Anda di halaman 1dari 43

OPTIMALISASI PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN

PEDULI REMAJA (PKPR) MELALUI PENINGKATAN


PENGETAHUAN REMAJA SEKOLAH DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BUNGA RAYA 2021

Disusun Oleh:
dr. Silvia Stovannie Ademi

UPTD PUSKESMAS BUNGA RAYA


DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIAK
PROVINSI RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
yang dibuat sebagai salah satu syarat pengajuan DUPAK. Adapun judul makalah
ini adalah “Optimalisasi Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) Melalui Peningkatan Pengetahuan Remaja Sekolah di Wilayah
Kerja Puskesmas Bunga Raya”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, Penulis banyak menerima bantuan dan
dorongan baik moral maupun material dari berbagai pihak, untuk itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, Penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak Puskesmas Bungaraya yang telah
memfasilitasi dalam pengerjaan makalah ini. Penulis juga ingin mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Puskesmas Bungaraya serta pihak-pihak terkait yang
telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian
makalah ini.
Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan makalah ini,
namun penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan lebih lanjut.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang kedokteran.

Bungaraya, 12 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................i


DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................5
1.3 Tujuan.......................................................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum..............................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja.......................................................7
2.2 Kesehatan Reproduksi Remaja.................................................................15
2.3 Seks pranikah...........................................................................................18
2.4 Pelayanan gizi remaja...............................................................................21
2.5 Pelayanan kesehatan jiwa remaja.............................................................23
2.6 Pencegahan dan penanganan Napza.........................................................25
2.7 Deteksi dan penanganan kekerasan terhadap remaja...............................28
2.8 Deteksi dan penanganan tuberkulosis......................................................30
2.9 Deteksi dan penanganan kecacingan........................................................31
3.0 Skrining status TT pada remaja................................................................32
3.1 Kuisioner..................................................................................................34
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan..............................................................................................35
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan...................................................................................................38
4.2 Saran.........................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) merupakan suatu program yang


dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai upaya untuk
meningkatkan status kesehatan remaja yang menekankan kepada Puskesmas. PKPR
adalah suatu pelayanan yang ditujukan dan dapat dijangkau oleh remaja, peka akan
kebutuhan terkait kesehatannya, dapat menjaga rahasia, efektif dan efisien dalam
memenuhi kebutuhan tersebut. Program ini diharapkan petugas Puskesmas
mempunyai kepedulian yang tinggi, mau menerima remaja dengan permasalahnnya
dan dapat menciptakan suasana konseling yang menyenangkan tanpa adanya stigma
dan diskriminasi terhadap remaja tersebut 1
Tahun 2003, Kementerian Kesehatan menghadirkan strategi untuk
menanggulangi permasalahan kesehatan pada remaja melalui PKPR. PKPR
bertujuan khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja tentang
kesehatan dan perilaku hidup sehat serta memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi remaja. PKPR dapat terlaksana dengan optimal bila membentuk
jejaring dan integrasi dengan lintas program, lintas sektor, organisasi swasta, dan
LSM terkait kesehatan remaja.2
Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
bahwa sasaran pengguna layanan PKPR adalah kelompok remaja usia 10-18 tahun.
Walaupun demikian, mengingat batasan usia remaja menurut WHO adalah usia 10-19
tahun, maka Kementrian Kesehatan menetapkan sasaran pengguna layanan PKPR
meliputi remaja berusia 10 sampai 19 tahun, tanpa memandang status pernikahan.1
Data SDKI tahun 2012 menunjukan bahwa 28% remaja perempuan dan 24%
remaja laki-laki meminum minuman beralkohol pada usia sebelum 15 tahun. Sekitar
2,8% remaja 15-19 tahun terlibat penyalahgunaan NAPZA, dan 0,7 % perempuan dan
4,5% laki-laki umur 15-19 tahun melakukan hubungan seks pra-nikah. Sekitar 32,1%
remaja perempuan dan 36,5 remaja laki-laki yang berumur 15-19 tahun mulai
berpacaran pada saat mereka belum berusia 15 tahun. Alasan hubungan seksual
pranikah tersebut sebagian besar karena penasaran/ ingin tahu (57,5% pria), terjadi
begitu saja (38% perempuan) dan dipaksa oleh pasangan (12,6% perempuan) (SDKI
2012). Bukti ini mencerminkan bahwa kurangnya pemahaman remaja tentang
keterampilan hidup sehat, risiko hubungan seksual dan kemampuan untuk menolak
hubungan yang tidak mereka inginkan. Hasil SDKI 2012 menunjukan bahwa 7%
remaja perempuan 15-19 tahun pernah melahirkan. Hal ini sungguh memprihatinkan
karena kehamilan dan persalinan pada remaja di bawah 19 tahun meningkatkan risiko
kematian ibu dan bayi1
Data Riskesdas 2013, menujukan bahwa sebanyak 1,4% remaja umur 10-14 tahun
dan 18,3% remaja umur 15-19 tahun saat ini merokok. Selain itu diketahui bahwa
56% perokok laki-laki dan 59% perokok wanita mulai merokok sebelum mereka
berumur 15 tahun. 1
Dari pengetahuan remaja, Hasil SDKI tahun 2012 menunjukan bahwa
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Hanya 35,3%
remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki umur 15-19 tahun mengetahui bahwa
perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. Sebanyak 41,2%
perempuan dan 55,3% laki-laki umur 15-19 tahun mengetahui bahwa cara penularan
HIV-AIDS dapat dikurangi jika berhubungan seks hanya dengan sesorang yang tidak
memiliki pasangan lain. 46% perempuan dan 60,8 % laki-laki umur 15-19 tahun
mengetahui bahwa penularan HIV-AIDS dapat dikurangi dengan menggunakan
kondom. Hanya 9,9% perempuan dan 10,6% laki-laki umur 15-19 tahun memiliki
pengetahuan komprehensif mnengenai HIV-AIDS.1
Ada beberapa faktor penghambat layanan PKPR diantaranya puskesmas belum
semua melaksanakan kegiatan PKPR diantaranya pelatihan pendidik sebaya dan
konselor sebaya, alur dan pelaksanaan PKPR kurang sesuai, kurangnya cakupan
layanan kepada remaja dan kurangnya dukungan dari instansi-instansi lain yang
terkait dengan program PKPR3
Data dari permintaan surat sehat di puskesmas Bunga Raya para calon pengantin
(caten) dari bulan januari tahun 2020 hingga bulan November tahun 2021
didapatkan sebanyak 470 caten diantaranya 64 kasus remaja yang menikah pada usia
dibawah 19 tahun.
Di kecamatan bunga raya banyak remaja yang tidak melanjutkan sekolah atau
berhenti sekolah semenjak masa pandemik. Bisa kita ketahui di dapat satu kasus
anak dibawah umur 17 tahun sedang dalam menunggu proses persalinan anak kedua
di IGD puskesmas bunga raya, wilayah kerja puskesmas bunga raya.
Berdasarkan kondisi dan data tersebut, perlu adanya Optimalisasi Program
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Melalui Peningkatan Pengetahuan
Remaja Sekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Bungaraya Mengingat Puskesmas
merupakan pusat pelayanan kesehatan dasar yang dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat termasuk remaja dan tersediannya tenaga kesehatan, maka PKPR sangat
potensial untuk dilaksanakan di Puskesmas. PKPR sangat erat terkait dengan Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) yang juga dibina oleh Puskesmas setempat. Oleh karena
itu, apabila PKPR tidak dilaksanakan secara optimal, maka akan menimbulkan lebih
banyak kondisi kesehatan yang buruk.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah yang


didapatkan adalah belum optimalnya program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) melalui peningkatan pengetahuan remaja sekolah di wilayah kerja Puskesmas
Bungaraya.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Melaksanakan sosialisasi program PKPR melalui peningkatan pengetahuan
remaja sekolah di wilayah kerja Puskesmas Bunga Raya.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi pengetahuan remaja sekolah tentang pelayanan kesehatan
peduli remaja di wilayah kerja Puskesmas Bunga Raya
2. Menentukan masalah kurangnya pengetahuan remaja sekolah tentang
pelayanan kesehatan peduli remaja di wilayah kerja Puskesmas Bunga Raya
1.4 Manfaat
1. Membantu terlaksananya program puskesmas yaitu meningkatkan
pengetahuan remaja melalui program PKPR di wilayah kerja Puskesmas
Bunga Raya
2. Meningkatkan pengetahuan remaja sekolah tentang pelayanan kesehatan
peduli remaja di wilayah kerja Puskesmas Bunga Raya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja PKPR)


2.1.1 Definisi PKPR
Untuk meningkatkan status kesehatan remaja yang bersekolah maupun
tidak bersekolah, Kementrian Kesehatan RI telah mengembangkan Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang menekankan kepada petugas yang peduli
remaja, menerima remaja dengan tangan terbuka dan menyenangkan, lokasi
pelayanan yang mudah dijangkau, aman, menjaga kerahasiaan, kenyamanan
danprivasi serta tidak ada stigma. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
adalah pelayanan kesehatan peduli remaja yang melayani semua remaja dalam bentuk
konseling dan berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan remaja. Disini
remaja tidak perlu ragu dan khawatir untuk berbagi/konseling, mendapatkan
informasi yang benar dan tepat untuk berbagai hal yang perlu diketahui remaja.1
PKPR adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau oleh
remaja, menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai
remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya,
serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja dilayani di Puskesmas PKPR (Puskesmas yang menerapkan PKPR).4

2.1.2 Tujuan PKPR


Tujuan PKPR adalah:5
- Meningkatkan penyediaan pelayanan kesehatan remaja yang berkualitas.
- Meningkatkan pemanfaatan puskesmas oleh remaja untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan.
- Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam pencegahan
masalah kesehatan khusus remaja,
- Meningkatkan keterlibatan remaja dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
pelayanan kesehatan remaja.
- Konseling/curhat masalah kesehatan dan berbagai masalah remaja lainnya
(dan kerahasiaannya dijamin).
- Remaja dapat menjadi peer-counselor/kader kesehatan remaja agar dapat ikut
membantu teman yang sedang punya masalah.

2.1.3 Sasaran PKPR


Berdasarkan Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa
sasaran pengguna layanan PKPR adalah kelompok remaja usia 10-18 tahun.
Walaupun demikian, mengingat batasan usia remaja menurut WHO adalah 10-19
tahun, maka Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran pengguna layanan PKPR
meliputi remaja berusia 10 sampai 19 tahun, tanpa memandang status pernikahan.1
Fokus sasaran layanan puskesmas PKPR adalah berbagai kelompok remaja,
antara lain:1
1. Remaja di sekolah: sekolah umum, madrasah, pesantren, sekolah luar biasa.
2. Remaja di luar sekolah: karang taruna, saka bakti husada, palang merah
remaja, panti yatim piatu/rehabilitasi, kelompok belajar mengajar, organisasi
remaja, rumah singgah, kelompok keagamaan.
3. Remaja putri sebagai calon ibu dan remaja hamil tanpa mempermasalahkan
status pernikahan.
4. Remaja yang rentan terhadap penularan HIV, remaja yang sudah terinfeksi
HIV, remaja yang terkena dampak HIV dan AIDS, remaja yang menjadi
yatim/piatu karena AIDS
5. Remaja berkebutuhan khusus, yang meliputi kelompok remaja sebagai
berikut:
- Korban kekerasan, korban traficking, korban eksploitasi seksual
- Penyandang cacat, di lembaga pemasyarakatan (LAPAS), anak jalanan,
dan remaja pekerja
- Di daerah konflik (pengungsian), dan di daerah terpencil
2.1.4 Karakteristik PKPR
Karakteristik PKPR merujuk WHO (2003) memerlukan:6
1. Kebijakan yang peduli remaja
Kebijakan peduli remaja bertujuan untuk:
- Memenuhi hak remaja
- Tidak membatasi pelayanan karena kecacatan, etnik, usia dan status
- Memberikan perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender.
- Menjamin privasi dan kerahasiaan.
- Mempromosikan kemandirian remaja
- Menjamin biaya yang terjangkau/gratis.
2.  Prosedur pelayanan yang peduli remaja
- Pendaftaran dan pengambilan kartu yang mudah dan dijamin
kerahasiaanya.
- Waktu tunggu yang pendek
- Dapat berkunjung sewaktu waktu dengan atau tanpa perjanjian.
3. Petugas khusus yang peduli remaja
Petugas yang melayani PKPR di Puskesmas PKPR bisa seorang dokter, bidan
atau perawat yang sudah terlatih. Mereka akan melayani dengan sabar, ramah,
siap menampung segala permasalahan remaja serta siap berdiskusi
(memberikan konseling). Petugas khusus yang peduli remaja harus memenuhi
kriteria:
- Mempunyai perhatian dan peduli, baik budi, penuh pengertian, bersahabat,
memiliki kompetensi teknis dalam memberikan pelayanan khusus kepada
remaja, mempunyai ketrampilan komunikasi interpersonal dan konseling.
- Mempunyai motivasi untuk menolong dan bekerjasama dengan remaja.
- Tidak menghakimi, tidak bersikap dan berkomentar tidak menyenangkan
atau merendahkan.
- Dapat dipercaya dan dapat menjaga kerahasiaan.
- Mampu dan mau mengorbankan waktu sesuai kebutuhan.
- Dapat/mudah ditemui pada kunjungan ulang.
- Menunjukkan sikap menghargai kepada semua remaja dan tidak membeda-
bedakan.
- Mau memberikan informasi dan dukungan yang cukup hingga remaja dapat
memutuskan pilihan yang tepat untuk mengatasi maalahnya atau memenuhi
kebutuhannya.
4. Petugas pendukung yang peduli remaja
- Menunjukan sikap menghargai dan tidak membedakan.
- Mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya.
- Mempunyai motivasi untuk menolong dan memberikan dukungan pada
remaja.
5. Fasilitas kesehatan yang peduli remaja
- Lingkungan yang aman berarti bebas dari ancaman dan tekanan sehingga
menimbulkan rasa tenang dan remaja tidak segan berkunjung kembali.
- Lokasi pelayanan yang nyaman dan mudah dicapai.
- Fasilitas yang baik menjamin privasi dan kerahasiaan.
- Jam kerja yang nyaman menyesuaikan dengan waktu luang remaja
- Tidak ada stigma misalnya kedatangan remaja ke puskesmas semula
dianggap pasti memiliki masalah seksual atau penyalahgunaan NAPZA.
6. Partisipasi atau keterlibatan keluarga
- Remaja mendapat informasi yang jelas tentang adanya pelayanan, cara
mendapatkan pelayanan, kemudian memanfaatkan dan mendukung
pelaksanaannya.
- Remaja perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi pelayanan.
7. Keterlibatan masyarakat
Perlu dilakukan dialog dengan masyarakat tentang PKPR sehingga
masyarakat :
- Mengetahui keberadaan PKPR dan menghargai nilainya.
- Mendukung kegiatannya dan membantu meningkatkan mutu pelayanannya.
8. Berbasis masyarakat, menjangkau ke luar gedung, serta mengupayakan
pelayanan sebaya.
- Pelayanan sebaya adalah KIE untuk konseling remaja dan rujukannya oleh
teman sebayanya yang terlatih menjadi pendidik sebaya ( peer aducator ) dan
konselor sebaya ( peer counselor )
9. Pelayanan harus sesuai dan komprehensif
- Meliputi kebutuhan tumbuh kembang, dan kesehatan fisik , psikologis dan
sosial.
- Menyediakan paket komprehensif dan rujukan ke pelayanan terkait remaja
lainya.
- Menyederhanakan proses pelayanan dan menghilangkan prosedur yang
tidak penting.
10.  Pelayanan yang efektif
- Dipandu oleh pedoman dan prosedur tetap penatalaksanaan yang sudah
teruji.
- Memiliki sarana dan prasarana yang cukup untuk melaksanakan pelayanan.
- Mempunyai sistem jaminan mutu untuk pelayanannya.
11. Pelayanan yang efisien
Mempunyai sistem informasi manajemen termasuk informasi tentang biaya
dan mempunyai sistem agar informasi itu dapat dimanfaatkan.

2.1.5 Strategi Pelaksanaan dan Pengembangan PKPR1


- Pemenuhan sarana dan prasarana dilaksanakan secara bertahap.
- Penyertaan remaja secara aktif
- Penentuan biaya pelayanan serendah mungkin
- Dilaksanakannya kegiatan minimal pemberian KIE, pelaksanaan konseling
serta pelayanan klinis medis termasuk laboratorium dan rujukan, dilaksanakan
sejak awal dan bersamaan.
- Ketepatan penentuan prioritas sasaran, misalnya remaja sekolah, remaja
jalanan, karang taruna, dan sebagainya.
- Ketepatan pengembangan jenis kegiatan
Perluasan kegiatan PKPR ditentukan sesuai dengan masalah dan kebutuhan
setempat serta sesuai dengan kemampuan puskesmas.
- Pelembagaan monitoring dan evaluasi internal.
Monitoring dan evaluasi secara periodic yang dilakukan oleh tim jaminan
mutu puskesmas merupakan bagian dari upaya peningkatan akses dan kualitas
PKPR.

2.1.6 Jenis kegiatan PKPR4


1. Pemberian informasi dan edukasi
- Dilaksanakan di dalam gedung atau di luar gedung secara perorangan
atau kelompok.
- Dapat dilaksanakan oleh guru, pendidik sebaya yang terlatih dari sekolah
atau lintas sektor terkait dengan mengunakan materi dari puskesmas.
Menurut kemenkes 2014, materi edukasi materi edukasi yang diberikan
berupa:
1. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja (meliputi infeksi menular
seksual/IMS, HIV&AIDS) termasuk seksualitas dan pubertas
2. Pencegahan dan penanggulangan kehamilan pada remaja
3. Pelayanan gizi (anemia, kekurangan dan kelebihan gizi) termasuk
konseling dan edukasi
4. Tumbuh kembang remaja
5. Skrining status TT pada remaja
6. Pelayanan kesehatan jiwa remaja, meliputi: masalah psikososial,
gangguan jiwa, dan kualitas hidup
7. Pencegahan dan penanggulangan NAPZA
8. Deteksi dan penanganan kekerasan terhadap remaja
9. Deteksi dan penanganan tuberkulosis
10. Deteksi dan penanganan kecacingan
- Menggunakan metode ceramah tanya jawab, FGS (focus group
discussion), diskusi interaktif yang dilengkapi dengan alat bantu media
cetak atau elektronik.
- Menggunakan bahasa yang sesuai denga sasaran dan mudah di mengerti.
2. Pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang dan rujukan
3. Konseling
Konseling adalah proses pertukaran informasi dan interaksi positif antara
konselor dan klien untuk membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih
solusi terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang
sedang dihadapi. Tujuan konseling dalam Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) adalah:
- Membantu klien untuk dapat mengenali masalahnya dan membantunya agar
dapat mengambil keputusan dengan mantap tentang apa yang harus
dilakukannya untuk mengatasi masalah tersebut.
- Memberikan pengetahuan, keterampilan, penggalian potensi dan sumber
daya secara berkesinambungan hingga dapat membantu klien dalam
mengatasi kecemasan, depresi atau masalah kesehatan mental lain,
meningkatkan kewaspadaan terhadap isu masalah yang mungkin terjadi pada
dirinya, dan (3) Mempunyai motivasi untuk mencari bantuan bila
menghadapi masalah.
4. Pendidikan keterampilan hidup sehat ( PKHS )
PKHS merupakan kemampuan psikologis seseorang untuk memenuhi
kebutuhan dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.
PKHS dapat diberikan secara berkelompok dimana saja seperti di sekolah,
puskesmas, rumah singgah, sanggar. PKHS dapat dilaksanakan dalam bentuk
bermain peran, drama, diskusi, dll.
5. Pelatihan pendidik dan konselor sebaya
Keuntungan melatih remaja menjadi kader kesehatan remaja (pendidik
sebaya) yaitu pendidik sebaya akan berperan sebagai agen perubah sebayanya
untuk berprilaku sehat, sebagai agen promotor keberadaan PKPR, dan sebagai
kelompok yang siap membantu dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
PKPR. Pendidik sebaya dapat diberikan pelatihan tambahan untuk
memperdalam keterampilan interpersonal relationship dan konseling sehingga
dapat berperan sebagai konselor remaja.
6. Pelayanan rujukan
Sesuai kebutuhan, Puskesmas sebagai bagian dari pelayanan klinis medis,
melaksanakan rujukan kasus ke pelayanan medis yang lebih tinggi. Rujukan
sosial juga diperlukan dalam Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR),
sebagai contoh penyaluran kepada lembaga keterampilan kerja untuk remaja
pasca penyalah-guna napza, atau penyaluran kepada lembaga tertentu agar
mendapatkan program pendampingan dalam upaya rehabilitai. Sedangkan
rujukan pranata hukum kadang diperlukan untuk memberi kekuatan hukum
bagi kasus tertentu atau dukungan dalam menindaklanjuti suatu kasus.

2.1.7 Monitoring dan Evaluasi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja


Pada pedoman PKPR melalui monitoring dan evaluasi petugas akan dibantu
menemukan masalah secara dini sehingga koreksi yang akan dilakukan tidak akan
memerlukan waktu yang banyak dan mempercepat tercapainya PKPR yang
berkualitas. Monitoring dan evaluasi dibagi sebagai berikut:7
1. Tujuan monitoring
Monitoring bertujuan untuk mengetahui apakah ada hambatan atau masalah
dalam pelaksanaan program PKPR. Monitoring dilaksanakan pada semua
tahap pembentukan PKPR, antara lain
a. Tahap persiapan, yaitu:
- Adanya kesiapan puskesmas dalam mengadakan prasarana, sarana
dan SDM yang dilatih.
- Tersosialisasinya program bagi petugas kesehatan lain dan lintas
sektor lainnya yang terkait.
b. Tahap pelaksanaan, yaitu:
- Terisinya format laporan atau register pemeriksaan, pengobatan,
rujukan, konseling dari kasus remaja yang ditangani.
- Adanya kegiatan diskusi terarah.
2. Instrumen Monitoring
Berbagai instrumen monitoring yang dikembangkan dan disepakati oleh
masing-masing kabupaten/kota dapat digunakan dalam pelaksanaan
monitoring atau juga dapat menggunakan instrument supervisi fasilitatif.
3. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan untuk menentukan kelanjutan dari Program Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja. Evaluasi dilaksanakan dari semua tahapan
persiapan maupun tahapan pelaksanaan.

2.2 Kesehatan Reproduksi Remaja


2.2.1 Remaja
Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti
“tumbuh atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescere berasal dari bahasa
Inggris, saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik. Sedangkan menurut Piaget mengatakan bahwa masa
remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa.
Individu tidak lagi merasa dibawah tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan
berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak .8

Menurut WHO, remaja adalah periode usia 10 sampai dengan 19 tahun,


sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut kaum muda (youth) untuk
usia 15 sampai dengan 24 tahun. Sementara itu menururt The Health Resource a
Services Administration Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-
21 tahun dan terbagi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja menengah
(15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Definisi ini kemudian disatukan dalam
terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.9
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu mengenal
perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri
perkembangannya, masa (rentang waktu) remaja ada tida tahap, yaitu:
a. Masa remaja awal (10-12 tahun)

1. Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.


2. Tampak dan merasa ingin bebas.
3. Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan
keadaan tubunya dan mulai berpikir yang khayal
(abstrak).
b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)

1. Tampak dan ingin mencari identitas diri.


2. Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan
jenis.
3. Timbul perasaan cinta yang mendalam.
4. Kemampuan berpikir abstrak (berkhayal) makin berkembang.
5. Berkhayal berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
seksual.
c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
1. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
2. Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
3. Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

4. Dapat mewujudkan perasaan cinta.

5. Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

2.2.2 Perkembangan Seksual Remaja


Pada masa remaja terjadi perubahan secara cepat, yang tidak seimbang
dengan perubahan psikis. Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan
remaja yang mengalaminya. Karena itu mereka memerlukan pengertian dan
bimbingan dan lingkungan sekitarnya, agar tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang dewasa yang sehat baik jasmani, maupun mental dan psikososial.9
Perubahan-perubahan tersebut dapat dibedakan antara lain:9
a. Perubahan fisik pada masa remaja
Terjadi perubahan fisik yang cepat pada masa remaja, termasuk pertumbuhan
organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan, sehingga
mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan ini ditandai dengan munculnya
tanda-tanda sebagai berikut:
1. Tanda-tanda seks primer, yaitu yang berlangsung dengan organ seks:
a. Terjadinya haid pada remaja putri (menarche)
b. Terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki
2. Tanda-tanda seks sekunder, yaitu:
a. Pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun,
penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan
ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis,
jambang dan rambut disekitar kemaluan dan ketiak.

b. Pada remaja putri terjadi perubahan pinggul melebar,


pertumbuhan rahim dan vagina, payudara membesar,
tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (pubis).
b. Perubahan psikis pada masa remaja
Proses perubahan psikis berlangsung lebih lambat dibanding perubahan fisik, yang
meliputi:
1. Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi :
a. Sensitif (mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa)
b. Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang
berpengaruh, misalnya mudah berkelahi.
2. Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi:
a. Mampu berfikir abstrak, senang memberi kritik,
b. Ingin mencoba hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin
mencoba-coba.
Perilaku ingin mencoba-coba hal-hal yang baru ini jika didorong oleh
rangsangan seksual dapat membawa remaja masuk pada hubungan pranikah.
2.3 Seks Pranikah
2.3.1 Pengertian
Hubungan seks adalah perilaku yang dilakukan sepasang individu karena
adanya dorongan seksual dalam bentuk penetrasi penis kedalam vagina. Perilaku ini
disebut juga koitus, tetapi ada jga penetrasi ke mulut (oral) atau ke anus (anal).
Koitus secara moralitas hanya dilakukan oleh sepasang individu yang telah
menikah. Tidak ada satu agama pun yang mengijinkan hubungan seks di luar ikatan
pernikahan. Hubungan seks pranikah terutama pada remaja sangat merugikan remaja.
Seksual pranikah remaja adalah hubungan seksual yang dilakukan remaja sebelum
menikah.10
2.3.2 Faktor – faktor Penyebab Seks Pranikah
Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seksual
pranikah yaitu:10
1) Adanya dorongan biologis.
Dorongan biologis untuk melakukan hubungan seksual merupakan insting
alamiah dari berfungsinya organ sistem reproduksi dan kerja hormon. Dorongan
dapat meningkat karena pengaruh dari luar, misalnya dengan membaca buku atau
melihat film/majalah yang menampilkan gambar yang membangkitkan erotisme.
2) Ketidakmampuan mengendalikan dorongan biologis
Kemampuan mengendalikan dorongan biologis dipengaruhi oleh nilai-nilai
moral dan keimanan seseorang. Remaja yang memiliki keimanan kuat tidak akan
melakukan hubungan seks pranikah, karena mengingat ini merupakan dosa besar
yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha kuasa. Namun
keimanan ini dapat sirna bila remaja dipengaruhi oeh obat-obatan misalnya
psikotropika.
3) Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
Kurangnya pengetahuan atau mempunyai konsep yang salah tentang
kesehatan reproduksi pada remaja dapat disebabkan karena masyarakat tempat
remaja tumbuh memberikan gambaran sempit tentang kesehatan reproduksi sebagai
hubungan seksual. Biasanya topik terkait reproduksi tabu dibicarakan dengan
anak remaja. Sehingga saluran informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi
menjadi sangat kurang.
4) Adanya kesempatan melakukan hubungan seksual pranikah
Faktor kesempatan melakukan hubungan seks pranikah sangat penting untuk
dipertimbangkan. Terbukanya kesempatan pada remaja untuk melakukan hubungan
seks didukung oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Kesibukan orang tua yang menyebabkan kurang perhatian pada remaja.
Tuntutan kebutuhan hidup sering menjadi alasan suami istri bekerja di luar
rumah dan menghabiskan hari-harinya dengan kesibukan masing-masing, sehingga
perhatian terhadap anak remaja terabaikan.

b) Pemberian fasilitas (termasuk uang) pada remaja secara berlebihan.

Adanya ruang yang berlebihan membuka peluang bagi remaja untuk membeli
fasilitas, misalnya menginap di hotel/motel atau ke night club sampai larut malam.
Situasi ini sangat mendukung terjadinya hubungan seksual pranikah.

5) Pergeseran nilai-nilai moral dan etika di masyarakat dapat membuka peluang.


yang mendukung hubungan seksual pranikah pada remaja. Misalnya, dewasa ini
pasangan remaja yang menginap di hotel/motel adalah hal yang wajar dan biasa
sehingga tidak ditanyakan/diisyaratkan untuk menunjukkan akte nikah.
6) Kemiskinan mendorong terbukanya kesempatan bagi remaja khususnya
wanita untuk melakukan hubungan seks pranikah. Karena kemiskinan remaja putri
terpaksa bekerja. Namun, sering kali mereka menjadi korban eksploitasi dan
mengalami kekerasan seksual.
2.3.3 Dampak Seks Pranikah
Hubungan seks pranikah menimbulkan banyak kerugian dan dampak bagi
remaja diantaranya:10
1. Risiko menderita penyakit menular seksual, misalnya Gonore, Sifilis,
HIV/AIDS, herpes simpleks, herpes genitalis dan lain sebagainya.
2. Remaja putri berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Bila ini
terjadi, maka berisiko terhadap tindakan bila aborsi yang tidak aman dan
risiko infeksi atau kematian karena perdarahan. Bila kehamilan diteruskan,
maka berisiko melahirkan bayi yang kurang/tidak sehat.
3. Trauma kejiwaan (depresi, rasa rendah diri, dan rasa berdosa karena berzina).
4. Remaja putri yang hamil berisiko kehilangan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan.

2.3.4 Pencegahan dan Penanggulangan Kehamilan pada Remaja


Banyaknya variabel yang memberikan kontribusi remaja melakukan
hubungan seks pranikah mengindikasikan bahwa upaya untuk mencegah hal tersebut
tidak memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Berikut ini adalah beberapa
alternatif upaya pencegahan hubungan seks pranikah pada remaja10:
1. Mengurangi besarnya dorongan biologis dengan cara menghindari membaca
buku atau melihat film/majalah yang menampilkan gambar yang merangsang
nafsu birahi, membiasakan mengenakan pakaian yang sopan dan tidak
merangsang serta membuat kelompok-kelompok kegiatan positif dan
bermanfaat untuk mengembangkan diri, misalnya: teater, musik, olahraga,
bahasa, pramuka, menjahit dan sebagainya.
2. Meningkatkan kemampuan mengendalikan dorongan biologis dengan cara
pendidikan agama dan budi pekerti, penerapan hukum- hukum agama dalam
kehidupan sehari-hari, menghindari penggunaan narkoba dan orang tua atau
guru menjadi model dalam kehidupan sehari-hari, artinya orang tua tidak
melakukan hubungan di luar pernikahan, selalu setia pada pasangan dan tidak
melakukan perselingkuhan.
3. Membuka informasi kesehatan reproduksi bagi remaja. Pendidikan kesehatan
reproduksi jangan dilihat secara sempit sebagai sekedar hubungan seksual
saja. Ini perlu dilaksanakan pada remaja, bahkan bisa dilakukan lebih dini.

Penyampaian materi pendidian seks di rumah sebaiknya dilakukan oleh kedua


orang tua dan sebelum usia 10 tahun pendidikan seks bisa diberikan secara
bergantian, tapi umumnya ibu yang lebih berperan. Sementara itu, di sekolah
juga harus dibuka informasi kesehatan reproduksi melalui penyuluhan secara
klasikal dan bimbingan secara individual oleh guru bimbingan dan konseling
(BK) sewaktu-waktu bila remaja membutuhkan.
4. Menghilangkan kesempatan melakukan hubungan seks pranikah dengan
beberapa upaya dari orang tua dan masyarakat di antaranya sebagai berikut:
a) Orang tua memberikan perhatian pada remaja dalam arti tidak mengekang
remaja, namun memberikan kebebasan yang terkendali. Misalnya, bila remaja
mengadakan pesta, maka orang tua turut menghadiri pesta tersebut:
pesta tidak dilakukan sampai larut malam dan tidak menggunakan cahaya
yang remang-remang.
b) Orang tua tidak memberikan fasilitas (termasuk uang saku) yang berlebihan.
Penggunaan uang harus termonitor oleh orang tua. Orang tua
mengarahkan dan memfasilitasi kegiatan yang positif melalui kelompok
sebaya sebagai wahana bagi pengembangan talenta remaja.
c) Dukungan dari pemerintah juga diperlukan, misalkan melalui pengawasan
pasangan-pasangan remaja di tempat wisata: persyaratan menunjukkan surat
nikah bagi pasangan yang menginap di hotel/motel; penegakan hukum dalam
memberantas narkoba serta pemberian bebas biaya SPP kepada remaja tidak
mampu dalam melanjutkan pendidikakan

2.4 Pelayanan Gizi Remaja


Gizi Seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi
dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan
prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih dan memantau
berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal untuk
mencegah masalah gizi. Gizi Seimbang untuk remaja usia 10-19 tahun (Pra-pubertas
dan Pubertas) Kelompok ini adalah kelompok usia peralihan dari anak-anak menjadi
remaja muda sampai dewasa. Kondisi penting yang berpengaruh terhadap kebutuhan
zat gizi kelompok ini adalah pertumbuhan cepat memasuki usia pubertas, kebiasaan
jajan, menstruasi dan perhatian terhadap penampilan fisik citra tubuh (body image)
pada remaja puteri. Dengan demikian perhitungan terhadap kebutuhan zat gizi pada
kelompok ini harus memperhatikan kondisi-kondisi tersebut. Khusus pada remaja
puteri, perhatian harus lebih ditekankan terhadap persiapan mereka sebelum
menikah.11
Pohon masalah analisia penyebab tiga beban gizi pada remaja Indonesia dan
hambatan serta sasaran perubahan prilaku12:
2.5 Pelayanan Kesehatan Jiwa Remaja
Adanya hambatan dalam tahap perkembangan dapat menimbulkan masalah
kesehatan jiwa bila tidak terselesaikan dengan baik. Masalah tersebut berasal dari diri
remaja sendiri, hubungan orang tua dan remaja atau akibat interaksi sosial di luar
lingkungan keluarga. Sebagai akibatnya dapat terjadi masalah kesehatan jiwa remaja
dengan manifestasi bermacam-macam antara lain kesulitan belajar, kenakalan remaja
dan masalah perilaku seksual. Beberapa jenis gangguan jiwa yang banyak terjadi
pada remaja13:
Gangguan Cemas/ Ansietas
Cemas (ansietas) adalah perasaan gelisah yang dihubungkan dengan antisipasi
terhadap bahaya. Gangguan cemas merupakan gangguan yang banyak terjadi pada
anak dan remaja. Prevalensi gangguan cemas ini adalah 5 – 50 %.6 Fobia sosial
ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki sedangkan gangguan menghindar lebih
banyak pada anak perempuan.

Gangguan Mood
Depresi pada anak- anak dan remaja berkisar antara 1 – 5 %. Seorang remaja
mempunyai kecenderungan untuk mengalami depresi. Oleh karena itu sangat penting
untuk membedakan secara jelas dan hati – hati antara depresi yang disebabkan oleh
gejolak mood yang normal pada remaja dengan depresi patologik. Depresi pada
remaja sering tidak terdiagnosis. Adanya gangguan mood akan beresiko terjadinya
perilaku bunuh diri pada remaja. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga
pada individu berusia 15 – 24 tahun. Tanda – tanda bahaya bunuh diri pada remaja
meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak,
menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasa mengabaikan penampilan diri,
kualitas tugas sekolah menurun, membolos, keletihan berlebihan dan keluhan
somatik, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri terang-terangan
secara verbal dan membuang benda-benda yang didapat sebagai hadiah .
Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah suatu kondisi terdapatnya gangguan yang berat
dalam kemampuan menilair realitas. Lima yang termasuk gangguan psikotik adalah
skizoprenia. Skizoprenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidennya
selama remaja akhir sangat tinggi. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrim dalam
perilaku sehari- hari, isolasi sosial, sikap yang aneh,penurunan nilai akademik dan
mengekspresikan peilaku yang tidak disadarinya.
Gangguan Penyalahgunaan Zat
Gangguan ini banyak terjadi diperkirakan 32 % remaja menderita gangguan
penyalahgunaan zat. Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih banyak pada
anak laki-laki dibanding perempuan. Resiko terbesar pada usia 15 – 24 tahun. Pada
remaja, perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat
dalam kurun waktu 2 tahun. Identifikasi remaja penyalahgunaan NAPZA terdapat
pada konflik keluarga yang berat, kesulitan akademik, penyalahgunaan NAPZA oleh
orang tua dan teman, merokok pada usia muda.

Penatalaksanaan ganguan jiwa remaja diantaranya:


 Pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk
menciptakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak;
 Pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada remaja
yang mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat
segera dilakukan;
 Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu,
konseling remaja dan program pendidikan khusus untuk remaja yang tidak
mampu berpartisipasi dalam sistem sekolah normal;
 Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga penting untuk membantu keluarga
mendapatkan keterampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat
perubahan yang dapat meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.

2.6 Pencegahan dan Penanganan NAPZA


Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik, emosional, intelektual, seksual dan
sosial. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan dampak sebagai berikut : pencarian
jati diri, pemberontakan, pendirian yang labil, minat yang berubah‐ubah, mudah
terpengaruh mode, konflik dengan orang tua dan saudara, dorongan ingin tahu dan
mencoba yang kuat, pergaulan intens dengan teman sebaya dan membentuk
kelompok sebaya yang menjadi acuannya.   Selain predisposisi remaja, pola asuh
orang tua turut membentuk perilaku remaja. Sepuluh faktor resiko dan kerentanan
remaja terhadap penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut14 :
 Pengendalian diri lemah dan cenderung mencari sensasi.
 Kondisi kehidupan keluarga, seperti : perokok, peminum, pola asuh
tidak konsisten, hubungan anak orang tua tidak baik dan konflik dalam
keluarga.  
 Temperamen pemarah dan pemurung.
 Mengalami gangguan perilaku, misalnya agresif.
 Suka menyendiri dan memberontak.
 Prestasi sekolah yang rendah.  
 Tidak diterima dalam kelompok teman sebaya.
 Berteman dengan pengguna atau pengedar narkoba.  
 Bersikap positif terhadap pengguna narkoba. 
Ada beberapa ciri perkembangan remaja yang rentan terhadap permasalahan
penyalahgunaan narkoba antara lain14:
Perasaan galau.
  Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak‐kanak ke masa dewasa
dan  remaja mengalami banyak perubahan baik fisik, mental, emosional dan sosial.
Dengan perubahan ini, anak remaja sering mengalami ketegangan, perasaan tertekan,
keresahan, kebingungan   dan frustrasi, sehingga berisiko tinggi menyalahgunakan
narkoba.  Perasaan tersebut dapat berkurang oleh narkoba tersebut namun hanya
bersifat sementara.
Perasaan ingin tahu.   
Ciri remaja adalah ingin tahu dan ingin mencoba. Pada masa remaja ada
dorongan untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya, mencoba pengalaman baru,
termasuk mencoba‐coba narkoba. Pada umumnya, proses awal terbentuknya seorang
pecandu adalah melalui coba‐coba karena ingin tahu, kemudian menjadi iseng,
menjadi pemakai tetap dan akhirnya menjadi seorang pecandu
Kegoncangan emosional.  
Dengan adanya perubahan‐perubahan psikologis secara mendalam dan
mendadak pada masa remaja, maka seringkali remaja dalam hal penyalahgunaan
narkoba    digolongkan menjadi kelompok berisiko tinggi. Pada masa remaja,
penyalahgunaan narkoba dapat dipandang  pula sebagai suatu penyaluran dorongan
alamiah untuk melakukan perbuatan‐ perbuatan yang mengandung bahaya besar dan
yang mengundang resiko.
Cenderung melawan otoritas.  
Pada masa remaja, ada dorongan untuk melawan otoritas dan menentang nilai‐
nilai yang diakui oleh masyarakat orang dewasa, untuk mencari identitas dirinya.
Peraturan dan tata tertib yang semula dipatuhi mulai ditinggalkan diganti dengan pola
hidup baru yang ditentukan oleh kelompok sebayanya.
Tekanan kelompok sebaya.   
Ciri yang menonjol pada masa remaja adalah adanya kebutuhan dan
keterikatan dengan kelompok sebaya, ingin diterima dan diakui oleh kelompok
sebayanya. Melalui kehidupan kelompok, remaja dapat berperan, bereksperimen, dan
mengekspresikan dirinya. Jika kelompok sebaya memiliki nilai‐nilai positif,
perkembangan remaja pun positif. Jika tidak, remaja akan terjerumus kepada
berbagai  perbuatan berbahaya.  Oleh karena itu remaja harus memiliki kepribadian
yang tangguh dan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kehidupan orang lain
supaya remaja akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan
termasuk penyalahgunaan narkoba.

Banyak cara dan upaya yang dapat dilakukan oleh anak remaja untuk bebas
dari permasalahan narkoba, antara lain14:
1. Mengenal diri sendiri
2. Trampil meningkatkan harga diri / percaya diri
3. Trampil berkomunikasi
4. Trampil mengambil keputusan
5. Trampil menolak tawaran narkoba
6. Trampil sebagai agen pencegahan penyalahgunaan narkoba
7. Hidup sehat
8. Perkuat Iman dan Taqwa kepada Tuhan

2.7 Deteksi dan Penanganan Kekerasan terhadap Remaja

Kekerasan terhadap remaja dapat diminimalisir bahkan dihilangkan maka


perlu mengetahui lembaga-lembaga yang dapat memberikan informasi tentang
kekerasan terhadap perempuan dan anak antara lain ditingkat nasional
misalnya Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Apik,
Yayasan Jurnal Perempuan, Puan Annal Hayati dan sejenisnya. Di tingkat
daerah antara lain : LSM advokasi, WCC (Women Crisis Center), LSM
Perempuan, LBH, Pusat Studi Wanita di Perguruan Tinggi, RPK (Ruang
Pelayanan Khusus) di kepolisian, PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) di rumah sakit
dan sebagainya. Layanan pendampingan dapat berbentuk pendampingan
hukum, medis, psikologis, agama, dan penguatan ekonomi pasca krisis.
Layanan ini dapat dilakukan secara sinergis antara lembaga pemerintah
dengan LSM dan masyarakat.15

Ada beberapa gejala yang secara spesifik dapat kita ketahui melalui gejala
fisik, seperti memar, luka bakar, bekas luka/ goretan, tulang patah, luka-luka yang
terus ada; atau tak ketahuan penyebabnya; penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual; luka, pendarahan, atau gatal-gatal di daerah kelamin atau dubur.
Gejala melalui perilaku dan kebiasaan ditandai dengan : mimpi buruk; takut pulang
ke rumah atau ke tempat lain; takut berada dekat pada orang tertentu; kabur dari
sekolah; nakal dan suka berbohong.

Sedangkan indikator emosional dapat terdiri dari depresi, kecemasan terus


menerus dan gangguan yang berhubungan dengan stres; fobia (ketakutan yang
berlebihan, misalnya takut kegelapan, takut toilet umum, takut tertinggal dengan
yang lain) termasuk mengisolasi diri, sulit berinteraksi dengan teman sebaya dan
orang dewasa; melukai diri sendiri atau harga diri rendah; melukai atau
membunuh binatang.15

Beberapa hal yang menyebabkan anak rentan menjadi korban


kekerasan adalah Pertama, keluarga yang tidak harmonis. Kedua, orang tua
yang menyalahgunakan zat adiktif atau menderita gangguan mental. Ketiga,
pengabaian atau penelantaran. Keempat, perilaku tak pantas atau agresif di
kelas. Kelima, gagal atau kurang bertanggung jawab pada sekolah. Keenam,
kecakapan sosial yang terbatas. Ketujuh, ikut teman yang menggunakan
alkohol atau narkoba atau ikut serta dalam perilaku yang beresiko lainnya.
Dengan adanya kekerasan yang terjadi pada anak dan remaja maka kita sebagai
masyarakat perlu melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan agar
korban dapat menjalani kehidupannya dengan baik tanpa hambatan dan
permasalahan.15

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah Pertama,


Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kekerasan misalnya sosialisasi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui kelompok-
kelompok perempuan, organisasi perempuan, LSM, media, atau secara individu,
melakukan upaya agar siapapun tidak melakukan kekerasan dan tidak menjadi
korban kekerasan. Kedua, Tindakan edukasi misalnya memberikan pendidikan
anti kekerasan dan khususnya yang berbasis gender sejak dini untuk merubah
persepsi terhadap kekerasan. Ketiga, Tindakan kuratlf misalnya jika ada kasus,
lembaga atau individu memberikan bantuan untuk memudahkan korban
mendapatkan perlindungan, memberikan penguatan mental, dan memberikan
informasi yang diperlukan untuk memperoleh layanan pendampingan oleh pihak-
pihak yang terkait. Keempat, tindakan rehabilitatif misalnya membantu
pemulihan mental, penguatan ekonomi dan mendorong tumbuhnya proses
bersosialisasi dengan lingkungan paska krisis.15

2.8 Deteksi dan Penanganan Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana
sebagian besar infeksi terjadi pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang merupakan
usia paling produktif, hal ini menyebabkan peningkatan beban sosial dan keuangan
bagi keluarga pasien. Gejala sistemik/ umum yang biasanya dialami oleh pasien anak‐
anak penderita TB adalah sebagai berikut16:
 Gejala –gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari
(setelah disingkirkan sebab lain dari batuk) ,terdapat tanda cairan didada dan
nyeri dada.
 Produksi sputum.
 Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik (failure to thrive) dengan adekuat.
 Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik
(failure to thrive).
 Demam lama/berulang >2 minggu tanpa sebab yang jelas (bukan tifus,
malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.
 Keringat malam
 Gejala‐gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (masa) di abdomen dan tanda‐tanda cairan
dalam abdomen. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit,
biasanya multipel. Paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha
(inguinal).
 Rasa kurang enak badan (malaise)
 Sesak nafas, nyeri dada dan batuk merupakan gejala yang paling sering
ditemukan dan terjadi pada pasien TB anak, karena adanya iritasi bronkus.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah adanya
peradangan batuk menjadi disertai dengan sputum (produktif).
Untuk mencegah penularan TB antara lain dengan memberikan imunisasi BCG
pada anak sesuai jadwal, memberi makanan bergizi untuk menjaga kekebalan tubuh
anak, pada bayi berikan Asi ekslusif minimal selama enam bulan penuh, menjaga
kebersihan lingkungan rumah dengan cara membersihkan lantai rumah setiap hari,
besihkan jamban dan kamar mandi, jaga sirkulasi udara dalam rumah , usahakan
jendela dan pintu dirumah setiap hari dibuka agar ruangan dalam rumah terkena sinar
matahari ( bakteri Tb akan mati bila terkena sinar matahari), lakukan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), usahakan agar anak tidak kontak langsung dengan orang
yang terkena Tb untuk meminimalisir penularan Tb.16

2.9 Deteksi dan Penanganan Kecacingan


Indonesia termasuk negara yang memerlukan penanganan khusus terhadap
cacingan. (WHO) mencatat bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga, setelah India
dan Nigeria dalam ranking cacingan. Prevalensi cacingan di Indonesia bervariasi
antara 2,5% hingga 65%. Jumlah ini meningkat bila prevalensi cacingan dihitung
pada anak usia sekolah, menjadi 80%. Faktor risiko penyebab tingginya prevalensi
penyakit cacingan adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih
dan sehat) dan buruknya sanitasi lingkungan. Perilaku yang dimaksud pada anak
sering tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, tidak
menjaga kebersihan kuku, jajanan di sembarangan tempat yang kebersihannya tidak
terpelihara, BAB tidak di WC sehingga oleh feses yang mengandung telur cacing
mencemari tanah serta kurangnya ketersediaan sumber air bersih.17
Pemerintah telah berusaha melakukan upaya pemberantasan penyakit
kecacingan dengan pemberian obat massal, promosi gaya hidup sehat dan sanitasi
yang bersih. Pencegahan terhadap infeksi cacingan cukup mudah dilakukan dengan
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yaitu cuci tangan pakai sabun
setelah buang air besar, sebelum makan, menggunting kuku, dan menggunakan alas
kaki, menggunakan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, menjaga kebersihan
dan keamanan makanan, menggunakan jamban sehat, mengupayakan kondisi
lingkungan yang sehat.17
3.0 Skrining Status TT pada Remaja
Tetanus Neonatorum (TN) merupakan salah satu penyakit paling beresiko
mengakibatkan kematian. Pemerintah telah membuat program Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE), yang salah satu strateginya adalah dengan
mengupayakan cakupan imunisasi tetanus yang tinggi dan merata. Berbagai macam
program imunisasi tetanus telah dilaksanakan sejak 1977. Namun demikian, cakupan
imunisasi tetanus masih tetap rendah. Pada tahun 2001 pemerintah mulai menerapkan
strategi baru dalam pelaksanaan program imunisasi Tetanus Toxoid (TT) bagi Wanita
Usia Subur (WUS) yaitu dengan melaksanakan program skrining cakupan imunisasi
TT dan mencukupkan imunisasi TT sebanyak 5-6 kali bagi seorang wanita dalam
seumur hidupnya untuk mendapatkan status T5.18
Banyak manfaat yang akan didapat dari pelaksanaan program skrining status
TT WUS, yaitu selain sebagai upaya deteksi dini terhadap munculnya kasus tetanus
(baik maternal maupun neonatal), juga sebagai upaya untuk menjadikan setiap wanita
dalam seumur hidupnya agar cukup mendapatkan suntikan TT sebanyak 5-6 kali saja
untuk memperoleh status T5. Jadi, tidak perlu diberikan suntikan yang berlebihan.
Ada dua alasan ditetapkan demikian, yaitu 1) menurut rekomendasi WHO bahwa
cukup dengan perolehan status T5 saja maka akan cukup memberikan kekebalan
seumur hidup bagi seseorang terhadap tetanus dengan jadwal dan dosis pemberian
imunisasinya sesuai dengan yang telah direkomendasikandan 2) agar pemberian
imunisasi TT bisa dilakukan secara efektif (berhasil guna) dan efisien (berdaya guna),
terutama dalam penggunaan anggaran negara untuk pembelian vaksin TT tersebut.18

3.1 Kuisiner dan Gambaran Pengetahuan Remaja Sekolah tentang Program


Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
Pada makalah ini, penulis menggunakan kuisioner untuk menilai pengetahuan
dan sikap remaja sekolah dalam program pelayanan kesehatan peduli remaja di
wilayah kerja puskesmas Bunga Raya. Pengetahuan remaja dinilai pada saat sebelum
dan sesudah dilakukan penyuluhan. Pada saat sebelum dilakukan penyuluhan, remaja
sekolah diberikan lembar kuisioner untuk di jawab dengan jawaban “benar” atau
“salah”, dan “ ya” atau “tidak“. Kemudian dilakukan penyuluhan dan tanya jawab
dengan remaja tersebut, setelah itu kembali diberikan kuisioner dengan pertanyaan
yang sama, dan dinilai tingkat pengetahuan remaja sebelum dan sesudah dilakukan
penyuluhan. Rumus yang di gunakan untuk mengukur presentase dari jawaban
pengetahuan yang di dapat dari kuesioner menurut Arikunto yaitu 19:
𝑝𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 = Jumlah nilai yang benar / Jumlah soal x 100%
Kategori hasil dalam skala pengukuran ini menggunakan skala ordinal dengan
kategori:
a. Kategori baik jika nilainya ≥ 76-100 %
b. Kategori cukup jika nilainya 60 – 75 %
c. Kategori kurang jika nilainya ≤ 60 %
Berikut lampiran kuisioner dalam menilai tingkat pengetahuan dan sikap
remaja sekolah dalam program pelayanan kesehatan peduli remaja di wilayah kerja
Puskesmas Bunga Raya.

KUISIONER PENGETAHUAN REMAJA SEKOLAH DALAM PROGRAM


PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BUNGARAYA
Mohon kuisioner ini diisi dengan sebenarnya, Informasi yang disampaikan akan dijaga
kerahasiaannya.
Jawaban
No Daftar Pertanyaan
Benar Salah
1. Remaja dianggap belum pantas untuk menerima pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi dan bersifat seksual.
2. Pendidikan seksual di sekolah sangat diperlukan.
3. Agama melarang melakukan hubungan seksual tanpa ikatan
pernikahan karena dosa.
4. Orang tua harus lebih meningkatkan pemantauannya terhadap
pergaulan anaknya.
5. Remaja tidak perlu selalu makan makanan dengan gizi seimbang dan
boleh mengkonsumsi jajanan cepat saji.
6. Remaja cenderung sering menderita gangguan cemas dan gangguan
mood.
7. Merokok dan narkoba sangat diperlukan bagi remaja saat tugas
menumpuk disekolah.
8. Skring status Tetanus Toxoid (TT) di perlukan bagi wanita usia
subur khususnya untuk remaja.
9. Pencegahan terhadap infeksi cacingan cukup mudah dilakukan dengan
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
10. Jendela dan pintu dirumah setiap hari dibuka agar ruangan dalam
rumah terkena sinar matahari sehingga bakteri Tb akan mati bila
terkena sinar matahari.
No Daftar Pertanyaan Ya Tidak
11 Apakah anda sudah berpacaran?
Apakah anda sudah pernah berhubungan seksual dengan pacar/mantan
12
anda?
13 Apakah anda pernah merokok?
14 Apakah anda merokok lebih dari 5 batang / hari ?
15 Apakah anda pernah menggunakan narkoba ?
Skor
BAB III
PEMBAHASAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mensosialisasi program PKPR
melalui peningkatan pengetahuan remaja sekolah di wilayah kerja Puskesmas Bunga
Raya. Berdasarkan hasil kuisioner pengetahuan dan sikap yang dilaksanakan pada
siswa/siswi kelas XI.-XII SMA N 1 Bunga Raya yang berjumlah sebanyak 27 orang.
Didapatkan sebanyak 18 orang (66,7%) yang sudah berpacaran dari 27 orang
siswa/siswi SMA N 1 Bunga Raya. Pada penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1
Pantan Cuaca pada tahun 2018 didapatkan siswa yang sudah berpacaran sebanyak 74,
5 %.20 Hubungan berpacaran di kalangan siswa SMA dapat diibaratkan sebagai dua
mata pisau. Satu sisi dapat memberikan dampak positif pada remaja dan di sisi lain
dapat menjerumuskan remaja kedalam perilaku-perilaku negatif. Adanya pengawasan
dari orang tua serta lingkungan sosial dapat dijadikan kontrol remaja dalam menjalani
perilaku pacaran mereka. Pada dasarnya perilaku berpacaran yang dilakukan oleh
remaja SMA merupakan proses saling mengenal lebih dekat antara sepasang laki-laki
dan perempuan. Sangat disesalkan apabila dalam proses ini mereka menjadi terlalu
berlebihan sehingga menjurus pada perilaku seks bebas. Perlu diketahui bahwa status
berpacaran tidak bisa menjadikan pasangan remaja untuk melakukan hubungan
seksual pra nikah dengan alasan meluapkan cinta kasih pada pasangan.21
Pada hasil kuisioner ini didapatkan sebanyak 1 orang yang sudah pernah
merokok (3,7%) dan menghabiskan rokok sebanyak lebih dari 5 batang/ hari..
Kurangnya pengetahuan tentang bahaya merokok menjadi salah satu alasan remaja
merokok. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jelantik dan
Tjindawang di SMAN 5 Mataram bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan remaja tentang rokok dengan kebiasaan merokok.22

Hasil kuisioner pengetahuan remaja dalam kegiatan pelayanan kesehatan


peduli remaja berisi 10 pertanyaan pengetahuan. Kuisioner ini diberiksan sebelum
dilakukan kegiatan penyuluhan dan setelah kegiatan penyuluhan dan didapatkan hasil
sebagai berikut.
No Pengetahuan Sebelum Kegiatan Setelah Kegiatan
Tentang Penyuluhan Penyuluhan
PKPR N % N %
1. Baik 25 92,6 26 96,3
2. Cukup 2 7,4 1 3,7
3. Kurang 0 0 0 0
Total 27 100,0 27 100,0

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebelum kegiatan penyuluhan PKPR
mayoritas responden tingkat pengetahuannya cukup yaitu sebanyak 2 orang (7,4 %),
ttingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 25 orang (92,6%) dan setelah kegiatan
penyuluhan PKPR mayoritas responden berpengetahuan cukup sebanyak 1 orang
(3,7%) dan mayoritas responden berpengetahuan baik yaitu sebanyak 26 orang
(96,3%).
Hasil kuisioner yang menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan
setelah kegiatan penyuluhan yang merupakan bagian dari PKPR sesuai dengan teori
bahwa pengetahuan seseorang salah satunya dipengaruhi oleh informasi yang
tersedia baik dari pendidikan formal maupun non formal. Kegiatan PKPR berupa
penyuluhan merupakan salah satu kegiatan dalam pemberian informasi dan
pendidikan kesehatan bagi remaja yang membutuhkan serta bermanfaat menambah
wawasan tentang kesehatan mereka.
Penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi
perubahan perilaku responden meliputi perubahan pengetahuan dan sikap. Dengan
diberikannya penyuluhan maka responden mendapat pembelajaran yang
menghasilkan suatu perubahan dari yang semula belum diketahui menjadi diketahui,
yang dahulu belum dimengerti menjadi dimengerti.

Pendidikan kesehatan reproduksi dapat meningkatkan pengetahuan remaja


terhadap pentingnya kesehatan reproduksi, sehingga remaja dapat bertanggung jawab
atas keputusan yang diambilnya mengenai perilaku seksualnya. United Nations
Educational Scientific and Cultural Organization (2009) mengemukakan bahwa
pendidikan seksual dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai untuk
membuat keputusan yang bertanggung jawab terhadap perilaku seksual remaja.1

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti “tumbuh atau
“tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescnce berasal dari bahasa Inggris, saat ini
mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja (meliputi infeksi menular
seksual/IMS, HIV&AIDS) termasuk seksualitas dan pubertas, Pencegahan dan
penanggulangan kehamilan pada remaja, pelayanan gizi (anemia, kekurangan dan
kelebihan gizi) termasuk konseling dan edukasi, tumbuh kembang remaja , Skrining
status TT pada remaja, pelayanan kesehatan jiwa remaja, meliputi: masalah
psikososial, gangguan jiwa, dan kualitas hidup, pencegahan dan penanggulangan
NAPZA, deteksi dan penanganan kekerasan terhadap remaja, deteksi dan penanganan
tuberkulosis, dan deteksi dan penanganan kecacingan
Berdasarkan hasil kuisioner pelayanan kesehatan peduli remaja melalui
peningkatan pengetahuan remaja sekolah di SMA Negeri 1 Bunga Raya, terdapat
peningkatan pengetahuan remaja sekolah sebelum diberi penyuluhan 92,6 % dengan
setelah diberikannya penyuluhan 96,3%. Sementara siswa/siswi yang sudah pernah
berpacaran sebanyak 66,7 % dan yang sudah pernah merokok sebanyak 3,7 % dari 27
siswa/siswi SMA Negeri 1 Bunga Raya.

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan tentang optimalisasi program pelayanan
kesehatan peduli remaja (PKPR) melalui peningkatan pengetahuan remaja sekolah di
wilayah kerja Puskesmas Bunga Raya adalah :
1. Kepada Puskesmas Bungaraya untuk lebih mengoptimalisasi program
PKPR diwilayah kerja Puskesmas Bunga Raya.
2. Kepada orang tua harus lebih meningkatkan pemantauannya terhadap
kesehatan dan pergaulan anaknya.
3. Kepada guru diharapkan untuk meningkatkan perannya dalam
mengoptimalisasi program PKPR di sekolah.
4. Kepada remaja diharapkan untuk konsultasi masalah kesehatan remaja ke
bagian PKPR agar mendapatkan solusi dan informasi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes, 2014.Pedoman Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR). Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak: Depkes RI:
Jakarta.

2. Kementrian, K. R. 2014. Jakarta: Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja.

3. Ruwayda N. 2017.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan


Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja oleh Remaja di SMPN 19 Wilayah Kerja
Puskesmas Aur Duri Kota Jambi. J Bahana Kesehatan Masy.;1(2):114–20.

4. Depkes, 2011. Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).


Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat: Depkes RI: Jakarta.

5. Titta G, 2013. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja.


https://id.scribd.com/presentation/248797164/Materi-PKPR-Only. Diakses pada
11 november 2021.

6. WHO, 2013, Karakteristik Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja.

7. Depkes, 2003. Pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja Bagi Petugas


Kesehatan.

8. Proverawati, Atikah, dkk. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna.


Muha Medika: Yogyakarta

9. Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba


Medika: Jakarta

10. Aryani, Ratna. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Salemba
Medika: Jakarta

11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia nomor 41 tentang pedoman gizi seimbang.

12. Unicef Indonesia. 2021. Strategi komunikasi perubahan social dan prilaku :
Meningkatkan gizi remaja di Indonesia; Jakarta.
13. Davdson G C. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja Gravindo Persada.
14. Direktorat Diseminasi Informasi. 2012. Pencegahan dan penyalahgunaan narkoba
bagi remaja. Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia; Jakarta.

15. Kustanty UF. 2018. Pencegahan, perlindungan dan penanganan kekerasan


terhadap anak dan remaja. Jurnal Harkat : Media komunikasi gender;
14(2).p.139-45.

16. Marlinae L, Arifin S, Noor IH,Rahayu A, Zubaidah T, Waskito A. 2019. Desain


Kemandirian pola prilaku kepatuhan minum obat pada penderita TB anak
berbasis android. Penerbit CV Mine.

17. Sigalingging G, Sitopu SD, Daeli DW. 2019. Pengetahuan tentang cacingan dan
upaya pencegahan kecacingan. Jurnal darma agung husada. Universitas Darma
Agung. 6(2).p.96-04.

18. Khoiri A, Rokhmah D, Falih A. 2012. Evaluasi program skrining status tetanus
toxoid wanita usia subur dijember tahun 2012. Jurnal kebijakan kesehatan
Indonesia. Jawa timur.01.p.2-6.

19. Suharmi ariskunto. 2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta:
Rineka cipta.p.173

20. Suryani. 2018. Pengaruh pacaran terhadap akhlak siswa di SMA Negeri Pantan
Cuaca. skripsi. Fakultas tarbiyah dam keguruan universitas negeri ar-raniry
banda aceh.

21. Viva Virdha. 2016. Latar belakang perilaku berpacaran pada siswa SMA Negeri
8 semarang. skripsi. Universitas negeri semarang.

22. G. Jelantik, IG Made., Tjindawang, L Dea. 2013. Hubungan Pengetahuan


Remaja tentang Rokok dan Interaksi Kelompok Sebaya dengan Kebiasaan
Merokok pada Remaja di SMAN 5. Widyaiswara BPTK Mataram Dinkes
Provinsi NTB.
36

Anda mungkin juga menyukai