangtua Terkasih yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril
maupun materil yang luar biasa untuk saya sehingga penulis bisa
menyelesaikannya pembuatan skripsi.
7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Bandar Lampung, October 2020

Ajeng Febiyola

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL DALAM ........................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah.................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kognitif ................................................................................................... 7
2.2 Aktivitas Fisik ......................................................................................... 25
2.3 Kualitas Tidur.......................................................................................... 32
2.4 Usia Lanjut .............................................................................................. 39
2.5 Kerangka Teori........................................................................................ 43
2.6 Kerangka Konsep .................................................................................... 44
2.7 Hipotesis.................................................................................................. 45

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 46
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 46
3.3 Rancangan Penelitian .............................................................................. 46
3.4 Subjek penelitian ..................................................................................... 46
3.5 Variabel Penelitian................................................................................... 47
3.6 Definisi Operasional ................................................................................ 47
3.7 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 48
3.8 Etika Penelitian ....................................................................................... 59
3.9 Pengolahan Data ..................................................................................... 50
3.10 Analisis Data.......................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN

AAIC Alzheirmer’s Association International Conference

AAMI Age Associated Memory Impairment

AD Alzheimer Demensia

BSF Benign Senescent Forgetfulness

BSR Bulbar Synchronizing Regional

CDR Clinical Dementia Rating

IPAQ International Physical Activity Questionnaire

MCI Mild Cognitive Impairment

MMSE Mini Mental State Examination

NREM Non Rapid Eye Movement

PSQI Pittsburgh Sleep Quality Index

RAIS TVechsler Adult Intelegence Scale

RAS Reticular Activating System

REM Rapid Eye Movement

WHO World Health Organization

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel.............................................................47
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar2.1 Kerangka Teori.................................................................................43


Gambar 2.2 Kerangka Konsep ............................................................................44

viii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi

perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari

bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin, 2007). Kemunduran fungsi

kognitif tersebut selanjutnya mempengaruhi pola interaksi mereka dengan

lingkungan tempat tinggal, dengan anggota keluarga lain, juga pola aktivitas

sosialnya, sehingga akan menambah beban keluarga, lingkungan dan masyarakat.

Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa mudah-lupa (forgetfulness) yaitu

bentuk gangguan kognitif yang paling ringan, gangguan ini diperkirakan

dikeluhkan oleh 39% lanjut usia berusia 50-59 tahun, meningkat menjadi lebih

dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang masih bisa berfungsi

normal namun mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah dipelajari,

tidak jarang ditemukan pada orang setengah baya (Kusumoputro dalam

Wreksoatmodjo, 2014).

Penurunan fungsi kognitif terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan

juga karena faktor-faktor risiko yang terkait. Kemunduran fungsi kognitif

dilatarbelakangi oleh berbagai faktor risiko, baik yang tak bisa dihindari seperti

usia atau gender, juga beberapa kondisi fisik atau penyakit (Wreksoatmodjo,

2014).

Semakin bertambahnya usia, akan terlihat adanya perubahan-perubahan

pada dirinya seperti perubahan fisik dan psikososial. Pada lansia yang harus

1
diperhatikan adalah kebutuhannya. Kebutuhan fisiologis dasar manusia termasuk

lansia yang harus dipenuhi adalah nutrisi, kenyamanan, cairan elektrolit, dan

tidur. Kebutuhan tidur merupakan suatu kebutuhan yang fisiologis. Tidur yang

normal melibatkan dua fase yaitu gerakan bola mata cepat atau Rapid Eye

Movement (REM) dan tidur dengan gerakan bola lambat atau Non Rapid Eye

Movement (NREM). Selama NREM seseorang mengalami 4 tahapan dalam

siklus tidurnya. Tahap 1 dan 2 merupakan karakteristik dari tidur dangkal dan

seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4 merupakan tidur dalam dan

sulit untuk dibangunkan (Sherwood, 2011).

Kebutuhan pada usia lanjut membutuhkan waktu tidur 7-8 jam per hari.

Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur yang

diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor penyakit dan faktor usia.

Ketidakcukupan kualitas tidur dapat merusak memori dan kemampuan kognitif

pada lansia. Kualitas tidur yang baik akan berpengaruh terhadap fungsi

kognitifnya dimana pada tahap tidur dihubungkan dengan aliran darah ke

serebral, peningkatan konsumsi oksigen yang dapat membantu penyimpanan

memori dan pembelajaran yang berhubungan dengan fungsi kognitifnya

(Sherwood, 2011).

Usia lanjut yang melakukan aktivitas melibatkan fungsi kognitif dapat

mengurangkan risiko menderita demensia dengan signifikan. Aktivitas fisik

termasuk latihan ketahanan dan berjalan, dapat meningkatkan fungsi kognitif pada

orang dewasa tua, termasuk mereka yang telah didiagnosis dengan gangguan

kognitif ringan atau Mild Cognitive Impairment (MCI) menurut empat penelitian
baru yang dilakukan secara random oleh Alzheimer's Association International

Conference (AAIC) pada tahun 2012. Para peneliti sebelumnya juga menemukan

bahwa skor fungsi kognitif menurun lebih cepat di kalangan usia lanjut dalam

semua kategori (memori, penalaran, dan fonemik dan semantik kefasihan) kecuali

kosakata.

Penduduk Lanjut usia tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 mengalami

peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk lanjut usia

sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20.547.541 pada tahun 2009 (U.S.

Census Bureau, International Data Base, 2009) jumlah ini termasuk terbesar

keempat setelah China, India dan Jepang. Karena usia harapan hidup perempuan

lebih panjang dibandingkan laki-laki, maka jumlah penduduk lanjut usia

perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (11,29 juta jiwa berbanding 9,26

juta jiwa). Oleh karena itu, permasalahan lanjut usia secara umum di Indonesia,

sebenarnya tidak lain adalah permasalahan yang lebih didominasi oleh

perempuan. Badan kesehatan dunia WHO bahwa penduduk lansia di Indonesia

pada tahun 2014 sudah mencapai angka 15.454.360 jiwa. Untuk Provinsi

Lampung jumlah lansia mencapai 496.740 jiwa, sedangkan untuk Kabupaten

Lampung Utara jumlah lansia mencapai 37.435 jiwa dan untuk Wilayah Kerja

Puskesmas Madukoro sejumlah 2.150 jiwa.

Diperkirakan bahwa sepertiga orang dewasa akan mengalami penurunan

fungsi kognitif secara bertahap yang dikenal sebagai gangguan kognitif ringan

seiring dengan bertambahnya usia mereka (Rendah 2004). Padahal, fungsi

kognitif memegang peranan penting dalam memori dan sebagian besar aktivitas
sehari-hari. Dampaknya, fungsi fisik dan psikis lansia akan terganggu. Rasio

ketergantungan lanjut usia yang bisa digolongkan dalam penurunan kemandirian

adalah 13,72 di tahun 2008 (Susenas 2009). Ini berarti 14 lansia didukung oleh

100 orang usia muda (15-44 tahun). Dilaporkan bahwa, angka penurunan fungsi

kognitif di Eropa utara mencapai 70% (Pisani 2003). Jika penduduk berusia lebih

dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan

mudah lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia.

Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan adalah

salah satu Badan Penyantun Lanjut Usia terbesar di Provinsi Lampung dan

merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Lampung. Survey awal

yang dilakukan oleh peneliti September 2020 diketahui bahwa jumlah lanjut usia

yang ada Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

adalah sebanyak 76 lansia. Dan wawancara yang juga dilakukan pada 10 orang

lansia yang ada di tempat, 2 lansia diantaranya mengatakan susah tidur bahkan

kalau tidurpun bisa bangun lebih awal, 3 lansia yang lainnya mengindikasikan

terjadi probable kognitif karena saat ditanya oleh peneliti jawaban yang diberikan

lansia tidak sesuai dengan yang ditanyakan bahkan ada yang tidak bisa menjawab

yang mengindikasi terjadi definitif kognitif dan 3 lansia lainnya normal karena

mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian Pasaribu (2016) tentang hubungan Kualitas

Tidur Dengan Fungsi Kognitif Dan Tekanan Darah Pada Lanjut Usia Di Unit

Pelayanan Terpadu (UPT) Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016, dari
analisa data dengan menggunakan uji chi square menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia di UPT

Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai dengan p value= 0,040. Selanjutnya

Penelitian Izzah (2017) tentang Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Fungsi

Kognitif Lansia Pada Lansia Usia 60-69 Tahun Di Kelurahan Purwantoro

Kecamatan Blimbing Kota Malang, hasil penelitian didapatkan aktivitas fisik

dengan fungsi kognitif adalah hubungan yang positif.

Oleh karena itu penulis terdorong untuk mengetahui hubungan kualitas

tidur dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia di Panti Jompo Tresna

Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian

yaitu “Apakah ada hubungan kualitas tidur dan aktivitas fisik dengan fungsi

kognitif pada lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung

Selatan?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dan aktivitas fisik dengan

fungsi kognitif pada lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar

Lampung Selatan.
1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kualitas tidur lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi aktivitas fisik lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi fungsi kognitif pada lansia di

Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

d. Untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada

lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung

Selatan

e. Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif

pada lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar

Lampung Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritik

Sebagai bahan informasi dan referensi bagi perkembangan ilmu

pengetahuan profesi keperawatan tentang hubungan kualitas tidur dan

aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan sumbangan

pemikiran yang diharapkan dapat membantu meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kognitif

2.1.1 Definisi kognitif


Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau
“untuk mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi,

menerapkan ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga

mengacu pada suatu lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan

belajar dan mengingat, mengatur merencana dan memecahkan masalah, fokus,

memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya, memahami dan menggunakan

Bahasa, akurat dalam memahami lingkungan, dan melakukan perhitungan

(National Multiple Sclerosis Society, n.d.).

Menurut Kamus Kedokteran Stedman (2007), kognitif adalah fakultas

mental yang berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar,

mengenali, memahami, menilai, dan membayangkan. Kognisi adalah suatu

konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori,

perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Malah, setiap

aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses

encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi

ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian

dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi

beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan

7
indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif

melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Pada

sisi lain, aspek kognitif bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan

kata, kefasihan dan pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan

dengan pemrograman dan eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi

kognitif di atas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih

atau gembira), tingkat kewaspadaan dan tenaga, kesejahteraan fisik dan juga

motivasi (Nehlig, 2010).

Kognisi sangat sulit untuk diartikan secara definitif karena konsep ini

digunakan secara meluas dalam berbagai konteks (neurokognitif, sains kognitif,

psikologi kognitif, dan sebagainya) yang memberikan beberapa definisi yang

khusus tetapi tidak ada satu pun yang umum (Nehlig, 2010).

Oleh sebab itu, secara sederhananya fungsi kognitif ini dapat disimpulkan

sebagai semua proses mental yang digunakan oleh organisme untuk mengatur

informasi seperti memperoleh input dari lingkungan (persepsi), memilih

(perhatian), mewakili (pemahaman) dan menyimpan (memori) informasi dan

akhirnya menggunakan pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan

koordinasi output motorik) (Bostrom & Sandberg, 2009).

2.1.2 Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Kognitif Pada Lansia

2 . 1 . 2 . 1 Asupan Zat Gizi

Gizi dilihat sebagai salah satu faktor untuk memperbaiki status kognitif.

Banyak penelitian menun jukkan bahwa stress oksidatif dan akumulasi radikal

bebas terlibat dalam patofisiologi penyakit. Radikal bebas yang melampaui batas
bertanggung jawab terhadap peroksidasi lemak berlebihan, hal ini dapat

mempercepat proses degenerasi saraf (Nourhaesmi, F., dkk., 2000 dalam Aisyah,

2009).

1. Mikronutrien

Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat mengurangi risiko gangguan

kognitif dan demensia karena mengurangi peningkatan kadar homosistein

plasma, homosistein diketahui dapat menyebabkan perubahan patologi melalui

mekanisme vaskuler dan neurotoksik langsung. Suplementasi B12 hanya

menguntungkan kalangan defisiensi B12, yang lebih sering ditemukan di

kelompok lanjut usia karena gangguan absorbsi akibat kondisi gastrik dan

masalah pencernaan lain. Tetapi Kwok dkk (2008) mendapatkan bahwa

suplementasi B12 selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi kognitif di

kalangan demensia yang defisiens B12. Analisis Cochrane juga

menyimpulkan bahwa suplementasi B12, dibandingkan dengan plasebo, tidak

meningkatkan fungsi kognitif di kalangan demensia yang kadar B12 serumnya

rendah. Juga, studi sistematik atas 14 penelitian suplementasi folat, B6 dan

B12 tidak menghasilkan efek menguntungkan di kalangan lanjut usia normal

maupun di kalangan yang sudah terganggu fungsi luhurnya.

Studi lanjutan hendaknya menggunakan populasi yang lebih jelas

diagnosisnya dan menggunakan pengukuran yang baku; selain itu juga dapat

diperkuat dengan studi pencitraan. Studi defisiensi B12 di usia muda hanya

melaporkan komplikasi jangka pendek seperti neuropati dan sklerosis medula.

Mengingat radikal bebas dan kerusakan oksidatif juga diduga berperan pada
kelainan otak yang berhubungan dengan usia, asupan antioksidan (misalnya

vitamin C dan E) diharapkan bisa mengurangi risiko gangguan kognitif dan

demensia; tetapi laporannya masih saling bertentangan.

Vitamin C dan E dari diet dan suplemen diasosiasikan dengan penurunan

risiko AD; konsumsi buah dan sayuran di usia pertengahan juga menurunkan

risiko AD dan demensia. Tetapi ada studi yang tidak menemukan asosiasi

antara penggunaan zat antioksidan di usia pertengahan maupun di usia lanjut

dengan kejadian demensia. Asupan lebih tinggi polifenol dari sari buah dan

sayuran dan flavonoid dari buah, sayuran, anggur merah dan teh diasosiasikan

dengan penurunan risiko demensia dan Alzheimer.

Coklat dan kakao juga mengandung flavonoid tinggi telah terbukti

memperbaiki kesehatan kardiovaskuler melalui mekanisme menurunkan

tekanan darah, meningkatkan sensitivitas insulin, dan kolesterol, menurunkan

reaktivitas platelet, memperbaiki fungsi endotel dan menurunkan inflamasi

yang potensiil mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi kognitif.

Mekanisme perlindungan antioksidan terhadap penurunan kognitif dan

demensia dapat berupa: 1) meningkatkan cadangan otak, 2) mengurangi

kejadian penyakit serebrovaskuler, 3) mengurangi stres oksidatif dan inflamasi

yang berkontribusi pada proses penuaan dan proses patologi yang dikaitkan

dengan demensia.
2. Makronutrien

Makronutrien yang dikaitkan dengan demensia ialah lemak. Ada asosiasi

antara asupan lemak di usia pertengahan berasal dari olesan roti dan susu

dengan risiko demensia dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian; asupan

moderat (dibandingkan dengan asupan rendah) lemak total dan lemak takjenuh

(misal mentega, margarin) diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia

dan AD, sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari olesan roti diasosiasikan

dengan peningkatan risiko. Orang yang mengkonsumsi ikan sedikitnya 1

kali/minggu 60% lebih kurang berisiko menderita Alzheimer dibandingkan

dengan mereka yang tak pernah/jarang mengkonsumsi ikan.

Satu studi acak terkontrol atas pengaruh minyak ikan terhadap fungsi

kognitif tidak menghasilkan efek pada usia lanjut, tetapi ada sedikit efek untuk

beberapa aspek atensi di antara APOEe4 carrier dan pria. Peranan lemak pada

fungsi kognitif dan demensia diduga melalui kolesterol, sedangkan studi di

tikus menunjukkan kemungkinan peranannya dalam deposisi amiloid.

Konsumsi kafein lebih tinggi dilaporkan mengurangi risiko penurunan

kognitif di kalangan perempuan, menurunkan risiko demensia; juga dikaitkan

dengan penurunan risiko demensia Alzheimer pada studi retrospektif yang

mengukur konsumsi kafein selama 20 tahun sebelum penilaian. Efek

menguntungkan kafein mungkin melalui mekanisme penurunan produksi

Abeta atau dengan meningkatkan kadar protein otak yang penting dalam

proses mengingat dan belajar seperti.


3. Pola diet

Efek diet terhadap kognisi ialah secara keseluruhan dan interaksi antar

zat nutrient atau pola diet – tidak berasal dari masing- masing nutrien dan/atau

suplemen secara tersendiri. Salah satu pola diet yang diasosiasikan dengan

penurunan risiko AD ialah diet Mediterania yang kaya buah, sayuran,

wholegrain dan ikan.

2 . 1 . 2 . 2 Kadar Homosistein

Homosistein adalah asam amino (bagian terkecil dari protein) yang

merupakan produk antara dalam siklus metionin menjadi sistein. Homosistein (2

amino 4 mercaptobutanoic acid) merupakan non protein sulfhydryl amino acid,

yang metabolismenya terletak pada persimpangan antara jalur transsulfurasi dan

remetilasi biosintesis metionin. Homosistein merupakan senyawa antara yang

dihasilkan pada metabolisme metionin, suatu asam amino esensial yang terdapat

dalam beberapa bentuk diplasma. Sulfhidril atau bentuk tereduksi dinamakan

homosistein, dan disulfida atau bentuk teroksidasi dinamakan homosistin. Bentuk

disulfida juga terdapat bersama-sama dengan sistein dan protein yang

mengandung residu sistein reaktif (homosistein yang terikat protein), bentuk ini

dinamakan disulfida campuran. Bentuk teroksidasi merupakan bagian terbesar

(98-99%) dalam plasma sedangkan bentuk tereduksi hanya 1% dari total

homosistein dalam plasma.

Asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12 diperlukan dalam metablisme

homosistein, sehingga apabila terjadi defisiensi pada salah satu komponen ini
maka homosistein tidak dapat diubah menjadi metionin dan sistein dan dapat

mengganggu metabolisme homosistein.

2 . 1 . 2 . 3 Aktivitas Fisik

Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi

untuk mengerjakannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu dan lain

sebagainya. Aktivitas fisisk yang terencana dan terstuktur yang melibatkan

gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran

jasmani disebut olahraga (Farizati, 2002 dalam Aisyah 2009).

Secara fisiologis olahraga dapat meningkatkan kapasitas aerobik,

kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Sedangkan secara psikologis olahraga

dapat meningkatkan mood, mengurangi risiko pikun dan mencegah depresi.Aktif

secara fisik dan kebiasaan berolah raga memberikan kontribusi terhadap kondisi

kesehatan dan dapat mendukung status kesehatan. Aktifitas fisik yang dilakukan

dengan baik dan teratur dapat mempertahankan kemampuan kognitif usia lanjut.

Indeks Barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai

perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus dalam

aktivitas sehari-hari dan mobilitas (Leuckenotte, 2000). Kemampuan dan

ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat diukur dengan

menggunakan indekz Barthel. Menurut penelitian Agung (2006) Aktivitas Hidup

Sehari-hari Barthel merupakan instrumen ukur yang andal dan shahih serta dapat

digunakan untuk mengukur status fungsional dasar usia lanjut di Indonesia.

Untuk menentukan kemampuan kemandirian lansia dalam melakukan

aktivitas sering digunakan indeks Katz tentang aktivitas kehidupan sehari-hari, ini
digunakan untuk mengukur kemampuan mandiri pasien untuk mandi, berpakaian,

toileting, berpindah tempat, mempertahankan kontinensia dan makan. Indeks ini

membentuk suatu kerangka kerja untuk mengkaji kemampuan hidup mandiri

pasien atau bila ditemukan terjadi penurunan fungsi, maka akan disusun titik-titik

focus perbaikannya.

2 . 1 . 2 . 4 Umur

Umur merupakan faktor risiko utama terhadap status kognitif pada lansia.

Hubungan ini berbanding lurus yaitu semakin meningkatnya umur semakin tinggi

pula risiko terjadinya gangguan status kognitif.

Dapat dipahami jika angka kejadian demensia meningkat sesuai dengan

pertambahan usia, peningkatannya sekitar dua kali lipat setiap pertambahan usia 5

tahun. Suatu meta analisis menghasilkan angka insidensi demensia sedang-berat

di Amerika Serikat sebesar 2.4, 5.0, 10.5, 17.7 dan 27.5 per 1000 person-years

pada kelompok usia berturut-turut 65-69, 70-74, 75-79, 80-84 dan 85-89 tahun.

Untuk demensia Alzheimer, angkanya berturut-turut 1.6, 3.5, 7.8, 14.8 dan 26.0

per 1000 person-years. Angka tersebut akan dua-tiga kali lipat jika kasus-kasus

ringan juga dihitung. Penelitian LEILA75+ di Jerman menghasilkan annual

incidence rate demensia antara 45.8–47.4 per 1000 person-years.14 Studi

EURODEM dari 8 negara Eropa menghasilkan prevalensi demensia mulai dari

0.4% pada pria dan perempuan usia 60-64 tahun sampai 22.1% pada pria dan

30.8% pada wanita berusia lebih dari 90 tahun.


2 . 1 . 2 . 5 Jenis Kelamin

Gangguan kognitif pada lansia sering dialami oleh perempuan. Akan tetapi

tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya

gangguan kognitif, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan

memiliki peluang yang sama dalam mengalami gangguan kognitif.

Beberapa studi besar tidak menemukan perbedaan insiden demensia

Alzheimer maupun demensia vaskuler di kalangan laki-laki dan perempuan.

Meskipun demikian, dua meta analisis menyimpulkan bahwa perempuan lebih

cenderung menderita demensia Alzheimer, khususnya di usia sangat lanjut.

Asosiasi ini menetap sekalipun dikoreksi mengingat perempuan mempunyai

harapan hidup lebih panjang.

Sebaliknya laki-laki cenderung lebih berisiko menderita demensia vaskuler

dibandingkan perempuan, terutama di usia lebih muda. Hal ini dapat karena ada

factor risiko seperti penyakit kardiovaskuler yang lebih sering dijumpai di

kalangan laki-laki.

2 . 1 . 2 . 6 Tingkat Pendidikan

Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidikan memiliki

hubungan yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kognitif. Tingkat

pendidikan yang rendah berpeluang empat kali lebih berisiko mengalami

gangguan kognitif. Jika dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi

(Purnakarya, 2008 dalam Aisyah 2009).


2 . 1 . 2 . 7 Kebiasaan Merokok

Rokok terdiri atas dua golongan besar yaitu komponen gas dan komponen

padat. Komponen padat terbagi menjadi nikotin dan tar. Tar ini mengandung

bahan-bahan karsinigen yang dapat menyebabkan terjadinya kanker. Tar pada

rokok dikaitkan dengan kerusakan kromosom pada manusia. Selain itu dampak

rokok terhadap jantung, paru-paru, dan sistem vaskular dapat meningkatkan risiko

terjadinya gangguan pada status kognitif.

Studi awal hubungan merokok dengan risiko demensia menunjukkan efek

protektif, tetapi studi longitudinal mendapatkan bahwa efek tersebut disebabkan

oleh survivor bias124 - lebih sedikit kalangan perokok yang mencapai usia

berisiko demensia. Pada studi atas pria Jepang-Amerika, risiko gangguan kognitif

lebih besar di kalangan perokok dan mantan perokok dibandingkan dengan yang

tak pernah merokok,125 dan risiko AD lebih besar di kalangan perokok sedang

dan berat dibandingkan dengan perokok ringan.

Metaanalisis asosiasi merokok dengan demensia dan penurunan kognitif di

studi prospektif lain menunjukkan bahwa perokok aktif meningkat risiko

demensia dan penurunan kognitifnya dibandingkan dengan yang tak pernah

merokok, perbedaan risiko tidak pernah merokok dan mantan perokok masih

belum jelas karena masalah variasi di antara studi.


Asupan nikotin – zat adiktif utama dalam rokok – dapat menguntungkan

fungsi kognitif, terutama atensi, belajar dan daya ingat (memori) dengan

memfasilitasi pelepasan asetilkholin, glutamat, dopamin, norepinefrin, serotonin

dan GABA, tetapi terpapar asap tembakau jangka panjang terbukti meningkatkan
risiko gangguan kognitif dan demensia di kemudian hari, termasuk peningkatan

infark otak silent, intensitas massa alba, kematian neuron dan atrofi subkortikal.

Merokok juga menurunkan kadar antioksidan penangkap radikal bebas dalam

sirkulasi, meningkatkan respons inflamasi dan mengarah ke aterosklerosis yang

mempengaruhi permeabilitas sawar darah-otak, aliran darah otak dan metabolisme

otak. Merokok juga langsung mempengaruhi patologi demensia dengan

meningkatkan jumlah plak.

2.1.2.8 Kualitas Tidur

Kurang tidur dapat menyebabkan produktivitas seorang individu menurun. Gejala

yang dapat timbul yaitu sering melamun, kantuk pada siang hari, menurunnya

fungsi kognitif seperti menurunnya daya konsentrasi, perhatian, dan pembelajaran.

2.1.3 Gangguan Fungsi Kognitif

Penurunan fungsi kognitif memiliki tiga tingkatan dari yang paling ringan

hingga yang paling berat, yaitu: Mudah lupa (forgetfulness), Mild Cognitive

Impairment (MCI) dan Demensia (Lumbantobing, 2007):

1. Mudah lupa (Forgetfulness)

Mudah lupa merupakan tahap yang paling ringan dan sering dialami pada

orang usia lanjut. Berdasarkan data statistik 39% orang pada usia 50-60 tahun

mengalami mudah lupa dan angka ini menjadi 85% pada usia di atas 80 tahun.

Mudah lupa sering diistilahkan Benign Senescent Forgetfulness (BSF) atau

Age Associated Memory Impairment (AAMI). Ciri-ciri kognitifnya adalah

proses berfikir melambat, kurang menggunakan strategi memori yang tepat,

kesulitan memusatkan perhatian, mudah beralih pada hal yang kurang perlu,
memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu yang baru dan

memerlukan lebih banyak petunjuk/isyarat (cue) untuk mengingat kembali

(Hartono, 2006). Adapun kriteria diagnosis mudah lupa berupa:

a. Mudah lupa nama benda, nama orang

b. Memanggil kembali memori (recall) terganggu

c. Mengingat kembali memori (retrieval) terganggu

d. Bila diberi petunjuk (cue) bisa mengenal kembali

e. Lebih sering menjabarkan fungsi atau bentuk daripada menyebutkan

namanya (Hartono, 2006).

2. Mild Cognitive Impairment (MCI)

Mild Cognitive Impairment merupakan gejala yang lebih berat dibandingkan

mudah lupa. Pada mild cognitive impairment sudah mulai muncul gejala

gangguan fungsi memori yang menganggudan dirasakan oleh penderita. Mild

cognitive impairment merupakan perantara antara gangguan memori atau

kognitif terkait usia (Age Associated Memori Impairment/AAMI) dan

demensia. Sebagian besar pasien dengan MCI menyadari akan adanya defisit

memori. Keluhan pada umumnya berupa frustasi, lambat dalam menemukan

benda atau mengingat nama orang, dan kurang mampu melaksanakan aktivitas

sehari-hari yang kompleks. Gejala MCI yang dirasakan oleh penderita

tentunya mempengaruhi kualitas hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa

lebih dari separuh (50-80%) orang yang mengalami MCI akan menderita

demensia dalam waktu 5-7 tahun mendatang. Oleh sebab itu, diperlukan
penanganan dini untuk mencegah menurunnya fungsi kognitif (Lumbantobing,

2007).

Berdasarkan rangkuman berbagai hasil penelitian di berbagai negara

prevalensi MCI berkisar antara 6,5 –30% pada golongan usia di atas 60 tahun.

Kriteria diagnostik MCI adalah adanya gangguan daya ingat (memori) yang

tidak sesuai dengan usianya namun belum demensia. Fungsi kognitif secara

umum relatif normal, demikian juga aktivitas hidup sehari-hari. Bila

dibandingkan dengan orang-orang yang usianya sebaya serta orang-orang

dengan pendidikan yang setara, maka terdapat gangguan yang jelas pada

proses belajar (learning) dan delayed recall. Bila diukur dengan Clinical

Dementia Rating, diperoleh hasil 0,5 (Lumbantobing,2007).

Kriteria yang lebih jelas bagi MCI adalah:

a. Gangguan memori yang dikeluhkan oleh pasiennya sendiri, keluarganya

maupun dokter yang memeriksanya.

b. Aktivitas sehari-hari masih normal.

c. Fungsi kognitif secara keseluruhan (global) normal

d. Gangguan memori obyektif, atau gangguan pada salah satu wilayah

kognitif, yang dibuktikan dengan skor yang jatuh di bawah 1,5 –2,0 SD

dari rata-rata kelompok umur yang sesuai dengan pasien

e. Nilai CDR0,5

f. Tidak ada tanda demensia

Bilamana dalam praktek ditemukan seorang pasien yang mengalami gangguan

memori berupa gangguan memori tunda (delayed recall) atau mengalami


kesulitan mengingat kembali sebuah informasi walaupun telah diberikan

bantuan isyarat (cue) padahal fungsi kognitif secara umum masih normal,

maka perlu dipikirkan diagnosis MCI. Pada umumnya pasien MCI mengalami

kemunduran dalam memori baru. Namun diagnosis MCI tidak boleh

diterapkan pada individu-individu yang mempunyai gangguan psikiatrik,

kesadaran yang berkabut atau minum obat-obatan yang mempengaruhi sistem

saraf pusat (Hartono, 2006).

3. Demensia

Menurut ICD-10, DSM IV, NINCDS-ARDA, demensia adalah suatu

sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan

deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi

sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Mardjono & Sidharta, 2008).

Demensia memiliki gejala klinis berupa kemunduran dalam hal pemahaman

seperti hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan yang cepat,

percakapan yang kompleks atau abstrak, humor yang sarkastis atau sindiran.

Dalam kemampuan bahasa dan bicara terjadi kemunduran pula yaitu

kehilangan ide apa yang sedang dibicarakan, kehilangan kemampuan

pemrosesan bahasa secara cepat, kehilangan kemampuan penamaan (naming)

dengan cepat. Dalam bidang komunikasi sosial akan terjadi kehilangan

kemampuan untuk tetap berbicara dalam topik, mudah tersinggung, marah,

pembicaraan bisa menjadi kasar dan terkesan tidak sopan. Namun tidak

disertai gangguan derajat kesadaran (Mardjono & Sidharta, 2008).


Demensia vaskuler adalah demensia yang disebabkan oleh infark pada

pembuluh darah kecil dan besar, misalnya multi-infarct dementia. Konsep

terbaru menyatakan bahwa demensiavaskuler juga sangat erat berhubungan

dengan berbagai mekanisme vaskuler dan perubahan-perubahan dalam otak,

berbagai faktor pada individu dan manifestasi klinis (Mardjono & Sidharta,

2008).

Berlainan dengan demensia alzheimer, dimana setelah terdiagnosa penyakit

akan berjalan terus secara progresif sehingga dalam beberapa tahun (7-10

tahun) pasien biasanya sudah mencapai taraf terminal dan meninggal.

Demensia vaskuler mempunyai perjalanan yang fluktuatif, pasien bisa

mengalami masa dimana gejala relatif stabil, sampai terkena serangan

perburukan vaskuler yang berikut. Karena itu pada demensia vaskuler relatif

masih ada kesempatan untuk mengadakan intervensi yang bermakna, misalnya

mengobati faktor risiko (Lumbantobing, 2007).

Adapun kriteria diagnosis untuk demensia adalah:

1) Kehilangan orientasi waktu

2) Sekedar kehilangan memori jangka panjang dan pendek

3) Kehilangan informasi yang diperoleh

4) Tidak dapat mengingat daftar lima item atau nomor telepon

5) Kemunduran pemahaman

6) Kemunduran kemampuan bicara dan bahasa

7) Kemunduran komunikasi sosial (Lumbantobing, 2007).


2.1.5 Pemeriksaan Status Mini Mental Pada Lansia

Pemeriksaan status mini mental (mini mental state examination)

merupakan suatu tes skreening yang valid terhadap gangguan kognitif. Tes

tersebut diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak digunakan

di seluruh dunia termasuk Indonesia serta telah direkomendasikan oleh kelompok

studi fungsi luhur PERDOSSI perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia

(Fatimah, 2011).

Pengalaman penggunaan uji ini telah meningkat selama beberapa tahun

belakangan ini sehingga fungsi utamanya sekarang ditetapkan untuk mendeteksi

dan melacak progresi gangguan kognitif yang disebabkan oleh gangguan

neurodegenerative, seperti pada demensia Alzheimer. Uji MMSE meliputi

pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pemecahan masalah pada beberapa bidang

yaitu waktu dan tempat tes, mengulangi kata, aritmatika, penggunaan bahasa, dan

kemampuan motorik dasar.

Penilaian mini mental status terdiri atas dua bagian, bagian pertama

merupakan respon fokal meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian

dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan

nama, mengikuti perintah. Verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan

menggambar polygon berupa Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan).

Skor maksimal seluruhnya adalah 30 (tiga puluh), Pemeriksaan status mini mental

telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA, terdapat korelasi yang

baik dengan nilai IQ pada RAIS ( TVechsler Adult Intelegence Scale) dan CT
Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 82%

untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 2009).


Banyak faktor–fakor yang dapat memperngaruhi hasil penilaian, seperti

ketulian, kebutaan dan kelumpuhan, pada kondisi ini tes biasanya dikustomisasi.

Faktor lain seperti jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Berbagai faktor

bias lain yang dapat mempengaruhi hasil tes adalah status pernikahan dan

pekerjaan yang pernah dialaminya, sikap kooperatif dari pasien, masalah bahasa,

dan operasional saat melakukan tes. Selain itu dipengaruhi pula oleh situasi tes

saat diselenggarakan (Fatimah, 2010).

Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif sesuai dengan

penelitian Lumbantobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi

pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi

(storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami

penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses

informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana atau

kompleks, penurunan ini berbeda antar individu.

Pengkajian fungsi mental kognitif merupakan hal yang menyokong dalam

mengevaluasi kesehatan lanjut usia, banyak bukti menunjukkan bahwa gangguan

mental kognitif seringkali tidak dikenali profesional kesehatan karena sering tidak

dilakukan pengujian status mental secara rutin. Diperkirakan 30% sampai 80%

lanjut usia yang mengalami demensia tidak terdiagnosis oleh dokter, melainkan

teridentifikasi melalui pemeriksaan status mini mental (Turana, 2004).


Menurut Dahlan (2009), interpretasi dari tes-tes dalam pemeriksaan status

mental mini antara lain: a) tes orientasi (orientation) untuk menilai kesadaran dan

daya ingat, b) tes registrasi (registration) untuk menilai fungsi memori, c) tes

perhatian dan penghitungan (attention and calculation), d) tes mengingat kembali

(recall) untuk menilai memori mengingat kembali, e) tes bahasa (language)

meliputi tes menyebutkan nama benda (naming) dan tes mengulangi kalimat

(repetition) dan tes penilaian bahasa komprehensif dengan melakukan tiga

perintah bertahap. Tes menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon,

untuk menilai fungsi eksekutif.

2.1.6 Interpretasi MMSE

Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan :

1. Skor 24-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal

2. Skor 17-23 berarti probable gangguan kognitif

3. Skor 0-16 berarti definite gangguan kognitif

Pengukuran MMSE dapat dilakukan setiap 6 ( enam ) minggu karena

adaptasi jaringan neuron saraf terjadi setelah 4-6 minggu dimana hubungan antara

latihan fisik dengan fungsi kognitif terjadi melalui kontraksi otot yang akan

memberikan pengaruh pada otak melalui jalur muscle spindle, adanya suatu

rangsangan yang terjadi pada golgi tendon organ akan diteruskan ke central

nervus system melalui jaras-jaras. Jaras-jaras ini yang menerima informasi berupa

sensoris dari perifer, sistem visual, sistem vestibular, muskulo skletal,

proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat

sistem saraf, menurut Suhartono, 2005 dalam waktu singkat kurang lebih 150
mikro detik akan terbentuk suatu respon yang benar dan disimpan di otak.

Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam sistem sensoris integrasi di

sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu corpus amygdale

diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak menjadi memori

yang pendek/short term memory dilakukan secara berulang-ulang sehingga akan

menjadi long term memory.

2.2 Aktivitas Fisik

2.2.1 Definisi

Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan untuk bergerak untuk memenuhi

kebutuhan hidup (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Aktivitas fisik adalah setiap

kegiatan yang membutuhkan energi untuk melakukannya seperti berjalan, menari,

mengasuh cucu dan lain sebagainya. Aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur

melibatkan gerakan tubuh yang dilakukan secara berulang-ulang dan bertujuan

untuk kesegaran jasmani (Depkes, 2010).

Aktifitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan lansia sebaiknya memenuhi

kriteria frekuensi, intensitas, waktu dan tipe. Frekuensi adalah seberapa sering

aktivitas dilakukan, berapa hari dalam satu minggu. Intensitas adalah seberapa

keras suatu aktivitas dilakukan. Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas

rendah, sedang, dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu

aktivitas di lakukan dalam satu pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis-

jenis aktivitas fisik yang dilakukan (Ambardini, 2009).


2.2.2 Jenis Aktivitas

Fisik Lansia Aktivitas fisik yang dapat dilakukan lansia dalam kehidupan

sehari-hari, yaitu: membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika, berkebun,

mengemudi mobil, mengecat rumah, memotong kayu, olahraga/latihan fisik dan

lain-lain (Depkes, 2010).

Beberapa contoh olahraga/latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia

untuk meningkatkan dan memelihara kebugaran, kesegaran dan kelenturan

fisiknya adalah sebagai berikut (Maryam, 2008):

1. Pekerjaan rumah dan berkebun.

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang membutuhkan energy. Dengan

kegiatan ini tubuh lansia akan mengeluarkan keringat namun harus dikerjakan

secara tepat agar nafas sedikit lebih cepat, denyut jantung lebih cepat, dan otot

menjadi lelah. Dengan kegiatan ini lansia mendapatkan kesegaran jasmani.

Aktivitas fisik berupa pekerjaan rumah dan berkebun dianjurkan untuk

melakukannya dalam intensitas sedang selama 30 menit setiap hari dalam

seminggu.

2. Berjalan-jalan

Berjalan-jalan sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan bila jalannya

makin lama makin cepat akan bermanfaat untuk daya tahan tubuh. Jika

melangkah dengan panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali, maka dapat

melenturkan tubuh. Hal ini bergantung pada kebiasaan. Berjalan-jalan

sebaiknya dikombinasikan dengan olahraga lain seperti jogging atau berlari-

lari.
3. Jalan cepat

Jalan cepat merupakan olahraga lari dengan kecepatan dibawah 11 km/jam

atau dibawah 5,5,menit/Km. Jalan cepat berguna untuk mempertahankan

kesehatan dan kesegaran jasmani yang aman bagi lansia. Posisi yang tepat

atau yang dianjurkan pada saat jalan cepat adalah pandangan lurus kedepan,

bernafas normal melalui hidung atau mulut, kepala dan badan lemas serta

tegak, tangan digenggam ringan, kaki mendapat di tumit atau pertengahan

telapak kaki, langkah tidak terlalu besar, serta ujung kaki mengarah ke depan.

Jalan cepat dilakukan dengan frekuensi 3 -5 kali seminggu, lama latihan 15-30

menit, dilakukan tidak kurang dari 2 jam setelah makan.

4. Renang

Olahraga renang paling baik dilakukan untuk menjaga kesehatan karena pada

saat berenang hampir semua otot tubuh bergerak, sehingga kekuatan otot

meningkat. Olahraga renang biasanya baik untuk orang-orang yang menderita

penyakit lemah otot atau kaku sendi karena dapat melancarkan peredaran

darah asalkan dilakukan secara teratur.

5. Bersepeda

Bersepeda baik untuk meningkatkan peregangan dan daya tahan, tetapi tidak

menambah kelenturan pada derajat yang tinggi. Kegiatan ini dapat dilakukan

sesuai kemampuan dan harus disertai latihan aerobik. Latihan fisik ini dapat

dilakukan sekurangnya 30 menit dengan intensitas sedang, 5 hari dalam

seminggu atau 20 menit dengan intensitas tinggi, 3 hari dalam seminggu dan 2

hari dalam seminggu. Modifikasi olahraga ini dapat dilakukan dengan


bersepeda statis bagi lansia yang mengalami gangguan penglihatan dan

osteoatritis.

6. Senam

Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidakmemberatkan

yang diterapkan pada lansia.

2.2.2 Tipe-Tipe Aktivitas Fisik

Ada 3 tipe aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk mempertahankan

kesehatan tubuh yaitu (Rizki, 2011):

1. Ketahanan

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-

paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih

bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan

selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat

dipilih seperti: Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju

tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang

berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah,

lari ringan, berenang dan senam, bermain tenis, berkebun dan kerja di taman.

2. Kelenturan

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan

lebih mudah. Mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi

berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik

yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa

kegiatan yang dapat dipilih seperti:


a) Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan,

lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari tangan dan kaki.

b) Senam taichi, yoga.

c) Mengepel lantai.

3. Kekuatan

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh

dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan

mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan

terhadap penyakit seperti osteoporosis.

Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama

30 menit (2 -4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih

seperti: Push-up (pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot sendi dari

kecelakaan), naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan dan

mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness). Aktivitas fisik tersebut

akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energy (pembakaran kalori),

misalnya: Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu

rumah (3,9 kkal/menit), membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju

(3,56 kkal/menit) dan mengemudi mobil (2.8 kkal/menit).

Aktivitas fisik berupa olahraga yang dapat dilakukan antara lain: Jalan sehat

dan jogging, bermain tenis, bermain bulu tangkis, sepak bola, senam aerobic,

senam pernafasan, berenang, bermain bola basket, bermain voli, dan bersepeda.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Aktivitas fisik Lansia Bertambah usia seseorang, kemampuan fisik dan

mental hidupnya pun akan perlahan-lahan pasti menurun. Akibatnya aktivitas

hidupnya akan ikut terpengaruh termasuk aktivitas fisiknya. Beberapa masalah

fisik yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik lansia, yaitu:

1. Mudah jatuh.

Hal ini dipengaruhi gangguan sistem sensorik yang menyebabkan gangguan

penglihatan dan pendengaran, gangguan sistem saraf pusat seperti stroke dan

parkinston, gangguan kognitif dan gangguan muskuluskeletal yang

menyebabkan gangguan gaya berjalan.

2. Mudah lelah.

Disebabkan oleh faktor psikologis (perasaan bosan, keletihan, atau persaan

depresi), gangguan organis dan pengaruh obat-obatan yang melelahkan daya

kerja otot (Stanley & Beare, 2006).

2.2.4 Dampak aktivitas fisik

Aktivitas fisik penting untuk lansia yaitu: menjaga kesehatan, memelihara

kemampuan untuk melakukan ADL, dan peningkatan kualitas hidup. Manfaat dari

kegiatan fisik meliputi pencegahan penyakit jantung, penurunan tekanan darah,

mengurangi risiko osteoporosis, keseimbangan dan tidur lebih nyenyak (Jones,

1997, Lueckenotte, 2000).

Beberapa ahli mendapatkan kesimpulan bahwa aktivitas fisik dapat

menyebabkan seseorang menjadi lebih tenang, kurang menderita ketegangan dan

kecemasan. Latihan fisik akan membuat seseorang lebih kuat menghadapi stres
dan gangguan hidup sehari-hari, lebih dapat berkonsentrasi, tidur lebih nyenyak

dan merasa berprestasi. Hal ini disebabkan karena gerakan fisik bisa digunakan

untuk memproyeksikan ketegangan, sehingga setelah latihan, orang merasa ada

beban jiwa yang terbebaskan. Disamping itu penurunan kadar garam dan

peningkatan kadar epinephrin serta endorphin membuat orang merasa bahagia,

tenang dan percaya diri (Anonim, 2014).

2.2.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif adalah aktivitas

fisik. Aktivitas fisik kemungkinan dapat menstimulasi saraf sehingga

menghambat penurunan fungsi kognitif pada lansia (Muzamil, Afriwardi &

Martini, 2014). Fungsi kognitif pada lansia yang aktif beraktivitas fisik serupa

dengan orang muda dan secara signifikan lebih baik daripada orang yang tidak

aktif melakukan aktivitas fisik (Cox et al., 2016).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muzamil, Afriwardi, dan Martini

(2014) disebutkan tingkat aktivitas fisik seseorang yang baik mempunyai

hubungan dengan tingginya skor fungsi kognitif sedangkan lansia yang

mengurangi durasi dan intensitas aktivitas fisik memungkinkan proses penurunan

fungsi kognitifnya akan lebih cepat. Studi yang dilakukan oleh Guimarães AV et

al (2014) menyatakan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan kerja memori,

fungsi eksekutif, perhatian, dan memori jangka pendek/ panjang.

Aktivitas fisik diduga berkontribusi dalam meningkatkan kinerja kognitif

melalui peningkatan kadar neurotropin, kebugaran tubuh, mengurangi depresi,

mempertahankan aliran darah otak (vaskularisasi) serta meningkatkan persediaan


nutrisi otak, meningkatkan ketersediaan dan aktivitas faktor neurotropik yang

bermanfaat sebagai fungsi neuroprotective downregulasi dari faktor neurotoksik

(C-reactive, kortisol, interleukin-6, dan agen inflamasi lainnya), serta menangani

dan mencegah penyakit kronis dengan baik (Pathy, et al., 2006). Aktivitas fisik

juga telah terbukti mengurangi dan menunda risiko gangguan neurodegeneratif

seperti Alzheimer dan demensia (Carvalho, Rea and Parimon, 2014).

2.3 Kualitas Tidur

2.3.1 Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang

selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Tidur menurut Pieter, Janiwarti

dan saragih (2011) merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang

memiliki fungsi perbaikan dan homeostatik (mengembalikan keseimbangan

fungsi-fungsi normal tubuh), serta penting pula dalam pengaturan suhu dan

cadangan energi normal. Rasa kantuk berkaitan erat dengan hipotalamus dalam

otak. Dalam keadaan badan segar dan normal, hipotalamus bekerja baik sehingga

dapat memberikan respon normal pada perubahan tubuh atau lingkungan.

2.3.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan

mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan

pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh

system pegaktivasi retikularis yang merupakan system yang mengatur seluruh

tingkatan kegiatan susunan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan


dan tidur. Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam

mensensefalon dan bagian atas pons.

Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberikan rangsangan

visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari

korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Keadaan sadar

neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian

juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya pelepasan serum serotonin

dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu bulbar

synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan

implus yang diterima di pusat otak dan system limbic. Dengan demikian, system

pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS

dan BSR (Hidayat, 2009).

2.3.3 Tahapan tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau rapid

eye movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau non rapid eye

movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat

stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur

stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Darmojo, 2004).

Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam

semalam (Potter & Perry, 2005). Tahapan tidur menurut Darmojo (2004) fase non

REM terdiri dari empat stadium:


a. Stadium 1. Saat transisi antara bangun penuh dan tidur, sekitar 30 detik

sampai 7 menit dan karakteristik di tandai oleh gelombang otak yang low-

voltage pada pemeriksaan electro encephalografi.


b. Stadium 2. Ditandai gelombang otak low-voltage yang disebut “sleep
spindles”dan K complexes.
c. Stadium 3 dan 4. Sering disebut tidur yang dalam atau “delta sleep”EEG

menunjukkan gelombang yang lambat dengan amplitude yang tinggi. Selama

tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur

REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untukkonsolidasi

memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005).

Pemenuhan kebutuhan tidur atau kualitas tidur terlihat dari parameter kualits

tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk tidur, frekuensi

terbangun dan beberapa aspek subjektif, seperti kedalaman tidur, perasaan segar

di pagi hari, kepuasan tidur serta perasaan lelah siang hari (Nugroho, 2000).

Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda

kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda

kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis (Hidayat,

2006).

Di bawah ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan fisiologis yang

dialami:

a. Tanda Fisik Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak

mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang

berlebihan (sering menguap), tidak mampuuntuk berkonsentrasi (kurang


perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual, dan

pusing.

b. Tanda Psikologis Menarik diri, apatis dan respon menurun, merasa tidak enak

badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan

ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan

atau keputusan menurun.

2.3.4 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang

tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu

dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva

memerah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepal, dan sering menguap

atau mengantuk (Hidayat, 2006).

Kualitas tidur seseorang dapat dikatakan baik dilihat dari parameter kualitas

tidur jika seseorang tidur dengan waktu yang cukup, tidur dengan nyenyak, tidak

memiliki gangguan tidur saat akan tidur maupun ketika tidur, merasa puas dengan

tidurnya, tidak merasa mengantuk pada siang hari dan merasa segar ketika bangun

tidur (Hidayat, 2006).

2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi tidur

Kualitas tidur di pengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi tidur menurut Kozier (2000) adalah faktor usia, lingkungan,

kelelahan (fatigue), gaya hidup, stres psikologis, alkohol dan stimulan, diet,

merokok. Sakit dan medikasi. Faktor yang mempengaruhi tidur individu menurut
Potter dan Perry (2005) meliputi keaadan sakit fisik, gaya hidup, obat dan zat,

stress emosional, lingkungan dan kelelahan.

a. Keadaan sakit fisik

Orang yang sakit membutuhkan lebih banyak tidur dan pada normal dan irama

normal tidur dan terjadi sering kali terganggu. Orang yang kehilangan tidur

Potter dan Perry (2005) REM mengakibatkan waktu tidur lebih banyak dan

normal. Nyeri juga dapat mempengaruhi tidur, juga mencegah tidur atau

menjadi terjaga.

b. Gaya hidup

Orang yang bekerja dengan sift dan seringnya perubahan sift harus menyusun

aktifitas sehingga orang tersebut siap untuk tidur pada waktu atau saat yang

benar atau tempat. Latian yang moderat biasanya dapat menyebabkan lambat

atau tertundanya tidur. Kemampuan seseorang untuk relak sebelum memasuki

tidur merupakan factor yang penting yang mempengaruhi kemampuan untuk

jatuh tidur.

c. Obat dan zat

Zat kimia mengakibatkan perubahan perubahan pada berkurangnya tidur tahap

4 NREM dan tidur REM serts bangun.

d. Stress emosional

Kecemasan dan dpresi seringkali mengganggu tidur. Orang yang tidur

dipenuhi dengan problem pribadi mungkin idak mampu untuk relaksasi

dengan cukup yang dapat membawanya menjadi tidur.


e. Lingkungan

Lingkungan dapat meningkatkan atau juga dapat mengganggu / menghalangi

tidur. Adanya perubahan seperti contoh tingkat kebisingan lingkungan, dapat

menghalangi/mengganggu tidur. Tidak adanya stimuli yang biasanya ada atau

tidak adanya stimuli yang tidak familier atau tidak biasanya ada dapat

mengganggu tidur seseorang. Banyak orang dapat tidur dengan baik

dilingkungan rumah sendiri.

f. Kelelahan

Seseorang yang mengalami kelelahan sedang biasanya dapat tidur dengan

nyenyak atau tenang. Kelelahan dpat juga mempengaruhi pola tidur seseorang.

Orang yang mengalami kelelahan berlebihan memperpendek periode pertama

tidur paradoksikal (REM). Pada orang yang istirahat, periode REM menjadi

lebih lama atau panjang.

2.2.6 Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia

Tidur bermanfaat untuk memperbaiki fungsi biologis secara rutin,

menyimpan energi selama tidur, dan untuk memulihkan fungsi kognitif. Pada

lanjut usia mengalami penurunan tidur stadiun 3 dan 4, dan juga mengalami

penurunan tidur REM dimana pada saat tidur REM dihubungkan dengan

perubahan aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan

konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin hubungan ini dapat membantu

penyimpanan memori dan pembelajaran. kekurangan tidur REM dapat mengarah

pada perasaan bingung dan curiga. Berbagai fungsi tubuh misalnya penampilan
motorik, memori, dan keseimbangan dapat berubah ketika terjadi kehilangan tidur

yang berkepanjangan.

Tidur diatur oleh pusat kesadaran yang berada di medulla batang otak

(nukleus rafe dan lokus seruleus pons), proses tidur melibatkan pengeluaran

hormonal yaitu kortisol yang sangat berperan dalam irama sikardian. Pada lanjut

usia akan mengalami gangguan pada irama sikardiannya yang akan menyebabkan

ketidak seimbangan hormon kortisol. Hormon kortisol dihasilkan oleh zona

fasikulata dan retikularis korteks adrenal, sekresinya dirangsang oleh hormon

adenokortikotropik yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Ketidak seimbangan

hormon kortisol di dalam tubuh akan mengakibatkan ketidakseimbangan hormon

yang akan dihasilkan oleh kelenjar adrenal, kortisol akan berpengaruh terhadap

kerja katekolamin yang akan dihasilkan di medulla adrenal. Katekolamin terdiri

dari epinefrin dan norepinefrin yang bekerja pada sistem saraf simpatis. Saraf

simpatis akan mengatur kerja dari otot polos arteriol . dimana tekanan darah

manusia bergantung pada vasokonstriksi arteriol. Ketika saraf simpatis bekerja

terus menerus akan menyebabkan vasokostriksi yang akan meningkatkan denyut

jantung dan volume sekuncup yang bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah.

2.4 Usia Lanjut

2.4.1 Teori-teori tentang menua

Menua (aging) merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada

seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang
menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau

sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Beberapa teori penuaan yang diketahui menurut Fatmah (2010):

1. Teori berdasarkan sistem organ (organ system-based theory)

Teori ini berdasarkan atas dugaan adanya hambatan dari organ tertentu di

dalam tubuh yang akan menyebabkan terjadinya proses penuaan. Organ

tersebut adalah sistem endokrin dan sistem imun. Pada proses penuaan,

kelenjar timus mengecil yang menurunkan sistem fungsi imun. Penurunan

sistem imun menimbulkan peningkatan insidensi penyakit infeksi pada lansia.

2. Teori kekebalan tubuh (breakdown theory)

Teori ini memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem

kekebalan secara bertahap, sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan

diri terhadap luka, penyakit, sel mutan, ataupun sel asing. Hal ini terjadi

karena hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar timus yang

mengontrol sistem kekebalan tubuh telah menghilang seiring dengan

bertambahnya usia.

3. Teori kekebalan (autoimmunity)

Teori ini menekankan bahwa tubuh lansia yang mengalami penuaan sudah

tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan sel tidak normal, dan

muncul antibodi yang menyerang keduanya yang pada akhirnya menyerang

jaringan itu sendiri. Mutasi yang berulang atau perubahan protein

pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun

tubuh untuk mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini

dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami

perubahan tersebut sebagai benda asing dan menghancurkannya.

4. Teori fisiologik

Sebagai contoh, teori adapatasi stres (stress adapatation theory) menjelaskan

proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari

dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisi, psikologik, maupun sosial.

5. Teori psikososial

Semakin lanjut usia sesorang, maka ia semakin lebih memperhatikan dirinya

dan arti hidupnya, dan kurang memperhatikan peristiwa atau isu-isu yang

sedang terjadi.

6. Teori kontinuitas

Gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori aktivitas. Perubahan diri

lansia dipengaruhi oleh tipe kepribadiannya. Seseorang yang sebelumnya

sukses, pada usia lanjut akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta

tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya karena memiliki tipe

kepribadian yang aktif dalam kegiatan sosial.

7. Teori sosiologik

Teori yang menerangkan menurunnya sumber daya dan meningkatnya

ketergantungan, mengakibatkan keadaan sosial yang tidak merata dan

menurunnya sistem penunjang sosial.

Teori pelepasan ikatan (disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia

lanjut terjadi penurunan partisipasi kedalam masyarakat karena terjadi proses


pelepasan ikatan atau penarikan diri secara pelan-pelan dari kehidupan

sosialnya. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses pelepasan ikatan yang

memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggung jawab pekerjaannya dan

tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

8. Teori aktivitas

Berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, teori aktivitas ini menjelaskan

bahwa lansia yang sukses adalah yang aktif dan ikut dalam banyak kegiatan

sosial. Jika seseorang sebelumnya sangat aktif, maka pada usia lanjut ia akan

tetap memelihara keaktifannya seperti peran dalam keluarga dan masyarakat

dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, karena ia tetap merasa dirinya

berarti dan puas di hari tuanya. Bila lansia kehilangan peran dan tanggung

jawab di masyarakat atau keluarga, maka ia harus segera terlibat dalam

kegiatan lain seperti organisasi yang sesuai dengan bidang atau minatnya.

Teori penuaan ditinjau dari sudut biologis

Proses penuaan biologis dihubungkan dengan perubahan dalam sel-sel tubuh.

Terdapat tiga teori penuaan ditinjau dari sudut biologis, yaitu:

1. Teori error catastrophe

Kesalahan susunan asam amino dalam protein tubuh mempengaruhi sifat

khusus enzim untuk sintesis protein, sehingga terbentuk enzim yang salah,

sebagai reaksi dan kesalahan-kesalahan yang lain yang berkembang secara

eksponensial dan akan menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah

mengakibatkan fungsional sel menurun sehingga terjadi kerusakan sel dan

mempercepat kematian sel (Darmojo, 2009).


2. Teori pesan yang berlebih-lebihan (redundant message)

Manusia memiliki DNA yang berisi pesan yang berulang-ulang atau berlebih-

lebihan yang menimbulkan proses penuaan.

3. Teori imunologi

Teori ini menekankan bahwa lansia yang mengalami pengurangan

kemampuan mengenali diri sendiri dan sel-sel asing atau penganggu, sehingga

tubuh tidak dapat membedakan sel-sel normal dan tidak normal, dan akibatnya

antibodi menyerang kedua jenis sel tersebut sehingga muncul penyakit-

penyakit degeneratif

2.4.2 Batasan Usia Lanjut

Mengenai kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara

memuaskan. Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan

umur. Batasan usia ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi,

masih banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai

batasan usia ini antara lain;

1. WHO dalam Fatmah (2010) menetapkan batasan usia lansia adalah kelompok

usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan (middle/young elderly), orang

dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly), umur 75-90 tahun disebut tua

(old), umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old).

2. Departemen kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut:

a. Virilitas (prasenium): masa persiapan usia lanjut yang menampakan

kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)


b. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia

lanjut dini (usia 60-64 tahun).

c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai macam penyakit

degeneratif (usia diatas 65 tahun).

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Fungsi
Faktor fungsi Kognitif: 1. ↑ kadar
neuroprotective
1. Asupan Zat Gizi neurotropin
Downregulasi
a. Mikronutrien 2. ↑ kebugaran
faktor neurotoksik
b. Makronutrien tubuh
(C-reactive,
c. Pola diet 3. ↓ depresi
kortisol,
2. Kadar 4. vaskularisasi
interleukin-6, dan
Homosistein 5. ↑ persediaan
agen inflamasi
3. Aktivitas Fisik nutrisi otak
lainnya) Fungsi
4. Umur
5. Jenis Kelamin Kognitig
6. Tingkat
Pendidikan
7. Kebiasaan Tidur REM: Membantu
Merokok Perubahan penyimpanan
8. Kualitas Tidur aliran darah memori dan
serebral, pembelajaran
peningkatan
aktivitas
kortikal,
peningkatan
konsumsi
oksigen, dan
pelepasan
epinefrin

Sumber: Wreksoatmodjo, (2014).


2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan

dilakukan.

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kualitas tidur
Fungsi Kognitif
Aktivitas fisik

2.7 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara dari penelitian yang

kebenarannya masih harus diteliti lebih lanjut (Arikunto, 2010). Berdasarkan

kerangka kerja diatas penulis mengajukan hipotesis yaitu:

Hipotesa Alternatif (Ha):

1. Ada hubungan kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan

2. Ada hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan.

Hipotesa Nol (Ho):

1. Tidak ada hubungan kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan


2. Tidak ada hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia di Panti

Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dan aktivitas fisik dengan

fungsi kognitif pada lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar

Lampung Selatan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada November 2020 di Panti Jompo Tresna Werda

Bhakti Yuswa Natar Lampung Selatan.

3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan

menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional (Potong

lintang) adalah suatu penelitian dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada saat itu (point time approach).

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Populasi

46
penelitian adalah semua lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar

Lampung Selatan sejumlah 76 orang.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek peneliti yang

dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi

yang diteliti Penentuan besarnya sampel peneliti menggunakan total sampling

yaitu semua lansia di Panti Jompo Tresna Werda Bhakti Yuswa Natar Lampung

Selatan sejumlah 76 orang.

3.4.3 Teknik Sampling

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik total

sampling yaitu mengambil seluruh populasi yang tersedia.

Dengan kriteria inklusi:

a. Usia mulai 60 tahun ke atas

b. Lanjut usia yang dapat melihat, mendengar dan berbicara

c. Bersedia menjadi responden

Kriteria Eksklusi:

a. Memiliki gangguan psikiatrik seperti, demensia, delirium, amnestik

b. Memiliki riwayat trauma kepala seperti, komosio serebri,kontusio serebri,

fraktura basis kranii.

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen/terikat pada penelitian ini adalah fungsi kognitif.


3.5.2 Variabel Independen

Variabel independent/bebas pada penelitian ini adalah aktivitas fisik dan

kualitas tidur.

3.6 Definisi Operasional

Untuk lebih memahami dan menyamakan pengertian maka pada penelitian

ini perlu disusun beberapa definisi operasional seperti berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Definisi Cara Ukur Kategori/ Hasil Skala


No Variabel Alat Ukur Ukur
Operasional Ukur
Variabel Dependen
1 Fungsi kognitif Suatu proses mental MMSE Test 0 : Normal (24-30) Ordinal
manusia yang 1 : Gangguan (<24)
meliputi perhatian
persepsi, proses
berpikir,
pengetahuan dan
memori
Variabel Independen
2 Aktivitas Fisik Setiap pergerakan IPAQ Wawancara 0: Ringan (<600 Ordinal
tubuh akibat (Internation METmenit/minggu)
aktivitas otot-otot al Physical 1: Sedang (600-
skeletal yang 3000 MET
mengakibatkan Activity menit/minggu)
pengeluaran energi Questionnai 2: Berat (≥3000
re) METmenit/minggu)
Pittsburgh Wawancara 0: Kualitas tidur
3 Kualitas tidur Skor yang diperoleh Sleep baik: ≤ 5 Ordinal
dari responden yang 1: Kualitas tidur
Quality
telah menjawab buruk: > 5
pertanyaan- Index
pertanyaan pada (PSQI),
PSQI, yang terdiri
dari 7(tujuh)
komponen, yaitu
kualitas tidur
subyektif, latensi
tidur, durasi tidur,
efisiensi tidur
sehari-hari,
gangguan tidur,
penggunaan obat
tidur, dan disfungsi
aktivitas siang hari
3.7 Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini sumber data yang di gunakan adalah data primer,

yaitu data yang diperoleh secara langsung terhadap responden dengan

menggunakan MMSE, Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), IPAQ

(International Physical Activity Questionnaire).

3.8 Etika Penelitian

Tujuan penelitian harus etik, dalam arti hak subyek penelitian dan yang

lainnya harus dilindungi (Nursalam, 2012). Beberapa prinsip dalam pertimbangan

etik meliputi: bebas eksplorasi, kerahasiaan, bebas dari penderita, bebas menolak

menjadi responden dan, perlu surat persetujuan (informed consent). Sebelum

dilakukan penelitian perlu mengajukan permohonan izin kepada pihak Kepala

Panti Jompo dan subyek yang akan diteliti dengan berpedoman pada prinsip etik.

3.7.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan)

Informed consent adalah pengakuan atas hak autonomy responden, yaitu hak

untuk dapat menentukan sendiri apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya

(Arikunto, 2010). Lembar persetujuan ini akan diberikan kepada setiap responden

yang menjadi subyek penelitian dengan memberikan penjelasan tentang maksud

dan tujuan dari penelitian serta menjelaskan akibat-akibat yang akan terjadi bila

bersedia menjadi subyek penelitian. Apabila responden tidak bersedia maka

peneliti wajib menghormati hak-hak responden tersebut.

3.7.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Anonimity adalah tindakan merahasiakan nama peserta terkait dengan

partisipasi mereka dalam suatu objek riset (Arikunto, 2010). Pada penelitian ini
kerahasiaan identitas subjek sangat diutamakan, sehingga peneliti sengaja tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data.

3.7.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset

(Alimul Azis, 2012). Pada penelitian ini setelah data dikumpulkan dan

didokumentasikan, lembar observasi akan dimusnahkan dengan cara dibakar.

3.8 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan:

1. Editing

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah peneliti melakukan

pengecekan terhadap isian dari instrument apakah telah diisi secara

lengkap, dan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.

2. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Untuk mempermudah pada saat analisis data

dan juga mempercepat pada saat entry data.

3. Proccessing

Pemprosesan data dilakukan dengan cara meng-Entry data dari lembar

observasi ke paket program komputer.

4. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di–Entry

apakah ada kesalahan atau tidak.


3.9 Analisa Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa secara

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel

dependen dan variabel independent. Data yang terkumpul dalam penelitian

ini akan diolah dengan menggunakan komputer. Pada data kategorik

peringkasan data hanya menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran

persentase atau proporsi (Hastono, 2007).

2. Analisis Bivariat

Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan dianalisis

menggunakan perangkat lunak computer.

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak komputer.

dapat dilihat kemaknaan hubungan antara 2 variabel, yaitu:


a. Jika probabilitas (p value) ≤ 0.05 maka bermakna/signifikan, berarti

ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan

variabel dependen atau hipotesis (Ho) ditolak

b. Jika probabilitas (p value) > 0.05 maka tidak bermakna/signifikan,

berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel independen

dengan variabel dependen, atau hipotesis (Ho) diterima.

Dalam bidang kesehatan untuk mengetahui derajat hubungan yang

beresiko relatif (RR) dan Odds ratio (OR). Nilai OR digunakan untuk jenis

penelitian cross sectional dan case control. Penelitian ini menggunakan

OR karena merupakan jenis penelitian cross sectional (Hastono, 2007).


DAFTAR PUSTAKA

Chenitz, WC, Stone, JT, Salisbury, SA 1991, Clinical Gerontological Nursing: A


Guide to Advanced Practice, W. B. Saunders Company, Philadelphia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008, Laporan Riset Kesehatan Dasar


Tahun 2007 Provinsi Jawa Timur<www.depkes.co.id>.

Fatmah 2010, Gizi Usia Lanjut, Erlangga, Jakarta.


Fayers, PM 2005, “Which Mini-Mental State Exam Items Can be Used to Screen
for Delirium and Cognitif Impairment?”, Journal of Pain and Symptom
Management, vol. 30, hal. 41-50.

Ferrini, AF & Ferrini, RL 2008, Health in the Later Years, 4 Edition, McGraw-
th

Hill, Boston.
Folstein, MF, Crum, RM, Anthony, JC, Bassett, SS 1993, “Population Based
Norm for the Mini-mental State Examination by Age and Educational
Level, JAMA, vol. 91, hal. 269-283.
Folstein, MF, Folstein SE, & McHugh PR 1975, “Mini-Mental State: A Practical
Method for Grading the Cognitive State of Patients for the Clinician”, J
Psychiatr Res, vol. 12, hal. 189-198.

Gallo, J 1998, Buku Saku Gerontologi, Edisi 2, EGC, Jakarta.

Ginsberg, L 2008, Lecture Notes: Neurologi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hannafort, C 1995, Smart Moves: Why Learning is Not All in Your Head, Great
Ocean Publisher, Virginia.

Isaacs, A 2005, Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik,


Edisi 3, EGC, Jakarta.
Katz, S & Akpom, A 1976, “A Measure of Primary Sociobiological Functions”.
Int J Health Sci, vol. 6, hal. 493.
Kuczynski, B, Jagust, W, Chui, HC., Reed, B 2009, “An Inverse Association of
Cardiovascular Risk and Frontal Lobe Glucose Metabolism”, Neurology,
vol. 72, hal. 738–743.

Kusumoputro, S dan Lily D S. 2006. Old Age Or Disease? Proses Otak Menjadi
Tua, Sehat Atau Bermasalah?. Jakarta: UI Press.
Martono, HH & Pranarka, K (ed.) 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geriatri
(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 4, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

McGilton, KS 2007, Guideline Recommendation to Improve Dementia Care,


<http://www.nursingcenter.com/library/journalarticleprint.asp?Article_ID
=712124>.
Naugle, RI & Kawczak, K 1989, “Limitations of the Mini-Mental State
Examination”, Cleve Clin J Med, vol. 56, hal. 277-281.

Nugroho, W 2008, Keperawatan Gerontik dan Geriatrik, EGC, Jakarta.

Nurcahyanto, H 2011, “Hubungan Peran Petugas Panti yang Bukan Perawat


dengan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Sehari-hari Lansia”. Skripsi
Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, tidak dipublikasikan.

Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Edisi 2, Salemba Medika, Jakarta.
Petersen, RC 2011, “Mild Cognitive Impairment”, The New England Journal of
Medicine, vol. 364, hal. 2227-2234.

Pieter, HZ & Namora, L 2010, Pengantar Psikologi dalam Keperawatan,


Kencana, Jakarta.
Pisani, MA dkk 2003, “Under-recognition of Preexisting Cognitive Impairment
by Physicians in Older ICU Patients”, Chest, vol. 124, hal. 2267-2274.

Pranarka, K 2006, Penerapan Geriatrik Kedokteran Menuju Usia Lanjut yang


Sehat,
<http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/02/kRISPRANAKA.p
df>.
Pratikwo, S, Pietojo, H, Widjanarko, B 2006, “Analisis Pengaruh Faktor Nilai
Hidup, Kemandirian dan Dukungan Keluarga terhadap Perilaku Sehat
Lansia di Kelurahan Medono Kota Pekalongan”, Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 2.

Putri, IH 2011, Hubungan Kemandirian dan Dukungan Sosial dengan Tingkat


Stres Lansia, Skripsi Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rendah 2004,
<http://www.lef.org/protocols/neurological/mild_cognitive_impairment_0
1.htm>,
Sala, D, Turnbull, O, Beschin, N & Perini, M 2002, “Orientation Agnosia in
Pentagon Copying”, J Neurol Neurosurg Psychiatry, vol. 72, hal. 129-130.

Saladin, K. 2007. Anatomy and Physiology the Unity of From and Function,
4thed. New York: McGraw-Hill Companies.
Semiun, Y 2006, Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian
Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang Terkait, Kanisius,
Yogyakarta.
Setyopranoto, I & Lamsudin, R 1999, “Kesepakatan Penilaian Mini-mental State
Examination (MMSE) pada Penderita Stroke Iskemik Akut di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta”, Berkala Neuro Sains, vol. 1, hal. 69-73.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Sidiarto, LD, Kusumoputro, S 1999, “Mild Cognitive Impairment (MCI)


Gangguan Kognitif Ringan”, Berkala NeuroSains, vol. 1, No. 1.
Wiyoto 2002, “Gangguan Fungsi Kognitif pada Stroke”, Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Penyakit Saraf, FK Unair, Surabaya.
Lampiran kuesioner

MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)

Nama : Jenis Kelamin:


Usia : Pekerjaan :
Riwayat Penyakit: stroke( ) DM( ) Hipertensi/darah tinggi( ) penyakit jantung( ) penyakit lainnya:…

Tanggal diperiksa :
Nil
Ite Tes ai
Nil
m ma ai
ks.
ORIENTASI

1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5 ---

2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5 ---

REGISTRASI

3 Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik, pasien 3 ---
disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1
untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan

ATENSI DAN KALKULASI


4 5 ---
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban.
Atau disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU” (nilai diberi pada
huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5 3 ---
Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas

BAHASA

6 2 ---
Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan ( pensil, arloji) Pasien

7 diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau tetapi ” 1 ---

8 Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas ini dengan tangan kanan, lipatlah menjadi 3 ---
dua dan letakkan di lantai”.

9 Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah tangan kiri anda” Pasien 1 ---

10 diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 ---

11 Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1 ---

Tototal skor
Total skor 30
INTERNATIONAL PHYSICAL ACTIVITY QUESTIONNAIRE (IPAQ)

Kami tertarik untuk mengetahui berbagai aktivitas fisik yang dikerjakan


masyarakat sebagai bagian dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan berikut akan
menanyakan kepada anda tentang waktu yang anda habiskan untuk aktif secara fisik
selama 7 hari terakhir. Jawablah tiap-tiap pertanyaan meskipun anda tidak
menganggap diri anda sebagai orang yang aktif. Pikirkanlah aktivitas yang anda
kerjakan saat anda bekerja, sebagai bagian dari pekerjaan rumah dan halaman,
perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dan dalam waktu luang anda pada saat
rekreasi, latihan, atau olahraga.
Pikirkanlah segala aktivitas fisik berat maupun sedang yang anda kerjakan
dalam 7 hari terakhir. Aktivitas fisik berat merupakan aktivitas yang membutuhkan
tenaga fisik yang kuat dan membuat tarikan nafas anda lebih cepat dari normal.
Aktivitas fisik sedang merupakan aktivitas yang membutuhkan kekuatan fisik sedang
dan membuat tarikan nafas anda sedikit lebih cepat daripada normal.

BAGIAN 1: AKTIVITAS FISIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN


PEKERJAAN
Bagian pertama berikut tentang pekerjaan anda, termasuk pekerjaan yang digaji,
bercocok tanam, pekerjaan sukarela, serta pekerjaan lainnya yang tidak dibayar yang
anda kerjakan di luar rumah. Perlu diketahui, jangan memasukkan pekerjaan yang anda
kerjakan di dalam maupun di sekitar rumah seperti pekerjaan sehari-hari dalam rumah,
pekerjaan di pekarangan rumah, perawatan secara umum, perawatan rumah dan
keluarga, dll. Hal tersebut akan ditanyakan pada Bagian 3.

1. Apakah akhir-akhir ini anda mempunyai pekerjaan yang digaji atau


melakukan pekerjaan apapun yang tidak dibayar di luar rumah?
a) Ya
b) Tidak ada → Lanjut ke BAGIAN 2: TRANSPORTASI

Pertanyaan selanjutnya tentang aktivitas fisik yang anda kerjakan selama


7 hari terakhir sebagai bagian dari pekerjaan yang dibayar maupun yang tidak
dibayar. Tidak termasuk perjalanan berangkat dan pulang ke tempat kerja. Pikirkan
hanya aktivitas fisik yang anda kerjakan minimal 10 menit sekali waktu.
2. Selama 7 hari terakhir, berapa hari anda melakukan aktifitas fisik berat
seperti mengangkat benda-benda berat, mencangkul/menggali lubang, melakukan
pekerjaan tukang yang berat, atau naik turun tangga gedung/bangunan sebagai bagian
dari pekerjaan anda? Hanya pikirkan tentang aktivitas fisik yang Anda lakukan
setidaknya 10 menit sekali waktu.
a) ….. Hari/ minggu
b) Tidak ada pekerjaan yang memerlukan aktivitas fisik berat → Lanjut ke
pertanyaan no.4
3. Berapa lama waktu biasanya anda habiskan dalam sehari untuk melakukan aktivitas
fisik berat sebagai bagian dari pekerjaan anda (pertanyaan no. 2)?
a) ……menit/hari

4. Lagi, pikirkanlah hanya aktivitas fisik yang anda kerjakan selama paling tidak 10
menit sekali waktu. Selama 7 hari terakhir berapa hari anda melakukan aktivitas
fisik sedang seperti mengangkat benda ringan sebagai bagian dari pekerjaan anda?
Tidak termasuk berjalan.
a) ……. Hari/minggu
b) Tidak ada pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik sedang → Lanjut ke
pertanyaan no.6

5. Berapa banyak waktu yang biasa anda habiskan pada satu hari untuk melakukan
aktivitas fisik sedang sebagai bagian dari pekerjaan anda (pertanyaan no. 4)?
a) ……. Menit per hari

6. Selama 7 hari terakhir, berapa hari anda berjalan selama minimum 10 menit
sebagai bagian dalam pekerjaan anda? Tidak termasuk berjalan dalam rangka
berangkat ke ataupun pulang dari tempat kerja
a)……hari/ minggu
b) Tidak ada waktu berjalan yang berhubungan dengan pekerjaan→ Lanjut ke
pertanyaan no. 8

7. Berapa lama waktu biasanya anda habiskan untuk berjalan pada hari- hari tersebut
sebagai bagian dari pekerjaan anda (pertanyaan no. 6)?
a) ……. Menit per hari
BAGIAN 2: AKTIVITAS FISIK DALAM TRANSPORTASI
Pertanyaan berikut tentang bagaimana anda melakukan perjalanan dari dan ke suatu
tempat, termasuk tempat kerja, toko, pasar, dsb selama 7 hari terakhir, minimum 10
menit.

8. Selama 7 hari terakhir, berapa hari anda melakukan perjalanan dengan


kendaraan bermotor seperti kereta api, bis, mobil, atau angkot?
a) ……. hari per minggu
b) Tidak ada perjalanan dengan kendaraan bermesin → Lanjut ke pertanyaan
no. 10

9. Berapa lama waktu biasanya anda habiskan untuk perjalanan dengan kereta api,
bis, mobil, angkot, atau jenis kendaraan bermotor lainnya pada hari-hari tersebut?
Berapa lama anda melakukan aktivitas tersebut pada no. 8?
a)….Menit/ hari

10. Selama 7 hari terakhir, berapa hari anda bersepeda selama minimum 10
menit sekali waktu saat bepergian dari satu tempat ke tempat lain Berapa hari anda
bersepeda saat bepergian dari satu tempat ke tempat lain?

a) ……. hari per minggu

b) Tidak ada bersepeda dari satu tempat ke tempat lain→ Lanjut ke pertanyaan no. 12

11. Berapa lama anda melakukan aktivitas tersebut pada no. 10?
a) ……. Menit per hari

12. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari kamu berjalan selama setidaknya 10
menit sekali waktu untuk pergi dari satu tempat ke tempat lainnya?
a)…..hari per minggu
b) Tidak ada → Lanjut ke pertanyaan no. 14

13. Berapa banyak waktu kamu habiskan buat berjalan dari satu tempat ke tempat
lain tsb (pertanyaan no. 12)?
a)…….Menit per hari

BAGIAN 3. PEKERJAAN RUMAH, PERAWATAN RUMAH, DAN


PERAWATAN KELUARGA.
Bagian berikut tentang aktivitas fisik yang anda kerjakan di dalam maupun di
sekitar rumah, misalnya melakukan pekerjaan rumah, berkebun, merawat halaman,
merawat keluarga, serta pekerjaan rumah lainnya. Pikirkan tentang aktivitas fisik
yang anda lakukan selama setidaknya 10 menit dalam sekali waktu selama 7 hari
terakhir.

14. Pikirkan tentang aktivitas fisik yang anda lakukan setidaknya selama
10 menit dalam sekali waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari anda
melakukan aktivias fisik berat seperti mengangkat benda-benda berat, memotong
kayu, atau mencangkul di kebun?
a) ……. hari per minggu
b) Tidak melakukan aktivitas fisik berat→Lanjut ke pertanyaan no. 16

15. Berapa banyak waktu biasanya anda habiskan untuk aktivitas fisik berat pada hari-
hari tersebut (pertanyaan no. 14)?
a) ……. Menit per hari

16. Lagi, pikirkan hanya aktivitas fisik yang anda kerjakan selama minimum 10
menit pada sekali waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa hari anda melakukan
aktivitas fisik sedang seperti mengangkat benda- benda ringan, menyapu halaman,
membersihkan jendela, menyiram tanaman di kebun?

a) ……. hari per minggu

b) Tidak ada →Lanjut ke pertanyaan no. 18

17. Berapa lama biasanya anda melakukan aktivitas sedang pada hari- hari
tersebut (pertanyaan no. 16)?
a) ……. Menit per hari

18. Sekali lagi, pikirkan hanya aktivitas fisik selama minimal 10 menit dalam sekali
waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari anda melakukan aktivitas fisik
sedang seperti mengangkat benda-benda ringan, membersihkan jendela dan
menyapu/mengepel lantai di dalam rumah?
a) ……. hari per minggu
b) Tidak ada aktivitas fisik sedang di dalam rumah →Lanjut ke
pertanyaan no. 20

19. Berapa lama waktu anda habiskan untuk sehari-hari anda melakukan aktivitas
fisik sedang di dalam rumah tsb (pertanyaan no. 18)?
a) ……. Menit per hari

BAGIAN 4: REKREASI, OLAH RAGA, DAN AKTIVITAS FISIK DI


WAKTU SANTAI
Bagian ini tentang aktivitas fisik yang anda kerjakan selama 7 hari terakhir
tentang rekreasi, olah raga, atau hiburan lain di waktu santai. Aktivitas fisik yang
sudah anda sebutkan pada pertanyaan-pertanyaan sebelumnya jangan disebutkan
lagi. Bagian ini tentang aktivitas fisik yang anda kerjakan selama 7 hari terakhir
minimum 10 menit sekali waktu tentang rekreasi, olah raga, atau hiburan lain di
waktu santai. Aktivitas fisik yang sudah anda sebutkan pada pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya jangan disebutkan lagi.

20. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari anda melakukan aktivitas berjalan
minimum 10 menit pada saat santai anda?

a) ……. hari per minggu

b) Tidak ada aktivitas berjalan pada waktu santai →Lanjut ke pertanyaan no. 22

21. Berapa lama waktu anda biasanya habiskan untuk jalan di waktu santai
tersebut (pertanyaan no. 20?
a) ……. Menit per hari

22. Pikirkan hanya aktivitas fisik yang anda kerjakan selama minimum 10 menit
sekali waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari anda melakukan
aktivitas fisik berat seperti aerobic, lari, naik sepeda dengan kencang, berenang
kencang, dalam waktu santai?

a) ……. hari per minggu

b) Tidak ada aktivitas fisik berat selama waktu santai → Lanjut ke


pertanyaan no. 24

23. Berapa lama anda melakukan aktivitas fisik berat di atas (pertanyaan no. 22)?
a) ……. Menit per hari

24. Lagi, pikirkan hanya aktivitas fisik yang anda kerjakan minimum 10 menit dalam
sekali waktu. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak hari anda melakukan aktivitas
fisik sedang seperti bersepeda dengan santai, berolah raga ringan, berenang dengan
santai selama waktu senggang anda?

a) ……. hari per minggu

b) Tidak ada aktivitas fisik sedang selama waktu senggang → Lanjut ke


pertanyaan no. 26

25. Berapa lama anda melakukan aktivitas tersebut pada no. 22?
a) ……. Menit per hari

BAGIAN 5: WAKTU UNTUK DUDUK


26. Selama 7 hari terakhir, berapa lama waktu anda gunakan untuk duduk dalam hari-
hari kerja anda? (di rumah maupun di tempat kerja)
a) ……. Menit per hari

27. Selama 7 hari terakhir, berapa banyak waktu anda habiskan untuk duduk
selama hari libur anda?
a) ……. Menit per hari
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

PETUNJUK

Pertanyaan berikut ini berkaitan dengan kebiasaan tidur yang biasa anda lakukan selama
sebulan lalu. Jawaban dari anda akan mengindikasikan tanggapan yang paling akurat pada mayoritas
sehari-hari atau malam-malam yang anda lalui sebulan lalu. Mohon anda menjawab semua pertanyaan.
A. Jawablah pertanyaan berikut ini! Selain pertanyaan no 1 dan 3 Berikan tanda
(√) pada salah satu jawaban yang anda anggap paling sesuai!
1 Jam berapa biasanya an
. da
tidur pada malam hari?
≤15 me 16- 31- >60 meni
nit 30 menit 60 menit t
2 Berapa lama (dalam menit)
. yang anda perlukan untuk
dapat
mulai tertidur setiap malam?
Waktu Yang Dibutuhkan
Saat
Mulai Berbaring Hing
ga
Tertidur
3 Jam berapa biasanya an
. da
bangun di pagi hari?
>7 ja 6-7 jam 5-6 jam <5 jam
m
4 Berapa jam lama tidur anda
B. . pada malam hari? (hal ini Berikan tanda (√)
mungkin berbeda dengan pada salah satu
jawaban yang
jumlah jam yang anda
anda
habiskan ditempat tidur) Juml anggap paling
5 ah
Selama sebulan ≥ sesuai!
. Jam Tidurterakhir
Per Malam 3x
seberapa sering Tidak 1x 2x seming
anda perna seminggu semingg gu
mengalami hal di bawah ini: h u
a. Tidak dapat

tidur di
malam hari dalam wak
tu
30 menit
b. Bangun

tengah malam
atau dini hari
c. Harus bangun untuk
ke
kamar mandi
d. Tidak dapat bernaf
as
dengan nyaman
e. Batuk atau mendengk
ur
keras
f. Merasa kedinginan
g. Merasa kepanasan
h. Mimpi buruk
i. Merasakan nyeri
j. Tolong jelaskan penyebab
lain yang
belum
disebutkan di
atas yang
menyebabkan
anda terganggu
di malam hari
dan seberapa
sering anda mengalaminya?
a. ………
6 Selama sebulan
. terakhir,
seberapa sering
anda
mengkonsumsi

obat
tidur(diresepkan oleh
dokter
ataupun
obat bebas) untuk
membantu anda tidur?
7 Selama sebulan
.
terakhir
seberapa sering
anda merasa
terjaga atau mengantuk keti
ka
melakukan
aktifitas mengemudi,
makan atau
aktifitas sosial
lainnya?
Sang Cuk Cuk Sang
at up up at
Baik baik buru buru
k k
8 Selama sebulan
. terakhir,
bagaimana
anda menilai kualitas
tidur anda secara keseluruhan?
Hany
Tidak A Masal Masal
a
da ah ah
Masal
Masala Seda Besa
ah
h ng r
Kecil
9 Selama sebulan terakhir,
.
adakah masalah yang anda
hadapi
untuk bisa
berkonsentrasi atau
menjaga rasa
antusias untuk
menyelesaikan
suatu
pekerjaan/tugas?

Anda mungkin juga menyukai