Anda di halaman 1dari 7

Analisis Akad Murabahah di Perbankan Syariah

Khairul Abdul Aziz1, Dr. Muammar Khadafi, SE,M.,Si,Ak2

Program Studi Akuntansi,Universitas Malikussaleh, Jl.Kampus Unimal Bukit Indah, Blang


Pulo, Kec.Muara Satu,Kabupaten Aceh Utara, Aceh 24355
Khairul.200420227@mhs.unimal.ac.id
ABSTRAK
Tema penelitian adalah konsep bank yang sesuai dengan ekonomi Islam. Tujuan
penelitian adalah: menganalisis pembiayaan murabahah pada perbankan syariah.
Penelitian adalah studi literatur. Objek penelitian adalah industri perbankan di
Indonesia. Untuk memastikan pelaksanaan pembiayaan murabahah agar sesuai dengan
hal tersebut konsepnya, perlu pengawasan ketat dari Dewan Pengawas Syariah atau
Dewan Syari'ah Nasional, jadi pembiaayan murabahah sebagai primadona pembiayaan
perbankan syariah dapat dijaga dan tidak mencoreng citra dan prestise perbankan
syariah sehingga tidak ada kesan bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional.
Kata Kunci : Keuangan, Murabahah, Musyarakah. Finansial

1. PEBDAHULUAN

Semenjak berdirinya perbankan dengan konsep syariah pada tahun 1998 hingga
sekarang market share perbankan syariah baru mencapai lebih kurang 5 % saja,
sementara perbankan syariah menjadi unggul dengan beragam produknya yang sangat
bervariasi. Salah satu keunggulan perbankan syariah terletak pada sistem bagi hasilnya,
sehingga tidak salah masyarakat menyebut bank syariah dengan bank bagi hasil, akan
tetapi pada kenyataannya pembiayaan di perbankan syariah tidak didominasi oleh
pembiayaan mudharabah dengan konsep bagi hasilnya, akan tetapi lebih didominasi
oleh pembiayaan murabahah. Pembiayaan murabahah selalu menjadi primadona
dibandingkan dengan produk perbankan syariah lainnya. Hal ini bisa dilihat dari data
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang perkembangan pembiayaan murabahah yang
cendrung mengalami peningkatan setiap bulannya. Pada bulan April 2016, pembiayaan
murabahah berkisar sebesar Rp. 117.375 miliar atau sebesar 58.13% dari total
pembiayaan perbankan syariah di Indonesia sebesar 203 miliar. Gambaran ini
memberikan indikasi bahwa akad murabahah lebih mendominasi di perbankan syariah
dibandingkan dengan akad-akad lainnya.

Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem penentuan marginnya yang
transparan karena dalam murabahah harga pokok dan keuntungan disepakati diantara
kedua belah pihak. Bai’al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’almurabahah bank harus memberi
tahu harga produk yang dijual kepada nasabah dan menentukan tingkat keuntungan
sebagai tambahan (Antonio, 1999). Dalam akad murabahah, bank melakukan mark-
up (menaikkan harga) terhadap keuntungan yang telah disepakati pada perjanjian
awal.

Pada perjanjian murabahah ini, bank membiayai pembelian barang atau aset yang
dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut kepada pemasok (suplier) kemudian
menjualnya kepada nasabah dengan menambah suatu mark-up atau keuntungan. Misalnya jika
nasabah membutuhkan sebuah rumah, maka bank syaariah akan membelikan rumah seharga
Rp. 300 Juta. Rumah tersebut akan dijual kepada nasabah dengan tambahan keuntunagn
(margin) sebesar Rp. 60 Juta. Maka harga jual rumah kepada nasabah sebesar Rp. 360 Juta
yang akan dicicil selama 36 bulan/3 tahun dengan besar cicilan Rp. 10 Juta/bulan. Total harga
jual tersebut tidak akan berubah sampai pembiayaan lunas meskipun terjadi kenaikan suku
bunga di bank konvensional atau terjadinya gejolak ekonomi.

Dengan kata lain, penjualan barang kepada nasabah dilakukan atas dasar cost plus profit
(Sjahdeini, 1999). Adapun jenis barang yang dibutuhkan nasabah dan besarnya keuntungan
yang akan diperoleh bank disepakati dimuka dengan akad ijab dan qabul antara nasabah dan
bank. Secara konsep, dalam akad murabahah, bank syariah akan membelikan barang yang
dimintakan oleh nasabah kemudian bank menjualnya kembali kepada nasabah dengan
tambahan keuntungan atau margin bank. Akan tetapi dalam kenyataannya, bank hanyalah
lembaga intermediary yang tidak mempunyai barang-barang sesuai dengan permintaan
nasabah sehingga untuk memenuhi permintaan tersebut, bank harus membelinya terlebih
dahulu kepada suplier.

Bahkan yang lazim terjadi di perbankan syariah adalah dimana nasabah telah memiliki koneksi
atau berlengganan dengan toko tertentu yang harganya lebih murah, sehingga bank
memberikan fasilitas tersebut kepada nasabah dengan melakukan perjanjian wakalah
(perwakilan) yang pada akhirnya nasabah hanya menyerahkan kwitansi pembelian barang
sebagai bukti bahwa murabahah yang telah ditandatangani bisa berjalan sesuai dengan
prosedurnya.

Pemberian pembiayaan murabahah dalam jangka waktu yang panjang menimbulkan


resiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada pihak ketiga (nasabah). menurut Adiwarman Karim,
resiko pada akad murabahah timbul karena:
1. Kenaikan DCRM (Direct Competitor Market Rate)
2. ICRM (Indirect Competitors Market Rate)
3. Kenaikan ECRI (Expected Competitive Return of Investors

Bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan
pertimbangan hal-hal berikut:

1. Tingkat margin saat ini dipredidkdi perubahannnya dimasa yang akan datang yang akan
berlaku di perbankan syariah (Direct Competitor Market Rate) semakin cepat perubahan
DCRM diperkirakan, maka semakin pendek jangka waktumaksimal pembiayaan.
2. Suku bunga kredit yang berlaku saat ini dan diprediksi perubahannya dimasa mendatang
yang berlaku di pasar perbankan konvensional (ICRM). Semakin cepat perubahan ICRM
diperkirakan terjadi, semakin pendek jangka waktu pembiayaan.
3. Ekspektasi bagi hasil kepada pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah
ECRI (Expected Competitive Return of Investors). semakin besar perubahan ECRI
diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Konsep Murabahah

Murabahah secara bahasa berasa dari kata ‫ ربح‬yang berarti keuntungan, karena dalam
jual beli murabahah harus menjelaskan keuntungannya. Sedangkan menurut istilah
murabahah adalah jual beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan (Al Zuhaili,
1984). Salah satu skim fiqh yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah adalah skim
jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah dengan margin yang disepakati (Karim, 2007).
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah
terbilang sangat banyak sekali. Namun dari sekian banyak akad jual beli tetap disandarkan
pada tiga jenis akad jual beli yang syar’i (memakai sistem syariah) yaitu Ba’i al Murabahah,
Ba’i As Salam, dan Ba’i Istishna (Antonio, 2001). Dari tiga jenis akad ini telah berkembang
macammacam akad jual beli. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah yang
dikenal dalam syari’at Islam, karena penjual disyaratkan melakukan kontrak terlebih dahulu
dengan menyatakan harga barang yang akan dibeli (Hulwati, 2006). Dalam pembiayaan
murabahah bank menetapkan harga jual barang yaitu harga pokok perolehan barang ditambah
sejumlah margin keuntungan bank. Harga jual yang telah disepakati di awal akad tidak boleh
berubah selama jangka waktu pembiayaan. Contoh aplikasi di perbankan syariah (Laksmana,
2009):

1. Pembiayaan konsumtif: Pembiayaan Kepemilikan Rumah, Pembiayaan kepemilikan


Mobil, Pembiayaan Pembelian Perabot Rumah Tangga.
2. Pembiayaan Produktif: Pembiayaan investasi Mesin dan Peralatan, Pembiayaan
Investasi Gedung dan Bangunan, Pembiayaan Persediaan Barang Dagangan, dan
Pembiayaan Bahan Baku Produksi.

Karena dalam defenisinya disebutkan adanya keuntungan yang di sepakati, karakteristik


murabahah adalah si penjual harus memberi tahu terlebih dahulu pembeli tentang harga pokok
pembelian barang dan menyertakan jumlah keuntungan yang ditambahkanada biaya tersebut.
Rukun dan Syarat Murabahah

Untuk menentukan sah atau tidaknya akad pembiayaan murabahah, terlebih dahulu
harus memenuhi rukun dan syarat tertentu sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu
pembiayaan murabahah ini menggunakan akad jual beli, maka dalam pembiayaan murabahah
ini harus ada rukun dan syarat jual beli sebagai berikut (Al Zuhaili, 1984):

1. Rukun Pembiayaan Murabahah


a. Ba’i atau penjual, penjual disini adalah orang yang mempunyai barang dagangan atau
orang yang menawari suatu barang
b. Musytari atau pembeli, adalah orang yang melakukan permintaan terhadap suatu
barang yang ditawarkan oleh penjual
c. Mabi’ atau barang, adalah komoditi, benda, objek yang diperjualbelikan
d. Tsaman atau harga jual, adalah sebagai alat ukur untuk menentukan nilai suatu barang
e. Ijab dan Qabul yang dituangkan dalam
akad
2. Syarat Pembiayaan Murabahah
a. Pihak yang berakad (penjual dan
pembeli)
1) Cakap hukum
2) Suka rela atau ridha, tidak dalam keadaan terpaksa atau dibawah tekanan
b. Objek yang diperjual belikan
1) Tidak termasuk yang diharamkan atau yang dilarang oleh agama
2) Bermanfaat
3) Penyerahan dari penjual ke pembeli dapat dilakukan
4) Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad
5) Sesuai spesifikasi yang diterima pembeli dan diserahkan penjual
6) Jika berupa barang bergerak maka barang itu harus bisa dikuasai pembeli setelah
dokumentasi dan perjanjian akad diselesaikan
c. Akad atau Sighat (Ijab dan Qabul)
1) Harus jelas dan disebutkan secara spesifikasi dengan siapa berakad
2) Antara Ijab dan Qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifik barang
maupun harga yang di sepakati
3) Tidak menggantungkan keabsahan transaksi pada masa yang akan datang
4) Tidak membatasi waktu, misal saya jual kepada anda untuk jangka waktu 10 bulan
dan setelah itu akan menjadi milik saya kembali
d. Harga
1) Harga jual adalah harga beli ditambah keuntungan
2) Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian
3) Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembiayaan murabahah, yaitu sebagai
berikut:

a. Penjual memberitahukan biaya modal kepada nasabah


b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan
rukun yang ditetapkan
c. Kontrak harus bebas riba
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang

Implementasi Murabahah di Perbankan Syariah

Bahkan praktek di lapangan, nasabah diberikan pembiayaan tanpa mempedulikan


objek yang akan diperjual belikan. Sehingga muncul kesan bagi nasabah yang terbiasa dengan
skim kredit konsumtif bahwa “bank syariah sama saja dengan bank konvensional”, karena
kebutuhan nasabah bukan lagi untuk pembelian barang akan tetapi untuk kebutuhan dana
segar. Bahkan ada yang berpendapat bahwa murabahah bukan jual beli melainkan hilah
dengan tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan
murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana bank
konvensional. Penyimpangan dalam prakteknya ditemukan berulang kali pada pembiayaan
pembelian barang pesanan tidak dilakukan pihak bank tapi cukup dengan penyerahan bukti
pembelian barang yang akan dimurabahahkan, dimana hakikatnya nasabah sendiri yang telah
memberi barang tersebut atas nama nasabah di faktur. Bank tinggal membayar nominal yang
tertera di faktur ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati bersama. Beberapa
kasus praktek murabahah menunjukkan adanya penyimpangan dari aturan yang
mendasariadanya transaksi murabahah itu sendiri. Penyimpangan itu berupa selipan akad
wakalah dalam transaksi murabahah.

Wakalah dalam transaksi murabahah terjadi melalui proses perwakilan antara pihsk
perbankan kepada nasabah.diamana pihak perbankan mewakilkan pembelian kepada nasabah
untuk melakukan pembelian barang yang diinginkan kepada suplier setelah mendapatkan uang
pembelian dari bank. Praktek murabahah seperti ini menyerupai transaksi kredit pada
perbankan konvensional. Karena dalam prakteknya dalam murabahah seperti ini, tidak lagi
murni seperti konsep muarabah dalam fiqh, tetapi sudah dipelintir sehingga mengarah pada
model pemberian kredit di bank konvensional. karena nasabah tidak dibelikan barang tapi
diberikan uang cash (Ath-Thayyar, 2009).
KESIMPULAN

Salah satu keunggulan perbankan syariah terletak pada sistem bagi hasilnya, sehingga
tidak salah masyarakat menyebut bank syariah dengan bank bagi hasil, akan tetapi pada
kenyataannya pembiayaan di perbankan syariah tidak didominasi oleh pembiayaan
mudharabah dengan konsep bagi hasilnya, akan tetapi lebih didominasi oleh pembiayaan
murabahah. Untuk menjamin agar terlaksananya pembiayaan murabahah agar sesuai konsep
syariah, maka diperlukan pengawasan ketat dari Dewan Pengawas Syariah atau Dewan
Syariah Nasional, sehingga pembiaayan murabahah sebagai pembiayaan primadona di
perbankan syariah bisa dikawal dan tidak mencoreng citra dan wibawa perbankan syariah
sehingga tidak ada lagi kesan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional.
DAFTAR PUSTAKA

Al Zuhaili, Wahbah. 1984. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Lebanon: Dar al Fikri.


Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
https://www.researchgate.net/publication/337422309_Analisis_Akad_Mudharabah_di_
Perbankan_Syariah

https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-iqtishad/article/view/3120

https://www.google.com/search?q=analisis+akad+mudharabah+di+perbankan+syariah+transl
ate&oq=&aqs=chrome.3.69i59i450l8.45867521j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8
http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/4051/1/RIKA%20JELITA%20N.pdf

Anda mungkin juga menyukai