Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN UROLITHISIS

(BATU SALURAN KEMIH)

oleh:

Novita Diah Christanti(14.401.16.067)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
2017 - 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada studi epidemologi di Amerika serikat 5-10% penduduknya menderita
penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang
menderita batu saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor utamanya adalah
lifestyle yang tidak sehat, sehingga memicu pembentukan batu, baik bersifat primer,
sekunder maupun tersier. Penduduk daerah dengan geografis yang memiliki
kandungan mineral tinggi menjadikan tingkat prevalensi meningkat sehingga sering
disebut sebagai daerah stone belt (sabuk batu) (Prabowo & Pranata, 2014, p. 111).
Berdasarkan tipe batu, proses pembentukan batu melalui kristalisasi. Ada tiga
factor yang mendukung proses ini yaitu saluran urine, defisiensi inhibitor, dan
produksi matriks protein. Proses pembentukan dari agregasi menjadi partikel yang
lebih besar, diantara partikel ini ada yang bergerak ke bawah melalui saluran kencing
hingga pada lumen yang sempit dan berkembang membentuk batu (Suharyanto &
Majid, 2013, p. 152).
Ada beberapa upayah untuk mengatasi batu saluran kemih yaitu simptomatik
adalah pemberian obat-obatan pelarut batu jika batu tidak terlalu besar namun jika
ukuran batu besar dan tidak mungkin dikeluarkan dengan tindakan simptomatik maka
perlu dilakukan tindakan pembedahan, bahkan bisa menggunakan tindakan
Extracorporeal Shock Wafe Litotripsy (ESWL) yaitu memecahkan batu dengan cara
memancarkan gelombang yang penghantarnya berada dalam genangan air (Suharyanto
& Majid, 2013, p. 156).

B. Batasan Masalah
Agar penelitan ini dapat dilakukan lebih focus, sempurna, dan mendlam maka penukis
memandang permasalahan penelitiahan yang diangkat perlu dibatasi variabelnya.
Oleh sebab itu penulismembatasi diri hanya berkaitan dengan “Batu Saluran Kemih”
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Batu Saluran Kemih?
2. Apa etiologi Batu Saluran Kemih?
3. Apa manifestasi klinis Batu Saluran Kemih?
4. Bagimana patofisiologi dari Batu Saluran Kemih?
5. Apa saja klasifikasi Batu Saluran Kemih?
6. Apa saja komplikasi untuk pasien dengan Batu Saluran Kemih?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan dengan pasien Batu Saluran Kemih?

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengartikan dan menjelaskan tentang penyakit Urotiliasis,
serta dapat mengetahui cara pemberikan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
diagnose urotiliasis dan memperoleh pengakaman nyata dalam merawat pasien
dengan peyakit batu saluran kemih serta dapat memberikan asuhan keperawatan
yang tepat.
2. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu:
a) Untuk mengetahui definisi batusaluran kemih.
b) Untuk mengetahui etiologi batu saluran kemih.
c) Untuk mengetahui tanda dan gejala batu saluran kemih.
d) Untuk mengetahui patofisiologi pada batu saluran kemih.
e) Untuk mengetahui klasifikasi batu saluran kemih.
f) Untuk mengetahui komplikasi pada atu saluran kemih.
g) Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada batu saluran kemih.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Urolithisis


1. Definisi
Urolitasi adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada system
penyalur urine, tetapi batu umumnya terbentuk ginjal. Batu mungkin terbentuk
tanpa menimbulkan gejala atau kerusakan ginjal yang bermakna, hal ini terutama
terjadi pada batu besar yang tersangkut di pelvis ginjal. Makna klinis batu terletak
pada kapasitasnya menghambat aliran urine atau obstruksi aliran urine atau
menimbulkan trauma yang menyebabkan ulserasi dan perdarahan pada kedua
kasus ini terjadi peningkatan presdiposisi infeksi bakteri (Wijaya & Putri, 2013,
hal. 249).
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada
saluran kencing yang berbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa
tertentu. Batu tersebut bisa berbentuk dari berbagai senyawa,misalnya kalsium
oksalat(60%), fosfat(30%), asam urat (5%), dan sistin (1%). Paradigma lampau
bahwa batu pada saluran kemih hanya berasal dari endapan mineral pada air,
sehinggga faktor presipitasi lainnya sering dikesampingkan. Namun, saat ini
sumber presipitasi dari batu lebih sering asam urat dan infeksi yang menjadi
komplikasi dari penyakit, sehingga makna dari urolithiasis bukan hanya batu yang
bersifat mineral (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 111)
Jadi, urolitiasis merupakan penyakit yang salah satu gejalanya adalah
pembentukan batu didalam saluran kemih. Batu saluran kemih dapat terjadi pada
pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, prostat dan uretra yang menimbulkan atau
memperlihatkan gejala yang agak berbeda. Serta juga dapat mengakibatkan
kelainan patologik yang menunjukkan gejala dan tanda akut, kronik, atau sama
sekali tidak ada keluhan dan symptom.

2. Etiologi
Etiologi urolitiasis adalah kondisi – kondisi yang mendukung terbetuknya batu
yaitu matrik protein dan inflamasi bakteri, peningkatan konsentrasi urine sebagai
pencetus percepatan pembentukan kristal seperti kalsium, asam urat dan posfat.
Selain itu level keasaman yang abnormal (alkali) juga mempercepat pembentukan
kristal. Selian itu statis urine juga sebagai predisposisi pembentukan batu.
Factor – factor yang berperan pada pembentukan batu saluran kemih, dibagi atas 2
golongan, yaitu:
a. Factor endogen yaitu factor genetik misalanya hipersistinuria,
hiperkalsiuria primer, dan hiperoksaluria primer
b. Factor eksogen, yaitu factor lingkungan, makanan, infeksi, dan kejenuhan
mineral di dalam air minum (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 151)

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada pasien dengan urolithiasis tergantung pada letak batu
tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Hal ini dikarenakan
kondisi penyulit tersebut mengakibatkan menurunnya aliran urine ( urine flow)
sehingga menyebabkan resistensi meningkat dan iritabilitas meningkat. Berikut
ini beberapa gambaran klinis dari pasien urolithiasis
a. Kolik ureter (nyeri pinggang)
Hal ini karenakan stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi
resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar yang menyebabkan nyeri
hebat. Jika gesekan semakin kronis maka akan menimbulkan inflamasi
jaroingan yang akan memperparah kondisi dan meningkatkan kualitas
nyeri. Nyeri pinggang biasanya timbul secara mendadak karena mengikuti
perhentian batu dalam sirkulasi urine. Nyeri menyebar menaji ciri khas
dari urolithiasis khususnya nefrolithiasis.
b. Hambatan miksi
Dikarenakan adanya obstruksi pada saluran kemih maka aliran urine(urine
flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara
spotan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih berada pada
ginjal sehingga urine yang masuk ke vesika urinaria mengalami
penurunan. Sedangakan pada klein uretrolithiasis , obstruksi urine berada
pada saluran paling akhir, sehingga power untuk mengeluarkan ada,
namun hambatan pada saluran memyebakan urine stagnansi.
c. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urine yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyababkan vasodilitasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan
teraba bendungan (distentoin) pada waktu dilakukan palpasi pada regio
vesika.
d. Hematuria
Hematuria tidak selalu pada klien dengan urolithiasis. Namun jika terjadi
lesi pada saluran kemih utamanya ginjal , maka seringkali terjadi
hematuria yang masive. Hal ini dikarenkan vaskuler pada ginjal sangat
kaya dan memiliki sensitifitas yang tinggi dan didukung jika karateristik
batu yang tajam pada sisinya.
e. Mual muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada
pasien karena nyeri yang sangat hebat, sehingga klien mengalami stetss
tinggi dan memacu sekresi HCL pada gaster (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 114 -116)

4. Patofisiologi
Berbagai kondisi yang menjadi pemicu terjadinya batu saluran kemih menjadi
kompleksitas terjadinya urolithiasis. Komposisi batu yang beragam menjadi factor
utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Batu yang terbentuk dari ginjal
(renal) dan berjalan menuju ureter paling mungkin tersangkut pada satu dari tiga
lokasi berikut a) sambungan ureteropelvik b) titik ureter menyilang pembuluh
darah illiaka c) sampai dalam kondisi statis menjadikan modal awal dari
pengambilan keputusan untuk tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada
pelvis akan membentuk pola koligentes yang disebut sebagai batu staghorn.
Stagnansi batu pada saluran kemih menimbulkan gambaran klinis yang berbeda-
beda. Stagnansi batu yang lama akan menyebabkan berbagai komplikasi misalnya
hidronephrosis, gagal ginjal, infeksi ginjal, ketidakseimbangan asam basa bahkan
mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke sirkulasi (Prabowo
& Pranata, 2014, hal. 116).
Pathway (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 118)

urolithiasis

Penurunan urine Stagnansi urine pada


flow VU

Iritabilitas Regangan otot


detrusor meningkat
Mukosa ureter

Sensitifitas meningkat
Lesi dan inflamasi

Nyeri akut

Stress ulcer HCL meningkat Nausea, vomiting

Ketidak seimbangan
nutrisi: kuarang dari
kebutuahan tubuh

Robenkan vaskuler

Hematria/ gross
hematuria Kebocoran plasma

Resiko ketidak Absorbs nutrient


seimbangan vol cairan inadekuat

Haluaran inadekuat

refluks
Retensi urine Kolonisasi bakteri
meningkat
hindronephrosis
Ganguanan
Resiko infeksi
Resiko gangguan eliminasi urine
fungsi ginjal
5. Klasifikasi
Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada
beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu berdasarkan
letak batu:
a) Nefrolithiasis (batu pada ginjal)
b) Ureterolithiasis (batu pada ureter)
c) Vesikolithiasis (batu pada vesika urinaria/batu buli)
d) Uretrolithiasis (batu pada uretra) (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 112)

6. Komplikasi
a) Kerusakan tubular dan iskemik partial.
b) Perdarahan,
c) Infeksi
d) Ekstravasasi urine.
e) Obstruksi; menyebabkan hidroneprosi
f) Ganguan funsi ginjal (Wijaya & Putri, 2013, hal. 253)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN UROLITHISIS


1) Pengkajian
a. Identitas
Secara otomatis tidak ada factor jenis kelamin dan usia yang signikasi
dalam proses pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolithias di
lapangan sering kali terjadi pada laki – laki dan pada masa usia dewasa.
Hal ini dimungkinkan karena pola hidup, aktifitas dan kondisi geografis.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 121)
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluahan utama
Keluhan yang sering ditemukan pada pasien dengan urolithiasis
adalah nyeri (pada punggung, panggul, abdominal, lipat paha,
genetalia) mual muntah, kesulitan dalam kencing
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 121)
2) Alasan masuk Rumah sakit
Pada observasi sering ditemukan adanya hematuria (baik secara
mikroskopis maupun gross), oliguria. Kondisi kolik(ginjal/ureter)
Biasanya timbul secara tiba-tiba (mendadak) dengan pemicu yang
beragam (aktifitas rendah, input cairan rendah, pengaruh gravitasi
yang tinggi, imobilitas). Dengan serangan ini biasanya membeut
pasien untuk segera mendapat pelayanan kesehatan
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 121)
3) Riwayat penyakit sekarang
a) P (Provokatif / Paliatif): klien awalnya mengeluhkan
perubahan gangguan elimenasi urin yaitu hematuria
b) Q (Qualitas/Quantitas): rasa nyeri seperti tertusuk-tusuk
c) R (Region / Radiasi): Nyeri menyebar pada punggung,
panggul, abdominal, lipat paha dan genetalia labia mayora
d) S (Skala Seviritas): Skala nyeri 10 yaitu nyeri hebat
e) T(Timing) : Biasanya timbul secara tiba-tiba (mendadak)
dengan pemicu yang beragam
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 121).
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat ada ISK kronis, obstruksi sebelumnya, riwayat colic
ginjal/bledder tanpa batu yang keluar, riwayat trauma saluran
kemih (Wijaya & Putri, 2013, hal. 225)
2) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya ISK kronis dan penyakit atau kelainan ginjal
lainya (Wijaya & Putri, 2013, hal. 225)
3) Riwayat pengobatan
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik,
opioda, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat,
tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin (Suharyanto &
Majid, 2013, p. 160)
d. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran umum
a) Kesadaran
Keterbatasan aktivitas / immobilitas
b) Tanda –tanda vital
Biasanya tidak ada perubahan yang mencolok pada
urolithiasis. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 122)

2) Body system
Dimana hasil dari sebuah penelitian tentang batu saluran kemih itu
berkenaan dengan fungsi dan sistem tubuh manusia. Untuk
penjelasannnya dapat dilihat berikut ini:
a) Sistem pernapasan
- Inspeksi : dada klien simetris, irama normal
- Palpasi :tidak diketemukan benjolan, tidak ada
nyeri takan yang dirasakan
- Perkusi : tidak ditemukan penumpukan secret,
cairan atau darah di paru
- Auskultasi : suara napas normal, dan terdengar
suara jantung (Suharyanto & Majid, 2013, p.
164).
b) Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : ictus cordis tampak (denyutan)
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS II
Perkusi : Kanan atas : SIC II linea para sternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea para sternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea para sternalis sinistra
Kiri bawah : SIC IV linea medio clavicularis
sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal (Suharyanto & Majid,
2013, p. 167).
c) Sistem perkemihan
- Inspeksi : Adanya oliguria, dysuria, gross
hematuria, menjadi ciei khas batu saluan kemih
- Palpasi : palpasi area CVA terhadap adanya nyeri
tekan dan pembesaran ginjal
- Perkusi : perkusi area CVA terhadap adanya nyeri
ketok yang menjalar ke abdomen bagian depan
dank e area genetalia (Suharyanto & Majid, 2013,
p. 163).
d) Sistem pencernaan
- Inspeksi : kaji keadaan umum abdomen : ukuran,
kontur, dan warna kulit.
- Palpasi : terdapat nyeri tekan abdomen pada region
Perkusi : timpani
- Auskultasi : terdengar bising usus,bunyi usu akan
terdengar tidak teratur seperti orang berkumpur
dengan frekuensi 5 – 35 kali permenit (Suharyanto
& Majid, 2013, p. 167).
e) Sistem Integumen
Pasien mengalami kulit pucat dan turgor kulit menurun
(Suharyanto & Majid, 2013, p. 163).
f) Sistem muskuluskeletal
Pasien mengalami nyeri (Suharyanto & Majid, 2013, p.
164)
g) Sistem Endokrin
Adanya penurunan hormone reproduksi (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 204)
h) Sistem reproduksi
Pasien penderita BSK biasanya merasakan nyeri pada testis
(laki-laki) dan nyeri pada labia mayora (perempuan)
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 114)
i) Sistem pengindraan
Tidak ada gangguan dalam sistem penginderaan.
(Suharyanto & Majid, 2013, p. 164).
j) Sistem imun
Tidak ditemukan gangguan imun pada pasien (Suharyanto
& Majid, 2013, p. 164).
e. Pemeriksaan penunjang
1) Foto polos abdomen
Mendeteksi adanya batu ginjal pada system pelvicalyses, klasifikasi
parenkim ginjal, batu ureter, klasifikasi dan batu kandung kemih
2) Urografi Intravena
Dengan pemasukan zat kontras 50-100 maka batu ginjal bisa
teridentifikasi. Hal ini akan memperlihatkan pelvicalyses, ureter, dan
vesika urinaria
3) Pielografi Antegrad
Kontras langsung disuntikkan kedalam system pelvicalyses, sehingga
akan tergambarkan batu
4) Urinalisis
Sering ditemukan adanya hematuria pada urine. Hal ini jika terjadi lesi
pada mukosa saluran kemih karena iritasi dari batu (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 122 - 123)

f. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu,
menentukan jenis batu, mencegah kerusakan neuron, mengendalikan
infeksi, dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
Penatalaksanaan:
1) Pengurangan nyeri
Tujuan segera dari penanganan kolik renal atau uretra adalah
untuk mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan.
a) Pemberian morfin atau meperidine untuk mencegah syok
dan sinkop akibat nyeri.
b) Mandi air panas atau air hangat di area panggul.
c) Pemberian cairan kecuali pada pasien gagal jantung
kognitif yang memerlukan pembatas cairan. Pemberian
cairan dapat meningkatkan tekanan hydrostatic pada ruang
dibelakang batu sehingga mendorong pasase batu
kebawah. Masukkan cairan sepanjang hari mengurangi
konsentrasi kritaloid urine, mengencerkan urine dan
menjamin keluarnya urine yang besar.
2) Pengangkatan batu
Pemeriksaan sistoskopi dan pasase cateter uretral untuk
menghilangkan batu yang menyebabkan obstruksi. Ketika batu
ditemukan, dilakukan analisis kimiawi untuk mengumpulkan
komposisinya dan membuktikan indikasi mengenai penyakit yang
mendasari.
3) Terapi nutrisi
Batu ginjal terutama mengandung kalsium, fosfor dana tau oksalat.
Makanan yang harus dihindari atau dibatasi adalah:
a) Makanan yang kaya vitamin D, karena vitamin D
meningkatkan reabsorbsi kalsium.
b) Garam meja dan makanan tinggi natrium, karena Na
bersaing dengan Ca dalam reabsorbsinya di ginjal.
Daftar makanan yang harus dihindari:
a) Produk susu: semua keju, susu dan produk susu (lebih dari
setengah cangkir sehari), krim asam (yoghurt).
b) Daging, ikan, unggas: otak, jantung, hati, ginjal, sardine,
sweat-bread, telur ikan, kelinci, rusa.
c) Sayur: lobak, bayam, buncis, seledri, kedelai.
d) Buah: kismis, semua jenis beri, anggur.
e) Roti, sereal: roti murni, roti gandum, catmeal, beras merah,
jagung giling, sereal.
f) Minuman: teh, coklat, minuman yang berkarbonat, bir, semua
minuman yang dibuat dari susu atau produk susu.
g) Lain-lain: kacang, cokelat, sup yang dicampur susu, makanan
pencuci mulut yang dicampur susu atau produk susu seperti
kue basah, kue kering dan pie.
4) Lithotripsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal (Ekstracorporeal
Shock Wave Lithotripsi = ESWL)
ESWL adalah prosedur noninvasif yang digunakan untuk
menghancurkan batu kaliks ginjal. Setelah batu pecah menjadi
bagian yang kecil-kecil seperti pasir, maka sisa batu tersebut
dikeluarkan secara spontan. Kebutuhan anestesia pada prosedur ini
tergantung pada tipe Lithotripsi yang digunakan, ditentukan oleh
jumlah dan intensitas gelombang kejut yang disalurkan. Rata-rata
penanganan adalah antara 1000-3000 gelombang kejut.

5) Metode Endourologi Pengangkatan Batu


Metode Endourologi Pengangkatan Batu yaitu metode untuk
pengangkatan batu ginjal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi
perkutan dan Nefroskop dimasukkan kedalam traktus perkutan
yang sudah dilebarkan kedalam parenkim ginjal. Batu dapat
diangkat dengan forket atau jaringan tergantung ukurannya. Selain
itu, alat ultrasound dapat dimasukkan melalui selang nefrostomi
disertai pemakaian gelombang ultrasonic untuk menghancurkan
batu serpihan batu di irigasi dan di hisap keluar dari ductus
kolektivus. Batu yang besar selanjutnya dapat dikurangi dengan
disentegrasi ultrasonic dan diangkat dengan forket atau jaringan.
Setelah batu diambil, selang nefrostomi perkutan di biarkan di
tempatnya untuk beberapa waktu untuk menjamin bahwa ureter
tidak mengalami obstruksi oleh edema atau pembekuan darah.

6) Ureteroskopi
Ureteroskopi mencakup visualisasi dan akses ureter dengan
memasukkan suatu alat ureteroskop melalui sistoko. Batu dapat
dihancurkan dengan menggunakan laser, lithotripsi-hydraulic, atau
ultrasound kemudian diangkat. Suatu set dapat dimasukkan dan
dibiarkan selama 48 jam atau lebih setelah prosedur untuk
menjaga kepatenan ureter.

7) Pelarutan Batu
Infuse cairan kemolitik, misalnya agent pembuat basa (ankylatik)
dan pembuat asam (acidifying) untuk melarutkan batu dapat
dilakukan sebagai alternative penanganan untuk pasien kurang
beresiko terhadap terapi lain dan menolak metode lain atau mereka
memiliki batu yang mudah larut (strufit). Nefrostomi perkutan
dilakukan dan cairan irigasi dimasukkan ke ductus kolectivus
melalui ureter atau selang nefrostomi.
8) Pembedahan
Sebelum adanya lithotripsy, pengangkatan batu ginjal dengan
pembedahan merupakan terapi utama. Namun, saat ini
pembedahan dilakukan hanya pada 1% - 2% pasien. Pembedahan
di indikasikan jika batu tersebut tidak berespon terhadap
penanganan lain.
Jika batu terletak didalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan
nefrolitotomi (insisi pada ginjal untuk mengangkat batu) atau
nerektomi jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hydronefrosis. Batu didalam piala ginjal diangkat dengan
pielolitotomi, sedangkan batu pada ureter diangkat dengan
ureterolitotomi dan batu pada kandungan kemih diangkat dengan
sistostomi (Suharyanto & Madjid, 2013, pp. 156 - 161)

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia 2016 yang muncul antara
lain :
A. Ketidakseimbangan Nutrisi (PPNI T. P., 2016, p. 81)
Definisi : Beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memnuhi
kebutuhan metabolisme.
Faktor Risiko: Ketidakmamapuan menelan makanan, Ketidakmamapuan
mencerna makanan, Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, Peningkatan
kebutuhan metabolisme, Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak
mencukupi), Faktor psikologis (mis. Stres, keengganan untuk makan).
Kondisi Klinis Terkait: Stroke, Parkison, Mobius syndrome, Cerebral
palsy, Cleft lip, Cleft palate, Amyotropic lateral sclerosis, Kerusakan
neuromuskular, Luka bakar, Knaker, Infeksi, AID, Penyakit Crohn’s,
Enterokolitis, Fibrosis kistik.

B. Risiko Ketidakseimbangan Cairan (PPNI, 2016, p. 87)


Definisi: Beriko mengalami penuruan, peningkatan atau percepatan
perpindahan cairan dari intravaskuler, interstisial atau intraselular
Faktor Risiko: Prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka
bakar, apheresis, asites, obstruksi intestinal, peradangan pankreas,
penyakil ginjal dan kelenjar, disfungi intestinal
Kondisi Klinis Terkait: Prosedur pembedahan mayor, penyakit ginjal
dan kelenjar, pendarahan, luka bakar

C. Gangguan Eliminasi urin (PPNI T. P., 2016, p. 96)


Definisi : Disfungsi eliminasi urin.
Penyebab : Penurunan kapasitas kandung kemih, Iritasi kandung kemih,
Penurunan kemampuan menadari tanda-tanda gangguan kandung kemih,
Efek tindakan medis dan diagnostik (mis. Operasi ginjal, operasi saluran
kemih, anestesi, dan obat-obatan), Kelemahan otot pelvis,
Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. Imobilisasi), Hambatan
lingkungan, Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi,
Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis. Anomali saluran kemih
kongenital), Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif : Desakan berkemih (urgensi), Urin menetes (dribbling), Sering
buang air kecil, Nokturia, Mengompol, Enuresis
Objektif : Distensi kandung kemih, Berkemih tidak tuntas (hesitancy),
Volume residu urin meningkat.
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : tidak tersedia
Kondisi Klinis Terkait : Infeksi ginjal dan saluran kemih,
Hiperglikemia, Trauma, Kanker, Cedera/tumor/infeksi medula spinalis,
Neuropati diabetikum, Neuropati alkaholik, Stroke, Parkinson, Skeloris
multipel, Obta alpha adrenergik.

D. Retensi Urin (PPNI, 2016, p. 115)


Definisi: Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
Penyebab: peningkatan tekanan uretra, kerusakan arkus refleks, blok
spingter, disfungi neurologis(mis. Trauma, penyakit saraf), efek agen
farmakologis (mis. Atrapine, belladonna, psikotropik, antihistamin,
opiate)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif: Sensasi penuh kandung kemih
Objektif: Disuria/anuria, distensi kandung kemih
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif: Dribbling
Objektif: Inkontinensia berlebih, residu urin 150 ml atau lebih
Kondisi Klinis Terkait: Benigna prostat hyperplasia, pembengkakan
perineal, cedera medulla spinalis, rektokel, tumor disaluran kemih

E. Nyeri Akut (PPNI, 2016, p. 172)


Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang terkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlasung kurang dari 3
bulan.
Penyebab: Agen pencedera fisiologis(mis.Inflamasi, iskemia, neoplasma)
Agen pencedera kimiawi(mis. Terbakar, bahan kimia iritan). Agen
pencedera fisik(mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
Mengeluh nyeri
Objektif
Tampak meringis, bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari
nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
Gejala dan Tanda minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
Tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah,
proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri,
diaphoresis
Kondisi Klinis Terkait
Kondisi pembedahan, cedera traumatis, infeksi, sindrom coroner akut,
glaucoma

F. Risiko Infeksi (PPNI, 2016, p. 304)


Definisi: Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
Faktor Risiko: Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: gangguan
peristaltik, kerusakan integritas kulit, perubahan sekresi pH, penurunan
kerja sililaris, ketuban pecah lama, ketuban pecah sebelum waktunya,
merokok, statis cairan tubuh. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh
sekunder: Penurunan hemoglobin, imununosuprei, leukopenia, supresi
respon inflamasi, vaksinasi tidak adekuat
Kondisi Klinis Terkait
AIDS, luka bakar, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus,
tindakan invasive, kondisi penggunaan terapi steroid, penyalah gunaan
obat, ketuban pecah sebelum waktunya ( KPSW), kanker, gagal ginjal,
imunosupresi, lymphedema, leukositopenia, gangguan fungsi hati

3. Intervensi
A. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
1) Tujuan
Memperlihatkan Status nutrisi, yang dibuktikan oleh indicator
sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstream, berat, sedang,
ringan atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal) : Asupan
gizi, Asupan makanan, Asupan cairan, Energy
2) Kriteria hasil
a) Mempertahankan berat badan ______Kg atau bertambah
_______ Kg pada______(sebutkan tanggalnya)
b) Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
c) Mungkapkan tekad untuk mematuhi diet adekuat
d) Menoleransi diet yang dianjurkan
e) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas
normal
f) Memiliki nilai laboratorium (mis, transferrin, albumin, dan
elektrolit)
g) Melaporkan tingkat energy yang adekuat
3) Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
a. Pengkajian
a) Tentukan motivasi pasien untuk mengubah
kabiasaan makan
b) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
c) Pantau nilai laboratorium, khususnya transfermin,
albumin dan elektrolit
d) Manajemen nutris (NIC) : Ketahui makanan
kesukaan pasien, Pantau kandungan nutrisi dan
kalori pada catatan asupan, Timbang pasien pada
interval yang tepat
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Ajarkan metode untuk perancanaan makanan
b) Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang
bergizi dan tidak mahal
c) Manajemen nutrisi (NIC): berikan informasi yang
tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
c. Aktivitas kolaboratif
a) diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan
kebutuhan protein yang mengalami
ketidakadekuatan asupa protein atau kehilangan
protein (mis, pasien anoreksia nervosa, penyakit
glomerulae atau dialysis peritoneal)
b) diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nfasu
makan, makanan pelengkap, pemberian makan,
melalui selang, atau nutrisi parenteral total agar
asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan
c) rujuk ke dokter untuk mnentukan penyebab
gangguan nutrisi
d) rujuk ke program gizi di komunitas yang tepay, jika
pasien tidak dapat membeli atau menyiapkan
makanan yang adekuat
e) manajemen nutrisi (NIC): tentukan, dengan
melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika
diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
[khususnya untuk pasien dengan ebutuhan energy
tinggi, seperti pasien pasca bedah dan luka bakar,
trauma, demam, dan luka]
d. Aktivitas lain
a) berikan perencanaan makan dengan pasien yang
masuk dalam jadwal makan, lingkungan makan,
kesukaan dan ketidaksukaan pasien, serta suhu
makanan
b) dukung anggota keluarga untuk membawa
makanan kesukaan pasien dari rumah
c) bantu pasien menulis tujuan mingguan yang realitis
untuk latihan fisik dan asupan makanan
d) anjurkan pasien untuk menapilkan tujuan makanan
dan laihan fisik dilokasi yang terlihat jelas dan kaji
ulang setiap hari
e) tawarkan makanan porsi bsar disiang hari ketika
nafsu makan tinggi
f) ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk
makan (mis, pindahkan barang-barang dan cairan
yang tidak sedap dipandang)
g) hindari prosedur invasive sebelum makan
h) suapi pasien, jika perlu
i) manajemen nutrisi (NIC) : berikan pasien minuman
dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori
yag siap dikonsumsi, bila memungkinkan, ajarkan
pasien tentang cara membuat catatan harian
makanan, jika perlu (Wilkinson J. M., 2016, pp.
282-286)
B. Volume cairan, Kekurangan
1) Tujuan
a) Kekurangan volume cairan akan teratasi, dibuktikan oleh
Keseimbangan Cairan, Hidrasi yang adekuat, dan Status
Nutrisi: Asupan makanan dan Cairan yang adekuat
b) Keseimbangan cairan akan dicapai, dibuktikan oleh
indicator gangguan berikut (sebutkan1-5: gangguan
ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan):
Tekanan darah, Denyut nadi radial, Nadi perifer, Elektrolit
serum, Berat badan stabil
2) Kriteria Hasil
a) Memiliki konsentrasi urine yang normal. Sebutkan nilai
dasar berat jenis urine
b) Memilki hemoglobin dan hematocrit dalam batas normal
untuk pasien
c) Memiliki tekanan vena sentral dan pulmonal dalam rentang
yang diharapkan
d) Tidak mengalami haus yang tidak normal
e) Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang
seimbang dalam 24 jam
f) Menampilkan hidrasi yang baik (membrane mukosa
lembap, mampu berkeringat)
g) Memiliki asupan cairan oral dan/atau intravena yang
adekuat
3) Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
a. Pengkajian
1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan
cairan
2) Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan
yang tinggi elektrolit (mis. diare,drainasis, dan
drainase ileostomi)
3) Pantau perdarahan (mis., periksa semua dari adanya
darah nyata atau darah samar)
4) Identifikasi faktor pengaruh terhadap bertambah
buruknya dehidrasi (mis., obat-obatan, demam,
stress, dan program pengobatan)
5) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan
keseimbangan cairan (mis., kadar hematocrit, BUN,
albunin, protein total, osmolalitas serum, dan berat
jenis urine)
6) Kaji adanya vertigo atau hipotensi postural
7) Kaji orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu
8) Cek arahan lanjut pasien untuk menentukan apakah
penggantian cairan pada pasien sakit terminal tepat
dilakukan
9) Manajemen Cairan (NIC): pantau status hidrasi
(mis., kelembapan membrane mukosa, keadekuatan
nadi, dan tekanan darah ortostatik), Timbang berat
badan setiap hari dan pantau kecenderungannya,
Pertahankan keakuratan catatan asupan dan
haluaran
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1) Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat
bila haus.
c. Aktifitas kolaboratif
1) Laporkan dan catat haluaran kurang
dari________Ml
2) Laporkan dan catat haluaran lebih dari________mL
3) Laporkan abnormalitas elektrolit
4) Manajemen Ciran (NIC): Atur ketersediaan produk
darah untuk transfusi, bila perlu, Berikan ketentuan
penggantian nasogratrik berdasarkan haluaran,
sesuai dengan kebutuhan, Berikan terapi IV, sesuai
program (Wilkinson, Diangnosa Keperawatan,
2016, pp. 178-179).
d. Aktifitas Lain
1) Lakukan hygiene oral secara sering
2) Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam ,
hitung asupan yang diinginkan sepanjang sif siang,
sore dan malam
3) Pastikan bahwa pasien terhidrasi dengan baik
sebelum pembentukan
4) Ubah posisi pasien Trendelenburg atau tinggikan
tungkai pasien bila hipotensi, kecuali
dikontraindikasikan
5) Manajemen Cairan (NIC)
a) Tingkatan asupan oral(mis. Sediakan
sedotan, beri cairan diantara waktu makan,
ganti air es secara rutin, buat es mambo dri
jus kesukaan anak, cetak agar – agar dalam
bentuk yang lucu – lucu, gunakan cangkir
obat kecil), jika perlu
b) Pasang kateter urine, bila perlu
c) Berikan cairan , sesuai dengan kebutuhan
(Wilkinson J. M., 2016, pp. 178-180)
C. Gangguan eliminasi urin
1) Tujuan
a. Menunjukkan Eliminasi Urine, yang dibuktikan oleh
indikator berikut (sebutkan 1-5 : selalu, sering, kadang-
kadang, jarang, atau tidak mengalami gangguan): pola
eliminasi, mengosongkan kandung kemih sepenuhnya,
mengenalli urgensi
2) Kriteria hasil
a. Kontinensia urine
b. Menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang obat yang
memengaruhi fungsi perkemihan
c. Eliminasi urine tidak terganggu : Bau, jumlah, dan warna
urine dalam rentang yang diharapkan, Tidak ada
hematuria, Pengeluaran urine tanpa nyeri, kesulitan di awal
berkemih, atau urgensi, BUN, kreatinin serum dan berat
jenis urine dalam batas normal, Protein, glukosa, keton,
pH, dan elektrolit urine dalam batas normal
3) Intervensi NIC
Aktivitas Keperawatan
a. Pengkajian
Manajemen eliminasi urine (NIC) : pnatau eliminasi
urine, meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan
warna, jika perlu kumpulkan spesimen urine porsi tengah
untuk urinalisis, jika perlu
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Manajemen eliminasi urine (NIC) : Ajarkan pasien
tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih,
Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran
urine, bila diperlukan, Instruksikan pasien untuk
berespons segera terhadap kebutuhan eliminasi, jika perlu,
Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat
makan, diantara waktu makan dan di awal petang
c. Aktivitas kolaboratif
Manajemen elminasi urine (NIC) : rujuk ke dokter jika
terdapat geajala dan tanda infeksi saluran kemih
d. Aktivitas Lain
1. Bantu menyusun rencana untuk meningkatan fungsi
perkemihan
2. Dorong asupan cairan per oaral ___ml pada siang
hari___ml pada petang hari (Wilkinson J. M., 2016, pp.
458-459)

D. Retensi Urin
1) Tujuan
a. Menunjukkan Eliminasi Urine, yang dibuktikan oleh
indicator berikut (sebutkan 1 – 5: selalu, sering, kadang –
kadang, jarang atau tidak mengalami gangguan): pola
eliminasi, mengosongkan kandung kemih secara tuntas
b. Menunjukkan Eliminasi Urine, yang dibuktikan oleh
indicator berikut (sebutkan 1 – 5: selalu, sering, kadang –
kadang, jarang, atau tidak ada): Retensi Urine
2) Kriteria hasil
a. Residu pasca berkemih > 100 – 200 ml
b. Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan
prosedur bersih kateterisasi intermiten mandiri
c. Mendeskripsikan rencana perawatan di rumah
d. Tetap bebas dari infeksi saluran kemih
e. Melaporkan penurunan spasme kandung kemih
f. Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam
g. Mengosongkan kadung kemih secara tuntas
3) Intervensi NIC
Aktivitas Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identifikasi dan dokumentasi pola pengosongan
kandung kemih
2. Perawatan Retensi Urine(NIC):Pantau penggunaan
agens non-resep dengan inti-kolinergik atau agonis
alfa. Pantau efek obat resep, seperti penyekat
saluran kalsium dan antikolnergik. Pantau asupan
dan haluaran. Pantau derajat distensi kandung
kemih melalui palpasi dan perkusi
b. Penyuluhan untuk pasien / keluarga
1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi
saluran kemih yang harus dilaporkan (mis.,
demam, menggigil, nyeri pinggang, hematuria,
serta perubahan konsistensi dan bau urine)
2. Perawatan Rentensi Urine(NIC): Instruksikan
pasien dan keluarga untuk mencatat haluran urine,
bila diperlukan.
c. Aktivitas Kolaboratif
1. Rujuk ke perawat terapi enterostom untuk instruksi
kateterisasi intermiten mandiri menggunakan
prosedur bersih 4 – 6 jam pada saat terjaga
2. Perawatan Retensi Urine(NIC): Rujuk pada
spesialis kontinensia urine jika diperlukan
d. Aktifitas Lain
1. Lakukan program pelatihan pengosongan kadung
kemih
2. Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan
yang adekuat tanpa menyebabkan kandung kemih
overdistensi
3. Anjurkan pasien mengonsumsi cairan per
oral:__ml untuk siang hari;___ml untuk sore hari
dan __-ml untuk malam hari
4. Perawatan Retensi Urine(NIC):
a) Berikan privasi untuk eliminasi
b) Gunakan kekuatan sugesti dengan
mengalirkan air atau membilas toilet
c) Stimulasi refleks kandung kemih dengan
menempelkan es ke abdomen, menekan
bagian dalam paha atau mengalirkan air
d) Berikan cukup waktu untuk pengosongkan
kandung kemih (10 menit)
e) Gunakan spirtus dari wintergreen pada
pispot atau urinal
f) Lakukan maneuver crede, jika perlu
g) Lakukan kateterisasi untuk mengeluarkan
urine residu, jika perlukan
h) Pasang kateter diperlukan (Wilkinson J.
M., 2016, pp. 469-470)

E. Nyeri Akut
1) Tujuan
a. Memperlihatkan Aktivitas Nyeri , yang dibuktikan oleh
indicator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah,
jarang, kadang-kadang, sering, selalu) : Mengenali awitan
nyeri, Menggunakan tindaka pencegahan, Melaporkan
nyeri dapat dikendalikan
b. Menunjukkan Tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh
indicator sebagai berikut (sebutkan 1-5: sangat berat,
berat, sedang, ringan atau tidak ada) : Ekspresi nyeri pada
wajah, Gelisah atau ketegangan otot, Durasi episode nyeri,
Merintih dan menangis, Gelisah
2) Kriteria hasil
a. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individu yng
efektif untuk mencapai kenyamanan
b. Mempertahankan tingkat nyeri pada __ atau kurang
(dengan skala 0-10)
c. Melaporkan kesejahtraan fisik dan psikologi
d. Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan
untuk memodifiksi factor tersebut
e. Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
f. Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesic
dan non analgesic secara tepat
g. Tidak megalami gangguan dalam frekuensi pernafasan,
frekuensi jantung, atau tekanan darah
h. Mempertahankan selera makan yang baik
i. Melaporkan pla tidur yang baik
j. Melaporkan kemampuan untuk meperthankan performa
peran dan hubungan interpersonal

3) Intervensi NIC
Aktivitas Keperawatan
a. Pengkajian
1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai
pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi
pengkajian
2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidak
nyamanan pada skala 0 sampai 10 (0 = tidak ada
nyeri atau ketidak nyamanan, 10 = nyeri berat)
3. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau
peredaran nyeri oleh analgesic dan kemungkinan
efek sampingnya
Kaji dampak agama budaya , kepercayaan dan
lingkungan tehadap nyeri dan respon pasien
4. Dalam mengakaji nyeri pasien, gunakan kata-kata
yang sesuai usia dan tingkat perkembangan pasien
Manajemen nyeri (NIC) :
a) Lakukan pengkajian nyeri yang
komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau keparahan nyeri dan factor
presipitasinya.
b) Obsevasi isyarat nonverbal ketidak
nyamanan, khuusnya pada mereka yag
tidak mampu berkomunikasi efektif.
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat
khusus yang harus diminum, frekuensi pemberian,
kemungkinan efek samping, kemungkinan
interaksi obat, kewaspadaan khusus saat
mengkonsumsi obat tersebut (mis, pembatasan
aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang
yang harus dihubungi bila mengalami seri
membandel.
2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan
kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat
dicapai
3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi
koping yang disarankan
4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic
narkotik dan opioid (mis, resko ketergantungan
atau overdosis)
5. Manajemen nyeri (NIC): Berikan informasi tentang
nyeri, seperti penyeab nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan,
akibat prosedur
6. Manajemen nyeri (NIC): Ajarkan penggunaan
teknik nonfarmakologis (mis, umpan balik
biologis, transcutaneous electrical nerve
stimulation [TENS], hypnosis, relaksasi, imajinasi
terbimbing, terapi music, distraksi, terapi bermain,
terapi aktivitas, acupressure, kompres hangat atau
dingin dan masase) sebelum, setelah dan jika
memungkinkan, selama aktivitas yang
menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi atau
meningkatkan; dan bersama penggunaan tindakan
peredaran nyeri yang lain
c. Kolaborasi
1. Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian
opat yang terjadwal (mis, setiap 4 jam selama 36
jam) atau PCA
2. Manajemen nyeri (NIC)
Gunakan tindakan pengendlian nyeri sebelum nyeri
menjadi lebih berat. Laporkan kepada dokter jika
tindakan tidak berhsil atau jika keluhan saat ini
merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien di masa lalu
d. Aktivitas Lain
1. Sesuaikan frekuaensi dosis sesui indikasi melalui
pengkajian nyeri dan efek samping
2. Bantu pasien mengindentifikasi tindakan
kenyamanan yang efektif di masa lalu, seperti
distraksi, relaksasi atau kompres hangat/dingin
3. Hadir didekat pasien untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi, meliputi tindakan sebagai berikut:
a) Lakukan perubahan posisi, masase
punggung dan relaksasi
b) Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan
berikan perawatan dengan tidak terburu-
buru dengan sikap yang mendukung
c) Libatkan pasien dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut aktivitas
perawatan
d) Bantu pasien untuk lebih berfokus pada
aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak
nyaman dengan melakukan pengalihan
melalui ttelevisi, radio, tape, dan interaksi
dengan pengujung
e) Gunakan pendekatan yang positif untuk
mengoptimalkan respons pasien terhadap
analgesic(mis.’’obat ini akan mengurangi
nyeri anda”)
f) Eksplorasi perasan takut ketagihan. Untuk
menyakinkan pasien, tanyakan”jika tidak
mengalami nyeri, apakah anda akan tetep
membutukan obat ini?”
g) Manajemen Nyeri (NIC)
a) Libatkan keluarga dalam modalitas
peredaan nyeri, jika memungkinkan
b) Kendalikan factor lingkungan yang
dapat memengaruhui respons pasien
terhadap ketidaknyamanan (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, dan
kegaduhan) (Wilkinson J. M., 2016,
pp. 269-299)
F. Risiko Infeksi
1) Tujuan
a. Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan oleh
pengendalian risiko komunitas : penyakit menular, status
imun, pengendalian risiko, proses infeksius, pengendalian
risiko, penyakit menular seksual dan penyembuhan luka:
primer dan sekunder
b. Pasien akan memperlihatkan pengendalian resiko :
penyakit menular seksual (PMS), yang dibuktikan oleh
indikator sebgai berikut (Sebutkan 1-5 : tidak pernah,
jarang, kadang-kadang, sering atau selalu): Memantau
perilaku seksual terhadap resiko pajanan PMS, Mengikuti
strategi pengendalian pemajanan, Menggunakan metode
pengendalian penularan PMS
2) Kriteria hasil
a. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Memperlihatkan higiene personal yang adekuat
c. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan,
genitourinaria dan imun dalam batas normal
d. Menggeambarkan faktor yang menunjang penularan
infeksi
e. Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti
prosedur skrining dan pemantauan
3) Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
a. Pengkajian
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (mis., suhu tubuh,
denyut jantung, drainase, penampilan luka, sekresi,
penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan
dan malaise)
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi (mis., usia lanjut, usia kurang dari 1
tahun, luluh imun dan malnutrisi)
3. Pantau hasil laboratorium (mis., Hitung darah
lengkap, hitung granulosit absolut, hitung jenis,
protein serum dan albumin)
4. Amati penampilan praktik higiene personal untuk
peelindungan terhadap infeksi
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit
atau terapi meningkatkan resiko terhadap infeksi
2. Instruksikan untuk menjaga higiene personal untuk
melindungi tubuh terhadap infeksi (mis., mencuci
tangan)
1. Jelaskan rasional dan manfaat serta efek samping
imunisasi
2. Berikan pasien dan keluarga metode untuk mencatat
imunisasi (mis., formulir imunisasi, buku catatan
harian)
3. Pengendalian infeksi (NIC) : Ajarkan pasien teknik
mencuci tangan yang benar, ajarkan kepada
pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk
dan meninggalkan ruang pasien
c. Aktivitas kolaboratif
1. Ikuti protokol institusi untuk melaporkan infeksi
yang di curigai atau kultur positif
2. Pengendalian infeksi (NIC): berikan terapi
antibiotik, bila di perlukan
d. Aktivitas lain
1. Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang
dengan tidak menugaskan perawat yang sama untuk
pasien lain yang mengalami infeksi dan
memisahkan ruang perawatan pasien dengan pasien
yang terinfeksi
2. Pengendalian infeksi (NIC) : bersihkan lingkungan
dengan benar setelah digunakan masing-masing
pasien, pertahankan teknik isolasi bila diperlukan,
terapkan kewaspadaan universal, batasi jumlah
pengunjung bila di perlukan (Wilkinson J. M.,
2016, p. 234_236)
DAFTAR PUSTAKA

PPNI, T. P. (2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Indonesia.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan . Yogyakarta: Nuha
Medika.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Deangan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : CV. TRANS INFO MEDIA.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Katalok dalam Terbitan.

Anda mungkin juga menyukai