Anda di halaman 1dari 3

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fenomena metroseksual yang biasa di jumpai di kota-kota besar di Indonesia, kini
keberadaanya sudah menyebar luas ke kota-kota kecil dalam berbagai macam kelompok
seperti mahasiwa. Metroseksual terkenal dengan laki-laki yang sangat menjaga
penampilannya di berbagai sisi. Dari penampilan laki-laki metroseksual dapat menjadi
simbol awal yang memilki makna sebagai sebuah komunikasi yang dinamakan interaksi
simbolik. Perspektif Interaksionisme simbolik memiliki inti pembahasan tentang diri
(self). Diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri sendiri dengan orang lain itu
dalam konteks yang lebih luas. Mereka akan membangun makna tentang kelompok
mereka sekaligus membangun makna mengenai dirinya (self). Disinilah peran pemaknaan
Subyektif dan Obyektif muncul manakala terjadi kontak atau interaksi sosial di dalam
lingkungan laki-laki metroseksual (Rachmadani 2016).
Kontruksi diri laki-laki metroseksual pada penelitian ini merupakan bentuk
kepedulian diri akan pentingnya penampilan yang mereka tunjukkan terhadap lingkungan
sekitarnya sebagai bentuk kepuasan diri untuk sebuah kesenangan pribadi yang efeknya
medapat pujian masyarakat dari apa yang mereka kenakan. Gaya hidup metroseksual
sebenarnya didasari dengan perkembangan zaman dan trend. Dengan perkembangan yang
terus maju laki-laki metroseksual merasa perlu mengimbangi dirinya dengan lingkungan
yang semakin metropolis. Alhasil kehidupan itu membentuk mereka menjadi
Konsumerisme dimana faktor pendukung yang menjadikan mahasiswa menjadi laki-laki
metroseksual, diantaranya karena lingkungan pertemanan, pekerjaan dan iklan ataupun
informasi di media sosial melalui influencer role mode fashion yang mereka ikuti.
Dengan tampilan yang fashionable berdasarkan trend style metroseksual, rapi,
bersih, dan memiliki aroma tubuh wangi mereka mampu menarik perhatian masyarakat
maupun lawan jenisnya, tak heran jika mereka sangat suka menjadi pusat pehatian dan itu
pun sebuah hal yang mutlak mempengaruhi tingkat kepercayaan diri mereka. Terutama
ketertarikan mereka terhadap barang-barang branded asing yang juga mempengaruhi
percaya diri mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Kemudian, nilai-
nilai gaya hidup yang laki-laki metroseksual lakukan dapat dilihat dengan inginnya
mereka mendapatkan status sosial dari masyarakat sehingga mereka rela melakukan
apapun agar tercipta Image yang melekat padanya dan akan mudah untuk mengetahui
siapa mereka dan ingin terlihat apa mereka.
Selanjutnya dalam bentuk interaksi sosial laki-laki metroseksual pada penelitian ini
dijabarkan berdasarkan Indikator Interaksi laki-laki metroseksual dikategorikan
berdasarkan interaksi verbal seperti gaya bahasa sehari-hari, pembawaan sifat dan perilaku
terhadap komunikan, serta tanggapan terhadap stigma. Sedangkan interaksi non-verbal
mereka seperti bahasa tubuh, isyarat-isyarat atau simbol-simbol yang mereka gunakan.
Dalam berinteraksi sosial, antara laki-laki metroseksual dengan lingkungannya terbilang
sangat baik. Mahasiswa laki-laki metroseksual cenderung berbahasa yang lembut. Mereka
berinteraksi dengan ramah baik dengan sesama pelaku metroseksual maupun dengan
lingkungan sekitar. Mereka sangat jarang menggunakan bahasa yang kasar melainkan
terbiasa berbicara dengan suara yang lantang dan kerasnya ketika tertawa dengan
sepertemanannya, dan sebaliknya mereka juga dapat menggunakan bahasa yang lembut
dan terdengar akrab terutama kepada lawan jenisnya ataupun orang tua. Komunikasi
sangatlah penting bagi mereka, dengan sifatnya yang terkenal friendly, humble, lembut,
dan ramah, akan mudah bagi mereka bersosialisasi di tengah- tengah masyarakat dengan
menggunakan gaya bahasa yang berbeda menyesuaikan pada lingkungan tempat mereka
berbeda.
Mahasiswa laki-laki metroseksual mempraktekkan interaksi sosial secara verbal
tidak berbeda dengan orang yang bukan metroseksual, akan tetapi laki-laki metroseksual
lebih ekspresif untuk penyampaian, sehingga cukup menarik perhatian. Gaya bahasa yang
biasa digunakan mereka cenderung bahasa gaul dengan menggabungkan dua bahasa dari
dua negara yaitu bahasa Indonesia dan Inggris, mereka juga menggunakan bahasa isyarat
berisikan sebuah kode-kode unik yang hanya di pahami sesama penggunanya yang biasa
dipakai juga dengan laki-laki non-metroseksual.
Walaupun demikian, Mereka menekankan perbedaan antara dirinya dan kaum gay
baik dalam interaksi menggunakan bahasa khusus ataupun secara tampilan fisik. Begitu
pula dengan interaksi non-verbalnya, mereka menganggap penyampaian yang komunikatif
dengan lembut dan hangat terhadap pasangannya dapat membuat lebih nyaman dan
terkesan romantis. Selain itu melalui penampilannya, mereka isyaratkan penampilan yang
tidak melupakan sisi maskulin dari seorang laki-laki untuk meminimalisir stigma negatif
akan dirinya. Sehingga dengan begitu lingkungan sosial pun dapat membaca dan
menangkap apa yang terdapat didalam bahasa tubuh laki-laki metroseksual.
B. SARAN
Dari pembahasan pada penelitian ini, diperoleh beberapa saran mengenai kontruksi
diri laki-laki metroseksual untuk informan sekaligus peneiliti yang menulis:
1. Untuk peneliti selanjutnya dapat difokuskan pada kajian fenomena metroseksual
sebagai bentuk kesetaraan gender. Karena hingga saat ini penulis belum menemukan
penelitian dengan tema tersebut dan sangat penting untuk diteliti sehingga memperluas
ilmu tentang fenomena metroseksual.
2. Disarankan kepada peneliti selanjutnya dapat menjangkau penelitian tentang pria
metroseksual wilayah yang lebih luas dan berbeda dengan penelitian sebelumnya, agar
dapat dibandingkan fenomena metroseksual antara wilayah yang satu dengan yang
lainnya sehingga memperkaya pengetahuan tentang fenomena metroseksual khususnya
di Indonesia.
3. Untuk masyarakat umum diharapkan lebih open minded bahwasannya laki- laki
metroseksual tidak dapat disamakan secara otomatis dengan laki-laki homoseksual
dikarenakan dua hal tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda. Dan yang terakhir
diharapkan dapat mengahargai apa yang menjadi pilihan hidup laki-laki metroseksual
secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai