Anda di halaman 1dari 12

MODUL AJAR

“NILAI-NILAI FILOSOFI ABS-SBK”

1. INFORMASI UMUM
A. IDENTITAS MODUL

Nama guru : Nurrahmi, S.Pd


Jenjang Sekolah : SMA
Satuan Pendidikan : SMAN 1 Pancung Soal
Tahun Ajaran : 2021/2022
Kelas :X
Fase :E
Alokasi Waktu : 2 x 45 Menit
Pertemuan ke :8

B. KOMPETENSI AWAL
Kompetensi yang harus dimiliki sebelum mempelajari pokok bahasan ini yaitu
peserta didik telah : Mempelajari adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah
syara’ mangato adat mamakai, alam Takambang jadi guru kemudian peserta
didik telah mempelajari tentang dasar-dasar adat minangkabau seperti kelarasan
koto piliang dan bodi caniago.

C. PPP
Profil Pelajar Pancasila yang diharapkan dapat tercapai yaitu : Kreatif, Bergotong
royong (Kerja sama), Mandiri, dan Bernalar Kritis.

D. SARANA PRASARANA
 HP / Komputer / Laptop
 Jaringan internet, Buku Paket Peserta Didik, Alat Tulis dan Bahan Ajar

E. TARGET PESERTA DIDIK


Peserta didik yang menjadi target yaitu :
 Peserta didik regular / tipikal : umum, tidak ada kesulitan dalam mencerna
dan memahami materi ajar.
 Peserta didik dengan kesulitan belajar : memiliki gaya belajar terbatas hanya satu
gaya.
 Peserta didik dengan pencapaian tinggi : mencerna dan memahami dengan
cepat, mampu mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (HOTS), dan
memilki kemampuan memimpin.

F. MODEL PEMBELAJARAN
Model pembelajaran yang digunakan Guided Discovery Learning
2. KOMPONEN INTI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
 Peserta didik dapat memahami nilai-nilai filosofi ABS-SBK
 Peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai filosofi ABS-SBK
B. PEMAHAMAN BERMAKNA
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta didik mengetahui sejarah latar belakang
lahirnya Sumpah Sati Bukik Marapalam yang pertama yaitu pada masa perubahan
kerajaan Minangkabau mejadi Kesultanan Minangkabau Darul Qarar, sampai
kepada pengukuhan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam pada zaman milineal.
Serta menjelas penyebab hilangnya naskah Sumpah Sati Bukik Marapalam di
Minangkabau dan tak kalah pentingnya mengetahui isi dari Sumpah Sati Bukik
Marapalam itu sendiri yang terdiri dari tiga bagian, lima belas pasal dan sembilan
puluh ayat.

C. PERTANYAAN PEMANTIK
Bagaimana cara menerapkan nilai –nilai filosofi ABS-SBK dalam kehidupan sehari-
hari ?

D. KEGIATAN PEMBEJARAN
Tahapan Kegiatan Waktu
1. Guru memberi salam dan
menyapa peserta didik
2. Peserta didik dan guru berdoa
untuk memulai pelajaran
3. Guru mengecek kehadiran
peserta didik
4. Guru melakukan Apersepsi :
PENDAHULUAN masih ingatkah kalian 10 Menit
mengenaiABS-SBK?
STIMULUS / PEMBERIAN
RANGSANGAN
Guru meminta peserta didik
KEGIATAN INTI mengamati gambar.
IDENTIFIKASI MASALAH 15 Menit
Guru memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak
mungkin pertanyaan.
PENGUMPULAN DATA DAN
PENGOLAHAN DATA
1. Guru dapat membagi peserta
didik menjadi enam
kelompok yang maksimal
terdiri 5 orang menyesuaikan
jumlah peserta didik.
Tahapan Kegiatan Waktu
2. Salah satu kelompok
menjelaskan materi
tentangsumpah sati bukik
marapalam.
3. Kelompok yang lain
memberikan Pertanyaan
mengenai sumpah sati bukik 45 Menit
marapalam.
4. Guru membagikan LKPD dan
peserta didik membaca
petunjuk, mengamati LKPD
5. Peserta didik dalam
kelompok mencermati
sumpah sati bukik
marapalam.
6. Peserta didik dalam kelompok
mencari Makna sumpah sati
bukik marapalam bagi
masyarakat Minangkabau.
7. Peserta didik memperhatikan
dan mengamati penjelasan
yang diberikan guru terkait
dengan sumpah sati bukik
marapalam.
8. Guru memotivasi peserta
didik dalam kelompok atau
individual untuk menuliskan
dan menanyakan
permasalahan yang belum
dipahami dari masalah yang
disajikan dalam LKPD
9. Guru mempersilahkan peserta
didik dalam kelompok lain
atau secara individual untuk
memberikan tanggapan, bila
diperlukan guru memberikan
bantuan komentar secara
klasikal.
10. Beberapa perwakilan
kelompok atau secara
individual menyajikan secara
Tahapan Kegiatan Waktu
tertulis dan lisan hasil
pembelajaran atau apa yang
telah dipelajari pada tingkat
kelas atau tingkat kelompok
mulai dari apa yang telah
dipahami berkaitan dengan
permasalahan kehidupan
sehari-hari berdasarkan hasil
diskusi dan pengamatan.
11. Peserta didik yang lain dan
guru memberikan tanggapan
dan menganalisis hasil
presentasi meliputi tanya
jawab untuk mengkonfirmasi,
memberikan tambahan
informasi, melengkapi
informasi ataupun tanggapan
lainnya
PEMBUKTIAN / VERIFIKASI
5 Menit
1. Peserta didik membuktikan
hasil pekerjaannya dengan
membaca literatur dan
mencocokan jawabannya

PENARIKAN KESIMPULAN
Peserta didik melakukan refleksi, 5 Menit
resume dan membuat
kesimpulan secara lengkap,
komprehensif dan dibantu guru
dari materi yang terkait sumpah
sati bukik marapalam.
1. Guru dan peserta didik
PENUTUP 10 Menit
merangkum bersama
2. Guru mengingatkan tentang
materi untuk pertemuan
berikutnya tentang nilai-
nilai filosofi ABS-SBK.
3. Guru dan peserta didik
mengucapkan salam dan
berdoa penutup

E. ASESMEN
Bentuk asesmen :
Sikap (Profil Pelajar Pancasila) berupa : observasi, penilaian diri, dan penilaian
teman sebaya. Performa berupa : Presentasi dan unjuk kerja
Tertulis (tes objektif : Essay dan Pilihan Ganda)

F. PENGAYAAN DAN REMEDIAL


Soal Pengayaan untuk peserta didik yang telah mencapai tujuan
pembelajaran. Soal Remedial untuk peserta didik yang belum
mencapai tujuan pembelajaran.
MATERI AJAR

SUMPAH SATI BUKIK MARAPALAM

Kurang kepastian tahun tertulis sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan pelaku
peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti. Namun masyarakat
meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih populer disebut sumpah
satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak bukit itu
masa  perkembangan Islam di Minangkabau (selanjutnya ditulis Minang).

 Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut
diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullahdisingkat dengan ABS-
SBK (adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.). 

Namun karena berbagai versi juga ada yang menyatakan konsensus pertama antara kaum adat
dan ulama berbunyi “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama
Islam, Islam bersendi adat).

Namun setidaknya apa yang ditulis oleh Buya Masud Abidin dapat memberikan pencerahan
kepada kita. Dibawah ini uraian tersebut kami ambil kutipannya dalam Blog beliau sebagai
berikut( Masud Abidin. 2015):

Ketidakpastian peristiwa itu dan hampir tidak adanya tulisan Belanda mengundang
munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat di Minang. Bahkan
perhatian mereka tentang hubungan antara variabel adat dan agama dewasa ini juga
berkembang untuk kasus-kasus di luar dan dalam masyarakat Minang. Misalnya karya
Hamka (terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya Ratno Lukito
(1998) tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah karya C.
Snouck Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh Pemerintah
Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas
Andalas Padang tahun 1991. 
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses dialogis antara kedua kaum itu.
Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi
untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. Periode kemunculan ABSSBK itu ialah antara
permulaan masuknya Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda
hingga pasca perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan
menggunakan pendekatan konflik.

Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan
sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik
masyarakat Minang. Konsep tersebut relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya,
sehingga falsafah itu berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang. 

Falsafah itu hampir sama dengan falsafah di daerah lain seperti di Aceh yang diekspresikan
dengan“hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut”(hukum adat dan Islam tidak
dapat dipisahkan, seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal “adat dibikin di
mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid).
Sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian itu terjadi di puncak Bukit
Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah, berdasarkan foklor berasal dari kata
“Merapatkan Alam” yaitu merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo.. Asumsi
lain tentang nama itu ialah rapat untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan
ulama atau antar ulama yang berbeda mazhab dan tariqat.

Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam,
dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah fakto atau pakta (puncak untuk
membuat perjanjian). Asumsi lain ialah berasal dari kata patongahan(pertengahan) antara
kedudukan Tuanku Lintau di Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung di
Pagaruyung. 

Daerah tersebut strategis karena terletak di daerah perbukitan yaitu antara  Kecamatan
Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Kaum Paderi maupun pasukan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) menggunakan wilayah itu sebagai pertahanan gerilya.
Daerah tersebut relatif dekat dengan Luhak nan Tigo sehingga mudah memantau musuh jika
bergerak dari Nagari Sungayang, Tanjung, Andalas, dan Marabukit untuk menuju Bukit
Marapalam. Belanda sendiri pada masa perang Paderi sulit membobol pertahanan kaum
Paderi, sehingga Belanda harus mengerahkan sekitar 150 tentara untuk menaklukannya dan
merebut daerah tersebut. Daerah itu juga strategis untuk persediaan logistik, karena Lintau
dikenal sebagai penghasil beras di Minang. Selain itu daerah tersebut termasuk kekuasaan
Tuanku Lintau yang berkedudukan di Tepi Selo Lintau.

Beberapa versi di sini berdasarkan laporan penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie
Bukik Marapalam (1991). Versi pertama tentang peristiwa kemunculan piagam sumpah satie
itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya
pengaruh adat di alam Minang. Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara
tersirat ia memperkirakan masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu
“adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”.

Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil mengembangkan aliran Sattariyah di


Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke Marabukit yang berada di kaki Bukit
Marapalam.

Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku


“Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Dalam
makalah “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, Azwar menyatakan peristiwa itu terjadi
sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam
Minang oleh Paderi.   

Alam Minang terdiri dari rantau dan luhak nan tigo. Rantau Minang mencakup wilayah di


luarLuhak nan tigo itu, yaiturantau timur (Kampar, Siak, Rokan, Asahan, Indragiri, Jambi
dan Batang Hari) dan rantaubarat di Pantai Barat Sumatera (Natal, Sibolga, Barus, Singkel,
Trumon, Tapak Tuan, Meulaboh, Tiku, Pariaman, Indrapura, Muko Muko, Majuto dan
Bangkahulu).Luhak nan tigo yaituLuhak Agam (sekeliling Bukittinggi), Luhak Tanah Datar
(selingkar Batu Sangkar) dan Luhak Lima Puluh Kota (sekitar Payakumbuh). Secara
geografis ketiga luhak itu relatif berdekatan, terutama antara Luhak  Tanah Datar dengan
Luhak Lima Puluh Kota.
Sejarah perkembangan Islam di Minang adalah sejarah perkembangan kota-kota dagang
di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantautimur Minangkabau telah
menerima dakwah Islam. Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunyaIndonesian Trade &
Socety(1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera
telah dihuni koloni Arab.  

Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan  agama
Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Masuknya Islam pada masa itu
menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama
masing-masing.Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut
Sriwijaya dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya
menuju pesisir timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara
saudagar Islam dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak
dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah  yang menganut Islam Syiah (840
M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.

            Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak.
Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan
Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak
tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya
Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan
Pagarruyung diperintah oleh putera mahkota pertama Majapahit keturunan Kertanegara
dan Dara Petak dari Minang, yaitu Adityawarman.

Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota
dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang.
Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering
terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat
Malaka. 

             Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Sementara


Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha dan Dinastinya berlanjut sampai
tahun 1581 M. Kekuasaannya hanya terbatas di sekitar kerajaannya. Bahkan Mochtar Naim
dalam karyanya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984) mengatakan bahwa raja
hampir tidak memiliki kekuasaan apa-apa di Minang. Ia hanya sebatas simbol kekuasaan
dan lambang persatuan. 

Terutama setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal,
raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda yang disebut rajo kaciak (raja kecil)
dan (atau) penghuludi rantau. Raja (kingship) berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate),
disebut juga Rajo Tigo Seloyang bersemayam di Pagarruyung di Luhak Tanah Datar.
Mereka adalah Rajo Alam (sebagaiprimus inter pares dari ketiga kuasa itu), namun yang
lainnya yaitu Rajo Adat dan Rajo Ibadat sesungguhnya berkedudukan dan mempunyai
daerah masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus.
Kekuasaan tiga serangkai itu diperkuat oleh dewan menteri yang disebut Basa Ampek
Balai.Sistem tersebut dicontoh dari Kerajaan Majapahit yang pernah dipimpin hanya oleh
Patih Gdjah Mada sendiri. Mereka adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari
Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso dan Indomo dari Sumanik. Kuasa mereka
diperkuat pula oleh Tuan Gadang dari Batipuh untuk urusan pertahanan. 
Sebelum kerajaan Pagaruyung diruntuhkan Belanda, dalam tahun 1821 Sultan Begagar
Alamsyah telah mempermaklumkan kepada seluruh rakyat di Minangkabau untuk angkat
senjata, perang melawan penjajah Sejak itu perang Paderi telah berubah bentuk menjadi
perang Minangkabau. 

Sesungguhnya kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama sudah terlaksana, sebagai
realisasi dari piagam Bukik Marapalam dan Kesepakatan Tandikat.
Jauh sebelum perang Paderi, pernah tercatat tahun 1411 M raja Pagarruyung keempat
Dewang Pandan Sutowono (Raja-raja Pagarruyung yaitu
Adityawarman,  Anggawarman_anaknya, Dewang Duato Doewano_ keponakan pertama,
Dewang Pandan Sutowono_ keponakan kedua) dan permaisurinya sudah memeluk Islam dan
mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau dikenal juga Syekh Ibrahim (Maulana
Malik Ibrahim).    
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat. 

Sebagaimana yang disebutkan L.C. Westenenk dalam karangannya Opstellen over


Minangkabau bahwa masa adaik mananti, syarak mandaki telah ada upacara ritual pada
dua buah batu di Pincuran Tujuh di Batang Sinamar, Kumanih. “Batu Palimauan” tempat
Rajo Ibadat disucikan denganlimau (jeruk) sebelum mengucapkan kalimat Syahadat dan
“Batu Pa-Islaman” tempat Syekh Ibrahi melakukan khitanan kepada mereka. Namun
kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang
kala itu.

Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli Pono. Ia berguru kepada Syekh
Abdurrauf di Aceh. Ia berdakwah ke Minang dengan membuka sekolah agama seperti di
Ulakan Pariaman dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek Padangpanjang yang ramai dikunjungi
oleh murid dari Luhak nan Tigo.  Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh
budaya Hindu-Budha seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia
dikenal sebagai ulama besar di Minang.

Masa itu sempat terjadi perbedaan pendapat antara penghulusendiri, dan di antara  yang
tidak setuju itu kemudian menentang ulama. Namun kesepakatan damai tercipta antara
paraPenghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang.Kesepakatan itu bertujuan untuk saling
mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan Penghulu
seperti panungkek, mantidan dubalang,
Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin sebagai penggagas piagam sumpah
satie tersebut dengan dua muridnya (salah satu muridnya Idris Majolelo) bersama penghulu
Ulakan menemui Yang Dipertan Agung Pagaruyung. 

Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai  melakukan upacara
pemotongan kerbau. Mereka memakan dagingnya, dikacau(menebarkan) darahnya, ditanam
tanduknya,dilacak pinang danditapung batu, ‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang
sumpah jo satie, siapa yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan kutuk
Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat.
Semenjak itu muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak mandaki,adaik manurun; syarak
lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati, adaik babuhue sintak; syarak balindueng, adaik
bapaneh; syarak mangato, adaik mamakai; syarak batilanjang, adaik basisampieng
Semenjak Aceh di bawah Sultanat Tajul Alam Shafiathuddin Syah menguasai Pantai Barat
Sumatera dari tahun 1641-1675 M, Sultan nan Salapan dari Pagarruyung diperintahkan
turun ke Aceh, Bantam, Palembang, Jambi, Indragiri, Siak, Rokan, Sungai Pagu, Indrapura,
dan Pariaman untuk menjadi raja dan berdakwah. Mereka juga yang menyampaikan buek
parbuatan (piagam sumpah satie Bukik Marapalam) kepada masyarakat di alam   Minang. 
Kepergian Sultan nan Salapan dilepas olehrajo-rajo (raja-raja),manti-manti, Basa Ampek
Balai, penghulu-penghulu, tuanku-tuanku dan parahulubalang yang diundang dari Luhak
nan Tigo.Mereka yang diundang sekaligus ditugaskan menyebarkan  piagam sumpah satie
itu. 

Ketika itu Pagarruyung telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo nan Sati
yang dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung yang
pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Versi kedua yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal gerakan/perang Paderi.
Gerakan Paderi yang diilhami oleh kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci,
Arab Timur. 

Paham Wahabi berkembang sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak
mengembalikan kemurnian Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu orang
dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh.

Daerah pertahanan yang strategis bagi kaum Paderi adalah puncak Bukit Marapalam.
Namun mereka khawatir korban bertambah di kalangan masyarakat. Kaum Paderi
menggagas perjanjian dengan kaum adat. Datuk Bandaro berinisiatif menemui Datuk Samik
untuk menyetujuinya. Kesepakatan mereka dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di
Pariangan. Mereka berhasil mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu
ABSSBK.

 Versi ketiga yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal perang Paderi sekitar
tahun 1803-1819. Kedua pihak yang berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering
melakukan serangan mendadak kenagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar jalan
bukit Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. 

Kaum adat melirik bangsa Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi
perang Paderi. Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian itu
yang lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat untuk
berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. 

Tersebutlah Datuk Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang
memprakarsai perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa Tuanku
Lintau yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi keempat yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa vacum perang Paderi.
Kaum Paderi menganggap kaum adat dan Belanda sebagai kafir yang harus diperangi.
Strategi Belanda yaitu mengalihkan pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa,
sementara Belanda pura-pura berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan
kaum adat belum juga berdamai. 
Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi dengan kaum adat
untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari kaum adat yaitu Datuk
Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan ajaran Islam kepada mereka)
adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reja semenjak perjanjian itu, namun
pertentangan masih terasa antara paradatuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.

Versi kelima yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam masa Perang Paderi II. Strategi
perang Belanda berhasil, terbukti dengan kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya
benteng pertahanan Paderi Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831.
Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan
Tuanku Nan Renceh. 

Semua Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah terlanjur
diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan adat. Namun sebelum Bukik
Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang
menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Kembali disebut-sebut Tuanku Lintau sebagai
pemerakarsanya.
Versi keenam yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam pada akhir perang Paderi.

 Setelah kekalahan Paderi Belanda bisa menguasai Minang. Belanda mulai merubah tatanan
sosial masyarakat. Mereka mengangkat Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi
dan untuk urusan pemungutan pajak.Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan
bagian wilayah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran
masyarakat Minang terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka orang
kafir, sehingga ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan nilai-nilai agama
dalam masyarakat. 

Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat persatuan kaum adat dan ulama dengan
mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.

Keenam versi tersebut terdapat kelemahan dan memperkuat keyakinan tentang peristiwa di
Bukit Marapalam itu. 

Ketidakjelasan informasi tentang peristiwa Piagam sumpah satie Bukit Marapalam telah
menggagalkan rencana Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun tugu Sumpah Satie
Marapalam di daerah tersebut.

Adat Basandi Syarak

Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang memanfaatkan alam sebagai sumber
ajarannya. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam. Ini diungkapkan dalam filsafat
orang Minangkabau alam takambang jadi guru.

Ketika agama Islam masuk, adat di Minangkabau secara hakikinya tidak bertentangan
dengan ajaran syarak dalam agama Islam, karena alam yang telah dijadikan pedoman hidup
masyarakat Minangkabau adalah ciptaan Allah semata. Itulah sebabnya ketika Islam masuk
langsung diterima oleh orang Minangkabau.

 Maka, kalaupun dalam sejarah, timbulnya Perang Paderi tidak semata karena disebabkan
pertentangan kaum adat dan kaum agama (Islam), akan tetapi karena pemurnian ajaran
syarak di dalam pelaksanaan adat semata, sebagai akibat dari amar makruf nahi munkar.
Akan tetapi pemerintahan kolonial Belanda, memakai peristiwa ini sebagai alat politik adu
domba.

Namun pada tahun 1811 penguasa adat di Minangkabau, yakni Sultan Begagarsyah
mempermaklumkan perang bahu membahu antara seluruh masyarakat anak nagari di
Minangkabau, melawan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum adat dan kaum agama
menyatukan pendapat dalam pertemuan pangulu tigo luhak beserta para ulamanya. 

Pertemuan ini melahirkan Piagam Bukik Marapalam yang menegaskan bahwa antara adat


dan Islam tidak bertentangan.
Adat bapaneh, syarak balinduang.
Syarak mangato, adat mamakai.
Adat bapaneh, syarak balinduang maksudnya adat bagaikan tubuh, agama sebagai jiwa.
Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan.Syarak mangato, adat mamakai maksudnya
syarak memberikan hukum dan syariat, adat mengamalkan apa yang difatwakan agama.
Kesimpulan piagam ini lazim disebut adat jo syarak sanda-manyanda, kemudian lebih
dikenal lagi dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Dewasa ini wilayah Minangkabau secara administratif mencakup Sumatera Barat, kecuali
Kepulauan Mentawai, dan pemerintah telah memberlakukan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 9 Tahun 2000 di Sumatera Barat tentang anti maksiat untuk menggalakkan program
ABSSBK. Akan tetapi, slogan dan Perda tersebut medapat tanggapan dari berbagai
kalangan, terutama dari kalangan non muslim di Sumatera Barat.

Anda mungkin juga menyukai