Anda di halaman 1dari 3

Peran Akal Terhadap Ilmu Menurut Pandangan Al-Ghazali

Oleh
Ahmad Syahnurdin Hafizh, Natasya Afra Annisa, & Vika Putri Delinda
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka
Ilmu pengetahuan merupakan aktivitas intelektual yang sistematis untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman secara rasional serta empiris dari
berbagai kenyataan tentang alam semesta. Setiap aspek dari ilmu pengetahuan ini
dibatasi supaya menciptakan rumusan-rumusan yang pasti karena dengan
membatasi lingkup pandangannya, kepastian dari ilmu akan didapatkan. Syarat
mutlak pertama terkait ilmu pengetahuan adalah keraguan atau rasa tidak percaya
individu terhadap suatu hal yang belum pasti. Maka dari itu, akal menjadi sumber
utama ilmu pengetahuan supaya dapat diimplementasikan juga dalam kehidupan.
Namun, terkadang akal manusia melakukan kesalahan-kesalahan saat proses ilmu
itu diterapkan dalam kehidupan, sehingga ketika hal itu sudah terjadi, individu akan
merenungi kesalahannya. Maka dapat disimpulkan ada korelasi yang cukup kuat
antara ilmu pengetahuan dan akal.
Namun Al-Ghazali memiliki pandangan yang berbeda, karena Al-Ghazali
menyatakan sebuah pandangan yang lebih filosofis dan hakiki terhadap ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diterima oleh akal adalah kebenaran yang
terbatas tentang persoalan umum bahkan tidak bisa diharapkan. Menurutnya
sesuatu kebenaran yang lebih hakiki adalah kebenaran yang diperoleh dengan
intuisi, karena penalaran intuisi mampu membenarkan hal-hal yang tidak rasional.
Maka wajar saja jika sistem kerja akal untuk memperoleh ilmu pengetahuan memiliki
batasan berdasarkan cara kerja akal manusia.
Al-Ghazali berupaya memahami hakikat ilmu itu sendiri dengan fokus pada hasil
pemikiran-pemikiran filsafat yang berkembang pada era itu, yaitu panca indra
menjadi alat penguji yang valid untuk membuktikan sebuah kebenaran. Sementara
prinsip Al-Ghazali, eksistensi indrawi dan akal memiliki keterbatasan sehingga
dianggap tidak cukup untuk memahami ilmu secara hakiki. Hal itu disebabkan
pengetahuan sejatinya tidak terbatas pada kebenaran panca indra saja, tetapi
terdapat kebenaran abstrak dibalik kebenaran indrawi tersebut. Jika kebenaran yang
dinilai melalui indrawi, hal tersebut bernama pengetahuan muamalah.
Pengeatahuan muamalah merupakan sebuah kebenaran konkrit dengan cukup
dipantau melalui indrawi seperti dapat dilihat, dirasa, didengar sehingga dapat
dicerna oleh akal pikiran. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan muamalah
merupakan pengetahuan yang ditulis dengan sistematis dan berkaitan sehingga
dapat diterima untuk dipelajari oleh manusia. sistematis dan berkaitan sehingga
dapat diterima untuk dipelajari oleh manusia. Sementara kebenaran abstrak
dianggap lebih efektif dan efisien dalam gerak dan bentuk sehingga mampu
memotivasi secara langsung anggota tubuh manusia untuk menghasilkan
pengetahuan yang praktis.
Al-Ghazali memberikan penjelasan tentang fungsi dan cara kerja akal teoritis. Akal
teoritis merupakan kekuatan pengetahuan pada manusia, jadi ketika individu
memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu maka itu hasil kerja akal teoritis. Al-
Ghazali mengkategorikan akal teoritis menjadi 4 tingkatan, yaitu:
a. Akal Hayulani (Material)
Berguna untuk mengetahui dan memahami tentang materi dasar
pengetahuan.
b. Akal Naluri
Berfungsi untuk mengetahui beberapa ilmu dasar yang apriori.
c. Akal Aktif (Aktual)
Berfungsi untuk memperoleh pengetahuan yang sudah valid sehingga
kebenaran dari pengetahuan yang sudah diperoleh tidak perlu diragukan.
d. Akal Mustafad
Akal dengan tingkatan tertinggi yang dianggap mampu mengetahui dan
mengenal sesuatu. Tingkatan ini dianggap mampu menghubungkan diri
dengan akal fedal dengan potensi yang cukup besar karena menyerupai
prinsip-prinsip wujud semata. Maka individu akan menyadari pengetahuan-
pengetahuan secara aktual dan kesadaran secara faktual.
Maka dari itu, Hubungan ilmu dan akal menjadi sebuah proses berpikir untuk
memperoleh ilmu yang diingkan manusia meskipun akal melibatkan kekuatan
mufakhirat. Fungsi kekuatan mufakhirat sendiri yaitu mengumpulkan dan
memisahkan kerja pikiran sehingga menghasilkan informasi yang dapat diterima
oleh akal pikiran yang dibantu oleh hati nurani untuk memahami kesimpulannya.
Karena Al-Ghazali ingin mendapatkan sesuatu yang dapat memberikan keyakinan
terhadap pengetahuan yang diperolehnya, kedudukan akal pada pandangan Al-
Ghazali mendapatkan pengetahuan indrawi dan sumber ilmu pengetahuannya
berasal dari intuisi yang dianggap mampu memberikan pernyataan yang kuat bahwa
akal dan ilmu pengetahuan saling berhubungan, karena objek akal pada
pengetahuan dibatasi pada pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena.
Dari semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa akal memiliki peran sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Hal itu dikarenakan ilmu dan akal saling berhubungan
yang menimbulkan rasa ingin tahu pada manusia terhada sesuatu. Setelah itu, akal
melahirkan hakikat dan potensi ilmu bagi dirinya. Meskipun adanya batasan
terhadap akal untuk mencapai kebenaran sebuah pengetahuan, terdapat faktor
pendukung yang mampu membantu akal untuk mencapai hakiki dari sebuah ilmu
pengetahuan.
Referensi:
Ahmad Harisatul Cholik. (2015). Relasi Akal dan Hati Menurut Al-Ghazali. Jurnal
Kalimah (No.2), Hal 297-299
Fuadi. (2013). Peran Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali. Jurnal Substansia (No.1),
Hal 81-85
Makhmudah, S. (2018). Hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif modern dan
islam. Al-Murabbi, 4(2), 202-217

Anda mungkin juga menyukai