Anda di halaman 1dari 19

 

 
BAB II
  TINJAUAN PUSTAKA
 

 
2.1 Pengertian Siklus Aset
 

  Sebelum memahami apa itu siklus aset, maka ada baiknya dipahami lebih dahulu
pengertian dari aset itu sendiri. Menurut Siregar (2004, hal 178) secara umum aset adalah
 
“barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic
 
value), nilai komersil (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh
 
badan usaha, instansi atau individu/perorangan”.
  Menurut Siregar (2004, hal.178) pengertian aset sebagai berikut:
Aset adalah barang dalam pengertian hukum disebut benda, yang terdiri dari benda tidak
bergerak dan benda bergerak, yang dimaksud benda tidak bergerak meliputi (tanah dan
bangunan), baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (intangible),
yang tercakup dalam aktiva/kekayaan atau harta kekayaan suatu perusahaan, badan
usaha, institusi atau perorangan.

Sedangkan pengertian aset menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah adalah sebagai berikut:
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di
masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta
dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan
untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara
karena alasan sejarah dan budaya.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa aset adalah barang bergerak atau tidak
bergerak yang dapat dimiliki perusahaan yang mempunyai nilai ekonomi, nilai komersial dan
nilai tukar dalam membantu proses penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Ditinjau dari
tujuan aset sendiri adalah membantu suatu institusi dalam memenuhi tujuan penyediaan
pelayanan secara optimal, efektif dan efisien. Hal ini mencakup perencanaan, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, penghapusan aset serta biaya pemeliharaan yang terkait selama siklus
hidup aset. Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan
siklus hidup aset.

13
 
 

 
Sama halnya dengan manusia yang memiliki siklus atau fase dalam hidup demikian pula
 
dengan aset juga memiliki tahapan yang harus diperhatikan sehingga memudahkan untuk
melakukan
  pengelolaan. Menurut Sugiama (2013, hal 27) terdapat beberapa tahapan dalam
pengelolaan aset,
  siklus aset dimulai dari proses perencanaan kebutuhan aset, pengadaan aset,
inventarisasi aset, legal audit aset, penilaian aset, pengoperasian dan pemeliharaan aset,
 
penghapusan aset, pembaharuan/rejuvinasi aset dan pengalihan aset.yang digambarkan dalam
 
siklus aset berikut ini:
 

Sumber : Sugiama, 2013, hal.27

Gambar 2.1 Siklus Hidup Aset

1) Perencanaan Kebutuhan Aset


Berdasarkan Bahan Ajar Pengantar Manajemen Aset (Sugiama, 2014), Perencanaan aset
dilakukan dengan menerapkan strategi baru, yaitu: bersaing dengan waktu/serba cepat
(Time Based Competition), kecerdasan merekayasa kreatif dan inovatif (Agile
Manufacturing), serba efisien (Cost Reduction Strategies) dan mampu melayani tuntutan
konsumen yang serba berubah-ubah (Mass Customization), dan mengarah ke lingkungan
(Environment Concern). Hal ini dilakukan agar aset yang telah dibangun tidak menjadi
sia-sia.

14
 
 

 
2) Pengadaan Aset
 
Proses pengadaan aset mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
  Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa
  Pemerintah Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan
 
untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
 
Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
 
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Karenanya proses
 
pemenuhan akan kebutuhan aset tidak boleh melanggar peraturan yang berlaku baik dari
sisi volume,
  penyedia jasa, mekanisme, dan standar biaya yang telah ditetapkan.
3)  Inventarisasi Aset
Inventarisasi adalah proses pencatatan dari aset yang telah dimiliki, dimana proses
tersebut harus mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No.96/PMK.06/2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pengahapusan, dan Pemindahtanganan
Barang Milik Negara. Dengan demikian pada proses inventarisasi aset dapat tercatat
seluruh history aset yang akurat.
4) Legal Audit Aset
Legal audit aset adalah tahap dimana setelah aset yang dimiliki telah terinventarisasi
dengan tepat maka dilakukan pengukuhan atas status kepemilikan aset yang dapat berupa
bukti otentik secara hukum yakni sertifikat, sehingga jika ada pihak lain yang akan
menggunakan atau memanfaatkan aset yang telah sah dinyatakan bukan miliknya dapat
dilakukan klaim atau gugatan secara hukum.
5) Penilaian Aset
Penilaian Aset diartikan sebagai proses penilaian seorang penilai dalam memberikan
suatu opini nilai suatu aset baik berwujud maupun tidak berwujud, berdasarkan hasil
analisa terhadap fakta-fakta yang obyektif dan relevan dengan menggunakan metode dan
prinsip-prinsip penilaian yang berlaku pada saat tertentu (SPI 2007).
6) Operasi dan Pemeliharaan Aset
Operasi dan pemeliharaan aset merupakan ujung tombak dari keberadaan aset. Aset yang
ada diharapakan dapat dioperasikan dengan tepat sehingga mampu memberikan layan
sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan bagi aset tersebut, sementara pemeliharaan

15
 
 

 
adalah penunjang dari kegiatan operasi, dimana dengan adanya pemeliharaan diharapkan
 
kondisi dari penggunaan atau operasi aset tetap terjaga.
7)  Rejuvenasi Aset/Renew
Rejuvenasi
  diartikan pembaharuan, yaitu melakukan perubahan terhadap aset. Apabila
aset yang ada tidak dapat diperbaharui, maka dilakukan kembali perencanaan kebutuhan
 
aset.
 
8) Penghapusan Aset
 
Apabila aset yang ada sudah tidak layak untuk digunakan, maka aset yang ada dapat
  penghapusan. Tata Cara Penghapusan Barang Milik Negara sesuai dengan
dilakukan
Peraturan  Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.06/2014 Pasal 1 Ayat 9
  yang berbunyi Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan
menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna
Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang dan/atau Pengelola Barang dari tanggungjawab
administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
9) Pengalihan Aset
Untuk aset yang sudah tidak dapat dipakai, maka aset yang ada dapat dilakukan
pengalihan aset dengan penjualan, penyertaan modal dan hibah sehingga mendapatkan
profit centra (aset yang ada dengan kondisi apapun dapat menghasilkan pendapatan bagi
Negara).
10. Pemusnahan Aset
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.06/2014
tentang Tata Cara Penghapusan Barang Milik Negara Pasal 1 Ayat 10 yang berbunyi
Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. Jadi, apabila
suatu aset sudah tidak dapat menghasilkan pendapatan atau menambah beban
pengeluaran institusi sebaiknya keputusan yang diambil adalah dengan pemusnahan aset.

2.2 Pengertian Kinerja Aset

Hudson,et.al.(1997) mendefinisikan “kinerja aset sebagai tingkatan dimana suatu


bangunan infrastruktur masih dapat memberikan layanan kepada penggunanya dan berfungsi
seperti saat pertama kali dibangun”. Dari istilah kinerja, muncullah suatu konsep kinerja yaitu

16
 
 

 
kinerja digambarkan dengan memplotkan ukuran kualitas bangunan infrastruktur terhadap waktu
 
selama usia layannya. Dimana yang menjadi ukuran kualitasnya adalah sebagai berikut:
  1) Indeks kondisi;
2) Deteriorasi;
 
3) Tingkat layanan; dsbnya.
 
Kinerja yang diukur berasal dari data yang diambil pada saat kegiatan monitoring dan evaluasi
 
dilakukan secara periodik pada saat usia layan, sehingga kondisi bangunan dari waktu ke waktu
 
dapat diketahui dan dimodelkan dalam suatu gambaran visual. Kinerja atau performance adalah
 
hasil yang dicapai dari sebuah atau serangkaian aktivitas maupun pekerjaan pada sebuah
organisasi selama
  jangka waktu tertentu. Dari pengertian kinerja tersebut dapat ditarik pengertian
tentang
  kinerja aset yaitu suatu hasil yang dicapai dari sebuah aset selama jangka waktu tertentu
dengan suatu pengukuran kinerja aset. Hasil dari laporan kinerja aset digunakan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan aset, memperbarui, pemeliharaan atau
keputusan untuk penghapusan dan penggantian atas aset tersebut. Informasi laporan kinerja aset
juga digunakan sebagai penghubung dalam perencanaan penganggaran dan proses
pengembangan strategi aset atau perencanaan aset.
Pengukuran kinerja aset menurut Departemen Transportasi, Infrasruktur dan Energi
Pemerintah Australia adalah proses terstruktur yang melibatkan identifikasi dan pengumpulan
data yang relevan dengan tujuan menilai kinerja relative dari aset yang dimiliki oleh entitas
terhadap berbagai tolok ukur kinerja dalam konteks pelaksanaan tupoksi dari entitas yang
bersangkutan. Hasil dari laporan kinerja aset digunakan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan untuk mempertahankan aset, memperbarui, pemeliharaan atau keputusan untuk
penghapusan dan penggantian atas aset tersebut. Informasi laporan kinerja aset juga digunakan
sebagai penghubung dalam perencanaan penganggaran dan proses pengembangan strategi aset
atau perencanaan aset. Sedangkan Department of Public Works, Queensland Government,
mendefinisikan pengukuran kinerja aset adalah sebagai berikut: “Performance measures are
qualitative or quantitative methods of assestment that are relevant to a particular performance
indicator.”
Tujuan dari pengukuran kinerja aset menurut Department for Transport, Energy and
Infrastucture, Goverment of South Australia adalah untuk mengetahui status aset terhadap tolok
ukur tingkat pelayanan yang diharapkan, dan untuk mengetahui implikasi apabila terdapat

17
 
 

 
kekurangan dalam penyediaan layanan tersebut. Sedangkan menurut Department Of Public
 
Works, Queensland Government, tujuan dari pengukuran kinerja aset adalah sebagai berikut:
  1) Mendukung komitmen Pemerintah Pusat untuk mengelola kinerja dari investasi yang
signifikan
  atas portofolio aset yang telah dilakukan oleh pengguna aset, dalam rangka
mengoptimalkan kontribusi aset terhadap pencapaian outcomes-nya.
 
2) Menyediakan arah yang jelas bagi pengguna aset sebuah pendekatan sistematis untuk
 
mengelola kinerja aset.
 
3) Membantu pengguna aset dalam mengadopsi pendekatan berbasis kinerja untuk
 
menyelarasan pengadaan aset dengan kebutuhan riil yang diperlukan dalam
penyelenggaraan
  tugas pokok dan fungsinya.
  4) Meningkatkan akuntabilitas pengambilan keputusan dan tata kelola pemerintahan yang
berkaitan dengan pengelolaan aset melalui penggunaan informasi kinerja yang handal.
5) Memberikan konteks dan bimbingan pada jenis data kinerja yang akan digunakan
sebagai kunci dari pengelolaan kementerian dan pemerintah secara keseluruhan seperti
perencanaan strategis aset.

Sementara itu menurut Hariyono (2009) mengutip dari Australian National Audit Office,
Asset Management Handbook, 1996 memberikan empat ukuran kinerja yang seharusnya
digunakan dalam melakukan pengukuran kinerja aset, sebagai berikut:
1) Kondisi fisik aset
Suatu aset harus dapat digunakan secara aman dan efektif. Hal ini berarti bahwa aset
perlu dipelihara agar berada dalam kondisi yang memadai untuk digunakan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan memenuhi standar kesehatan dan keamanan
yang relevan. Penilaian yang memadai atas kondisi aset meliputi:
a) Penyusunan kondisi yang disyaratkan atas suatu aset relatif terhadap kebutuhan
pemberian pelayanan dan nilai dari aset tersebut (kiteria hendaknya mencakup
keterkaitannya dengan efisiensi operasional, keamanan dan kesehatan publik,
keramahan lingkungan).
b) Pemeriksaan aset dan membandingkan kondisinya dengan kondisi yang
dipersyaratkan;
c) Perencanaan kondisi aset di masa mendatang.

18
 
 

 
2) Pemanfaatan aset (utilisasi aset)
 
Pemanfaatan aset merupakan ukuran seberapa intensif suatu aset digunakan untuk
  memenuhi tujuan pemberian pelayanan, sehubungan dengan potensi kapasitas aset.
3) Fungsionalitas
  aset.
Fungsionalitas dari suatu aset merupakan ukuran efektivitas dari suatu aset dalam
 
mendukung aktivitas yang akan dilakukan. Fungsionalitas suatu aset hendaknya
 
ditinjau ulang secara rutin. Hal ini akan memungkinkan untuk mengidentifikasi
 
pengaruh signifikan atas pelayanan, adanya perubahan berkala yang dibuat untuk
 
memperbaiki pemberian pelayanan dan standar fungsional. Lebih lanjut, hasil dari
review
  secara rutin atas kemampuan aset digunakan dalam penyusunan strategi aset.

  4) Kinerja finansial aset


Kinerja finansial dari suatu aset harus dievaluasi untuk menentukan apakah aset
tersebut dapat memberikan pelayanan yang sehat secara ekonomis ataukah tidak.
Untuk melakukan hal tersebut, entitas perlu untuk memantau dan menilai:
a) beban operasi (operating expenses);
b) arus kas saat ini dan proyeksinya, termasuk pengeluaran modal (capital
expenditures).
Berdasar 4 (empat) ukuran kinerja tersebut maka akan dihasilkan laporan kinerja terintegrasi.
Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut:

Sumber : Australian National Audit Office, Asset Management Handbook, 1996, hal. 18

Gambar 2.2 Kinerja Aset

19
 
 

 
2.2.1 Pengertian Kinerja Fisik Aset
 
Kinerja aset secara fisik dapat dilakukan secara langsung melalui proses manual dan
dapat  dilihat secara langsung terhadap objek-objek tertentu, misalnya kolam olak yang hancur,
 
saluran yang penuh dengan sedimen, pintu air yang tidak berfungsi, dan sebagainya yang dapat
dilihat secara kasat
  mata. Kinerja fisik aset dapat memberikan input yang bermanfaat bagi
kepatuhan
  terhadap peraturan dan perencanaan pemeliharaan aset. Menurut Sugiama (2014 hal
232), ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kinerja fisik aset diantaranya:
 
1) Perencanaan pemeliharaan aset;
 
2) Pengorganisasian pemeliharaan aset;
 
3) Pengendalian pemeliharaan aset;
  4) Manajemen pemeliharaan aset bersangkutan.
Masih menurut Sugiama (2014 hal 232), kinerja fisik aset dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Dalam kondisi prima
2) Layak pakai secara teknis
3) Rusak ringan perlu perbaikan
4) Rusak berat dan dapat diperbaiki
5) Rusak dan perlu pembaharuan
6) Rusak berat tidak dapat diperbaiki

Kinerja fisik dari suatu aset dipengaruhi oleh kondisi fisik aset itu sendiri, di mana jika
kondisi fisik asetnya mengalami kerusakan maka pelayanan yang diberikan tidak optimal.
Menurut Hudson (1997, hal 173) kinerja fisik dinilai berdasarkan kerusakan dan kegagalan pada
struktur bangunan, umur layan dan permintaan masyarakat atas aset.

2.2.2 Pengertian Kinerja Fisik Aset Irigasi

Kinerja dari suatu aset irigasi sangat berpengaruh pada pola pengelolaan aset irigasi itu

sendiri, dimana kinerja menjadi acuan untuk pola pengelolaan. Berdasarkan Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Aset Irigasi, yang

dimaksud dengan pengelolaan aset irigasi adalah proses manajemen yang terstruktur untuk

20
 
 

 
perencanaan pemeliharaan dan pendanaan sistem irigasi guna mencapai tingkat pelayanan yang
 
ditetapkan dan berkelanjutan bagi pemakai air irgasi dan pengguna jaringan irigasi dengan
 
pembiayaan pengelolaan aset irigasi seefisien mungkin, di mana kegiatan pengelolaan aset irigasi
 
terdiri atas:
 

  1) Inventarisasi Aset Irigasi


Inventarisasi merupakan langkah awal dalam rangka pengelolaan aset irigasi, di
 
mana produk dari kegiatan inventarisasi adalah data di setiap daerah irigasi yang
 
disimpan dalam pangkalan data yang berada di kantor pengelola daerah irigasi yang
 
bersangkutan;
  2) Perencanaan Pengelolaan Aset Irigasi
Perencanaan pengelolaan aset irigasi merupakan langkah kedua dalam rangka
pengelolaan aset irigasi setelah dilaksanakan inventarisasi, di mana tujuannya adalah
untuk mencapai tingkat pelayanan yang diinginkan. Dengan perencanaan
pengelolaan aset irigasi yang baik diharapkan kondisi dan fungsi fisik aset irigasi
akan terjaga sehingga tingkat layanan yang diharapkan dapat dicapai;
3) Pelaksanaan Pengelolaan Aset Irigasi
Selanjutnya setelah tahap perencanaan, maka dilanjutkan pada tahap pelaksanaan di
mana tahapan tersebut berdasarkan rencana pengelolaan aset irigasi yang terbagi
menjadi:
a) Rencana investasi aset jaringan, yang berupa perbaikan dan penggantian
aset jaringan irigasi dalam masa 5 (lima) tahun;
b) Rencana investasi aset pendukung, yang berupa pemenuhan kebutuhan
dan perbaikan aset pendukung dalam masa 5 (lima) tahun; dan
c) Rencana kinerja irigasi, yang berupa target-target luas tanam per tahun
selama 5 (lima) tahun yang dihubungkan dengan pelaksanaan rencana
investasi aset jaringan.

21
 
 

 
4) Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Aset Irigasi
 
Evaluasi dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan monitoring. Evaluasi
  dilakukan terhadap pelaksanaan pengelolaan aset irigasi mulai dari inventarisasi
sampai
  dengan pemutakhiran data.
5) Pemutakhiran Hasil Inventarisasi Aset Irigasi
 
Evaluasi dan pemutakhiran data dapat memberikan umpan balik terhadap
 
pelaksanaan pengelolaan aset irigasi yang sedang berjalan.
 

Berikut skema  dari pedoman pengelolaan aset irigasi secara umum, seperti pada gambar di
bawah ini:  

22
 
 

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 13/PRT/M/2012

Gambar 2.3 Pedoman Pengelolaan Aset Irigasi

Berdasarkan peraturan di atas, kinerja fisik aset irigasi dibagi menjadi:

1) Kondisi Fisik Jaringan Irigasi


Untuk dapat melakukan pengelolaan jaringan irigasi dengan baik, maka perlu dilakukan
terlebih dahulu penilaian terhadap kondisi fisiknya, hal ini lakukan karenan kondisi fisik
jaringan irigasi dapat menjadi gambaran apakah fungsi dari aset yang terdapat jaringan
irigasi mampu bekerja sesuai dengan standar layanan yang ditetapkan. Adapun penilaian
terhadap kondisi fisik jaringan irigasi sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat No. 12 Tahun 2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan
Jaringan Irigasi adalah seperti pada tabel 2.1 di bawah ini:

23
 
 

 
Tabel 2.1 Penilaian Kondisi Fisik Jaringan Irigasi
  No. Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Kriteria
  1. Tingkat Kerusakan < 10% Baik

  2. Tingkat Kerusakan 10% - 20% Rusak Ringan

 
3. Tingkat Kerusakan 21% - 40% Rusak Sedang
4. Tingkat Kerusakan < 40% Rusak Berat
 
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 12/PRT/M/2015
 

Adapun  indikator yang dapat digunakan untuk menilai kondisi fisik jaringan irigasi di
atas menurut
  Mansoer (2013) adalah sebagai berikut:
1) Indikator Bangunan Utama (Bu)
 
Bangunan utama yang masih berfungsi baik (Buf) / jumlah total bangunan utama
(But) kemudian dikali dengan bobotnya.
Atau Bu = Buf x bobot................................. (1)
But
2) Indikator Saluran Irigasi (Is)
Panjang saluran irigasi yang masih berfungsi dengan baik (Sf) / panjang saluran
total (St) kemudian dikali bobotnya; atau
Atau Is = Sf x bobot................................. (2)
St
3) Indikator Bangunan (Ib)
Jumlah bangunan yang berfungsi baik (Bf) / jumlah bangunan total (Bt) kemudian
dikali dengan bobotnya.
Atau Ib = Bf x bobot................................. (3)
Bt

Setelah nilai masing-masing indikator diketahui, maka dihitung persentase kondisi fisik
jaringan irigasi dengan rumus:

Kondisi Fisik Jaringan Irigasi = Bu + Is + Ib................................(4)

24
 
 

 
Sedangkan bobot indikator untuk menentukan kriteria kondisi fisik jaringan irigasi, dapat
 
dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini:
 

  Tabel 2.2 Bobot Indikator Kondisi Fisik Jaringan Irigasi


No. Indikator Bobot (%)
 
1. Bangunan Utama 38.65
 
2. Saluran Pembawa 31.65
 
3. Bangunan pada Saluran 29.65
 
Sumber : Mansoer, 2013

 
2) Kondisi Fungsi Fisik Jaringan Irigasi
 
Setelah kondisi fisik dari jaringan irigasi diketahui, maka hal lain yang tidak kalah
pentingnya dalam pengelolaan jaringan irigasi adalah mengetahui fungsi fisiknya. Fungsi
fisik jaringan irigasi erat kaitannya terhadap kondisi fisik jaringan irigasi. Jika kondisi
fisik jaringan irigasi baik, maka hampir dapat dipastikan untuk fungsi fisik jaringan
irigasinya pun tidak akan jauh berbeda. Adapun penilaian terhadap fungsi fisik jaringan
irigasi sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 12
Tahun 2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah seperti pada
tabel 2.3 di bawah ini:

Tabel 2.3 Penilaian Fungsi Fisik Jaringan Irigasi


No. Tingkat Fungsi Fisik Kriteria
1. Tingkat Kerusakan Fungsional < 10% Baik
2. Tingkat Kerusakan Fungsional 10% - 20% Rusak Ringan
3. Tingkat Kerusakan Fungsional 21% - 40% Rusak Sedang
4. Tingkat Kerusakan Fungsional < 40% Rusak Berat
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 12/PRT/M/2015

25
 
 

Adapun  indikator yang dapat digunakan untuk menilai fungsi fisik jaringan irigasi
menurut  Mansoer (2013) adalah sebagai berikut:
  1) Indikator Saluran Irigasi (Is)
Panjang
  saluran irigasi yang masih berfungsi dengan baik (Sf) / panjang saluran
total (St) kemudian dikali bobotnya; atau
 
Atau Is = Sf x 100%................................. (1)
  St
  2) Indikator Bangunan (Ib)
Jumlah
  bangunan yang berfungsi baik (Bf) / jumlah bangunan total (Bt) kemudian
dikali dengan bobotnya.
 
Atau Ib = Bf x 100%................................. (2)
  Bt

Setelah nilai masing-masing indikator diketahui, maka dihitung persentase fungsi fisik
jaringan irigasi dengan rumus:

Fungsi Fisik Jaringan Irigasi = Is + Ib .....................................................(3)


2

2.3 Pengertian Daerah Irigasi


Mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 13/PRT/M/2012 tentang
Pedoman Pengelolaan Aset Irigasi, yang dimaksud dengan Irigasi adalah usaha penyediaan,
pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi
irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.
Sementara itu yang dimaksud dengan Daerah Irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air
dari suatu jaringan irigasi, di mana suatu jaringan irigasi terdiri atas saluran, bangunan dan
bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan,
pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi. Di Indonesia sendiri untuk
sistem jaringan irigasi diklasifikasikan sebagai berikut:

26
 
 

 
Tabel 2.4 Klasifikasi Jaringan Irigasi
  Klasifikasi Jaringan Irigasi
No. Uraian
  Teknis Semi-Teknis Sederhana
1. Bangunan  utama permanen permanen atau sementara
semi permanen
2. Kemampuan   bangunan dalam baik sedang jelek
mengukur & mengatur debit
3.   Jaringan saluran saluran irigasi saluran irigasi dan saluran irigasi dan
dan pembuang pembuang tidak pembuang jadi
  terpisah sepenuhnya satu
terpisah
4.  
Petak tersier dikembangkan belum belum ada
sepenuhnya dikembangkan jaringan
  sepenuhnya atau terpisah yang
densitas bangunan dikembangkan
 
tersier jarang
5. Efisiensi secara keseluruhan tinggi 50 - 60% sedang 40-50% kurang < 40%
(ancar-ancar) (ancar-ancar) (ancar-ancar)
6. Ukuran tak ada batasan sampai 2.000 ha tidak lebih dari
500 ha
7. Jalan usaha tani ada ke seluruh hanya sebagian cenderung tidak
areal areal ada
8. Kondisi OP ada instansi yang belum teratur tidak ada OP
menangani dan
dilaksanakan
secara teratur
Sumber : Kriteria Perencanaan (KP Irigasi - 01)

Berdasarkan tabel 2.4 di atas, Daerah Irigasi Cihea termasuk ke dalam sistem irigasi teknis, di
mana daerah irigasi ini merupakan salah satu irigasi teknis tertua di Indonesia yang menjadi
daerah irigasi percontohan.

2.3.1 Bangunan-bangunan Irigasi

Selain sistem jaringan irigasi yang harus dipahami ketika akan melakukan analisis kinerja
fisik yang tidak kalah penting adalah mengetahui bangunan-bangunan irigasi yang diperlukan
untuk menunjang pengaturan dan pengambilan air irigasi. Menurut Mawardi, Erman dan
Memed, Mochammad (Desain Hidroulik Bendung Tetap, 2002, bangunan-bangunan irigasi yang
umumnya dijumpai dalam prakterk irigasi antara lain:

27
 
 

 
1) Bengunan Utama
 
Bangunan utama dimaksudkan sebagai penyadap dari suatu sumber air untuk
  dialirkan ke seluruh daerah irigasi yang dilayani. Berdasarkan sumber airnya,
bangunan
  utama dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, (a) bendung, (b)
pengambilan bebas, (c) pengambilan dari waduk, dan (4) stasiun pompa.
 
a. Bendung
 
Bendung adalah bangunan air dengan kelengkapannya yang dibangun
 
melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat dengan maksud untuk
  meninggikan elevasi muka air sungai.
 b. Pengambilan bebas

  Bangunan yang dibuat di tepi sungai menyadap air sungai untuk dialirkan ke
daerah irigasi yang dilayani. Perbedaan dengan bendung adalah bangunan
pengambilan bebas tidak melakukan pengaturan untuk meninggikan elevasi
muka air sungai.
c. Pengambilan dari waduk
Waduk adalah penampung air saat terjadi kelebihan air dan mengalirkannya
pada saat diperlukan.
d. Stasiun Pompa
Bangunan pengambilan air dengan pompa menjadi pilihan apabila upaya-
upaya penyadapan air secara gravitasi tidak memungkinkan untuk dilakukan,
baik dari segi teknik maupun ekonomi.
2) Bangunan Pembawa
Bangunan ini memiliki fungsi untuk membawa/mengalirkan air dari sumbernya
menuju petak irigasi. Bangunan pembawa ini meliputi saluran primer, saluran
sekunder, saluran tersier dan saluran kwarter. Termasuk bangunan pembawa adalah
talang, gorong-gorong, siphon, terjunan dan got miring.
3) Bangunan Bagi dan Sadap
Bangunan bagi merupakan bangunan yang terletak pada saluran primer, sekunder dan
tersier yang berfungsi untuk membagi air yang dibawa oleh saluran yang
bersangkutan.

28
 
 

 
4) Bangunan Pengatur dan Pengukur
  pemberian air irigasi sesuai dengan yang direncanakan, perlu dilakukan
Agar
  pengaturan dan pengukuran aliran di bangunan sadap (awal saluran primer), cabang
saluran
  jaringan primer serta sadap primer dan sekunder. Bangunan pengatur muka
air dimaksudkan untuk dapat mengatur muka air sampai batas-batas yang diperlukan
 
untuk dapat memberikan debit yang konstan dan sesuai dengan yang dibutuhkan.
 
Sedangkan bangunan pengukur dimaksudkan untuk dapat memberi informasi
 
mengenai besar aliran yang dialirkan.
 a) Bangunan Drainase

  Bangunan drainase dimaksudkan untuk membuang kelebihan air di petak


  sawah maupun saluran. Kelebihan air di petak sawah dibuang melalui saluran
pembuang, sedangkan kelebihan air di saluran dibuang melalui bangunan
pelimpah.
b) Bangunan Pelengkap
Bangunan pelengkap berfungsi sebagai pelengkap bangunan-bangunan irigasi
yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis-jenis bangunan ini antara lain jalan
inspeksi, tanggul, jembatan penyeberangan, tangga mandi manusia, sarana
mandi hewan, serta bangunan lainnya.

Untuk pembagian bangunan-bangunan irigasi yang terdapat pada Daerah Irigasi Cihea adalah
sebagai berikut:
A. Bangunan Utama
Bendung Cisokan dan Bendung Ciranjang adalah 2 (dua) bangunan utama yang
terdapat pada Daerah Irigasi sebagai pengatur sumber air yang berasal dari Sungai
Cisokan dan Sungai Ciranjang.
B. Bangunan Sadap
Bangunan sadap yang terdapat pada Daerah Irigasi terbagi atas bangunan sadap,
bangunan bagi sadap, dan bangunan bagi yang terdapat pada masing-masing
jaringan irigasi.

29
 
 

 
C. Bangunan Pelengkap
 
Bangunan-bangunan pelengkap yang terdapat pada Daerah Irigasi antara lain alat
  ukur, gorong-gorong silang, got miring, inlet, jembatan, shipon, talang, dan
bangunan
  terjun.

 
2.4 Pedoman Penyelenggaraan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
 
Salah satu hal terpenting dalam pengelolaan irigasi adalah bagaimana cara melaksanakan
 
pemeliharaan yang efektif dan efisien sehingga pemanfaatan jaringan irigasi menjadi lebih
 
optimal. Karenanya pengelolaan jaringan irigasi harus mengacu pada peraturan pedoman
 
penyelenggaraan jaringan irigasi yang telah ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Menteri
 
Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat No. 12 Tahun 2015 tentang Eksploitasi dan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah seperti pada tabel 2.5 di bawah ini:

Tabel 2.5 Pengelolaan Jaringan Irigasi


No. Tingkat Kerusakan Pengelolaan Jaringan Irigasi
1. Tingkat Kerusakan < 10% Pemeliharaan rutin
2. Tingkat Kerusakan 10% - 20% Pemeliharaan berkala yang bersifat perawatan
3. Tingkat Kerusakan 21% - 40% Pemeliharaan berkala yang bersifat perbaikan
4. Tingkat Kerusakan < 40% Pemeliharaan berkala yang bersifat
perbaikan/rehabilitasi
Sumber : Peraturan Menteri PUPR No 12/PRT/M/2015

Adapun kegiatan-kegiatan pemeliharaan pada tabel 2.5, yaitu:


1) Pemeliharaan Rutin
Merupakan kegiatan perawatan dalam rangka mempertahankan kondisi jaringan
irigasi yang dilaksanakan secara terus menerus tanpa ada bagian konstruksi yang
diubah atau diganti. Kegiatan pemeliharaan rutin meliputi:
a) yang bersifat perawatan
 memberikan minyak pelumas pada bagian pintu;
 membersihkan saluran dan bangunan dari tanaman liar dan semak-semak;
 memberikan saluran dan bangunan dari sampah dan kotoran;

30
 
 

 
 pembuangan endapan lumpur di bangunan ukur
   memelihara tanaman lindung di sekitar bangunan dan di tepi luar tanggul
  saluran.
b)
  yang bersifat perbaikan ringan
 menutup lubang-lubang bocoran kecil di saluran/bangunan;
 
 perbaikan kecil pada pasangan, misalnya siaran/plesteran yang retak atau
 
beberapa batu muka yang lepas.
 
2) Pemeliharaan Berkala
 
Merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang dilaksanakan secara berkala
yang  direncanakan. Kegiatan pemeliharaan berkala antara lain:
  a) pemeliharaan berkala yang bersifat perawatan
 pengecatan pintu;
 pembuangan lumpur di bangunan dan saluran.
b) pemeliharaan berkala yang bersifat perbaikan
 perbaikan saluran;
 perbaikan pintu-pintu dan skot balk;
 perbaikan jalan inspeksi;
 perbaikan fasilitas pendukung.
c) pemeliharaan yang bersifat penggantian
 penggantian pintu;
 penggantian alat ukur;
 penggantian peil schall.

Berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi, maka barulah dapat ditentukan tingkat keuangan
yang tepat, apakah harus mempersiapkan anggaran untuk pemeliharaan rutin, pemeliharaan
berkala atau rehabilitasi.

31
 

Anda mungkin juga menyukai