Anda di halaman 1dari 4

Jika diolah lebih lanjut dalam bentuk processed foods, kandungan gizi dalam bahan

pangan minimally processed foods bisa mengalami perubahan. Produk olahan kedelai seperti
tahu dan tempe merupakan hasil fermentasi sederhana yang hanya mendapat tambahan kapang
fermentatif dan asam cuka. Kandungan nutrisi kedelai mengalami penurunan namun masih
lengkap, dimana terdiri atas kalori, karbohidrat, protein, lemak, asam amino essensial, mineral,
dan vitamin. Bahkan, tahu diketahui memiliki kandungan omega 3 PUFA. Sebagai tambahan,
tempe diketahui dapat menyeimbangkan profil mikroba usus ke arah yang lebih sehat melalui
peningkatan beberapa bakteri, yaitu Bifidobacterium dan A. municiphila. Kandungan serat dalam
tempe berkontribusi terhadap peningkatan Bifidobacterium secara signifikan. Selain itu,
kandungan polyphenol di dalam tempe meningkatkan produksi A. municiphila. Keseimbangan
bakteri usus akan mencegah terjadinya dysbiosis (Stephanie et al., 2019). Kemudian, produk
yang diasinkan seperti telur asin, ikan asin, dan pindang memiliki cara pengolahan yang mirip,
dengan menggunakan garam sebagai media pengawetan produk. Akibat penambahan garam
dalam jumlah yang bervariasi, terjadi penurunan jumlah air, kalori, karbohidrat, dan perubahan
jumlah protein. Perubahan jumlah protein ditentukan oleh karakteristik telur dan banyaknya
garam yang diberikan. Semakin banyak garam yang ditambahkan dan semakin lama durasi
penyimpanan telur, maka menyebabkan kadar protein berkurang. Selain itu, kadar lemak dalam
telur asin meningkat. Proses penggaraman pada telur bebek tidak secara signifikan
mempengaruhi jumlah mineral. Khususnya magnesium, zinc, copper, iron, dan mangan. Hal ini
disebabkan oleh adonan proses penggaraman yang dapat memberikan barrier untuk mengurangi
jumlah mineral yang hilang (Mopera et al., 2021). Sementara itu, pada ikan asin dan pindang,
kandungan gizinya dipengaruhi oleh jumlah garam yang diberikan dan cara pengolahan. Menurut
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayat et al., (2020), ikan pindang mengalami
penurunan kadar air akibat proses perebusan, penurunan jumlah lemak seiring lamanya waktu
pemasakan dengan suhu tinggi dan semakin banyaknya garam yang diberikan, serta penurunan
jumlah protein akibat proses perebusan . Tak hanya itu, semakin tinggi jumlah garam yang
diberikan maka akan menurunkan jumlah protein bahkan bisa menyebabkan denaturasi protein
(Fadhli et al., 2020). Hal ini berlaku juga dengan pengolahan ikan asin yang mirip. Pemberian
natrium pada ikan asin maupun ikan pindang berbeda-beda bergantung pada berat ikan.
Diketahui jika ikan asin setidaknya diberikan natrium sebanyak 10-35 % berat ikan untuk
penggaraman kering dan 30-35 % berat ikan untuk penggaraman basah. Sementara ikan pindang
diberikan natrium sebanyak 10-25 % berat ikan (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013; Jasila dan
Ningsih, 2015). Kemudian, ikan sarden kaleng mengandung protein, lemak, omega 3, kalsium,
fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin B (Cakrawati, 2012; Yovita, 2017).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui jika proses pengalengan tidak menyebabkan
perubahan signifikan pada kadar unsaturated fatty acid (Lahamy dan Mohamed, 2020). Namun,
proses pengalengan dapat mengurangi kandungan protein (Herawati et al., 2009). Hal ini dapat
dikaitkan dengan efek pemanasan selama proses pengalengan yang melemahkan ikatan lipid
protein dan menyebabkan protein mengalami hidrolisis (Castrillon et al., 1996). Protein
membrane sel cenderung berubah sifat di bawah suhu memasak yang tinggi. Selain itu, proses
retort juga memicu penguapan protein. Namun, penurunannya tidak signifikan. Proses
pengalengan ini tidak menurunkan jumlah omega 3 secara signifikan. Namun, omega 3 dapat
berkurang signifikan jika penyimpanan produk diperpanjang hingga 4.5 bulan. Ikan sarden
kaleng mengandung kalsium dalam jumlah tinggi dibandingkan ikan segar. Hal ini mungkin
karena proses retort yang menyebabkan tulang ikan melunak dan akhirnya memecah molekul
organik kompleks dalam tulang ikan dan melepaskan unsur kalsium (Rickman et al., 2007;
Alam, 2021).
Jika bahan makanan minimally processed foods diolah menjadi bentuk ultra processed
foods, kandungan gizi dasar bahan makanan dapat hilang sehingga menjadi minim nutrisi.
Meskipun sudah ada inovasi fortivikasi vitamin dan mineral, tidak semua produk
mendapatkannya. Selain itu, produk ultra processed foods mendapat tambahan bahan pangan
dan zat aditif dimana beberapa di antaranya diduga dapat mempengaruhi gejala depresi. Dari 6
kelompok bahan makanan ultra processed foods, hanya produk roti, camilan, frozen food
berbahan daging, dan produk konfeksioneri yang memiliki hubungan terhadap tingkat depresi.
Diketahui jika responden yang mengonsumsi ketiga kelompok makanan tersebut, mengonsumsi
dalam frekuensi sering, yaitu dalam rentang ≥ 3 x /hari hingga 3-6x/minggu mengalami depresi.
Sedangkan responden yang tidak depresi mengonsumsi dalam frekuensi yang jarang, yaitu dalam
rentang 1-2x/minggu hingga tidak pernah dikonsumsi . Sementara pada kelompok bahan
makanan ultra processed foods lainnya (produk mie dan minuman kemasan berpemanis)
responden mengonsumsi dalam frekuensi jarang, yaitu dalam rentang 1-2x/minggu hingga tidak
pernah dikonsumsi. Produk ultra processed foods yang dikonsumsi oleh responden mengandung
gula dan garam yang lebih tinggi dibanding bahan minimally processed foods. Selain itu, zat
aditif yang memiliki pengaruh terhadap depresi adalah monosodium glutamate, pewarna sintetik
tartrazine , allura red, dan emulsifier. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan pada tikus wistar,
pemberian tartrazine menyebabkan perilaku hiperaktivitas, antisosial, dan kecemasan. Selain itu,
tartrazine dapat menyebabkan berkurangnya jumlah GABA, serotonin, dan dopamine di otak
(Mohamed et al., 2015; Amin dan Al-Shehri, 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Gao et al.,
(2011), menunjukkan jika terdapat penurunan aktivitas katalase, glutathione peroxydase,
superoxide dismutase, serta peningkatan kadar malonaldehid pada otak tikus yang telah diberi
tartrazine. Mekanisme ini berkaitan dengan terjadinya stress oksidatif. Selain itu, Park et al.,
(2009) menyatakan jika akumulasi asupan pengawet tartrazine dan brilliant blue FCF dalam
jumlah besar mempengaruhi neurogenesis hipokampus. Tartrazine dapat mengurangi
kemampuan vitamin B6 yang berperan dalam mengontrol produksi serotonin (Kamel dan El-
Lethey, 2011; Soviana dan Putri, 2017). Kemudian, penelitian yang dilakukan pada tikus dengan
pemberian konsumsi garam dalam jumlah tinggi meningkatkan limfosit T-helper pada usus
halus. Sel tersebut (limfosit T-helper) memproduksi sitokin proinflamasi IL-17 yang meningkat
pada sirkulasi. Hal ini memicu respon autoimun otak yang berhubungan dengan ditekannya
kinerja antiinflamasi sel T regulator (Kendig dan Morris, 2019). Fenotip IL-17 memerankan
peran penting dalam interaksi neuroimun depresi (Kowalska et al., 2020). Selain itu, terjadi pula
peningkatan stress oksidatif, penurunan plastisitas sinaptik, dan penurunan sinaptogenesis
(Kendig dan Morris, 2019). Sedangkan pada manusia, konsumsi garam dalam jumlah tinggi
mengurangi kemampuan hidup Lactobacillus spp yang akhirnya meningkatkan sel TH17 . Hal
tersebut tergolong proses inflamasi yang ditandai dengan pelepasan sitokin pro-inflamasi.
Aktivasi sel TH17 berlebihan berhubungan dengan kerusakan otak (Wilck et al., 2017; Canale et
al., 2021). Asupan garam yang tinggi menyebabkan penekanan RAAS dan peningkatann radikal
bebas. Di otak, radikal bebas mengaktifkan tonus simpatis dan RAAS lokal. RAAS lokal juga
akan meningkatkan radikal bebas di otak (Shimosawa, 2013; Cosarderelioglu et al., 2020).
Selanjutnya, konsumsi monosodium glutamate dalam jumlah berlebihan berarti bahwa
neurotransmitter eksitatori meningkat, karena glutamate merupakan bagian dari neurotransmitter
eksitatori (Kraal et al., 2020; Onaolapo dan Onaolapo, 2021). Akumulasi glutamate dalam
jumlah banyak menyebabkan kematian neuron yang melibatkan kerusakan DNA dan memicu
apoptosis. Hal ini diakibatkan mekanisme glutamate yang menginduksi penyerapan kalsium
mitokondria dan peningkatan respirasi mitokondria dapat memicu peningkatan radikal bebas.
Radikal bebas bersama perubahan permeabilitas membrane mitokondria memicu proses
kematian sel yang disebut eksitotoksisitas (Yang et al., 2011). Jika terjadi eksitotoksisitas pada
area otak yang berperan penting dalam menghadapi stress, seperti hipokampus, korteks
prefrontal, dan amygdala maka akan menghambat perannya untuk mencegah terjadinya depresi.
Di beberapa merk permen, terdapat kandungan pewarna sintetik seperti merah alura (Allura red).
Konsumsi makanan atau minuman dengan kandungan pewarna merah allura dapat memicu
berkurangnya jumlah serotonin dan GABA. Hal ini disebabkan oleh radikal bebas yang
diciptakan pewarna sintetik tersebut ketika dimetabolisme oleh bakteri usus. Radikal bebas
tersebut menghambat pembentukan ATP yang menyebabkan berkurangnya sintesis atau re-
uptake neurotransmitter pada sel presinaptik . Tak hanya itu, allura red diketahui dapat
mengurangi jumlah MDA (Malondialdehyde) dan GSH (Glutathione) di otak. Padahal, MDA
dan GSH berperan sebagai antioksidan. Jika kinerja antioksidan terhambat akan menyebabkan
kerusakan jaringan otak (Bawazir, 2016; Amin et al., 2010; Bawazir, 2012; Craig et al., 2004;
Yuniastuti, 2016; Situmorang dan Zulham, 2020). Kemudian, asupan gula dalam jumlah tinggi
dapat memicu disfungsi hipokampus, peningkatan kortisol, dan meningkatkan resiko stress
oksidatif maupun inflamasi (Jacques et al., 2018).

Anda mungkin juga menyukai