Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FENOMENA BUDAYA THRIFTING YANG MARAK DI


DENPASAR

Dosen: Dr. Luh Putu Sudini, SH., M.Hum

Oleh:
I GEDE ANANDA PREMA ABIMANYU
NPM : 202210121522
Kelas: DD1

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
WARMADEWA 2022
KATA PENGANTAR

TTTTAF

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................I
DAFTAR ISI................................................................................................................II
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................2
1.3 TUJUAN MASALAH....................................................................................2
1.4 KEGUNAAN.................................................................................................3
1.5 METODE PENELITIAN...............................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN............................................................................................3
2.1 BUDAYA THRIFTING.................................................................................3
2.2 DAMPAK DARI BUDAYA THRIFTING....................................................3
2.3 TERJADINYA BUDAYA THRIFTING DI INDONESIA...........................4
BAB III : PENUTUP
3.1 SIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seiring perkembangan zaman, membeli barang bekas menjadi salah satu

kebiasaan manusia. Dimulai sejak revolusi industri abad ke-19 dimana saat itu

memperkenalkan produksi pakaian secara besar-besaran yang mengubah pandangan

dunia tentang idustri terutama dibidang tekstil. Penggunaan baju bekas mengalami

penyebaran dan berkembang menjadi sebuah budaya di negara-negara di seluruh

dunia.

Karena banyaknya produksi pakaian setiap tahunnya tentu menimbulkan

limbah yang mengancam kerusakan lingkungan. Dilansir dari Council for Textile

Recycling 2020, 80 milyar garmen diproduksi setiap tahun. Di seluruh dunia, semua

industri tekstil menghasilkan 400% pakaian lebih banyak daripada 20 tahun yang lalu.

Dengan adanya ancaman ini masyarakat pun tersadarkan dengan bukti

berkembangnya tren thrifting.

Secara sederhana, thrifting adalah aktivtias jual beli barang bekas. Thirfting

dapat diartikan sebagai kegiatan membeli barang-barang bekas dalam rangka

melakukan penghematan atau menggunakan uang dengan efisien. Namun aktivitas ini

tidak sekedar hanya membeli barang bekas namun terdapat kepuasan tersendiri ketika

kita bisa mendapatkan barang yang langka atau rare dengan harga yang relatif murah.

Di Indonesia saat ini, thrifting menjadi hal yang baru, fenomena thrifting

menjadi meledak dimana mana padahal eksistensi jual beli pakai bekas ini sudah lama

adanya dan memiliki sebutan tersendiri di berbagai daerah, seperti di Surabaya.

Sebutan yang paling terkenal ialah cakaran dan obok-obok.

1
Kondisi fenomena thrifting di indonesia sedikit berbeda dengan yang terjadi di

Luar Negeri, dimana isu lingkungan bukan menjadi penyebab menyebarluasnya tren

ini melainkan sebuah gaya hidup masyarakat menengah kebawah yang memilih untuk

memakai pakaian bekas impor karena latar belakang perekonomian, adapun yang

melakukannya karena hobi atau kegemaran mengoleksi barang-barang jadul/vintage

yang hanya keluar dalam kurun waktu tertentu sehingga barang tersebut menjadi

berharga. Tidak hanya itu, tren ini juga dipengaruhi oleh situasi pandemi global

dimana masyarakat mengalami penurunan ekonomi yang menuntut beberapa dari

mereka haru berhemat.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Budaya Thrifting?

2. Apa dampak dari budaya thrifting?

3. Bagaimana Budaya Thrifting bisa terjadi di Indonesia?

1.3 TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui apa itu budaya thrifting

2. Untuk mengetahui dampak dari budaya thrifting di Indonesia

3. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya budaya thrifting di indonesia

1.4 KEGUNAAN

1.5 METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, dibutuhkan metode atau cara sebagai mana

penelitian seharusnya guna mendapatkan hasil penelitian yang baik. Dalam penelitian

2
ini menggunakan metode penelitian empiris dimana metode ini sebagaimana bagi

penulis dirasa tepat untuk digunakan mengkaji berbagai hal mengenai penelitian yang

berjudul “Fenomena Budaya thrifting yang marak di Denpasar”.

1.5.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di beberapa daerah yang ada di kota Denpasar,

yaitu Sanur, Renon, dan Tanjung Bungkak. Dengan kurung waktu 6 hari

peneliti melakukan penelitian ini. Dimulai dari proses turun lapangan untuk

mensurvei sekaligus menanyakan pendapat beberapa masyarakat terkait

fenomena budaya thrift ini.

1.5.2 PEMILIHAN SUBJEK PENELITIAN

Sumber data berasal dari masyarakat di daerah Kota Denpasar seperti

mahasiswa, murid SMA, dan beberapa orang umum lainnya. Dari para

responden tersebut diharapkan dapat membantu proses penelitian ini.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik kueisioner terbuka, dimana

responden perlu memberikan jawaban berupa pendapat atau penjelasan pada

kolom kosong yang tersedia.

TABEL DATA RESPONDEN

No NAMA LATAR BELAKANG

1. Diah Laksmi Mahasiswa

2. Nua Siswa SMA

3. Dyatsty Siswi SMA

4. Andra Siswa SMA

5. Dewangga Siswa SMA

6. Bambang Manajer Perusahaan

3
1.5.2 JENIS DATA

Data yang dipakai oleh peneliti adalah data primer dan sekunder,

dimana data primer didapat dari peneliti dengan cara membuat kueisioner

dandibagikan ke para responden. Data sekunder peneliti didapat dari

hasil riset yang ada di internet.

1.5.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1). Observasi (pengamatan)

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukaan melalui

sesuatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan

atau prilaku objek sasaran. Menurut Nana Sudjana observasi adalah

pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti

Peneliti melihat langsung aktivitas thrifting di berapa toko thrift baik secara

offline maupun online. Setelah melakukan observasi, dilanjutkan dengan

proses pengisian kueisioner.

2).Kueisioner

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada

responden untuk dijawab. Adapun responden yang menjawab menjawab

kueisioner yang telah diberikan ialah mahasiswa, siswa/siswi SMA, dan

manajer perusahaan. Dengan menggunakan teknik kueisioner ini diharapkan

peneliti mendapatkan jawaban yang beragam dari masing masing responden

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 BUDAYA THRIFTING

Budaya thrifting alias belanja barang-barang bekas telah berkembang sejak

lama. Sebelum menjadi tren bagi anak anak muda sekarang, kata thrifting sebenarnya

sudah ada sejak zaman 1300-an di Inggris. Secara etimologi, thrifting berasal dari kata

bahasa Inggris yang artinya hemat. Kata-kata itu muncul di Inggris pada tahun 1300-

an. Pada awal 1900-an, jual beli barang bekas dengan membuka thrift shop mulai

menjadi suatu tren. Awalnya toko-toko itu dibuka untuk mengumpulkan uang dalam

rangka amal dan organisasi non profit. Penjualan barang bekas, khusunya pakaian,

didorong oleh adanya revolusi industri. Dimana barang barang makin banyak

diproduksi seperi pakaian yang membuat masyarakat yang berkecukupan bisa

membelinya. Akibat dari itu, limbah pakaian pun bertambah dikarenakan banyak

orang memilih membuang pakaiannya bila sudah tidak ingin memakainya.

2.2 DAMPAK DARI BUDAYA THRIFTING

Membeli pakaian bekas adalah salah satu alternatif bagi banyak orang untuk

memenuhi kebutuhan gaya hidup. Dengan banyaknya thrift shop di indonesia,

membeli barang thrift dapat menunjang sustainable living. Sustainable living adalah

sebuah gaya hidup yang menyeimbangkan upaya lokal dan global untuk memenuhi

kebutuhan dasar manusia dengan tetap melestarikan lingkungan alam dari degradasi

dan kerusakan. Dengan munculnya budaya thrifting di Indonesia, diyakini sebagai

solusi untuk mengatasi limbah pakaian serta memperkenalkan gaya hidup sustainable

living yang membawa dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia.

Namun, konsep ramah lingkungan dari budaya thrifting ternyata tidak melulu

5
membawa dampak yang positif. Karna harganya yang terbilang murah, ini dapat

membuat orang menjadi konsumtif. Kebanyakan barang thrifting adalah barang bekas

dari luar negeri yang diimport ke Indonesia. Karena hal ini, pembelian produk dalam

negeri akan terhambat dikarenakan banyak anak muda yang lebih memilih untuk

membeli barang thrift ketimbang produk lokal. Dengan membeli barang bekas dengan

harga yang lebih murah, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa pakaian yang dibeli

tidak akan dipakai, bahkan akan menjadi limbah pakaian lagi. Belum lagi barang-

barang thrift yang tidak laku dipasaran, ujungnya akan berakhir di Tempat

Pembuangan Akhir (TPA).

2.3 TERJADINYA BUDAYA THRIFTING DI INDONESIA

Di Indonesia, pakaian bekas mulai dilirik ketika terjadi krisis moneter tahun

1998. Saat itu, barang bekas terutama pakaian dianggap sebagai solusi yang menarik

di tengah kondisi ekonomi yang sedang lemah. Namun belakang ini, tren membeli

pakaian bekas di Indonesia kembali meningkat, ditambah lagi dengan pemakain

media sosial yang masif serta kemajuan teknologi yang membuat adanya sistem

belanja online atau e-commerce.

Adanya ide-ide cara berpakaian yang tersebar di internet turut menjadi

pendorong tumbuhnya thritfting di kalangan anak muda Indonesia. Keinginan untuk

tampil dengan pakaian branded import dengan harga yang terjangkau juga membuat

barang thrift menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan kepercayaan diri

dikarenakan kaitannya dengan status dan gengsi. Pakaian branded import yang langka

atau bisa disebut rare cenderung memiliki status sosial yang tinggi sehingga ini

menjadi pendorong kalangan anak muda untuk membelinya.

Artis atau influencer juga menjadi peran penting dalam maraknya budaya

thrifting di Indonesia. Artis dan influencer tentu memiliki penggermar yang lumayan

6
banyak sehingga saat mereka memakai atau mempromosikan barang thrifting, tidak

menutup kemungkinan penggemarnya akan meniru kebiasaan idolanya.

2.4 TANGGAPAN DARI PARA RESPONDEN TENTANG BUDAYA THRIFT

YANG MARAK DI KOTA DENPASAR

Terdapat banyak sekali responden yang telah mengisi kueisioner yang

diberikan oleh peneliti, berikut adalah tanggapan dari para responden tersebut. Respon

ini didapat dari mahasiswa bernama Diah Laksmi yang menanggapi budaya thrift di

Kota Denpasar, berikut adalah respon dari Diah Laksmi :

Hal ini dapat menurunkan minat masyarakat untuk membeli produk lokal
yang baru. Dan budaya thrifting bisa menyebarkan penyakit jika tidak
ditangani dengan baik.

Melalui respon tersebut Diah Laksmi menjelaskan bahwa penyakit bisa tersebar

melalui pakaian-pakaian bekas yang dijual belikan. Ia menjelaskan juga bahwa

pembelian produk-produk dalam negeri turut mengalami penurunan dikarenakan

budaya thrifting tersebut.

Penulis juga mendapat respon dari 4 siswa/siswi SMA di kota Denpasar

yang bernama Dyasty, Dewangga, Nua, dan andra . Mereka menjelaskan dampak

positif dan negatif dari budaya thrift.

Menurut saya, dampak positif dari thirifting adalah bisa membeli baju yang merk
“mahal” dengan harga murah. Sedangkan dampak negatifnya banyak nya
kuman/jamur yang nempel di area baju bekas tersebut, jika tidak dicuci dengan
benar bisa mendampakkan penuakit serius.

menurut mereka bertiga, pakaian thrift terdapat banyak sekali kuman dan bakteri

yang berbahaya. Sedangkan dampak positif dari mereka adalah masyarakat dapat

membeli baju yang bermerek dengan harga yang terbilang murah. Selain

menanyakan dampak yang terjadi akibat budaya thrifting, penulis juga menanyakan

bagaimana budaya thrifting bisa marak di Indonesia, salah satunya di Kota

Denpasar. Begini jawaban dari Bambang, seorang manajer dari sebuah perusahaan.

7
Karena trend di tiktok, sebenarnya trift atau beli baju ob sudah lama ada
namun tak seperti saat ini, berawal dari tiktok yang membuat marak orang
orang membeli baju trift.

Jawaban yang serupa pun didapat dari siswi di salah satu SMA yang ada di Kota
Denpasar yang bernama Dayu Cening. Dayu cening menggangap bahwa anak muda
di kota Denpasar cenderung terbuka dengan perkembangan zaman, sehingga
berbondong-bondong mengikuti suatu tren.
Karena anak muda Denpasar yang cenderung terbuka dan mengikuti pada
perkembangan informasi, dengan munculnya berita tentang barang-barang
thrift yang dianggap worth it tapi murah, membuat mereka berbondong-
bondong mengincar barang thrift agar dapat berpenampilan menarik dengan
barang yang langka namun murah.

Dari semua jawaban tersebut, penulis mendapat informasi yang menguatkan

terjadinya fenomena budaya thrifting yang ada di Kota Denpasar. Bahwasanya

keberadaan thrifting sudah lama adanya di Kota Denpasar, yang mana awalnya

aktivitas jual beli pakaian bekas tidak sepopuler sekarang dikarenakan minimnya

informasi dan teknologi masih belum maju seperti sekarang ini. Jawaban responden

juga menguatkan dampak positif maupun negatif dari budaya thrifting. Pakaian

thrift merupakan pakaian bekas yang sudah dipakai oleh orang-orang yang kita

tidak tahu siapa mereka. Ini dapat meningkatkan resiko penyakit seperti penyakit

kulit, alergi, dan lain lain. Fenomena thrifting juga bisa mematikan produk lokal

dikarenakan banyak anak muda Kota Denpasar yang lebih memilih membeli

produk thrift dengan alasan harganya lebih murah dan bermerek. Thrifting juga bisa

meningkatkan budaya konsumtif dikarenakan harganya yang murah dan mudah

dicari dimana-mana. Dibalik dampak negatif thrifting, ada beberapa dampak positif

dari thrifting yaitu munculnya peluan untuk membuka bisnis.

Indonesia baru saja pulih dari Pandemi Global COVID-19, banyak orang

menggunakan kesempatan thrift ini untuk dijadikan lahan bisnis yang menjanjikan.

Bahkan dengan adanya budaya thrift ini, setidaknya sekian persen limbah tekstil

8
dapat dikurangi karena penggunaan baju bekas. Melalui fenomena budaya thrifting

yang marak di Kota Denpasar, masyarakat Kota Denpasar bisa berpakaian dengan

kreatif walaupun hanya memakai pakaian bekas.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

3.2 SARAN

1
DAFTAR PUSTAKA

1
1

Anda mungkin juga menyukai