Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan kajian pustaka berupa konsep teori terkait

bidang penelitian yang akan menjadi landasan dan rujukan. Konsep teori

tersebut meliputi konsep penyakit diabetes melitus, konsep dasar self care,

konsep self care pada penderita diabetes melitus, serta kerangka teori yang

akan dijadikan acuan dalam penelitian ini.

A. Tinjauan Teori

1. Konsep Diabetes Melitus

A. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai

kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh

darah disertai lesi membrane basalis dalam pemeriksaan dengan

mikroskop elektron (Mansjoer, 1999 : 580).

Diabetes melitus tipe-2 adalah jenis yang paling umum dari

diabetes melitus. Diabetes tipe-2 ditandai dengan cacat progresif dari

fungsi sel-β pankreas yang menyebabkan tubuh kita tidak dapat

memproduksi insulin dengan baik. Diabetes mellitus tipe-2 terjadi

ketika tubuh tidak lagi dapat memproduksi insulin yang cukup untuk

mengimbangi terganggunya kemampuan untuk memproduksi

insulin. Pada diabetes mellitus tipe-2 tubuh kita baik menolak efek

dari insulin atau tidak memproduksi insulin yang cukup untuk


mempertahankan tingkat glukosa yang normal.(Kerner and Brückel,

2014).

DM merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai

dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan

produksi insulin atau gangguan kinerja insulin atau karena kedua-

duanya. Penyakit ini bersifat kronik bahkan seumur hidup. Sampai

sekarang belum ada obat yang dapat mengobati penyakitnya, yang

ada saat ini hanyalah usaha untuk mengendalikan glukosa darah

seperti glukosa darah pada orang normal (Suhartono, 2009).

B. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi etiologis diabetes mellitus menurut American

Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis

yaitu:

1) Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes

Mellitus/IDDM

Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi karena adanya

destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada

diabetes mellitus tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama

sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-

peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama

sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

2) Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes

Mellitus/NIDDM
Pada penderita diabetes mellitus tipe ini terjadi

hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa

masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang

merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena

terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif

karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan

mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat

mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya

glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya

glukosa. Onset diabetes mellitus tipe ini terjadi perlahan-

lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi

yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas

reseptor akan glukosa berkurang. Diabetes Mellitus tipe ini

sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3) Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes mellitus tipe ini terjadi karena etiologi lain,

misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik

endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun

dan kelainan genetik lain.

4) Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes mellitus tipe ini terjadi selama masa

kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali

pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. Diabetes mellitus gestasional berhubungan dengan

meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita diabetes

mellitus gestasional memiliki risiko lebih besar untuk

menderita diabetes mellitus yang menetap dalam jangka

waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Usia Anak-anak Remaja, dewasa
Onset Akut, severe Mild-severe
Sekresi insulin Sangat rendah Berubah-ubah
Insulin tergantung Permanen Sementara
Faktor resiko Semua ras (rendah di Afrika, Amerika,
ras/etnik Asia) Asia Pasifik

Genetik Poligenik Poligenik


Hubungan dengan Tidak Kuat
obesitas
Achantosis nigricans Tidak Ya
Autoimun Ya Tidak

Sumber : (Loghamani E, 2005)

C. Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik menurut ADA (2010) adalah jika ditemukan

gejala sebagai berikut:

1. HbA1C ≥ 6,5 %

2. Kadar Gula Darah Puasa (GDS) ≥ 126 mg/dl

3. Terdapat trias DM meliputi poliuri, polidipsi dan penurunan

BB, dan kadar Gula Darah Acak (GDA) ≥ 200 mg/dl


4. Kadar gula darah 2 jam post pandrial (PP) atau Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) 75 gr anhididrous yang dilarutkan dalam air

(standar WHO) ≥ 200 md/dl

D. Faktor-Faktor Resiko Diabetes Melitus

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Diabetes mellitus(DM),

menurut Kemenkes (2013), faktor resiko DM dibagi menjadi :

1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Usia

Perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia merupakan

faktor resiko penyebab penderita DM tipe 2 diatas usia 30

tahun. Hal tersebut karena perubahan dimulai dari tingkat sel

yang berkelanjutan pada perubahan tingkan jaringan, dan

akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi

homeostasis. Kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg% tiap

tahun saat puasa setelah seseorang mencapai usia 30 tahun dan

pada 2 jam setelah makan akan naik 6-13%. Berdasarkan hal

tersebut maka faktor utama terjadinya gangguan toleransi

glukosa dan kenaikan relevansi diabetes adalah faktor usia. 25

Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association, Soegondo

menyebutkan bahwa DM tipe 2 biasanya ditemukan pada usia

40 tahun keatas, akan tetapi pada tahun 2009 ditemukan

penderita DM dengan usia muda yaitu 20 tahun.

Kategori umur menurut Depkes. RI (2009)

1) Masa balita : 0-5 tahun


2) Masa kanak- kanak : 5-11 tahun

3) Masa remaja awal : 12-16 tahun

4) Masa remaja akhir : 17-25 tahun

5) Masa dewasa awal : 26-35 tahun

6) Masa dewasa akhur : 36-45 tahun

7) Masa Lansia Awal : 46-55 tahun

8) Masa lansia akhir : 56-65 tahun

9) Masa manula : > 65 tahun

b. Riwayat keluarga dengan DM

Menurut hugeng dan santos (2017), riwayat keluarga atau

faktor keturunan merupakan unit informasi pembawa sifat

yang berada dalam kromosom sehingga mempengaruhi

perilaku. Adanya kemiripan tentang penyakit DM yang

diderita keluarga dan kecendrungan pertimbangan dalam

mengambil keputusan adalah contoh pengaruh genetik.

c. Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram

atau pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional)

Pengaruh tidak langsung dimana pengaruh emosi

dianggap penting karena dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diet, pengobatan dan

pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol kadar gula

darahnya dapat mempengaruhi emosi penderita (Nabil, 2012).

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

a. Overweight/berat badan lebih (indek massa tubuh > 23kg/ m2)


Salah satu cara untuk mengetahui kriteria berat bdan

adalah dengan menggunakan indeks masa tubuh (IMT).

Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan body mass

index diatas, maka jika berada diantara 25-30, maka sudah

kelebe=ihan berat badan dan jika berada diatas 30 sudah

termasuk obesitas. Menurut nabil (2012), ada beberapa hal

yang dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :

1. Makan dengan porsi yang lebih kecil

2. Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk

anda untuk teman atau anggota keluarga yang lain

3. Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda

makan

4. Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack

yang lebih sehat.

b. Aktifitas fisik kurang

Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur sangat

bermanfaat bagi setiap orang karena dapat meningkatkan

kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan

fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses

penuaan. Olahraga harus dilakkan secara teratur. Macam dan

takaran olahraga berbeda menurut usia, jenis kelamin, jenis

pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika pekerjaan sehari-hari

seseorang kurang memungkinkan gerak fisik, upayakan

berolahraga secara teratur atau melakukan kegiatan lain yang


setara. Kurang gerakatau hidup santai merupakan faktor

pencetus diabetes (Nabil, 2012).

c. Merokok

Penyakit dan tingginya angka kematian (Hariadi S, 2008).

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok

dengan kejadian DM tipe (p = 0,000). Hal ini sejalan dengan

penelitian oleh Houston yang juga mendapatkan bahwa

perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi terserang DM

Tipe 2

d. Hipertensi (TD> 140/90 mmHg)

Jika terkanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja

lebih keras dan resiko untuk penyakit jantung dan diabetes

pun lebih tinggi. Sesorang dikatan memiliki tekanan darah

tinggi apabila berada dalam kisaran >140/90 mmHg. Karena

tekanan darah tinggi sering kali, sebaiknya selalu

memeriksakan tekanan darah setiap kali melakukan

pemeriksaaan rutin (Nabil, 2012).

E. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Pasien dengan DM tipe-1 sering melihatkan awitan gejala yang

eksplosif dengan polidipsi, polyuria, turunnya berat badan, polifagia,

lemah somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa

minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis,

serta dapat meninggal jika tidak ditangani dengan segera. Jika


hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,

maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan megakibatkan diuresis

osmotic yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul

rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine maka

pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan penurunan berat

badan. Akibatnya akan timbul rasa lapar yang semakin besar

(polifagia), mengeluh lelah dan mengantuk (Price, 2006).

Sedangkan pasien DM tipe-2 mungkin tidak memperlihatkan

gejala apapun dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan

darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada

hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menunjukkan

gejala polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka

tidak menderita ketoasodosis kerena pasien ini tidak mengalami

defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif (Price, 2006).

Jika teredapat gejala khas dan pemeriksaan glukosa darah

sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan.

Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga

dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM (PERKENI, 2015).

Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa

darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan

diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126

mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl (PERKENI, 2015).

F. Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi DM dibedakan menjadi 2 yaitu, komplikasi

akut dan komplikasi kronik:

1) Komplikasi akut

Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan

yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi

metabolik yang paling serius pada DM tipe-1 adalah ketosidosis

diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien

mengalami hipergilkemia dan glukosuria berat, penurunan

lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam

lemak bebas disertai pembentukan benda keton yang merupakan

awal dari DKA (Price, 2006).

2. Komplikasi kronis

Komplikasi vaskular jangka panjang ini meliputi

mikroangiopati (pembuluh darah kecil), dan makroangiopati

(pembuluh darah sedang dan besar). Mikroangiopati merupakan

lesi spesifik diabetes yang menyerang glomerulus ginjal

(nefropati diabetik), kapiler dan arteriola retina (retinopati

diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), kulit serta

otot-otot (Price, 2005)

Dalam keadaan hiperglikemia, yang terjadi adalah

penebalan dari lapisan membran dasar pembuluh darah. Hal ini

dapat terjadi karena glukosa sebagai salah satu komponennya

dapat masuk pada sel-sel membran dasar tanpa insulin. Keadaan

ini dapat mengakibatkan timbulnya mikroaneurisma pada


arteriola retina yang bisa berakhir dengsn neovaskularisasi,

perdarahan, bahkan jaringan parut. Selain itu,

hiperglikemia juga dapat meningkatkan sorbitol melalui jalur

poliol. Sehingga dapat menimbulkan katarak pada lensa mata.

Jika terjadi penimbunan sorbitol dalam jaringan saraf, maka

kegiatan metabolik sel- sel schwan akan terganggu dan

menyebabkan neuropati (Price, 2005).

Makroangiopati diabetikum yang umum terjadi adalah

aterosklerosis. Gangguannya berupa (1) penimbunan sorbitol

dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan

pembekuan darah. Akhirnya yang terjadi adalah penyumbatan

aliran darah (Price, 2005).

Jika mengenai arteri-arteri perifer maka dapat

menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang ditandai dengan

klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas. Jika

mengenai otak, maka dapat terjadi insufisiensi serebral dan

stroke. Jika mengenai arteri koronaria, maka dapat terjadi angina

dan infark miokardium (Price, 2005).

2. Konsep Self care

a. Konsep dasar Self care

Self care merupakan wujud perilaku seseorang dalam

mempertahankan kesehatan, perkembangan dan kehidupan disekitarnya

(Baker & Denyes, 2008). Teori self care menyatakan bahwa perilaku

perawatan diri merupakan sebuah pengambilan keputusan alami yang


dipengaruhi karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, dan

pendidikan; masalah seperti penyakit penyerta; dan lingkungan berupa

dukungan social. (Riegel, Dickson, & Faulkner, 2016). Self care dapat

dilihat dari 3 dimensi yaitu dimensi pemeliharaan diri (self care

maintenance), pengelolaan diri (self care management) dan kepercayaan

diri (self care confidence) (Riegel, et al, 2009).

b. Self care Diabetes Melitus

Self care DM merupakan program yang harus dijalankan

sepanjang kehidupan penderita DM. Self care bertujuan

mengoptimalkan kontrol metabolik, mengoptimalkan kualitas hidup,

serta 2 mencegah komplikasi akut dan kronis. Self care mempengaruhi

kualitas sumber daya manusia dan memiliki risiko terjadinya

komplikasi apabila tidak segera diberikan pengontrolan yang tepat.

Hal tersebut dapat diatasi apabila pasien memiliki kepatuhan,

pengetahuan, dan kemampuan melakukan perawatan diri.(Moewardi,

2017).

1. Diet Nutrisi Diabetes Mellitus

a. Definisi Diet Nutrisi Pasien Diabetes Mellitus

Diabetes melitus merupakan pengaturan pola makan bagi

penderita diabetes melitus berdasarkan jumlah, jenis, dan

jadwal pemberian makan (Sulistyowati, 2009). Prinsip diet

bagi penderita DM adalah mengurangi dan mengatur

konsumsi karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi

mekanisme pengaturan gula darah. Menjadi diabetisi sering


segera dikaitkan dengan tidak boleh makan gula. Memang

benar menaikkan gula darah namun perlu diketahui bahwa

semua makanan juga menaikkan gula darah.

Pengaturan makan (diet) merupakan komponen utama

keberhasilan pengelolaan Diabetes Melitus, akan tetapi

mempunyai kendala yang sangat besar yaitu kepatuhan

seseorang untuk menjalaninya. Prinsip pengaturan makan

pada penderita diabetes hampir sama dengan anjuran makan

untuk orang sehat masyarakat umum, yaitu makanan yang

beragam bergizi dan berimbang atau lebih dikenal dengan gizi

seimbang maksudnya adalah sesuai dengan kebutuhan kalori

dan zat gizi masing-masing individu. Hal yang sangat penting

ditekankan adalah pola makan yang disiplin dalam hal Jadwal

makan, jenis dan jumlah makanan atau terkenal dengan istilah

3 J. Pengaturan porsi makanan sedemikian rupa sehingga

asupan zat gizi tersebar sepanjang hari. Hal-hal yang penting

harus diperhatikan dalam perencanaan makan adalah

kebutuhan energi / kalori ditentukan berdasarkan umur, jenis

kelamin, berat badan, aktifitas fisik, kehamilan / menyusui.

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM di Indonesia

menetapkan empat pilar utama dalam pengelolaan DM, yaitu

edukasi, terapi nutrisi medis (diet), latihan jasmani dan

intervensi farmakologi. tetapi yang akan dilakukan dalam

pencegahan ini adalah terapi nutrisi medis (diet).


b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)/diet

Terapi Nutrisi Medis (TNM)/diet merupakan hal yang

sangat penting dalam mencegah DM, mengelola DM jika

sudah terjadi, dan mencegah atau setidaknya memperlambat

tingkat perkembangan komplikasi DM (ADA, 2008).

Perkeni (2011) juga menjelaskan ahwa penatalaksanan diet

pada penderita DM tipe 2 merupakan bagian dari

penatalaksanaan DM tipe 2 secara total. Penatalaksanaan

diet ini ditekankan pada keteraturan dalam hal jumlah

energi, jenis makanan dan jadwal makan.

Tjokopurwo (dikutip dalam Suprihatin, 2012)

mengatakan bahwa diet diabetes mellitus adalah pengaturan

makanan yang diberikan kepada penderita DM dimana diet

yang dilakukan harus tepat jumlah energi yang dikonsumsi

dalam satu hari, tepat jadwal sesuai 3 kali makan utama dan

3 kali makanan selingan dengan interval waktu 3 jam antara

makan utama dan makanan selingan serta tepat jenis yaitu

menghindari makanan yang tinggi kalori.

2. Latihan Fisik Olahraga

Tujuan utama terapi diabetes melitus adalah mencoba

menormalkan aktivitas insulin dan kadar gula darah dalam

upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta


neuropati. Tujuan terapi terapeutiknya adalah mencapai

kadar glukosa darah normal (Padila, 2012).

Sedangkan menurut Wijaya (2015) penatalaksanaan ini

mempunyai dua tujuan yaitu jangka panjang dan jangka

pendek. Tujuan jangka panjang yaitu untuk mencegah

kompilkasi DM sedangkan untuk tujuan pendeknya yaitu

untuk menghilangkan keluhan / gejala DM.

Olah raga aerobik seperti jogging, berenang, senam

kelompok dan bersepeda tepat dilakukan pada penderita DM

karena menggunakan semua otot – otot besar, pernapasan

dan jantung. Pada senam aerobik misalnya, dari variasi

gerakan - gerakan yang banyak terutama gerakan dasar pada

kaki dan jalan dapat memenuhi kriteria CRIPE (continous,

rhythmical, interval, progresif and endurance) sehingga

sesuai dengan tahapan kegiatan yang harus dilakukan.

Disamping itu senam aerobik yang dilakukan secara

berkelompok akan memberi rasa senang pada anggota dan

juga dapat memotivasi anggota yang lain untuk terus

melakukan olah raga secara kontinue dan teratur

(Sidartawan Soegondo, 1995).

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu)

selama kurang lebih 30 menit, dan sifatnya sesuai dengan

Continus, Rhytmical, Interval, Progresive, Endurance

(CRIPE) (Fatimah, 2015).


3. Monitoring Gula Darah

Self-monitoring of Blood Glucose (SMBG) merupakan

komponen yang penting dalam pengobatan diabetes melitus

modern. SMBG telah direkomendasikan untuk pasien dengan

diabetes dan penyedia pelayanan kesehatan untuk mencapai

kadar glukosa darah yang spesifik dan mencegah terjadinya

hipoglikemia (IDF, 2006). Penyandang diabetes dituntut untuk

melaksanakan berbagai pengaturan yang berkaitan dengan

pengaturan makan dan pengontrolan glukosa darah agar

metabolismenya dapat terkendali dengan baik (Sari et al,

2014).

4. Terapi farmakologi/Minum Obat DM

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan

peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan

latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan (PERKENI, 2011). Insulin juga merupakan

terapi obat jangka panjang untuk penderita DM tipe 2 karena

bertujuan untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika

dengan diet, latihan fisik, dan Obat Hipoglikemia Oral (OHO)

ketika tidak dapat menjaga gula darah dalam rentang normal.

Insulin dibutuhkan secara kontemporer selama mengalami

sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan, dan beberapa kejadian

stres pada Penderita DM tipe 2. Insulin adalah hormon yang

diproduksi oleh sel B dari pulau Langerhans di pankreas yang


terdiri dari asam amino yang tersusun dalam rantai A dan B

yang dihubungkan oleh jembatan disulfida (Sweetman, 2005).

Obat-obatan peroral yang lazim digunakan untuk pengobatan

diabetes mellitus adalah obat-obatan seperti sulfonilurea,

biguanide, inhibitor alfa-glukosidase, thiazolidindinoe,

meglitinide dan insulin yang bisa disuntikkan.

c. Faktor yang Mempengaruhi Self care

1. Umur

Umur mempunyai hubungan yang positif terhadap

perilaku self care DM. semakin meningkat usia maka akan

terjadi peningkatan dalam perilaku self care DM.

Peningkatan usia menyebabkan terjadinya peningkatan

kedewasaan/ kematangan seseorang sehingga penderita

dapat berfikir secara rasional tentang manfaat yang akan

dicapai jika penderita melakukan perilaku self care DM

secara adekuat dalam kehidupan sehari-hari (Sousa et al.,

2005)

2. Jenis Kelamin

Terdapat perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam

menerapkan perilaku self care. Penderita DM yang berjenis

kelamin laki-laki memiliki perilaku self care yang lebih

tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh

tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang dimiliki oleh

penderita DM berjenis kelamin laki-laki dibandingkan


perempuan, sehingga berpengaruh dalam melakukan

perilaku self care (Svartholm, 2010). Namun tidak terdapat

korelasi antara jenis kelamin dengan aktivitas self care DM

(Kusniawati, 2011).

3. Pendidikan

Dalam mengelola penyakit DM, pengetahuan merupakan

faktor yang penting. Sebuah studi menyatakan bahwa

kurangnya pengetahuan akan menghambat pengelolaan self

care. Sementara penderita dengan tingkat pendidikan yang

rendah akan mengalami kesulitan dalam belajar merawat

diri dengan DM. Namun banyak penelitian juga

mengungkapkan bahwa tidak terdapat korelasi antara

tingkat pengetahuan dengan aktivitas self care DM, yang

berarti belum tentu penderita dengan pendidikan tinggi akan

patuh dalam melakukan aktivitas self care DM ( Bai et al.

2009).

Pasien dengan pendidikan tinggi akan memiliki sikap

positif dan terbuka dalam menerima informasi sehingga

akan lebih aktif dalam melakukan perawatan diri seperti

aktivitas self care . dan tidak hanya membutuhkan

pendidkan saja tetapi motivasi dan dukungan dari keluarga

dan lingkungan agar dapat meningkatkan tingkat self care


yang tinggi (Husein et al 2010).

4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan juga erat kaitannya dengan kejadian DM.

Pekerjaan seseorang mempengaruhi tingkat aktivitas

fisiknya, Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas

seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan

hidupnya sehari-hari (Trisnawati, 2013).

5. Sosial Ekonomi

DM merupakan kondisi penyakit yang memerlukan

biaya yang cukup mahal sehingga akan berdampak terhadap

kondisi ekonomi keluarga terutama bagi masyarakat

golongan ekonomi rendah. Masyarakat golongan ekonomi

rendah, mereka tidak dapat melakukan pemeriksaan

kesehatan secara kontinu disebabkan karena keterbatasan

biaya, sedangkan penderita DM harus melakukan kunjungan

ke pelayanan kesehatan minimal 1-2 minggu sekali untuk

memantau kondisi penyakitnya agar terhindar dari

komplikasi potensial yang dapat muncul akibat DM

(Nwanko et al, 2010). Sosial ekonomi berpengaruh terhadap

perilaku self care DM (Menurut Bai et al, 2009).

6. Lamanya Menderita DM

Penderita DM yang lebih dari 11 tahun dapat

mempelajari perilaku self care DM berdasarkan pengalaman

yang diperolehnya selama menjalani penyakit tersebut


sehingga penderita dapat lebih memahami tentang hal-hal

terbaik yang harus dilakukannya untuk mempertahankan

status kesehatannya, salah satunya dengan cara melakukan

perilaku self care dalam kehidupannya sehari-hari dan

melakukan kegiatan tersebut secara konsisten dan penuh

rasa tanggung jawab. Durasi DM yang lebih lama pada

umumnya memiliki pemahaman yang adekuat tentang

pentingnya perilaku self care sehingga dapat dijadikan

sebagai dasar bagi mereka untuk mencari informasi yang

seluasluasnya tentang perawatan DM melalui berbagai

cara/media dan sumber informasi lainnya (Bai etal, 2009).

7. Motivasi

Motivasi merupakan suatu kondisi internal yang

membangkitkan seseorang untuk bertindak, mendorong

untuk mencapai tujuan tertentu, serta membuat seseorang

tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. Motivasi dapat

menimbulkan suatu perubahan energi dalam diri seseorang

dan pada akhirnya akan berhubungan langsung dengan

kejiwaan, perasaan, dan emosi untuk bertindak dan

melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan , kebutuhan, dan

keinginan tertentu. Motivasi pada pasien DM merupakan

faktor penting yang mampu memberikan dorongan kuat bagi

klien DM untuk melakukan aktivitas self care DM, sehingga

gula darah dapat terkontrol secara optimal dan kejadian


komplikasi dapat dicegah. Penelitian menunjukkan bahwa

motivasi merupakan salah satu faktor utama self care pada

DM (Kisokanth G, 2014). Kusniawati (2011) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

motivasi terhadap self care DM, semakin tinggi motivasi

klien maka aktivitas self care DM klien semakin meningkat.

8. Aspek Emosional

Masalah emosional pada pasien DM berupa stres, rasa

khawatir tentang penyakit dan masa depannya, bersikap

sedih, memikirkan komplikasi yg akan muncul, perasaan

takut, tidak semangat dengan program pengobatan, bosan

dengan perawatan rutin yang dijalani, serta khawatir

terhadap perubahan kadar gula darah. Aspek emosional yang

dialami pasien DM merupakan hal yang akan mempengaruhi

aktivitas self care DM. Klien akan dengan mudah

melakukan perawatan mandiri dalam kehidupannya sehari-

hari jika klien menerima dan memahami segala kondisi yang

terjadi akibat penyakitnya. Oleh sebab itu diperlukan

penyesuaian emosional yang tinggi untuk mencapai

keberhasilan program perawatan bagi pasien DM sehingga

klien dapat beradaptasi dengan kondisi penyakit dan

menerima perawatan rutin yang harus dijalaninya (Soegondo

S, 2009).

9. Dukungan Sosial
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi

antara self care DM dengan dukungan sosial. Semakin

banyak dukungan sosial yang didapatkan makan semakin

banyak kegiatan self care yang dilakukan (Vocilia M, 2015).

10. Komunikasi Petugas Kesehatan

Komunikasi merupakan poin penting dalam perawatan

diri pasien DM. Pemberian informasi dan pendidikan

kesehatan tentang self care yang diberikan akan berpengaruh

terhadap tingkat self care klien. Semakin tinggi frekuensi

petugas kesehatan memberikan informasi maka aktivitas self

care semakin meningkat. Komunikasi petugas kesehatan

merupakan faktor yang paling dominan berkontribusi

terhadap self care (Kusniawati, 2011).

d. Pengukuran Self care Diabetes Melitus

Toobert D.J. et al pada tahun 2000 mengembangkan alat ukur

aktivitas self care pada diabetes yang dinamakan (The Summary of

Diabetes Self-Care Activities/ SDSCA). Aktivitas yang termasuk

dalam self care tersebut adalah pengaturan pola makan (diet), latihan

fisik (olahraga), pemantauan kadar gula darah, pengobatan.

(Kusniawati, 2011). Kuesioner ini telah dipakai oleh beberapa

peneliti dari seluruh dunia seperti Amerika Serikat, Spayol, Korea

serta Portugis dan dapat digunakan untuk melakukan penelitian

tentang self care DM. Pada penilitian ini menggunakan kuesioner


SDSCA yang terdiri atas 5 komponen Self care yang terbagi menjadi

15 pertanyaan. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala hari yaitu

0-7 hari terkait aktivitas self care klien DM.

B. Kerangka Teori
Faktor Resiko:
Tidak dapat dimodifikasi :
Usia
Riwayat keluarga dengan DM Self care
Pernah menderita DM gestasional Pengaturan pola makan
Dapat dimodifikasi : Latihan fisik
Over weight/berat badan lebih Minum obat
Monitoring kadar gula darah
Aktifitas fisik kurang
Merokok
Hipertensi

Faktor yang mempengaruhi


self care diabetes melitus:
Usia
Jenis kelamin
Diabetes Melitus Pendidikan
Pekerjaan
Sosial ekonomi
Lamanya menderita DM
Motivasi
Komplikasi: Aspek emosional
Bersifat akut Dukungan sosial
Bersifat kronik Komunikasi petugas
kesehatan

Gambar 1. Kerangka Teori Gambaran Self care Penderita Diabetes

Melitus
C. Kerangka Konsep

SelfCareManagement Karakteristik Responden :


Diabetes Melitus (DM)
Usia
Jenis kelamin
Pengaturan pola makan Pendidikan
(diet) Pekerjaan
Latihan fisik (olahraga) Sosial ekonomi
Minum obat Lamanya menderita DM
Pemantauan glukosa darah Motivasi
Aspek emosional
Dukungan sosial
Komunikasi petugas
kesehatan
Gambar 2. Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai