Anda di halaman 1dari 23

KONFLIK KEPENTINGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN UTARA

DAN PEMERINTAH KOTA TARAKAN PASCA PEMEKARAN DAERAH


(Studi Tentang Konflik Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II)

Mustajib
Mustajibbengawan01@gmail.com
Aditya Perdana
adperd@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik kepentingan dan


proses penyelesaian konflik kepentingan serta mendeskripsikan aset Pelabuhan Tengkayu I
dan Tengkayu II antara elite pemerintahan pasca terjadinya pemekaran daerah. Penelitian
ini menggunakan metode studi kasus untuk menginterpretasikan dan menggambarkan secara
mendalam munculnya perkembangan konflik kepentingan dengan mengumpulkan data-data
primer dan sekunder yang dihasilkan melalui wawancara dengan narasumber, analisis isi
sebuah teks, dan observasi langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Konflik perebutan pengelolaan aset yang terjadi antara Pemerintah Provinsi Kalimantan
Utara dan Pemerintah Kota Tarakan dipicu karena perbedaan kepentingan dan pendapat
mengenai Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II. Resolusi konflik berbasis
kepentingan dapat menjadi solusi yang tepat dengan menawarkan serangkaian alternatif
menyelesaikan konflik dengan menggunakan pendekatan kolaboratif, kreatif, problem
solving, memelihara hubungan, dan berdaya tahan.

Kata Kunci : Konflik Kepentingan, Pemekaran Daerah, Pengelolaan Aset


CONFLICT OF INTEREST THE GOVERNMENT OF THE PROVINCE OF NORTH
KALIMANTAN AND THE GOVERNMENT OF THE CITY OF TARAKAN POST-
REGIONAL EXPLANATION
(Study on the conflict of Tengkayu Port Assets I and Tengkayu II)

Mustajib, Aditya Perdana


Abstract
This study is to identify the causes of conflicts of interest and the process of resolving
conflicts of interest as well as to describe the assets of the Tengkayu I and Tengkayu II ports
between the government elite after the regional expansion. This research uses a case study
method to interpret and describe in depth the emergence of the development of conflicts of
interest by collecting primary and secondary data generated through interviews with
sources, analysis of the content of a text, and direct field observations. The results showed
that the conflict over asset management that occurred between the North Kalimantan
Provincial Government and the Tarakan City Government was triggered by differences in
interests and opinions regarding the assets of Tengkayu Port I and Tengkayu Port II.
Interest-based conflict resolution can be the right solution by offering a series of alternatives
to resolve conflicts using a collaborative, creative, problem-solving, relationship-maintaing
and resilient approach.

1
I. Pendahuluan

Indonesia sekarang telah menjadi negara yang lebih demokratis, Dengan hadirnya 
otonomi daerah dan desentralisasi yang digunakan pada tahun 1999 setelah jatuhnya
pemerintahan otoriter Presiden Soeharto (Firman, 2013). Desentralisasi muncul sebagai
sistem politik populer di seluruh dunia dan diklaim dapat meningkatkan penyediaan layanan
publik dengan mendekatkan pembangunan kepada rakyat. Sejak munculnya desentralisasi di
Indonesia kekuasaan dan wewenang telah bergeser secara signifikan dari pemerintahan pusat
ke pemerintah daerah (Tessa, 2019). Bahkan pengaruh desentralisasi di Indonesia disebut
sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap politik dan administrasi dan disebut sebagai
big-bang decentralization (Hofman & Kaiser, 2004).

Menurut bank dunia, dari dua puluh negara yang menjadi mitra kerjanya dalam
desentralisasi, ada empat negara yang melaksanakan dentuman besar desentralisasi (big-bang
decentralization) yaitu, Indonesia, Filipina, Pakistan dan Ethiopia. Sedangkan enam belas
negara lainnya melaksanakan desentralisasi secara bertahap (Gradual)(The world bank,
1999-2007). Menurut bank dunia big-bang decentralization adalah “A process wherein the
central level of government announce decentralization, passes laws, and transfer
responsibilities, authority, and/or staff to subnational and/or local governments in rapid
succession” ( The world bank, 1999-2007). Indonesia sebenarnya bukan hanya melakukan
dentuman besar desentralisasi, tetapi melaksanakan revolusi desentralisasi, terutama karena
Indonesia melakukan transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi publik dari
pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah pada dimensi yang sangat luas serta dengan
kecepatan perubahan yang sangat tinggi (Wasistono, 2010).

Berbagai Studi empiris yang dilakukan oleh World Bank menunjukkan bahwa
kesuksesan desentralisasi telah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan sektor
publik, dan berhasil mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan politik. Sebaliknya
ketidak suksesan desentralisasi telah mengancam stabilitas ekonomi dan politik serta
mengganggu penyediaan pelayanan publik. Ketidaksuksesan tersebut misalnya berupa
ketidakpastian aturan main (rule of game) yang mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi
dalam penyediaan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi daerah (Wihana, 2010).
Studi di negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa berlakunya undang-undang
desentralisasi dan otonomi daerah mendorong dilaksanakannya akuntabilitas horizontal,
namun juga menjadi peluang terjadinya saluran (channels) baru bagi praktik penyalahgunaan
kekuasaan seperti korupsi, politik uang, lobi-lobi, suap atau gratifikasi dan kontrol penuh
oleh elite daerah (Wihana, 2010).

Berdasarkan temuan di atas, terdapat beberapa poin penting tentang realitas


desentralisasi Indonesia. Pertama, desentralisasi cenderung menciptakan distribusi peluang
korupsi. Kedua, bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan tidak hanya harus dibaca sebagai
sebuah proposal untuk bersatunya Indonesia tetapi juga dipahami sebagai niat baik untuk
mengembalikan dominasi pemerintah pusat. Ketiga, kebijakan moratorium untuk pemekaran
daerah tidak konsisten dan cenderung menjadi “politics as usual”. Keempat, ide utama
dibalik kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk peningkatan pelayanan
publik dan demokratisasi di tingkat lokal (Haryanto, 2016).

Reformasi teritorial atau pemekaran daerah bukanlah suatu hal yang baru dan sudah
lama berkembang di berbagai kawasan, baik di Eropa, Amerika, Afrika hingga Asia. Di
Kroasia  (Skarica, 2020) menjelaskan bahwa dari tahun 1994 hingga 2006 telah mencapai
pemekaran sebanyak 556 kota madya. Pemekaran daerah di Kroasia terjadi karena tiga faktor

2
yaitu ekonomi, budaya dan politik. Pemekaran daerah didukung karena beberapa alasan : 1)
Untuk mendekatkan lembaga-lembaga demokrasi yang baru berdiri dengan rakyat. 2)
meningkatkan partisipasi publik. 3) memungkinkan aktor politik dan partai politik baru
memantapkan diri di tingkat akar rumput. 4) untuk mencegah kota-kota besar dan kuat
menjadi banteng oposisi politik dan etnis terhadap pemerintah pusat. Sedangkan menurut
Jennifer A Yoder (2003) bahwa pemekaran daerah di Eropa terutama Polandia dan Republik
Ceko terjadi karena gerakan politik kedaerahan. Penjelasan ini menekankan tekanan dari
bawah, biasanya kelompok-kelompok tertentu yang ditentukan oleh ciri-ciri etnis, agama atau
bahasa.

Pemekaran wilayah pada otonomi daerah seakan punya daya tarik tersendiri.
Desentralisasi teritorial, sebagaimana dianut Indonesia, selalu berbasis teritori sebagai
penanda dari yurisdiksi suatu entitas penyelenggaraan otonomi yang didahului pembentukan
suatu daerah otonom. Dalam praktiknya, selain 26 Provinsi dan 293 kabupaten/kota yang
sudah ada pada akhir orba, selama 14 tahun (1999-2014) era desentralisasi kita mencatat laju
pertambahan daerah otonom baru sangat cepat melalui mesin “pemekaran daerah” dengan
rata-rata dua daerah otonomi baru (DOB) lahir setiap bulan membelah tanah air Indonesia,
daerah otonomi baru tersebut menggenapi 542 daerah di Indonesia yaitu 34 provinsi dan 508
kabupaten/kota dalam daftar kemendagri (Jaweng, 2015, hal. 49).

600

505 508
485 491 491 491 495
500
456
440 440
416

400 376
354
341
326
303
300
Provinsi
Kabupaten/Kota

200

100

26 26 30 30 30 32 32 33 33 33 33 33 33 34 34 34

0
9 9 000 00 1 002 00 3 004 00 5 006 00 7 008 00 9 010 01 1 012 01 3 014
19 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Grafik 1, perkembangan DOB dari tahun 1999-2014 (Sumber Kemndagri, 2015)

Menurut Seta Basri (2020) pasca transisi 1998 Indonesia hingga tahun 2020 memiliki
delapan provinsi baru. Provinsi tersebut adalah pemekaran dari provinsi yang ada lebih
dahulu yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi
Banten, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, Provinsi Sulawesi
Barat dan Provinsi Kalimantan Utara. Secara umum pemekaran ke delapan provinsi tersebut
3
merupakan hal yang terlihat urgensinya, dalam pemekaran tersebut memiliki beberapa
masalah serta alasan dimekarkan selain dari masalah geografi wilayah yang luas, misalnya
masalah etnisitas yang mengemuka di Maluku Utara, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau dan di
Banten. Di seluruh wilayah provinsi baru kecuali Papua Barat, inisiatif pembentukan provinsi
baru berasal dari daerah yang merupakan keinginan dari elite daerah.

Sebagai daerah otonomi baru (DOB) Kalimantan Utara, Pemerintah Provinsi


Kalimantan Utara mencakup berbagai aspek yaitu pemerintahan, pembangunan struktur dan
infra-struktur, keamanan terutama di daerah perbatasan, dan kemasyarakatan terutama dalam
peningkatan pelayanan (Samarinda.lan.go.id). Untuk itu perlu ada kerja sama antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah kota dan pemerintah kabupaten yang tergabung
dalam daerah otonomi baru Kalimantan Utara. Selain menjalin kerja sama dengan pemerintah
daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara juga harus menjalin kerjasama dengan
provinsi induk yaitu Provinsi Kalimantan Timur untuk kelancaran target pembangunan.

Salah satu permasalahan yang seringkali muncul sebagai akibat adanya pemekaran
daerah adalah perebutan aset (Simamora, 2013). Permasalahan aset juga berdampak pada
kualitas laporan keuangan pemerintah daerah. Termasuk berdampak pada Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai perebutan
aset kerap terjadi pada daerah yang dimekarkan. Peneliti KPPOD mengatakan biasa yang
diperebutkan adalah infrastruktur fisik dan aset ekonomi daerah seperti Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD). Selain itu, batas wilayah juga seringkali menjadi perebutan antar daerah
induk dengan daerah hasil pemekaran (Eric Permana, Kbr.Id/Nasional, 2013).

Konflik aset pasca pemekaran dapat dilihat dari beberapa daerah yang mengakibatkan
konflik antar pemerintah dengan pemerintah lainnya. Konflik perebutan 6 pasar tradisional di
kota Tangerang Selatan dengan Kabupaten Tangerang. terkendalanya serah terima aset
daerah khususnya aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Beberapa faktor  yang
menjadi penghambat dalam serah terima aset tersebut diantaranya faktor struktural yaitu
perdebatan dalam undang-undang dan peraturan yang digunakan oleh kedua pemerintah,
faktor kepentingan dalam pengelolaan badan usaha milik daerah yang merujuk pada pendapat
asli daerah, faktor antara manusia yaitu perbedaan pandangan antara elite, faktor data yaitu
ketidaksesuaian data yang dibutuhkan untuk dilakukannya serah terima aset pasar tradisional.
Dampaknya adalah pengelolaan pasar tradisional tidak optimal dan semarawut dan
menghambat pembangunan pembangunan pasar (Rizky, 2014).

Perebutan aset di Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Tasikmalaya, salah satunya


adalah alun-alun kota yang diperebutkan oleh dua wilayah tersebut. Sengketa aset terjadi
karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda dalam sengketa tersebut.
Kabupaten Tasikmalaya menginginkan agar penyerahan aset tersebut dibarengi dengan ganti
rugi untuk Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan pihak Kota Tasikmalaya berpegang pada
peraturan yang ada tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Solusi dari perebutan aset ini
adalah diperlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan segera, yang
dalam hal ini adalah pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu pemerintah pusat dan
jika perlu dibuat regulasi (Yuliawati, 2013). Konflik pengelolaan aset tidak hanya terjadi
antara daerah induk dan dan daerah pemekaran bahkan terjadi antara daerah dan pusat karena
ketidak jelasan pembagian aset, misalnya yang terjadi antara Pemerintah DKI Jakarta dengan
Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, jalan tol,
kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Kawasan Kemayoran dan Senayan. Pengelolaan lima aset
tersebut seharusnya dikelola oleh Pemerintah DKI Jakarta sesuai UU 25/1999 namun
Pemerintah Pusat masih enggan menyerahkannya ke Pemerintah DKI (Rizky, 2014). Sama

4
halnya yang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara dengan pemerintah Kota Tarakan terkait
Pelabuhan Tengkayu I dengan Pelabuhan Tengkayu II.

Pasca pemekaran Provinsi Kalimantan Utara, berbagai masalah muncul mulai dari
tampuk pemimpin daerah hingga persoalan sengketa aset. terutama saat UU No 23 tahun
2014 tentang pemerintah daerah menjadi  landasan hukum dalam mengatur hubungan
pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 bab V mengenai
daerah provinsi yang berciri kepulauan dalam pasal 27 daerah provinsi diberi kewenangan
untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya. Kewenangan provinsi
untuk mengelola sumber daya alam baik pengaturan administratif, pengaturan tata ruang,
memelihara keamanan laut dan mempertahankan kedaulatan negara. kewenangan daerah
provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan. Karena peraturan ini, Kota
Tarakan yang berciri kepulauan harus menyerahkan aset mereka yang berada di area pantai
dan laut kepada Provinsi Kalimantan Utara.

Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II adalah aset Kota Tarakan yang
harus diserahkan sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014. Pelabuhan Tengkayu I adalah
pelabuhan yang digunakan untuk jalur transportasi antara pulau yang ada di Kalimantan
Utara dan di luar Kalimantan Utara. Sedangkan Pelabuhan Tengkayu II adalah pelabuhan
yang digunakan untuk bongkar muatan hasil laut terutama dalam perikanan. Persoalan
pengalihan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II adalah aset yang di
pertimbangkan oleh pemerintah Kota Tarakan untuk diserahkan ke Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara. Pemerintah Kota Tarakan tidak menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I
dan Pelabuhan Tengkayu II karena kedua aset ini menghasilkan pendapatan daerah sekitar
puluhan miliar, PAD Tarakan pada tahun 2018 berjumlah 72.401.576.597
(Djpk.Kemenkeu.Go.Id) dalam artian bahwa penyerahan aset pelabuhan ke pemerintah
provinsi akan menurunkan PAD Kota Tarakan setiap tahunnya sebanyak 5 persen. Alasan
lain dari Pemerintah Kota Tarakan dengan DPRD Kota Tarakan tidak menyerahkan aset
adalah belum adanya kesepakatan mengenai komitmen dari Provinsi Kalimantan Utara
mengenai komitmen pengelolaan aset yang diambil alih. Menurut Muddain (Wakil Ketua
DPRD Kota Tarakan) Komitmen yang dimaksud adalah pembinaan masyarakat Tarakan
ataupun bantuan keuangan terhadap Kota Tarakan..

Penyerahan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II sudah menjadi polemik yang
terjadi di Kalimantan Utara dan Kota Tarakan pasca pemekaran daerah. Masa akhir jabatan
Walikota Tarakan Sofyan Raga menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan
Tengkayu II kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dengan dalih bahwa mengikuti
aturan UU No 23 Tahun 2014 (niaga.asia). Sementara plt Walikota Tarakan Khairuddin Arif
Hiadayat mengatakan bahwa dalam penyerahan aset ini ada yang bersifat mutlak dan yang
tidak mutlak, menurutnya yang bersifat mutlak yang harus diserahkan ke Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara adalah penyerahan aset SMA sederajat dan Dinas Kehutanan sementara
untuk Pelabuhan Tengkayu I dan II tidak mutlak karena Pemerintah Kota Tarakan sudah
memiliki UPTD untuk mengelola aset tersebut (tribun Kaltim.co).

Penelitian ini berupaya menjawab pokok persoalan konflik kepentingan antara


Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota Tarakan dalam memperebutkan
aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II pasca pemekaran wilayah Kalimantan
Utara dan penyelesaian konflik antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah
Kota Tarakan mengenai aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II.

5
II. KerangkaTeori
1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Dasar pemikiran
Ralf atas teori ini adalah mengasumsikan bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada
proses perubahan, pertikaian dan konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen
kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk
keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang
memiliki kekuasaan, sehingga dia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (Ritzer dan Goodman, 2005. Hal 153).

Teori konflik memandang bahwa masyarakat bersatu sebab kekangan yang


dipaksakan. Hal tersebut menghasilkan suatu kedudukan pada masyarakat membagi
kewenangan dan kekuasaannya kepada kedudukan lain. Kenyataan tersebut membuat
Dahrendorf mengungkapkan gagasan utamanya, bahwa adanya disparitas pembagian
wewenang selalu sebagai unsur penyebab terjadinya konflik sosial secara terstruktur
(Dahrendorf, 1959. Hal 165). Dahrendorf mengungkapkan bahwa selalu terdapat dua unsur
dalam masyarakat, yaitu konflik dan konsensus (Dahrendorf, 1968) yang dikenal sebagai
teori konflik dialektika. Tidak mungkin terbentuk masyarakat tanpa ada konflik serta
konsensus, serta tak mungkin terjadi konflik kecuali sebelumnya telah terjadi konsensus.
Menurut Dahrendorf, analisis konflik perlu menemukan peranan otoritas pada kedudukan
yang terdapat di masyarakat. Otoritas meniscayakan adanya superordinasi serta subordinasi
walaupun secara implisit. waktu suatu kekuasaan memberikan tekanan terhadap kekuasaan
lainnya, kekuasaan yg ada dalam beberapa macam grup yang saling terhubung
mempertahankannya sebagai sebuah legitimasi, oleh karenanya dapat dicermati menjadi
korelasi otoritas, yang mana satu kedudukan memiliki hak yang bersifat normatif buat
mengatur kedudukan lain (Dahrendorf, 1959. Hal 165).

2. Konsep Resolusi Konflik Gary T. Furlong

Dalam buku Gary T. Furlong (2005) yang berjudul The Conflict Resolution Toolbox
“Models & Maps for Analizyng, Diagnozing and Resolving Conflict” buku ini berfokus
pada jenis model analisis konflik tertentu yang dapat digunakan para praktisi konflik untuk
mendiagnosis situasi konflik, serta mendapatkan beberapa panduan tentang intervensi apa
yang dapat membantu dan mengapa. Gary menjelaskan bahwa kita semua dihadapkan pada
situasi konflik dalam banyak aspek kehidupan kita, baik dalam kehidupan pribadi kita, di
tempat kerja, atau dengan siapa saja yang kita temui. Mengingat betapa umum situasi konflik
dan seberapa sering kita menangani konflik, Anda akan berpikir bahwa kita semua cukup
baik dalam menangani konflik (Gary 2005. Hal 2).

Mengelola konflik secara efektif adalah proses dua langkah sederhana yang dimulai
dengan bagaimana kita menilai konflik yang kita hadapi, diikuti oleh tindakan apa yang kita
putuskan untuk mengatasinya. Setiap kali kita dihadapkan pada suatu perselisihan, hal
pertama yang kita lakukan adalah mencoba memahaminya dengan mencoba menentukan
tentang apa konflik itu. Dengan kata lain, langkah pertama mencoba mendiagnosis konflik.
Setelah kami memutuskan (atau menebak) penyebabnya. Langkah kedua adalah mengambil
beberapa jenis tindakan berdasarkan apa yang kami pikir telah menyebabkannya. Dalam
setiap konflik, kita menggunakan dua langkah ini, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Faktanya, seberapa baik kita dalam mengelola konflik akan didasarkan.

6
Model kepentingan/hak/kekuasaan ini merupakan kerangka dasar yang digunakan
dalam bidang resolusi konflik. Kepentingan/hak/kekuasaan tidak menilai akar penyebab
konflik, melainkan berfokus pada berbagai proses yang digunakan orang untuk menangani
konflik, mengkategorikan semua pendekatan konflik sebagai salah satu tiga jenis yaitu
berbasis kepentingan, berbasis hak, atau berbasis kekuasaan. Model
kepentingan/hak/kekuasaan mendiagnosis karakteristik masing-masing dari tiga jenis.
Akhirnya, model tersebut menawarkan arahan yang luas dalam bekerja dengan masing-
masing dari tiga proses yang berbeda, bersama dengan panduan untuk memilih jenis proses
yang efektif untuk menyelesaikan konflik (Gary, 2005. Hal 22).

III. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus untuk mempelajari, menerangkan, atau
menginterpretasikan sebuah kasus secara terperinci. Melalui studi kasus yang dipilih, peneliti
dapat menggambarkan secara mendalam dan menyeluruh proses muncul dan berkembangnya
suatu konflik kepentingan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota
Tarakan pasca pemekaran daerah (studi tentang konflik aset Pelabuhan Tengkayu I dan
Tengkayu II) serta faktor-faktor penyebab terjadinya konflik kepentingan dan dampaknya
bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota Tarakan. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data primer
dan sekunder, yaitu melalui wawancara dengan narasumber, analisis isi sebuah teks, dan
observasi (Sugiyono, 2009).
IV. Pembahasan

1. Konflik Serah Terima Aset Daerah Kota Tarakan

a. Aset Daerah Kota Tarakan

Proses penyerahan aset dari Kalimantan Timur ke Provinsi Kalimantan Utara tidak
ditemukan masalah yang signifikan, berbeda pasca diresmikannya Undang-Undang No. 23
tahun 2014 mengenai pemerintah daerah mengganti Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
menjadi regulasi resmi mengatur tentang pemerintahan daerah. secara tidak langsung
pemerintah Kota Tarakan harus menyerahkan beberapa aset kepada provinsi Kalimantan
Utara. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 pemerintah Kota Tarakan harus
menyerahkan beberapa asetnya diantaranya adalah hutan mangrove, SMA/SMA Sederajat,
balai benih ikan, laboratorium udang, Pelabuhan Tengkayu I, Pelabuhan Tengkayu II dan
lain-lainnya.

Proses serah terima aset Kota Tarakan kepada provinsi Kalimantan Utara berlangsung
sejak tahun 2018 menurut Teguh Setyabudi (Pjs Gubernur Kalimantan Utara) penyerahan ini
sesuai dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dijabarkan
bahwa pengelolaan pendidikan dan pendidikan khusus, pengoperasian pelabuhan penumpang
regional dan pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil, yang
semula adalah kewenangan pemerintah kabupaten/kota kini diatur menjadi kewenangan
pemerintah provinsi. Ini juga menindaklanjuti surat edaran (SE) Menteri dalam negeri
(Mendagri) No. 120/5953/SJ tanggal 15 oktober 2015 tentang percepatan pengalihan urusan
berdasarkan UU No 23 tahun 2014 serta guna melaksanakan amanat UU tersebut.  Dari hal
itu, maka dilakukan serah terima P3D dari Pemerintah Kota Tarakan kepada Pemerintah
Provinsi Kalimantan Utara untuk beberapa aset yang ada.

7
“Dari tahun 2018 kami pihak kota telah menyerahkan aset kepada provinsi
Kalimantan Utara sesuai dengan amanat undang-undang No 23 Tahun 2014 dengan
nilai aset sekitar 131,5 Miliar yaitu berupa aset tanah senilai sekitar 27,7 Miliar,
peralatan mesin senilai 7,9 Miliar, gedung dan bangunan 80,6 Miliar, jalan irigasi dan
jaringan 3,3 Miliar, konstruksi dalam pengerjaan senilai 11,1 Miliar, dan aset tetap
lainnya sebesar senilai 821 Juta”. (Wawancara dengan bapak Sadriansyah, Kabid
Akuntansi dan aset BPKAD Prov. Kaltara, 13 Februari 2022)

Dibawah ini adalah rincian nilai aset daerah yang telah diserahkan Kota Tarakan
kepada Provinsi Kalimantan Utara.
Tabel. 3.1 Aset daerah yang diserahkan Kota Tarakan kepada Provinsi
Kalimantan Utara
No Aset Daerah Nilai Aset
1 Tanah Rp 27.704.800.000
2 Peralatan Mesin Rp 7.901.946.605.75
3 Gedung dan Bangunan Rp 80.636.795.352.90
4 Jalam, Irigasi dan Jaringan Rp 3.306.000.500
5 Aset Tetap Lainnya Rp 821.146.425
6 konstruksi dalam pengerjaan Rp 11.152.939.600
   Total Rp 131.523.628.483.65.

Dalam tahap penyerahannya diserahkan 2 kali pertama oleh bapak Sofian Raga
(Walikota Tarakan periode 2014-2019) kepada bapak Irianto Lambrie (Gubernur Kalimantan
Utara Periode 2015-2020) diserahkan pada tahun 2018 dan tahap kedua penyerahan
dilakukan oleh bapak dr. Khairul (Walikota Tarakan periode 2019-sekarang) kepada Pjs
Gubernur Kalimantan Utara bapak Teguh Setyabudi diserahkan pada tahun 2020. Sampai
saat ini terdapat juga beberapa aset tetap yang sebagian belum diserahkan yaitu aset tetap di
Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II Tarakan. Yakni, berupa gedung bangunan,
jaringan, peralatan dan mesin.

b. Konflik Pengelolaan Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II di


Kota Tarakan

Pada awal legalitas lahan Pelabuhan Tengkayu I berada di bawah pengelolaan


pemerintah kabupaten daerah tingkat II Bulungan, sesuai dengan sertifikat hak pengelolaan
No 01 Tanggal 04 Oktober 1991 oleh kantor pertanahan Kabupaten Bulungan. Pemerintah
Kabupaten Bulungan menghibahkan asetnya ke pemerintah Kota Tarakan termasuk aset
Pelabuhan Tengkayu I yang dulunya dikenal dengan pelabuhan SDF sesuai dengan lampiran
berita acara serah terima Nomor: 028//190/PLK-XII/1998 pada tanggal 19 Desember 1998. 
Hal ini juga sesuai dengan UU No 29 Tahun 1997 Tentang pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Tarakan. Dalam pasal 13 ayat 1 menjelaskan Untuk kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur
dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bulungan mengatur penyerahan kepada Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan;

1. Jabatannya diperlukan oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan;


2. Tanah, bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak lainnya yang menjadi
milik atau dikuasai atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I

8
Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan yang berada
dalam wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan dan dianggap perlu untuk
diserahkan;
3. Badan Usaha Milik Daerah Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur dan
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan yang tempat kedudukannya terletak
di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan dan dianggap perlu untuk diserahkan;
4. Utang piutang Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bulungan yang kegunaannya
untuk wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan;
5. Perlengkapan kantor, arsip, dokumentasi, dan perpustakaan yang karena sifatnya
Pegawai diperlukan oleh Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan.

Pasca pemekaran wilayah, banyak problem yang terjadi di daerah yang baru
dimekarkan maupun daerah induk pemekaran. Masalah-masalah pada daerah yang baru
dimekarkan antara lain misalnya tidak tersedianya infrastruktur yang memadai, kurangnya
pembiayaan dan personel, ketergantungan dan dari daerah induk dan pemerintah pusat
(Tuwu.2017). Sedangkan, masalah provinsi Kalimantan Utara yang terjadi adalah dengan
kabupaten/kota yang ada didalam provinsi Kalimantan Utara sendiri. Pada dasarnya
permasalahan aset yang ada di Kalimantan Utara dari awal sudah dikelola oleh
kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut. Misalnya Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan
Tengkayu II di Kota Tarakan, Pelabuhan Sebatik di Kabupaten Nunukan harus diserahkan ke
provinsi dengan alasan menjadi pelabuhan regional dan diatur dalam Undang-Undang No 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

 “Masalah pengelolaan Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II, kita lihat
kegunaan pelabuhan itu, itu antara kabupaten dan kota manakala pelabuhan itu sudah
kegiatan nya melayani antara kota dan kabupaten itu langsung ditangani oleh tingkat 1
tapi kalau itu pelabuhan hanya melayani 1 kabupaten itu hanya untuk kabupaten/kota.
Tapi jika kalau sudah 2 wilayah apa lagi 3 sampai 4 itu kewenangan provinsi.
Undang-undang No 23 Tahun 2014 yang mengatur itu, tapi itu untuk pengelolaan,
jadi kalau sudah melayani antar kabupaten itu sudah kewenangan provinsi, seperti
pelabuhan nunukan, nanti pelabuhan lain termasuk juga pelabuhan bulungan itu
provinsi, karena sudah melayani antara kabupaten, termasuk pelabuhan malinau akan
kami ambil nanti”.(Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin
Paliwang, 6 Maret 2022)

Pemekaran daerah akan diikuti oleh pembagian, bahkan pemecahan sumber daya yang
dimiliki daerah. pembagian ataupun pemecahan tersebut terjadi baik di tingkat elit maupun
masyarakat, sehingga konflik merupakan konsekuensi yang sulit untuk dihindari (Rizky,
2014). Salah satu permasalahan yang sering timbul adalah adanya kesenjangan yang lebar
antara daerah dan pusat dan antar daerah-daerah itu sendiri dalam kepemilikan sumber daya
alam, sumber daya budaya, infrastruktur ekonomi, dan tingkat kualitas sumber daya manusia
(eko Prasojo dkk dalam Rizky, 2014).

Konflik perebutan pengelolaan aset yang terjadi antara Pemerintah Provinsi


Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota Tarakan adalah konflik yang dipicu karena perbedaan
kepentingan dan pendapat mengenai aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II.
Secara spesifik konflik dalam tulisan ini bukanlah konflik yang disertai kekerasan yang
secara langsung melibatkan masyarakat dengan masyarakat, pemerintah dengan pemerintah
maupun masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini tercipta karena perbedaan pendapat dan
persaingan dalam upaya untuk mempertahankan dan/atau mendapatkan akses terhadap
otoritas atau kekuasaan dan sumber ekonomi.

9
Permasalahan dalam pengelolaan aset yang terjadi di Kota Tarakan menjadi konflik
antar pemerintah daerah, dimana terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah Kota Tarakan
dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dalam mempertahankan objek yang selama ini
dikuasai, dengan provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah pemekaran sekaligus sebagai
wilayah yang dimandataris oleh Undang-Undang No 23 Tahun 2014 untuk berupaya
mendapatkan objek bernilai yang harus menjadi hak mereka dan Kota Tarakan sebagai
daerah yang ingin tetap mempertahankan objek ini agar tetap masuk dalam kekuasaan
mereka. Hal ini mengakibatkan Tarik ulur pengelolaan aset Pelabuhan Tengkayu I dan
Pelabuhan Tengkayu II yang berada di Kota Tarakan.

Konflik antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah Kota Tarakan
dapat dikaji menggunak teori konflik politik Ralf Dahrendrof, bahwa kepentingan-
kepentingan (Politik) Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dengan pemerinta Kota Tarakan
saling bertentangan terkait dengan penguasaan dan pengelolaan aset daerah yang berada
dalam wilayah Kota Tarakan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara selaku induk (orang tua)
merasa mempunyai otoritas yang sah sementara pemerintah Kota Tarakan selaku bagian dari
provinsi kalimantan utara (anak) harus tunduk pada pemegang otoritas. Mereka
menggunakan otoritas dan mereka yang tunduk padanya memiliki kepentingan yang berbeda
dan kepentingan yang saling bertentangan. Kepentingan kelas yang berkuasa antara lain
mempertahankan legitimasi posisinya yang dominan atau dengan kata lain mempertahankan
status quo, paling kurang sejauh dengan ada hubungannya dengan struktur otoritas itu di
pihak lain kepentingan kelas bawah adalah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada.

Permasalahan dalam pengelolaan aset yang terjadi di Kota Tarakan menjadi konflik
antar pemerintah daerah, dimana terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah Kota Tarakan
dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dalam mempertahankan objek yang selama ini
dikuasai, dengan provinsi Kalimantan utara sebagai daerah pemekaran sekaligus sebagai
wilayah yang dimandatoris oleh undang-undang No 23 Tahun 2014 untuk berupaya
mendapatkan objek bernilai yang harus menjadi hak mereka dan Kota Tarakan sebagai
daerah yang ingin tetap mempertahankan objek ini agar tetap masuk dalam kekuasaan
mereka. Hal ini mengakibatkan Tarik ulur pengelolaan aset Pelabuhan Tengkayu I dan
Pelabuhan Tengkayu II yang berada di Kota Tarakan.

Awal konflik antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah Kota
Tarakan adalah saat diresmikannya undang-undang No 23 tahun 2014 tentang pemerintah
daerah menggantikan undang-undang 32 tahun 2004, dimana di dalam undang-undang 23
Tahun 2014 mengatur mengenai kewenangan urusan pemerintah dalam undang tersebut
diatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.

“Yang ramai ini masalah Pelabuhan SDF (Pelabuhan Tengkayu I) sempat ramai
didiskusikan kemarin di perebutkan juga dan akhirnya karena kewenangan undang-
undang 23/2014 akhirnya dialihkan ke pemerintah provinsi (2018) dan yang terakhir
Tengkayu II begitu juga akhirnya UPT yang dulu mengelola disitu sudah dialihkan ke
pemprov juga. Dan semua aset Ini ada 3 aset yang dikelola Pemerintah Kota yang PTI
sedangkan Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II sudah diserahkan ke
pemerintah provinsi karena ketentuan kewenangan”. (Wawancara dengan Achmad
Usman Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kalimantan Utara, 19 Februari 2022)

Sementara itu dari pihak Pemerintah Kota Tarakan sejak awal tidak ingin
menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II dengan beberapa

10
alasan. Pertama, menurut Plt. Walikota Tarakan tahun 2018 bahwa penyerahan aset ada yang
bersifat mutlak dan ada yang bersifat tidak mutlak, yang bersifat mutlak yang telah diatur
dalam undang-undang 23/2014 yaitu pendidikan atau penyerahan aset SMA sederajat.
Sedangkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II itu tidak bersifat mutlak
untuk diserahkan, alasannya adalah selama ini Pemerintah Kota tarakan masih memiliki
UPTD untuk mengelola pelabuhan tersebut teruma pelabuhan perikanan Tengkayu II
(TribunKaltim.co). Kedua, menurut muddain wakil ketua DPRD Kota Tarakan tahun 2014-
2019 bahwa tidak diserahkannya Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II ke
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara adalah tidak ada kepastian komitmen dari pemerintah
provinsi Kalimantan utara yaitu mekanisme pembinaan terhadap masyarakat Kota Tarakan
(TribunKaltim.co). sementara menurut Irianto Lambrie pengembalian aset tidak perlu ada
komitmen apapun karena sudah menjadi aturan yang ada di undang-undang No 23 Tahun
2014. Ketiga, Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II adalah penyumbang PAD
terbesar Kota Tarakan setelah pendapatan hotel, restoran dan rumah makan. Menurut
Maryam kepala Badan Pengelolaan Retribusi dan Pajak Daerah (BPRPD) Kota Tarakan
bahwa jika kedua pelabuhan ini sudah dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara
secara otomatis pendapatan Kota Tarakan akan menurun secara drastis. Kemungkinan itu bisa
turun sampai 5%. Alasan keempat, Pemerintah Kota Tarakan sadar atas potensi keunggulan
geografis pulau tarakan. Bentuk perhatian pemerintah Kota Tarakan terhadap pelabuhan laut
merupakan bagian perencanaan strategis jangka panjang pembangunan Kota Tarakan hingga
tahun 2023. Dengan berlakunya undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan
daerah yang mencabut undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
membawa konsekuensi baru terkait pemetaan urusan pemerintahan konkuren antar tingkat
pemerintahan. Terjadi beberapa perubahan mendasar terkait pembagian urusan pemerintahan
konkuren tersebut. Ada beberapa urusan pemerintah konkuren yang sebelumnya merupakan
kewenangan kabupaten/kota kemudian menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Konflik aset daerah merupakan konflik elit pemerintah daerah yang sudah dimasuki
oleh kepentingan pribadi (personal interest) dan terutama kepentingan politik (political
interest). Kedua pimpinan daerah terutama Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie
memanfaatkan masalah aset daerah ini sebagai kontestasi politik untuk menekan pemerintah
Kota Tarakan dan kembali menjadi orang nomor satu di Kalimantan Utara. Dalam hal ini aset
diposisikan sebagai capital sekaligus sebagai simbol otoritas sebagaimana disinyalir oleh
Ralf Dahrendorf. Kepentingan penguasa dalam hal ini Gubernur Kalimantan Utara Irianto
Lambrie adalah mempertahankan otoritas, kekuasaan dan pengaruh dalam wilayah Provinsi
Kalimantan Utara dan menekan figur-figur lainnya. Sebaliknya dr. Khairul selaku Walikota
Tarakan sekaligus mantan sekda Kota Tarakan di periode Sofian Raga, memberikan counter
attack dan perlawanan yang mempertahankan segala aset yang ada di Tarakan dan
menjadikan aset Kota Tarakan sebagai kekuatan untuk berhadapan dengan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian kata Ralf Dahrendorf, kepentingan kelas
dominan dan kelas dominasi tidak akan pernah sejalan.

2. Faktor Penyebab Konflik Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II


Tarakan

Faktor Penyebab permasalahan aset di daerah pemekaran ini dapat diketahui tidak
hanya karena faktor tunggal menurut Boedi Wijardjo (2001) menerangkan bahwa sumber
pokok konflik atas sumber daya alam pada umumnya bersifat struktural, dengan melibatkan
unsur-unsur lainnya. Adapun masing-masing faktor tersebut adalah 1) faktor struktural, 2)
faktor kepentingan, 3) faktor nilai, 4) faktor hubungan antara manusia, dan 5) faktor data.

11
Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan
dalam serah terima dan pengelolaan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II
di Kota Tarakan.

Faktor struktural

Yang dimaksud masalah struktural di sini adalah sebab-sebab konflik yang berkaitan
dengan kekuasaan, wewenang formal, kebijakan umum (baik dalam bentuk peraturan
perundangan maupun kebijakan formal lainnya), dan juga persoalan geografis dan faktor
sejarah.  Peneliti menemukan penyebab permasalahan terjadi yang pertama adalah masalah
hukum atau wewenang formal yaitu perdebatan berasal dari persoalan peraturan perundang-
undangan yaitu undang-undang No 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan daerah yang akhir
nya digunakan oleh Provinsi Kalimantan Utara untuk menekan pemerintah Kota Tarakan
agar segera menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II. Sedangkan
di pihak tarakan bertahan menggunakan perda No 4 tahun 2012 tentang rencana tata ruang
wilayah (RTRW) sebagai bagian dari perencanaan Kota Tarakan hingga tahun 2023.

Permasalahan kedua adalah masalah geografis, Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan


Tengkayu II tepat berada di pulau tarakan. Karena itulah Kota Tarakan sadar akan potensi
dan keunggulan geografisnya. Dan menjadikan salah satu alasan utama tidak ingin
menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II. Walaupun pada dasarnya Kota
Tarakan juga masuk dalam Provinsi Kalimantan Utara. Keberadaan Pelabuhan Tengkayu I
dan Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan diakui memiliki peran yang penting baik oleh
Pemerintah Kota Tarakan maupun oleh kabupaten lainnya yang berada di yang berada
diwilayah provinsi Kalimantan Utara. Peran penting yang dimiliki sosial lainnya. Melihat
pentingnya posisi Kota Tarakan khususnya bisa dilihat dari transportasi laut, maka
selayaknya perhatian khusus diberikan terhadap fasilitas Pelabuhan Tengkayu I dan
Pelabuhan Tengkayu II yang berfungsi sebagai pelabuhan penghubung barang dan manusia
di Kalimantan Utara. Indikator lain, bahwa Kota Tarakan merupakan kota yang memegang
peran penting dalam perekonomian di Provinsi Kalimantan Utara adalah jumlah penduduk.
Bila dilihat dari populasi penduduk, kota tarakan memiliki jumlah penduduk terbanyak di
Kalimantan Utara, meskipun luas wilayahnya terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa Kota
Tarakan menjadi pusat perekonomian dan pusat aktivitas sosial di wilayah Provinsi
Kalimantan Utara.

Faktor Kepentingan

Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan


yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan ini
terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban. Dalam hal ini kepentingan yang paling
dirasakan adalah pengelolaan potensi ekonomi dari aset yang diperebutkan. Karena kedua
aset pelabuhan ini adalah penyumbang PAD terbesar setelah perhotelan dan rumah makan
untuk Kota Tarakan. Karena Aset telah diserahkan dari tahun 2018 maka Aset Pelabuhan
Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II kini dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan
Utara. Akan tetapi menurut pak Heri Operasional Pelabuhan Tengkayu I masih menunggu
keputusan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dengan Kota Tarakan atas pengelolaan
dari Pelabuhan Tengkayu I apakah akan kembali menjadi wewenang dari Pemerintah Kota
Tarakan melalui Perusahaan Umum Daerah (Perumda) ataukah akan tetap dikelola oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.

12
“Memang Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II ini telah diserahkan dari
Kota Tarakan ke provinsi saya melihat dari segi manajemen atau ekonomi pendapatan
Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II salah satu penyumbang PAD,
mungkin dari segi retribusinya kemudian kemudian dari aspek pendapatannya yang
dapat menyumbang PAD mungkin untuk masalah pengaturannya biasa ditanyakan ke
Bapenda, kalua pengelolaan Pelabuhan Tengkayu I bisa di tanyakan di Dinas
Perhubungan, sedangkan Pelabuhan Tengkayu II bisa di tanyakan di UPT Perikanan
atau di Dinas Kelautan dan Perikanan” (Wawancara dengan bapak Sadriansyah, Kabid
Akuntansi dan Aset BKAD Prov. Kaltara, 13 Februari 2022)

Berikut ini adalah pendapatan PAD Kota Tarakan dan PAD Provinsi Kalimantan Utara
baik sebelum penyerahan Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II dan setelah
penyerahan. Yang ditampilkan dalam tabel.

Tabel 3.2 Pendapatan Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkanyu II


Pendapatan
PAD Kota PAD Kalimantan
No Tahun Pelabuhan Pelabuhan
Tarakan Utara
Tengkayu I Tengkayu II
 1 2015  Rp 113 Miliar  Rp 320 Miliar  Rp 1,85 Miliar  Rp 1,4 Miliar
 2 2016  Rp 108 Miliar  Rp 320 Miliar  Rp 2,8 Miliar  Rp 1,8 Miliar
 3 2017  Rp 102 Miliar Rp 419 Miliar  Rp 3,1 Miliar  Rp 1,95 Miliar
 4 2018  Rp 109 Miliar  Rp 507 Miliar  Rp 3,1 Miliar  Rp 2.02 Miliar
 5 2019  Rp 75 Miliar  Rp 560 Miliar  Rp 3,6 Miliar  Rp 2,92 Miliar
 6 2020  Rp 110 Miliar  Rp 590 Miliar  Rp 3,9 Miliar  Rp 3.08 Miliar
 7 2021  Rp 90 Miliar  Rp 655 Miliar  Rp 4,02 Miliar  Rp 2,14 Miliar

Sumber UPT Tengkayu I dan UPT Tengkayu II

Dari tabel diatas bahwa pendapatan Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu
II selalu meningkat setiap tahunnya. Begitu juga dengan PAD dari provinsi Kalimantan Utara
bahkan di tiga tahun terakhir PAD Provinsi Kalimantan Utara memperlihatkan trend yang
positif. Berbeda dengan PAD Kota Tarakan yang tiap tahunnya menurun, hanya di tahun
2020 PAD tarakan menunjukkan kenaikan namun turun lagi di tahun 2021.

Faktor Nilai

Faktor yang dimaksud di sini adalah konflik disebabkan oleh sistem-sistem


kepercayaan yang tidak bersesuaian entah itu dirasakan atau memang ada. Dalam hal ini
peneliti tidak menemukan nilai-nilai khas yang dimiliki oleh masyarakat dari aset Pelabuhan
Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II.

Faktor Hubungan antar Manusia

Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi emosi negatif yang kuat,
salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang.
Dalam hal ini adanya statement-statement dikalangan elit pemerintah Kota Tarakan dan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara yang cenderung tidak sepaham.  Perlu di pahami
bahwa konflik antara pemerintah Kota Tarakan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan
Utara mengenai aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II lebih banyak terjadi
di masa jabatan Plt Walikota Tarakan Khaeruddin Arief Hidayat dan Walikota terpilih dr

13
Khairul yang saat itu juga menjabat sebagai sekretaris daerah Kota Tarakan dengan Gubernur
Kalimantan Utara saat itu bapak Irianto Lambrie.

“Pada saat pemerintah yang sebelumnya pak irianto gubernur yang pertama telah
mengambil alih Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II tetapi setelah
berjalan pemerintahan ini Pemerintah Kota Tarakan merasa bahwa PAD Kota Tarakan
ini bagian dari Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II sehingga
menimbulkan Tarik menarik antara pemerintah Kota Tarakan dengan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Utara mengenai Aset ini”. (Wawancara Dengan Ibu Nurhayati
andris Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Utara, 17 Februari 2022)

Pasalnya Gubernur Irianto Lambrie tidak hanya pernah bermasalah dengan Pemerintah
Kota Tarakan akan tetapi juga pernah bermasalah dengan Udin Hianggio Wakil Gubernur
sekaligus pernah menjabat sebagai Walikota Tarakan periode 2009-2014, pada tanggal 9
Oktober 2017 Irianto Lambrie menulis surat teguran kepada Udin Hianggio, setidaknya ada 6
poin dalam surat teguran tersebut semuanya berdasarkan pasal 66 ayat (2) Undang-undang
No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, salah satu poin teguran yakni Irianto
Lambrie menyebut Udin Hianggio tidak melaksanakan tugas dan melaporkan tugas-tugas,
Udin Hianggio juga dinilai tidak mematuhi pelaksanaan tertib administrasi dalam
menjalankan perjalanan dinas tanpa izin (News.detik.com). Selain itu Irianto Lambrie juga
pernah bermasalah dengan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dapil Kalimantan
Utara terkait persoalan aset gedung DPRD Kota Tarakan. Deddy mengkritik Irianto Lambrie
terhadap permohonan hibah Aset tanah dan bangunan yang diajukan Pemerintah Kota
Tarakan. Bahkan, pemerintah provinsi meminta pemerintah Kota Tarakan untuk
menyerahkan kembali Aset tanah dan bangunan milik pemerintah provinsi kepada provinsi
dalam jangka waktu 6 bulan. Selama ini, Aset tanah dan bangunan itu dipinjam pakai oleh
pemerintah Kota Tarakan sebagai Gedung DPRD (Gesuri.id).

Faktor Data

Konflik data terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat
mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda,
atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Dalam penelitian ini permasalahan data
Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II tidak ada permasalahan dalam
penyerahannya dari Pemerintah Kota Tarakan ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.
Pada tahun 2018 baik personel, sarana dan prasarana dan seluruh dokumen terkait
pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Tengkayu I Kota Tarakan,
secara yuridis formal telah diserahterimakan ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara oleh
Pemerintah Kota Tarakan (Antara news Kaltara). Usai dilakukannya penyerahan aset secara
simbolis oleh pemerintah Kota Tarakan yang diwakili oleh Sofian Raga kepada pemerinta
provinsi Kalimantan utara diwakili oleh Gubernur Irianto Lambrie. Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara membentuk percepatan penyerahan personil, pembiayaan, perlengkapan
dan dokumentasi (P3D) Tengkayu I. Berkaitan dengan kekuatan personil yang telah
diserahkan terdapat 9 orang pegawai negeri sipil dari 14 orang, dan 30 orang untuk tenaga
kontrak.

Setelah Pelabuhan Tengkayu I diserahkan, menyusul selanjutnya Pelabuhan Tengkayu


II. Menurut Amir Bakry kepala dinas kelautan dan perikanan Kalimantan utara, mengatakan
bahwa Aset yang akan diserahkan berupa bangunan, peralatan beserta dengan personil yang
terdiri dari 8 PNS, 32 tenaga kontrak. Secara data dan dokumen penyerahan Pelabuhan

14
Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah
dalam penyerahan tersebut diserahkan oleh Sofian Raga yang saat itu menjadi akhir
jabatannya sebagai Walikota Tarakan dan dikalahkan oleh sekretaris daerah Kota Tarakan
yaitu dr Khairul Walikota Tarakan yang sampai saat ini masih memperjuangkan untuk
mendapatkan Aset dari Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II. Menurut
pernyataan dr Khairul bahwa yang menyerahkan Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan
Tengkayu II adalah Sofian Raga, sedangkan dr Khairul hanya menyerahkan aset SMA/SMK
sederajat kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.

3. Proses Resolusi Konflik Aset Pelabuhan Tengkayu I Dan Pelabuhan Tengkayu


II Antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara Dan Pemerintah Kota
Tarakan

1. Proses penyelesain konflik


Diagnosis dengan model kepentingan/hak/kekuasaan secara diagnostik, model ini
berfokus pada banyak proses dan pendekatan untuk menyelesaikan perselisihan yang
digunakan orang, daripada mengkategorikan atau menilai konflik itu sendiri. Model ini
mengidentifikasi tiga kategori dasar atau jenis proses yang digunakan untuk menyelesaikan
konflik, dan menyatakan bahwa semua pendekatan penyelesaian sengketa yang digunakan
orang termasuk dalam salah satu dari tiga kategori (Gary, 2005. Hal 110) ini:

a. Proses Berbasis Kepentingan

Proses berbasis kepentingan ini adalah pendekatan yang mencoba mendamaikan atau
menemukan solusi yang memenuhi kepentingan para pihak. Kepentingan mengacu pada
keinginan, kebutuhan, harapan, dan ketakutan para pihak. Pendekatan berbasis minat
cenderung lebih konsensual, dan berhasil ketika kedua belah pihak mendapatkan cukup
banyak minat untuk menyepakati solusi.

Untuk menyikapi permasalahan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II


Kota Tarakan, agar keinginan dan harapan kedua belah pihak yaitu pemerintah Kota Tarakan
ingin agar aset mereka kembali dikelola oleh mereka sedangkan keinginan dari Pemerintah
Provinsi Kalimantan Utara dalam hal ini adalah Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin
Paliwang untuk merealisasikan janji kampanyenya. Maka Pemerintah Provinsi Kalimantan
Utara meminta agar pemerintah Kota Tarakan membentuk Perumda pelabuhan yang akan
mengelola aset tersebut. Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan perumda
pelabuhan sudah diusulkan pemerintah Kota Tarakan ke dewan perwakilan rakyat daerah
(DPRD) untuk dibahas. Bahkan DPRD Kota Tarakan telah membentuk panitia khusus
(pansus) untuk membahas masalah ini.

“Harapan kita sebenarnya di perjanjian itu adalah bagi hasil atau perhatian provinsi ke
kota. Ini adalah hal yang tidak pernah terealisasi dari gubernur pertama. Nah, ini yang
sebenarnya menjadi harapan. Dan mungkin ini yang ditangkap oleh gubernur sekarang.
Dalam konteks kepentingan akhirnya sekarang berbalik provinsi kaltara bersedia tidak
menyerahkan kembali dalam kontek PAD yang bisa di dapat selama ini dari pelabuhan
kemudian kembali dikelola oleh Kota Tarakan melalui badan usaha yang hasilnya akan
berbagi tidak lagi full. Ya kalau dari gubernur sendiri dari pernyataannya di media
mereka tidak permasalahkan itu. Karena kemajuan kabupaten Kota itu adalah kemajuan
kaltara. Namun kita belum melihat hal ini diterjemahkan oleh dinas teknis di
pemerintah kaltara. Namun itu yang akan terus bergulir, apa lagi masa sekarang
22,23,24 pilkada lagi. Jadi saya melihat seperti itu dari sepengetahuan saya. Karena

15
saya tdk terlibat langsung di masa proses. (Wawancara dengan Bapak Catur Hendratmo
Kabag perekonomian dan Sumber Daya Alam Kota Tarakan, 23 Februari 2022)

Proses penyelesain konflik berbasis kepentingan menggunakan proses negosiasi,


mediasi, pemecahan masalah bersama, curah pendapat dan dialog sebagai pendekatan utama.
Dalam masalah aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II baik pihak pemerintah Kota
Tarakan dan pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara sudah sering melakukan
pendekatan, negosiasi atau dengar pendapat. Salah satu bukti terjalinnya kerja sama itu
adalah dengan adanya perintah pembentukan raperda perumda.

b. Proses Berbasis Hak

Proses berbasis hak Ini adalah pendekatan yang dicirikan oleh pihak-pihak yang
menegaskan atau berfokus pada keunggulan hak satu pihak atas hak-hak pihak lain. Hak
berasal dari banyak sumber, termasuk undang-undang, undang-undang, konvensi, praktik
masa lalu, kebijakan, kontrak, dll. Proses berbasis hak cenderung bersifat permusuhan, dan
fokus pada mempromosikan hak seseorang sambil meminimalkan dan mendelegitimasi hak
pihak lain. Model penanganan berbasis hak memiliki kekuatan tersendiri seperti adanya
prinsip dan standar hak yang dapat diterapkan kepada siapa saja, sehingga memiliki
legitimasi dan sering dipandang lebih obyektif. Proses berbasis hak juga memiliki kelemahan
karena hasilnya sering bersifat menang kalah.

Dalam penyelesaian pengembalian aset Pelabuhan Tengkayu I dan II ini akan


diserahkan ke kementerian dalam negeri untuk dievaluasi. Setelah melakukan koordinasi
mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas kelanjutan peralihan aset pelabuhan
tengkayu dengan berbagai masalah dan membahas solusi agar pemerintah Kota Tarakan dan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dapat menyelesaikan pengembalian aset ini tanpa
melanggar undang-undang. Karena sesuai undang-undang aset ini tidak dapat di serahkan
seutuhnya. Hal ini tentu saja kan membuat pihak pemerintah Kota Tarakan kembali kecewa
tidak dapat mendapatkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II secara utuh.
Namun hal ini lebih baik dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya yang tidak
memberikan apapun kepada pemerintah Kota Tarakan.

“Dari segi regulasi tidak bisa diserahkan sepenuhnya hanya pengelolaan saja, sekarang
masih dikelola oleh provinsi, dan sekarang masih digodok oleh tarakan adalah sebuah
perumda pelabuhan untuk mengelola pelabuhan dan masih tahap evaluasi, rancangan
sudah ada dan sementara dievaluasi dari kementrian, kami dari pihak provinsi hanya
meneruskan ke mendagri dan mereka mendagri sementara mengevaluasi, mulai dari
persyaratanya coba baca di PP 54 2017 BUMD. Yang ditakutkan begitu keluar dari
hasil mendagri kemungkinan besar perumda pelabuhan ini ditolak, karena kami dari
provinsi sudah menjelaskan ke kementerian bahwa pelabuhan ini lintas kabupaten
dalam provinsi, dari segi kewenangan bukan kewenangan Kota Tarakan”. (Wawancara
bapak Arifin Staf hukum Gubernur Provinsi Kalimantan Utara, 19 februari 2022)

Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II yang awalnya akan diserahkan
oleh pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara kepada pemerintah Kota Tarakan berubah
menjadi hanya pengelolaan saja. Menurut Zainal Arifin Paliwang meski pengelolaan
pelabuhan tengkayu diserahkan ke pemerintah Kota Tarakan, tapi untuk pembangunan
fisiknya masih akan tetap dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran pendapatan belanja
daerah (APBD) Kalimantan Utara. Jadi menurut Zainal Arifin Paliwang hal ini berbentuk
kerja sama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah Kota Tarakan,

16
bukan penyerahan aset. Artinya, pendapatan dalam bentuk retribusi dari pelabuhan itu nanti
akan di bagi hasil antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah kota
(radartarakan.jawapos.com)

“Sifatnya kerjasama, pengelolaan tetap di provinsi karena itu ada aturannya dan di
kerjasama kan bisa, nanti bagi hasil sama kota, tapi mereka harus membuat dulu
perusahaan kepelabuhanan untuk jalan menuju kerjasama, tapi jika mereka belum
membentuk perusahaan pelabuhan itu tidak bisa kita kerja sama kan, jadi nanti dalam
kawasan pelabuhan itu kita bisa kerjasama di beberapa lokasi, misalnya kita berikan
lokasi ini kota dia mengelola disitu nanti kita bagi hasil dari pendapatan yang didapat”.
(Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin Paliwang, 6 Maret
2022)

c. Proses Berbasis Kekuasaan

Proses berbasis kekuasaan Pendekatan ini dicirikan oleh pihak-pihak yang membawa
semua sumber daya yang mereka miliki melawan pihak lain dalam upaya untuk menang.
Biasanya, proses berbasis kekuasaan sangat bertentangan, dan terkadang diterapkan terlepas
dari hak para pihak. Ini adalah pendekatan self-help yang primordial dan dalam banyak hal
primitive, dengan mengabaikan tatanan kelembagaan yang ada dan hak pihak lain.
Penggunaan ancaman, intimidasi, protes dan kekerasan fisik terhadap lawan adalah bagian
dari pendekatan ini. Upaya lain adalah dengan membuat keputusan secara sepihak, termasuk
melalui pengambilan suara yang memastikan kemenangan karena jumlah mayoritas. Dengan
demikian pendekatan ini dilakukan dengan mengabaikan hak dan kepentingan orang lain
yang menjadi lawan atau musuh, dengan tujuan mencapai keinginan dan kepentingan sendiri.
Pendekatan ini juga ditandai dengan suasana bermusuhan, yang menyulitkan pihak-pihak
yang bertikai melakukan kompromi dan kerjasama menyelesaikan masalah dan konflik
mereka. Penanganan basis kekuasaan ini dibedakan kepada dua bentuk utama, yaitu
kepatuhan kepada otoritas dan pertukaran instrumental (Davies, 2004 dalam Samsu 2013)

Proses penanganan berbasis kekuasaan ini di awal konflik aset Pelabuhan Tengkayu I
dan Tengkayu II sudah dilakukan dimana otoritas para pemimpin kedua pihak diperlihatkan
antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan pemerintah Kota Tarakan. Dengan
menggunakan proses penanganan ini bahkan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 juga
merupakan resolusi dari konflik aset Pelabuhan Tengkayu Ini, walaupun juga menjadi
penyebab utama terjadinya konflik perebutan aset.

“Undang-Undang No 23 tahun 2014 itu termasuk solusi juga karena perintah undang-
undang beberapa aset daerah ini diusulkan ke provinsi menjadi aset provinsi karena
terbentuknya pemerintahan baru. Pemerintahan baru tentunya harus punya aset, baik
aset hibah dari provinsi lama, dan juga termasuk aset yang tertulis menjadi wewenang
provinsi di Undang-Undang No 23 Tahun 2014”. (Wawancara dengan Bapak Udin
Hianggio, Wakil Gubernur Kalimantan Utara, periode 2016-2021, 15 Maret 2022)

Termasuk penyerahan aset tengkayu I dan Tengkayu II yang dilakukan oleh walikota
Tarakan (Sofian Raga) saat tahun 2018 itu juga berlandaskan otoritas dan berdasarkan
Undang-Undang No 23 Tahun 2014. Sebelum diserahkan kedua aset ini menjadi bahan
perdebatan antara pihak pemerintah provinsi dan pemerintah Kota Tarakan.  Aset-aset
tersebut harus diserahkan karena mengikuti aturan undang-undang, selain itu juga
berdasarkan rencana pengembangan besar-besaran yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara. Sehingga membutuhkan status yang jelas agar bisa mendapatkan bantuan

17
dari pusat. Dalam penyerahan aset di zaman Sofian Raga ada yang mengatakan bahwa
penyerahan itu dilandaskan sakit hati karena kalah dalam pemilihan Walikota Tarakan.
Namun ada juga yang beranggapan bahwa penyerahan itu sudah benar atas perintah undang-
undang dan wewenang dari walikota.

“Saya kira begini dalam sesuatu hal,  khususnya dalam proses pengambilan kebijakan
kan ada dinamika ya, dinamika itu memang pasti terjadi, tetapi dinamika itukan tidak
kemudian berkepanjangan pasti ada komunikasi-komunikasi yang terbangun dan
kemudian komunikasi itu menimbulkan suatu keputusan yang pada akhirnya pada saat
itu pemerintahan sebelumnya itu kemudian menyerahkan tentunya kewenangan
pemerintah dalam hal ini walikota pada saat itukan punya kewenangan untuk itu
kemudian dalam perjalanannya akan menginginkan untuk dikelola kembali itu juga
suatu proses dan itulah kondisi yang terjadi sama dengan covid tiba-tiba di ptn, tiba-tiba
di lockdown lagi, dinamika memang pasti terjadi. Nah sejauh mana tingkat kedewasaan
seseorang untuk melihat kondisi seperti itu”. (Wawancara dengan Muhammad Yusuf,
Anggota DPRD Kota Tarakan, 25 Februari 2022)

Hal ini adalah solusi dari penanganan berbasis kekuasan dimana Sofian Raga
menyerahkan aset tersebut secara sepihak kepada Irianto Lambrie Gubernur Kalimantan
Utara saat itu. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Zainal Arifin
Paliwang yang menggunakan otoritasnya sebagai gubernur terpilih ingin mengembalikan aset
Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II karena janji politik. Pada dasarnya solusi ini akan
menghasilkan win-lose dalam artian bahwa tetap akan ada pihak yang dirugikan dalam hal
ini, proses berbasis kekuasaan ini tidak jauh berbeda dengan proses hak.

2. Saran Model Resolusi Konflik

Pelabuhan Tengkayu I sebelumnya pernah dikelola oleh pihak swasta yaitu CV.
Camfilo lalu kembali dikelola oleh pihak-3 Perusda Kota Tarakan, sampai akhirnya dikelola
oleh UPT Pelabuhan Tengkayu I di bawah wewenang Dinas Perhubungan Provinsi
Kalimantan Utara dan rencana terbaru adalah dikembalikan ke perumda Kota Tarakan.
Menurut PP 54 Tahun 2017 tentang badan usaha milik daerah menjelaskan, perusahaan
umum daerah (Perumda)  merupakan BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu
daerah dan tidak terbagi atas saham. Kedudukan Perumda sebagai badan hukum diperoleh
pada saat peraturan daerah yang mengatur mengenai pendirian perusahaan umum daerah
mulai berlaku. Pendirian perusahaan umum daerah diprioritaskan dalam rangka
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi
daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik.

“Salah satu acuan untuk tindak lanjut perumda kan harus ada regulasi perdanya karena
pembentukan perumda apapun namanya nanti tapi dasarnya harus perda dulu, ketika
misalnya ada perda yang kemudian perda dijadikan dasar acuan regulasi untuk
perumda, sehingga perumdalah yang diberikan otorita untuk menjalankan kegiatan
yang ada di tengkayu. perumda itu adalah salah satu usaha yang secara benar di
bawah kendali pemerintah untuk melaksanakan kegiatan usaha contoh misalnya
PDAM, PDAM Itukan salah satu kegiatan usaha yang dibawah kendali pemerintah
sesuai dengan peraturan kementerian dalam negeri, sama dengan perumda gas,
perumda energi, ada perumda aneka usaha. Itu salah satu usaha dibawah kendali

18
pemerintah dalam bentuk perumda yang kemudian diijinkan oleh pemerintah melalui
peraturan menteri dalam negeri”.(Wawancara dengan Muhammad Yusuf, Anggota
DPRD Kota Tarakan, 25 Februari 2022)

Kasus Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II tidak dapat dikelola oleh perusda kota
tarakan, alasannya adalah karena akan bertentangan dengan undang-undang No 23 Tahun
2014 tentang pemerintahan daerah. perumda yang digodok oleh pemerintah kota tarakan
untuk saat ini masih dalam tahap proses di kementerian dalam negeri, dan menunggu evaluasi
dari kementerian dalam negeri karena menurut PP 54 Tahun 2017 tentan BUMD bahwa
perumda yang akan dibentuk akan di evaluasi oleh kementerian dalam negeri. Bukan menjadi
alasan akhir Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara menurunkan wacana mereka untuk
menyerahkan Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II ke pemerintah tarakan menjadi
model kerjasama pengelolaan.

“Pembentukan perumda adalah wacana pemerintah kota tarakan saat ini. Akan tetapi
itu belum selesai dalam artian perumda ini masih proses apakah bisa atau tidak kita
tunggu lagi evaluasi nya dari kementerian karena sesuai dengan PP UMD apa bila ada
pendirian baru itu di analis oleh kemendagri di bagian UMD karena pendirian banyak
syaratnya, misalnya analisis kelayakan usaha, analisis kebutuhan masyarakat untuk
pendirian perumda”. (Wawancara bapak Arifin Staf hukum Gubernur Provinsi
Kalimantan Utara, 19 februari 2022)

Resolusi konflik Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II bukan berarti tidak ada
solusi, maka dari itu penulis memilih menyarankan menggunakan proses resolusi model
kepentingan, dimana menurut model berbasis kepentingan ini menawarkan serangkaian
alternatif menyelesaikan konflik. Kekuatan pendekatan ini menurut Furlong (2005) adalah
kolaboratif, kreatif, memecahkan masalah, memelihara hubungan, dan berdaya tahan. Seperti
alternative yang digunakan dalam PP 54 Tahun 2017 tentang BUMD tidak hanya
menjelaskan Perumda tapi juga menjelaskan mengenai Perusahaan perseroan daerah
(Perseroda). Dalam PP 54 Tahun 2017 menjelaskan bahwa Perseroda merupakan BUMD
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau
paling sedikit 51%o (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh 1 (satu) Daerah. Jika
menggunakan perseroda pemerintah kota tarakan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara
tidak hanya bagi hasil akan tetapi juga berbagi untuk mengelola dan membiayai Aset
Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II

V. Kesimpulan
1. kesimpulan

Konflik perebutan pengelolaan aset yang terjadi antara Pemerintah Provinsi


Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota Tarakan adalah konflik yang dipicu karena perbedaan
kepentingan dan pendapat mengenai Aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II.
Secara spesifik konflik dalam tulisan ini bukanlah konflik yang disertai kekerasan yang
secara langsung melibatkan masyarakat dengan masyarakat, pemerintah dengan pemerintah
maupun masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini tercipta karena perbedaan pendapat dan
persaingan dalam upaya untuk mempertahankan dan/atau mendapatkan akses terhadap
otoritas atau kekuasaan dan sumber ekonomi.

Awal konflik antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota
Tarakan adalah saat diresmikannya undang-undang No 23 tahun 2014 tentang pemerintah

19
daerah menggantikan undang-undang 32 tahun 2004, dimana di dalam Undang-Undang 23
Tahun 2014 mengatur mengenai kewenangan urusan pemerintah dalam undang tersebut
diatur bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Aturan diatas
pada bab V mengenai kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri
kepulauan. Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut
yang ada di wilayahnya. Kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di
laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke
arah perairan kepulauan. Tidak hanya itu dalam matrik undang-undang 23 tahun 2014 dalam
izin pelayaran dalam hal ini termasuk perizinan pelabuhan regional semua diatur oleh
provinsi dan ini berkaitan dengan Pelabuhan Tengkayu I. sedangkan untuk perikanan tangkap
provinsi mendapat kebijakan untuk mengatur Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut
sampai dengan 12 mil, penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan
perikanan provinsi dan menjadi acuan dasar atas kepemilikan Pelabuhan Tengkayu II kepada
provinsi Kalimantan Utara.

Sementara itu dari pihak Pemerintah Kota Tarakan sejak awal tidak ingin
menyerahkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II dengan beberapa alasan
pertama menurut Plt.Walikota Tarakan tahun 2018 bahwa penyerahan aset ada yang bersifat
mutlak dan ada yang bersifat tidak mutlak, yang bersifat mutlak yang telah diatur dalam
undang-undang 23/2014 yaitu pendidikan atau penyerahan aset SMA sederajat. Sedangkan
aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II itu tidak bersifat mutlak untuk
diserahkan. kedua, menurut Muddain Wakil Ketua DPRD Kota Tarakan tahun 2014-2019
bahwa tidak diserahkannya Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II ke Pemerintah
Provinsi Kalimantan Utara adalah tidak ada kepastian komitmen dari Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara yaitu mekanisme pembinaan terhadap masyarakat Kota Tarakan. Ketiga,
Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II adalah penyumbang PAD terbesar Kota
Tarakan setelah pendapatan hotel, restoran dan rumah makan. Alasan keempat, Pemerintah
Kota Tarakan sadar atas potensi keunggulan geografis pulau tarakan. Bentuk perhatian
pemerintah Kota Tarakan terhadap pelabuhan laut merupakan bagian perencanaan strategis
jangka panjang pembangunan Kota Tarakan hingga tahun 2023.

Proses penyelesain konflik didiagnosis dengan model kepentingan/hak/kekuasaan


secara diagnostik. Pertama, resolusi konflik berbasis kepentingan berfokus mendamaikan
atau menemukan solusi yang memenuhi kepentingan para stakeholder. Untuk menyikapi
permasalahan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan, agar
keinginan dan harapan kedua belah pihak yaitu Pemerintah Kota Tarakan ingin agar aset
mereka kembali dikelola oleh mereka sedangkan keinginan dari Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara dalam hal ini adalah Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin Paliwang
untuk merealisasikan janji kampanyenya. Maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara
meminta agar Pemerintah Kota Tarakan membentuk perusahaan umum daerah (Perumda)
pelabuhan yang akan mengelola aset tersebut. Rancangan peraturan daerah tentang
pembentukan perumda pelabuhan sudah diusulkan Pemerintah Kota Tarakan ke DPRD untuk
dibahas. Bahkan DPRD Kota Tarakan telah membentuk panitia khusus pansus untuk
membahas masalah ini.

Kedua, proses berbasis hak adalah pendekatan yang dicirikan oleh pihak-pihak yang
menegaskan atau berfokus pada keunggulan hak satu pihak atas hak-hak pihak lain. Dalam
penyelesaian pengembalian Aset Pelabuhan Tengkayu I dan II ini akan diserahkan ke
kementerian dalam negeri untuk dievaluasi. Setelah melakukan koordinasi mengadakan

20
pertemuan-pertemuan untuk membahas kelanjutan peralihan Aset pelabuhan tengkayu
dengan berbagai masalah dan membahas solusi agar Pemerintah Kota Tarakan dan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dapat menyelesaikan pengembalian Aset ini tanpa
melanggar undang-undang. Sesuai dengan amanat undang-undang aset ini tidak dapat
diserahkan seutuhnya. Hal ini tentu saja kan membuat pihak Pemerintah Kota Tarakan
kembali kecewa tidak dapat mendapatkan aset Pelabuhan Tengkayu I dan Pelabuhan
Tengkayu II secara utuh. Namun hal ini lebih baik dibandingkan dengan pemerintah
sebelumnya yang tidak memberikan apapun kepada Pemerintah Kota Tarakan.

Ketiga, pada resolusi konflik berbasis kekuasaan proses penanganan berbasis


kekuasaan ini di awal konflik aset Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II sudah dilakukan
dimana otoritas para pemimpin kedua pihak diperlihatkan antara Pemerintah Provinsi
Kalimantan Utara dan Pemerintah Kota Tarakan. Dengan menggunakan proses penanganan
ini bahkan Undang-Undang No 23 tahun 2014 juga merupakan resolusi dari konflik aset
Pelabuhan Tengkayu walaupun juga menjadi penyebab utama terjadinya konflik perebutan
aset.

Resolusi konflik Pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II bukan berarti tidak ada
solusi, maka dari itu penulis memilih menyarankan menggunakan proses resolusi model
kepentingan, dimana menurut model berbasis kepentingan ini menawarkan serangkaian
alternatif menyelesaikan konflik. Kekuatan pendekatan ini menurut Furlong (2005) adalah
kolaboratif, kreatif, memecahkan masalah, memelihara hubungan, dan berdaya tahan. Seperti
alternatif yang digunakan dalam PP 54 Tahun 2017 tentang BUMD tidak hanya menjelaskan
Perumda tapi juga menjelaskan mengenai Perusahaan perseroan daerah (Perseroda). Dalam
PP 54 Tahun 2017 menjelaskan bahwa Perseroda merupakan BUMD yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit
51%o (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh 1 (satu) Daerah. Jika menggunakan
perseroda Pemerintah Kota Tarakan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara tidak hanya
bagi hasil akan tetapi juga berbagi untuk mengelola dan membiayai aset Pelabuhan Tengkayu
I dan Pelabuhan Tengkayu II.

21
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Basri, Seta. 2020. Tinjauan Kritis Pemekaran Daerah: Pembentukan 8 Provinsi Baru, JIA
Sandikta, Vol. VI. No. 8.
Eric Permana, Kbr.Id/Nasional, 2013
Firman, Tommy. 2013. Territorial Splits (Pemekaran Daerah) In Decentralising Indonesia,
2000–2012: Local Development Drivers Or Hindrance?, Space And Polity, Vol. 17,
No. 2, 180–196 London.
Furlong, Gary T. The conflict resolution toolbox: Models and maps for analyzing,
diagnosing, and resolving conflict. John Wiley & Sons, 2020.
Goodman, Douglas J & Goerge Ritzer. 2005. Teori Sosiologi Modren. Jakarta: Kencana
Haryanto, 2016. Masa Depan Politik Desentralisasi Di Indonesia: Sebuah Studi Awal,
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Vol 9. Nomor 2.
Hofman, B., & Kaiser, K. 2004. The Making Of ‘Big Bang’ And Its Aftermath: A Political
Economy Perspective. In J. Alm, J. Martinez-Vasquez & S. Mulyani (Eds.),
Reforming Intergovernmental Fiscal Relations And The Rebuilding Indonesia: The
‘Big Bang’ Program And Its Economic Consequences Cheltenham: Edward Elgar
Publishing.
Jaya, Wihana Kirana. 2010. Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Dalam Perspektif Teori
Ekonomi Kelembagaan, Yogyakarta.
Ralf Dahrendorf, 1959, Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat Industry: Sebuah Analisa
Kritik, Jakarta: CV Rajawali
Rizky, Muhammad. 2014. Koflik Aset Di Daerah Pemekaran: Studi Konflik Serah Terima
Aset Pasar Tradisional Di Tangerang Selatan, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah.
Rudianto. Simamora, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengelolaan Aset Pasca
Pemekaran Wilayah Dan Pengaruh Terhadap Kualitas Laporan Keuangan
Pemerintah Di Kabupaten Tanapuli Selatan, Jurnal Ekonmoi Dan Bisnis, Volume
13 Nomor 02.
Samarinda.Lan.Go.Id
Scarica, Mihovil, 2021, Process of local government fragmentation in Croatia: From a big-
bang to a status quo, Journal Miscellanea Geographica Vol. 25. No. 1
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, Bandung: CV. Alfabeta.
Talitha, Tessa. Dkk, 2019. Welcoming Two Decades Of Decentralization In Indonesia: A
Regional Development Perspective,Journal Territory, Politics, Governance.

22
The Worl Bank, Indevendent Evaluation Group. 2008. Decentralization In Client Countries-
An Evaluation Of World Bank Support.
The World Bank, 1999. Desentralization Briefing Notes, World Bank Institute: Washington
D.C.
Tuwu Darmin.2017, Implication Of Conflict Of Ownership Regional Assets In The
Expansion Of Bau-Bau City In The Territory Of Ex Buton Sultanate, Sosiologi
Reflektif, Volume 12, No. 1
Wasistono, Sadu. 2010. Menuju Desentralisasi Keseimbangan, Jurnal Ilmu Politik.
Yorder Jennifer A, 2003, Decentralisation and Regionalisation after Communism:
Administrative and Territorial Reform in Poland and the Czech Republic, Europe-
Asia Studies, Vol. 55, No. 2.\
Yuliawati, Fitriani Dan Subhan Agung. 2013. Sengketa Aset Pasca Pemekaran Wilayah Kota
Dan Kabupaten Tasiklamalaya, Jurbal Ilmu Politik Dan Pemerintahan Vol 1 No. 2
Januari.
Internet/Berita
Abdul Khaliq, 2018, Aset Tengkayu II Tarakan Segera Diserahkan ke Pemprov (Antara news
Kaltara.com).
Djpk.Kemenkeu.Go.Id, Portal Data APBD dan TKDD, kemetrian Keuangan, Direktoral
Jenderal Perimbangan Keuangan.
Junisiah, 2018, Ini Alasan Pemerintah Kota Dan DPRD Tarakan Tidak Mau Serahkan Aset
Pelabuhan Perikanan (TribunKaltim.com).
Junisiah, 2018 Pelabuhan Tengkayu 1 & 2 Sumbang PAD Terbesar Untuk Kota Tarakan,
(TribunKaltim.com).
niaga.asia, 2018, Pemkota Tarakan Serahkan Pelabuhan Tengkayu I ke Pemprov Kaltara
Niken Permatasari, 2017, Gubernur Vs Wagub Kaltara via Surat, Kemendagri: Harusnya
Serasi (Newsdetik.com)
radartarakan.jawapos.com, 2021 Soal Pengembalian Tengkayu I ke Pemkot, Gubernur:
Bukan Penyerahan Aset
Samarinda.lan.go.id Feni Heru Wismono Selamat Datang Provinsi Kalimantan Utara

23

Anda mungkin juga menyukai