Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“metode pendidikam dan mengajar”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“ Hadist ”
Dosen Pengampu :Bpk. M. Saeful Amri, M.Pd

Disusun Oleh : Slamet Wahyu Utomo

POGRAM STUDY STRATA SATU ( S1)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )AL MUHAMMAD CEPU
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Salah satu dari berbagai komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah
ketepatan menentukan metode, sebab dengan metode yang tepat materi pendidikan dapat
diterima dengan dengan baik. Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam
suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa metode suatu materi pendidikan atau pembelajaran
tidak akan dapat berproses dengan sendirinya menuju tujuan pendidikan.
            Apabila Islam telah memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum bagi
pelaksanaan pendidikan, agama inipun juga menggariskan sejumlah metode yang diperlukan
dalam segenap proses pendidikan dan pembelajaran. Hadis-hadis dibawah ini merupakan
landasan normative dari keberadaan sejumlah metode pendidikan yang diatur oleh ajaran
Islam.[1]
           
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan makalah ini adalah:
1. Bagaimana hadits tentang metode pendidikan dan pengajaran ?
2. Bagaimana uraian hadits tenatng metode pendidikan dan pengajaran ?
3. Bagaimana korelasi hadits dengan pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadits Metode Pendidikan dan Pengajaran


1. Hadits tentang Metode Keteladanan
‫َم ْن َس َّن فِى اِإل ْساَل م حسنة فله أ جر ها و أ جر من عمل بها بعد ه من غير أ ن ينقص من أ جو ر هم شى‬
‫ء و من سن فى ا الء سال م سنة سيئة كا ن علي‬
“Siapa yang menggariskan keteladanan yang baik dalam Islam, ia mendapat pahala atas
(amal) itu dan juga pahala karena orang mengamalkannya dikemudian hari tanpa
menguragi pahala mereka yang mengamalkannya itu sedikitpun.”
2. Hadits tentang metode wasiat
‫ بهم خيرا‬s‫أتوكم فاستوصوا‬  ‫إن رجاال يأتونكم من أقطار األرض يتفقّهون فى ال ّدين فإذا‬
ّ ‫إن الناس لكم تبع و‬
ّ
“Sesungguhnya umat manusia akan menjadi pengikut kalian, dan sesungguhnya beberapa
kelompok orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru bumi untuk memperdalam
urusan agama. Maka apabila mereka mendatangi kalian, hendaklah kalian berwasiat kepada
mereka dengan kebaikan.”
3. Hadits tentang metode diskusi
‫أمر‬s‫ورة أو ي‬s‫ل س‬s‫رأ رج‬s‫ه إالّ ان يق‬s‫ني الفق‬s‫ديثهم يع‬s‫ان ح‬s‫وا ك‬s‫أصحاب النّب ّي صلّى هللا عليه وسلّم إذا جلس‬
‫رجال بقراءة سورة‬
“Para sahabat Nabi saw apabila merekan berkumpul dalam suatu majelis maka
pembicaraan merekan adalah pendalaman terhadap ilmu agama, kecuali ada seseorang
yang membaca surah (Alquran) atau ia menyuruh yang lain untuk membaca surah
(Alquran).”
4. Hadits tentang larangan metode debat
‫ما ض ّل قوم بعد هدى كانوا عليه إالّ أتوا الجدل‬
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali mereka melibatkan diri
dalam perdebatan.”

B.  Uraian Hadits
            Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Al-Turmudzy, Al-Nasa’iy,
Ibn Majah, Al-Thayalisih, Al-Darimiy, Abu Uwanah, dan Ibnu Hibban dari Sayyidina Jarir
ibn Abdillah al al-Bajalliy ra. adapun  matan di atas sesuai Shahih Muslim.[2] Hadits
kedua diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzy dan ibn Majjah dari Sayyidina Abi Sa’id al-
Khudry ra. Matan hadits di atas sesuai Sunan al-Turmudzy.[3] Menurut Iman al-Suyuti,
hadits sebagaimana tersebut di atas adalah dha’if.[4] Namun didalam syarah-nya Al-Imam al-
Manawi menyebutkan adanya jalur sanad lain bagi hadits ini, minimal menjadi hasan.
[5] Hadits Ketiga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dengan status sahih berdasarkan syarat
Imam Muslim.[6] Sejauh ini tidak diperoleh informasi bahwa hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh mukharrij lainnya. Hadits keempat diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzy,
Ibn Majah, Ahmad, al-Thabraniy, al-Hakim, dan al-Maqdisiy,  dari Sayyidina Abi Umamah
ra Matn diatas sesuai Sunan al-Turmudzy dan menilainya Hasan Sahih.[7] Sedangkan
menurut Imam al-Suyuti, hadits di atas berstatus hasan.[8]

C.  Maksud Hadits
            Hadits pertama menekankan keteladanan sebagai metode atau pendekatan yang sangat
efektif dalam pendidikan, sehingga nilai keutamaannya pun sangat tinggi disisi Allah swt.
Hadits kedua tentang metode wasiat sangat diperlukan sebagai metode pendidikan untuk para
pelajar yang haus ilmu. Hadits ketiga menjelaskan tentang sunnah taqririyyah yang
dipraktekkan oleh para sahabat dalam konteks pendidikan di antara mereka, yait tentang
metode mudzakarah (belajar bersama) yang sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah saw
masih hidup.

D.  Korelasi Hadits Dengan Dunia Pendidikan


            Keempat hadits tersebut diatas berbicara tentang berbagai metode dalam pendidikan,
baik yang sesuai dengan sunnah atau tidak. Mengingat objek kajian pendidikan Islam adalah
manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan maka penggunaan metode
dalam proses kependidikan pada hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam
pekerjaaan mendidik atau mengajar, disesuaikan dengan kondsi dan keadaan, bahkan latar
belakang peserta didik (siswa/santri).
            Para ahli psikologi dan pendidikan pada umumnya berkeyakinan bahwa dua orang
anak-anak yang kembar sekalipun tidak pernah memiliki respon yang samam persisi trhadap
situasi belajar mengajar di sekolah. Keduanya sangat mungkin berbeda dalam hal
pembawaan, kematngan jasmani, inteligensi, dan keterampilan motor/jasmaniah. Anak-anak
itu, seperti juga anak-anak lainnya, relatif berbeda dalam berkepribadian sebagaimana yang
tampak dalam penampilan dan cara berfikir atau memecahkan masalah mereka masing-
masing.
            Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan metode yang berbeda-beda dan bervariasi
dalam proses pendidikan dan pengajaran sesuai tingkat perbedaan dan perkembangan
kepribadian para peserta didik. Disini perlu di tegaskan bahwa terdapat pebedaan antara
metode pendidikan dengan metode pengajaran (pembelajaran). pada umumnya, apa yang
disebut metode dalam pendidikan adalah pendekatan dalam pembelajaran. Misalnya
keteladanan dan pembiasaan adalah metode dalam pendidikan, namun keduanya bukanlah
metode dalam pembelajaran, melainkan sekedar pendekatan.
            Hadis pertama menekankan pentingnya keteladanan sebagai metode dalam
pendidikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surah al-Ahjab yang artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.”
            Metode keteladan memang bukan termasuk metode pengajaran dalam pengertian
khusus, tetapi merukan metode pendidikan secara umum, yang dalam dunia da’wah lazim
disebut da’wah bi al-hal.  Efektifitas metode ini tergambar dalam ungkapan popular berikut:
‫لسا ن ا لحا ل أ فصح من لسا ن ا لمقا ل‬
“Lidahnya perbuatan lebih mengena daripada lidahnya perkataan.”
                 Hadis kedua menginformasi bahwa metode wasiat sangat diperlukan untuk para
pelajar yang menginginkan sesuatu dari gurunya atau seseorang yang diminta wasiat untuk
dijadikan pegangan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, suatu wasiat lazimnya
diungkapkan dalam kalimat singkat namun padat, seperti wasiat Nabi saw. yang terekam oleh
Sayyidina Abi Hurairah ra. yang artinya “Seorang lelaki berkata kepada Nabi saw:
[9]  “Berwasiatlah kepadaku”. Beliau pun bersabda: “Jangan marah!” Kemudian beliau
ulangi beberapa kali dengan sabda (yang sama): “Jangan marah”.
            Secara pedagogik, wasiat memang sangat mirip, atau bahkan termasuk bagian dari
metode ceramah terkadang diisi dengan penjelasan konseptual, contoh, dan adakalanya
disisipkan dengan penekanan khusus yang harus diperhatikan peserta didik, dan inilah yang
dikehendaki dengan wasiat.
            Sehubungan dengan metode ceramah konvensional, ada satu hal yang perlu
diperhatikan, yaitu agar metode tersebut tidak diterapkan secara regular dan mononton, sebab
hal ini dapat menjemukan peserta didik. Hal ini antara lain terungkap pula dalam hadis
lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sayyidina Abdillah ibn Umar ra. yang
menjelaskan pengalaman beliau selama bersama Nabi saw sebagai berikut:[10]
‫ا ن ر سو هللا ءليه و سلم كا ن يتخو لنا با لمو ءظة فى اال يا م كر ا هية ا لسا مة ءلينا‬
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memilih beberapa hari tertentu untuk mengajar kami
supaya kami tidak bosan.”
            Hadis ketiga merupakan dalil tentang pentingnya belajar bersama untuk mengulang-
kaji atau saling berbagi ilmu yang telah dimiliki. Di dalam hadis mauquf riwayat al-Hakim
dari jalur Ali bin Abi Thalib ra yang artinya “Saling mengingatkanlah tentang hadis, karen
sekiranya kalian tidak berbuat, niscaya ia terus dipelajari.”
            Hal ini terkait dengan hadis keempat yang melarang untul berdebat dalam mencari
maupun mengembangkan dan mengajarkan ilmu. Di sini perlu dibedakan antara diskusi
dengan debat, bahwa diskusi lebih menekankan kebenaran dan bukannya kemenangan, yang
dalam kontek hadis di atas dapat disinonomkan dengan metode mudzakarah. Tetapi dalam
debat yang dicari adalah kemenangan, sehingga cenderung mengabaikan munculnya
kebenaran dari pihak yang saling berseberangan.
BAB III
PENUTUP

 A.    Kesimpulan
            Secara umum, metode pendidikan modern tidak bertentangan dengan metode
pendidikan Islam, kecuali dlam beberapa hal yang menyangkut aplikasinya. Misalnya,
metode diskusi dalam sistem pendidikan modern cenderung liberal sehingga segala hal
terkesan sah-sah saja untuk didiskusikan. Disamping itu prosesi diskusi akan terasa hambar
jikan tidka dilakukan dengan perang konsep atau adu argumentasi yang frontal sehingga
suasana menjadi hangat. Semua metode mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada. Untuk itu keberhasilan dalam proses belajar mengajar juga tak
luput dari ketepatan dalam memilih metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada
B.   Saran
            Demikian makalah yang kami buat. semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dalam
pemahaman dan pengetahuan kita tentang metode-metode pendidikan yang Nabi ajarkan
pada kita(melalui hadis). Namun sebagai manusia yang biasa yang masih jauh dari
kesempurnaan, kami sada masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk
itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Harisuddin, Muhammad Yusran, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Insyira,


2013
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairiy al-Naisaburiy, Shaih Muslim, (Beirut: Dar al-
Kutib al-Ilmiyyah, 2011)
Abu Isa al-Turmudzy, al-jami al sahih Sunan al- Turmudziy, Tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,t.th.)
Jalal al-Din al-Suyutiy, al-Jami al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah,2012)
Abd al—Rauf al—Manawiy, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami al-Shahir, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah,1994)
Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala al-Shahihain, Tahqiq
Mustafa Abd al-Qadir Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990)
Abu Isa al-Turmudzy, al-jami al sahih Sunan al- Turmudziy, Tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,t.th.)

[1] Ahmad Harisuddin, Muhammad Yusran, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Insyira, 2013
[2] Lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairiy al-Naisaburiy, Shaih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutib al-Ilmiyyah,
2011), cet. VI, h.365.
[3] Abu Isa al-Turmudzy, al-jami al sahih Sunan al- Turmudziy, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar Ihya al-
Turats al-Arabiy,t.th.), Juz, h. 30.
[4] Lihat Jalal al-Din al-Suyutiy, al-Jami al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,2012),
cet. VI, h. 130.
[5] Lihat Abd al—Rauf al—Manawiy, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami al-Shahir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1994), cet.
1, Juz 2, h. 506
[6] Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala al-Shahihain, Tahqiq Mustafa Abd al-Qadir
Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), cet. 1, Juz 1, h. 172.
[7] Lihat Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudziy, al-Jami al-Kabir, Tahqiq Basyar Awwal Ma’ruf, (Beirut: Dar al-Ghurab
al-Islamiy, 1996), cet.1, Juz 5, h. 296-297.
[8] Lihat Jalal al-Din al-Suyuthiy, op.cit, h. 485.
[9] Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, Tahqiq Mahmud Muhammad Mahmud
Hasan Nashar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet.VI, h. 112, hadis nomor 6116.
[10] Ibid, h. 1171, hadis nomor 6411

Anda mungkin juga menyukai