Anda di halaman 1dari 258

Model Praktek Keperawatan

1
Profesional Jiwa
Ns. D. Ricky, M. Kep., Sp. Kep. J
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia
2 Pelayanan Keperawatan Jiwa

RSJ

PKM, RSU

Masyarakat
3 Pelayanan Keperawatan Jiwa

Mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang


lebih baik dan spesialistik.
Mengembangkan layanan kesehatan jiwa lebih
baik.
Rumah sakit jiwa berperan lebih optimal.
4 MPKP di RSU

MPKP Pemula

MPKP I

MPKP II

MPKP III
5 MPKP di RSU

MPKP Pemula
•Sama seperti MPKP I
•Tahap awal pengembangan.

MPKP I
•Komponen: ketenagaan, metode pemberian askep, dokumentasi keperawatan.
•Metode tim primer: metode PN + metode Tim

MPKP II
•Tenaga spesialis dan perawat primer.
•Riset dan EBP

MPKP III
•Tenaga doktor, spesialis dan perawat primer.
•Riset keperawatan klinis dan EBP
6 MPKP di RSJ

MPKP Transisi
•Karu dan Katim minimal D3
•Tamatan SPK sebagai PP masih ada.

MPKP Pemula
•Semua tenaga minimal D3.

MPKP Profesional
•MPKP I (Basic) : PP D3, Karu dan Katim minimal S1.
•MPKP II (Intermediate): D3, S1 Ners, Sp Kep Jiwa.
•MPKP III (Advance) : S1 Ners, Sp Kep Jiwa, Doktor Kep.
7 MPKP di RSJ

Pendekatan Managemen Kompensasi dan Penghargaan


(management approach). (compensatory reward).

Hubungan Profesional
(professional relationship).

Pemberian Asuhan Keperawatan


(patient care delivery).
8 Pendekatan Managemen

Menggunakan sumber daya secara


efektif, efisien, dan rasional untuk
mencapai tujuan.
Proses kerjasama anggota staf
keperawatan untuk memberikan asuhan,
terapi, dan bantuan kepada pasien.
9 Pendekatan Managemen

Perencanaan

Pengorganisasian

Pengarahan

Pengendalian
10 Perencanaan

 Visi – pernyataan singkat tentang alasan dan tujuan suatu organisasi


dibentuk.
 Misi – pernyataan yang menjelaskan tujuan organisasi atau upaya yamg
dilakukan oleh organisasi dalam mewujudkan visi organisasi.
 Filosofi – nilai yang dianut oleh organisasi dan merupakan rujukan semua
kegiatan organisasi serta menjadi landasan seluruh rencana jamgka
panjang.
 Kebijakan – pernyatan sebagai acuan suatu organisasi mengambil
keputusan.
11 Perencanaan

Rencana Jangka Pendek – durasi satu jam


sampai satu tahun. Terdiri dari rencana harian,
bulanan, dan tahunan.
Rencana Jangka Menengah – durasi satu tahun
sampai lima tahun.
Rencana Jangka Panjang – durasi lima tahun
sampai sepuluh tahun.
12 Rencana Harian
Rencana harian karu
 Asuhan keperawatan.
 Supervisi Katim dan PP.
 Supervisi tenaga non perawat dan kerjasama
dengan unit lain yang terkait. RENCANA HARIAN PERAWAT PELAKSANA

 Tindakan keperawatan untuk sejumlah


Rencana harian Katim pasien yang menjadi tanggung
 Asuhan keperawatan dalam Tim. jawabnya.
 Supervisi PP.
 Kolaborasi dengan dokter atau tim kesehatan terkait
lainnya.
 Alokasi pasien sesuai perawat yang bertugas.
13 Rencana Bulanan
 Membuat jadwal dan memimpin case conference.
Rencana bulanan karu  Membuat jadwal dan memimpin penkes kelompok
keluarga.
 Membuat jadwal dinas.
 Membuat jadwal petugas TAK.
 Membuat jadwal dan memimpin rapat bulanan perawat.
 Membuat jadwal dan memimpin rapat tim kesehatan.
 Membuat jadwal supervisi dan penilaian kinerja Katim
dan PP.
 Melakukan audit dokumentasi.
 Membuat laporan bulanan.
14 Rencana Bulanan

Rencana bulanan katim  Mempresentasikan kasus dalam case


conference.
 Memimpin penkes kelompok keluarga.
 Melakukan supervisi PP.
15 Rencana Tahunan

Rencana Tahunan Karu meliputi kegiatan-kegiatan di bawah ini:


 Menyusun laporan tahunan yaitu kinerja MPKP pada empat pilar MPKP
(proses maupun evaluasi mutu pelayanan).
 Melakukan rotasi tim untuk penyegaran setiap anggota tim.
 Penyegaran terkait materi MPKP, terutama yang kegiatan MPKP yang
memiliki pencapaian rendah.
 Pengembangan SDM yaitu rekomendasi peningkatan jenjang karir
perawat, rekomendasi pendidikan formal lanjutan, jadwal mengikuti
pelatihan.
16 Pengorganisasian

 Adalah pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan melalui


penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan, menentukan
koordinasi aktivitas secara vertikal dan horizontal secara tepat serta
bertanggung jawab.
 Pengorganisasian kegiatan dan tenaga di ruang MPKP
menggunakan pendekatan tim primer keperawatan.
 Pengorganisasian terdiri dari struktur organisasi, daftar dinas
ruangan, dan daftar pasien.
17 Struktur Organisasi

Karu

Katim Katim

PP PP

Pasien Pasien
18 Struktur Organisasi

 Ruangan MPKP dipimpin oleh Karu.


 Katim merupakan perawat primer yang membawahi beberapa perawat
pelaksana.
 Karu membagi pasien untuk masing-masing tim.
 Karu dapat memindahkan PP ke tim lain apabila tim lain kekurangan PP.
 Karu memilih PJ shift sore, malam atau pagi sesuai kompetensi tertinggi dari
perawat yang ada.
 Bila Karu berhalangan, maka Katim menggantikan Karu.
 Bila Katim berhalangan, maka PP menggantikan Katim sesuai kompetensi
tertinggi PP yang ada.
19 Struktur Organisasi

 Katim menentukan PP untuk setiap pasien.


 Katim mengendalikan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien baik oleh dirinya maupun PP
anggota timnya.
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dilakukan oleh
Katim atau didelegasikan pada perawat yang paling
berkompeten dalam timnya.
 Setiap tim memiliki buku komunikasi.
20 Daftar Dinas Ruangan

Karu membuat jadwal dinas perawat dalam


periode satu minggu.
Katim membuat jadwal dinas pada minggu
berikutnya.
Tujuan: mempersiapkan diri untuk berdinas.
21 Daftar Pasien

 Adalah daftar sejumlah pasien yang menjadi tanggung jawab setiap tim
dalam 24 jam dinas.
 Setiap pasien memiliki perawat pada setiap shift yang bertanggung jawab
merawat.
 Tidak perlu mencantumkan diagnosis dan alamat supaya menjaga
kerahasiaan.
 Merupakan bentung tanggung jawab dan tanggung gugat perawat.
 Memberikan informasi bagi kolega kesehatan lain dan keluarga dalam
berkolaborasi untuk perkembangan dan perawatan pasien.
 Daftar pasien diisi oleh Katim sebelum operan dinas pagi ke dinas sore.
22 Pengarahan

 Penerapan perencanaan dalam bentuk tindakan untuk mencapai tujuan


yang telah ditetapkan.
 Kegiatan dalam fungsi pengarahan di ruang MPKP adalah:
a. Menciptakan budaya motivasi.
b. Komunikasi efektif pada operan antar shift.
c. Komunikasi efektif pada pre conference.
d. Komunikasi efektif pada post conference.
e. Managemen konflik.
f. Supervisi.
g. pendelegasian.
23 Pengarahan

Budaya motivasi di ruang MPKP diterapkan dengan cara:


1. Budaya memberikan reinforcement positif; memberikan pujian kepada staf
dengan tulus.
2. Doa bersama sebelum memulai kegiatan. Hal ini akan menimbulkan self
awareness dan dorongan spiritual dalam diri staf.
3. Memanggil staf secara berkala untuk mengidentifikasi masalah personil
lebih mendalam dan membantu dalam penyelesaiannya.
4. Manajemen SDM melalui penerapan pengembangan jenjang karir dan
kompetensi.
5. Sistem reward yang adil sesuai dengan kinerja.
24 Pengarahan

 Komunikasi adalah proses pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan


saran yang terjadi antara dua individu atau lebih yang saling bekerja
sama.
 Komunikasi dalam ruang MPKP meliputi:
1. Operan – komunikasi dan serah terima tanggung jawab antara shift pagi, siang,
dan malam. Karu memimpin operan shift malam ke shift pagi dan memimpin
operan shift pagi ke shift siang. Operan dari shift sore ke shift malam dipimpin
oleh PJ shift sore.
2. Pre conference – komunikasi Katim dan PP, dilaksanakan sesudah operan. Isi pre
conference adalah rencana harian tiap perawat dan rencana tambahan dari
Katim atau PJ.
3. Post conference – komunikasi Katim dan PP, dilakukan sebelum operan. Isi post
conference adalah hasil asuhan tiap PP dan tindak lanjut untuk operan.
25 Pengarahan

Pedoman Operan
1. Karu membuka kegiatan operan dengan salam.
2. PJ shift menyampaikan operan yang berisi kondisi pasien (dx kep, tindakan
yang telah diberikan, hasil asuhan), rencana tindak lanjut untuk shift
berikutnya.
3. Perawat shift berikutnya melakukan klarifikasi dari penjelasan yang sudah
disampaikan.
4. Karu memimpin ronde ke kamar pasien.
5. Karu merangkum informasi operan dan memberikan saran tindak lanjut.
6. Karu memimpin doa bersama dan menutup kegiatan operan.
7. Saling bersalaman.
26 Pengarahan

Pedoman Pre Pedoman post


conference conference
 Katim membuka kegiatan dengan  Katim membuka kegiatan dengan
mengucapkan salam. mengucapkan salam.
 Katim menanyakan rencana harian  Katim menanyakan hasil asuhan
setiap PP. setiap pasien.
 Katim menanyakan kendala dalam
 Katim memberikan masukan dan memberikan asuhan.
tindak lanjut terkait asuhan yang
akan diberikan.  Katim menanyakan tindak lanjut
asuhan pasien yang harus
 Katim memberikan penguatan dioperkan kepada perawat shift
(reinforcement). berikutnya.
 Katim menutup kegiatan dengan  Katim menutup kegiatan dengan
ucapan selamat bekerja. mengucapkan salam.
27 Pengarahan

 Managemen konflik harus dilaksanakan sedini mungkin.


 Penanganan konflik dengan cara:
1. Kompetisi (bersaing) – kurang tepat diterapkan karena akan
menimbulkan konflik yang lebih besar.
2. Kolaborasi – mencari jalan keluar dengan mencari persamaan
kepentingan (win - win solution).
3. Menghindar – tidak dianjurkan karena masalah mendasar tidak
ada penyelesaian.
4. Akomodasi – tidak dianjurkan karena satu pihak mengalah, tidak
ada kepuasan dan menimbulkan konflik di masa mendatang.
5. Berkompromi – kedua belah pihak saling mengalah agar
hubungan tetap terjalin.
28 Pengarahan

 Pendekatan Win – Win Solution melalui problem solving.


 Langkah-langlah problem solving:
1. Mengidentifikasi akar masalah dengan melakukan klarifikasi
kepada kedua pihak yang berkonflik.
2. Mengidentifikasi penyebab konflik.
3. Mengidentifikasi alternatif penyelesaian yang dapat
diterapkan.
4. Memilih alternatif penyelesaian terbaik untuk diterapkan.
5. Menerapkan solusi pilihan.
6. Mengevaluasi peredaan konflik.
29 Pengarahan

 Pendelegasian adalah melakukan pekerjaan melalui orang lain.


 Proses pendelegasian:
1. Membuat rencana tugas yang perlu diselesaikan.
2. Mengidentifikasi keterampilan dan tingkat pendidikan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas.
3. Memilih orang yang mampu melaksanakan tugas yang akan didelegasikan.
4. Mengkomunikasikan dengan jelas apa yang harus dilakukan dan tujuannya.
5. Membuat batasan waktu dan pantau penyelesaian tugas.
6. Bila bawahan tidak mampu menyelesaikan tugas karena menghadapi masalah,
manager harus menjadi role model dan menjadi narasumber bagi bawahan.
7. Mengevaluasi kinerja setelah tugas selesai.
8. Memberikan pendelegasian yang terdiri dari tugas dan kewenangan.
30 Pengarahan
 Pendelegasian di ruang MPKP melalui pelimpahan wewenang dan tugas secara
berjenjang.
 Dua jenis pendelegasian: pendelegasian terencana dan pendelegasian insidental.
 Pendelegasian tersencana di ruang MPKP seperti:
1. Karu kepada Katim – pendelegasian tugas karena alasan tertentu.
2. Karu kepada PJ shift.
3. Katim kepada PP – pendelegasian tugas pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah
direncanakan.
 Pendelegasian insidentil terjadi apabila salah satu personel ruang MPKP berhalangan
hadir.
31 Pengarahan

 Pendelegasian di ruang MPKP:


1. Menggunakan format pendelegasian tugas.
2. Personel yang menerima pendelgasian harus kompeten dan setara
kemampuannya.
3. Uraian tugas terinci dengan jelas, baik secara verbal maupun tulisan.
4. Pejabat yang mengatur pendelegasian wajib memantau pelaksanaan
tugas dan menjadi rujukan bila ada kesulitan.
5. Serah terima tugas dan hasil segera setelah selesai pendelegasian.
32 Pengarahan

 Supervisi atau pengawasan adalah proses pengawasan terhadap


pelaksanaan kegiatan untuk menilai kegiatan yang berjalan sesuai tujuan
dan standar yang telah ditetapkan.
 Supervisi dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidang yang akan
disupervisi.
 Supervisi lebih diarahkan pada mendahulukan penghargaan terhadap
pencapaian atau hal positif yang dilakukan dan memberi jalan keluar
untuk hal yang belum dilakukan.
 Bawahan akan lebih merasa bahwa dia sedang dibimbing, bukan sedang
dinilai.
33 Pengarahan

 Supervisi di ruang MPKP dilakukan secara berjenjang.


 Perlu dibuat ajdwal supervisi dan standar kinerja masing-masing staf.
 Materi supervisi disesuaikan dengan uraian tugas staf.
 Karu – kemampuan managerial dan kemampuan asuhan.
 Katim – kemampuan pengelolaan tim dan kemampuan asuhan.
 PP – kemampuan asuhan.
34 Pengendalian

 Adalah usaha sistematis yang bertujuan untuk


menetapkan standar prestasi sesuai tujuan
perencanaan, membuat rancangan sistem umpan balik
informasi, membandingkan prestasi sesungguhnya
dengan standar yang telah ditetapkan, menetapkan
adanya penyimpangan, mengukur signifikansi dan
mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan, dengan menggunakan sumber daya yang ada
secara efektif dan efisien.
35 Pengendalian

Menetapkan standar dan metode pengukuran


prestasi kerja.
Melakukan pengukuran prestasi kerja.
Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai
dengan standar.
Mengambil tindakan korektif.
36 Pengendalian

Audit merupakan salah satu penilaian kinerja


pekerjaan.
Audit keperawatan terdiri dari tiga kategori:
1. Audit struktur.
2. Audit proses.
3. Audit hasil.
37 Pengendalian

Audit struktur:
1. Sumber daya manusia.
2. Lingkungan perawatan seperti fasilitas fisik, peralatan,
organisasi, kebijakan, prosedur, standar, SOP, rekam
medis.
3. Pelanggan (internal dan eksternal).
38 Pengendalian
Audit proses -> mengukur pelaksanaan pelayanan
keperawatan apakah sesuai standar keperawatan.
Restrospektif, concurrent, peer review.
Restrospeksi – menelaah dokumen untuk menilai
pelaksanaan asuhan.
Concurrent – mengobservasi langsung pelaksanaan
kegiatan asuhan.
Peer review – penilaian dari anggota tim terhadap
pelaksanaan asuhan.
Pengendalian
39

Kegiatan MPKP pada fungsi pengendalian:


1. Indikator mutu umum – BOR, ALOS, TOI
2. Indikator mutu RSJ – angka lari, angka pengekangan,
kasus cedera, infeksi nosokomial (skabies).
3. Kondisi pasien – audit dokumentasi askep, survei masalah
baru, kepuasan pasien dan keluarga, penilaian
kemampuan pasien dan keluarga.
4. Kondisi SDM – kepuasan nakes (perawat, dokter),
penilaian kinerja perawat.
Hubungan Profesional
Di ruang mpkp jiwa
40
Ns. Denny Ricky, M. Kep., Sp. Kep. J
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia
41 Hubungan Profesional

 Hubungan profesional – internal dan eksternal.


 Hubungan profesional eksternal – hubungan antara pemberi pelayanan
dengan penerima layanan.
 Hubungan profesional internal – hubungan antar pemberi layanan
kesehatan.
 Hubungan profesional – berdasarkan pada komunikasi secara profesional.
42 Hubungan Profesional

 Jejaring komunikasi hubungan profesional:


1. Horizontal – antar manajer.
2. Vertikal – antara atasan dengan bawahan.
3. Diagonal – antara berbagai jenjang dalam satu lingkungan yang sama.
 Di ruang MPKP:
a) Horizontal – antar ketua tim atau antar perawat pelaksana.
b) Vertikal – antara kepala ruangan dengan ketua tim dan perawat pelaksana.
c) Diagonal – antara perawat dengan profesi lainnya.
43 Hubungan Profesional

Ruang MPKP:
Rapat perawat ruangan.
Case conference.
Rapat tim kesehatan.
Visitasi dokter,
44 Rapat Perawat Ruangan

 Tujuan rapat perawat ruangan adalah:


1. Mengidentifikasi keberhasilan keperawatan.
2. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ditemukan.
3. Mendiskusikan penyelesaian masalah.
4. Menyusun rencana tindakan (POA) bulan berikut.
5. Meningkatkan hubungan antar perawat ruangan.
45 Rapat Perawat Ruangan

 Pemimpin rapat: kepala ruangan.


 Lama waktu rapat: 60 menit.
 Peserta rapat: perawat ruangan
 Waktu: awal bulan.
 Tempat: di ruang rawat,
 Agenda: laporan bulan sebelumnya.
 Tempat: ruang rawat.
46 Case Conference

 Mendiskusikan secara kelompok kasus asuhan


keperawatan pasien dan atau keluarga.
 Dilakukan dua kali sebulan, setiap tim membahas kasus
secara bergantian.
 Dipimpin oleh ketua tim atau kepala ruangan.
 Peserta adalah semua perawat ruangan.
 Lama case conference adalah 30 - 60 menit.
 Tempat: di ruang rawat.
47 Case Conference

Topik case conference:


1. Kasus pasien baru.
2. Kasus pasien yang tidak ada perkembangan.
3. Kasus pasien pulang.
4. Kasus pasien yang meninggal.
5. Kasus pasien dengan masalah yang jarang
ditemukan.
48 Case Conference

Tujuan case conference:


1. Mengenal kasus dan permasalahan.
2. Mendiskusikan alternatif penyelesaian masalah
asuhan keperawatan.
3. Meningkatkan koordinasi dalam rencana
pemberian asuhan keperawatan.
4. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan
dalam menangani kasus.
49 Rapat Tim Kesehatan

 Merupakan media komunikasi antar tim kesehatan


(multidisiplin) untuk membahas manajerial ruang
MPKP.
 Dipimpin oleh kepala ruangan.
 Peserta rapat: Karu, Katim, profesi lain dan bidang
penunjang.
 Waktu pelaksanaan: satu bulan sekali, lamanya 60
menit.
 Dilaksanakan di ruang rawat.
50 Rapat Tim Kesehatan

Tujuan rapat tim kesehatan:


 Menyamakan persepsi tentang informasi yang didapat
dari masalah yang ditemukan, khususnya masalah
manajerial.
 Meningkatkan kesinambungan pemberian pelayanan
kesehatan.
 Mengurangi kesalahan informasi di antara tim
kesehatan.
 Meningkatkan koordinasi antara tim kesehatan.
51 Visitasi dokter

 Merupakan kunjungan dokter ke ruangan untuk memeriksa


kesehatan klien, yang didampingi oleh ketua tim.
 Ketua tim – dokter  kolaborasi dan pertukaran informasi.

Tujuan visitasi dokter:


1. Meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan.
2. Meningkatkan koordinasi dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
3. Meningkatkan kesinambungan pemberian pelayanan
kesehatan.
52 Konsultasi melalui telepon

 Merupakan tindakan melaporkan kondisi pasien kepada dokter melalui


telepon.
 Dibutuhkan karena kondisi pasien dirasa membutuhkan tindakan
kedokteran.
 Harus ada saksi yang mendengarkan program terapi dokter saat
berkonsultasi melalui telepon.
 Keputusan untuk berkonsultasi ada pada Katim atau penanggung jawab
tim.
 Dokter harus menuliskan instruksi via telepon dalam kurun waktu 24 jam
pada rekam medik pasien.
53 Konsultasi melalui telepon

Tujuan konsultasi melalui telepon adalah:


1.Meningkatkan pelayanan kesehatan
pada kondisi tertentu.
2.Memberikan pelayanan tim kesehatan
jiwa yang segera kepada pasien.
3.Melaksanakan pendelegasian melalui
telepon.
54 Konsultasi melalui telepon

•Introduction
I

•Situation
S

•Backgroud
B

•Assessment
A

•Recommendation
R
Kompensasi & Penghargaan
di Ruang MPKP Jiwa

Ns. Denny Paul Ricky, M. Kep., Ns. Sp. Kep. J


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia
Kompensasi & Penghargaan

 Digunakan dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) keperawatan.


 Managemen SDM akan memaksimalkan bakat dan potensi seseorang.
 Perawat mampu memberikan pelayanan asuhan yang professional
apabila mengikuti pengembangan staf yang terstruktur.
 Pengembangan SDM akan menciptakan iklim kerja yang menyenangkan
serta memberikan kepuasan bagi staf dan pasien.
 Pengembangan ini memotivasi staf bekerja produktif dan perawat
mendapatkan kompensasi berupa penghargaan (compensatory reward).
Kompensasi & Penghargaan

Managemen SDM di ruang MPKP berfokus pada


proses perekrutan, seleksi, kontrak kerja, orientasi,
penilaian kinerja, dan pengembangan staf.

Proses ini dilakukan sebelum membuka ruang


MPKP dan setiap ada penambahan perawat
baru.
Perekrutan

 Perekrutan staf MPKP diutamakan dari staf yang sudah ada di RS.
 Didasarkan pada jenis atau tingkat ruang MPKP yang akan dibuat.
 Analisa jumlah perawat yang dibutuhkan (rasio 1:1 atau 1,7:1, ditambah Karu).
 Proses perekrutan perawat di ruang MPKP adalah:
1. Adanya kesepakatan perawat di RS untuk membentuk ruang MPKP dan
tingkat ruang MPKP yang akan dibentuk.
2. Sosialisasi ruang MPKP oleh Kabid Keperawatan kepada pejabat struktural
dan pimpinan RS untuk mendapatkan komitmen dan dukungan.
3. Kepala ruangan melakukan sosialisasi kepada semua perawat di ruangan
tentang pembentukan ruang MPKP dan kriteria perawat yang dibutuhkan.
Perekrutan

 Kriteria Karu:
1. Pendidikan minimal S1 Keperawatan.
2. Pengalaman menjadi Karu minimal 2 tahun dan bekerja di area keperawatan
jiwa minimal 2 tahun.
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Pelatihan yang pernah diikuti (bersertifikat): askep jiwa, audit keperawatan,
terapi modalitas keperawatan jiwa, Komunikasi keperawatan, manajemen
keperawatan, bimbingan klinik (untuk RS pendidikan).
5. Lulus tes tulis.
6. Lulus tes wawancara.
7. Lulus tes presentasi.
Perekrutan

 Kriteria Katim:
1. Pendidikan minimal S1 Keperawatan.
2. Pengalaman bekerja di area keperawatan jiwa minimal 2 tahun (D3) dan
3 bulan magang (S1).
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Pelatihan yang pernah diikuti (bersertifikat): askep jiwa, audit
keperawatan, terapi modalitas keperawatan jiwa, Komunikasi
keperawatan, manajemen keperawatan.
5. Lulus tes tulis.
6. Lulus tes wawancara.
Perekrutan

 Kriteria Perawat Pelaksana:


1. Pendidikan minimal D3 Keperawatan.
2. Pengalaman bekerja di area keperawatan jiwa minimal 1 tahun (D3).
3. Sehat jasmani dan rohani.
4. Pelatihan yang pernah diikuti (bersertifikat): askep jiwa.
5. Lulus tes tulis.
6. Lulus tes wawancara.
Proses Seleksi

1. Peninjauan kelengkapan dan kesesuaian dokumen.


2. Mengikuti tes tulis. Hasil ini menentukan PP, calon Karu dan Katim.
3. Mengikuti tes wawancara setelah lulus tes tulis.
4. Presentasi diikuti oleh perawat yang memenuhi kriteria Karu dan Katim
untuk memilih Karu dan Katim.
 Materi tes tulis adalah konsep terkait MPKP. Jumlah perawat yang diambil
berdasarkan kebutuhan dan memiliki nilai tertinggi.
 Tes wawancara dilakukan oleh bagian administrasi dan bidang
keperawatan.
Proses Seleksi

 Wawancara calon Karu dan Katim – mengetahui pemahaman


manajemen, askep, kemampuan menyelesaikan konflik, motivasi dan
disiplin.
 Wawancara calon PP – mengetahui sejauh mana pemahaman
pengelolaan askep, motivasi, dan disiplin.
 Presentasi (visi, misi, proker) dinilai oleh konsultan, bidang keperawatan,
bagian personalia dan pimpinan RS.
 Semua nilai direkapitulasi dan hasilnya dikonsultasikan kepada pimpinan
RS.
 SK dikeluarkan oleh pimpinan RS untuk menetapkan perawat yang bekerja
di ruang MPKP.
Orientasi

 Orientasi berupa pelatihan meliputi budaya kerja MPKP dan informasi


umum RS (visi, misi, program kerja, program mutu, kebijakan, peraturan).
 Program orientasi menggunakan metode klasikal (tutorial), praktek
lapangan dan praktek kerja (implementasi).
 Metode klasikal berlangsung selama 3 hari, praktek lapangan selama 3
hari, diakhiri dengan presentasi hasil praktek. Praktek kerja dilakukan
selama 6 bulan.
 Kabid Perawatan dan Konsultan akan membimbing dan mengawasi
selama praktek kerja.
Orientasi

Selama masa orientasi dilakukan


penilaian kinerja.
Hasil menjalani masa orientasi
menentukan diterima tidaknya perawat
tersebut bekerja di ruang MPKP.
Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja dilakukan pada Karu, Katim,


dan PP.
Dilakukan secara langsung (observasi) dan tidak
langsung (dokumentasi).
Karu dinilai oleh Kabid Perawatan dan
konsultan.
Katim dinilai oleh Kabid Perawatan, konsultan,
Karu.
PP dinilai oleh Karu dan Katim.
Pengembangan Tenaga

 Tujuan pengembangan adalah membantu perawat mencapai kinerja


sesuai posisinya dan mendapatkan pengakuan/penghargaan terhadap
kemampuan professional sehingga meningkatkan karir perawat.
 Bentuk pengembangan yaitu pendidikan keperawatan berkelanjutan dan
program pengembangan jenjang karir.
 Pendidikan berkelanjutan berupa pendidikan formal (D3-S1-S2 Spesialis-
Doktor-dst).
 Pendidikan berkelanjutan berupa pendidikan informal yaitu on the job
training dan out the job training.
 Pengembangan jenjang karir berupa pengembangan peran dan
tanggung jawab.
Pengembangan Tenaga

Karu – menjadi agen pembaharu


pengembangan MPKP di ruangan
lain, menjadi narasumber MPKP untuk
RS lain.
Katim – menjadi kepala ruangan.
PP – menjadi Katim.
Monitoring & Evaluasi
di Ruang MPKP Jiwa

69
Ns. Denny Ricky, M. Kep., Sp. Kep. J
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia
70 Monitoring & Evaluasi

Memantau aktivitas organisasi sehingga


organisasi dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Monitoring & Evaluasi (MonEv) berbentuk
supervisi semua aktivitas MPKP secara berkala
dan memberikan input atau masukan sehingga
MPKP memiliki kinerja yang profesional.
MonEv pada perawat, pasien, dan keluarga.
71 Evaluasi Perawat

 Evaluasi perawat terdiri dari dua bagian yaitu:


1. Mengukur pengetahuan dan pemahaman perawat tentang
MPKP.
2. Kinerja Perawat.
 Tes diikuti oleh semua perawat yang bekerja di ruang MPKP
(Karu, Katim, PP).
 Tes dilakukan 4 kali yaitu sebagai berikut:
1. Sebelum pelatihan MPKP (Tes awal).
2. Setelah pelatihan MPKP (Tes proses).
3. Enam buan setelah inplementasi (Tes proses).
4. Satu tahun setelah implementasi (Tes akhir).
72 Evaluasi Perawat

 Evaluasi awal dijadikan sebagai data dasar


kegiatan MPKP.
 Evaluasi proses digunakan sebagai
motivator dan reinforcement, serta
perbaikan dan peningkatan pemahaman
dan kinerja.
 Evaluasi akhir digunakan untuk menilai
keberhasilan program MPKP.
73 Evaluasi Kinerja Perawat

 Evaluasi kinerja perawat dilakukan terus menerus selama perawat


melakukan praktek di ruang MPKP.
 Evaluasi kinerja didasarkan pada kemampuan yang harus dimiliki
oleh Karu, Katim, PP.
 Jumlah kegiatan MPKP yang dinilai bervariasi:
1. Kabid – 35 kegiatan MPKP.
2. Karu – 30 kegiatan MPKP.
3. Katim – 18 kegiatan MPKP.
4. PP – 8 kegiatan MPKP.
74 Evaluasi Kinerja Perawat

 Evaluasi Diri dilakukan oleh Karu, Katim, dan PP dalam


melaksanakan kegiatan MPKP sesuai tugasnya masing-
masing.
 Evaluasi diri dilakukan sebanyak 4 kali yaitu saat
sebelum pelatihan MPKP, setelah pelatihan MPKP,
setelah 6 bulan pelaksanaan MPKP, dan setelah 1 tahun
pelaksanaan MPKP.
 Kemampuan Karu, Katim, dan PP diobservasi oleh
atasan langsung.
 Kabid menilai Karu, Karu menilai Katim, Karu dan Katim
menilai PP.
75 Evaluasi Kinerja Perawat
 Observasi dilakukan pada kegiatan MPKP sesuai
kemampuan yang harus dikuasai.
a. Karu – 30 kegiatan.
b. Katim – 18 kegiatan.
c. PP – 8 kegiatan.
 Evaluasi pemberian asuhan keperawatan (pilar ke-4
MPKP) dilakukan dengan menilai penampilan klinik
perawat.
 Evaluasi penampilan klinik dilakukan oleh atasan (Katim,
Karu, Kabid).
76 Evaluasi Kinerja Perawat

Evaluasi penampilan klinik dilakukan


sepanjang waktu saat perawat
melakukan tindakan, minimal satu
tindakan satu evaluasi. Evaluasi
dapat dilakukan kembali atau
diulang apabila nilai tidak
memuaskan.
77 Evaluasi Kemampuan Pasien & Keluarga
 Kemampuan pasien dan keluarga dievaluasi setiap
minggu sesuai maslaah yang dialami oleh pasien dan
keluarga.
 Penilaian kemampuan pasien dan keluarga:
 Mandiri (M) – jika pasien dan keluarga melakukan
kegiatan yang telah dilatih tanpa bantuan perawat
atau orang lain.
 Bantuan (B) – jika pasien dan keluarga mampu
melakukan kegiatan, tetapi harus diingatkan.
 Tergantung (T) – jika pasien dan keluarga tidak
melakukan dan tidak mampu melakukan walaupun
diingatkan.
78 Evaluasi Kemampuan Karu
 Manajemen, meliputi:
 Perencanaan yaitu: visi, misi, filosofi, kebijakan, rencana (harian,
bulanan, tahunan).
 Pengorganisasian yaitu: struktur organisasi, jadwal dinas, daftar
pasien.
 Pengarahan, yaitu: operan, pre-conference, post conference,
iklim motivasi, pendelegasian, supervisi.
 Pengendalian, yaitu: indicator mutu, audit dokumen, survei
kepuasan, survei masalah kesehatan/keperawatan, evaluasi
kinerja perawat, evaluasi pengembangan staf,
 Evaluasi Hubungan professional: Rapat keperawatan, Case
Conference, Rapat Tim Kesehatan, Visit dokter.
 Pemberian Asuhan Keperawatan: HDR, RPK. Halusinasi, Waham,
RBD, DPD
79 Evaluasi Kemampuan Katim
 Manajemen, meliputi:
Perencanaan yaitu: rencana jangka pendek (harian,
bulanan).
Pengorganisasian yaitu: jadwal dinas, daftar pasien.
Pengarahan, yaitu: pre-conference, post conference,
iklim motivasi, pendelegasian, supervisi.
Pengendalian, yaitu: evaluasi kinerja perawat
pelaksana.
 Hubungan professional: Case Conference, Visit dokter.
 Pemberian Asuhan Keperawatan: HDR, RPK. Halusinasi,
Waham, RBD, DPD
80 Evaluasi Kemampuan Perawat Pelaksana

Manajemen, meliputi:
Perencanaan yaitu: rencana
harian.
Pemberian Asuhan Keperawatan:
HDR, RPK. Halusinasi, Waham, RBD,
DPD
Asuhan
Keperawatan
Klien Dengan
Perilaku
Kekerasan

Ns. D. Ricky, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep. J


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia

Perilaku Kekerasan 1
Perilaku Kekerasan
• Perilaku kekerasan dapat
beresiko ataupun terjadi pada
perawat atau klien di ruang
psikiatrik.
• Pada situasi yang mengancam,
respon individu dapat pasif,
asertif dan agresif.
• Individu yang menunjukkan
respon pasif biasanya
menempatkan hak mereka di
bawah persepsi mereka
terhadap hak orang lain.

Perilaku Kekerasan 2
Perilaku Kekerasan

• Kemarahan yang diekspresikan secara

berlebihan dan tidak terkendali secara verbal

sampai dengan mencederai orang lain dan

atau merusak lingkungan.

Perilaku Kekerasan 3
Perilaku Kekerasan
• Individu yang menunjukkan respon asertif
dapat menyampaikan pendapatnya tetapi juga
menghargai orang lain.
• Individu yang menunjukkan respon agresif
tidak menghargai hak orang lain dan mereka
merasa harus memperjuangkan haknya

Perilaku Kekerasan 4
Perilaku Pasif
• Mencoba menutupi kemarahannya, tapi malahan
meningkatkan ketegangan dalam dirinya.
• Biasanya dengan komunikasi nonverbal: bicara perlahan,
seperti anak kecil, kontak mata kurang, badan membungkuk,
tangan dilipat ke arah tubuh.
• Sarkasme merupakan cara mengungkapkan perasaan marah
secara tidak langsung.

Perilaku Kekerasan 5
Perilaku Asertif
• Individu berbicara dengan jelas, kontak mata
ada, berada pada batas personal, badan
berdiri tegak tetapi relaks, bahasa tidak
mengancam.
• Individu mampu menolak permintaan orang
lain yang tidak masuk akal tanpa ada perasaan
bersalah.
• Mampu meminta atau menolak permintaaan
secara rasional dan beralasan.

Perilaku Kekerasan 6
Perilaku Agresif
• Biasanya dipakai untuk
menutupi rasa kurang percaya
diri.
• Berusaha meningkatkan harga
diri mereka sehingga
membuktikan kelebihan mereka
di atas orang lain.
• Individu memasuki melewati
batas area personal, bicara
keras dengan penekanan,
kontak mata tajam dan lama,
tangan menunjuk-nunjuk,
tangan dikepal, kaki dihentak,
badan tegak condong ke depan.

Perilaku Kekerasan 7
Jenis Kekerasan
• Domestic violence; intimate
partner violence; family
violence.
• Youth violence.
• Workplace violence.

Perilaku Kekerasan 8
Teori Agresif
• Marah merupakan respon
terhadap suatu ancaman
terhadap fisik ataupun terhadap
konsep diri.
• Ancaman dapat bersumber dari
dalam ataupun dari luar.
• Ancaman dari luar – serangan
fisik, kehilangan hubungan yang
berarti, mendapat kritikan dari
orang lain.
• Ancaman dari dalam – merasa
gagal, ketakutan.

Perilaku Kekerasan 9
Psikologis
• Terdapat faktor tumbuh kembang
atau pengalaman hidup yang
membatasi kemampuan individu
menggunakan koping yang tepat.
• Social learning theory – perilaku
kekerasan dapat dipelajari, baik
secara internal maupun eksternal.
• Internal – perilaku kekerasan
diterima dan mendapatkan
reinforcement positif. Misal: anak
berkelahi, orang tua mendukung.

Perilaku Kekerasan 10
Psikologis
• Eksternal – perilaku
kekerasan karena meniru
orang lain berperilaku
demikian (role model).
Misal: menonton film
kekerasan, orang tua
bertengkar.

Perilaku Kekerasan 11
Sosiokultural
• Faktor sosial dan budaya mempengaruhi perilaku
kekerasan.
• Norma budaya menentukan mana perilaku yang
dapat diterima, mana yang tidak dapat diterima.
• Terdapat sangsi yang diberlakukan secara hukum.
• Norma budaya yang memperbolehkan
menyampaikan “marah” secara asertif akan
membuat individu menyampaikan rasa marah
secara sehat.
Perilaku Kekerasan 12
Sosiokultural
• Perilaku destruktif dapat terjadi karena
penyampaian marah secara kasar diterima dalam
satu budaya.
• Pemukiman yang padat, lingkungan yang panas
sangat berpengaruh terhadap terjadinya perilaku
kekerasan atau tindakan kasar.
• Faktor lainnya: kemiskinan, masalah pernikahan,
keluarga single-parent, pengangguran, kesulitan
dalam hubungan interpersonal dan sosial.
Perilaku Kekerasan 13
Biologis

• Gangguan pada sistem limbik terutama pada


bagian amygdala (over responsif), yang
bertanggung jawab terhadap rasa marah dan
ketakutan.
• Kerusakan pada lobus frontal menyebabkan
gangguan dalam penilaian atau pengambilan
keputusan, perubahan kepribadian, perilaku
kekerasan.
Perilaku Kekerasan 14
Biologis
• Hipotalamus – memberikan
impuls kepada kelenjar
pituitari untuk merangsang
pengeluaran hormon
steroid. Lebih banyak
hormon = respon
berlebihan.
• Gangguan pada
neurotransmiter: serotonin,
dopamin, NE, asetilkolin,
GABA.

Perilaku Kekerasan 15
Kelompok Resiko
• Klien dengan gejala psikotik aktif. Misal:
delusi.
• Klien dengan napza. Misal: peminum miras.
• Individu yang memiliki riwayat kekerasan
(sangat beresiko). Misal: psikopat atau
kepribadian antisosial.
• Klien di rumah sakit dan staf rumah sakit –
akibat privasi yang kurang, terlalu padat atau
tidak aktif, staf yang tidak berpengalaman, dll.
Perilaku Kekerasan 16
Pengkajian
• Motor agitation – tidak
tenang atau gelisah,
mengepalkan tangan,
mengatupkan/mengunci
rahang.
• Verbal – mengancam,
suara keras.
• Afek - marah, mudah
tersinggung, afek yang
labil (sering berubah-
ubah).

Perilaku Kekerasan 17
Data Mayor Perilaku Kekerasan
• Data subjektif: mengancam,
mengumpat, bicara keras,
ketus dan kasar.
• Data objektif: agitasi,
meninju atau menyerang
orang lain, melukai diri
sendiri atau orang lain,
merusak lingkungan,
membanting barang,
melempar barang.
Perilaku Kekerasan 18
Data Mayor Resiko Perilaku Kekerasan
• Subjektif:
– Menyatakan pernah
melakukan tindak kekerasan.
– Informasi dari keluarga
tentang tindak kekerasan yang
dilakukan oleh klien.
• Objektif:
– Ada tanda/jejas perilaku
kekerasan pada anggota
tubuh.

Perilaku Kekerasan 19
Tindakan Keperawatan
• Intervensi meliputi strategi pencegahan, strategi
antisipasi dan strategi pengekangan.
• Strategi pencegahan terdiri dari self awareness,
edukasi kepada klien, dan assertiveness training.
• Strategi antisipasi terdiri dari komunikasi verbal
dan non verbal, pengubahan lingkungan,
intervensi perilaku, dan pengobatan.
• Strategi pengekangan terdiri dari pengurungan
dan pengikatan.
Perilaku Kekerasan 20
Strategi Pencegahan
• Self-awareness – lihat kemampuan diri. Hati-
hati terhadap negative countertransference
yang membuat hubungan menjadi tidak
terapeutik.
• Edukasi klien – mengajarkan cara
berkomunikasi dan menungkapkan marah
dengan cara yang tepat. Ajarkan cara
mengatasi marah seperti DBE, membaca,
menyendiri, dll.

Perilaku Kekerasan 21
Strategi Pencegahan
• Assertiveness training –
merupakan keterampilan
interpersonal yang meliputi
mengatakan perasaan
marah kepada ybs,
menolak permintaan yang
tidak beralasan, mampu
mengatakan keluhan,
mengungkapkan
penghargaan dan
menerima pujian.

Perilaku Kekerasan 22
Perilaku Kekerasan 23
Perilaku Kekerasan 24
Strategi Antisipasi
• Komunikasi – mengenali
gejala perilaku dan verbal
klien secara dini, berbicara
dengan tenang dan lembut,
menerima perasaan klien dan
meyakinkan klien bahwa
perawat ingin menolong,
menganjurkan klien
mengontrol perilakunya,
badan relaks, tangan dibuka
atau tidak berada di dalam
saku, berada di luar batas
personal area.

Perilaku Kekerasan 25
Strategi Antisipasi
• Lingkungan – harus dibuat aturan yang jelas
dan penghargaan serta aktivitas bagi klien di
ruang perawatan. Jaga privasi klien.
Lingkungan harus tenang/tidak ribut. Sediakan
sarana atau kegiatan bagi klien untuk
menyalurkan emosinya seperti menuliskan
perasaannya, mengungkapkan perasaannya,
melakukan DBE.

Perilaku Kekerasan 26
Strategi Antisipasi
• Intervensi perilaku – limit setting, behavior
contract, time-out, token economy.
• Psikofarmakologi – anti ansietas dan sedasi
(benzodiazepine, buspirone), antidepresan
(SSRI), mood stabilizer (valproate,
carbamazepine), antipsikotik (haloperidol,
olanzapine), obat lainnya seperti beta blocker
(propanolol), opiate antagonist (naltrexone)

Perilaku Kekerasan 27
Strategi Pengekangan
• Merupakan intervensi dalam situasi gawat,
melindungi klien dan klien lainnya.
• Pengurungan – mengasingkan klien ke tempat
yang aman, membatasi hubungan
interpersonal yang mencetuskan gejala, dan
menurunkan impuls dari lingkungan luar.
• Pengikatan – tetap menjaga privasi klien,
dibuka setiap 2 jam.

Perilaku Kekerasan 28
Strategi Pengekangan
• Managemen krisis – melakukan penanganan
yang tepat saat klien mengamuk; harus ada
tim khusus yang menangani.

Perilaku Kekerasan 29
Resiko Perilaku Kekerasan
• Tujuan:
– Klien mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
– Klien mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan.
– Klien menyebutkan perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
– Klien menyebutkan akibat perilaku kekerasan.
– Klien dapat menyebutkan cara mencegah perilaku
kekerasan.
– Klien dapat mencegah perilaku kekerasan dengan cara
fisik, spiritual, sosial dan penggunaan obat.

Perilaku Kekerasan 30
Sp 1
• Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
• Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
• Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
• Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
• Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
• Mengajarkan klien dan mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1:
tarik nafas dalam.
• Memasukkan tarik nafas dalam ke dalam jadwal
kegiatan harian klien.

Perilaku Kekerasan 31
Sp 2
• Melakukan validasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
• Mengevaluasi kemampuan klien melakukan
cara fisik 1: tarik nafas dalam.
• Mengajarkan dan mendemonstrasikan cara
fisik 2 mengontrol perilaku kekerasan: pukul
kasur dan bantal.
• Memasukkan cara fisik 2 ke dalam jadwal
kegiatan harian klien.
Perilaku Kekerasan 32
Sp 3
• Melakukan validasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
• Mengevaluasi kemampuan klien melakukan cara
fisik 1 dan cara fisik 2: tarik nafas dalam dan
pukul kasur bantal.
• Mengajarkan dan mendemonstrasikan cara 3
mengontrol perilaku kekerasan: cara verbal
(meminta dan menolak dengan baik).
• Memasukkan cara 3 ke dalam jadwal kegiatan
harian klien.
Perilaku Kekerasan 33
Sp 4
• Melakukan validasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
• Mengevaluasi kemampuan klien melakukan
cara fisik 1 , cara fisik 2 dan cara 3: tarik nafas
dalam, pukul kasur bantal dan cara verbal.
• Mengajarkan dan mendemonstrasikan cara 4
mengontrol perilaku kekerasan: spiritual.
• Memasukkan cara 4 ke dalam jadwal kegiatan
harian klien.
Perilaku Kekerasan 34
Sp 5
• Melakukan validasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
• Mengevaluasi kemampuan klien melakukan cara
fisik 1 , cara fisik 2, cara 3 dan cara 4: tarik nafas
dalam, pukul kasur bantal, cara verbal dan
spiritual.
• Mengajarkan dan mendemonstrasikan cara 5
mengontrol perilaku kekerasan: minum obat
(menggunakan metode 5 Benar, kegunaan obat).
• Memasukkan cara 5 ke dalam jadwal kegiatan
harian klien.
Perilaku Kekerasan 35
Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Resiko Bunuh Diri

Ns. D. Ricky, S. Kep., M. Kep.,


Sp. Kep. J
Fakultas Ilmu Keperawatan
Univesitas Advent Indonesia
Resiko Bunuh Diri 1
Bunuh Diri
• Melindungi diri dan bertahan hidup merupakan
kebutuhan dasar semua mahluk hidup.
• Direct self-destructive behavior – semua bentuk
aktivitas bunuh diri seperti ide bunuh diri,
mengancam bunuh diri, mencoba/usaha bunuh
diri, dan bunuh diri.
• Indirect self-destructive behavior – semua
aktivitas yang merusak fisik individu yang
berpotensi menyebabkan kematian.
Resiko Bunuh Diri 2
Bunuh Diri
• Harga diri rendah
menyebabkan individu
mengalami depresi;
depresi selalu ada pada
self-destructive behavior.
• Di dunia, 1000 orang
melakukan bunuh diri
setiap hari.

Resiko Bunuh Diri 3


Siapa yang beresiko?
• Klien retardasi mental.
• Klien psikotik – akibat halusinasi atau delusi.
• Narapidana – kurang terdokumentasi,
penggunaan obat-obatan/napza, gangguan jiwa
yang tidak terdiagnosa.
• Kelainan kepribadian, terutama yang memiliki
kelainan kepribadian borderline – biasanya
wanita usia muda yang tidak dapat menahan
marah dan cemas; memiliki gangguan asupan
makanan.
Resiko Bunuh Diri 4
Siapa yang beresiko?
• Klien yang rawat inap dan mengalami depresi:
– Tingkat kecemasan yang tinggi.
– Minggu pertama rawat inap.
– Bulan pertama setelah keluar rumah sakit.
• Klien manula:
– Kehilangan pasangan hidup.
• Klien dengan pengguna alkohol:
– Hubungan interpersonal yang buruk dalam 6 bulan
terakhir.
– Penggunaan obat lainnya.
– Stadium akhir suatu penyakit.
Resiko Bunuh Diri 5
Siapa yang beresiko?
• Klien dewasa yang mengalami depresi:
– Riwayat penggunaan napza.
– Punya riwayat bunuh diri sebelumnya.
– Riwayat keluarga dengan depresi.
– Mendapatkan terapi antidepresan sebelumnya.
– Kehilangan yang sangat berarti.
– Riwayat pelanggaran hukum.
– Tersedianya alat bunuh diri di rumah (pistol, dll).

Resiko Bunuh Diri 6


Resiko Bunuh Diri 7
Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Growth- Indirect self-


Self-
promoting destructive Self injury Suicide
enhancement
risk taking behavior

Resiko Bunuh Diri 8


Faktor Predisposisi
• Banyak teori yang melandasi perilaku ini; teori
perilaku, teori psikologis ataupun teori
interpersonal.
• Lima faktor predisposisi: diagnosa psikiatrik,
personality traits and disorder, faktor
psikososial dan penyakit fisik, faktor genetik
dan keluarga, dan faktor biokimia.

Resiko Bunuh Diri 9


Diagnosa Psikiatrik

• Gangguan jiwa yang beresiko menyebabkan


perilaku bunuh diri:
– Gangguan alam perasaan/mood.
– Penggunaaan zat terlarang (substance abuse).
– Skizoprenia.
– Gangguan kecemasan.

Resiko Bunuh Diri 10


Personality Traits & Disorders
• Empat kepribadian yang beresiko menyebabkan
terjadinya perilaku bunuh diri:
– Perilaku bermusuhan.
– Impulsivity.
– Depresi.
– Putus asa.
• Berkaitan dengan individu yang mengisolasi diri,
harga diri rendah, kurang mempercayai orang
lain, mengharapkan yang buruk terjadi pada
hidup mereka, memiliki pemikiran yang sempit.
Resiko Bunuh Diri 11
Faktor Psikososial & Penyakit Fisik
• Termasuk kehilangan,
kurangnya dukungan sosial,
kejadian-kejadian dalam
hidup dan penyakit kronis.
• Kehilangan – perceraian,
kematian, kurangnya
dukungan sosial.
• Kejadian-kejadian traumatis
menyakitkan – masalah
interpersonal, dipermalukan
di depan umum, kehilangan
pekerjaan, terancam di
penjara.

Resiko Bunuh Diri 12


Faktor Psikososial & Penyakit Fisik
• Dukungan sosial yang
kurang – pada gangguan
jiwa, kepatuhan
terhadap pengobatan,
respon terhadap terapi.
• Penyakit fisik – penyakit
kronis dan melelahkan.
Misalnya keganasan,
epilepsi, HIV/AIDS.

Resiko Bunuh Diri 13


Faktor Genetik dan Keluarga
• Ada riwayat perilaku
bunuh diri dengan
gangguan alam perasaan.
• Kembar MZ > kembar DZ.
• Serotonin rendah –
depresi.

Resiko Bunuh Diri 14


Faktor Biokimia
• Ketidakseimbangan
neurtransmiter serotonin (5-HT)
 rendahnya kadar serotonin
dan metabolitnya.
• Serotonin berhubungan dengan
kondisi depresi, perasaan putus
asa.
• Lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita.

Resiko Bunuh Diri 15


Faktor Presipitasi
• Perilaku self-destructive merupakan usaha
untuk menghindari dari situasi yang tidak
nyaman atau situasi hidup yang tidak dapat
ditoleransi.
• Kecemasan merupakan penyebab terjadinya
perilaku ini.

Resiko Bunuh Diri 16


Faktor Protektif
• Rasa tanggung jawab terhadap keluarga.
• Kehamilan.
• Kepuasan dalam hidup.
• Dukungan sosial yang positif.
• Mudahnya jangkauan ke yankes.
• Keterampilan/koping yang efektif.
• Keterampilan dalam pemecahan masalah.
• Selalu menyadari realitas hidup.

Resiko Bunuh Diri 17


Sumber Koping
• Isolasi sosial menyebabkan
perasaan “loneliness”
sehingga beresiko terjadinya
bunuh diri.
• Individu yang aktif di
masyarakat, punya aktivitas
sosial – mampu bertoleransi
dengan stresor.
• Kegiatan keagamaan
memberikan dukungan bagi
individu melewati masa-masa
sulit.

Resiko Bunuh Diri 18


Resiko Bunuh Diri 19
Faktor Mencegah Bunuh Diri
• Perawatan dan penanganan
yang tepat dan efektif pada
klien yang mengalami
gangguan jiwa, fisik maupun
penggunaan zat/napza.
• Kemudahan mendapatkan
yankes dan dukungan
layanan kesehatan.
• Keterbatasan dalam
menjangkau alat/metode
bunuh diri.
• Dukungan keluarga dan
masyarakat.

Resiko Bunuh Diri 20


Faktor Mencegah Bunuh Diri
• Dukungan terhadap perawatan medis dan jiwa
yang sedang dijalani.
• Mempelajari keterampilan dalam
memecahkan masalah.
• Nilai agama dan budaya yang melarang
tindakan bunuh diri.
• Punya harapan dalam menghadapi situasi sulit
atau kemalangan.

Resiko Bunuh Diri 21


Mekanisme Koping
• Denial.
• Rationalization.
• Regression.
• Magical thinking.

Resiko Bunuh Diri 22


Pengkajian
• Pesan verbal dan non verbal
– Pernyataan terbuka, seperti:
• “Saya tidak tahan lagi”
• “Andai saja saya mati”
• “Sepertinya semuanya akan lebih baik kalau saya mati”
– Pernyataan terselubung, seperti:
• “saya ngga akan merepotkan lagi”

Resiko Bunuh Diri 23


Pengkajian
• Tanyakan pertanyaan sebagai berikut:
– “Pernahkah terpikir bahwa hidup ini tidak
berarti?”
– “Pernahkah terpikir untuk bunuh diri?”
– “Pernahkah mencoba untuk bunuh diri?”
– “Pernahkah memiliki rencana untuk bunuh diri?”
• Amati perubahan emosi yang tiba-tiba.

Resiko Bunuh Diri 24


Pengkajian
• Tiga hal yang menentukan tingkat bunuh diri
yang mematikan:
– Adanya rencana bunuh diri yang lebih rinci.
– Seberapa mematikan metode tersebut.
– Adakah kemudahan untuk melakukan rencana
tersebut?

Resiko Bunuh Diri 25


Pengkajian
• Kaji tingkat rencana bunuh diri yang
mematikan:
– High risk:
• Menggunakan senjata api.
• Melompat dari tempat ketinggian.
• Gantung diri.
– Low risk:
• Menelan pil.
• Menghirup gas alam

Resiko Bunuh Diri 26


Diagnosa Keperawatan
• Resiko tinggi bunuh diri.
• Resiko tinggi menciderai diri sendiri.
• ketidakpatuhan dalam
pengobatan/perawatan.

Resiko Bunuh Diri 27


Algoritme Penanganan
Klien Bunuh Diri
Antidepresan,
psikoterapi,
Keinginan Bunuh Diri penanganan
Tidak
alkohol

Punya
Rencana? Ya
Evaluasi gangguan
jiwa atau stresor
Punya akses terhadap
alat/metode?
Ya Dukungan sosial buruk?
Gangguan penilaian?

Rawat Tidak
Inap

Resiko Bunuh Diri 28


Resiko tinggi Bunuh Diri
• Temani klien terus menerus sampai klien dapat
dipindahkan ke tempat yang aman.
• Jauhkan benda-benda yang berbahaya.
• Periksa apakah klien telah benar-benar meminum
obatnya.
• Jelaskan kepada klien bahwa anda akan melindunginya
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

Resiko Bunuh Diri 29


Resiko Bunuh Diri 30
Sp 1
• Identifikasi benda-benda yang dapat
membahayakan klien.
• Amankan benda-benda yang dapat
membahayakan klien.
• Lakukan kontrak treatment.
• Ajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh
diri.
• Latih cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
• Masukkan dalam jadwal latihan kegiatan harian
klien.

Resiko Bunuh Diri 31


Sp 2
• Validasi tanda dan gejala resiko bunuh diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1.
• Identifikasi aspek positif klien.
• Dorong klien untuk berpikir positif terhadap
diri.
• Dorong klien menghargai diri sebagai individu
yang berharga.

Resiko Bunuh Diri 32


Sp 3
• Validasi tanda dan gejala resiko bunuh diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1 dan Sp 2.
• Identifikasi pola koping yang biasa diterapkan
klien.
• Nilai pola koping yang biasa dilakukan.
• Identifikasi pola koping yang konstruktif.
• Dorong klien memilih pola koping yang
konstruktif.
• Anjurkan klien menerapkan pola koping yang
konstruktif dalam kegiatan harian.

Resiko Bunuh Diri 33


Sp 4
• Validasi tanda dan gejala resiko bunuh diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1, Sp 2 dan Sp 3.
• Buat rencana masa depan yang realistik
bersama klien.
• Identifikasi cara mencapai rencana masa
depan yang realistis.
• Dorong klien melakukan kegiatan dalam
rangka meraih masa depan yang realistis.
Resiko Bunuh Diri 34
Intervensi Keluarga
• Libatkan keluarga mengawasi
klien serta jangan pernah
meninggalkan klien sendirian.
• Menganjurkan keluarga
menjauhi barang-barang yang
membahayakan klien.
• Menganjurkan keluarga tidak
membiarkan klien melamun
sendirian.
• Menjelaskan kepada keluarga
pentingnya klien minum obat
teratur.

Resiko Bunuh Diri 35


Resiko Bunuh Diri 36
Resiko Bunuh Diri 37
“Marilah kepadaKu, semua yang
letih lesu dan berbeban berat, Aku
akan memberi kelegaan kepadamu”
Matius 11:28
Resiko Bunuh Diri 38
Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Harga Diri Rendah

Ns. D. Ricky, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep. J


Harga Diri Rendah 1
Konsep
• Harga diri merupakan bagian penting dalam
“psychological survival” (McKay dan Fanning,
2003).
• Meningkatkan harga diri akan membantu
individu mengubah pandangan dan perasaan
individu terhadap dirinya sendiri;
menghentikan penilaian (judgement) diri.

Harga Diri Rendah 2


Konsep
Body
Image

Self Konsep Personal


Esteem Diri Identity

Self
Ideal

Harga Diri Rendah 3


Konsep
• Body image – persepsi
subjektif penampilan diri yang
didasarkan pada evaluasi diri,
reaksi dan umpan balik dari
orang lain.
• Gangguan body image dapat
terjadi akibat perubahan
struktur atau fungsi.
• Personal identity – terdiri dari
moral-ethical self, self
consistency dan self ideal/self
expectancy.

Harga Diri Rendah 4


Konsep
• Moral ethical self – identitas diri yang didasarkan
pada apa yang individu katakan tentang dirinya
(tergantung pada hasil observasi sendiri,
perbandingan, standar yang telah ditentukan).
• Self consistency – identitas diri yang dipakai untuk
mempertahankan gambaran diri yang stabil.
• Self ideal – berhubungan dengan persepsi
individu terhadap cita-cita, kemauan sendiri, apa
yang akan dilakukan.
Harga Diri Rendah 5
Konsep
• Self esteem – berhubungan dengan penghargaan
terhadap diri.
• Terdiri dari 2 komponen: kemampuan
mengatakan “saya adalah bagian yang penting”,
“saya berharga” dan kemampuan untuk
mengatakan “saya berkompeten” atau “saya
memiliki sesuatu yang dapat dilakukan”.
• Maslow: positive self esteem akan memudahkan
individu mencapai aktualisasi diri.

Harga Diri Rendah 6


Harga Diri Rendah 7
Meningkatkan Harga Diri
(Coopersmith, 1981)
• Power – individu mempunyai perasaan untuk
mengatur hidupnya sendiri dan kemampuan
mempengaruhi orang lain.
• Significance – individu merasa dicintai, dihargai,
diperdulikan oleh orang lain yang berarti baginya.
• Virtue – individu merasa nyaman dengan dirinya
saat apa yang dilakukannya mencerminkan nilai
moral, etik, dan pribadinya.

Harga Diri Rendah 8


Meningkatkan Harga Diri
(Coopersmith, 1981)
• Competence – individu mampu mencapai cita-
cita dan harapan dirinya dan harapan dari
orang lain.
• Consistently set limits – kehidupan individu
yang terstruktur menunjukkan penerimaan
dan memberikan perasaan aman.

Harga Diri Rendah 9


Meningkatkan Harga Diri Anak
(Warren, 1991)
• A sense of competence – anak
melakukan apa yang terbaik
mereka dapat capai/lakukan.
• Unconditional love – anak dicintai
dan diterima dengan iklas apakah
mereka sukses atau gagal. Pujian
yang realistik, tidak mengkritik.
• A sense of survival – anak belajar
dari kegagalan untuk lebih kuat
bertumbuh.
Harga Diri Rendah 10
Meningkatkan Harga Diri Anak
(Warren, 1991)
• Realistic goals – goals ditentukan
berdasarkan kemampuan anak.
• A sense of responsibility – anak
diberikan tugas/tanggung jawab
yang dinilai berguna/.bermakna.
• Reality orientation – mengajarkan
pada anak batas kemampuan,
keseimbangan terhadap apa yang
dapat dicapai dan apa yang
merupakan di luar kemampuannya.

Harga Diri Rendah 11


Harga Diri Rendah 12
Konsep
• Faktor lain yang mempengaruhi harga diri:
– Respon dari orang lain – positif atau negatif.
– Faktor heriditas – misal penampilan diri, bentuk
dan ukuran tubuh.
– Kondisi lingkungan – adanya kebutuhan dari
lingkungan. Misal: kuliah di universitas ternama
dan bergengsi.

Harga Diri Rendah 13


Konsep
• Didasarkan pada tumbuh
kembang Erikson.
• Trust vs Mistrust - tidak
terpenuhi keinginannya akan
menimbulkan negative self
esteem.
• Autonomy vs shame and doubt
– independent behavior dibatasi
mengakibatkan low self esteem,
tidak PD, tidak bangga untuk
mampu melakukan sesuatu.

Harga Diri Rendah 14


Konsep
• Initiative vs guilt – positive
feedback sangat diperlukan karena
pada saat ini terjadi konsep “bad”
atau “good”.
• Industry vs inferiority – negative
self esteem terjadi bila tidak
mampu mencapai cita-cita,
espektasi yang tidak realistik, atau
mendapatkan negative feedback.

Harga Diri Rendah 15


Konsep
• Identity vs role confusion –
individu diberikan kebebasan
menentukan pilihan, membuat
keputusan. Gagal maka akan
membuat ketergantungan.
• Intimacy vs isolation – positive
self esteem tercapai apabila
individu mampu berbagi
dengan orang lain.

Harga Diri Rendah 16


Konsep
• Generativity vs stagnation –
kepuasan terhadap apa yang
telah dicapai dan kebermaknaan
diri serta kontribusi diri
terhadap orang lain.
• Ego integrity vs despair –
mampu menerima kenyataan,
menerima apa yang telah
berhasil dicapai dan apa yang
tidak dapat dicapai.

Harga Diri Rendah 17


Perilaku Yang Berhubungan Dengan
Harga Diri Rendah
• Kritik diri – memiliki pikiran negatif terhadap
diri sendiri dan percaya bahwa mereka akan
selalu gagal.
• Self-diminution – merendahkan kemampuan
diri (menghindari, menyangkal, menolak
kemampuan diri).
• Guilt and worry – menyalahkan diri,
menunjukkan penolakan terhadap diri.

Harga Diri Rendah 18


Perilaku Yang Berhubungan Dengan
Harga Diri Rendah
• Physical manifestation – hipertensi, psikosomatik,
penggunaan napza.
• Postponing decisions – ambivalen.
• Denying oneself pleasure – penolakan diri ->
menghukum diri dengan menghindari
“memberikan kesenangan” terhadap diri.
• Disturbed relationship – hubungan yang buruk
dengan orang lain.
• Withdrawal from reality – merupakan mekanisme
koping akibat kecemasan.

Harga Diri Rendah 19


Perilaku Yang Berhubungan Dengan
Harga Diri Rendah
• Self destructiveness – mencederai diri sendiri, bahkan
mengakhiri hidup (bunuh diri).
• Other destructiveness – memprojeksikan pada orang
lain.
• Illusions and unrealistic goals – terlalu sensitif terhadap
kritikan, menyalahkan orang lain.
• Exaggerated sense of self –
• Boredom – penolakan terhadap kemampuan diri,
potensi diri.
• Polarizing view of life – memiliki pandangan yang
sempit terhadap hidupnya.

Harga Diri Rendah 20


Tanda Dan Gejala HDR
• Kurang kontak mata.
• Ungkapan yang menegatifkan diri.
• Ekspresi rasa malu atau bersalah.
• Mengevaluasi diri sebagai tidak mampu
menghadapi berbagai peristiwa atau masalah.
• Membuang rasionalisasi atau umpan balik
positif dan melebih-lebihkan umpan balik
negatif tentang dirinya.
Harga Diri Rendah 21
Tanda Dan Gejala HDR
• Ragu-ragu untuk mencoba hal-hal yang baru.
• Penolakan terhadap masalah yang jelas pada
orang lain.
• Projeksi kesalahan atau tanggung jawab.
• Rasionalisasi kegagalan pribadi.
• Hipersensitivitas terhadap kritik.
• Menarik diri.

Harga Diri Rendah 22


Tanda Dan Gejala HDR
• Menangis berlebihan dan bergantian dengan
ekspresi marah.
• Menolak berpartisipasi dalam terapi-terapi.
• Penolakan terhadap aktivitas-aktivitas
merawat diri sendiri.

Harga Diri Rendah 23


Data Mayor HDR
• Data Subjektif:
– Mengeluh hidup tidak bermakna.
– Tidak memiliki kelebihan apapun.
– Merasa jelek.
• Data Objektif:
– Kontak mata kurang.
– Tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain.

Harga Diri Rendah 24


Tujuan
• Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki.
• Klien dapat menilai kemampuan yang dapat
digunakan.
• Klien dapat memilih kegiatan sesuai dengan
kemampuan.
• Klien dapat melatih kegiatan yang dipilih sesuai
dengan kemampuan.
• Klien dapat melakukan kegiatan yang sudah
dilatih sesuai jadwal.

Harga Diri Rendah 25


Sp 1
• Mengidentifikasi kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki oleh klien.
• Memilih kemampuan yang akan dilatih.
• Melatih kemampuan 1 yang dipilih.
• Memberikan pujian kepada klien.
• Memasukkan dalam kegiatan harian.

Harga Diri Rendah 26


Sp 2
• Mengevaluasi Sp 1.
• Memilih kemampuan kedua yang akan dilatih.
• Melatih kemampuan 2 yang dipilih.
• Memberikan pujian kepada klien.
• Memasukkan dalam kegiatan harian.

Harga Diri Rendah 27


Sp 3
• Mengevaluasi Sp 1 dan Sp 2.
• Memilih kemampuan ketiga yang akan dilatih.
• Melatih kemampuan 3 yang dipilih.
• Memberikan pujian kepada klien.
• Memasukkan dalam kegiatan harian.

Harga Diri Rendah 28


Sp 4
• Mengevaluasi Sp 1, Sp 2, Sp 3.
• Memilih kemampuan keempat yang akan
dilatih.
• Melatih kemampuan 4 yang dipilih.
• Memberikan pujian kepada klien.
• Memasukkan dalam kegiatan harian.

Harga Diri Rendah 29


Sp 1 Keluarga
• Mendiskusikan masalah
yang dirasakan keluarga
dalam merawat klien.
• Menjelaskan
pengertian, tanda dan
gejala harga diri rendah
yang dialami klien
beserta proses
terjadinya.
• Menjelaskan cara-cara
merawat klien harga diri
rendah.

Harga Diri Rendah 30


Sp 2 Keluarga
• Melatih keluarga
mempraktekkan cara
merawat klien dengan
harga diri rendah.
• Melatih keluarga
melakukan cara
merawat langsung
kepada klien dengan
harga diri rendah.

Harga Diri Rendah 31


Sp 3 Keluarga
• Membantu keluarga
membuat jadwal
aktivitas di rumah
termasuk minum obat
(discharge planning).
• Menjelaskan perawatan
lanjutan (follow up) klien
setelah pulang.

Harga Diri Rendah 32


Harga Diri Rendah 33
Asuhan Keperawatan Klien
dengan Defisit Perawatan Diri

Ns. D. Ricky, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep. J


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia

Defisit Perawatan Diri 1


Defisit Perawatan Diri
• Pada klien gangguan jiwa akibat terjadinya
perubahan proses pikir.
• Defisit perawatan diri terlihat dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri,
makan, berhias diri dan eliminasi secara
mandiri.

Defisit Perawatan Diri 2


Defisit Perawatan Diri
• Tanda dan gejala:
• Gangguan kebersihan diri – rambut kotor, gigi
kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan
kotor.
• Ketidakmampuan berhias/berpakaian –
rambut acak-acakan, pakaian tidak rapih dan
kotor, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
atau berdandan.

Defisit Perawatan Diri 3


Defisit Perawatan Diri
• Ketidakmampuan makan secara mandiri –
tidak mampu mengambil makanan sendiri,
makan berceceran, makan tidak pada
tempatnya.
• Ketidakmampuan eliminasi secara mandiri –
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak
membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.

Defisit Perawatan Diri 4


Data Mayor
• Subjektif:
– Menyatakan malas mandi.
– Tidak tahu cara makan yang baik.
– Tidak tahu cara dandan yang baik.
– Tidak tahu cara bab/bak yang baik.
• Objektif:
– Badan kotor.
– Dandanan tidak rapih.
– Makan berantakan.
– bab/bak sembarangan.
Defisit Perawatan Diri 5
Sp 1

• Menjelaskan pentingnya
kebersihan diri.
• Menjelaskan cara menjaga
kebersihan diri.
• Membantu klien mempraktekkan
cara menjaga kebersihan diri.
• Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
Defisit Perawatan Diri 6
Sp 2
• Validasi tanda dan gejala
defisit keperawatan diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1.
• Menjelaskan cara makan
yang baik.
• Membantu klien
mempraktekkan cara makan
yang baik.
• Menganjurkan klien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian klien.
Defisit Perawatan Diri 7
Sp 3
• Validasi tanda dan gejala defisit
keperawatan diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1, 2.
• Menjelaskan cara eliminasi
(bab/bak) yang baik.
• Membantu klien mempraktekkan
cara eliminasi (bab/bak) yang
baik.
• Menganjurkan klien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian klien.
Defisit Perawatan Diri 8
Sp 4
• Validasi tanda dan gejala defisit
keperawatan diri.
• Evaluasi kemampuan Sp 1, 2, 3.
• Menjelaskan cara berdandan.
• Membantu klien
mempraktekkan cara
berdandan.
• Menganjurkan klien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian klien.

Defisit Perawatan Diri 9


Defisit Perawatan Diri 10
Isolasi Sosial

D. Ricky, S. Kep., M. Kep., Ns. Sp. Kep. J


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia

Isolasi Sosial 1
Definisi
• Keadaan dimana
individu mengalami
penurunan
berinteraksi dengan
orang lain.
• Merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian
atau tidak mampu
berhubungan dengan
orang lain.

Isolasi Sosial 2
Definisi
• The distancing of an individual, psychologically
or physically, or both, from his or her network
of desired or needed relationships with other
persons.

Isolasi Sosial 3
Isolasi Sosial
• Voluntary – mengasingkan diri secara sengaja
dengan berbagai alasan.
• Involuntary – diasingkan oleh orang lain.

Isolasi Sosial 4
Isolasi Sosial 5
Penyebab
• Gangguan persepsi sensori
(halusinasi; sebagai akibat dari
ketidakpercayaan atau
penolakan oleh orang lain).
• Gangguan proses pikir
(delusi/waham, pikiran magis,
blocking, waham sisip pikir).
• Kerusakan komunikasi verbal
(neologism, “word salad”,
asosiasi longgar, inkoheren,
miskin bicara).

Isolasi Sosial 6
Penyebab
• Penyakit kronis, hospitalisasi
(rawat inap), terasing.
• Sistem pendukung yang tidak
efektif (keluarga, teman,
pekerjaan, sekolah).
• Ketidakpuasan dalam
hubungan atau menjalankan
peran.
• Nilai sosial yang tidak diterima
(perilaku yang tidak diterima
oleh norma sosial).
Isolasi Sosial 7
Penyebab
• Kegagalan dalam perkembangan (melakukan
tindakan yang tidak pantas dan tidak mampu
memenuhi tugas perkembangan sesuai usia).
• Tidak bertenaga.
• Ketakutan atau kecemasan.
• Tidak memiliki kemauan.
• Kegagalan dalam berinteraksi sosial.

Isolasi Sosial 8
• Wawancara pada keluarga, observasi perilaku pasien
dan keluarga  menentukan isolasi sosial.
• Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak
orang lain.
• Merasa tidak aman berada dengan orang lain.
• Hubungan tidak berarti dengan orang lain.
• Bosan dan lambat menghabiskan waktu.
• Tidak mampu berkosentrasi dan membuat keputusan.
• Merasa tidak berguna.
• Merasa tidak yakin menjalankan hidup.

Isolasi Sosial 9
Observasi
• Tidak memiliki teman dekat.
• Menarik diri.
• Tidak komunikatif.
• Tindakan berulang dan tidak bermakna.
• Asyik dengan pikirannya sendiri.
• Tidak ada kontak mata.
• Afek tumpul, tampak sedih.

Isolasi Sosial 10
Tanda dan Gejala
• Klien menarik diri dari lingkungan
dan dari orang di sekitar.
• Menyendiri di kamar atau berada
di tempat tidur seharian.
• Kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain.
• Menyebutkan pernyataan yang
berisi penolakan dari orang di
sekitar.
– “Saya merasa bahwa saya tidak
diperlukan di dalam kelompok”.
– “Perawat sepertinya tidak memiliki
waktu buat saya”.

Isolasi Sosial 11
Tanda dan Gejala
• Menunjukkan ketidakmampuan dalam
berinteraksi atau terlibat dalam kegiatan.
• Menunjukkan ketidakmampuan
menyampaikan perasaan atau membagikan
ide kepada orang lain atau dalam kelompok.
• Menyatakan sulit berdiskusi atau terlibat
dalam pembicaraan.

Isolasi Sosial 12
Tanda dan Gejala
• Memiliki pengalaman tidak mampu membina
hubungan atau tidak memiliki hubungan yang
memuaskan.
• Menyatakan tidak memiliki tujuan hidup.
• Menunjukkan tidak memiliki minat dalam
melakukan aktivitas.
• Kontak mata kurang, afek datar atau tumpul.

Isolasi Sosial 13
Tanda dan Gejala
• Sulit berkonsentrasi atau mengambil
keputusan.
• Malas beraktivitas.
• Mengatakan tidak bertenaga.
• Mengatakan diri tidak berguna.
• Selera makan atau kebiasaan makan berubah
(makan berlebihan atau tidak berselera
makan).
Isolasi Sosial 14
Data Mayor
• Data Subjektif:
– Mengatakan malas berinteraksi.
– Mengatakan orang lain tidak mau menerima
dirinya.
– Merasa orang lain tidak selevel.
• Data Objektif:
– Menyendiri.
– Mengurung diri.
– Tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.

Isolasi Sosial 15
Tujuan
• Klien dapat membina hubungan saling
percaya.
• Klien menyadari penyebab isolasi sosial.
• Kien dapat berinteraksi dengan orang lain.

Isolasi Sosial 16
Sp 1
• Mengidentifikasi penyebab
isolasi sosial
• Diskusikan keuntungan memiliki
teman.
• Diskusikan kerugian tidak
memiliki teman.
• Mengajarkan klien cara
berkenalan dengan orang lain.
• Memasukkan kegiatan
berkenalan ke dalam jadwal
kegiatan harian klien.
Isolasi Sosial 17
Sp 2
• Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian.
• Memberikan
kesempatan klien
berkenalan dengan dua
orang.
• Menganjurkan klien
melakukan kegiatan
harian bersama dengan
orang lain.
• Memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
klien.

Isolasi Sosial 18
Sp 3
• Evaluasi Sp 1 dan Sp 2.
• Latih klien berkenalan dengan lebih dari dua
orang baru.
• Latih klien melakukan kegiatan kelompok.
• Masukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Isolasi Sosial 19
Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Halusinasi dan Waham

Ns. D. Ricky, S. Kep, M. Kep, Sp. Kep. J


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Advent Indonesia

Halusinasi dan Waham 1


Halusinasi
• Halusinasi

Halusinasi dan Waham 2


Tujuan
• Klien dapat mengenali halusinasi yang
dialaminya.
• Klien dapat mengontrol halusinasinya.
• Klien mengikuti program pengobatan secara
optimal.

Halusinasi dan Waham 3


Halusinasi & Waham
• Merupakan gejala gangguan jiwa Skizoprenia atau
sering juga disebut psikosis.
• Psikosis adalah suatu keadaan mental dimana
individu mengalami pengalaman atau kenyataan
yang berbeda dengan orang lain.
• Skizoprenia adalah satu kelompok gangguan yang
berkaitan satu dengan yang lainnya secara
patofisiologi, faktor-faktor predisposisi dan
stresor presipitasi dan perilaku yang ditampilkan.
Halusinasi dan Waham 4
Halusinasi & Waham
• Gejala skizoprenia : gejala positif dan gejala
negatif.
• Gejala positif – melebih-lebihkan perilaku
normal. Contoh: delusi, halusinasi.
• Gejala negatif – mengurangi atau
menghilangkan perilaku normal. Contoh:
anhedonia, apatis.

Halusinasi dan Waham 5


Halusinasi & Waham
Gejala negatif:
Afek datar
Gejala Kognitif:
Apatis
Anhedonia/asosialiti
Defisit perhatian/atensi

Gejala Positif:
Delusi
Gejala perasaan/mood:
Halusinasi Disfungsi
Gangguan proses pikir Sosial/pekerjaan:
Afek tidak tepat Aktivitas/pekerjaan
Hubungan
interpersonal
Perawatan diri

Halusinasi dan Waham 6


Faktor Predisposisi
• Genetika:
– Mutasi trinukleotida berulang.
– Kelainan pada kromosom 6, 4, 8, 15 dan 22.
– Fungsi gen GAD1 (menghasilkan GABA pada
perkembangan korteks prefrontal) tidak berfungsi
dengan sempurna.
• Neurobiologi:
– Perkembangan korteks prefrontal dan limbik yang
tidak sempurna.
Halusinasi dan Waham 7
Faktor Predisposisi
• Gangguan pada sistem neurotransmiter.
• Kurangnya volume otak (substansi putih dan substansi
abu-abu); terutama pada korteks frontal, sistem limbik,
serebellum.
• Penurunan aliran darah ke daerah lobus frontal.
• Aktifitas dan pengecilan bagian thalamus.
• Perkembangan sistem persyarafan yang tidak
sempurna pada masa sebelum lahir/kehamilan.
• Infeksi virus pada masa prenatal, terutama pada
daerah yang kumuh dan pada musim dingin dan musim
semi.

Halusinasi dan Waham 8


Faktor Presipitasi
• Biologis:
– Information-processing overload: stimulus visual
dan auditori yang masuk ke thalamus akan
diproses di lobus frontal. Informasi yang
berlebihan dalam satu waktu yang bersamaan
akan membuat terjadinya overload di basal
ganglia. Transmisi informasi ke lobus frontal tidak
dapat diatur kembali.

Halusinasi dan Waham 9


Faktor Presipitasi
• Abnormal gating mechanism –
ketidakmampuan untuk menyaring stimulus
yang ada.
• Pencetus gejala – stresor yang berkontribusi
dengan faktor-faktor di atas yang
menyebabkan terjadinya tanda dan gejala.
Lihat tabel.

Halusinasi dan Waham 10


Pencetus Gejala
Kesehatan Lingkungan
• Nutrisi yang buruk. • Lingkungan yang
• Kurang istirahat. bermusuhan.
• Ritme irama sikardian yang • Perumahan yang tidak layak
tidak seimbang.
huni.
• Kelelahan.
• Infeksi. • Perubahan dalam hidup.
• Obat-obat pada sistem • Gangguan hubungan
persyarafan. interpersonal.
• Kurang berolahraga. • Isolasi sosial.
• Keterbatasan menjangkau
yankes. • Kurangnya dukungan sosial.

Halusinasi dan Waham 11


Pencetus Gejala
Lingkungan Perilaku
• Kurang keterampilan • Konsep diri yang rendah.
bekerja; tekanan pekerjaan. • Percaya diri yang rendah.
• Stigma. • Rendahnya motivasi diri.
• Kemiskinan. • Kurang mampu mengontrol
diri (demoralisasi).
• Ketidaktersediaan
transportasi. • Kemampuan bersosialisasi
yang kurang.
• Tidak mempu mendapatkan
• Perilaku agresif.
pekerjaan.
• Penanganan obat yang buruk.
• Pengangan gejala yang buruk.

Halusinasi dan Waham 12


Tahapan Halusinasi
• Tahap 1: Comforting (berhubungan dengan
tingkat kecemasan sedang)
– Klien mengalami rasa cemas, sendiri dan perasaan
bersalah.
– Berpusat pada pemikiran-pemikiran yang
memberikan rasa nyaman untuk mengatasi
kecemasan.
– Klien menyadari bahwa halusinasi adalah apa yang
mereka pikirkan sendiri dan dapat mengontrolnya.

Halusinasi dan Waham 13


Tahapan Halusinasi
• Stage 2: Condemning (berhubungan dengan
kecemasan sedang hingga berat)
– Jika kecemasan meningkat, klien lebih suka mendengarkan
halusinasinya dan proses halusinasi dimulai.
– Klien tidak mampu mengontrol kesadaran dirinya dan
merasa terancam. Klien merasa takut berhadapan dengan
orang lain karena merasa orang lain dapat mndengar apa
yang didengar oleh klien dan klien menjauh dari interaksi
sosial.
– Klien berusaha menjaga jarak antara dirinya dengan orang-
orang yang terlibat/terkait dengan halusinasinya.
– Denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah dapat
meningkat. Lapang persepsi mulai menyempit.

Halusinasi dan Waham 14


Tahapan Halusinasi
• Stage 3: Controlling (berhubungan dengan
tingkat kecemasan panik)
– Suara yang didengar mulai mengancam apabila
klien tidak mengikuti perintah halusinasi tersebut.
Halusinasi meluas dan disertai dengan waham.
– Halusinasi dapat berlangsung hingga beberapa
jam atau beberapa hari bila tidak segera ditangani.
– Klien merasa ingin bunuh diri.
– Klien melakukan tindakan kekerasan atau gerakan
katatonik.

Halusinasi dan Waham 15


Tanda dan Gejala Mayor
• Halusinasi: mengatakan mendengar suara
bisikan/melihat bayangan, bicara sendiri,
tertawa sendiri, marah tanpa sebab.

Halusinasi dan Waham 16


Sumber Koping
• Lebih dititikberatkan pada keluarga.
• Diperlukan pemahaman dan pengertian
keluarga/orang tua, finansial, ketersediaan
waktu dan tenaga, kemampuan untuk
memberikan dukungan.

Halusinasi dan Waham 17


Mekanisme Koping

Konstruktif Destruktif

Withdrawl Projection Regression Denial

Halusinasi dan Waham 18


Respons Neurobiologis

Respon Respon
Adaptif Maladaptif

• Pikiran logis • Ilusi • Gangguan pola


• Persepsi akurat. • Gangguan pola pikir/delusi.
• Emosi konsisten. pikir yang bersifat • Halusinasi.
• Hubungan sosial sementara • Isolasi sosial.
yang terjalin. (occasionally). • Perilaku yang
• Emosi yang tidak terkontrol.
berlebihan.

Halusinasi dan Waham 19


Diagnosa Keperawatan
• Gangguan komunikasi verbal.
• Gangguan persepsi sensori.
• Gangguan interaksi sosial.
• Gangguan proses pikir

Halusinasi dan Waham 20


Intervensi Fase Akut & Kritis
• Patient safety – klien skizoprenia beresiko
melakukan tindakan bunuh diri, akibat gangguan
pertimbangan/judgement dan respon terhadap
delusi atau halusinasi. Perawat harus waspada
dan menjelaskan tindakan pada klien, merespon
kebutuhan klien dengan “caring”.
• Menangani delusi – perlu dibentuk hubungan
saling percaya yang kuat melalui kontak mata
yang konsisten, tenang dan sikap empati.

Halusinasi dan Waham 21


Intervensi Fase Akut & Kritis
• Menangani halusinasi – membantu klien sadar
terhadap halusinasi yang dialaminya sehingga
klien dapat membedakan antara hal nyata dan
tidak nyata. Diskusikan dengan klien saat
halusinasi muncul.
• Psikofarmasi – obat antipsikotik tipikal dan
atipikal. Contoh: risperidone, klorpromazin.
• Cognitive behavioral therapy – merubah
pikiran, perilaku dan emosi klien

Halusinasi dan Waham 22


Strategi Penanganan Halusinasi
• Ciptakan hubungan saling percaya:
– Tetap tenang, tidak cemas.
– Sabar, tunjukkan penerimaan dan menjadi pendengar
yang aktif.
• Kaji gejala halusinasi: durasi, intensitas dan
frekwensi.
– Observasi perilaku yang menunjukkan adanya
halusinasi.
– Observasi ciri-ciri durasi dan intensitas halusinasi.
– Bantu klien mencatat jumlah halusinasi yang
dialaminya setiap hari.

Halusinasi dan Waham 23


Strategi Penanganan Halusinasi
• Fokuskan pada gejala dan minta klien
menjabarkan apa yang terjadi.
– Bantu klien mengerti, mendemonstrasikan gejala
yang dirasakan.
• Bantu klien menangani halusinasi.
– Anjurkan penanganan mandiri dengan
menggunakan suara/kata-kata.
– Menggunakan pengalih seperti mendengarkan
musik, tetap beraktifitas, menggunakan tehnik
relaksasi.
Halusinasi dan Waham 24
Strategi Penanganan Halusinasi
• Identifikasi penggunaan obat-obatan atau
alkohol.
– Kaji apakah klien menggunakan alkohol atau obat-
obatan.
– Kaji apakah obat-obatan atau alkohol
mencetuskan dan atau memperberat halusinasi.

Halusinasi dan Waham 25


Strategi Penanganan Halusinasi
• Bila ditanya oleh klien, beritahukan bahwa
anda tidak mengalami hal yang sama.
– Merespon klien dengan membiarkan klien
mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
– Jangan beradu argumen dengan klien mengenai
perpedaan persepsi.
– Tetap bersama klien saat halusinasi timbul.

Halusinasi dan Waham 26


Strategi Penanganan Halusinasi
• Anjurkan menggunakan hubungan sosial
sebagai tehnik mengatasi halusinasi.
–Anjurkan klien berbincang dengan
orang yang dipercaya olehnya.
–Bantu klien mendapatkan dukungan
sosial.

Halusinasi dan Waham 27


Strategi Penanganan Halusinasi
• Bantu klien mengutarakan dan membandingkan halusinasi yang
dialami saat ini dengan yang dialami pada masa lalu.
– Kaji apakah halusinasi klien memiliki pola tertentu.
– Bantu klien mengingat kapan pertama kali halusinasi muncul.
– Perhatikan isi halusinasi; mungkin terlihat adanya pola
perilaku.
– Berikan perhatian yang khusus pada halusinasi yang
memberikan perintah/menyuruh.
– Bantu klien mengutarakan pikiran, perasaan dan perilaku
yang terjadi pada masa lalu dan sekarang terkait dengan
halusinasi.

Halusinasi dan Waham 28


Strategi Penanganan Halusinasi
• Bantu klien mengidentifikasi kebutuhannya yang mungkin
tergambar dari isi halusinasinya.
– Identifikasi kebutuhan klien yang mencetuskan terjadinya
halusinasi.
– Fokuskan pada kebutuhan klien yang tidak terpenuhi, diskusikan
dengan klien hubungannya dengan halusinasi.
• Kaji pengaruh gejala yang dialami klien dengan aktivitas
sehari-hari.
– Berikan umpan balik terhadap respon koping klien dan aktivitas
keseharian klien.
– Bantu klien mengenali gejala, pencetus gejala dan strategi
penanganan gejala.

Halusinasi dan Waham 29


Sp 1 Halusinasi
• Bantu klien mengenal halusinasi: isi, waktu
terjadinya, frekuensi, situasi pencetus,
perasaan saat terjadi halusinasi.
• Latih cara pertama mengontrol halusinasi:
menghardik.
• Masukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Halusinasi dan Waham 30


Sp 2 Halusinasi
• Evaluasi kemampuan Sp 1.
• Validasi tanda dan gejala halusinasi.
• Latih berbicara/bercakap-cakap dengan orang
lain saat halusinasi muncul.
• Masukkan dalam jadwal kegiatan harian klien.

Halusinasi dan Waham 31


Sp 3 Halusinasi
• Evaluasi Sp 1 dan Sp 2.
• Validasi tanda dan gejala halusinasi.
• Latih klien melakukan kegiatan saat halusinasi
muncul.
• Masukkan dalam jadwal kegiatan harian klien.

Halusinasi dan Waham 32


Sp 4 Halusinasi
• Evaluasi Sp 1, Sp 2 dan Sp 3.
• Validasi tanda dan gejala halusinasi.
• Tanyakan program pengobatan.
• Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada
gangguan jiwa.
• Jelaskan akibat apabila obat tidak digunkan
sesuai program.
• Jelaskan akibat bila putus obat.
Halusinasi dan Waham 33
Sp 4 Halusinasi
• Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat.
• Jelaskan pengobatan 5 B.
• Latih klien minum obat.
• Masukkan dalam jadwal kegiatan harian klien.

Halusinasi dan Waham 34


Sp 1 Halusinasi (Keluarga)
• Mendiskusikan masalah yang dirasakan
keluarga dalam merawat klien.
• Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien
dan proses terjadinya halusinasi.
• Menjelaskan cara-cara merawat klien yang
mengalami halusinasi.

Halusinasi dan Waham 35


Sp 2 Halusinasi (Keluarga)
• Melatih keluarga mempraktekkan cara
merawat klien yang mengalami halusinasi.
• Melatih keluarga melakukan cara merawat
langsung kepada klien yang mengalami
halusinasi.

Halusinasi dan Waham 36


Sp 3 Halusinasi (Keluarga)
• Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas
di rumah termasuk minum obat (discharge
planning).
• Menjelaskan follow up klien setelah pulang ke
rumah.

Halusinasi dan Waham 37


Tujuan Keperawatan (Waham)
• Klien dapat berorientasi pada realitas secara
bertahap.
• Klien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
• Klien dapat berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungan.
• Klien menggunakan obat dengan prinsip 5
benar.

Halusinasi dan Waham 38


Intervensi keperawatan (Waham)
• Membina hubungan saling percaya: mengucapkan
salam, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi,
membuat kontrak (topik, tempat, waktu).
• Membantu orientasi realitas:
– Tidak mendukung atau membantah waham.
– Meyakinkan klien berada dalam keadaan aman.
– Mengobservasi pengaruh waham terhadap aktivitas
sehari-hari.
– Memberikan pujian atau reinforcement positif terhadap
penampilan dan orientasi kien yang sesuai dengan realitas.

Halusinasi dan Waham 39


Intervensi keperawatan (Waham)
• Mendiskusikan kebutuhan psikologis/emosi yang
tidak terpenuhi sehingga mengakibatkan
kecemasan, rasa takut dan marah.
• Meningkatkan aktivitas yang dapat memenuhi
kebutuhan fisik dan emosi klien.
• Mendiskusikan kemampuan positif yang dimiliki.
• Membantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
• Mendiskusikan tentang obat yang diminum.
• Melatih minum obat yang benar.

Halusinasi dan Waham 40


Sp 1 Waham
• Mengidentifikasi kebutuhan.
• Membicarakan konteks realita.
• Melatih klien untuk memenuhi kebutuhannya.
• Memasukkan dalam jadwal kegiatan klien.

Halusinasi dan Waham 41


Sp 2
• Mengevaluasi Sp 1.
• Mengidentifikasi potensi/kemampuan yang
dimiliki.
• Memilih dan melatih potensi/kemampuan
yang dimiliki.
• Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan klien.

Halusinasi dan Waham 42


Sp 3
• Mengevaluasi Sp 1 dan Sp 2.
• Memilih kemampuan lain yang dapat
dilakukan.
• Memilih dan melatih potensi kemampuan lain
yang dimiliki.
• Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan klien.

Halusinasi dan Waham 43

Anda mungkin juga menyukai