Ramadhani Setiawan
ramadhanisetiawan@gmail.com
Rumzi Samin
rumzisamin@umrah.ac.id/rumzi@hotmail.co.id
(Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji)
Abstrak
Kepemimpinan pemerintah (kepala daerah) yang dijalankan secara terpusat oleh rezim Orde
Baru merupakan cikal bakal pelaksanaan sistem pemerintahan yang tidak memberi peluang
kepada daerah untuk tumbuh dan berkembang. Terjadinya era reformasi di mana pergeseran
berubah menjadi sistem pemerintahan yang terdesentralisasi yang meningkatkan nilai
substansi demokrasi. Namun euphoria perjalanan otonomi daerah sebagai Kepala Daerah
penguasa setempat semakin kuat. Bukti ini, nyata yang terjadi adalah praktik KKN (korupsi,
Korupsi dan Nepotisme) terjadi jauh dalam pencapaian harapan desentralisasi. Tujuan
penelitian dalam penelitian ini adalah untuk membahas kapabilitas, meskipun setiap kepala
daerah dipilih oleh rakyat. Peneliti telah dilakukan dengan studi kasus kualitatif di provinsi
Riau. Peneliti adalah elemen penelitian utama sebagai kebutuhan untuk analisis, data
dikumpulkan menggunakan elemen pengumpulan data triangulasi yang melibatkan observasi,
wawancara dan dokumentasi. Realitas dalam penelitian menemukan sejumlah kelemahan
dalam proses dan pada masalah kepemimpinan kapabiliti hubungan tiga dimensi antara
pemerintah, swasta dan publik.
Kata Kunci: Kemampuan, Pengembangan, Desentralisasi
Abstract
Leadership of the government (regional head) which is run centrally by the New Order
regime was the forerunner for the implementation of the system of government that does not
give an opportunity to the region to grow and progress. The occurrence of the reform era in
which the shift change to decentralized government system that enhances the value of the
substance of democracy. But the journey euphoria of regional autonomy as the Regional
Head of the local authorities is getting stronger. Evidence of this, real happens area is the
practices of KKN (corruption, Corruption and Nepotism) occur far in the achievement of
decentralization expectations. The purpose of the study in this study is to discuss capability,
even though each regional head is elected by the people. Researchers have done with
qualitativ case studies in Riau province. The researcher is the main research element as a
need for analysis, the data is collected using triangulation data collection elements involving
observation, interviews and documentation. Reality in the study found a number of
weaknesses in the process and on the issue of leadership kapabiliti three-dimensional
relationship between the government, private and public.
Keyword : Capability, Development, Desentralization
kepada masyarakat yang memburuk dan mengatur dan mendikte ke posisi sebagai
kesenjangan pemerataan pembangunan. fasilitator, Osborne & Gaebler (1993).
Habibie (2006). Sebagai dampak dari hal Kemudian menurut Haris (2007, pp. 39 &
tersebut presiden BJ. Habibie pada masa 51) dunia usaha dan pemilik modal, yang
reformasi, telah menetapkan kebijakan sebelumnya berusaha mengurangi otoritas
desentralisasi sebagai suatu bentuk negara yang dinilai cenderung menghambat
pemerintahan yang baru di Indonesia. perluasan aktivitas bisnis, harus mulai
Secara konseptual, desentralisasi menyadari pentingnya regulasi yang
seperti fokus studi dari Mawhood (1989) melindungi kepentingan. Oleh sebab itu
Sifonis & Goldberg (1996), Kingsley desentralisasi pada awalnya memberi
(1996), Rondinelli, Nellis, & Cheema, peluang kepada daerah untuk terciptanya
(1983) secara bersamaan menyetujui good governance tetapi perkembangan
perkembangan pemerintahan pada demokrasi dan globalisasi menekankan
umumnya pemerintahan modern memiliki pada keharusan dalam penerapan
sifat devolutif. Sellers & Lidstrom, (2007) implementasi good governance.
melakukan sebuah penelitian adanya Penelitian ini menitik beratkan pada
desentralisasi di pemerintahan yang telah di faktor kepemimpinan karena merujuk
teliti dari 21 negara menunjukan ialah untuk pendapat Agustino,(2010) bahwa daerah
mewujudkan kesejahteraan sosial serta hanya menciptakan penguasa-penguasa
demi mewujudkan pembangunan daerah lokal yang berfokus pada mempertahankan
dalam upaya menunjukan kapasitas sebagai kekuasaan di daerahnya masih-masing.
negara maju, . Di indonesia, sebenarnya Sejak tahun 1999 hingga 2004, di Indonesia
tujuan dasar desentralisasi yang dituangkan terjadi berberapa peristiwa penting dalam
dalam UU No 20 tahun 1999 hingga ke UU kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di
No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan tingkat nasional maupun di tingkal lokal
Daerah atau yang bermaksud dari daerah. Pada tahun 2001 merupakan
pemerintahan modern tersebut salah satu tonggak penting dalam pelaksanaan
bertujuan untuk memberi peluang serta desentralisasi di Indonesia yang ditandai
kesempatan terjadinya perubahan dengan dimulainya pelaksanaan otonomi
pembangunan di masing – masing daerah. daerah. Selama empat tahun pelaksanaan
Astomo (2014), menungkapkan otonomi daerah telah terjadi beberapa
penyelenggaraan pemerintah yang baik perubahan dalam tata pemerintahan di
seharusnya memegang prinsip – prinsip berbagai daerah. Pelaksanaan otonomi
pemerintahan di dalam penerapannya. daerah disambut oleh pemerintah daerah
Besarnya basis pengawasan oleh dengan melakukan pembenahan dalam
masyarakat akan pemerintahan menjadi berbagai aspek kehidupan, mulai dari
sebuah siklus yang darurat dengan hadirnya kelembagaan pemerintahan, dan
masyarakat sebagai pengawasan di luar pembenahan di bidang perencanaan
pemerintahan, darurat yang di maksud perekonomian, serta kemasyarakatan, dan
adalah seperti salah satu contoh di sebagainya. Hal lain yang menyertai
antaranya adanya ketergantungan antar pelaksanaan otonomi daerah adalah
negara dalam kerjasama ekonomi dan terjadinya pemekaran wilayah. Jika awal
kehidupan dunia usaha. pelaksanaan otonomi daerah tercatat kurang
Baik demokratisasi maupun lebih ada 375 daerah kabupaten dan kota,
globalisasi, menuntut redefinisi peran maka dalam waktu empat tahun telah
pelaku-pelaku penyelenggaraan berkembang menjadi 440 kabupaten dan
pemerintahan. Pemerintah yang sebelumnya kota. Pada akhir tahun 2004 dilakukan
memegang kuat kendali pemerintahan, revisi terhadap Undang-undang yang
cepat atau lambat harus mengalami menjadi payung pelaksanaan otonomi
pergeseran peran dari posisi yang sebagai daerah, yakni UU. No.22 dan 25 tahun
menentukan kewenagan bukan ditentukan Golkar. Atau dapat juga seperti calon
oleh elit-elit pemerintahan pusat yang Kepala Daerah daripada parti politik dan
terkait dengan DAU (dana Alokasi Umum). calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam
Perbedaan ini tentu berdinamika dengan sistem satu paket, variasi pasangan dapat
berbagai keadaan bergantung daripada dari latar belakang yang berbeda . Pada
bentuk spektrum demokrasi yang masa proses pencalonan sampai pada
dijalankan. Tentu pada negara berkembang pemilihan tidak ada masalah, namun ketika
perlawanan terhadap degeneralisasi sistem pasangan itu terpilih dan kemudian
dan degradasi kualitas demokrasi masih memimpin pemerintahan terjadi konflik
terus mendominasi. Dari sini penulis kepentingan karena berbagai faktor seperti:
melihat dengan membagi kapabilitas kewenangan tidak dapat diimplementasikan
kepemimpinan pada sebelum reformasi dan secara efektif, Kepala Daerah dan wakil
sesudah reformasi, karena untuk dapat Kepala Daerah (Gubernur Riau (Rusli
menggambarkan kapabilitas mesti Zainal)) dapat dikendalikan kepentingan
menjelaskan bad governance. partai politik, rebutan pengaruh kekuasaan
dan kepentingan rebutan projek
Realitasnya secara umum hampir di pembangunan.
semua daerah, Riau secara khusus, proses
pilkada belum melahirkan pemimpin yang Ketiga, legitimasi calon terpilih
dapat melakukan perubahan mendasar rendah. Aturan main calon Kepala Daerah
untuk mempercepat kemajuan daerah. dan wakil Kepala Daerah terpilih dalam UU
Bahkan ada kecenderungan dengan pilkada hanya mensyaratakan 25 persen. Ketentuan
justeru menimbulkan sejumlah persoalan ini telah menyebabkan terjadinya proses
dan tidak menjawab kapabilitas delegitimasi terhadap kepemimpinan
kepemimpinan. Pertama, pilkada ternyata Kepala Daerah. Dengan ketentuan ini
tidak ada hubungan antara pemilih seorang Kepala Daerah dapat terpilih
(konstituensi) dengan kompetensi. dengan modal dukungan hanya sekitar 25
Seseorang calon Kepala Daerah walaupun persen dari total pemilih, ertinya 75 persen
dipilih dengan perolehan suara terbanyak pemilih sesungguhnya tidak memberikan
tidak berarti menjadi Kepala Daerah yang dukungan terhadap Kepala Daerah terpilih.
memiliki kapabilitas. Karena, dalam
realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek Keempat, ketimpangan dukungan
kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh politik daripada DPRD. Calon Kepala
faktor popularitas, kemampuan keuangan, Daerah dan wakil Kepala Daerah yang
dan partai politk pendukung. Di sinilah terpilih dapat berasal dari parti politik yang
proses seleksi pemimpin menjadi bias tidak menguasai suara mayoritas di DPRD.
karena realitas politik di masyarakat dan Misalnya, calon terpilih dari PDIP,
partai politik baru sebatas penarikan sementara di DPRD yang menguasai
dukungan belum sampai pada usaha mayoritas adalah Partai Golkar. Apa
pencarian pemimpin yang memiliki visi dan dampaknya? Jika seni kepemimpinan dan
kapabilitas memimpin pemerintahan. kemampuan komunikasi politiknya lemah,
Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan berpeluang untuk dimain-mainkan bahkan
dikalahkan ketidakmampuannya dalam sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh
mengakses kepentingan partai politik. DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya.
Juga, sangat berpeluang terjadi
Kedua, proses pengusungan calon disharmonisasi antara Kepala Daerah
dalam satu paket menimbulkan konflik dengan DPRD, yang terjadi bukan
karena formasinya dapat dilakukan secara bagaimana mengefektifkan penggunaan
beragam. Misalnya, Kepala Daerah diusung kekuasaan, tapi adalah bagaimana
dari PDIP (Parti Demokrasi Indonesia memperebutkan kekuasaan untuk
Perjuangan) dan wakilnya daripada parti
Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JUAN) 21
ISSN 2354 - 5798
Vol. 6 No. 2 November Tahun 2018
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Hellman, J. S., Jones, G., Schankerman, M.,
Tentang Pemerintahan Daerah. & Kaufmann, D. (1999). Measuring
Jakatra. Retrieved from Governance, Corruption, and State
https://pih.kemlu.go.id/files/UU02320 Capture: How Firms and Bureaucrats
14.pdf Shape the Business Environment in
Agustino, L. (2010). Pilkada dan Transit. The World Bank.
Redistricting : Dinamika Politik Lokal https://doi.org/10.1596/1813-9450-
dalam Politik Indonesia yang 2312
Terdemokrasi. Pamong Praja, 1(16), Kingsley, G. T. (1996). Perspectives on
14–34. Devolution. Journal of the American
Astomo, P. (2014). Penerapan Prinsip- Planning Association, 62(4), 419–426.
Prinsip Pemerintahan yang Baik dalam https://doi.org/10.1080/019443696089
Penyelenggaraan Pemerintahan, (64), 75709
401–420. Kotter, J. P. (1996). Leading Change (p.
Bas, B. M. (1990). Handbook of 187). Harvard Business School Press.
Leadership: a Survey of Theory and Manz, C. C., & Sims, H. P. (2001). The new
Research, 1188. superleadership : leading others to
Beck, T., Clarke, G., Groff, A., & Walsh, P. lead themselves. Berrett-Koehler
(2001). New tools in comparative Publishers.
political economy: The Database of Mawhood, P. (1989). State Formation in
Political Institutions. World Bank Tropical Africa. International Political
Economic Review, 15(1), 165–176. Science Review, 10(3), 239–250.
Dwiyanto, A. (2003). Reformasi tata https://doi.org/10.1177/019251218901
pemerintahan dan otonomi daerah. 000306
Pusat Studi Kependudukan dan Osborne, D., & Gaebler, T. (1993).
Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. Reinventing Government. Leadership
Etzioni, E., & Halevy. (2002). Bureaucracy Abstract, 6, 1–3.
and democracy a political dilemma. Politis, J. D. (2002). Transformational
(P. Scienc, Ed.) (Vol. 7). London and Leadership and Transactional
New York. Leadership enabling (disabling)
Freeman, R. E., & Stewart, L. (2006). knowledge acquisition f self-managed
Developing Ethical Leadership. Bridge teams: the consequences for
Paper. Business Roundtable Institute performance. Leadership &
for Corporate Ethics. Organization Development Journal,
https://doi.org/10.1007/978-90-481- 23(4), 186–197.
9106-2 https://doi.org/10.1108/014377302104
Grindle, M. S. (2004). Good Enough 29052
Governance: Poverty Reduction and Quinn, R. E., & Spreitzer, G. M. (1997).
Reform in Developing Countries. The road to empowerment: Seven
Governance, 17(4), 525–548. questions every leader should
https://doi.org/10.1111/j.0952- consider. Organizational Dynamics,
1895.2004.00256.x 26(2), 37–49.
Habibie, B. J. (2006). Detik-Detik yang https://doi.org/10.1016/S0090-
Menentukan: Jalan Panjang Indonesia 2616(97)90004-8
Menuju Demokrasi. jakarta: THC Rivera-Batiz, F. L. (2002). Democracy,
Mandiri. Governance, and Economic Growth:
Haris, S. (2007). Desentralisasi dan Theory and Evidence. Review of
Otonomi Daerah : Desentralisasi, Development Economics, 6(2), 225–
Demokratisasi & Akuntabilitas 247. https://doi.org/10.1111/1467-
Pemerintah Daerah. (S. Haris, Ed.). 9361.00151
Rondinelli, D. A., Nellis, J. R., & Cheema, Oxford University Press. Retrieved
G. S. (1983). Decentralization in from http://cds.cern.ch/record/1250175
developing countries. World Bank Sumarto, & Sj, H. (2004). Inovasi,
Staff Working …, (581), 110. partisipasi dan good governance : 20
Sellers, J. M., & Lidstrom, A. (2007). prakarsa inovatif dan partisipatif di
Decentralization, Local Government, Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
and the Welfare State. Governance, Indonesia. https://doi.org/2004
20(4), 609–632. Weiss, T. G. (2000). Governance, good
https://doi.org/10.1111/j.1468- governance and global governance:
0491.2007.00374.x Conceptual and actual challenges.
Sifonis, J. G., & Goldberg, B. (1996). Third World Quarterly, 21(5), 795–
Corporation on a tightrope : balancing 814.
leadership, governance, and https://doi.org/10.1080/713701075
technology in an age of complexity.