Anda di halaman 1dari 5

ESSAY KETERAMPILAN KOMUNIKASI

Dosen Pengampu : Albertus Harimurti S.Psi., M.Hum.


Disusun oleh : Alifia Putri Ramadhani | 209114002

Tema : Relevansi Genetika dengan Gangguan Kepribadian Antisosial pada Anak

Pertanyaan :
Bayangkan seorang anak memiliki kerentanan genetik terhadap gangguan kepribadian
antisosial. Bagaimana lingkungan anak ini membentuk kemungkinan berkembangnya
gangguan kepribadian ini?

A. PENDAHULUAN

Pernahkah kalian mendengar istilah antisosial atau ansos yang kerap diberikan kepada
orang yang tidak memiliki teman atau orang yang menutup diri dari lingkungan sosialnya?
Istilah ini biasanya digunakan anak muda untuk menjuluki seseorang dengan kepribadian
cenderung pendiam dan enggan bersosialisasi atau kurang mampu berinteraksi baik dengan
lingkungan sekitarnya. Rupanya, istilah ini cukup memberikan dampak buruk bagi kehidupan
seseorang, bagi seseorang yang baru membuka relasi, ia akan takut untuk bergaul dan mulai
untuk berinteraksi dengan orang lain, sedangkan bagi seseorang yang sudah pernah bergaul,
maka ia akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan takut bergabung dengan lingkup
pertemanan manapun. Namun bagaimana jika istilah antisosial ini dikaitkan dengan suatu
gangguan kepribadian yang sudah ada dan melekat pada diri seseorang yang mengalaminya?

Antisosial terdiri dari dua kata yang menyusunnya yaitu anti yang memiliki arti
menentang atau memusuhi dan sosial yang memiliki arti berkaitan dengan masyarakat,
sehingga antisosial dapat dikatakan sebagai perilaku seseorang yang bertentangan dengan
perilaku prososial yang tidak diinginkan disebabkan adanya gangguan kepribadian dalam diri
orang tersebut. Menurut Nevid dkk. (2005) gangguan perilaku antisosial adalah sebuah
gangguan perilaku yang ditandai oleh perilaku tidak bertanggung jawab dan kurangnya
penyesalan untuk kesalahan mereka. Perilaku antisosial ini menyebabkan seseorang yang
memilikinya secara persisten melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran terhadap hak-
hak orang lain, selain itu orang yang memiliki perilaku antisosial juga mengabaikan norma
dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal dalam membina hubungan interpersonal dan
pekerjaan. Namun, meskipun demikian orang yang memiliki perilaku antisosial ini akan
menunjukkan kharisma melalui penampilan luar mereka dalam intensitas yang cukup sering
serta memiliki inteligensi paling tidak di atas rata-rata orang pada umumnya.

Perilaku antisosial ini merupakan perilaku yang merugikan diri sendiri, orang lain,
dan masyarakat yang terbentuk karena banyak faktor. Perilaku antisosial ini juga memiliki
banyak bentuk, salah satunya adalah perilaku bermusuhan yang berarti sebagai emosional,
impulsif, dan didorong oleh rasa tertekan atau sakit dengan menanggapi situasi secara
langsung. Selain itu, dua jenis perilaku antisosial yang berbahaya bagi masyarakat dan diri
sendiri adalah prasangka dan agresi. Burt, Donnellan, Iacono & McGue (2011) berpendapat
bahwa perilaku anti sosial adalah sebagai perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-
norma, baik aturan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun hukum, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa perilaku antisosial merupakan perilaku menyimpang dari norma-norma,
baik aturan masyarakat, sekolah, keluarga maupun hukum yang disebabkan oleh penderitanya
tidak menyukai keteraturan sosial yang menyebabkan ia berperilaku tidak
mempertimbangkan keberadaan dan penilaian orang lain atau masyarakat di sekitarnya secara
umum sehingga menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri dan masyarakat.

Perilaku antisosial ini memiliki beberapa jenis seperti perilaku overt atau perilaku
antisosial terbuka dan perilaku covert atau perilaku antisosial tertutup. Perilaku overt atau
terbuka ini ditunjukkan oleh kerangka badan maupun otot seperti memukul dan berjalan,
sedangkan perilaku covert atau perilaku antisosial tertutup ditunjukkan dengan gerak-gerik
yang secara tidak langsung bertujuan menyampaikan apa yang ia maksud seperti marah yang
ditunjukkan dengan mata merah atau melalui perilaku non agresif seperti berbohong saat
melakukan pelanggaran aturan. Menurut Schaefer dan Millman (1981: 235), jenis perilaku
antisosial lain adalah anak yang tidak patuh yang ditandai dengan 3 karakteristik, yang
pertama adalah The Passive Ressistant Type atau anak yang menghindari perintah dengan
pasif, menjadi diam, dan mengikuti perintah dengan setengah hati, kedua adalah The Openly
Defiant Type atau anak yang langsung menolak perintah yang ia dapatkan secara verbal, dan
yang terakhir adalah The Spiteful Type of Noncompliance atau anak yang melakukan perintah
sebaliknya dengan perintah yang ia dapatkan.
Perilaku antisosial pada anak ini didasari atau dibentuk oleh pola tingkah laku yang
terbentuk saat anak bayi, contoh perilaku anti sosial pada anak yang kerap dijumpai adalah
agresi dan negativisme. Negativisme sendiri merupakan gabungan antara keyakinan diri,
perlindungan diri, dan penolakan yang berlebihan yang disebabkan oleh situasi sosial,
sebagai contoh adalah sikap tidak toleran orang dewasa dalam keluarga, atau didikan
keluarga mengenai kedisiplinan yang terlalu keras, sementara agresi merupakan tindakan atau
perilaku mengancam sebagai bentuk ekspresi atau pengungkapan dari rasa benci, perilaku
agresif juga dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku merugikan, menyakiti orang lain,
dan menimbulkan hal-hal yang membuat orang lain tidak nyaman.

B. LATAR BELAKANG
Gangguan perilaku merupakan gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan yang
diakibatkan oleh lemahnya kontrol diri dan banyak terjadi pada anak. Gangguan perilaku ini
bersifat kompleks dan berdampak merugikan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
saling berinteraksi dan berkaitan. Misbach (2010) menyatakan bahwa selain dipengaruhi oleh
faktor pola asuh orang tua, perilaku dan karakter pada anak dipengaruhi oleh faktor genetika,
hal ini dikuatkan dengan pernyataan Ferguson (2010) yang menyatakan bahwa genetika
mempengaruhi karakter dan perilaku antisosial sebesar 56%. Pernyataan ini diperkuat oleh
hasil penelitian dari Miles dan Carey (1997) yang menyatakan bahwa faktor genetika dan
lingkungan mempengaruhi perilaku agresi anak sebesar masing-masing 50%. Faktor
lingkungan yang berpengaruh cukup kuat adalah lingkungan keluarga. Poniman (2012) yang
menyatakan bahwa fenotipe dapat dipengaruhi oleh 2 hal yaitu genetik dan lingkungan,
genetik ini terdiri dari 2 macam yaitu hereditas (warisan) dan non hereditas (given). Genetik
hereditas atau warisan merupakan totalitas karakteristik individu baik potensi, fisik, maupun
psikis yang diwariskan orangtua kepada anak melalui gen. Carey dan Dilalla (1994)
menyatakan bahwa faktor genetika mempengaruhi karakter dengan prosentase antara 30%
hingga 60%.
Adapun perkembangan anak tidak berlangsung secara instan begitu saja, namun
terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi. Terjadinya perilaku antisosial pada diri anak
juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal pada anak dan salah satu faktor pendukungnya
ialah faktor dari dalam diri sendiri dan lingkungan, meskipun faktor dalam diri sendiri yang
dapat membentuk adanya perilaku antisosial ini adalah faktor genetika, namun perilaku ini
juga dapat muncul jika individu yang mengalaminya merasa tertekan. Faktor lingkungan ini
juga terbagi menjadi beberapa jenis yaitu diantaranya faktor geografis dan sosial. Menurut
Walgito dan Bimo (1980) individu dan lingkungannya tidak hanya memiliki hubungan yang
berjalan satu arah saja dimana hanya lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku
individu, namun keduanya memiliki hubungan timbal balik dimana individu pun dapat
mempengaruhi lingkungan dengan sikap individu terhadap lingkungan yang terbagi menjadi
3 macam yaitu menolak / menentang, menerima, dan bersikap netral terhadap lingkungan
tersebut, namun sikap tersebut dapat berubah menyesuaikan adanya perkembangan baik dari
individu, lingkungannya, ataupun keduanya.
Jika dikaitkan mengenai masalah geografis, kondisi psikologis seseorang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya, tempat ia tumbuh, atau tempat ia beranjak
dewasa. Menurut teori ekologi perkembangan, perkembangan manusia dipengaruhi oleh
konteks lingkungan yaitu lingkungan mikrosistem yang salah satunya adalah lingkungan
tempat tinggal. Lingkungan tempat tinggal terbagi menjadi 2 jenis yaitu geografis dan sosial.
Secara geografis, seorang anak yang tinggal di pedesaan akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk melakukan atau memiliki perilaku antisosial dalam dirinya jika ia dipindahkan ke
kota, berbeda dengan sebaliknya jika anak yang tinggal di kota dipindahkan ke desa. Hal ini
disebabkan lingkungan tempat tinggal di pedesaan rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan
ekonomi yang rendah, tak hanya itu di pedesaan anak seringkali dibiarkan sendirian di rumah
atau bermain dengan teman sebayanya ketika orangtuanya harus bekerja seharian, sehingga
menurut saya, ia akan lebih cenderung untuk memiliki perilaku antisosial di dalam dirinya
jika ia dipindahkan ke kota, hal ini disebabkan di perkotaan segalanya sudah tersedia dan
norma sosial tidak seketat di desa yang semakin mempermudah anak untuk berperilaku
antisosial.
Sementara jika dikaitkan dengan lingkungan sosial, di pedesaan, norma dan sanksi
sosial masih sangat ketat diberlakukan kepada siapapun yang melanggar sehingga lebih
mudah mengontrol dan mengendalikan perilaku sosial dan antisosial pada anak, namun tentu
saja tidak menutup kemungkinan bahwa pergaulan anak pedesaan tidak mungkin melakukan
perilaku antisosial, baik di desa maupun di kota, lingkup pertemanan tetaplah menjadi faktor
paling kuat terbentuknya perkembangan perilaku pada anak, baik perilaku negatif maupun
positif, antosisal dan prososial. Anak yang bergaul dengan pemabuk desa misalnya, ia akan
memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berperilaku antisosial, begitupun anak yang
bergaul dengan aktivis desa, ia akan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
berperilaku prososial.
Desa dan kota merupakan 2 wilayah yang memiliki perbedaan jumlah kepadatan
penduduk, situasi, dan pola interaksi antar individunya, sehingga memunculkan adanya
perbedaan pengendalian emosi antara remaja yang tinggal di kota dna di desa. Adanya
pengendalian emosi yang baik dapat membantu anak dan orangtua dalam mengendalikan
perilaku antisosial pada anak yang mengalaminya. Kota memiliki kepadatan penduduk yang
tinggi sehingga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan stress, yang mana
menurut Sarwono (1992) Stress dapat menimbulkan kemarahan, kriminalitas, kenakalan
remaja, dan reaksi emosi yang berlebihan. Desa memiliki kepadatan penduduk yang lebih
rendah, dengan adanya keadaan desa yang tidak padat penduduk dapat memberikan suasana
tenang sehingga tidak mudah tersulut emosi karena tidak adanya perasaan sesak dan
kemacetan.

Daftar referensi :

Wertz, J., Caspi, A., Belsky, D. W., Beckley, A. L., Arseneault, L., Barnes, J. C., ... &
Moffitt, T. E. (2018). Genetics and crime: integrating new genomic discoveries into
psychological research about antisocial behavior. Psychological science, 29(5), 791-803.

Barker, P. (1972). Antisocial Behaviour. The British Medical Journal, 3(5817), 34–
36. http://www.jstor.org/stable/25419243

Jokela, M., Bleidorn, W., Lamb, M. E., Gosling, S. D., & Rentfrow, P. J. (2015).
Geographically varying associations between personality and life satisfaction in the London
metropolitan area. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 112(3), 725–730. https://www.jstor.org/stable/26459385

Mayer, G. R. (2001). Antisocial Behavior: Its Causes and Prevention Within Our
Schools. Education and Treatment of Children, 24(4), 414–429.
http://www.jstor.org/stable/42900501

Pol A. C. van Lier, Vitaro, F., Wanner, B., Vuijk, P., & Alfons A. M. Crijnen. (2005).
Gender Differences in Developmental Links among Antisocial Behavior, Friends’ Antisocial
Behavior, and Peer Rejection in Childhood: Results from Two Cultures. Child Development,
76(4), 841–855. http://www.jstor.org/stable/3696732

Viding, E., Larsson, H., & Jones, A. P. (2008). Quantitative Genetic Studies of
Antisocial Behaviour. Philosophical Transactions: Biological Sciences, 363(1503), 2519–
2527. http://www.jstor.org/stable/20208662

Gustia, E. (2017). Tampilan Perilaku anti sosial pada siswa sekolah dasar. JRTI
(Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 2(2).

Anda mungkin juga menyukai