Anda di halaman 1dari 8

DD DS

1. Kwashiorkor
a) Definisi
Kwashiorkor terjadi apabila penurunan protein relatif lebih besar daripada reduksi kalori
total. Hal ini adalah bentuk paling lazim dari Malnutrisi Energi Protein (MEP) pada anak di
Afrika yang telah disapih terlalu dini dan kemudian makan, hampir secara eksklusif, diet
karbohidrat. Prevalensi Kwashiorkor juga tinggi di negara-negara miskin di Asia Tenggara.
Bentuk yang kurang parah mungkin terjadi di seluruh dunia pada mereka yang dengan
diare kronik di mana protein tidak diabsorbsi atau pada mereka yang mengalami
kehilangan protein. Kwashiorkor merupakan bentuk dari malnutrisi protein-energi yang
berhubungan dengan defisiensi protein yang ekstrim dan dikarakteristikan dengan edema,
hipoalbunemia, anemia dan pembesaran hati. Umumnya masih terdapat lemak subkutan,
dan muscular wasting tertutupi oleh adanya edema serta adanya retardasi pertumbuhan
(Abbas, Aster dan Kumar, 2015).

b) Etiologi
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam
jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota
keluarga lainnya. Makanan yang diberikan umumnya rendah protein. Kebiasaan makan
yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-anak dilarang makan ikan
dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang
lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat pendidikan orang
tua yang rendah dapat juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena berhubungan
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah. Keadaan malnutrisi protein pada
kwashiorkor dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh
seorang anak (Abbas, Aster dan Kumar, 2015).
c) Patofisiologi
Kwashiorkor ditandai dengan edema perifer pada seseorang yang menderita kelaparan.
Edema terjadi akibat hilangnya keseimbangan cairan antara tekanan hidrostatik dan
onkotik di dinding pembuluh darah kapiler. Konsentrasi albumin berkontribusi pada
tekanan onkotik, memungkinkan tubuh menyimpan cairan di dalam pembuluh darah.
Anak-anak dengan kwashiorkor ditemukan memiliki kadar albumin yang sangat rendah
dan, sebagai akibatnya, mengalami deplesi intravaskular. Selanjutnya, hormon antidiuretik
(ADH) meningkat sebagai respons terhadap hipovolemia, mengakibatkan edema. Renin
plasma juga merespons secara agresif, menyebabkan retensi natrium. Faktor-faktor ini
berkontribusi terhadap edema (Benjamin dan Lappin, 2022).
Kwashiorkor juga ditandai dengan kadar glutathione (antioksidan) yang rendah. Hal ini
diduga mencerminkan tingkat stres oksidan yang tinggi pada anak kurang gizi. Tingkat
oksidan yang tinggi biasanya terlihat selama kelaparan dan bahkan terlihat pada kasus
peradangan kronis. Salah satu tindakan pembalikan akan meningkatkan status gizi dan
antioksidan yang mengandung sulfur. Ada juga teori eksperimental yang mengusulkan
bahwa perubahan mikrobioma/viron berkontribusi terhadap malnutrisi edematous, namun
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanismenya (Benjamin dan Lappin,
2022).

d) Gejala Klinis
Terutama gejala kekurangan protein: wajah bulat dan sembab (moon face), sembab
seluruh tubuh terutama di dorsum pedis, asites, rambut kusam dan mudah dicabut,
pembesaran hati, otot atrofi, perubahan status mental (cengeng, rewel, kadang apatis),
anoreksia, gangguan kulit berupa bercak kemerahan meluas berubah menjadi hitam dan
mengelupas (crazy pavement dermatosis), pandangan mata anak sayu dan sering disertai
penyakit infeksi (akut), anemia dan diare (Mayangsari et al., 2017).
e) Diagnosis
1) Anamnesis

 Susunan diet sejak lahir

 Faktor-faktor penunjang/penyebab medis dan non-medis

 Tanyakan Keluhan : Edema, wajah sembab, pandangan sayu, rambut tipis dan
berwarna kemerahan seperti rambut jagung serta rontok, anak rewel dan apatis.
2) Pemeriksaan Fisik

 BB/TB < 70% atau < -3SD

 Kwashiorkor: Edema, rambut kuning mudah rontok, crazy pavement dermatosis

 Tanda dehidrasi

 Demam

 Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung

 Sangat pucat

 Pembesaran hati, ikterus

 Tanda defisiensi vitamin A pada mata: konjungtiva kering, ulkus kornea,


keratomalasia

 Ulkus pada mulut

 LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan


3) Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium: Gula darah, Hb, Ht, preparat apusan darah, urin rutin, feses

 Antropometri

 Foto toraks

 Uji tuberkulin (Mayangsari et al., 2017).


f) Komplikasi
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada pasien kwashiorkor, antara lain yaitu

 Dehidrasi sedang-berat

 Defisiensi Vit.A

 Anemia berat

 Hipogikemia

 Diare kronik/berulang

 Luka/lesi kulit dan mukosa

 Anoreksia

 Hipotermia (Mayangsari et al., 2017).

2. Marasmik-Kwashiorkor
a) Definisi
Marasmik-Kwashiorkor merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang banyak
terjadi di Indonesia maupun di negara berkembang lainnya. Prevalensi tertinggi terdapat
pada anak-anak balita, ibu yang sedang mengandung dan menyusui. Penderita Marasmik-
Kwashiorkor memiliki berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh
kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat
kekurangan tersebut timbul keadaan kekurangan energi protein pada derajat yang ringan
sampai yang berat (Pudjiadi, 2005)

b) Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan
laporan provinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data
Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun
2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa provinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan
masalah gizi buruk yang terjadi di NTT sebagai KLB, dan Menteri Kesehatan telah
mengeluarkan edaran tanggal 27 Mei tahun 2005, Nomor 820/Menkes/V/2005 tentang
penanganan KLB gizi buruk di provinsi NTB (Departemen Kesehatan RI, 2008).

c) Etiologi
1) Peranan Faktor Sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun
dapat mempengaruhi terjadinya penyakit Marasmik-Kwashiorkor. Adakalanya
pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi
yang turun-temurun. Jika pantangan itu didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit
diubah. Tetapi jika pantangan tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan
pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi.
Faktor-faktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit Marasmik-
Kwashiorkor adalah (Pudjiadi, 2005):

 Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak anak
dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal.

 Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga
dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan pada anggota
keluarganya yang besar itu.

 Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada musim
panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak sawahnya jauh
dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa ditinggalkan di rumah
sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan
semestinya.
Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut tidak
mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak
dilakukan dengan semestinya (Pudjiadi, 2005).
2) Peranan Kepadatan Penduduk
Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa
meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya
persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis
pangan (Pudjiadi, 2005).
3) Peranan Infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Indeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan
mempunyai pengaruh negative pada daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi, 2005).
4) Peranan Kemiskinan
Penyakit Marasmik-Kwashiorkor merupakan masalah negara-negara miskin dan
terutama merupakan problema bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara
tersebut (Pudjiadi, 2005).

d) Patofisiologi
Banyak manifestasi dari Marasmik-Kwashiorkor merupakan respon penyesuaian pada
kurangnya asupan energi dan protein. Untuk menghadapi asupan yang kurang, maka
dilakukannya pengurangan energi dan aktifitas. Namun, meskipun ini respon penyesuaian,
deposit lemak dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan energi yang sedang berlangsung
meskipun rendah. Setelah deposit lemak habis, katabolisme protein harus menyediakan
substrat yang berkelanjutan untuk menjaga metabolisme basal (Pudjiadi, 2005).
Alasan mengapa ada anak yang menderita edema dan ada yang tidak mengalami edema
pada Marasmik-Kwashiorkor masih belum diketahui. Meskipun tidak ada factor spesifik
yang ditemukan, beberapa kemungkinan dapat dipikirkan. Salah satu pemikiran adalah
variabilitas antara bayi yang satu dengan yang lainnya dalam kebutuhan nutrisi dan
komposisi cairan tubuh saat kekurangan asupan terjadi. Hal ini juga telah dipertimbangkan
bahwa pemberian karbohidrat berlebih pada anak-anak dengan non-edematous Marasmik-
Kwashiorkor membalikkan respon penyesuaian untuk asupan protein rendah, sehingga
deposit protein tubuh dimobilisasikan. Akhirnya, sintesis albumin menurun, sehingga
terjadi hypoalbuminemia dengan edema. Fatty liver juga berkembang secara sekunder,
mungkin untuk lipogenesis dari asupan karbohidrat berlebih dan mengurangi sintesis
apolipoprotein. Penyebab lain Marasmik-Kwashiorkor edematous adalah keracunan
aflatoksin serta diare, gangguan fungsi ginjal dan penurunan aktivitas NA K ATPase.
Akhirnya, kerusakan radikal bebas telah diusulkan sebagai faktor penting dalam
munculnya Marasmik-Kwashiorkor edematous. Kejadian ini didukung dengan konsentrasi
plasma yang rendah akan metionin, suatu prekursor dari sistein yang diperlukan untuk
sintesis dari faktor antioksidan major, glutathione. Kemungkinan ini juga didukung oleh
tingkat yang lebih rendah dari sintesis glutathione pada anak-anak dengan pembengkakan
dibandingkan dengan non-edematous Marasmik-Kwashiorkor (Pudjiadi, 2005).

e) Gejala Klinis
Penyakit Marasmus-Kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit
marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan
juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, disamping
menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal memperlihatkan gejala-gejala
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan
biokimiawi terlihat pula (Pudjiadi, 2005).

Referensi:
Abbas, A.K., Aster, J.C. dan Kumar, V. (2015) Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura:
Elsevier Saunders.
Benjamin, O. dan Lappin, S.L. (2022) Kwashiorkor. Treasure Island FL: StatPearls Publishing.
Mayangsari, A.S.M. et al. (2017) Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Anak. Denpasar:
Udayana University Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
Pudjiadi, S. (2005) Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Tersedia pada: https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20292716.

Anda mungkin juga menyukai