Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya
yang berjudul “KWASHIORKOK & MARASMUS”

Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian KWASHIORKOR & MARASMUS atau yang lebih
khususnya membahas patofisiologis, gejala, pemeriksaan, komplikasi serta tata laksana kwashiorkor &
marasmus. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang KKP.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Sidoarjo, Oktober 2011

Penyusun

PENDAHULUAN
KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi
makronutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi
makronutrient kepada defisiensi mikronutrient, tetapi beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP
masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP.

Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan kwashiorkor, marasmus, dan marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor
disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan marasmik
kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. Adapun yang menjadi penyebab langsung
terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP
timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau
hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari KEP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai
penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem).

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang
dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa daerah. Oleh
karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan
penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III
pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan
pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Kata “kwarshiorkor” berasal dari bahasa Ghana-Afrika yang berati “anak yang kekurangan kasih sayang
ibu”. Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein berat yang disebabkan oleh intake protein
yang inadekuat dengan intake karbohidrat yang normal atau tinggi Kwashiorkor paling seringnya terjadi
pada usia antara 1-4 tahun, namun dapat pula terjadi pada bayi. Kwashiorkor yang mungkin terjadi pada
orang dewasa adalah sebagai komplikasi dari parasit atau infeksi lain.
Kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi protein yang berat bisa
dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan. Kwashiorkor atau busung
lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan yang dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein
(MEP) Dengan beberapa karakteristik berupa edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi,
hyperkeratosis.

Marasmus berasal dari kata marasmos (bahasa jerman) yang berarti sekarat. Mal nutrisi jenis ini
biasanya biasanya berupa kelambatan pertumbuhan, hilangnya lemak di bawah kulit, mengecilnya otot,
menurunnya selera makan dan keterbelakangan mental.

Marasmus adalah salah satu bentuk Malnutrisi paling sering ditemui pada balita penyebabnya antara lain
karen amasukan makanan yang sangat kurang, infeksi,pembawaan lahir, prematuritas, penyakit pada
masa neonatus serta kesehatan lingkungan memiliki satu atau lebih tanda defisiensi protein dan kalori.

Marasmik Kwashiorkor adalah suatu sindrom protein calorie malnutrition di mana ditemukan gejala-
gejala marasmus dan juga terdapat gejala-gejala kwashiorkor. Jadi, marasmik kwashiorkor merupakan
sindrom perpaduan dari marasmus dan kwashiorkor.

2. ETIOLOGI

· Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis.
Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain:

1. Pola makan

Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein/asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI
yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu,
telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.

2. Faktor sosial

Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil,
ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun
dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi

Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada
keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.

4. Faktor infeksi dan penyakit lain

Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun
dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.

· Penyebab Marasmus :

Marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori protein yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari
interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor
lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
Secara garis besar sebab – sebab marasmus antara lain :

1. pemasukan kalori yang tidak cukup, marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit.

2. pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidak tahuan orang tua
si anak ; misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.

3. kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai hubungan orangtua dan anak
terganggu.

4. kelainan metabolic. Misalnya : renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose


intolerance. Malformasi kongenital misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung,
deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pancreas.

3. PATOFISIOLOGI

· Marasmus

Untuk kelangsungan hidup jaringan diperlukan sejummlah energi yang dalam keadaan normal dapat
dipenuhhi dari makanan yang diberikan. Kebutuhan ini tidak terpenhi pada masukan yang kurang,
karena itu untuk pemenuhannya digunakan cadangan protein senagai sumber energi. Pengahancuran
jaringan pada defesiensi kalori tidak saja membantu memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga
memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit esensial lainnya, seperti berbagai asam amino.

· Kwashiorkor

Pada defesiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat lebih, karena persediaan
energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya. kelainanan yang mencolok adalah gangguan
metabolik dan perubahan sel yang meyebabkan edem dan perlemakan hati. Karena kekurangan protein
dalam diet, akan terjadi kekurangan berbagai asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk
sentesis dan metabolisme. Makin kekurangan asam amnino dalam serum ini akan menyebabkan
kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian berakibat edem. perlemakan hati terjadi karena
gangguan pembentukan beta-lipoprotein, sehingga transport lemak dari hati kedepot terganggu, dengan
akibat terjadinya penimbunan lemah dalam hati.

4. GEJALA

· Marasmus

a) Perubahan psikis , anak menjadi cengeng, cerewet walaupun mendapat minum.

b) Pertumbuhan berkurang atau terhenti.

c) Berat badan anak menurun, jaringan subkutan menghilang ( turgor jelek dan kulit keriput.

d) Vena superfisialis kepala lebih nyata, frontal sekung, tulang pipi dan dagu terlihat menonjol, mata
lebih besar dan cekung.

e) Hipotoni akibat atrofi otot

f) Perut buncit

g) Kadang-kadang terdapat edem ringan pada tungkai

h) Ujung tangan dan kaki terasa dingin dan tampak sianosis.

Gb. Marasmus

· Kwashiorkor

a) Secara umum anak tampak sembab, latergik, cengeng dan mudah terangsang, pada tahap lanjut anak
menjadi apatus dan koma.

b) Pertumbuhan terlambat

c) Udema

d) Anoreksia dan diare.

e) Jaringan otot mengecil, tonus menurun, jaringan subcutis tipis dan lembek.

f) Rambut berwarna pirang , berstruktur kasar dan kaku serta mudah dicabut.
g) Kelainan kulit, tahap awal kulit kering, bersisik dengan garis-garis kulit yang dalam dan lebam, disertai
defesiensi vitamin B kompleks, defesiensi eritropoitin dan kerusakan hati.

h) Anak mudah terjangkit infeksi

i) Terjadi defesiensi vitamin dan mineral

Gb. kwashiorkor

· Marasmic kwashiorkor

Anak/bayi yang menderita marasmic-kwashiorkor mempunyai gejala (sindroma) gabungan kedua hal di
atas. Seorang bayi yang menderita marasmus lalu berlanjut menjadi kwashiorkor atau sebaliknya
tergantung dari makanan/gizinya dan sejauh mana cadangan energi dari lemak dan protein akan
berkurang/habis terpakai

Apabila masukan energi kurang dan cadangan lemak terpakai, bayi/anak akan jatuh menjadi marasmus.
Sebaliknya bila cadangan protein dipakai untuk energi, gejala kwashiorkor akan menyertai. Hal ini dapat
terjadi pada anak yang dietnya hanya mengandung karbohidrat saja seperti beras, jagung atau singkong
yang miskin akan protein.

Gb. Marasmic kwashiorkor

5. PEMERIKSAAN

Untuk menegakkan diagnosis kwashiorkor ini bias kita lihat melalui pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
laboratorium. Dari pemeriksaan fisis yang pertama adalah inspeksi, dapat kita lihat fisik penderita secara
umum seperti yang telah dijelaskan diatas antara lain edema dan kurus, pucat, moon face, kelainan kulit
misalnya hiperpigmentasi, crazy pavement dermatosis. Pada palpasi ditemukan hepatomegali.

Sementara untuk pemeriksaan laboratorium ada beberapa hal yang penting diperhatikan berupa :

 tes darah (Hb, glukosa, protein serum, albumin)

 kadar enzim pencernaan

 biopsi hati

 pem. tinja & urin

perubahan yang paling khas adalah penurunan konsentrasi albumin dalam serum. Ketonuria lazim
ditemukan pada tingkat awal karena kekurangan makanan,tetapi sering kemudian hilang pada keadaan
penyakit lebih lanjut.

Kadar glukosa darah yang rendah, pengeluaran hidrosiprolin melalui urin,kadar asam amino dalam
plasma dapat menurun,jika dibandingkan dengan asam-asam amino yang tidak essensial dan dapat pula
ditemukan aminoasiduria meningkat.

Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat juga penurunan aktifitas enzim-
enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi kadarnya akan kembali menjadi normal segera setelah
pongobatan dimulai.

6. KOMPLIKASI

shock

koma

cacat permanent

Defisiensi vitamin A

Dermatosis

Kecacingan

Diare kronis

Tuberculosis

7. TATA LAKSANA

Prinsip pengobatanya adalah:

1) Memberikan makanan yang mengandung banyak proteinbernilai biologik tinggi,

tinggi kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral

2) Makanan harus dihidangkan dalam bentuk mudah dicerna dan diserap

3) Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat

rendah.

4) Penanganan terhadap penyakit penyerta.


5) Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap

keluarga.

Dalam aplikasinya penanganan marasmus berat pada tahap awal adalah mengatasi kelainan akut, seperti
diare, bronkopneumonia, atau penyakit infeksi berat lainnya, gangguan elektrolit dankeseimbangan
asam basa, renjatan(shock), gagal ginjal, gagal jantung. Dalam keadaan dehidrasi danasidosis pedoman
pemberian cairan paraenteral adalah sebagai berikut:

1) Jumlah cairan adalah 250 ml/kg BB/hari

2) Jenis cairan yang dipilih adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan menjadi 10%
bila terdapat hipoglikemia.

3) Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama,kemudian sisanya
diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya. Selain itu ASI ataususu formula dapat diberikan per oral
bila anak telah dapat minum. Pengobatan cairanintravena tersebut dapat dimodifikasi sesuai keadaan
penderita dan jenis penyakit penyerta

Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang dianjurkanadalah 3,0
± 5,0 g/kg BB sehari. Biasanya dalam pemberian makanan diperlukan pula penambahanvitamindan
mineral, khususnya vitamin A, vitamin B kompleks, vitamin C, asam folat mineralkalium, magnesium, dan
besi.

Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 3x5 kali mg/hari pada anak kecildan 3x15 pada
anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian KCL oral sebanyak 75-100 mg/kg BB/hari
(ekuivalen dengan 1-2mEq/kg BB/hari); bila terdapat tanda hipokalemia diberikan KCL secara intravena
dengan dosis 3-4 mEq/kg BB. Magnesium diberikan intramuskularatau intravena dalam bentuk larutan
MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5 mEq/kg BB/hari selama 4-5hari pertama perawatan.

Pada hari perawatan ke 5 sampai ke 10 diberikan per oral dalam bentuklarutan Mg-klorida dengan
dosis0,1-0,3 mEq/kg BB/hari. Termurah adalah fero-sulfat dengan dosis3x10 mg/kg BB/hari per oral atau
parenteral. Pada keadaan hipoglikemia berat (glukosa darah <30mg/dl) diberikan 1-2 ml glukosa 40%/kg
BB secara intravena. Karena sering terjadi defisiesi enzim disakaridase, pemberian susu dengan kadar
laktosa rendah akan lebih banyak menolong, pemberian lemak nabati akan lebih baik dari lemak hewani.

Penyuluhan dan pemberian makanan yang adekuat, baik kualitas maupun kuantitas,merupakan upaya
pencegahan yang ampuh. Bahan makanan yang dikonsumsi hendaknya berasaldari sumber makanan
setempat. Dalam menangani masalah Marasmu perlu juga dipertimbangkanfaktor ekonomi, sosial, dan
budaya keluarga atau masyarakat lingkungannya.

Terapi dietetik

Cara pemberian makan pada marasmus berat dibagi atas 3 tahap :

1. Tahap penyesuaian
Tahap ini merupakan peralihan ke makanan biasa selama toleransi anak terhadap makanan
masihrendah. Makanan yang diberikan diawali dengan yang lebih encer, lebih cair, bernilai kalori
danprotein rendah, kemudian secara bertahap ditingkatkan hingga tercapai jumlah kalori 150-200kkal/kg
BB dan protein 3,0-5,0 g/kg BB sehari.tergantung dari kemampuan penderita lamapenyesuaian ini
biasanya bervariasi 1-2 minggu; atau lebih lama. Pada aplikasinya penderita dibagimenjadi 2 golongan
menurut berat badannya, yaitu berat badan kurang dari 7 kg dan lebih dari 7 kg.

· Berat badan kurang dari 7 kg.

Jenis makanan yang diberikan adalah makanan bayi. Pada awal perawatan makanan utamanyadalah susu
yang diencerkan (1/3,2/3,3/3) atau susu formula yang dimodifikasi (susu rendah laktosa).Untuk
tambahan kalori dapat diberikan glukosa 2-5% dan tepung 2%. Kemudian secara berangsurdapat
diberikan buah + biskuit. Makanan lunak dan makanan lembik. Selain itu bila ada ASI dapatterus
diberikan

· Berat badan lebih dari 7 kg

Jenis makanan adalah makanan untuk anak berumur kebih dari 1 tahun, dimulai denganpemberian
kalori 50 kkal/kg BB. Protein 1,0 g/kg BB, dan cairan 200 ml/kg BB sehari. Bentukmakan yang
diberikandimukai dengan pemberian makanan cair yang diencerkan, kemudiansecara bertahap
dikentalkan (1/3,2/3,3/3). Bahan makanan utama dan sumber protein makanancair adalah susu. Sebagai
tambahan kalori dapat diberikanglukosa 5%. Dalam tahap awal inimakanan cair diberikan lebih sering
dengan porsi lebih kecil dan bila perlu dengan sonde. Setelahdiberikanmakanan cair penuh dan toleransi
makanan anak membaik, dapat dimulai denganpemberian makanan lunak, disusul dengan makanan
biasa.

2. Tahap penyembuhan

Bila keadaan umum anak, toleransi terhadap makanan, dan nafsu makan membaik, pemberia nmakanan
dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1-2 hari sehingga tercapai konsumsi kalori sebanyak 150-200
kkal/kg BB dan protein 3,0-5,0 g/kg BB sehari

3. Tahap lanjutan

PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,
tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan –
kesempatan berikutnya.

Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.

Kirimkan Ini lewat Email

BlogThis!

Berbagi ke Twitter

Berbagi ke Facebook

Bagikan ke Pinterest

Reaksi:

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

1 komentar:

Unknown10 Maret 2017 20.30

ijin copas

Balas

Langganan: Posting Komentar (Atom)

SOCIAL PROFILES

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInRSS FeedEmail

Popular

Tags

Blog Archives

INFO MENARIK
POSTINGAN POPULER

ASKEB NIfas Hari ke 2 Post Partum

ASUHAN KEBIDANAN III (NIFAS) Kasus : P30003, Nifas Normal 2 Hari PP, Anak Pertama = 6 Th, Anak
Kedua = 2 Th, dengan Keluahan After Pain...

Teori Sebab Akibat

MAKALAH ILMU KESEHATAN MASYARAKAT “Teori Sebab-Akibat” NAMA KELOMPOK: ...

Kwashiorkor dan Marasmus

ILMU KESEHATAN ANAK (IKA) “ Kwashiorkor dan Marasmus” Disusun Oleh: § Dwi Wijayanti
(2010.1083) § ...

AnaLisis Kasus Demam Berdarah

EPIDEMIOLOGI KASUS Demam Berdarah Dengue (Bojonegoro Waspada DBD ) Disusun Oleh: · Tiya
Arisma (2010.1216) ...

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

ILMU KESEHATAN ANAK(IKA) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Disusun Oleh: § Dwi Wijayanti
(2010.1...

KPAP (Kartu Perkembangan Anak PrasekoLah)

Tugas Asuhan Balita “ KPAP ” DISUSUN OLEH : Tiya Arisma (2010.1216) AKADEMI KEBIDANAN SITI
KHODIJ...

Tindakan Kenyamanan Pada Ibu Bersalin

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN 1 Tindakan kenyamanan terhadap Psikoemosional, Fisik, Fisiologis Ibu
Bersalin ...

ASKEB Teori Trauma Fleksus Brachialis (Secara Umum)

ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY ..... USIA….. DENGAN TRAUMA FLEKSUS BRACHIALIS DI RS FARMA
MEDIKA OLEH : TIYA RESTU KHADIJAH · ...

Landasan Teori Kehamilan Ganda (GEMELI)

LANDASAN TEORI KEHAMILAN GANDA DEFINISI Kehamilan Ganda adalah kehamilan dengan dua janin
atau lebih intrauterin. Kehamilan ganda ...

Gangguan Jalan Lahir (NIFAS)

OBSTETRI PATHOLOGI Gangguan Jalan Lahir (NIFAS) Disusun Oleh: · Eka Sari P (2010.) · Erna
Maya D ...

:D

ILMU YANG TIDAK DI AMALKAN BAGAIKAN POHON YANG TIDAK BERBUAH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya
yang berjudul “Kekurangan Energi Protein” Harapan kami semoga Makalah ini dapat terlaksana kan
dengan baik guna dapat meningkatkan pengetahuan ibu mengenai status gizi balita.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.

Makassar, 15 Mei 2014

Kelompok 3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang 3

b. Rumusan Masalah 6

c. Tujuan Penulisan 6

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Kekurangan Energi Protein 7


b. Etiologi Kekurangan Energi Protein 10

c. Penyebab Kekurangan Energi Protein 14

d. Jenis-jenis Kekurangan Energi Protein 17

e. Klasifikasi Kurang Energi Protein 20

f. Gejala Klinis Balita Kep 23

g. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi KEP 26

h. Ambang Batas Masalah Gizi 30

i. Program Penangulangan KEP 33

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan 39

b. Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekurangan Energi Protein (KEP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein atau
keduanya, tidak tercukupi dengan diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian,
meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwashiorkor terjelma manakala
defisiensi lebih menampakkan dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan
energy yang parah. Kombinasi kedua bentuk ini, marasmik-kwasiorkor, juga tidak sedikit, meskipun sulit
menentukan kekurangan apa yang lebih dominan.

Kekurangan energi protein dikelompokkan menjadi KEP primer dan sekunde. Ketiadaan
panganmelatarbelakangi KEP primer yang mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang
mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan, serta peningkatan
kebutuhan (dan/atau kehilangan) akan zat gizi dikategorikan sebagai KEP sekunder.

Keparahan KEP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat tumbuh, sampai ke sindrom
klinis yang nyata, dan tidak jarang berkaitan dengan defisiensi vitamin, serta mineral.

Setidaknya, ada 4 faktor yang melatarbelakangi KEP, yaitu : masalah sosial, ekonomi, biologi, dan
lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan social-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan,
tempat mukim yang berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas
kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan,
menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti
mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara member makan anggota keluarga yang sedang
sakit. Hal lain yang juga berpotensi menumbuhsuburkan KEP dikalangan bayi dan anak adalah
penurunan minat dalam member ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara
menyapih. Selain, distribusi pangan dalam keluarga terkesan masih timpang.

Tempat tingggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur
penyimpanan hasil produksi pasca panen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak.
Bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi pangan.

Penyalahgunaan ana, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran lansia, kecanduaan alcohol dan obat,
pada akhirnya berujung pula sebagai KEP. Selain itu, budaya yang menabukan makanan tertentu
(terutama terhadap balita dan serta ibu hamil dan menyusui) dan mengonsumsi bahan bukan pangan
akan memicu sekaligus melestarikan KEP.

Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP, antara lain, malnutrisi ibu, baik sebelum maupun
selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energy dan protein. Seorang ibu yang mengalami KEP
selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Tanpa
ketersediaan pangan yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik
kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.

Penykit infeksi berpotensisebagai penyokong atau pembangkit KEP. Penyakit diare, campak, dan infeksi
saluran napas kerap menghilangkan napsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul
dalam bentuk muntahdan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah
besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat
gizi.

Kekurangan Energi Protein sesungguhnya berpelung menyerang siapa saja terutama bayi dan anak yang
tengah bertumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun,
sementara kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Jika dialami oleh anak
yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan karena mereka pada umumnya telah pandai “
mencari makan” sendiri. Remaja, dewasa muda (utamanya pria), wanita tidak hamil dan tidak menyusui,
memiliki angka prevalensi paling rendah.

B. Rumusan Masalah

a. Pengertian KEP

b. Bagaimana klasifikasi kurang energi protein

c. Bagaimana gejala kekurangan protein


d. Faktor apa yang mempengaruhi kekurangan energi protein

e. Bagaimana upaya penanggulangannya

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian dari KEP

b. Untuk mengetahui klasifikasi dari KEP

c. Untuk mengetahui gejala apa yang ditimbulkan dari KEP

d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi KEP

e. Untuk mengetahui upaya dalam menanggulangi KEP

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurang Energi Protein (KEP)

Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit tertentu.
Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat
badan/umur baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,1997).

Kurang energi protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy protein merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka
kecukupan gizi (Depkes 1999). KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala klinis dan KEP
dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan
Marasmus-Kwashiorkor.
Sedangkan menurut Jellife (1966) dalam Supariasa, I.D.Nyoman (2002) dikatakan bahwa KEP merupakan
istilah umum yang meliputi malnutrition, yaitu gizi kurang dan gizi buruk termasuk marasmus dan
kwashiorkor.

KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun
protein dalam proporsi yang berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat. Beberapa
pengertian Kurang Energi Protein (KEP):

1. KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat badan menurut (BB/U)
baku WHO-NCHS.

2. Istilah Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas
yang berkisar antara sedang sampai berat. KEP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti dan
benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan
bagaikan tengkorak (Daldiyono dan Thaha, 1998).

3. KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi,
kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-
tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman (2000).

4. KEP terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori dan protein atau keduanya tidak tercukupi oleh
diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan
ketimbang yang lain.

Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan energi dan
protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.

Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat
ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan
sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat
berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal
sebagai “busung lapar”.

Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan kwashiorkor, masing-masing dengan
gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun
tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang
khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan
melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah
tersebut (Pudjiadi, 2005).

B. Etiologi KEP
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan berbagai gejala-gejala.
Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat banyak sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan
kausa multifaktorial. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian Air Susu Ibu
(ASI) dan makanan tambahan setelah disapih.

Selain itu, KEP merupakan penyakit lingkungan, karena adanya beberapa factor yang bersama-sama
berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu factor diet, factor social,
kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet menurut konsep klasik terdiri dari dua
konsep. Pertama yaitu diet yang mengandung cukup energy, tetapi kurang protein akan menyebabkan
anak menjadi penderita kwashiorkor, sedangkan konsep yang kedua adalah diet kurang energy walaupun
zat gizi (esensial) seimbang akan menyebabkan marasmus. Peran factor social, seperti pantangan untuk
menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP.
Ada pantangan yang berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang sudah
turun temurun, tetapi kalau pantangan tersebut berdasarkan agama, maka akan sulit untuk diatasi. Jika
pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan
dilakukan dengan terus-menerus hal ini akan dapat diatasi.

KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2 faktor. Factor-faktor yang secara langsung dapat
mempengaruhi terjadinya KEP pada balita adalah makanan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua
factor ini dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh seorang anak, antara lain
ditentukan oleh beberapa factor penyebab tidak langsung, yaitu: a) zat-zat gizi yang terkandung di dalam
makanan, b) daya beli keluarga, meliputi penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga
untuk kebutuhan lain selain makanan, c) kepercayaan ibu tentang makanan serta kesehatan, d) ada atau
tidaknya pemeliharaan kesehatan termasuk kebersihan, dan e) fenomena social dan keadaan lingkungan.

Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata buku pedoman Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas
dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang, dan berat (gizi
buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala
klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.

Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah kehamilan berturut-turut dengan
jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga disebabkan karena pemberian
makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer dan
jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan kalori pada
makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat
menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi
terutama saluran pencernaan. Pada keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang
berulang sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga anak menjadi
kurus serta turun berat badannya.

Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam jangka waktu lama,
kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota keluarga yang lain. Makanan yang
diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan
adanya tabu seperti anak-anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein
hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain
itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena
berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah.

Menurut Ngastiyah, 1997 faktor-faktor penyebab kurang energi protein dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Primer

a) Susunan makanan yang salah

b) Penyedia makanan yang kurang baik

c) Kemiskinan

d) Ketidaktahuan tentang nutrisi

e) Kebiasan makan yang salah.

2. Sekunder

a) Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik, kelainan struktur saluran).

b) Gangguan psikologis.

C. Penyebab Kekurangan Energi Protein ( KEP )

Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan
yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat
menderita kurang gizi/gizi buruk.

Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security)
adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh
setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin
tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.

Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun
dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan
kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya tersedia di
setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut
sehinggatidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh
karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau diberi ASI dalam
jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul
masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-ASI
yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan ketahanan
pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga
berisiko tinggi menderita gizi buruk.

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan
anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum,
pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau
dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si
ibu atau pengasuh anak.

Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan
penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak
terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya
pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik
pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok masalah
yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara
lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan
pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang tersedia.

D. Jenis-Jenis Kekurangan Energi Protein ( KEP )

a. Kwashiorkor

Kwashiorkor merupakan keadaan kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein. Umumnya keadaan
ini terjadi akibat kurangnya asupan gizi yang sering terjadi di negara berkembang atau pada daerah yang
mengalami embargo politik. Daerah yang sangat terpencil juga merupakan salah satu faktor terjadinya
kondisi kwashiorkor.
Individu yang mengalami kwashiorkor dapat mengalam berbagai macam manifestasi atau gejala antara
lain: penurunan berat badan, penurunan massa otot, diare, lemah lesu, perut buncit, bengkak pada
tungkai, perubahan warna rambut, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui protein berfungsi dalam
pembentukan enzim-enzim penting dalam tubuh. Kurangnya protein mengakibatkan kurangnya enzim
tersebut. Pada anak kecil seringkali terjadi intoleransi laktosa akibat enzim pencernaan yang kurang dan
hal ini mengakibatkan terjadinya diare pada anak-anak kurang energi protein.

Pada individu yang mengalami keadaan ini, pemberian makanan haruslah dilakukan.secara bertahap. Zat
makanan pertama yang perlu diberikan adalah karbohidrat karena karbohidrat merupakan sumber
utama pembentukan energi oleh tubuh. Setelah itu barulah lemak dan protein diberikan.
Penatalaksanaan yang baik akan menyelamatkan nyawa anak tersebut namun efek gangguan
perkembangan anak yang telah terjadi belum tentu akan pulih dan umumnya akan menetap. Keadaan
kwashiorkor merupakan suatu keadaan bahaya yang dapat menyebabkan kematian oleh karena itu
usaha promotif dan preventif adalah yang utama.

Pencegahan agar anak terhindar dari kwashiorkor adalah cukup mudah, tidak perlu ada obat-obatan
yang wajib dikonsumsi. Pemberian makanan dengan komposisi yang baik sudah dapat “menjamin”
bahwa anak tersebut tidak akan jatuh ke keadaan kwashiorkor. Karbohidrat harus merupakan sumber
energi yang utama selain lemak (10% asupan), dan protein (12%).

b. Marasmus

Kekurangan energi marasmus merupakan suatu keadaan kekurangan energi protein akibat rendahnya
asupan karbohidrat. Keadaan ini acapkali ditemukan dan angka kejadiannya mencapai 49% pada kurang
lebih 10 juta anak di bawah 5 tahun yang mengalami kematian di negara berkembang, sedangkan di
negara maju angka kejadiannya tidak begitu tinggi.

Adanya kondisi fisik yang tidak baik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kekurangan karbohidrat
pada anak-anak. Kondisi fisik tersebut antara lain adalah penyakit jantung bawaan, retardasi mental,
penyakit kanker, infeksi kronis, keadaan yang mengharuskan anak dirawat lama di rumah sakit. Anak
akan tampak lesu dan tidak bersemangat, diare kronis, berat badan tidak bertambah.

Pemeriksaan untuk mengetahui apakah anak menderita marasmus dapat dilakukan melalui pengukuran
tebal lipat lemak pada lengan atas, perut. Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan karena rata-rata anak
berusia di bawah 5 tahun memiliki tebal lipat lemak pada lengan atas yang tidak jauh berbeda.

Penelitian di Nigeria menunjukkan hal yang menarik dimana kadar kolesterol anak yang menderita
marasmus lebih tinggi daripada anak yang menderita kwashiorkor. Alasan mengapa hal ini dapat terjadi
masih belum dapat dijelaskan dengan baik.

Kekurangan energi protein pada anak-anak merupakan suatu keadaan bahaya yang perlu dilakukan
tindakan segera. Kekurangan energi protein ini mengakibatkan perubahan komposisi tubuh, perubahan
anatomi dan metabolisme tubuh yang bisa permanen jika tidak ditatalaksana dengan segera.

c. Marasmus kwashiorkor
Pada kekurangan energi marasmus kwashiorkor terdapat kekurangan energi kalori maupun protein.
Mengapa ada anak yang jatuh ke dalam keadaan kwashiorkor, marasmus, atau marasmus kwashiorkor
masih belum jelas dan masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Namun semua bentuk
kekurangan energi protein pada anak-anak ini disebabkan oleh asupan makanan bergizi yang tidak
adekuat atau adanya kondisi fisik tubuh yang mengakibatkan makanan yang dikonsumsi tidak dapat
diserap dan digunakan oleh tubuh selain adanya keadaan metabolisme yang meningkat yang disebabkan
mungkin oleh penyakit kronis atau penyakit keganasan.

E. Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)

Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang berat badan anak
dibanding dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel BB/U Baku Median WHO – NCHS.

1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita kuning

2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis Merah ( BGM ).

3. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median WHO-NCHS. Pada KMS tidak
ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi
buruk digunakan tabel BB/U Baku median WHO-NCHS.

a. Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat terhindar dari kekeliruan interpretasi
karean baku WHO-NCHS sudah dapt membedakn jenis kelamin dan lebih memperhatikan keadaan masa
lampau. Kelemahannya adalah apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka akan sulit digunakan,
kecuali untuk indeks BB/TB.

b. Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score(simpang baku) sebagai batas ambang.
Kategori dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau BB/TB dibagi menjadi 3
golongan dengan batas ambang sebagai berikut:

a. Indeks BB/U

1. Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2SD

2. Gizi lebih, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD

3. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD

4. Gizi buruk, bila Z-score terletak > -3SD

b. Indeks TB/U

1. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD

2. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD

c. Indeks BB/TB
1. Gemuk, bila Z-score terletak < -3SD

2. Normal, bila Z-score terletak ≥ -2SD s/d +2SD

3. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d <-2SD

4. Kurus sekali, bila Z-score terletak > -3SD

(sumber: WNPG VII, 2000)

Pertimbangan dalam menetapkan Cutt Off Point gizi didasarkan pada asumsi resiko kesehatan:

a. Antara -2SD sampai +2SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk menderita masalah
kesehatan.

b. Antara -2SD sampai -3SD atau antara +2SD sampai +3SD memiliki resiko cukup tinggi untuk
menderita masalah kesehtan.

c. Di bawah -3SD ata di atas +2SD memiliki resiko tinggi untuk memderita masalah kesehatan.

F. Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk

Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP
berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau
marasmickwashiokor.Tanpa mengukur/melihat BB bila disertai oudema yang bukan karena penyakit lain
adalah KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.

a. Kwashiokor

1. Oudema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki (dorsum pedis )

2. Wajah membulat dan sembab

3. Pandangan mata sayu

4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit,rontok

5. Perubahan status mental, apatis dan rewel


6. Pembesaran hati

7. Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk

8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman
dan terkelupas

9. Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.

b. Marasmus

1. Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit

2. Wajah seperti orang tua

3. Cengeng rewel

4. Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pakai celana longgar )

5. Perut cekung

6. Iga gambang

7. Sering disertai penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis atau konstipasi/susah buang
air.

c. Marasmik- kwashiorkor

Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan
BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak mencolok.(DEPKES RI. 1999).

Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam waktu besar dapat mengakibatkan menurunya
status gizi individu dalam waktu beberapa hari atau minggu saja yang ditandai dengan penurunan berat
badan yang cepat.Keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi
kurang atau gizi buruk.Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi badan) pada tingkat sedang
dan berat pada anak kecil maupun kekurusan pada individu yang lebih tua dapat mudah dikenali dengan
mata . Demikian pula halnya dengan kasus kekurangan energi berat (marasmus) dan kekurangan protein
berat(kwasiokor) serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali tanda- tandanya dengan
mudah (Soekirman, MPS. 1998).

Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada anak balita selalu berhubungan erat dengan
keterbelakangan dalam pembangunan social ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan
tidak terdistribusi secara merata ditingkat masyarakat, tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya
dengan sindroma kemiskinan. (Gopalan, C. 1987).

Tanda – tanda sindroma, antaralain berupa : penghasilan yang amat rendah sehingga tidak dapat
mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, kuantitas dan kualitas gizi makanan yang
rendah sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang amat terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan tingkat buta aksara tinggi
(Gopalan, C. 1987).

Status gizi terutama ditentukan ketersediaan dalam jumlah yang cukup dandalam kombinasi pada waktu
yang tepat ditingkat sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan, perkembangan, dan
berfungsi normal semua anggota badan. Oleh karena itu prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal –
terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan peranan faktor-faktor yang
menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut. Terhadap kedua hal ini,
faktor genetik dan faktor sosial ekonomi berperan. (Martorell, R, and Habicht, 1986).

G. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Sosial ekonomi tehadap balita Kurang Energi Protein (KEP) :

a) Pendapatan Keluarga Perkapita

Komsumsi makanan yang berkurang sering dialami oleh penduduk yang berpendapatan rendah.Hal ini
disebabkan oleh daya beli keluarga yang rendah. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola
pengeluaran komsumsi keluarga. Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan
kualitas makanan yang diperoleh (Suhardjo,1989).

Masalah komsumsi pangan, rata- rata komsumsi energi dan protein secara nasional meningkat dengan
tajam. Pada tahun 1984 rata – rata komsumsi energy perkapita 1798 kalori,meningkat menjadi 1905
kalori pada tahun 1990 dan menjadi 1962 kalori pada tahun 1995. Sedangkan dalam kurun waktu yang
sama rata – rata komsumsi protein meningkat menjadi dari 43,3 gram,45,4 dan 49,2 perkapita/ hari.
(SKPG. 1998)

b) Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka
mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain (Siagian,1991). Pendidikan terutama
pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat
dengan rata –rata pendidikan rendah menunjukan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada
masyarakat yang pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah( Abunain,1988)

Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk keluarga dengan
mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan factor selera oleh karena itu ibu rumah
tangga pada umumnya yang mengatur dan menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga
(Suhardjo,1986)

Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang lebih baik akan kesehatan gizi
dengan menangkap informasi dan menafsirkan informasi tersebut guna kelansungan hidupnya lebih –
lebih pada jaman kemajuan ilmu tehnologi.Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu akan
lebih banyak memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi.Dengan
demikian mereka dapat memilih serta menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan rumah
tangganya termasuk dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada dirumah tangga
tersebut (Biro Pusat Statistik,1993)

c) Pekerjaan

Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang gizi tiga kali lebih besar dibanding pada anak
peternak, petani pemilik lahan, ataupun tenaga kerja terlatih. Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa
pengelompokan pekerjaan yang terlalu umum misalnya nelayan saja bisa mengatur pertumbuhan
peranan factor pekerjaan orang tua terhadap resiko anak mereka untuk menderita kurang gizi, resiko
kurang gizi pada anak nelayan tradisional tiga kali lebih besar dibanding anak nelayan yang punya perahu
bermotor. Efek ganda ( interaksi ) dari berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya
seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan (Mc Lean, W.1984).

d) Keadaan Sanitasi Lingkungan

Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan orang dewasa adalah tersedianya
air bersih dan sanitasi yang aman. Semua ini bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan
manusia,tetapi juga sangat membantu bagi eman sipasi kaum wanita dari beban kerja berat yang
mempunyai dampak yang merusak terhadap anak – anak, terutama anak- anak perempuan. Kemajuan
dalam kesehatan anak tidak mungkin dipertahankan jika sepertiga dari anak- anak didunia ketiga tetap
tidak menikmati sarana sanitasi yang layak.

Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk inovasi yang banyak jumlahnya dalam
tehnik dan tekhnologi-tekhnologi yang sederhana dan murah untuk menyediakan air bersih dan sarana
sanitasi yang aman didaerah pedesaan dan perkampungan kumuh dikota,kini patut dan layak melalui
tindakan nasional bersama dan kerjasama internasional untuk menyediakan air minum yang amam dan
sarana pembuangan kotoran manusia yang aman untuk semua (DEPKES RI,1990).

Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan
yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat
menderita kurang gizi/gizi buruk.

Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security)
adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan
masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh
kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh
setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak
langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin
tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.

H. Ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat

Penilaian masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah dilakukan dengan
membandingkan jenis dan besaran masalah gizi dengan ambang batas (cut off ) yang telah disepakati
secara universal.

Bila besaran masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas yang ditentukan, maka masalah
tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Tabel ambang batas masalah gizi sebagai
masalah kesehatan masyarakat dipergunakan pentahapan dan prioritas perencanan perbaikan gizi.

Tabel 2.1Ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat

Sumber: Direktur Bina Gizi dan KIA (2011)

Untuk mengetahui seorang anak menderita gizi buruk perlu dihitung status gizinya. Penilaian status gizi
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara
langsung antara lain dengan antropometri biokimia, klinik, biofisik. Penilaian status gizi secara tidak
langsung dilakukan dengan survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengukuran yang
sering digunakan adalah pengukuran dengan antropometri. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuhdan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.Berat badan merupakan antropometri yang paling banyak
digunakan karena parameter ini mudah dimengerti sekalipun oleh mereka yang buta huruf. Standar baku
yang dianjurkan untuk menilai status gizi anak di bawah lima tahun di Indonesia adalah baku World
Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Indeks antropometri yang sering
digunakan untuk mendeteksi gizi buruk adalah berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dengan ambang batasmemakai standar deviasi unit (SD) yang disebut Z-
Skor dan dibandingkandengan Klasifikasi Status Gizi Anak. Untuk menghitung status gizidiperlukan tabel
baku rujukan WHO-NCHS.

I. Program penanggulangan KEP

Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit dilakukan
pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan status gizinya, selain melihat tanda-
tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :

1. Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah
(bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan
terus diberi ASI sampai 3 tahun.
2. Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin
serta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi
energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka
kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya.

3. Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan
nutrisinya.

Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi :

a) Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradsarkan berat badan
dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat itu.Cara penjaringan
yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat
badannya dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil
pengukuran BB tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri.

b) Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi bagi
balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar meningkat
status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu
pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati
seperlunya sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu
untuk memberikan bimbingan kepada keluarga balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga
dapat mencapai status gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa
dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal ini diberikan untuk jangka
pendek. Suplementasi gizi meliputi : pemberian sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia
6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul
minyak beryodium, adalah larutan yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium
diberikan 1x dalam setahun.

c) Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah
(bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan
terus diberi ASI sampai 3 tahun.

d) Balita KEP sedang;

Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan
pantau terus berat badannya.

Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50%
diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya.
Adapun penanggulangan lainnya pada penderita KEP yaitu :

1. Jangka pendek

a. Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di posyandu

b. Rujukan kasus KEP dengan komplokasi pengakit di RSU

c. Pemberian ASI Eklusif untuk bayi usia 0-6 bulan

d. Pemberian kapsul vitamin A

e. Pemberian makanan tambahan (PMP)

f. Pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3 bulan

g. Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia6-12 bulan

h. Promosi makanan sehat dan bergizi

2. Jangkah menengah

a. Revitalisasi Posyandu

b. Revitalisasi Puskesmas

c. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

3. Jangkah panjang

a. Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

b. Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan ketahanan
pangan.

Penanggulangan Kekurangan Energi Protein ( KEP ) juga dapat dilakukan dengan meningkatkan asupan
protein. Secara umun dikenal dua jenis protein yaitu protein yang berasal dari hewan dan protein nabati
yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani dapat diperoleh dari berbagai jenis makanan seperti ikan,
daging, telur dan susu. Protein nabati terutama berasal dari kacang-kacangan serta bahan makanan yang
terbuat dari kacang (Elly Nurachmah, 2001:15).

Protein kacang-kacangan mempunyai nilai gizi lebih rendah

dibandingkan dengan protein dari jenis daging (protein hewani). Namun, kalau beberapa jenis protein
nabati dikombinasikan dengan perbandingan yang tepat, dapat dihasilkan campuran yang mempunyai
nilai kualitas protein lengkap. Selain itu, sumber protein nabati juga lebih murah harganya dibandingkan
dengan sumber protein hewani, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli sebagian masyarakat (Achmad
Djaeni, 1999:120)
Tempe adalah makanan khas Indonesia. Menurut Anggrahini (1983)

dalam Novalia Anggraini (2007), tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi
yang tinggi daripada bahan dasarnya. Tempe dibuat dengan cara fermentasi yaitu dengan menumbuhkan
kapang Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Kedelai adalah salah satu
tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan. Kedelai kering mengandung
protein 34,9% tiap 100 gr, sedangkan kedelai basah mengandung protein sebanyak 30,2% tiap 100 gr
(Achmad

Djaeni, 1999:121). Tempe dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dengan konsumsi rata-rata per
hari per orang 4,4 gr sampai 20,0 gr. Tempe dapat diperhitungkan sebagai sumber makanan yang baik
gizinya karena mempunyai kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin dan mineral
(Novalia Anggraini, 2007).

Sedangkan Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh.

Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat

menyebabkan obesitas. Kelebihan protein dapat menimbulkan masalah lain, terutama pada bayi.
Kelebihan asam amino memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan
kelebihan nitrogen. Kelebihan protein akan

menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah,

kenaikan ureum darah dan demam(Sunita, 2003:104).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan penyakit –penyakit tertentu.
Anak tersebut kurang energi protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat
badan/umur baku standar,WHO –NCHS.

KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak
langsung KEP sangat banyak sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. Salah
satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan
tambahan setelah disapih.

Menurut Departemen Kesehatan RI dalam tata buku pedoman Tata Laksana KEP pada anak di puskesmas
dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang, dan berat (gizi
buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala
klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.

B. Saran

Mencegah lebih baik daripada mengobati.Istilah ini sudah sangat lumrah di kalangan kita.Oleh karena
itu, untuk mencegah terjadinya KEP, maka yang harus kita ubah mulai sekarang adalah pola hidup dan
pola makan yang sehat dan teratur, dengan memperhatikan gizi yang seimbang serta juga
memperhatikan lingkungan yang sehat sehingga dapat menunjang kedepannya. Jika kita membiasakan
hidup sehat, maka kita tidak akan mudah terserang penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Edwin, saputra suriadi. 2009. kejadian KEP. fkm UI Jakarta


Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi dari gizi dalam daur kehidupan. Jakarta; buku kedokteran EGC

Suprianta. Akses 31 maret 2013. www.slideshare.net

Syafiq, ahmad. 2011. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta; rajawali pers

Artonang evawani. 2004. Kurang energi protein. Medan; USU digital library

Anda mungkin juga menyukai